Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
INDONESI
A
I
ndone
sia
nJour
nal
ofS
oci
ala
ndCul
tur
alAnt
hropol
ogy
Vol
.39No.
2
201
8
TheDe par
tme ntofAnthropol
ogy
Fac
ultyofSocialandPolicalSc
ienc
es
Univ
ersit
asIndone s
ia
I
SSN1963-
167XE
-IS
SN1693-
6086
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 39 No. 2 2018
Dewan Penasihat
Pemimpin Redaksi
Dave Lumenta
Redaksi Pelaksana
Muhammad R. Damm
Manajer Tata Laksana
Sinta Uli
Administrasi dan Keuangan
Dewi Zimarny
Pembantu Teknis
Abstract
Indonesia has a great diversity of ethnic groups, languages, physical characteristics, and human
genetic structures. Various studies of human physical variation and their evolutionary history in the
world have received substantial contributions from biological anthropology researches in Indonesia.
However, biological anthropology studies in Indonesia are not established or less familiar even
among Indonesian anthropology milieu. This condition is reflected in a small numbers of Indonesian
biological anthropologists, despite the vision of the founders of Indonesian anthropology that
programmed the development of biological anthropology as a part of the anthropology department.
This article aims to review the history of biological anthropology studies in Indonesia. Therefore, as
a preliminary note, considerable scientific publications in biological anthropology in Indonesia will
be discussed briefly to demonstrate the development of Indonesian biological anthropology.
1
Tulisan ini merupakan pengembangan dari makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional dan Pra Lokakarya
Asosiasi Departemen/Jurusan Antropologi Indonesia (ADJASI): “Sudut Pandang Antropologi dalam Menyambut Tahun
Politik Tingkat Lokal dan Nasional”, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, 29-30 November 2018.
2
Menurut Koentjaraningrat (1987), ahli antropologi Amerika Serikat memiliki ketertarikan yang kuat dengan Indonesia
terutama setelah perang kemerdekaan. Yale University, misalnya, memulai ketertarikannya semenjak R. Kennedy
mengompilasi buku Bibliography of Indonesian Peoples and Cultures sebelum masa perang. MIT bahkan mengkaji
Indonesia, terutama dalam persoalan aspek budaya, ekonomi, dan politik setelah masa perang, melalui Kajian Modjokuto
yang fokus utama pada perkembangan ekonomi dan pembangunan dengan koordinator program seorang ekonom bernama
B. Higgins. Meskipun demikian, program tersebut justru lebih banyak menstimulasi studi aspek-aspek sosial masyarakat
90
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Salah satu hasil studi mengenai masyarakat Vesser, 1988; Ramstedt, 2005). Pada
Indonesia kemudian dikompilasi dalam buku perkembangan saat itu, Koentjaraningrat
The Human Relations Area Files volume I, menyadari bahwa keanekaragaman suku
yang berjudul Ethnic Groups of Insular bangsa di Indonesia justru menjadi penguat
Southeast Asia (LeBar, 1972). Setelah dekade identitas bangsa melalui konsep “kebudayaan
1960-an, lebih banyak lagi ahli antropologi nasional” dan bukannya pemicu disintegrasi
dari negara lain seperti Inggris, Jerman, bangsa seperti yang dikhawatirkan oleh pihak
Prancis, Kanada, Australia, dan Jepang yang pemerintah (Koentjaraningrat, 1987;
3
datang ke Indonesia untuk melakukan studi Ramstedt, 2005). Pada masa itu pula,
etnografi (Koentjaraningrat, 1987). Koentjaraningrat (1987) mengubah arah
Ketertarikan ahli antropologi antropologi di Indonesia, dari tradisi
mancanegara terhadap Indonesia sudah antropologi Belanda yang fokus pada kajian
dimulai sejak masa kolonial Belanda pada bahasa, sastra, hukum adat, dan sejarah
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada masa budaya,4 menjadi lebih ke sosial-budaya yang
itu, Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indië), berorientasi kepada tradisi antropologi
wilayah koloni Belanda di Asia Tenggara Amerika Serikat yang berfokus pada
yang sekarang menjadi Indonesia, menjadi transformasi sosial menuju modernisasi.
lokasi pusat penelitian dan pengembangan Antropologi di Indonesia, dalam hal
keilmuan antropologi untuk kepentingan ini di Universitas Indonesia (UI), kemudian
kolonialisasi. Catatan-catatan yang bersumber mengembangkan keilmuannya berdasarkan
dari pelancong, penjelajah, ahli geografi, empat cabang antropologi yang menjadi ciri
misionaris, serta pegawai-pegawai kolonial antropologi Amerika (The Four Fields), yaitu
menjadi batu fondasi bagi pengetahuan antropologi sosial budaya, antropologi fisik,
etnologi dan etnografi ahli antropologi linguistik, dan arkeologi. Untuk mewujudkan
Belanda mengenai masyarakat Indonesia hal tersebut, beberapa upaya dilakukan. Salah
(Koentjaraningrat, 1987; Prager, 2005: 180- satunya, kerja sama dalam bidang perkuliahan
189). Pasca-kemerdekaan, perkembangan antara antropologi dengan arkeologi dan
antropologi di Indonesia, khususnya oleh ahli linguistik, yang sudah menjadi departemen
antropologi berkebangsaan Indonesia, lebih tersendiri di Fakultas Sastra. Untuk
berkutat pada arah keilmuan aplikatif (applied antropologi fisik, Koentjaraningrat merasa
anthropology) yang diharapkan berperan bahwa Indonesia merupakan negara yang
dalam pembangunan bangsa dan persoalan sangat penting dalam kajian sejarah evolusi
integrasi nasional (Koentjaraningrat, 1974; manusia karena banyaknya penemuan fosil
Indonesia yang menghasilkan antropolog terkemuka melalui hasil disertasi mereka di Jawa, seperti C Geertz, H. Geertz,
E. J. Ryan, A. C. Dewey, dan R. R. Jay.
3
Pada perkembangannya, antropologi di Indonesia tidak pernah jauh dari isu pembangunan dan integrasi nasional,
seperti isu multikulturalisme, kebudayaan lokal (indigenous), serta globalisasi (lihat Alam, 1998; Suparlan, 2001; 2002;
Suryadinata, 2003). Setelah itu, perkembangan antropologi di Indonesia lebih mengarah kepada isu kajian
kewilayahan/lintas-negara, atau mencoba bergerak keluar dari Indonesia (studying others) dalam lingkaran isu politik
identitas (lihat Winarto dan Pirous, 2008).
