Вы находитесь на странице: 1из 28

ANTROPOLOGI

INDONESI
A
I
ndone
sia
nJour
nal
ofS
oci
ala
ndCul
tur
alAnt
hropol
ogy
Vol
.39No.
2
201
8

TheDe par
tme ntofAnthropol
ogy
Fac
ultyofSocialandPolicalSc
ienc
es
Univ
ersit
asIndone s
ia

I
SSN1963-
167XE
-IS
SN1693-
6086
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 39 No. 2 2018

Dewan Penasihat

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia


Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Pemimpin Redaksi

Dave Lumenta
Redaksi Pelaksana

Dian Sulistyawati, Ezra M. Choesin, Imam Ardhianto, Irwan M. Hidayana


Penyelaras Akhir

Muhammad R. Damm
Manajer Tata Laksana

Sinta Uli
Administrasi dan Keuangan

Dewi Zimarny
Pembantu Teknis

Febrian, M. Arief Wicaksono


Dewan Redaksi

Achmad Fedyani Saifuddin (Universitas Indonesia, Indonesia)


Yasmine Zaky Shahab (Universitas Indonesia, Indonesia)
Timo Kaartinen (University of Helsinki, Finland)
Ratna Saptari (Leiden University, Netherlands)
Kari Telle (Chr. Michelsen Institute)
Meutia Farida Swasono ((Universitas Indonesia, Indonesia)
Martin Slama (Austria)
Heddy Shri Ahimsa-Putra (Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
Greg Acciaioli (University of Western, Australia)
Engseng Ho (Duke University, United States of America)
Birgit Brauchler (University of Frankfurt, Germany)
Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia, Indonesia)

ISSN 1963-167X E-ISSN 1693-6086 ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal


ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Antropologi Biologi di Indonesia:


Sebuah Penelusuran dan Kemungkinan Pengembangan1
Iman Fachruliansyah
Departemen Antropologi, Universitas Indonesia
fachruliansyah.iman@ui.ac.id

Abstract

Indonesia has a great diversity of ethnic groups, languages, physical characteristics, and human
genetic structures. Various studies of human physical variation and their evolutionary history in the
world have received substantial contributions from biological anthropology researches in Indonesia.
However, biological anthropology studies in Indonesia are not established or less familiar even
among Indonesian anthropology milieu. This condition is reflected in a small numbers of Indonesian
biological anthropologists, despite the vision of the founders of Indonesian anthropology that
programmed the development of biological anthropology as a part of the anthropology department.
This article aims to review the history of biological anthropology studies in Indonesia. Therefore, as
a preliminary note, considerable scientific publications in biological anthropology in Indonesia will
be discussed briefly to demonstrate the development of Indonesian biological anthropology.

Keywords: anthropology department, biological anthropology, Indonesia, Indonesian anthropology

Pendahuluan Indonesia sebagai entitas sosial politik


pascakolonial, sangat diminati oleh para ahli
Indonesia merupakan bagian penting dalam antropologi dari berbagai negara, terutama
sejarah perkembangan keilmuan antropologi. Amerika Serikat dan Belanda, sebagai fokus
Beberapa karya etnografi tentang Indonesia, penelitian. Koentjaraningrat (1987) mencatat
misalnya yang dituliskan oleh Geertz (1960), bahwa paling tidak ada tiga universitas di
Wouden (1968), Jong (1980), atau Amerika Serikat yang mendirikan pusat
Koentjaraningrat (1990), memiliki kajian dengan Indonesia sebagai peminatan
signifikansi kuat dalam perjalanan tumbuh khususnya (special interest), yaitu Cornell
kembang keilmuan antropologi di dunia. University, Massachusetts Institute of
Technology (MIT), dan Yale University.2

1
Tulisan ini merupakan pengembangan dari makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional dan Pra Lokakarya
Asosiasi Departemen/Jurusan Antropologi Indonesia (ADJASI): “Sudut Pandang Antropologi dalam Menyambut Tahun
Politik Tingkat Lokal dan Nasional”, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, 29-30 November 2018.
2
Menurut Koentjaraningrat (1987), ahli antropologi Amerika Serikat memiliki ketertarikan yang kuat dengan Indonesia
terutama setelah perang kemerdekaan. Yale University, misalnya, memulai ketertarikannya semenjak R. Kennedy
mengompilasi buku Bibliography of Indonesian Peoples and Cultures sebelum masa perang. MIT bahkan mengkaji
Indonesia, terutama dalam persoalan aspek budaya, ekonomi, dan politik setelah masa perang, melalui Kajian Modjokuto
yang fokus utama pada perkembangan ekonomi dan pembangunan dengan koordinator program seorang ekonom bernama
B. Higgins. Meskipun demikian, program tersebut justru lebih banyak menstimulasi studi aspek-aspek sosial masyarakat

90
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Salah satu hasil studi mengenai masyarakat Vesser, 1988; Ramstedt, 2005). Pada
Indonesia kemudian dikompilasi dalam buku perkembangan saat itu, Koentjaraningrat
The Human Relations Area Files volume I, menyadari bahwa keanekaragaman suku
yang berjudul Ethnic Groups of Insular bangsa di Indonesia justru menjadi penguat
Southeast Asia (LeBar, 1972). Setelah dekade identitas bangsa melalui konsep “kebudayaan
1960-an, lebih banyak lagi ahli antropologi nasional” dan bukannya pemicu disintegrasi
dari negara lain seperti Inggris, Jerman, bangsa seperti yang dikhawatirkan oleh pihak
Prancis, Kanada, Australia, dan Jepang yang pemerintah (Koentjaraningrat, 1987;
3
datang ke Indonesia untuk melakukan studi Ramstedt, 2005). Pada masa itu pula,
etnografi (Koentjaraningrat, 1987). Koentjaraningrat (1987) mengubah arah
Ketertarikan ahli antropologi antropologi di Indonesia, dari tradisi
mancanegara terhadap Indonesia sudah antropologi Belanda yang fokus pada kajian
dimulai sejak masa kolonial Belanda pada bahasa, sastra, hukum adat, dan sejarah
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada masa budaya,4 menjadi lebih ke sosial-budaya yang
itu, Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indië), berorientasi kepada tradisi antropologi
wilayah koloni Belanda di Asia Tenggara Amerika Serikat yang berfokus pada
yang sekarang menjadi Indonesia, menjadi transformasi sosial menuju modernisasi.
lokasi pusat penelitian dan pengembangan Antropologi di Indonesia, dalam hal
keilmuan antropologi untuk kepentingan ini di Universitas Indonesia (UI), kemudian
kolonialisasi. Catatan-catatan yang bersumber mengembangkan keilmuannya berdasarkan
dari pelancong, penjelajah, ahli geografi, empat cabang antropologi yang menjadi ciri
misionaris, serta pegawai-pegawai kolonial antropologi Amerika (The Four Fields), yaitu
menjadi batu fondasi bagi pengetahuan antropologi sosial budaya, antropologi fisik,
etnologi dan etnografi ahli antropologi linguistik, dan arkeologi. Untuk mewujudkan
Belanda mengenai masyarakat Indonesia hal tersebut, beberapa upaya dilakukan. Salah
(Koentjaraningrat, 1987; Prager, 2005: 180- satunya, kerja sama dalam bidang perkuliahan
189). Pasca-kemerdekaan, perkembangan antara antropologi dengan arkeologi dan
antropologi di Indonesia, khususnya oleh ahli linguistik, yang sudah menjadi departemen
antropologi berkebangsaan Indonesia, lebih tersendiri di Fakultas Sastra. Untuk
berkutat pada arah keilmuan aplikatif (applied antropologi fisik, Koentjaraningrat merasa
anthropology) yang diharapkan berperan bahwa Indonesia merupakan negara yang
dalam pembangunan bangsa dan persoalan sangat penting dalam kajian sejarah evolusi
integrasi nasional (Koentjaraningrat, 1974; manusia karena banyaknya penemuan fosil

Indonesia yang menghasilkan antropolog terkemuka melalui hasil disertasi mereka di Jawa, seperti C Geertz, H. Geertz,
E. J. Ryan, A. C. Dewey, dan R. R. Jay.
3
Pada perkembangannya, antropologi di Indonesia tidak pernah jauh dari isu pembangunan dan integrasi nasional,
seperti isu multikulturalisme, kebudayaan lokal (indigenous), serta globalisasi (lihat Alam, 1998; Suparlan, 2001; 2002;
Suryadinata, 2003). Setelah itu, perkembangan antropologi di Indonesia lebih mengarah kepada isu kajian
kewilayahan/lintas-negara, atau mencoba bergerak keluar dari Indonesia (studying others) dalam lingkaran isu politik
identitas (lihat Winarto dan Pirous, 2008).
4
Tradisi antropologi Belanda terutama fokus pada kajian hukum adat untuk kepentingan kodifikasi pemerintahan
kolonial pada masa itu (lihat Prager, 2005).
91
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

