Вы находитесь на странице: 1из 10

Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol. 15, No.

1, 2009: 29 – 38

DETEKSI KERAGAMAN VIRUS TUNGRO DARI BEBERAPA DAERAH


ENDEMIS DI INDONESIA DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

DETECTION OF VARIABILITY IN RICE TUNGRO VIRUS FROM


SEVERAL ENDEMIC AREAS IN INDONESIA BY PCR-RFLP TECHNIQUE

R. Heru Praptana*
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; *Loka Penelitian Penyakit Tungro, Sulawesi Selatan
YB. Sumardiyono, Sedyo Hartono
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
I Nyoman Widiarta
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
Muhammad Muhsin
Balai Besar Biogen, Bogor
*Penulis untuk korespondensi. E-mail: herujuly@yahoo.com

ABSTRACT
Tungro is one of rice disease caused by two different viruses (rice tungro virus=RTV) i.e. Rice tungro bacilliform
virus (RTBV) and Rice tungro spherical virus (RTSV) that are transmitted only by green leafhopper. Tungro had become
a serious problem in several rice productions centre in Indonesia. Various components of management effort have
been applied but they were inefficient in preventing the tungro disease development. Resistance variety is the most
efficient component to tungro disease management. Complexity interactions of tungro disease components are mayor
constraint in tungro disease management. Detection of molecular variability in rice tungro virus from several endemic
areas in Indonesia were conducted by using PCR-RFLP technique. Existence of RTBV and RTSV in the infected plants
collected from several endemic areas were successfully detected by PCR. The RFLP analysis with restriction enzymes
BstYI and HindIII showed that there were significant difference among the RTSV originated from Java, Bali and
Sulawesi.
Key words: endemic areas and molecular variability in RTV, RTBV, RTSV, tungro disease

INTISARI
Tungro merupakan salah satu penyakit padi yang disebabkan oleh dua virus (rice tungro virus = RTV) yang berbeda
yaitu Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice tungro spherical virus (RTSV) yang keduanya hanya dapat
ditularkan oleh wereng hijau. Tungro menjadi masalah serius di beberapa sentra produksi padi di Indonesia. Berbagai
usaha pengendalian telah dilakukan tetapi belum dapat mencegah dan mengatasi perkembangan penyakit tungro secara
efisien. Varietas tahan merupakan komponen pengendalian tungro yang paling efektif. Kompleksitas interaksi penyebab
penyakit tungro merupakan kendala utama dalam usaha pengendalian penyakit tungro. Melalui pendekatan molekuler
telah dilakukan deteksi dan analisis keragaman virus tungro dari beberapa daerah endemis di Indonesia. Berdasarkan
analisis PCR dengan spesifik primer telah berhasil dideteksi keberadaan RTBV dan RTSV dari tanaman terinfeksi
yang dikoleksi dari beberapa daerah endemis. Hasil analisis RFLP dengan enzim restriksi BstYI dan HindIII
menunjukkan adanya keragaman genetik antara RTSV yang berasal dari Jawa, Bali dan Sulawesi.
Kata kunci: daerah endemis dan keragaman molekuler RTV, RTBV, RTSV, tungro

PENGANTAR & Cabunagan, 1986). Kehilangan hasil akibat


serangan tungro dalam kurun waktu 1996–2002
Tungro merupakan salah satu penyakit penting
mencapai 12.078 ton/tahun atau senilai Rp. 12–15
pada padi yang hingga saat ini masih menjadi
miliar (Soetarto et al., 2001). Penyebaran tungro
masalah di beberapa sentra produksi padi di
tidak hanya di Indonesia tetapi juga di beberapa
Indonesia. Tungro disebabkan oleh infeksi ganda
negara Asia lainnya seperti India, Malaysia,
dari dua virus (rice tungro virus = RTV) yang
Vietnam, Filipina dan Thailand (Suranto, 2004).
berbeda yaitu Rice tungro bacilliform virus (RTBV)
Berbagai usaha pengendalian telah dilakukan
yang mempunyai genom DNA dan Rice tungro
di antaranya dengan penerapan teknologi
spherical virus (RTSV) yang mempunyai genom
pengendalian penyakit tungro terpadu yang
RNA. Kedua RTV tersebut hanya dapat ditularkan
bertujuan untuk mencegah pertanaman dari
oleh wereng hijau secara semipersisten (Hibino
30 Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia Vol. 15 No. 1