4
Tradisi antropologi Belanda terutama fokus pada kajian hukum adat untuk kepentingan kodifikasi pemerintahan
kolonial pada masa itu (lihat Prager, 2005).
91
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
hominid, khususnya di Jawa. Sementara itu, bisa dibilang tidak secerah atau kurang
universitas-universitas di Indonesia lainnya dikenal jika dibandingkan dengan kajian-
masih mengikuti tradisi keilmuan Eropa yang kajian antropologi sosial budaya. Kendatipun
menempatkan antropologi fisik di demikian, beberapa kajian di dalam
Departemen Anatomi di Fakultas Kedokteran, antropologi biologi seperti paleoantropologi
seperti Universitas Gadjah Mada (UGM). (atau antropologi forensik yang lebih
Koentjaraningrat lalu berencana aplikatif) memiliki peran penting dalam
mengembangkan antropologi fisik di UI, dan perkembangan antropologi di Indonesia.
mencanangkan bahwa antropologi fisik dalam Tulisan ini merupakan upaya awal dalam
beberapa tahun ke depan akan menjadi bagian meninjau perjalanan studi antropologi biologi
dari Departemen Antropologi UI (lihat di Indonesia karena belum pernah dilakukan
Koentjaraningrat, 1987). sebelumnya. Beberapa tulisan atau hasil
Pada perkembangannya, antropologi penelitian dalam kajian antropologi biologi
fisik atau antropologi biologi5 di UI belum yang pernah dilakukan di Indonesia akan
benar-benar menjadi bagian sepenuhnya dari dibahas secara ringkas untuk memperlihatkan
Departemen Antropologi. Hingga saat ini, perkembangan studi antropologi biologi
misalnya, hanya ada dua mata kuliah yang Indonesia.
memberi mahasiswa dasar pengetahuan
antropologi biologi, yakni mata kuliah Ruang Lingkup Studi Antropologi Biologi
Antropologi Biologi dan Evolusi Manusia.6 di Indonesia: Hotspot Penelitian
Berbeda dengan antropologi biologi di
Universitas Airlangga (UNAIR) yang telah Indonesia, sebagai wilayah tropis yang
menjadi bagian dari Departemen Antropologi terletak di antara benua Asia dan Australia
dan menjadi peminatan tersendiri, yaitu menyimpan banyak misteri bagi para
antropologi ragawi, di samping antropologi ilmuwan, karena memiliki tingkat
sosial. Sementara itu, antropologi biologi di keanekaragaman tinggi pada makhluk hidup
UGM tetap berada di bawah Fakultas yang menempatinya, baik tumbuhan maupun
Kedokteran dan telah memiliki pusat kajian hewan, termasuk manusia. Tingginya tingkat
antropologi biologi, yaitu Laboratorium keanekaragaman inilah yang kemudian
Bioantropologi dan Paleoantropologi (LBP- menjadi faktor pendorong para ilmuwan
UGM). Di luar persoalan struktural organisasi untuk melakukan studi di Indonesia. Mungkin
keilmuan antropologi di Indonesia, pula keanekaragaman hayati inilah hal
perkembangan antropologi biologi mungkin pertama dari Indonesia yang paling dikenal
5
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara antropologi fisik dan antropologi biologi. Para ahli menggunakannya secara
bergantian karena saat ini di dalam antropologi fisik juga mempelajari biologi manusia serta aspek genetiknya dan tidak
terbatas pada anatomi atau osteologi, sehingga banyak juga yang menyebutnya dengan antropologi biologi. Di
Indonesia, selain UI, antropologi fisik lebih dikenal dengan nama antropologi ragawi yang merupakan terjemahan
langsung dari physical anthropology. Dalam tulisan ini, untuk selanjutnya, saya akan lebih menggunakan istilah
antropologi biologi dalam artian bidang studi seperti yang digunakan oleh para ahli saat ini dan bukan peminatan kajian
di dalam departemen antropologi.
6
Di UI, kedua mata kuliah tersebut tidak jauh berbeda dengan ketika Koentjaraningrat (1987) merencanakan
pengembangan antropologi fisik di Departemen Antropologi UI.
92
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
oleh para ilmuwan Eropa, terutama para cranium yang menunjukkan kondisi
naturalis. Hasil perjalanan Wallace (1823- bipedalisme diinterpretasikan sebagai “mata
1913) pada abad ke-19 di wilayah Nusantara rantai yang hilang” (Swisher et al., 2000).
menghasilkan gagasan yang serupa dengan Fosil tersebut kemudian disepakati bersama
teori evolusi yang dicetuskan oleh Darwin berusia 0,5 hingga 1,6 juta tahun atau berasal
(1809-1882).7 Tidak hanya itu, buku The dari masa awal hingga pertengahan
Malay Archipelago (1869) yang ditulisnya Pleistosen. Setelah itu, Dubois juga
juga menginspirasi banyak ilmuwan untuk menemukan beberapa fosil di Ngandong yang
datang dan melakukan penelitian ke berumur jauh lebih muda (± 50.000 tahun)
Indonesia. Tidak terkecuali Eugène Dubois dari asumsi-asumsi awal mengenai periode
(1858–1940), seorang ahli anatomi yang waktu hidupnya Homo erectus. Hal tersebut
datang ke Hindia-Belanda pada akhir abad ke- membawa kontroversi karena jika demikian,
19 karena terinspirasi tulisan Wallace yang berarti H. erectus pernah hidup pada masa
mengungkapkan bahwa Asia Tenggara yang sama dengan Homo sapiens (lihat
merupakan tempat tinggalnya orang utan dan Yokoyama et al., 2008). Hal itu secara tidak
siamang, spesies kera yang dianggap paling langsung menempatkan temuan Dubois pada
dekat dengan manusia (Theunissen, 1988; signifikansi yang kuat dalam perdebatan teori
Swisher et al., 2000). evolusi manusia dan keilmuan
Dubois datang ke Hindia-Belanda paleoantropologi, serta memosisikan Hindia-
karena percaya lokasi Nusantara yang Belanda sebagai salah satu lokasi penting
beriklim tropis serta memiliki banyak wilayah penelitian evolusi manusia.