hominid, khususnya di Jawa. Sementara itu, bisa dibilang tidak secerah atau kurang
universitas-universitas di Indonesia lainnya dikenal jika dibandingkan dengan kajian-
masih mengikuti tradisi keilmuan Eropa yang kajian antropologi sosial budaya. Kendatipun
menempatkan antropologi fisik di demikian, beberapa kajian di dalam
Departemen Anatomi di Fakultas Kedokteran, antropologi biologi seperti paleoantropologi
seperti Universitas Gadjah Mada (UGM). (atau antropologi forensik yang lebih
Koentjaraningrat lalu berencana aplikatif) memiliki peran penting dalam
mengembangkan antropologi fisik di UI, dan perkembangan antropologi di Indonesia.
mencanangkan bahwa antropologi fisik dalam Tulisan ini merupakan upaya awal dalam
beberapa tahun ke depan akan menjadi bagian meninjau perjalanan studi antropologi biologi
dari Departemen Antropologi UI (lihat di Indonesia karena belum pernah dilakukan
Koentjaraningrat, 1987). sebelumnya. Beberapa tulisan atau hasil
Pada perkembangannya, antropologi penelitian dalam kajian antropologi biologi
fisik atau antropologi biologi5 di UI belum yang pernah dilakukan di Indonesia akan
benar-benar menjadi bagian sepenuhnya dari dibahas secara ringkas untuk memperlihatkan
Departemen Antropologi. Hingga saat ini, perkembangan studi antropologi biologi
misalnya, hanya ada dua mata kuliah yang Indonesia.
memberi mahasiswa dasar pengetahuan
antropologi biologi, yakni mata kuliah Ruang Lingkup Studi Antropologi Biologi
Antropologi Biologi dan Evolusi Manusia.6 di Indonesia: Hotspot Penelitian
Berbeda dengan antropologi biologi di
Universitas Airlangga (UNAIR) yang telah Indonesia, sebagai wilayah tropis yang
menjadi bagian dari Departemen Antropologi terletak di antara benua Asia dan Australia
dan menjadi peminatan tersendiri, yaitu menyimpan banyak misteri bagi para
antropologi ragawi, di samping antropologi ilmuwan, karena memiliki tingkat
sosial. Sementara itu, antropologi biologi di keanekaragaman tinggi pada makhluk hidup
UGM tetap berada di bawah Fakultas yang menempatinya, baik tumbuhan maupun
Kedokteran dan telah memiliki pusat kajian hewan, termasuk manusia. Tingginya tingkat
antropologi biologi, yaitu Laboratorium keanekaragaman inilah yang kemudian
Bioantropologi dan Paleoantropologi (LBP- menjadi faktor pendorong para ilmuwan
UGM). Di luar persoalan struktural organisasi untuk melakukan studi di Indonesia. Mungkin
keilmuan antropologi di Indonesia, pula keanekaragaman hayati inilah hal
perkembangan antropologi biologi mungkin pertama dari Indonesia yang paling dikenal

5
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara antropologi fisik dan antropologi biologi. Para ahli menggunakannya secara
bergantian karena saat ini di dalam antropologi fisik juga mempelajari biologi manusia serta aspek genetiknya dan tidak
terbatas pada anatomi atau osteologi, sehingga banyak juga yang menyebutnya dengan antropologi biologi. Di
Indonesia, selain UI, antropologi fisik lebih dikenal dengan nama antropologi ragawi yang merupakan terjemahan
langsung dari physical anthropology. Dalam tulisan ini, untuk selanjutnya, saya akan lebih menggunakan istilah
antropologi biologi dalam artian bidang studi seperti yang digunakan oleh para ahli saat ini dan bukan peminatan kajian
di dalam departemen antropologi.
6
Di UI, kedua mata kuliah tersebut tidak jauh berbeda dengan ketika Koentjaraningrat (1987) merencanakan
pengembangan antropologi fisik di Departemen Antropologi UI.

92
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

oleh para ilmuwan Eropa, terutama para cranium yang menunjukkan kondisi
naturalis. Hasil perjalanan Wallace (1823- bipedalisme diinterpretasikan sebagai “mata
1913) pada abad ke-19 di wilayah Nusantara rantai yang hilang” (Swisher et al., 2000).
menghasilkan gagasan yang serupa dengan Fosil tersebut kemudian disepakati bersama
teori evolusi yang dicetuskan oleh Darwin berusia 0,5 hingga 1,6 juta tahun atau berasal
(1809-1882).7 Tidak hanya itu, buku The dari masa awal hingga pertengahan
Malay Archipelago (1869) yang ditulisnya Pleistosen. Setelah itu, Dubois juga
juga menginspirasi banyak ilmuwan untuk menemukan beberapa fosil di Ngandong yang
datang dan melakukan penelitian ke berumur jauh lebih muda (± 50.000 tahun)
Indonesia. Tidak terkecuali Eugène Dubois dari asumsi-asumsi awal mengenai periode
(1858–1940), seorang ahli anatomi yang waktu hidupnya Homo erectus. Hal tersebut
datang ke Hindia-Belanda pada akhir abad ke- membawa kontroversi karena jika demikian,
19 karena terinspirasi tulisan Wallace yang berarti H. erectus pernah hidup pada masa
mengungkapkan bahwa Asia Tenggara yang sama dengan Homo sapiens (lihat
merupakan tempat tinggalnya orang utan dan Yokoyama et al., 2008). Hal itu secara tidak
siamang, spesies kera yang dianggap paling langsung menempatkan temuan Dubois pada
dekat dengan manusia (Theunissen, 1988; signifikansi yang kuat dalam perdebatan teori
Swisher et al., 2000). evolusi manusia dan keilmuan
Dubois datang ke Hindia-Belanda paleoantropologi, serta memosisikan Hindia-
karena percaya lokasi Nusantara yang Belanda sebagai salah satu lokasi penting
beriklim tropis serta memiliki banyak wilayah penelitian evolusi manusia.
pegunungan dan gua merupakan tempat ideal Dubois tidak sendiri. Ilmuwan lain
untuk menemukan fosil “mata rantai yang yang juga tertarik untuk datang ke Hindia-
hilang” (missing link) manusia modern seperti Belanda pada masa itu ialah von Koenigswald
yang diutarakan oleh Darwin (Theunissen, (1902–1982). Von Koenigswald melanjutkan
1988). Pada 1891 Dubois menemukan fosil penelitian Dubois dan sekitar tahun 1930-an
tempurung kepala (cranium), gigi geraham menemukan fosil di sekitar Sungai Bengawan
(molar), dan tulang paha (femur) yang Solo. Fosil tersebut kemudian diberi nama
kemudian dinamai “manusia Jawa” (the Java “manusia Solo” (Solo Man) atau Homo
Man) atau Pithecanthropus erectus8 di Trinil. erectus soloensis. Pada dekade yang sama ia
Fosil ini kemudian menjadi populer di dunia juga menemukan fosil cranium yang ia
keilmuan karena diakui sebagai leluhur namakan Pithecanthropus modjokertensis
manusia modern yang pertama kali ditemukan (Homo modjokertensis) di Mojokerto, serta
pada masa itu. pada tahun 1940-an menemukan
Penemuan Dubois pada masa itu bisa Meganthropus paleojavanicus (saat ini
dibilang “sensasional” karena fosil femur dan dinamakan Homo erectus paleojavanicus) di

7
Darwin, melalui bukunya The Descent of Man (1871), khususnya ketika menempatkan manusia dalam pohon
filogenetik spesies, berpendapat bahwa manusia merupakan hasil perkembangan proses berjenjang dari makhluk sejenis
kera (ape-like ancestors). Lebih lanjut, ia menyimpulkan bahwa nenek moyang manusia tersebut kemungkinan besar
hidup di wilayah tropis, yaitu benua Afrika.
8
Mayr (1950) kemudian mengklasifikasikan kembali Phitecanthropus erectus dan menempatkannya ke dalam spesies
Homo erectus.
93
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Sangiran. Temuan von Koenigswald9 penemuan fosil Homo floresiensis di Gua


berkontribusi besar bagi perkembangan teori Liang Bua, Flores, Indonesia timur. H.
evolusi manusia karena pada masa itu, banyak floresiensis begitu menarik dalam diskusi
ilmuwan yang percaya bahwa fosil tertua H. teori “Out of Africa”, selain karena hingga
erectus berada di Afrika dan Cina. Oleh kini belum ditemukan fosil serupa di tempat
karenanya, Fosil H. modjokertensis dan H. lain, juga karena memiliki postur tubuh yang
erectus paleojavanicus yang berusia kurang mungil (Brown et al., 2004; Morwood et al.,
lebih 1,5 juta tahun menghadirkan perdebatan 2005).12 Lebih lanjut, H. floresiensis
dan berimplikasi luas pada pemahaman diperkirakan juga masih hidup hingga 12.000
sebelumnya terhadap teori migrasi manusia tahun lalu, yang berarti spesies ini masih
“Out of Africa”.10 hidup berdampingan dengan manusia modern
Teori “Out of Africa”, yang sebelum kepunahannya (Morwood et al.,
mendiskusikan migrasi manusia purba 2004). Kajian terkini mengenai H. floresiensis
sebelum migrasi H. sapiens keluar dari menggambarkan sedikit perbedaan dari
Afrika,11 juga mendapatkan sumbangan dari temuan awal, yaitu mereka hidup di Flores