serangan tungro (escape strategy) dengan secara molekuler berdasarkan amplifikasi DNA
komponen utama waktu tanam tepat, penggunaan dengan teknik PCR membuktikan bahwa bahan
varietas tahan dan pergiliran varietas tahan. genetik yang diekspresi dan produk ekspresi suatu
Penggunaan varietas tahan merupakan komponen gen dapat diisolasi (Innis et al., 1990). Deteksi
pengendalian paling efisien yang dilakukan sampai secara molekuler mempunyai spesifisitas tinggi
saat ini. Namun ketahanan varietas bersifat spesifik terhadap patogen (genus, spesies, strain, patogen
lokasi, artinya bahwa suatu varietas akan tahan baru), akurat, efektif dan efisien (Gurr et al., 1992).
terhadap strain virus di daerah tertentu dan dapat Oleh karena itu, di dalam penelitian ini dilakukan
menjadi tidak tahan terhadap strain virus di daerah analisis keragaman secara molekuler terhadap RTV
lain (Baehaki & Suharto, 1985). Beberapa varietas dari beberapa daerah endemis tungro di Indonesia,
tahan yang telah dilepas seperti Tukad Unda agar diperoleh peta keragaman penyakit tungro
terbatas di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi yang lebih akurat sebagai dasar penyusunan strategi
Selatan dan Tukad Balian hanya dapat ditanam di pengendalian terpadu penyakit tungro berdasarkan
Bali dan Sulawesi Selatan (Widiarta et al., 2003). pendekatan spesifik lokasi.
Hasil uji multilokasi di beberapa daerah endemis di
Indonesia menunjukkan bahwa varietas Tukad BAHAN DAN METODE
Petanu hanya sesuai untuk virus tungro di Bali,
Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat dengan Survei dan Koleksi Sampel Tanaman
virulensi yang berbeda (Choi, 2004). Survei dan koleksi sampel tanaman dilakukan di
Terjadinya epidemi penyakit tungro merupakan beberapa daerah endemis tungro yaitu Jawa Barat,
hasil interaksi dari virus tungro, wereng hijau dan Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta
tanaman padi. Penularan efektif dari RTBV (DIY), Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi
(dependent virus) tergantung pada RTSV (helper Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.
virus), tetapi RTSV dapat ditularkan ke tanaman Secara visual dilihat komplek gejala yang terjadi
tanpa bantuan RTBV (Hibino et al., 1977). Efisiensi pada pertanaman yang terserang. Intensitas penyakit
penularan virus tungro oleh wereng hijau sangat tungro ditentukan dengan menghitung jumlah
bervariasi dan N. virescens merupakan vektor tanaman terinfeksi (bergejala) dalam petak
terpenting karena efisiensi penularannya paling pertanaman terserang seluas 10 m x 10 m dan
tinggi (Siwi & Suzuki, 1991). Fluktuasi intensitas diulang sebanyak empat kali dengan jarak antar
penyakit tungro ditentukan oleh beberapa faktor, petak 200 m. Sampel daun dikoleksi dari rumpun
di antaranya ketersediaan sumber inokulum, tanaman padi terinfeksi. Semua sampel dibawa ke
keberadaan vektor, adanya tanaman peka serta laboratorium dan disimpan pada suhu -20oC yang
kondisi lingkungan yang memungkinkan (Suzuki selanjutnya dianalisis secara molekuler dengan
et al., 1992), namun keberadaan vektor yang teknik PCR-RFLP.
mengandung virus (viruliferous vector) merupakan Ekstraksi DNA dan RNA Total
faktor utama. Perbedaan geografis dan intensitas Penyakit tungro disebabkan oleh infeksi dua
interaksi virus tungro dan wereng hijau dengan jenis virus tungro dengan genom yang berbeda
varietas menyebabkan adanya variasi genetik strain maka setiap sampel diekstraksi dengan dua metode
virus tungro dan biotipe wereng hijau. Variabilitas yang berbeda.
biologi dan genetik virus tungro akan mempercepat
Ekstraksi DNA total. Ekstraksi DNA total
terjadinya evolusi virus dan disease outbreak.
ditujukan untuk memperoleh double stranded DNA
Kompleksitas interaksi faktor-faktor penyebab
(dsDNA) RTBV dan DNA tanaman karena RTBV
penyakit tungro menyebabkan berbagai upaya
mempunyai genom DNA. Ekstraksi dilakukan
pengendalian yang telah dilakukan sering menemui
sesuai dengan metode CTAB (Deng et al., 1995)
kegagalan.
yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada
Kemajuan di bidang biologi molekuler volume buffer CTAB yang digunakan dan tanpa
telah melahirkan berbagai teknik yang dapat tahap pemurnian DNA. Sebanyak 0,1 g dari
dimanfaatkan dalam pengelolaan penyakit tungro di masing-masing sampel digerus dalam 800 µl buffer
antaranya diagnosis penyakit tungro, deteksi dini CTAB (3% CTAB, 100 mM Tris-HCl pH 8,0,
infeksi virus tungro dan vektor infektif serta 20 mM Na2EDTA, 1,4 M NaCl dan 1% β-
identifikasi dan karakterisasi strain virus tungro dan mercaptoetanol) yang sebelumnya sudah diinkubasi
biotipe wereng hijau (Praptana & Yasin, 2008). pada suhu 65oC selama 30 menit. Sap yang
Metode deteksi yang berkembang saat ini adalah diperoleh dimasukkan ke dalam tabung mikro 1,5
teknik serologi dan analisis DNA. Metode deteksi
Praptana et al.: Deteksi Keragaman Virus Tungro dari Beberapa Daerah Endemis di Indonesia 31