pegunungan dan gua merupakan tempat ideal Dubois tidak sendiri. Ilmuwan lain
untuk menemukan fosil “mata rantai yang yang juga tertarik untuk datang ke Hindia-
hilang” (missing link) manusia modern seperti Belanda pada masa itu ialah von Koenigswald
yang diutarakan oleh Darwin (Theunissen, (1902–1982). Von Koenigswald melanjutkan
1988). Pada 1891 Dubois menemukan fosil penelitian Dubois dan sekitar tahun 1930-an
tempurung kepala (cranium), gigi geraham menemukan fosil di sekitar Sungai Bengawan
(molar), dan tulang paha (femur) yang Solo. Fosil tersebut kemudian diberi nama
kemudian dinamai “manusia Jawa” (the Java “manusia Solo” (Solo Man) atau Homo
Man) atau Pithecanthropus erectus8 di Trinil. erectus soloensis. Pada dekade yang sama ia
Fosil ini kemudian menjadi populer di dunia juga menemukan fosil cranium yang ia
keilmuan karena diakui sebagai leluhur namakan Pithecanthropus modjokertensis
manusia modern yang pertama kali ditemukan (Homo modjokertensis) di Mojokerto, serta
pada masa itu. pada tahun 1940-an menemukan
Penemuan Dubois pada masa itu bisa Meganthropus paleojavanicus (saat ini
dibilang “sensasional” karena fosil femur dan dinamakan Homo erectus paleojavanicus) di
7
Darwin, melalui bukunya The Descent of Man (1871), khususnya ketika menempatkan manusia dalam pohon
filogenetik spesies, berpendapat bahwa manusia merupakan hasil perkembangan proses berjenjang dari makhluk sejenis
kera (ape-like ancestors). Lebih lanjut, ia menyimpulkan bahwa nenek moyang manusia tersebut kemungkinan besar
hidup di wilayah tropis, yaitu benua Afrika.
8
Mayr (1950) kemudian mengklasifikasikan kembali Phitecanthropus erectus dan menempatkannya ke dalam spesies
Homo erectus.
93
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
9
Von Koenigswald (1952) tidak hanya menganalisis fosil-fosil manusia purba, namun juga menganalisis sisa-sisa
kerangka tulang dan gigi manusia modern di Indonesia yang pada masa itu dikelompokkan ke dalam klasifikasi ras
Australomelanesioid. Ia mengusulkan pembagian ras tersebut menjadi Australoid dan Melanosoid serta menyimpulkan
bahwa mereka terdesak ke wilayah timur Indonesia hingga Polinesia akibat kedatangan ras/orang Indonesia (Melayu)
ke wilayah Malaya, Sumatra, dan Jawa pada 4.000 tahun yang lalu.
10
Semenjak Darwin (1871) menyatakan bahwa nenek moyang manusia berasal dari Afrika, karena simpanse dan gorila
(spesies yang paling dekat dengan manusia secara taksonomi) hanya ada/ditemukan di Afrika, banyak ilmuwan yang
mendasarkan dan menyimpulkan hasil temuan fosilnya berdasarkan teori tersebut, yaitu Hominid pertama berasal dari
Afrika yang kemudian bermigrasi ke benua lainnya. Hingga sebelum abad ke-21, dipercaya bahwa genus homo pertama
(H. erectus) baru keluar Afrika sekitar 0,8 – 1 juta tahun yang lalu, sementara fosil homo yang ditemukan di Asia (Cina
dan Jawa) diperkirakan berusia antara 0,3 – 0,9 juta tahun yang lalu (Pope, 1983). Perspektif tersebut begitu
mendominasi, meskipun temuan fosil H. erectus di Jawa oleh Dubois dan von Koenigswald membuktikan hal yang
bertentangan. Kini, disepakati bahwa kemungkinan H. erectus muncul di Afrika 2 juta tahun yang lalu dan bermigrasi
keluar dari Afrika lebih tua dari yang diperkirakan sebelumnya (Antón and Swisher, 2004). Temuan fosil di Jawa
kemudian disepakati berusia 1,49 juta tahun, berbeda dari perdebatan sebelumnya yang berusia antara 0,8 hingga 1,8
juta tahun (Swisher et al., 1994; Morwood, 2003; Dennell, 2010). Di samping itu, temuan manusia Dmanisi di Georgia
yang berusia 1,8 juta tahun (Ferring et al., 2011), serta penemuan terbaru di Shangchen Cina yang diestimasi berusia
2,1 juta tahun, memberikan indikasi bahwa H. erectus mungkin keluar dari Afrika lebih awal dari dugaan sebelumnya
(Zhu et al., 2018).