9
Von Koenigswald (1952) tidak hanya menganalisis fosil-fosil manusia purba, namun juga menganalisis sisa-sisa
kerangka tulang dan gigi manusia modern di Indonesia yang pada masa itu dikelompokkan ke dalam klasifikasi ras
Australomelanesioid. Ia mengusulkan pembagian ras tersebut menjadi Australoid dan Melanosoid serta menyimpulkan
bahwa mereka terdesak ke wilayah timur Indonesia hingga Polinesia akibat kedatangan ras/orang Indonesia (Melayu)
ke wilayah Malaya, Sumatra, dan Jawa pada 4.000 tahun yang lalu.
10
Semenjak Darwin (1871) menyatakan bahwa nenek moyang manusia berasal dari Afrika, karena simpanse dan gorila
(spesies yang paling dekat dengan manusia secara taksonomi) hanya ada/ditemukan di Afrika, banyak ilmuwan yang
mendasarkan dan menyimpulkan hasil temuan fosilnya berdasarkan teori tersebut, yaitu Hominid pertama berasal dari
Afrika yang kemudian bermigrasi ke benua lainnya. Hingga sebelum abad ke-21, dipercaya bahwa genus homo pertama
(H. erectus) baru keluar Afrika sekitar 0,8 – 1 juta tahun yang lalu, sementara fosil homo yang ditemukan di Asia (Cina
dan Jawa) diperkirakan berusia antara 0,3 – 0,9 juta tahun yang lalu (Pope, 1983). Perspektif tersebut begitu
mendominasi, meskipun temuan fosil H. erectus di Jawa oleh Dubois dan von Koenigswald membuktikan hal yang
bertentangan. Kini, disepakati bahwa kemungkinan H. erectus muncul di Afrika 2 juta tahun yang lalu dan bermigrasi
keluar dari Afrika lebih tua dari yang diperkirakan sebelumnya (Antón and Swisher, 2004). Temuan fosil di Jawa
kemudian disepakati berusia 1,49 juta tahun, berbeda dari perdebatan sebelumnya yang berusia antara 0,8 hingga 1,8
juta tahun (Swisher et al., 1994; Morwood, 2003; Dennell, 2010). Di samping itu, temuan manusia Dmanisi di Georgia
yang berusia 1,8 juta tahun (Ferring et al., 2011), serta penemuan terbaru di Shangchen Cina yang diestimasi berusia
2,1 juta tahun, memberikan indikasi bahwa H. erectus mungkin keluar dari Afrika lebih awal dari dugaan sebelumnya
(Zhu et al., 2018).
11
Oleh para ahli, teori “Out of Africa” dibagi menjadi dua, yaitu “Out of Africa I” dan “Out of Africa II”. Teori yang
pertama mengacu pada migrasi/ekspansi manusia purba (Hominin) dari Afrika sebelum keberadaan manusia modern,
sedangkan yang kedua mengacu pada migrasi manusia modern (H. sapiens). Perdebatan muncul, dalam hal ini, dari
pendukung Teori Evolusi Multiregional (Multiregional evolution hypothesis) yang berusaha menjelaskan bahwa
manusia modern saat ini berkembang dari beberapa nenek moyang (ancestor - hominid) yang terpisah di berbagai
belahan dunia. Namun, model “Out of Africa” lebih banyak mendapatkan konsensus dari para ilmuwan karena lebih
bisa menjelaskan bagaimana spesies hominid berevolusi, beradaptasi, serta bervariasi lewat mekanisme seleksi alam
(founder effect dan genetic drift) yang dicetuskan oleh Darwin (Stringer, 2012).
12
H. floresiensis, juga dikenal dengan sebutan si “Hobbit” atau manusia kerdil, dalam perdebatannya juga diduga
sebagai bentuk patologis (Microcephaly Hypothesis) dari manusia modern, dan bukan merupakan spesies manusia purba
tersendiri (Jacob et al., 2006). Namun begitu, banyak pendapat menyimpulkan bahwa H. floresiensis merupakan spesies
hominin tersendiri yang terpisah dari genus homo lainnya, seperti H. habilis, H. erectus, dan bahkan H. sapiens, serta
merupakan peninggalan purba dari hominin awal dengan usia paling tidak lebih dari satu juta tahun (Falk et al., 2005;
Brumm et al., 2010; Bergh et al., 2016; Argue et al., 2017).

94
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

antara 50.000 hingga 190.000 tahun yang lalu, Austronesia, yaitu model “Out of Taiwan”,
atau lebih tua dari hasil penanggalan menggambarkan bahwa populasi-populasi
sebelumnya (Sutikna et al., 2016). Meskipun yang ada di Indonesia saat ini berasal dari
demikian, hal ini tidak membatalkan nenek moyang penutur bahasa Austronesia
kemungkinan bahwa H. floresiensis pernah yang bermigrasi dari wilayah Cina bagian
menjalin kontak dengan manusia modern selatan ke Taiwan, lalu menuju ke arah selatan
dan/atau hominin lain, seperti manusia (Filipina dan kepulauan Nusantara) sekitar
Denisova yang, berdasarkan hasil analisis 4.000 tahun yang lalu. Mereka bermigrasi
DNA, ternyata pernah kawin silang sambil menyebarkan bahasa, pertanian
(interbreeding) dengan manusia modern agrikultur, tembikar, domestikasi hewan, dan
(Reich et al., 2010, 2011; Sutikna et al., tentu saja, juga genetiknya (lihat Blust, 1995;
2016). Diamond & Bellwood, 2003; Bellwood, 2006;
Penemuan dan bukti genetik adanya Lansing et al., 2011; Xu et al., 2012; Lipson
kawin silang manusia Denisova dengan et al., 2014). Skenario berbeda, dikenal
manusia modern (hybridization)13 merupakan dengan model “Out of Sundaland”,
hal yang enigmatic dalam diskusi evolusi menggambarkan hal yang berlawanan. Model
manusia (Cooper & Stringer, 2013). Fosil gigi ini menggambarkan penutur bahasa
bersama dengan DNA yang diekstraksi dari Austronesia justru berasal dari wilayah
tulang jari (distal phalanx) di gua Denisova, Nusantara. Mereka bermigrasi akibat naiknya
Pegunungan Altai Siberia, menggambarkan permukaan laut yang membanjiri Paparan
bahwa manusia Denisova pernah kontak Sunda pada akhir masa Pleistosen, sekitar
dengan leluhur manusia modern. Tidak hanya 11.000 tahun lalu (Solheim, 1984;
itu, gene flow akibat kawin silang Denisova Oppenheimer, 1999; Oppenheimer &
dengan manusia modern justru ditemukan Richards, 2001; Soares et al., 2008, 2011;
pada populasi-populasi Melanesia di wilayah Denham & Donohue, 2012; Brandão et al.,
timur Indonesia, Negrito Filipina, Papua 2016). Studi genetik, termasuk antropologi
Nugini, Oseania, Polinesia, dan Aborigin molekuler, yang juga dikuatkan dengan studi
Australia, alih-alih populasi yang berada di linguistik, menggambarkan fakta yang lebih
Afrika, Eropa, atau bahkan di daratan Asia kompleks daripada itu. Struktur genetik
Tengah dan Timur yang secara geografis lebih populasi-populasi di Indonesia digambarkan
dekat dengan Siberia (Reich et al., 2010, merupakan hasil dari beberapa proses arus
2011; Meyer et al., 2012; Vernot et al., 2016). migrasi bolak-balik dan tidak langsung atau
Analisis genetik pada manusia modern searah/lineal—dikenal dengan pulses and
di wilayah timur Indonesia juga menarik, pauses (Gray et al., 2009; Jinam et al., 2012;
karena menggambarkan proses migrasi Lipson et al., 2014; Soares et al., 2016;
manusia modern setelah masa Pleistosen dan Hudjashov et al., 2017).
Holosen, terutama dalam perdebatan ekspansi Dari penelusuran di atas nampak
populasi penutur bahasa Austronesia. bahwa penelitian-penelitian antropologi
Hipotesis dominan dalam studi migrasi biologi di Indonesia sejak awal memberikan

13
Sebelumnya, telah ditemukan adanya gene flow Neandertal pada gen manusia modern yang tinggal di wilayah Eurasia
(Green et al., 2010).
95
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

kontribusi signifikan terhadap perkembangan bidang ilmu antropologi biologi di Indonesia.


keilmuan antropologi dan biologi, khususnya Ketiadaan bidang pengajaran antropologi
pada pemutakhiran teori evolusi manusia dan biologi secara umum di universitas-
diskusi sejarah migrasi manusia di wilayah universitas Indonesia terutama disebabkan
Asia Tenggara. Lebih lanjut, Indonesia oleh sangat terbatasnya ketersediaan ahli
sebagai hotspot penelitian memiliki banyak antropologi biologi setelah berakhirnya masa
topik kajian yang masih perlu diteliti bakti para perintis tersebut. Beberapa
(understudied), terutama oleh ahli antropologi universitas mungkin menawarkan mata kuliah
biologi Indonesia. yang merupakan cabang kajian dari
antropologi biologi, seperti antropologi
Perkembangan Awal Antropologi Biologi forensik di fakultas kedokteran dalam
Indonesia: Manusia Purba, Ras, dan kaitannya dengan kedokteran forensik dan
Ethnogenesis arkeologi dalam konteks teknik ekskavasi
sisa-sisa kerangka tubuh manusia (Indriati,
Di Indonesia, ahli-ahli antropologi biologi 2009).15 Selain itu, kajian lainnya seperti
saat ini sangat sedikit atau bisa dibilang primatologi diajarkan terpisah di departemen
langka. Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, biologi dan lebih dikenal sebagai bagian dari
studi antropologi biologi (disebut juga dengan bidang ilmu biologi itu sendiri.16
antropologi fisik/ragawi) di Indonesia dirintis Sejarah perkembangan awal
oleh C. A. R. D. Snell dari Belanda,14 Adi antropologi biologi oleh para perintis,
Sukadana, dan Josef Glinka di UNAIR, Teuku meskipun dengan jumlah terbatas, dimulai
Jacob di UGM, dan Boedihartono (atau dari kajian-kajian paleoantropologi dan
Boedhihartono) di UI. Selain ketiga variasi fisik manusia seperti pada
universitas negeri tersebut, untuk saat ini bisa perkembangan studi antropologi biologi di
dibilang tidak ada lagi universitas yang dunia.17 Di Indonesia, kajian variasi fisik
memiliki ahli atau mengajarkan secara khusus manusia dan paleoantropologi dipelopori oleh

14
C. A. R. D. Snell banyak melakukan penelitian mengenai kerangka dan ras manusia di Indonesia. Ia menyimpulkan
bahwa sejarah ras manusia Indonesia dibentuk oleh percampuran (akibat kontak) antara ras Australomelanosoid dan
Malayan Mongoloid (lihat Snell, 1948; von Koenigswald, 1952).
15
Pada awalnya, pengajaran studi antropologi biologi di Indonesia dilangsungkan di fakultas kedokteran. Hal tersebut
bisa dipahami karena para perintis antropologi biologi pun sebenarnya berasal dari latar belakang ilmu kedokteran atau
anatomi manusia. Hal itu memang tidak mengherankan karena dasar keilmuan antropologi biologi dibangun dari atau
lebih condong/berat ke bidang ilmu sains (biologi dan anatomi) dan bukan sosial. Berdasarkan penelusuran saya, perintis
antropologi biologi di Indonesia pun berlatar pendidikan anatomi dan kedokteran. C. A. R. D. Snell merupakan ahli
anatomi dari Universitas Utrecht Belanda yang kemudian mengembangkan studi anatomi di Fakultas Kedokteran (FK)
UNAIR; Adi Sukadana (Lie Gwan Liong) berasal dari Bagian Anatomi FK UNAIR; Teuku Jacob lulusan FK UGM
pada tahun 1956; Josef Glinka merupakan pastor yang juga ahli anatomi; dan Boedihartono lulusan FK UI tahun 1960.
16
Beberapa ahli primatologi, sepengetahuan pribadi saya, berasal dari lulusan departemen biologi atau
kehutanan/lingkungan dan bukan dari antropologi.
17
Kemunculan antropologi biologi (fisik) di Eropa dan Amerika pada abad ke-18 dan 19 bermula dari minat para
ilmuwan (ahli anatomi) dalam mengklasifikasikan ras manusia yang didominasi oleh kajian anatomi, kraniologi, dan
biologi skeletal, bahkan sebelum antropologi biologi diformalkan sebagai satu studi tersendiri pada awal abad ke-20.
Setelah tahun 1930-an, terutama pada 1950-an, kajian antropologi biologi mulai berpusat ke asal usul manusia, primata,
dan evolusi manusia, serta variasi fisik manusia dengan teori evolusi Darwin dan genetika sebagai perspektif utama