ml kemudian diinkubasi pada suhu 65oC selama 60 Polymerase Chain Reaction (PCR)
menit dan pada setiap 10 menit dilakukan Analisis PCR dilakukan untuk mendeteksi
penggojogan. Pemurnian DNA dilakukan dengan keberadaan virus baik RTBV maupun RTSV
menambahkan 500 µl buffer purifikasi yang terdiri di dalam tanaman terinfeksi. PCR dilakukan
dari kloroform dan isoamil alkohol (CIAA) dengan menggunakan dua pasang primer yang didesain
perbandingan 24:1 dan digojog selama 1 menit. berdasarkan sekuen genom RTBV dan RTSV yang
Campuran disentrifugasi pada kecepatan 12.000 telah ada di GenBank Database. Primer untuk
rpm selama 15 menit. Supernatan dipindahkan RTBV adalah AAA CGG TCA TTG TGG GAG GT
ke dalam tabung mikro yang baru kemudian (F) dan CAG GCC CAG CAA CGA CAT AA (R)
ditambahkan 2/3 volume isopropanol 10 mM sedang primer untuk RTSV adalah: GCA GAA
amonium asetat dan digojog perlahan-lahan hingga CAG AAC TCT AAG GC (F) dan GTC TAA GGC
terlihat benang-benang putih (DNA). Campuran TCA TGC TGG AT (R). Volume reaksi PCR
disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama sebanyak 25 µl dengan komposisi 22 µl Ready to
10 menit. Endapan DNA dicuci dengan Go PCR Kit (GE Healthcare), 1 µl masing-masing
500 µl buffer pencuci (70% etanol) dalam primer, 1 µl DNA/cDNA template. Mesin PCR
sentrifugasi 12000 rpm selama 5 menit kemudian yang digunakan adalah GeneAmp PCR System
dikeringanginkan. Endapan DNA diresuspensi 9700. Program PCR untuk deteksi RTBV yaitu:
dengan 50 µl bufer TE (10 mM Tris-HCl pH 7,4; 1 satu siklus predenaturasi pada suhu 94oC selama 5
mM EDTA pH 8,0) dan siap dianalisis secara menit, 35 siklus yang terdiri dari denaturasi pada
molekuler. 94oC selama 50 detik, annealing pada suhu 55oC
Ekstraksi RNA total. Ekstraksi RNA total selama 1 menit, dan ekstensi pada suhu 72oC selama
ditujukan untuk memperoleh single stranded RNA 1 menit, dan satu siklus akhir pada 72oC selama 5
(ssRNA) RTSV (RTSV mempunyai genom RNA). menit kemudian proses dihentikan pada suhu 4oC.
Ekstraksi dilakukan menggunakan Isogen RNA Program PCR untuk deteksi RTSV yaitu: satu siklus
Extraction Kit (Amersham Pharmacia) dengan predenaturasi pada suhu 94oC selama 5 menit, 35
sedikit dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan siklus yang terdiri dari denaturasi pada 94oC selama
adalah tidak digunakan nitrogen cair untuk ekstraksi 50 detik, annealing pada suhu 53oC selama 50 detik,
sampel tetapi langsung digunakan buffer ekstraksi. dan ekstensi pada suhu 72oC selama 50 detik, dan
Sebanyak 0,1 g sampel digerus dalam 1 ml buffer satu siklus akhir pada 72oC selama 7 menit
isogen. Sap yang diperoleh dipindahkan ke dalam kemudian proses dihentikan pada suhu 4oC. Hasil
tabung mikro 1,5 ml kemudian diinkubasi pada PCR divisualisasi pada polyacrylamide (PAGE 6%)
suhu ruang selama 5 menit. Ke dalam tabung dan dielektroforesis di dalam buffer tris-boricacid-
tersebut ditambahkan 200 µl kloroform, digojog EDTA (TBE). Hasil elektroforesis diwarnai dengan
selama 2 menit dan kemudian disentrifugasi pada etidium bromide dan divisualisasi pada UV
12.000 g selama 15 menit. Supernatan yang transilluminator.
diperoleh dipindahkan ke dalam tabung mikro 1,5
Analisis Keragaman RTV
ml yang baru, ditambahkan 4/5 volume isopropanol
dingin kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama Analisis keragaman RTSV dilakukan dengan
10 menit. Campuran disentrifugasi pada 12.000 g metode Restriction Fragment Length Polymorphism
selama 10 menit. Pellet (endapan RNA total) yang (RFLP). Analisis RFLP dilakukan terhadap DNA
diperoleh ditambahkan 100 µl etanol 70% dingin RTSV hasil PCR. Enzim restriksi yang digunakan
kemudian disentrifugasi pada 7.500 g selama 5 adalah BstYI dan HindIII. Volume reaksi RFLP
menit. Pelet dikeringanginkan dan diresuspensi sebanyak 15 µl dengan komposisi 5 µl DNA hasil
dengan 40 µl buffer TE pH 8 dan siap dianalisis PCR, 1,5 µl buffer restriksi, 1 µl enzim restriksi dan
secara molekuler. 7,5 µl dH2O. Campuran diinkubasi pada suhu 37oC
Untuk keperluan analisis RTSV, RNA selama 2 jam. Hasil RFLP divisualisasi pada PAGE
total (sebagai template) harus diubah terlebih 6% dan dielektroforesis di dalam buffer TBE. Hasil
dahulu menjadi complementary-DNA (cDNA) elektroforesis kemudian diwarnai dengan etidium
menggunakan primer oligo d(T) (RTSV termasuk bromida dan divisualisasi pada UV transilluminator.
dalam golongan virus poli-A). Pembentukan cDNA Pita-pita DNA yang terbentuk dari hasil analisis
dilakukan menggunakan First Strand cDNA RFLP diterjemahkan ke dalam data biner dengan
Synthesis Kit (Fermentas) sesuai dengan petunjuk ketentuan nilai 0 untuk tidak ada pita dan nilai 1
pabrikan. untuk adanya pita pada satu posisi yang sama dari
32 Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia Vol. 15 No. 1