11
Oleh para ahli, teori “Out of Africa” dibagi menjadi dua, yaitu “Out of Africa I” dan “Out of Africa II”. Teori yang
pertama mengacu pada migrasi/ekspansi manusia purba (Hominin) dari Afrika sebelum keberadaan manusia modern,
sedangkan yang kedua mengacu pada migrasi manusia modern (H. sapiens). Perdebatan muncul, dalam hal ini, dari
pendukung Teori Evolusi Multiregional (Multiregional evolution hypothesis) yang berusaha menjelaskan bahwa
manusia modern saat ini berkembang dari beberapa nenek moyang (ancestor - hominid) yang terpisah di berbagai
belahan dunia. Namun, model “Out of Africa” lebih banyak mendapatkan konsensus dari para ilmuwan karena lebih
bisa menjelaskan bagaimana spesies hominid berevolusi, beradaptasi, serta bervariasi lewat mekanisme seleksi alam
(founder effect dan genetic drift) yang dicetuskan oleh Darwin (Stringer, 2012).
12
H. floresiensis, juga dikenal dengan sebutan si “Hobbit” atau manusia kerdil, dalam perdebatannya juga diduga
sebagai bentuk patologis (Microcephaly Hypothesis) dari manusia modern, dan bukan merupakan spesies manusia purba
tersendiri (Jacob et al., 2006). Namun begitu, banyak pendapat menyimpulkan bahwa H. floresiensis merupakan spesies
hominin tersendiri yang terpisah dari genus homo lainnya, seperti H. habilis, H. erectus, dan bahkan H. sapiens, serta
merupakan peninggalan purba dari hominin awal dengan usia paling tidak lebih dari satu juta tahun (Falk et al., 2005;
Brumm et al., 2010; Bergh et al., 2016; Argue et al., 2017).
94
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
antara 50.000 hingga 190.000 tahun yang lalu, Austronesia, yaitu model “Out of Taiwan”,
atau lebih tua dari hasil penanggalan menggambarkan bahwa populasi-populasi
sebelumnya (Sutikna et al., 2016). Meskipun yang ada di Indonesia saat ini berasal dari
demikian, hal ini tidak membatalkan nenek moyang penutur bahasa Austronesia
kemungkinan bahwa H. floresiensis pernah yang bermigrasi dari wilayah Cina bagian
menjalin kontak dengan manusia modern selatan ke Taiwan, lalu menuju ke arah selatan
dan/atau hominin lain, seperti manusia (Filipina dan kepulauan Nusantara) sekitar
Denisova yang, berdasarkan hasil analisis 4.000 tahun yang lalu. Mereka bermigrasi
DNA, ternyata pernah kawin silang sambil menyebarkan bahasa, pertanian
(interbreeding) dengan manusia modern agrikultur, tembikar, domestikasi hewan, dan
(Reich et al., 2010, 2011; Sutikna et al., tentu saja, juga genetiknya (lihat Blust, 1995;
2016). Diamond & Bellwood, 2003; Bellwood, 2006;
Penemuan dan bukti genetik adanya Lansing et al., 2011; Xu et al., 2012; Lipson
kawin silang manusia Denisova dengan et al., 2014). Skenario berbeda, dikenal
manusia modern (hybridization)13 merupakan dengan model “Out of Sundaland”,
hal yang enigmatic dalam diskusi evolusi menggambarkan hal yang berlawanan. Model
manusia (Cooper & Stringer, 2013). Fosil gigi ini menggambarkan penutur bahasa
bersama dengan DNA yang diekstraksi dari Austronesia justru berasal dari wilayah
tulang jari (distal phalanx) di gua Denisova, Nusantara. Mereka bermigrasi akibat naiknya
Pegunungan Altai Siberia, menggambarkan permukaan laut yang membanjiri Paparan
bahwa manusia Denisova pernah kontak Sunda pada akhir masa Pleistosen, sekitar
dengan leluhur manusia modern. Tidak hanya 11.000 tahun lalu (Solheim, 1984;
itu, gene flow akibat kawin silang Denisova Oppenheimer, 1999; Oppenheimer &
dengan manusia modern justru ditemukan Richards, 2001; Soares et al., 2008, 2011;
pada populasi-populasi Melanesia di wilayah Denham & Donohue, 2012; Brandão et al.,
timur Indonesia, Negrito Filipina, Papua 2016). Studi genetik, termasuk antropologi
Nugini, Oseania, Polinesia, dan Aborigin molekuler, yang juga dikuatkan dengan studi
Australia, alih-alih populasi yang berada di linguistik, menggambarkan fakta yang lebih
Afrika, Eropa, atau bahkan di daratan Asia kompleks daripada itu. Struktur genetik
Tengah dan Timur yang secara geografis lebih populasi-populasi di Indonesia digambarkan
dekat dengan Siberia (Reich et al., 2010, merupakan hasil dari beberapa proses arus
2011; Meyer et al., 2012; Vernot et al., 2016). migrasi bolak-balik dan tidak langsung atau
Analisis genetik pada manusia modern searah/lineal—dikenal dengan pulses and
di wilayah timur Indonesia juga menarik, pauses (Gray et al., 2009; Jinam et al., 2012;
karena menggambarkan proses migrasi Lipson et al., 2014; Soares et al., 2016;
manusia modern setelah masa Pleistosen dan Hudjashov et al., 2017).
Holosen, terutama dalam perdebatan ekspansi Dari penelusuran di atas nampak
populasi penutur bahasa Austronesia. bahwa penelitian-penelitian antropologi
Hipotesis dominan dalam studi migrasi biologi di Indonesia sejak awal memberikan
13
Sebelumnya, telah ditemukan adanya gene flow Neandertal pada gen manusia modern yang tinggal di wilayah Eurasia
(Green et al., 2010).
95
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
14
C. A. R. D. Snell banyak melakukan penelitian mengenai kerangka dan ras manusia di Indonesia. Ia menyimpulkan
bahwa sejarah ras manusia Indonesia dibentuk oleh percampuran (akibat kontak) antara ras Australomelanosoid dan
Malayan Mongoloid (lihat Snell, 1948; von Koenigswald, 1952).