96
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Teuku Jacob (1929-2007) yang mungkin Kajian paleoantropologi di Indonesia


paling produktif menuliskan karya ilmiah dan pada akhir dekade 1990-an juga sempat
berkontribusi dalam dunia akademis diwarnai oleh kasus penyelundupan fosil
internasional. Penemuan fosil H. erectus di manusia purba ke luar negeri. Boedhihartono
Indonesia banyak dipublikasikan oleh Teuku (1998) menceritakan bahwa spesimen fosil
Jacob, dan menurut saya, memiliki nilai tempurung kepala tersebut ditemukan di
keilmuan luar biasa dalam diskusi evolusi tepian Sungai Solo dan ingin dijual kepada
manusia (lihat Jacob, 1966, 1967a, 1972, kolektor/lembaga pengumpul benda
1973, 1975, 1978). Misalnya, Jacob (2001) purbakala di luar negeri (lembaga pendidikan
mengemukakan bahwa variasi yang muncul atau kolektor benda antik).18 Boedhihartono
pada fosil-fosil H. erectus di Indonesia berkesempatan untuk mengidentifikasi fosil
merupakan peran dari faktor isolasi geografis, tersebut, yang menurutnya dapat
ekologis, serta perilaku. Oleh karena itu, ia diklasifikasikan ke dalam H. erectus erectus
mengusulkan untuk mengklasifikasikannya dan sangat mirip dengan fosil H. erectus yang
ke dalam subspesies H. erectus dan bukan ditemukan di Sambungmacan. Ia kemudian
sebagai spesies yang terpisah. Ia juga mengemukakan bahwa fosil tersebut memberi
menjelaskan bahwa kemungkinan pernah kesan seolah H. erectus telah mengalami
berlangsung interaksi antara manusia purba proses yang ia sebut dengan sapientization.
(H. erectus) dengan manusia modern di Penelitian lebih lanjut oleh tim gabungan
Indonesia pada akhir masa Pleistosen (Jacob Amerika dan Indonesia (Teuku Jacob)
& Curtis, 1971; Jacob, 1974). Usulan tersebut menggambarkan bahwa spesimen tersebut
didukung dengan hasil analisis metode merupakan fosil H. erectus dengan morfologi
penanggalan uranium-series dan teknik ESR lebih modern dari fosil H. erectus yang
(Electron Spin Resonance) yang sebelumnya ditemukan di lokasi sekitar. Fosil
menyimpulkan bahwa paling tidak H. erectus tersebut juga memperlihatkan proses evolusi
masih hidup antara 100.000 hingga 50.000 in situ atau mungkin hanya variasi pada
tahun lalu di Ngandong, Jawa (Swisher et al., tingkatan individu dan bukan populasi (lihat
1996). Setelah itu, Jacob menyimpulkan Delson et al., 2001).
bahwa temuan H. floresiensis di Liang Bua Dalam kajian variasi fisik manusia di
merupakan H. sapiens yang bisa kita temukan Indonesia, para perintis ahli antropologi
di tempat lain, terutama di Flores, namun biologi juga berkontribusi pada diskusi
mengalami kondisi kekerdilan (microcephaly) keanekaragaman fisik dan suku bangsa
dan bukan spesies manusia purba (Jacob et al., (ethnogenesis) dalam payung studi evolusi
2006). manusia. Teuku Jacob, misalnya, berperan
dalam pengidentifikasian kelompok ras

yang melandasi keilmuan antropologi biologi. Semenjak periode tersebut, terutama pada 1960-an hingga 1980-an mulai
bermunculan cabang-cabang kajian antropologi biologi yang lebih spesifik, yaitu paleoantropologi, primatologi,
genetika manusia, tumbuh kembang manusia (human growth development), biologi populasi manusia, bioarkeologi,
dan antropologi forensik (lihat Little and Sussman, 2010: 13-38).
18
Pada akhirnya, spesimen tersebut ditemukan berada di toko Maxilla & Mandilla, Ltd., New York, pada tahun 1999
dan telah dikembalikan ke Indonesia serta disimpan di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi UGM dengan
nama Sambungmacan-3 (lihat Delson et al., 2001).
97
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Australomelanosoid dan Malayan Mongoloid hibridisasi karakter morfologis pada populasi-


di Indonesia melalui analisis gigi yang populasi di Nusa Tenggara (Glinka &
menurutnya berkaitan dengan sejarah asal Koesbardiati, 2007; Glinka et al., 2010).
usul orang Indonesia dan kemungkinan Dalam konteks yang berbeda,
migrasi mereka ke wilayah barat Pasifik Boedhihartono (1979) melakukan analisis
(Jacob, 1964; 1967b). Ia menekankan pula komparasi variasi pola sidik jari antarseks dan
bahwa variasi fisik manusia di Indonesia tidak antarpopulasi di Jawa. Ia membandingkan
hanya tercipta karena campuran kedua ras hasilnya dengan populasi di Jepang, Korea,
tersebut, tetapi juga hasil dari proses adaptasi, dan Maya. Boedhihartono menggambarkan
isolasi, dan genetic drift pada tiap populasi di bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan
lingkungan yang berbeda-beda (Jacob, 1974). antara variasi pola sidik jari orang Jawa
Sejalan dengan penelitian Teuku dengan populasi lainnya tersebut. Namun
Jacob mengenai klasifikasi ras orang-orang demikian, perbedaannya ternyata tidak
Indonesia, Josef Glinka mendedikasikan istimewa jika disandingkan dengan populasi
karier akademisnya pada kajian variasi fisik yang ada di Jawa. Lebih lanjut, ada perbedaan
manusia Indonesia.19 Glinka melakukan yang sangat signifikan pada jumlah sulur total
penelitian mengenai variasi morfologis orang (total ridge count) antara laki-laki dengan
Indonesia yang ia klasifikasikan ke dalam tiga perempuan dalam populasi-populasi yang ada
morfotipe ras, yaitu Protomalayid di Jawa. Ia kemudian menyimpulkan bahwa
(Australomelanosoid), Deutromalayid kromosom X dan Y jauh lebih berperan dalam
(Mongoloid), dan Dayakid. Menurutnya, variasi pola sidik jari daripada kelompok
karakter morfologis Protomalayid merupakan populasi (ras).
ciri populasi awal yang mendiami Indonesia Di UI, Boedhihartono lebih banyak
sebelum pada akhirnya tergusur ke wilayah melakukan kajian biososial dan antropologi
timur karena desakan migrasi populasi medis, di samping paleoantropologi dan
Deutromalayid dari daratan Asia. Sebelum variasi fisik manusia. Profesinya sebagai
itu, ada migrasi populasi dari Taiwan dan dokter praktik (physician), di samping
Filipina ke Kalimantan (Borneo) yang akademisi, memungkinkannya melakukan
bercampur dengan Protomalayid. Setelah itu, kajian tersebut. Ia pun melihat ada
mereka lalu mengembangkan karakteristik keterhubungan antara antropologi biologi
morfologi tersendiri di wilayah pedalaman dengan kajian antropologi medis. Salah satu
Kalimantan karena gelombang migrasi publikasinya menggambarkan bagaimana
Deutromalayid. Ia kemudian mengemukakan praktik dukun berobat atau “orang pinter”
bahwa ada indikasi migrasi arus balik (traditional healers) tetap populer di Jawa.
populasi Protomalayid dari wilayah timur Menurutnya, popularitas mereka dengan
Indonesia ke arah barat yang tergambar dari metode pengobatan tradisionalnya disebabkan

19
Bahkan sebelum bergabung dengan Departemen Antropologi UNAIR pada tahun 1985, Josef Glinka melakukan
penelitian untuk disertasi doktoralnya dengan topik karakteristik fisik pada penduduk Pulau Palue, Nusa Tenggara
Timur, pada tahun 1966-1967. Disertasinya berjudul “Asal Mula Penduduk Pulau Palue Ditinjau dari Ukuran-ukuran
Antropometri” membahas tentang adanya afiliasi penduduk Pulau Palue dengan populasi lainnya di Flores, Lio, dan
Manggarai berdasarkan tinjauan morfologis mereka (lihat Koesbardianti, dalam Rurit, 2018: 66-75).