beberapa isolat yang dibandingkan. Keragaman mempunyai gen Glh5 yang berhubungan dengan
genetik dinilai dari posisi isolat pada dendogram ketahanan terhadap wereng hijau (Widiarta et al.,
yang dihasilkan dari analisis program NTSYS-pc 2004). Hal tersebut mengindikasikan bahwa di
2.1 dan pengelompokan berdasarkan analisis the beberapa daerah endemis telah ada atau muncul
unweighted pairgroup mean arithmetic (UPGMA). wereng hijau biotipe baru sehingga terjadi infeksi
virus tungro. Diketahui bahwa wereng hijau sangat
HASIL DAN PEMBAHASAN mudah beradaptasi terhadap varietas tahan apabila
berhasil terbentuk hingga enam generasi (Siwi
Gejala penyakit tungro di masing-masing daerah & Suzuki, 1991). Durabilitas ketahanan varietas
endemis berupa daun yang berwarna kuning oranye terhadap wereng hijau secara bertahap akan
dan terpelintir, tanaman kerdil dan kurang anakan. menurun karena intensitas dan frekuensi interaksi
Gejala serangan virus tungro sangat jelas terlihat wereng hijau dengan varietas tersebut di lapangan
karena pertanaman masih dalam fase vegetatif dan ada indikasi bahwa terdapat variasi virulensi
antara 20 sampai dengan 45 hari setelah tanam virus tungro terhadap varietas tahan (Widiarta
(HST) (Gambar 1). Diduga sumber inokulum & Kusdiaman, 2002). Di dalam satu wilayah
tungro berasal dari pertanaman yang terserang terserang, ada kemungkinan terdapat variasi
sebelumnya. Gejala tungro di pertanaman mulai biologi dan genetik virus tungro, sehingga suatu
terlihat pada 21–30 hari setelah tanam (Raga et al., varietas yang ditanam secara seragam dan terus-
2004). Peningkatan intensitas penyakit tungro menerus menyebabkan durabilitas ketahanan
terjadi sejak tiga minggu pertama yang merupakan varietas terhadap virus lebih cepat menurun (Azzam
hasil penularan dari persemaian dan satu atau & Canchellor, 2002).
dua minggu berikutnya akan tetap atau sedikit
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata
meningkat setelah terjadi penularan sekunder dan
intensitas penyakit tungro baik di Jawa maupun luar
pada minggu-minggu selanjutnya akan terjadi
Jawa berkisar antara 40% hingga 100% (Tabel 1).
peningkatan lagi (Sumardiyono et al., 2004).
Intensitas penyakit tungro di Jabar merupakan hasil
Varietas yang ditanam berperan penting terhadap penularan buatan dengan metode test tube pada
terjadinya serangan karena umumnya di setiap varietas IR 64 dan Cisadane menggunakan wereng
daerah telah menerapkan pola tanam serempak hijau hasil perbanyakan di rumah kaca sedangkan
kecuali di Magelang dan Lombok Tengah. Serangan intensitas penyakit tungro di Sulsel merupakan
tungro terjadi pada varietas Ciherang dan IR 64. serangan tungro pada pertanaman bulanan di kebun
Berdasarkan gen ketahanannya, varietas IR 64

a b c

d e f
Gambar 1. Gejala serangan virus tungro: a) Magelang (Jateng), b) Sleman (DIY), c) Tabanan (Bali),
d) Sidrap (Sulsel), e) Donggala (Sulteng), dan f ) Lombok Tengah (NTB)
Praptana et al.: Deteksi Keragaman Virus Tungro dari Beberapa Daerah Endemis di Indonesia 33

Tabel 1. Intensitas penyakit tungro di beberapa daerah endemis.


Intensitas Penyakit Tungro (%)
Varietas
Jabar*) Jateng DIY Bali Sulsel Sulbar Sulteng NTB
Ciherang - - - 60 - 80 90 40
IR 64 100 90 60 - - - - -
TN1 - - - - 60 - - -
Cisadane 100 - - - - - - -
Keterangan: *) Hasil penularan buatan di rumah kaca

CHR IR TN

DNA

Gambar 2. Hasil ekstraksi DNA total dengan metode CTAB dari daun padi terinfeksi virus tungro:
CH= Ciherang; IR= IR64 dan TN= TN1