15
Pada awalnya, pengajaran studi antropologi biologi di Indonesia dilangsungkan di fakultas kedokteran. Hal tersebut
bisa dipahami karena para perintis antropologi biologi pun sebenarnya berasal dari latar belakang ilmu kedokteran atau
anatomi manusia. Hal itu memang tidak mengherankan karena dasar keilmuan antropologi biologi dibangun dari atau
lebih condong/berat ke bidang ilmu sains (biologi dan anatomi) dan bukan sosial. Berdasarkan penelusuran saya, perintis
antropologi biologi di Indonesia pun berlatar pendidikan anatomi dan kedokteran. C. A. R. D. Snell merupakan ahli
anatomi dari Universitas Utrecht Belanda yang kemudian mengembangkan studi anatomi di Fakultas Kedokteran (FK)
UNAIR; Adi Sukadana (Lie Gwan Liong) berasal dari Bagian Anatomi FK UNAIR; Teuku Jacob lulusan FK UGM
pada tahun 1956; Josef Glinka merupakan pastor yang juga ahli anatomi; dan Boedihartono lulusan FK UI tahun 1960.
16
Beberapa ahli primatologi, sepengetahuan pribadi saya, berasal dari lulusan departemen biologi atau
kehutanan/lingkungan dan bukan dari antropologi.
17
Kemunculan antropologi biologi (fisik) di Eropa dan Amerika pada abad ke-18 dan 19 bermula dari minat para
ilmuwan (ahli anatomi) dalam mengklasifikasikan ras manusia yang didominasi oleh kajian anatomi, kraniologi, dan
biologi skeletal, bahkan sebelum antropologi biologi diformalkan sebagai satu studi tersendiri pada awal abad ke-20.
Setelah tahun 1930-an, terutama pada 1950-an, kajian antropologi biologi mulai berpusat ke asal usul manusia, primata,
dan evolusi manusia, serta variasi fisik manusia dengan teori evolusi Darwin dan genetika sebagai perspektif utama
96
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
yang melandasi keilmuan antropologi biologi. Semenjak periode tersebut, terutama pada 1960-an hingga 1980-an mulai
bermunculan cabang-cabang kajian antropologi biologi yang lebih spesifik, yaitu paleoantropologi, primatologi,
genetika manusia, tumbuh kembang manusia (human growth development), biologi populasi manusia, bioarkeologi,
dan antropologi forensik (lihat Little and Sussman, 2010: 13-38).
18
Pada akhirnya, spesimen tersebut ditemukan berada di toko Maxilla & Mandilla, Ltd., New York, pada tahun 1999
dan telah dikembalikan ke Indonesia serta disimpan di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi UGM dengan
nama Sambungmacan-3 (lihat Delson et al., 2001).
97
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
19
Bahkan sebelum bergabung dengan Departemen Antropologi UNAIR pada tahun 1985, Josef Glinka melakukan
penelitian untuk disertasi doktoralnya dengan topik karakteristik fisik pada penduduk Pulau Palue, Nusa Tenggara
Timur, pada tahun 1966-1967. Disertasinya berjudul “Asal Mula Penduduk Pulau Palue Ditinjau dari Ukuran-ukuran
Antropometri” membahas tentang adanya afiliasi penduduk Pulau Palue dengan populasi lainnya di Flores, Lio, dan
Manggarai berdasarkan tinjauan morfologis mereka (lihat Koesbardianti, dalam Rurit, 2018: 66-75).
98
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
adanya “kenyamanan” pasien, terutama di lebih tua. Di samping itu, fosil H. erectus
desa-desa. Bagi orang-orang di kota, Jawa memiliki variasi morfologis, seperti
konsultasi dengan dokter malah tingkat dimorfisme seksual yang tinggi,
memunculkan rasa “frustrasi” karena ternyata karena mengalami evolusi in situ akibat
tidak membuat mereka menjadi lebih baik isolasi (mikroevolusi) atau penggantian
atau sembuh dari penyakitnya populasi (population replacement) sebagai
(Boedhihartono, 1982). dampak dari migrasi. Oleh karena itu, ia lalu
mengusulkan bahwa variasi morfologis H.
Tren Terkini Studi Antropologi Biologi di erectus di Jawa sebaiknya disimpulkan
Indonesia sebagai subspesies, yaitu H. e. erectus dan H.
e. soloensis (Kaifu et al., 2005, 2008, 2010;
Sejarah antropologi biologi di Indonesia Indriati & Antón, 2008, 2010). Lebih lanjut, ia
berawal dari kajian paleoantropologi serta juga merevisi hasil penelitian sebelumnya
variasi fisik manusia dalam diskusi evolusi mengenai umur fosil H. erectus Jawa
manusia yang dipelopori Teuku Jacob, Josef (Swisher et al., 1996). Dengan metode yang
Glinka, dan Boedhihartono. Pada sama, ditambah dengan teknik penanggalan
perkembangannya, antropologi biologi di argon (40Ar/39Ar), ia memberikan kesimpulan
Indonesia kemudian menyentuh dan berbeda. Menurutnya, H. erectus di Jawa
bersinggungan dengan bidang kajian lain di paling tidak hanya bertahan hingga 143.000
antropologi sosial budaya, seperti antropologi hingga 550.000 tahun yang lalu. Hal itu
medis. Tidak hanya itu, para ahli antropologi berarti bahwa H. erectus di Jawa tidak pernah
biologi generasi berikutnya, tidak hanya bertemu atau bahkan berinteraksi dengan H.
meneruskan dan menyempurnakan kajian sapiens, karena mereka telah punah sebelum
yang telah dirintis oleh guru mereka, tetapi H. sapiens (Indriati et al., 2011).
juga mengembangkan cabang kajian lain, Pada perkembangan lainnya, analisis
yaitu antropologi forensik, antropologi gigi, kranial dan gigi juga digunakan pada kajian
dan biososial manusia. antropologi gigi (dental anthropology) dalam
Kajian paleoantropologi di UGM, pembahasan evolusi manusia dan variasi fisik
misalnya, tidak hanya berhenti di Teuku manusia di Indonesia. Rusyad A. Suriyanto
Jacob, namun dilanjutkan oleh muridnya, Etty (UGM) dan Toetik Koesbardiati (UNAIR)
Indriati. Seperti Jacob, Indriati melakukan mengidentifikasi pola migrasi ras
penelitian evolusi manusia melalui analisis Australomelanosoid dengan Mongoloid
fosil hominid. Ia bersama koleganya, dengan melalui hubungan afinitas ras berdasarkan
analisis kranial dan gigi, menggambarkan analisis fosil kranial manusia modern yang
bahwa H. erectus di Jawa kemungkinan ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia.