98
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

adanya “kenyamanan” pasien, terutama di lebih tua. Di samping itu, fosil H. erectus
desa-desa. Bagi orang-orang di kota, Jawa memiliki variasi morfologis, seperti
konsultasi dengan dokter malah tingkat dimorfisme seksual yang tinggi,
memunculkan rasa “frustrasi” karena ternyata karena mengalami evolusi in situ akibat
tidak membuat mereka menjadi lebih baik isolasi (mikroevolusi) atau penggantian
atau sembuh dari penyakitnya populasi (population replacement) sebagai
(Boedhihartono, 1982). dampak dari migrasi. Oleh karena itu, ia lalu
mengusulkan bahwa variasi morfologis H.
Tren Terkini Studi Antropologi Biologi di erectus di Jawa sebaiknya disimpulkan
Indonesia sebagai subspesies, yaitu H. e. erectus dan H.
e. soloensis (Kaifu et al., 2005, 2008, 2010;
Sejarah antropologi biologi di Indonesia Indriati & Antón, 2008, 2010). Lebih lanjut, ia
berawal dari kajian paleoantropologi serta juga merevisi hasil penelitian sebelumnya
variasi fisik manusia dalam diskusi evolusi mengenai umur fosil H. erectus Jawa
manusia yang dipelopori Teuku Jacob, Josef (Swisher et al., 1996). Dengan metode yang
Glinka, dan Boedhihartono. Pada sama, ditambah dengan teknik penanggalan
perkembangannya, antropologi biologi di argon (40Ar/39Ar), ia memberikan kesimpulan
Indonesia kemudian menyentuh dan berbeda. Menurutnya, H. erectus di Jawa
bersinggungan dengan bidang kajian lain di paling tidak hanya bertahan hingga 143.000
antropologi sosial budaya, seperti antropologi hingga 550.000 tahun yang lalu. Hal itu
medis. Tidak hanya itu, para ahli antropologi berarti bahwa H. erectus di Jawa tidak pernah
biologi generasi berikutnya, tidak hanya bertemu atau bahkan berinteraksi dengan H.
meneruskan dan menyempurnakan kajian sapiens, karena mereka telah punah sebelum
yang telah dirintis oleh guru mereka, tetapi H. sapiens (Indriati et al., 2011).
juga mengembangkan cabang kajian lain, Pada perkembangan lainnya, analisis
yaitu antropologi forensik, antropologi gigi, kranial dan gigi juga digunakan pada kajian
dan biososial manusia. antropologi gigi (dental anthropology) dalam
Kajian paleoantropologi di UGM, pembahasan evolusi manusia dan variasi fisik
misalnya, tidak hanya berhenti di Teuku manusia di Indonesia. Rusyad A. Suriyanto
Jacob, namun dilanjutkan oleh muridnya, Etty (UGM) dan Toetik Koesbardiati (UNAIR)
Indriati. Seperti Jacob, Indriati melakukan mengidentifikasi pola migrasi ras
penelitian evolusi manusia melalui analisis Australomelanosoid dengan Mongoloid
fosil hominid. Ia bersama koleganya, dengan melalui hubungan afinitas ras berdasarkan
analisis kranial dan gigi, menggambarkan analisis fosil kranial manusia modern yang
bahwa H. erectus di Jawa kemungkinan ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia.
berasal langsung dari H. erectus di Afrika Hasil dari penelitian tersebut menggambarkan
yang bermigrasi ke Eurasia pada masa awal bahwa pola migrasi kedua ras tersebut di
Pleistosen. Menurutnya, fosil H. erectus Jawa Indonesia seperti gerakan bolak-balik
memiliki ciri relatif lebih purba atau serupa pendulum. Migrasi ras Mongoloid dari
jika dibandingkan fosil H. erectus di Dmanisi, daratan Asia Tenggara “menggusur” populasi
Georgia, atau di Afrika Timur yang berumur ras Australomelanosoid hingga ke wilayah
99
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

timur Indonesia. Setelah itu, ras karakter gigi kelompok Sahul Pacific (Papua
Australomelanosoid bermigrasi kembali Nugini) dan Sino-America (Cina, Mongolia,
(mendesak) ke arah barat, namun hanya bisa Amerika Utara dan Selatan). Ciri tersebut
sampai wilayah barat Jawa. Lalu, migrasi ras menurutnya menggambarkan campuran
Mongoloid kembali hadir dari utara (Filipina (admixture) populasi sebagai akibat dari
dan Sulawesi) yang mendesak kembali ras dinamika migrasi manusia modern di wilayah
Australomelanosoid hingga kini Indonesia selama ribuan tahun (Artaria, 2007;
(Koesbardiati & Suriyanto, 2007a). 2010). Dengan kajian antropologi gigi, ia juga
Koesbardiati dan Suriyanto juga mengidentifikasi perbedaan gigi antara jenis
membahas lebih lanjut sebaran dan migrasi kelamin (laki-laki dan perempuan) melalui
kedua ras tersebut melalui analisis modifikasi pengukuran diameter mesiodistal,
gigi. Menurut mereka, praktik modifikasi buccolingual, dan mahkota gigi. Perbedaan
gigi, dalam hal ini misalnya pengikiran gigi tersebut dimungkinkan karena kontribusi
sebagai tradisi ritual inisiasi, paling tidak telah ekspresi gen dari kromosom Y yang berperan
berlangsung sejak masa Mesolitik hingga dalam ketebalan enamel dan denting,
akhir Neolitik, yaitu berkisar antara 10.000 sedangkan kromosom X hanya pada enamel
hingga 4.000 ribu tahun lalu. Praktik tersebut (Artaria & Herijadi, 2011; Priyambadha &
diperoleh dari orang-orang ras Mongoloid Artaria, 2016).
yang bermigrasi ke wilayah Nusantara. Kajian antropologi gigi, beserta
Mereka kemungkinan berhasil menyebarkan variasi fisik manusia dan paleoantropologi
tradisi tersebut karena pengaruhnya dapat kemudian juga digunakan pada kajian
dilihat dari sebaran praktik modifikasi gigi di antropologi forensik di Indonesia. Sebagai
wilayah tengah dan timur Indonesia, bahkan kajian aplikatif, antropologi forensik
hingga ke populasi-populasi ras mendasarkan keilmuan dan cara kerjanya
Australomelanosoid di Australia dan pada antropologi biologi, mulai dari deteksi
Polinesia (Koesbardiati & Suriyanto, 2007b; rangka manusia pada permukaan tanah hingga
Suriyanto & Koesbardiati, 2010; Koesbardiati rekonstruksi raut muka, melalui analisis
et al., 2015). Di Jawa, praktik modifikasi gigi osteologi, gigi, dan anatomi manusia (Indriati,
juga ditemukan pada keluarga kerajaan atau 2004). Ahli antropologi forensik di Indonesia
pemuka agama di masa kerajaan Majapahit sering membantu penyidik kepolisian sebagai
(Koesbardiati, 2016). konsultan akademis dalam mengidentifikasi
Hasil kajian antropologi gigi juga korban tindakan kriminal yang tubuh
menggambarkan variasi ciri morfologis jenazahnya—bahkan yang masih janin—
(fenotip) gigi orang-orang di Jawa sebagai sudah tidak utuh lagi (Indriati, 1999). Indriati,
cerminan dari populasi campuran. Hasil Koesbardiati, dan Suriyanto merupakan
penelitian Myrtati D. Artaria (UNAIR) bagian dari tim DVI (Disaster Victim
menunjukkan bahwa mayoritas karakter gigi Identification) kepolisian Indonesia yang
orang-orang Jawa di Surabaya memiliki ciri bertugas mengidentifikasi korban bencana
kelompok Sunda Pacific (Asia Tenggara), alam, kecelakaan transportasi, serta dalam
meskipun ada sedikit ciri yang mencerminkan

100
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

beberapa kasus, pelaku peledakan bom (lihat Penutup


Indriati, 2009, 2014).
Penelitian antropologi biologi lainnya Kajian-kajian dalam studi antropologi biologi
yang dapat membantu atau menjadi sarana di Indonesia kini memperlihatkan arah yang
konsultasi pihak pemerintah ialah penelitian- dinamis, meskipun dengan jumlah terbatas,
penelitian dalam kajian biososial manusia. dalam hal keberadaan ahli dan ragam
Kajian tersebut, terkadang juga dianggap publikasinya, jika dibandingkan dengan
sama dengan sosiobiologi, berusaha antropologi sosial budaya. Ahli antropologi
menjelaskan bagaimana perilaku manusia biologi di Indonesia saat ini hanya berjumlah
dapat dipahami melalui analisis teori evolusi hitungan jari tangan saja dan belum
biologi, yaitu konsep seleksi alam. Secara memperlihatkan regenerasi yang positif. Hal
sederhana, kajian biososial menggambarkan itu menurut saya tidak mengherankan, karena
adanya saling keterhubungan antara sebagai cabang ilmu antropologi, antropologi
lingkungan alam, kondisi biologis manusia, biologi merupakan studi yang paling kurang
dan aspek sosial budaya dalam menjelaskan dikenal dan/atau kurang diminati, bahkan oleh
perilaku manusia. Penelitian-penelitian mahasiswa antropologi.20
biososial juga sangat bersinggungan atau Dalam antropologi, seperti yang ada di
dekat dengan kajian antropologi medis, Indonesia, posisi kajian-kajian antropologi
seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh biologi seolah berada di dalam gugus
Lucy D. Hendrawati. Salah satu penelitiannya tersendiri yang jauh terpisah dengan kajian-
melihat hubungan antara musim kawin dan kajian antropologi sosial budaya.21 Padahal,
variasi kelahiran anak pertama dengan tradisi kedua cabang studi tersebut sebetulnya saling
kepercayaan Jawa Pitungan. Menurutnya, mengisi. Ingold (2000: 3) mengemukakan
pemerintah, dalam hal ini penyedia layanan bahwa manusia terbentuk baik sebagai
kesehatan, sebaiknya memperhitungkan “organisme” di dalam sistem ekologis
aspek tersebut karena tradisi Pitungan pada (ecological relations), maupun sebagai
akhirnya akan berhubungan dengan kesiapan “orang” di dalam sistem sosial (social
rumah sakit, misalnya untuk menerima relations). Hal itu berarti bahwa manusia
jumlah pasien pada waktu tertentu tidak tersusun atas dua bagian yang
(Hendrawati dalam Rurit, 2018). digabungkan bersama dengan bahan pelekat
(seperti roti sandwich), melainkan sebagai
satu kesatuan–rangkaian–utuh yang