percobaan Lokatungro Lanrang. Intensitas penyakit hingga oranye. RTBV merupakan virus yang
tungro berbeda di setiap daerah endemis walaupun berperan dalam kemunculan gejala, sedangkan
infeksi terjadi pada varietas yang sama. Hal ini RTSV berperan dalam penularan (Dahal et al.,
menunjukkan bahwa ada indikasi terjadi variasi 1990). Hasil PCR ditunjukkan dengan adanya satu
virulensi virus tungro. Penyebaran serangan tungro pita DNA yang sangat jelas dengan ukuran sekitar
di lapangan sangat dipengaruhi oleh kepadatan 430 bp yang secara konsisten teramplifikasi dari
populasi vektor, keberagaman varietas dan waktu semua sampel (Gambar 3). Berdasarkan primer
tanam. spesifik yang digunakan, target amplifikasi primer
adalah sekuen basa nukleotida pada open reading
Analisis PCR untuk Deteksi RTBV dan RTSV
frames (ORF) II di dalam genom RTBV. Genom
Optimasi ekstraksi DNA total telah berhasil RTBV berukuran sekitar 8 kbp, mempunyai empat
dilakukan dengan metode CTAB yang dimodifikasi ORF yang mengkode empat protein masing-masing
yang ditunjukkan oleh intensitas pita DNA 24 kDa, 12 kDa, 194 kDa, dan 46 kDa (Herzog et
dari masing-masing sampel (Gambar 2). Optimasi al., 2000). Berdasarkan sekuen lengkap RTBV di
ekstraksi RNA total juga telah berhasil dilakukan GenBank Database, target amplifikasi primer adalah
menggunakan Isogen RNA Extraction Kit dari sekuen basa nukleotida antara 576–1006 (430 bp).
masing-masing sampel. Target tersebut sesuai dengan posisi pita DNA pada
Analisis PCR untuk deteksi RTBV dari tanaman gel elektroforesis, menunjukkan bahwa teknik PCR
terinfeksi telah banyak dilakukan karena genom dengan spesifik primer sangat sensitif dalam
RTBV adalah DNA, sehingga DNA total hasil mendeteksi keberadaan RTBV di dalam tanaman
ekstraksi dapat langsung digunakan sebagai terinfeksi.
template. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Deteksi molekuler RTSV di Indonesia belum
dengan teknik PCR telah berhasil dideteksi adanya pernah dilakukan sebelumnya. Diketahui bahwa
RTBV pada semua tanaman padi terinfeksi yang genom RTSV adalah RNA, sehingga teknis
dikoleksi dari beberapa daerah endemis tungro di pelaksanaannya lebih sulit dilakukan dari pada
Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan kondisi RTBV. Pembentukan cDNA menggunakan First
pertanaman di lapangan bahwa gejala tanaman padi Strand cDNA Synthesis Kit dari RNA total sebagai
terinfeksi oleh RTBV berupa daun menguning template telah berhasil dilakukan. Dengan teknik
34 Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia Vol. 15 No. 1

M JB JT DIY ST SB SS B NTB M

← 1000
← 750
← 500
← 430

← 250

Gambar 3. Pita DNA Rice tungro bacilliform virus (RTBV) hasil amplifikasi PCR: M= Marker (1 kb DNA
Ladder); JB= Subang (Jabar); JT= Magelang (Jateng); DIY= Sleman; ST= Donggala (Sulteng);
SS= Sidrap (Sulsel); SB= Polman (Sulbar); B= Tabanan (Bali); Lombok Tengah (NTB)

M JB JT DIY ST SB SS B NTB M

← 1500
1130 → ← 1000
← 750
← 500

← 250

Gambar 4. Pita DNA Rice tungro spherical virus (RTSV) hasil amplifikasi PCR: M= Marker (1 kb DNA
Ladder); JB= Subang (Jabar); JT= Magelang (Jateng); DIY= Sleman; ST= Donggala (Sulteng);
SS= Sidrap (Sulsel); SB= Polman (Sulbar); B= Tabanan (Bali); Lombok Tengah (NTB)

RT-PCR telah berhasil dideteksi adanya RTSV dan polymerase (POL) (Azzam & Chancellor,
dari tanaman terinfeksi yang sebelumnya sudah 2002). Berdasarkan sekuen lengkap RTSV di
terdeteksi adanya RTBV. Hal tersebut menunjukkan GenBank Database, target amplifikasi primer adalah
bahwa dalam satu tanaman terinfeki RTBV dan sekuen basa nukleotida antara 2494–3608 (1114
RTSV. Sesuai dengan kondisi gejala serangan di bp). Target tersebut sesuai dengan posisi pita DNA
lapangan bahwa apabila tanaman terinfeksi RTSV pada gel elektroporesis, menunjukkan bahwa teknik
dan RTBV maka gejala yang ditimbulkan lebih RT-PCR dengan spesifik primer sangat sensitif
parah dari pada hanya terinfeksi oleh salah satu dalam mendeteksi keberadaan RTSV di dalam
virus saja yaitu daun menguning terpelintir, tanaman terinfeksi. Analisis gen CP RTSV telah
tanaman kerdil dan jumlah anakan berkurang. Hasil digunakan dalam deteksi keragaman genetik RTSV
RT-PCR ditunjukkan dengan adanya satu pita yang berasal dari Bangladesh, India, Malaysia,
DNA berukuran kurang lebih 1130 bp yang secara Thailand, dan Philipina (Zhang et al., 1997).
konsisten teramplifikasi pada semua sampel
Analisis Keragaman RTV
(Gambar 4). Berdasarkan primer spesifik yang
digunakan, target amplifikasi primer adalah sekuen Teknik molekuler telah banyak dimanfaatkan
basa nukleotida penyandi coat protein 1 dan 2 (CP1 dalam analisis keragaman genetik organisme karena
dan CP2) dalam genom RTSV. Genom RTSV lebih efisien, ketepatannya tinggi dan lebih
meliputi beberapa coding region CP1, CP2, CP3, terpercaya. Keragaman strain virus tungro dapat
nucleotide triphosphate (NTP), protease (PRO), teridentifikasi berdasarkan perbedaan sekuen DNA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik RFLP
Praptana et al.: Deteksi Keragaman Virus Tungro dari Beberapa Daerah Endemis di Indonesia 35