berasal langsung dari H. erectus di Afrika Hasil dari penelitian tersebut menggambarkan
yang bermigrasi ke Eurasia pada masa awal bahwa pola migrasi kedua ras tersebut di
Pleistosen. Menurutnya, fosil H. erectus Jawa Indonesia seperti gerakan bolak-balik
memiliki ciri relatif lebih purba atau serupa pendulum. Migrasi ras Mongoloid dari
jika dibandingkan fosil H. erectus di Dmanisi, daratan Asia Tenggara “menggusur” populasi
Georgia, atau di Afrika Timur yang berumur ras Australomelanosoid hingga ke wilayah
99
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
timur Indonesia. Setelah itu, ras karakter gigi kelompok Sahul Pacific (Papua
Australomelanosoid bermigrasi kembali Nugini) dan Sino-America (Cina, Mongolia,
(mendesak) ke arah barat, namun hanya bisa Amerika Utara dan Selatan). Ciri tersebut
sampai wilayah barat Jawa. Lalu, migrasi ras menurutnya menggambarkan campuran
Mongoloid kembali hadir dari utara (Filipina (admixture) populasi sebagai akibat dari
dan Sulawesi) yang mendesak kembali ras dinamika migrasi manusia modern di wilayah
Australomelanosoid hingga kini Indonesia selama ribuan tahun (Artaria, 2007;
(Koesbardiati & Suriyanto, 2007a). 2010). Dengan kajian antropologi gigi, ia juga
Koesbardiati dan Suriyanto juga mengidentifikasi perbedaan gigi antara jenis
membahas lebih lanjut sebaran dan migrasi kelamin (laki-laki dan perempuan) melalui
kedua ras tersebut melalui analisis modifikasi pengukuran diameter mesiodistal,
gigi. Menurut mereka, praktik modifikasi buccolingual, dan mahkota gigi. Perbedaan
gigi, dalam hal ini misalnya pengikiran gigi tersebut dimungkinkan karena kontribusi
sebagai tradisi ritual inisiasi, paling tidak telah ekspresi gen dari kromosom Y yang berperan
berlangsung sejak masa Mesolitik hingga dalam ketebalan enamel dan denting,
akhir Neolitik, yaitu berkisar antara 10.000 sedangkan kromosom X hanya pada enamel
hingga 4.000 ribu tahun lalu. Praktik tersebut (Artaria & Herijadi, 2011; Priyambadha &
diperoleh dari orang-orang ras Mongoloid Artaria, 2016).
yang bermigrasi ke wilayah Nusantara. Kajian antropologi gigi, beserta
Mereka kemungkinan berhasil menyebarkan variasi fisik manusia dan paleoantropologi
tradisi tersebut karena pengaruhnya dapat kemudian juga digunakan pada kajian
dilihat dari sebaran praktik modifikasi gigi di antropologi forensik di Indonesia. Sebagai
wilayah tengah dan timur Indonesia, bahkan kajian aplikatif, antropologi forensik
hingga ke populasi-populasi ras mendasarkan keilmuan dan cara kerjanya
Australomelanosoid di Australia dan pada antropologi biologi, mulai dari deteksi
Polinesia (Koesbardiati & Suriyanto, 2007b; rangka manusia pada permukaan tanah hingga
Suriyanto & Koesbardiati, 2010; Koesbardiati rekonstruksi raut muka, melalui analisis
et al., 2015). Di Jawa, praktik modifikasi gigi osteologi, gigi, dan anatomi manusia (Indriati,
juga ditemukan pada keluarga kerajaan atau 2004). Ahli antropologi forensik di Indonesia
pemuka agama di masa kerajaan Majapahit sering membantu penyidik kepolisian sebagai
(Koesbardiati, 2016). konsultan akademis dalam mengidentifikasi
Hasil kajian antropologi gigi juga korban tindakan kriminal yang tubuh
menggambarkan variasi ciri morfologis jenazahnya—bahkan yang masih janin—
(fenotip) gigi orang-orang di Jawa sebagai sudah tidak utuh lagi (Indriati, 1999). Indriati,
cerminan dari populasi campuran. Hasil Koesbardiati, dan Suriyanto merupakan
penelitian Myrtati D. Artaria (UNAIR) bagian dari tim DVI (Disaster Victim
menunjukkan bahwa mayoritas karakter gigi Identification) kepolisian Indonesia yang
orang-orang Jawa di Surabaya memiliki ciri bertugas mengidentifikasi korban bencana
kelompok Sunda Pacific (Asia Tenggara), alam, kecelakaan transportasi, serta dalam
meskipun ada sedikit ciri yang mencerminkan
100
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
20
Posisi departemen antropologi yang berada di bawah fakultas ilmu sosial atau budaya, miskonsepsi bahwa antropologi
“hanya” mempelajari kebudayaan atau sekadar ilmu sosial yang tak harus mempelajari ilmu sains, menjadi beberapa
sebab ketidakpopuleran antropologi biologi di kalangan mahasiswa. Selain itu, mereka, yang sebagian besar ialah
peminat ilmu sosial, beranggapan bahwa antropologi biologi sangat sulit untuk dipelajari/dikuasai (memang betul). Hal
tersebut juga ditambah dengan penggunaan analisis statistik yang membuat mereka semakin enggan untuk
mempelajarinya lebih lanjut.