20
Posisi departemen antropologi yang berada di bawah fakultas ilmu sosial atau budaya, miskonsepsi bahwa antropologi
“hanya” mempelajari kebudayaan atau sekadar ilmu sosial yang tak harus mempelajari ilmu sains, menjadi beberapa
sebab ketidakpopuleran antropologi biologi di kalangan mahasiswa. Selain itu, mereka, yang sebagian besar ialah
peminat ilmu sosial, beranggapan bahwa antropologi biologi sangat sulit untuk dipelajari/dikuasai (memang betul). Hal
tersebut juga ditambah dengan penggunaan analisis statistik yang membuat mereka semakin enggan untuk
mempelajarinya lebih lanjut.
21
Ingold (2007) menceritakan bahwa seolah ada pemisahan atau ketidakakuran antara bagian sosial budaya dan biologi
di dalam antropologi. Ia melihat bahwa ahli antropologi sosial budaya lebih memilih “mengobrol” dengan ahli linguistik
atau sejarah, dan sebaliknya, ahli antropologi biologi lebih memilih para ahli biologi. Menurutnya, dikotomi tersebut
bersumber dari pengertian (konsep) dasar manusia itu sendiri, yaitu sebagai “makhluk biologis” atau “makhluk sosial”,
yang menjadi acuan para ahli di kedua bidang studi tersebut (Ingold, 2000: 1-2).
101
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

terbangun atas saling keterhubungan satu berdasarkan struktur DNA mereka.22


sama lain. Ingold (2000, 2017) memberi Antropologi molekuler, dalam hal ini,
contoh keterampilan (skills) pada manusia mengkaji keterhubungan antara perubahan
yang menurutnya terbangun dari kebudayaan dan biologi (genetik) dalam
keterhubungan (correspondence) antara penggambaran suatu populasi, termasuk
lingkungan, tubuh, dan pikiran di dalam diri rangkaian proses sejarah peristiwa migrasi,
seseorang (organic beings). yang membentuk keanekaragaman suatu
Banyak penelitian dalam kajian populasi manusia (Destro-Bisol et al., 2010).
antropologi biologi yang memperlihatkan Dalam konteks Indonesia, misalnya, berbagai
keterhubungan hal tersebut secara kontinum ciri dan karakter (morfologi) fisik, genetik,
dengan eksplisit (lihat O’Brien & Laland, serta kebudayaan dan bahasa masyarakatnya
2012). Contoh paling sederhana ialah kajian terbentuk karena kompleksitas peristiwa
mengenai kemampuan manusia mencerna migrasi pada masa lampau (Karafet et al.,
laktosa (lactose-tolerant/persistence) yang 2010; Lansing et al., 2011; Xu et al., 2012;
ditemukan pada masyarakat Tumonggor et al., 2013). Hal ini, menurut
peternak/penggembala sapi di Eropa. saya, sangat dapat menjelaskan mengapa
Kemampuan manusia dalam mencerna variasi fisik (ras) dan bahasa manusia di
laktosa merupakan hasil koevolusi antara gen Indonesia sangat beraneka ragam. Dengan
dan budaya (gene-culture coevolution) yang kata lain, antropologi molekuler juga
baru berlangsung selama 400 generasi dan memberikan penjelasan dari mana nenek
paling tidak berkontribusi pada pandangan moyang orang-orang di Indonesia saat ini
atas meminum susu sapi sebagai nilai budaya berasal (lihat Lipson et al., 2014).
luhur Eropa dan Amerika (lihat Beja-Pereira Bagi saya, barangkali juga bagi rekan-
et al., 2003; Wiley, 2004; Hollox, 2005). rekan pengkaji antropologi sosial budaya,
Contoh lain, tingginya prevalensi Diabetes kajian antropologi molekuler dengan topik
Melitus tipe 2 pada populasi-populasi di bahasan sejarah migrasi manusia di Indonesia
Polinesia karena efisiensi metabolisme dapat berkontribusi dalam menjelaskan
(thrifty metabolism) tubuh mereka sebagai keanekaragaman suku bangsa dan
hasil positif dari tekanan seleksi alam ketika kebudayaan mereka. Selain itu, hasil
menjelajahi lautan dalam kondisi cold stress penelitian tersebut tentunya dapat
(hipotermia) dan kelaparan (Helgason et al., memberikan wawasan dan/atau pengetahuan
2007; Myles et al., 2007). yang berarti mengenai sejarah nenek moyang
Kajian lain, yaitu antropologi atau asal usul suku bangsa tiap mahasiswa
molekuler, berusaha melihat proses (atau orang Indonesia secara umum) dalam
menjadinya suatu “masyarakat” serta materi perkuliahan di Departemen
perubahan demografisnya (peopling process) Antropologi. Dengan demikian, dalam tataran
melalui rekonstruksi sejarah populasi manusia yang lebih makro, mereka bisa lebih

22
Dengan kata lain, kajian antropologi molekuler menggunakan bukti genetik untuk dapat menjelaskan asal usul
manusia (human origins), sejarah populasinya, termasuk bagaimana seleksi alam berperan dalam evolusi manusia dan
dampak praktik budaya terhadap variasi genetik manusia (lihat Jobling et al., 2014; Stoneking, 2017).

102
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

menjelaskan dan menggambarkan mengapa perhatiannya dari kajian antropologi sosial


setiap individu (yang mewakili suatu budaya yang cenderung semakin membawa
kelompok atau suku bangsa) di Indonesia ahli antropologi ke lingkaran perdebatan
bervariasi. Dengan demikian, tujuan politik identitas dengan mengabaikan—atau
pembelajaran antropologi, yaitu pemahaman tanpa mempertimbangkan—penjelasan
akan relativisme budaya, dapat benar-benar saintifik di dalam analisisnya. Selanjutnya,
tercapai dan dihayati seperti tujuan awal integrasi antara kajian sosial budaya dan
pendirian Departemen Antropologi oleh biologi akan membuat antropologi di
Koentjaraningrat (1987), yaitu berkontribusi Indonesia lebih dapat menjelaskan manusia
dalam persoalan pembangunan dan integrasi sebagai pusat dinamika keterhubungan antara
nasional (lihat Visser, 1988; Ramsteidt, makhluk biologis dan sosial atau yang Ingold
2005). (2004) katakan sebagai “... a science of
Beberapa tahun belakangan, muncul engagement in a relational world”. Suatu hal
beragam wacana seputar penggunaan istilah yang menurut saya sangat relevan dengan
“pribumi” atau orang asli Indonesia yang konteks masyarakat Indonesia yang
dapat mengarah pada konflik sosial atau multikultur.
memicu persoalan integrasi nasional di masa
depan. Dalam hal ini, penjelasan sosial Ucapan Terima Kasih
budaya mengenai “pribumi” saja menurut
saya tidak bisa dikatakan cukup jika tidak Terima kasih kepada Dave Lumenta, Hestu
diintegrasikan dengan penjelasan antropologi Prahara, Imam Ardhianto, Rhino
biologi, yaitu antropologi molekuler dengan Ariefiansyah, dan Semiarto Aji Purwanto
kajian migrasi manusia dan genetiknya (lihat yang telah memberi masukan serta
Sudoyo, 2017). Saya berpendapat, melalui sumbangsih ide pada draf awal tulisan ini dan
pengembangan antropologi biologi, juga kepada anonymous reviewers atas saran
antropologi akan dapat “mengalihkan” dan komentarnya.

103
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Referensi

Alam, B.
1998 “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan”, Antropologi
Indonesia 54: 1-11.

Antón, S.C. and C.C. Swisher III


2004 “Early Dispersals of Homo from Africa” Ann. Rev. Anthropol 33: 271-296.

Argue, D., C.P. Groves, M.S.Y. Lee, et al.


2017 “The Affinities of Homo floresiensis Based on Phylogenetic Analyses of Cranial,
Dental, and Postcranial Characters”, Journal of Human Evolution 107: 107-133.

Artaria, M.D.
2007 “Dental Trait Variation and Age Determination Based on Dental Wear: A Preliminary
Study of Javanese”, Dental Anthropology 20: 41-43.
2010 “The Dental Traits of Indonesian Javanese”, Dental Anthropology 23: 74-78.

Artaria, M.D. and B.S. Herijadi


2011 “Dental Measurements of Deuteromalayid Javanese Students of the Faculty of
Dentistry in Airlangga University”, Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi) 44(3):
122-126.

Beja-Pereira, A., G. Luikart, P.R. England, et al.


2003 “Gene-Culture Coevolution between Cattle Milk Protein Genes and Human Lactase
Genes”, Nature Genetics 35(4): 311-312.

Bellwood, P.
2006 “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and
Transformation,” in Bellwood, P., J.J. Fox, and D. Tryon (eds.), The Austronesians:
Historical and Comparative Perspective. Canberra: ANU Press. Pp. 103-118.

Bergh, G.D. van den, Y. Kaifu, I. Kurniawan, et al.


2016 “Homo floresiensis-like Fossils From the Early Middle Pleistocene of Flores”, Nature
534: 245-248.

Blust, R.
1995 “The Prehistory of the Austronesian-Speaking Peoples: A View from Language”,
Journal of World Prehistory 9(4): 453-510.

104
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Boedhihartono
1979 “‘Ètude Comparative Des Empreintes Digitales Inter-Sexes Et Inter-Populationnelles
De Deux Populations Javanaises”, L’Anthropologie, 83(2): 260-268.
1982 “Current State and Future Prospects of Traditional Healers in Indonesia”, in Mitchell,
D. (ed.), Indonesian Medical Traditions: Bringing Together the Old and the New.
Melbourne: Monash University Press. Pp. 21-34.
1998 “A New Homo erectus Finding”, Antropologi Indonesia 54(21): 121-125.

Brandão, A., K.K. Eng, T. Rito, et al.


2016 “Quantifying the Legacy of the Chinese Neolithic on the Maternal Genetic Heritage of
Taiwan and Island Southeast Asia”, Human Genetics 135(4): 363-376.

Brown, P., T. Sutikna, M.J. Morwood, et al.


2004 “A New Small-Bodied Hominin from the Late Pleistocene of Flores, Indonesia”,
Nature 431: 1055-1061.

Brumm, A., G.M. Jensen, G.D. van den Bergh, et al.


2010 “Hominin on Flores, Indonesia, by One Million Years Ago”, Nature 464: 748-752.

Cooper, A. And C.B. Stringer


2013 “Did the Denisovan Cross Wallace’s Line?” Science 342: 321-323.

Darwin, C.
1871 The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex. London: John Murray.

Delson, E., K. Harvati, D. Reddy, et al.


2001 “The Sambungmacan 3 Homo erectus Calvaria: A Comparative Morphometric and
Morphological Analysis”, The Anatomical Record: An Offical Publication od the
American Association of Anatomists 262(4): 380-397.

Denham, T. and M. Donohue


2012 “Lack of Correspondence between Asian-Papuan Genetic Admixture and Austronesian
Language Dispersal in Eastern Indonesia”, Proc. Natl. Acad. Sci. USA 109(39): E2577.

Dennell, R.
2010 ‘”Out of Africa I”: Current Problems and Future Prospects’ in Fleagle, J.G., J.J. Shea,
F.E. Grine, et al. (eds.), Out of Africa I: The First Hominin Colonization of Eurasia.
Dordrecht: Springer. Pp. 247-273.