dapat digunakan untuk membedakan adanya empat dilakukan identifikasi keragaman genetik strain
strain RTBV di Filipina. Strain G1, G2, Ic, dan L virus tungro dari berbagai daerah di Indonesia serta
dapat dibedakan berdasarkan pola potongan pita pemetaan penyebaran berdasarkan letak geografi
DNA setelah dianalisis dengan enzim restriksi dan hubungan kekerabatannya. Di dalam penelitian
EcoRI dan EcoRV (Cabauatan et al., 1998). Melalui ini tidak dilakukan analisis RFLP terhadap RTBV
analisis sekuen DNA didapatkan tiga kelompok karena ukuran DNA hasil amplifikasi PCR sangat
strain RTBV yaitu: Serdang; G1 dan Ic; serta pendek. Hasil analisis RFLP terhadap RTSV
Phi-1, Phi-2, Phi-3, dan G2. Variasi sekuen menunjukkan bahwa pita DNA dapat dipotong
kelompok strain RTBV tersebut menunjukkan dengan enzim BstYI dan HindIII (Gambar 5).
adanya rekombinasi sebagai akibat dari proses Analisis RFLP dilakukan terhadap isolat
mutasi DNA melalui mekanisme substitutions, Magelang (Jateng), Sidrap (Sulsel), dan Tabanan
insertions atau deletions pada urutan nukleotida (Bali). Hal tersebut untuk mengetahui secara garis
(Cabauatan et al., 1999). Teknik PCR-RFLP telah besar adanya keragaman RTSV di Jawa dan luar
digunakan untuk mengetahui variabilitas RTBV Jawa. Hasil analisis RFLP menggunakan enzim
dari berbagai daerah di India serta menunjukkan BstYI menunjukkan bahwa ketiga isolat dapat
adanya infeksi campuran antara strain RTBV dalam dipotong dan menghasilkan pita DNA dengan
satu daerah yang sama (Joshi et al., 2003). jumlah dan ukuran yang berbeda. Demikian juga
Perbedaan strain RTSV-Vt6 dengan RTSV-A-Shen hasil analisis RFLP menggunakan enzim HindIII.
berdasarkan virulensinya pada varietas tahan RTSV Namun demikian hasil potongan dengan enzim
(TKM6) dapat diketahui secara molekuler (Isogai BstYI lebih komplek dari pada hasil potongan
et al., 2000). Dengan teknik molekuler dapat dengan enzim HindIII. Pola potongan pita DNA

M JT JT SS SS B B

1000 →

500 →

250 →

100 →

Bs Hi Bs Hi Bs Hi
tY nd tYI nd tY nd
I III III I III

Gambar 5. Pita potongan DNA RTSV hasil analisis RFLP dengan enzim BstYI dan HindIII: M= Marker
(1 kb DNA Ladder); JT= Magelang (Jateng); SS= Sidrap (Sulsel); B= Tabanan (Bali)

Gambar 6. Dendogram hubungan kekerabatan RTSV isolat Jawa (JT), Bali (B) dan Sulawesi (SS)
berdasarkan analisis RFLP menggunakan enzim BstYI
36 Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia Vol. 15 No. 1

Gambar 7. Dendogram hubungan kekerabatan RTSV isolat Jawa (JT), Bali (B) dan Sulawesi (SS)
berdasarkan analisis RFLP menggunakan enzim HindIII