21
Ingold (2007) menceritakan bahwa seolah ada pemisahan atau ketidakakuran antara bagian sosial budaya dan biologi
di dalam antropologi. Ia melihat bahwa ahli antropologi sosial budaya lebih memilih “mengobrol” dengan ahli linguistik
atau sejarah, dan sebaliknya, ahli antropologi biologi lebih memilih para ahli biologi. Menurutnya, dikotomi tersebut
bersumber dari pengertian (konsep) dasar manusia itu sendiri, yaitu sebagai “makhluk biologis” atau “makhluk sosial”,
yang menjadi acuan para ahli di kedua bidang studi tersebut (Ingold, 2000: 1-2).
101
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
22
Dengan kata lain, kajian antropologi molekuler menggunakan bukti genetik untuk dapat menjelaskan asal usul
manusia (human origins), sejarah populasinya, termasuk bagaimana seleksi alam berperan dalam evolusi manusia dan
dampak praktik budaya terhadap variasi genetik manusia (lihat Jobling et al., 2014; Stoneking, 2017).
102
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
103
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Referensi
Alam, B.
1998 “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan”, Antropologi
Indonesia 54: 1-11.
Artaria, M.D.
2007 “Dental Trait Variation and Age Determination Based on Dental Wear: A Preliminary
Study of Javanese”, Dental Anthropology 20: 41-43.
2010 “The Dental Traits of Indonesian Javanese”, Dental Anthropology 23: 74-78.
Bellwood, P.
2006 “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and
Transformation,” in Bellwood, P., J.J. Fox, and D. Tryon (eds.), The Austronesians:
Historical and Comparative Perspective. Canberra: ANU Press. Pp. 103-118.
Blust, R.
1995 “The Prehistory of the Austronesian-Speaking Peoples: A View from Language”,
Journal of World Prehistory 9(4): 453-510.
104
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Boedhihartono
1979 “‘Ètude Comparative Des Empreintes Digitales Inter-Sexes Et Inter-Populationnelles
De Deux Populations Javanaises”, L’Anthropologie, 83(2): 260-268.
1982 “Current State and Future Prospects of Traditional Healers in Indonesia”, in Mitchell,
D. (ed.), Indonesian Medical Traditions: Bringing Together the Old and the New.
Melbourne: Monash University Press. Pp. 21-34.
1998 “A New Homo erectus Finding”, Antropologi Indonesia 54(21): 121-125.
Darwin, C.
1871 The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex. London: John Murray.
Dennell, R.
2010 ‘”Out of Africa I”: Current Problems and Future Prospects’ in Fleagle, J.G., J.J. Shea,
F.E. Grine, et al. (eds.), Out of Africa I: The First Hominin Colonization of Eurasia.
Dordrecht: Springer. Pp. 247-273.
105
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Geertz, C.
1960 The Religion of Java. Illinois: The Free Press.
Hollox, E.
2005 “Genetics of Lactase Persistence – Fresh Lessons in the History of Milk Dringking”,
European Journal of Human Genetics 13: 267-269.
106
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Indriati, E.
1999 “The Roles of Forensic Anthropology in Fetal Death Investigation”, Berkala Ilmu
Kedokteran 31(3): 181-187.
2004 Antropologi Forensik: Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi Antropologi Biologis
dalam Konteks Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2009 “Historical Perspectives on Forensic Anthropology in Indonesia”, In Blau, S. And D.H.
Ubelaker. Handbook of Forensic Anthropology and Archaeology. California: Left
Coast Press. Pp. 115-125.
2014 “Forensic Antropological Roles in Disaster Victim Identification of Two Jakarta
Hotels’s Bomb Blasts”, Damianus Journal of Medicine 13(2): 148-157.
Ingold, T.
2000 The Perception of the Environment: Essays on Livelihood, Dwelling, and Skill.
London: Routledge.
2004 “Beyond Biology and Culture. The Meaning of Evolution in a Relational World”,
Social Anthropology 12(2): 209-221.
2007 “The Trouble with Evolutionary Biology”, Anthropology Today 23(2): 13-17.
2017 “On Human Correspondence”, Journal of the Royal Anthropological Institute 23(1): 9-
27.
107
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Jacob, T. A.
1964 “A Human Mandible from Anjar Urn Field, Indonesia”, J. Nat. Med. Assoc. 56(5):
421-426.
1966 “The Sixth Skull Cap of Pithecanthropus erectus”, Am. J. Phys. Anthropol. 25(3): 243-
260.
1967a “Recent Pithecanthropus Finds in Indonesia”, Current Anthropology 8(5): 501-504.
1967b “Racial Identification of the Bronze Age Human Dentitions from Bali, Indonesia”, J.
Dent. Res. 46: 903-910.
1972 “New Hominid Finds in Indonesia and their Affinities”, The Australian Journal of
Anthropology 8(3): 176-181.
1973 “Paleoanthropological Discoveries in Indonesia With Special Reference to the Finds of
the Last Two Decades”, Journal of Human Evolution 2: 473-485.
1974 “Studies on Human Variation in Indonesia”, J. Nat. Med. Assoc. 66(5): 389-399.
1975 “The Pithecanthropines of Indonesia”, Bull. et Mém. de la Soc. d’Anthrop. de Paris.
2(3): 243-256.
1978 “New Finds of Lower and Middle Pleistocene Hominines From Indonesia and an
Examination of ther Antiquity”, in Ikawa-Smith, F. (Ed.), Early Paleolithic in South
and East Asia. The Hague: Mouton. Pp. 13-22.
2001 “Biological Aspects of Homo Erectus through the Time-Space Continuum”, in T.
Simanjuntak, B. Prasetyo, and R. Handini (eds.), Sangiran: Man, Culture, and
Environment in Pleistocene Times. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pp. 19-23.
108
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Koentjaraningrat
1974 Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
1987 “Anthropology in Indonesia”, Journal of Southeast Asian Studies 18(2): 217-234.
1990 Javanese Culture. Oxford: Oxford University Press.
Koesbardiati, T.