105
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Destro-Bisol, G., M.A. Jobling, J. Rocha, et al.


2010 “Molecular Anthropology in the Genomic Era”, Journal of Anthropological Sciences
88: 93-112.

Diamond, J. & P. Bellwood


2003 “Farmers and Their Languages: The First Expansions”, Science 300(5619): 597-603.

Falk, D., C. Hildebolt, K. Smith, et al.


2005 “The Brain of LB1, Homo floresiensis”, Science 308: 242-245.

Ferring, R., O. Oms, J. Agusti, et al.


2011 “Earliest Human Occupations at Dmanisi (Georgian Caucasus) Dated to 1.85-1.78
Ma”, Proc. Natl. Acad. Sci. 108(26): 10432-10436.

Geertz, C.
1960 The Religion of Java. Illinois: The Free Press.

Glinka, J. and T. Koesbardiati


2007 “Morfotipe Wajah dan Kepala di Indonesia: Suatu Usaha Identifikasi Variasi
Populasi”, Jurnal Anatomi 1(2): 41-46.

Glinka, J., M.D. Artaria, and T. Koesbardiati


2010 “The Three Human Morphotypes in Indonesia”, Indonesian Journal of Social Sciences
2(2): 70-76.

Gray, R.D., A.J. Drummond, and S.J. Greenhill


2009 “Language Phylogenies Reveal Expansion Pulses and Pauses in Pacific Settlement”,
Science 323: 479-483.

Green, R.E., J. Krause, A.W. Briggs, et al.


2010 “A Draft Sequence of the Neandertal Genome”, Science 328: 710-722.

Helgason, A., S. Pálsson, G. Thorleifsson, et al.


2007 “Refining the Impact of TCF7L2 Gene Variants on Type 2 Diabetes and Adaptive
Evolution”, Nature Genetics 39(2): 218-225.

Hollox, E.
2005 “Genetics of Lactase Persistence – Fresh Lessons in the History of Milk Dringking”,
European Journal of Human Genetics 13: 267-269.

106
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Hudjashov, G., T.M. Karafet, D.J. Lawson, et al.


2017 “Complex Patterns of Admixture Across the Indonesian Archipelago”, Molecular
Biology and Evolution 34(10): 2439-2452.

Indriati, E.
1999 “The Roles of Forensic Anthropology in Fetal Death Investigation”, Berkala Ilmu
Kedokteran 31(3): 181-187.
2004 Antropologi Forensik: Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi Antropologi Biologis
dalam Konteks Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2009 “Historical Perspectives on Forensic Anthropology in Indonesia”, In Blau, S. And D.H.
Ubelaker. Handbook of Forensic Anthropology and Archaeology. California: Left
Coast Press. Pp. 115-125.
2014 “Forensic Antropological Roles in Disaster Victim Identification of Two Jakarta
Hotels’s Bomb Blasts”, Damianus Journal of Medicine 13(2): 148-157.

Indriati, E. and J.E. Buikstra


2001 “Coca Chewing in Prehistoric Coastal Peru: Dental Evidence”, Am. J. Phys. Anthropol.
114(3): 242-257.

Indriati, E. and S.C. Antón


2008 “Earliest Indonesian Facial and Dental Remains from Sangiran, Java: A Description of
Sangiran 27”, Anthropological Science 116(3): 219-229.
2010 “The Calvaria of Sangiran 38, Sendangbusik, Sangiran Dome, Java”, Homo 61(4):
225-243.

Indriati, E., C.C. Swisher III, C. Lepre, et al.


2011 “The Age of the 20 Meter Solo River Terrace, Java, Indonesia and the Survival of
Homo erectus in Asia”, PloS ONE 6(6): e21562.

Ingold, T.
2000 The Perception of the Environment: Essays on Livelihood, Dwelling, and Skill.
London: Routledge.
2004 “Beyond Biology and Culture. The Meaning of Evolution in a Relational World”,
Social Anthropology 12(2): 209-221.
2007 “The Trouble with Evolutionary Biology”, Anthropology Today 23(2): 13-17.
2017 “On Human Correspondence”, Journal of the Royal Anthropological Institute 23(1): 9-
27.

107
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Jacob, T. A.
1964 “A Human Mandible from Anjar Urn Field, Indonesia”, J. Nat. Med. Assoc. 56(5):
421-426.
1966 “The Sixth Skull Cap of Pithecanthropus erectus”, Am. J. Phys. Anthropol. 25(3): 243-
260.
1967a “Recent Pithecanthropus Finds in Indonesia”, Current Anthropology 8(5): 501-504.
1967b “Racial Identification of the Bronze Age Human Dentitions from Bali, Indonesia”, J.
Dent. Res. 46: 903-910.
1972 “New Hominid Finds in Indonesia and their Affinities”, The Australian Journal of
Anthropology 8(3): 176-181.
1973 “Paleoanthropological Discoveries in Indonesia With Special Reference to the Finds of
the Last Two Decades”, Journal of Human Evolution 2: 473-485.
1974 “Studies on Human Variation in Indonesia”, J. Nat. Med. Assoc. 66(5): 389-399.
1975 “The Pithecanthropines of Indonesia”, Bull. et Mém. de la Soc. d’Anthrop. de Paris.
2(3): 243-256.
1978 “New Finds of Lower and Middle Pleistocene Hominines From Indonesia and an
Examination of ther Antiquity”, in Ikawa-Smith, F. (Ed.), Early Paleolithic in South
and East Asia. The Hague: Mouton. Pp. 13-22.
2001 “Biological Aspects of Homo Erectus through the Time-Space Continuum”, in T.
Simanjuntak, B. Prasetyo, and R. Handini (eds.), Sangiran: Man, Culture, and
Environment in Pleistocene Times. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pp. 19-23.

Jacob, T.A. and G.H. Curtis


1971 “Preliminary Potassium-Argon Dating of Early Man in Java”, Contributions of the
University of California Archaeological Research Facility 12: 50.

Jacob, T.A., E. Indriati, R.P. Soejono, et al.


2006 “Pygmoid Austromelanesian Homo sapiens skeletal remains from Liang Bua, Flores:
Population Affinities and Pathological Abnormalities”, Proc. Natl. Acad. Sci. USA.
103(36): 13421-13426.

Jinam, T.A., L-C. Hong, M.E. Phipps, et al.


2012 “Early Train Hypothesis Based on Genetic Analysis of Mitochondrial and Autosomal
DNA Data”, Molecular Biology and Evolution 29: 3513-3527.

Jobling, M., E. Hollox, M. Hurles, et al.


2014 Human Evolutionary Genetics. 2nd ed. New York: Garland Science.

108
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Jong, P.E. de Josselin de


1980 Minangkabau and Negri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia. ‘s-
Gravenhage: Martinus Nijhoff

Kaifu, Y., H. Baba, F. Aziz, et al.


2005 “Taxonomic Affinities and Evolutionary History of the Early Pleistocene Hominids of
Java: Dentognathic Evidence”, Am. J. Phys. Anthropol. 128 (4): 709-726.

Kaifu, Y., F. Aziz, E. Indriati, et al.


2008 “Cranial Morphology of Javanese Homo erectus: New Evidence for Continous
Evolution, Specialization, and Terminal Extinction”, Journal of Human Evolution
55(4): 551-580.

Kaifu, Y., E. Indriati, F. Aziz, et al.


2010 “Cranial Morphology and Variation of the Earliest Indonesian Hominids”, In Norton,
C.J., and D.R. Braun (Eds.), Asian Paleoanthropology: From Africa to China and
Beyond. Dordrecht: Springer. Pp. 143-157.

Karafet, T.M., B. Hallmark, M.P. Cox, et al.


2010 “Major East-West Division Underlies Y Chromosome Stratification Across Indonesia”,
Molecular Biology and Evolution 27(8): 1833-1844.

Koenigswald, G.H.R. von


1952 “Evidence of a Prehistoric Australomelanosoid Population in Malaya and Indonesia”,
Southwestern Journal of Anthropology 8(1): 92-96.

Koentjaraningrat
1974 Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
1987 “Anthropology in Indonesia”, Journal of Southeast Asian Studies 18(2): 217-234.
1990 Javanese Culture. Oxford: Oxford University Press.

Koesbardiati, T.
2016 “Social Identity: An Interpretation of Dental Modification Practices on Indonesian
Historical Human Remains”, Bull. Int. Assoc. Paleodont. 10(2): 60-65.

Koesbardiati, T. And R.A. Suriyanto


2007a “Australomelanesoid in Indonesia: A Swinging-Like Movement”, Jurnal Anatomi
Indonesia 2(1): 23-28.

109
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

2007b “Dental Modification in Flores: A Biocultural Perspective”, in Indriati, E. (ed.) Recent


Advances on Southeast Asian Paleoanthropology and Archaeology. Yogyakarta:
Laboratory of Bioanthropology and Paleoanthropology Faculty of Medicine UGM. Pp.
259-268.

Koesbardiati, T., D.B. Murti, and R.A. Suriyanto


2015 “Cultural Dental Modification in Prehistoric Population in Indonesia”, Bull. Int. Assoc.
Paleodont. 9(2): 52-60.

Lansing, J.S., M.P. Cox, T.A. de Vet, et al.


2011 “An Ongoing Austronesian Expansion in Island Southeast Asia”, J. Anthropol.
Archaeol., 30: 262-272.

LeBar, F.M. (Ed)


1972 Ethnic Groups of Insular Southeast Asia. Vol 1: Indonesia, Andaman Islands, and
Madagascar. New Haven: Human Relations Area Files Press.

León, M.S.P. de, T. Koesbardiati, J.D. Weissmann, et al.


2018 “ Human Bony Labyrinth is an Indicator of Population History and Dispersal from
Africa”, Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 115(16): 4128-4133.

Lipson, M., P-R. Loh, N. Patterson, et al.


2014 “Reconstructing Austronesian Population History in Island Southeast Asia”, Nature
Communications 5: 4689.

Little, M.A. and R.W. Sussman


2010 “History of Biological Anthropology” in Larsen, C.S. (ed.), A Companion to Biological
Anthropology. New Jersey: Wiley-Blackwell.