yang terbentuk menunjukkan adanya keragaman spesifik lokasi. Virulensi strain virus tungro di Asia
isolat RTSV. Hubungan kekerabatan antara RTSV Tenggara berbeda dengan di Asia Selatan (Azzam
dari Jawa dan luar Jawa diketahui berdasarkan & Chancellor, 2002). Virulensi virus ditentukan
keragaman genetiknya. Hasil analisis kekerabatan oleh keberadaan gen-gen yang bertanggung jawab
menunjukkan bahwa RTSV isolat asal Jawa terhadap patogenisitas, sehingga perbedaan
sekerabat dengan isolat asal Sulawesi dan keduanya virulensi menunjukkan adanya variasi genetik.
berbeda dengan isolat asal Bali (Gambar 6 dan 7). Berdasarkan teknik RFLP dan analisis sekuen
Penggunaan teknik PCR dengan primer spesifik partial, RTBV di Asia dibagi menjadi dua kelompok
untuk virus tungro akan mempercepat dalam deteksi yaitu India Subcontinent dan Southeast Asia
penyakit tungro serta menghasilkan data yang lebih Continent (Fan et al., 1996). Analisis sekuen
akurat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deteksi terhadap dua isolat RTSV dari daerah yang
virus tungro pada persemaian dan wereng hijau berbeda di India menunjukkan bahwa keduanya
yang dilakukan menggunakan teknik PCR dengan berhubungan erat dengan RTSV-Vt6 dari Philipina
primer spesifik untuk virus tungro terutama (Verma & Dasgupta, 2007).
RTBV menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
dibandingkan dengan deteksi menggunakan teknik disimpulkan bahwa keberadaan RTBV dan RTSV
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) di dalam tanaman terinfeksi telah berhasil dideteksi
(Takahashi et al., 1993). Deteksi keberadaan RTBV dengan teknik PCR. Keragaman genetik RTSV
dan RTSV dari satu tanaman secara simultan dapat diketahui dengan teknik RFLP terhadap
dengan teknik multipleks RT-PCR terhadap cDNA DNA hasil PCR. Dengan adanya keragaman genetik
dari RNA total hasil ekstraksi merupakan teknik tersebut, diduga terdapat perbedaan strain
terbaru yang lebih efisien dalam deteksi virus RTSV. Berdasarkan adanya variasi strain virus
tungro (Periasamy et al., 2006). tungro, keberadaan varietas padi berdasarkan sifat
Berdasarkan intensitas penyakit yang ketahanan terhadap virus tungro sangat berperan
ditimbulkan telah diketahui adanya variasi virulensi dalam perkembangan epidemi penyakit tungro.
virus tungro dan koloni wereng hijau dari Epidemi akan terjadi apabila penanaman suatu
berbagai daerah endemis di Indonesia (Widiarta & varietas tidak sesuai dengan strain virus daerah
Kusdiaman, 2002). Variasi virulensi virus tungro setempat, artinya bahwa suatu varietas tertentu
dan tekanan seleksi koloni wereng hijau merupakan hanya sesuai ditanam di daerah tertentu.
kompleksitas penyebab terjadinya epidemi penyakit Pemantauan perkembangan strain virus tungro
tungro. Perbedaan virulensi dan efisiensi penularan dapat dengan cepat dilakukan secara molekuler
menunjukkan adanya keragaman strain virus tungro sehingga dapat dilakukan pewilayahan distribusi
dan biotipe wereng hijau. Perbedaan geografis dan varietas berdasarkan keberadaan strain virus tungro
intensitas interaksi virus dan vektor dengan tanaman dalam rangka pengendalian penyakit tungro spesifik
menyebabkan adanya variasi strain virus tungro. lokasi.
Virulensi strain virus tungro umumnya bersifat
Praptana et al.: Deteksi Keragaman Virus Tungro dari Beberapa Daerah Endemis di Indonesia 37

UCAPAN TERIMA KASIH Herzog, E., O. Guerra-Peraza, & T. Hohn. 2000.


The Rice Tungro Bacilliform Virus Gene II Product
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Interacts with the Coat Protein Domain of the Viral
Badan Litbang Pertanian Deptan RI yang telah Gene III Polyprotein. Journal of Virology 74:
membiayai penelitian ini melalui Program 2073–2083.
Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan
Hibino, H., N. Saleh, & M. Roechan. 1977.
Perguruan Tinggi (KKP3T).
Transmission of Two Kinds of Rice Tungro
Associated Viruses by Insect Vectors.
DAFTAR PUSTAKA Phytopathology 69: 1266–1268.
Azzam, O. & T.C.B. Chancellor. 2002. The Hibino, H. & R.C. Cabunagan. 1986. Rice Tungro
Biology, Epidemiology, and Management of Rice Associated Viruses and their Relation to Host Plants
Tungro Disease in Asia. Plant Disease 86: 88–100. and Vector Leafhopper. Tropical Agricultural
Baehaki, S.E. & H. Suharto. 1985. Penyakit Tungro. Research Series 19: 173–182.
Makalah Temu Lapang Pengendalian Penyakit Innis, M.A. & D.H. Gelfald. 1990. Optimization of
Tungro di Banyumas, 18–19 September 1985. 48 p. PCRs. p. 3–12. In Innis, M.A., D.H. Gelfald, J.J.
Cabauatan, P.Q., M. Arboleda, & O. Azzam. 1998. Sninsky, & T.J. White (eds.), PCR Protocols-
Differentiation of Rice Tungro Bacilliform A Guide to Methods and Applications. Academic
Virus Strains by Restriction Analysis and DNA Press, San Diego, Inc, USA.
Hybridization. Journal of Virological Methods 76: Isogai, M., P.Q. Cabauatan, C. Masuta, I. Uyeda, &
121–126. O. Azzam. 2000. Complete Nucleotide Sequence of
Cabauatan, P.Q., U. Melcher, K. Ishikawa, Rice Tungro Spherical Virus Genome of the Highly
T. Omura, H. Hibino, H. Koganezawa, & O. Azzam. Virulent Strain Vt6. Virus Genes 20: 79–85.
1999. Sequence Changes in Six of Rice Joshi, R., V. Kumar, & I. Dasgupta. 2003.
Tungro Bacilliform Virus and their Phylogenetic Detection of Molecular Variability in Rice Tungro
Relationships. Journal of General Virology 80: Bacilliform Viruses from India Using Polymerase
2229–2237. Chain Reaction-/restriction Fragment Length
Choi, R.I. 2004. Current Status of Rice Tungro Polymorphism. Journal of Virological Methods
Disease Research and Future Program. p. 3–14. 109: 89–93.
In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta & Sunihardi Periasamy, M., F.R. Niazi, & V.G. Malathi. 2006.
(eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro: Multiplex RT-PCR, A Novel Technique for the
Status dan Program. Prosiding Seminar Nasional Simultaneous Detection of the DNA and RNA
Status Program Penelitian Tungro Mendukung Viruses Causing Rice Tungro Disease. Journal of
Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, Virological Methods 134: 230–236.
7–8 September 2004.
Praptana, R.H. & M. Yasin. 2008. Peranan
Dahal, G., H. Hibino, & R. C. Saxena. 1990. Bioteknologi dalam Pengelolaan Penyakit Tungro.
Association of Leafhopper Feeding Behavior with Iptek Tanaman Pangan 3: 98–111.
Transmission of Rice Tungro to Susceptible
and Resistant Rice Cultivars. Phytopathology 80: Raga, I.N., W. Murdita, M.P.L. Tri, S.W. Edi, &
371–377. Oman. 2004. Sistem Surveillance Antisipasi
Ledakan Penyakit Tungro di Indonesia. p. 49–59.
Deng, Z.N., A. Gentile, E. Nicolosi, E. Domina, In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta, & Sunihardi
A. Vardi, & E. Tribulato. 1995. Identification on (eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro:
in vivo and in vitro Lemon Mutants by RAPD Status dan Program, Prosiding Seminar Nasional
Markers. Journal of Horticultural Science 70: Status Program Penelitian Tungro Mendukung
117–125. Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar,
Fan, Z., Dahal, G., Dasgupta, I., Hay, J., & Hull, R. 7–8 September 2004.
1996. Variation in the Genome of Rice Tungro Siwi, S.S. & Y. Suzuki. 1991. The Green
Bacilliform Virus: Molecular Characterization of Leafhopper (Nephotettix spp.): Vector of Rice
Six Isolates. Journal of General Virology 77: Tungro Virus Disease in Southeast Asia, Particularly
847–854. in Indonesia and its Management. Indonesian
Gurr, S.J., M.J. McPherson, & D.J. Bowles. 1992. Agricultural Research and Development Journal
Molecular Plant Pathology. Vol. I. A Practical 13: 8–15.
Approach. Oxford University Press, New York.
213 p.
38 Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia Vol. 15 No. 1