2016 “Social Identity: An Interpretation of Dental Modification Practices on Indonesian
Historical Human Remains”, Bull. Int. Assoc. Paleodont. 10(2): 60-65.
109
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Mayr, E.
1950 “Taxonomic Categories in Fossil Hominids”, Cold Spring Harbor Symposia on
Quantitative Biology 15: 109-118.
110
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Oppenheimer, S.
1999 Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia. London: Phoenix.
Pope, G.G.
1983 “Evidence on the age of the Asian Hominidae”, Proc. Natl. Acad. Sci. USA 80(16):
4988-4992.
Prager, M.
2005 “From Volkenkunde to Djurusan Antropologi: The Emergence of Indonesian
Anthropology in Postwar Indonesia”, in Bremen, J. van, E. Ben-Ari, and S.F. Alatas
(eds.), Asian Anthropology. London and New York: Routledge. Pp. 179-200.
Ramstedt, M.
2005 “Anthropology and the Nation State: Applied Anthropology in Indonesia”, in Bremen,
J. van, E. Ben-Ari, and S.F. Alatas (eds.), Asian Anthropology. London and New York:
Routledge. Pp. 201-223.
111
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Rurit, B.
2018 Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD: Perintis Antropologi Ragawi di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Snell, C.A.R.D.
1948 “Human Skulls from the Urn-Field of Melolo, East Sumba”, Acta Neerl. Morphol.
Norm. Pathol. 6(3):1-20.
Stoneking, M.
2017 An Introduction to Molecular Anthropology. New Jersey: Wiley-Blackwell.
Stringer, C.
2012 “What Makes a Modern Human”, Nature 485: 33-35.
Sudoyo, H.
2017 “Tracing the Origin of Indonesian People Trough Genetics”, The Conversation,
https://theconversation.com/tracing-the-origin-of-indonesian-people-through-genetics-
85827
Suparlan, P.
2001 “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk
Indonesia”, Antropologi Indonesia 66: 1-12.
2002 “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Antropologi Indonesia 69: 98
105.
112
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Suryadinata, L.
2003 “Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke
Multikulturalisme?”, Antropologi Indonesia 71: 1-12.
Theunissen, B.
1988 Eugène Dubois and the Ape-Man from Java: The History of the First ‘Missing Link’
and its Discoverer. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Visser, L.
1988 “An Interview with Koentjaraningrat”, Current Anthropology 29(5): 749-753.
Wallace, A.R.
1869 The Malay Archipelago: The Land of the Orang-Utan and the Bird of Paradise. A
Narrative of Travel, with Studies of Man and Nature. London: Macmillan.
113
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018
Wiley, A.S.
2004 ‘”Drink Milk for Fitness”; The Cultural Politics of Human Biological Variation and
Milk Consumption in the United States’, American Anthropologist 106(3): 506-517.
114
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut Guidelines for contributors
mengembangkan ilmu antropologi sosial dan bu- daya di This journal is integrating Peer-Review method during
Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari the selection process. Editorial staffs accept articles that
(Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan are theoretical or cover the output of ethno- graphical
diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik research. It is not necessary for those papers to be inline
yang bersifat teoretis, maupun hasil pene- litian with editorial points of view. The criteria for the
etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan published paper cover four fields: (1) the output of
pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat ethnography or qualitative research and its topic is related
dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat ba- gian. to ethnic/social group in Indonesia, (2) the output of
Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau applied science, collaborative research and also output of
kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan writer’s involvement and experiences with societies/
kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, communities, such as: intervention programs that relate to
Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil cultural, political, environmental and developmental
penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keter- libatan relation, (3) discussion or discourse on theoretical/
penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program- methodological of anthropological knowledge or other
program intervensi yang berhubungan dengan relasi social sciences that related to theoretical discourses in
kebudayaan, politik, lingkungan, dan pemban- gunan; anthropology, (4) review on textual book of
Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai anthropology or other social sciences. Reviewed book(s)
teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu should be published at least within three years by Indo-
sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di nesian publishers or five years time by non-Indonesian
antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terha- dap publishers.
buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku Received articles would be edited by the Editorial
yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 Board. Article could be sent through e-mail: journal.
tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun ai@gmail.com in MS Word format, double space, letter
terakhir untuk terbitan luar negeri. sized paper and normal margin. The maximum length of
Artikel yang masuk masih akan disunting oleh the article is 5000 words. Please include the following:
Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada maximal of 250 words of abstracts in English and bahasa
Redaksi melalui email journal.ai@gmail.com dalam indonesia, minimum of three keywords and maximum of
format program MS Word, spasi rangkap, dengan uku- six keywords, contact address and phone numbers.
ran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan Your paper should meet the following structures:
maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak introduction, supporting data and the ground of
maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus author argument (for articles that are theoretical or
abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal methodological should include theoritical discussion and
tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis literature study), and conclusion. Tables and figures
juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor should be numbered according to their sequence in the
telepon. text. All references in the articles should be neatly put in
Sistematika penulisan harus dibuat dengan men- a proper format. Footnotes should be written on the
cantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan ( jika bottom part of every page, do not put them at the end of
artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah article. Bibliography should follow the AAA (American
ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , Anthropologist Association) Style, with some
dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel adjustment as follow:
hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan
ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, Gilmore, D.
agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada ba-
gian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of
dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Masculinity. New Haven and London: Yale
Anthropologist Association) Style, dengan beberapa University Press.
modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut
abjad sebagai berikut: If it is a chapter in a book, or an article in a journal please
give the title of book/journal and the page numbers. In the
Geertz, C. case of journal please give the Volume and issue number.
1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam e.g.
Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa
di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Geertz, C.
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hlm. 246–274. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaran-
ingrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia.
Koentjaraningrat. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Universitas Indonesia. Pp.246–274.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Marvin, G.
Manoppo-Watupongoh, G.Y.J.
1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of
1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia the Truly Male’, Anthropological Quarterly
18(51):64–74. 57(2):60–70.