Mayr, E.
1950 “Taxonomic Categories in Fossil Hominids”, Cold Spring Harbor Symposia on
Quantitative Biology 15: 109-118.

Meyer, M., M. Kircher, M-T. Gansauge, et al.


2012 “A High-Coverage Genome Sequence from an Archaic Denisovan Individual”, Science
338: 222-226.

Morwood, M.J., P. Brown, Jatmiko, et al.


2005 “Further Evidence for Small-Bodied Hominins from the Late Pleistocene of Flores,
Indonesia”, Nature 437: 1012-1017.

110
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Myles, S., E. Hradetzky, J. Engelken, et al. 2007


2007 “Identification of Candidate Genetic Variant for the High Prevalence of Type II
Diabeters in Polynesians”, European Journal of Human Genetics 15(5): 584-589.

O”Brien, M.J. and K.N. Laland


2012 “Genes, Culture, and Agriculture: An Example of Human Niche Construction”,
Current Anthropology 53(4): 434-470.

Oppenheimer, S.
1999 Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia. London: Phoenix.

Oppenheimer, S. & M. Richards


2001 “Fast Trains, Slow Boats, and the Ancestry of the Polynesian Islanders”, Science
Progress 84(3): 157-181.

Pope, G.G.
1983 “Evidence on the age of the Asian Hominidae”, Proc. Natl. Acad. Sci. USA 80(16):
4988-4992.

Prager, M.
2005 “From Volkenkunde to Djurusan Antropologi: The Emergence of Indonesian
Anthropology in Postwar Indonesia”, in Bremen, J. van, E. Ben-Ari, and S.F. Alatas
(eds.), Asian Anthropology. London and New York: Routledge. Pp. 179-200.

Priyambadha, F. and M.D. Artaria


2016 “Variation on Dental Crown Dimension between Javanese Males and Females”,
Journal of International Dental and Medical Research 9(3): 178-183.

Ramstedt, M.
2005 “Anthropology and the Nation State: Applied Anthropology in Indonesia”, in Bremen,
J. van, E. Ben-Ari, and S.F. Alatas (eds.), Asian Anthropology. London and New York:
Routledge. Pp. 201-223.

Reich, D., R.E. Green, M. Kircher, et al.


2010 “Genetic History of an Archaic Hominin Group from Denisova Cave in Siberia”,
Nature 468: 1053-1060.

Reich, D., N. Patterson, M. Kircher, et al.


2011 “Denisova Admixture and the First Modern Human Dispersals into Southeast Asia and
Oceania”, The American Journal of Human Genetics 89(4): 516-528.

111
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Rurit, B.
2018 Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD: Perintis Antropologi Ragawi di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.

Snell, C.A.R.D.
1948 “Human Skulls from the Urn-Field of Melolo, East Sumba”, Acta Neerl. Morphol.
Norm. Pathol. 6(3):1-20.

Soares, P., J.A. Trejaut, J.H. Loo, et al.


2008 “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia”, Molecular
Biology and Evolution 25(6): 1209-1218.

Soares, P.A., J.A. Trejaut, T. Rito, et al.


2016 “Resolving the Ancestry of Austronesian-speaking Populations”, Human Genetics
135(3): 309-326.

Solheim II, W.G.


1984 “The Nusantao Hypothesis: The Origin and Spread of Austronesian Speakers”, Asian
Perspectives, 26(1): 77-88.

Stoneking, M.
2017 An Introduction to Molecular Anthropology. New Jersey: Wiley-Blackwell.

Stringer, C.
2012 “What Makes a Modern Human”, Nature 485: 33-35.

Sudoyo, H.
2017 “Tracing the Origin of Indonesian People Trough Genetics”, The Conversation,
https://theconversation.com/tracing-the-origin-of-indonesian-people-through-genetics-
85827

Sutikna, T., M.W. Tocheri, M.J. Morwood, et al.


2016 “Revised Stratigraphy and Chronology for Homo floresiensis at Liang Bua in
Indonesia”, Nature 532: 366-369.

Suparlan, P.
2001 “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk
Indonesia”, Antropologi Indonesia 66: 1-12.
2002 “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Antropologi Indonesia 69: 98
105.

112
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Suriyanto, R.A. and T. Koesbardiati


2010 “Dental Modifications: A Perspective of Indonesian Chronology and the Current
Applications”, Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi) 43(2): 81-90.

Suryadinata, L.
2003 “Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke
Multikulturalisme?”, Antropologi Indonesia 71: 1-12.

Swisher, C.C., G.H. Curtis, T.A. Jacob, et al.


1994 “Age of the Earliest Known Hominids in Java, Indonesia”, Science 263(5150): 1118-
1121.

Swisher, C.C., W.J. Rink, S.C. Antón, et al.


1996 “Latest Homo erectus of Java: Potential Contemporaneity with Homo sapiens in
Southeast Asia”, Science 274(5294): 1870-1874.

Swisher, C.C., G.H. Curtis, and R. Lewin


2000 Java Man: How Two Geologists Changed Our Understanding of Human Evolution.
Chicago: Chicago University Press.

Theunissen, B.
1988 Eugène Dubois and the Ape-Man from Java: The History of the First ‘Missing Link’
and its Discoverer. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Tumonggor, M.K., T.M. Karafet, B. Hallmark, et al.


2013 “The Indonesian Archipelago: An Ancient Genetic Highway Linking Asia and the
Pacific”, Journal of Human Genetics 58: 165-173.

Vernot, B., S. Tucci, J. Kelso, et al.


2016 “Excavating Neandertal and Denisovan DNA from the Genomes of Melanesian
Individuals”, Science 352: 235-239.

Visser, L.
1988 “An Interview with Koentjaraningrat”, Current Anthropology 29(5): 749-753.

Wallace, A.R.
1869 The Malay Archipelago: The Land of the Orang-Utan and the Bird of Paradise. A
Narrative of Travel, with Studies of Man and Nature. London: Macmillan.

113
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018

Wiley, A.S.
2004 ‘”Drink Milk for Fitness”; The Cultural Politics of Human Biological Variation and
Milk Consumption in the United States’, American Anthropologist 106(3): 506-517.

Winarto, Y. and I. Pirous


2008 “ Linking Indonesian Anthropology in Asia”. Paper presented at the Asia Pacific and
the Emergent World System Conference, Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu,
Japan, 13-14 December.

Wouden, F.A.E. van


1968 Types of Social Structure in Eastern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Xu, S., I. Pugach, M. Stoneking, et al.


2012 “Genetic Dating Indicates that the Asian-Papuan Admixture Through Eastern
Indonesia Corresponds to the Austronesian Expansion”, Proc. Natl. Acad. Sci. 109:
4574-4579.

Yokoyama, Y., C. Falguères, F. Sémah, et al.


2008 “Gamma-Ray Spectrometric Dating of late Homo erectus Skulls from Ngandong and
Sambungmacan, Central Java, Indonesia”, Journal of Human Evolution 55(2): 274-
277.

Zhu, Z., R. Dennell, W. Huang, et al.


2018 “Hominin Occupation of the Chinese Loess Plateau Since About 2.1 Million Years
Ago”, Nature 559: 608-612.

114
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut Guidelines for contributors
mengembangkan ilmu antropologi sosial dan bu- daya di This journal is integrating Peer-Review method during
Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari the selection process. Editorial staffs accept articles that
(Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan are theoretical or cover the output of ethno- graphical
diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik research. It is not necessary for those papers to be inline
yang bersifat teoretis, maupun hasil pene- litian with editorial points of view. The criteria for the
etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan published paper cover four fields: (1) the output of
pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat ethnography or qualitative research and its topic is related
dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat ba- gian. to ethnic/social group in Indonesia, (2) the output of
Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau applied science, collaborative research and also output of
kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan writer’s involvement and experiences with societies/
kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, communities, such as: intervention programs that relate to
Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil cultural, political, environmental and developmental
penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keter- libatan relation, (3) discussion or discourse on theoretical/
penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program- methodological of anthropological knowledge or other
program intervensi yang berhubungan dengan relasi social sciences that related to theoretical discourses in
kebudayaan, politik, lingkungan, dan pemban- gunan; anthropology, (4) review on textual book of
Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai anthropology or other social sciences. Reviewed book(s)
teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu should be published at least within three years by Indo-
sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di nesian publishers or five years time by non-Indonesian
antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terha- dap publishers.
buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku Received articles would be edited by the Editorial
yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 Board. Article could be sent through e-mail: journal.
tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun ai@gmail.com in MS Word format, double space, letter
terakhir untuk terbitan luar negeri. sized paper and normal margin. The maximum length of
Artikel yang masuk masih akan disunting oleh the article is 5000 words. Please include the following:
Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada maximal of 250 words of abstracts in English and bahasa
Redaksi melalui email journal.ai@gmail.com dalam indonesia, minimum of three keywords and maximum of
format program MS Word, spasi rangkap, dengan uku- six keywords, contact address and phone numbers.
ran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan Your paper should meet the following structures:
maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak introduction, supporting data and the ground of
maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus author argument (for articles that are theoretical or
abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal methodological should include theoritical discussion and
tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis literature study), and conclusion. Tables and figures
juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor should be numbered according to their sequence in the
telepon. text. All references in the articles should be neatly put in
Sistematika penulisan harus dibuat dengan men- a proper format. Footnotes should be written on the
cantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan ( jika bottom part of every page, do not put them at the end of
artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah article. Bibliography should follow the AAA (American
ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , Anthropologist Association) Style, with some
dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel adjustment as follow:
hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan
ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, Gilmore, D.
agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada ba-
gian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of
dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Masculinity. New Haven and London: Yale
Anthropologist Association) Style, dengan beberapa University Press.
modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut
abjad sebagai berikut: If it is a chapter in a book, or an article in a journal please
give the title of book/journal and the page numbers. In the
Geertz, C. case of journal please give the Volume and issue number.
1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam e.g.
Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa
di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Geertz, C.
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hlm. 246–274. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaran-
ingrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia.
Koentjaraningrat. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Universitas Indonesia. Pp.246–274.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Marvin, G.
Manoppo-Watupongoh, G.Y.J.
1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of
1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia the Truly Male’, Anthropological Quarterly
18(51):64–74. 57(2):60–70.

Вам также может понравиться