Soetarto, A., Jasis, S.W.G. Subroto, M. Siswanto, & Verma, V. & I. Dasgupta. 2007. Sequence Analysis
E. Sudiyanto. 2001. Sistem Peramalan dan of the Complete Genomes of Two Rice Tungro
Pengendalian OPT dalam Mendukung Sistem Spherical Virus Isolates from India. Archives of
Produksi Padi Berkelanjutan. p. 35–48. In Virology 152: 645–648.
I. Las, Suparyono, A.A. Daradjat, H. Pane, U.S.
Widiarta, I.N. & D. Kusdiaman. 2002. Identifikasi
Nugraha, H.M. Toha, A. Tyasdjaya, & O.S.
Strain Virus Tungro, p. 61–62. In H.M. Toha,
Lesmana (eds.), Prosiding Lokakarya Padi:
Satoto, A. Setyono, Sudir, & O.S. Lesmana (eds.),
Implementasi Kebijakan Strategi untuk Peningkatan
Laporan Tahunan 2002. Balai Penelitian Tanaman
Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan
Padi, Sukamandi.
Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.
Widiarta, I.N., Yulianto, & A. Hasanuddin. 2003.
Sumardiyono, Y.B., S. Hartono, & I. Suswanto.
Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro dengan
2004. Interaksi RTV dengan Wereng Hijau dan
Strategi Eliminasi Peranan Virus Bulat. Kebijakan
Daur Penyakit Tungro pada Padi. p. 37–47.
Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. p. 513–527.
In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta, & Sunihardi
In B. Suprihatno, A.K. Makarim, I.N. Widiarta,
(eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro:
Hermanto, & A.S. Yahya. Buku 2: Kebijakan
Status dan Program, Prosiding Seminar Nasional
Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi.
Status Program Penelitian Tungro Mendukung
Puslitbangtan.
Keberlanjutan Produksi Padi Nasional.
Makassar, 7–8 September 2004. Widiarta, I.N., Burhanuddin, A.A. Daradjat, & A.
Hasanuddin. 2004. Status dan Program Penelitian
Suranto. 2004. Pengelolaan Virus Tungro Melalui
Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro. p. 61–89.
Pendekatan Bioteknologi. Status dan Program
In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta, & Sunihardi
Penelitian Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro.
(eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro:
p. 15–25. In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta, &
Status dan Program, Prosiding Seminar Nasional
Sunihardi (eds.), Strategi Pengendalian Penyakit
Status Program Penelitian Tungro Mendukung
Tungro: Status dan Program, Prosiding Seminar
Keberlanjutan Produksi Padi Nasional.
Nasional Status Program Penelitian Tungro
Makassar, 7–8 September 2004.
Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional.
Makassar, 7–8 September 2004. Zhang, S., G. Lee, J.W. Davies, & R. Hull. 1997.
Variation in Coat Protein Genes among Five
Suzuki, Y., I.G.N. Astika, I.K.R. Widrawan, I.G.N.
Geographically Different Isolates of Rice Tungro
Gede, I.N. Raga, & Soeroto. 1992. Rice Tungro
Spherical Virus. Archives of Virology 142:
Disease Transmitted by Green Leafhoppers: its
1873–1879.
Epidemiology and Forecasting. JARQ 26: 98–104.
Takahashi, Y., F.R. Tiongco, P.Q. Cabauatan,
H. Koganezawa, H. Hibino, & T. Omura. 1993.
Detection Rice Tungro Bacilliform Virus by
Polymerase Chain Reaction for Assessing Mild
Infection of Plants and Viruliferous Vector
Leafhoppers. Phytopathology 83: 655–659.

Вам также может понравиться