Вы находитесь на странице: 1из 25

Op poenya

LAPORAN PENDAHULUAN
PRE KLINIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

CEDERA KEPALA

OLEH

NOFIRABUANA RIZAL
04121025

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
Padang, Maret 2007
Op poenya

I
DEFENISI

 Cedera kepala merupakan cedera yang bisa disebabkan oleh


percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena
perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak
bergerak (www.medicastore.com)

 Cedera kepala adalah Suatu gangguan trauma fungsi yang disertai


pendarahan interstisial dalam sub stansi otak tampa diikuti terputusnya
continuitas otak (R. Samsuhidayat, dkk, EGC, 1997)

 Cedera kepala merupakan adanya pukulan/benturan mendadak


pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Susan Martin, 1996,
hal 496)

 Cendera Kepala (terbuka & tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak


Cranio serebri (geger), Kontusio (memar) / Laserusi & perdarahan serebral
(subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral batang otak). Trauma primer
terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi / deselerasi
otak). Trauma sekunder akibat trauma syaraf (mil akson) yang meluas
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipertensi sistemik
(Doengoes,1993)

KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU


Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah
tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,
lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

1. Kerusakan Lobus Frontalis


Op poenya

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan


keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat
tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat
tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap
aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari
kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi
kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai
satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata,
meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis
bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus
frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan
yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam; penderita
mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

2. Kerusakan Lobus Parietalis


Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari
bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan
merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan
lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk
melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk
menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita
dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan
bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan
baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan
pekerjaan sehari-hari lainnya.
Op poenya

3. Kerusakan Lobus Temporalis


Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi
dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara
dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam
dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita
dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah
seksual.
Op poenya

II
ETIOLOGI

• Trauma oleh benda tajam


Menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal
meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

• Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera


menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer
cerebral, batang otak atau kedua-duanya.

KLASIFIKASI
(1) Menurut Jenis Cedera
a. Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak
dan jaringan otak
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan
dan oedem serebral yang luas
(2) Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
a. Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
- Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
- Tak ada fraktur tengkorak
- Tak ada contusio serebral (hematom)
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang
Op poenya

- GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)


- Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam
(konkusi)
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Kejang
c. Cedera kepala berat
- GCS 3-8 (koma)
- Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran
progresif)
- Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
- Tanda neurologist fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
(3) Menurut morfologi
a. Fraktur tengkorak : kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi;
terbuka/tertutup
Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan
serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus
VII
b. Lesi intracranial : fokal: epidural, subdural, intraserebral
difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera
aksonal difus

CEDERA SPESIFIK OTAK KEPALA


1. Fraktur Tengkorak
Fraktur Linear : Kekuatan benturan lebih luas area tengkorak
Fraktur Basiler : Pada dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang
bagian Frontal atau temporak

Fraktur ini cukup serius karena menimbulkan kontak antara CSS dan
dunia luar melalui ruang subarachnoid & sinus yang mengandung udara dari
wajah atau tengkorak, memungkinkan bakteri masuk & mengisi drainase sinus.
Op poenya

Fraktur ini bisa melukai arteri dan vena yang kemudian mengalirkan drahnya
ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak
bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang
beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang
tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan,
kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

2. Geger Serebral (Contusio)


Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang
biasanya disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala.
Robekan otak adalah robekan pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh
luka di kepala yang nyata dan patah tulang tengkorak. Hal ini menandakan
terjadinya perdarahan pada otak yang dapat menimbulkan pembengkakan
Bakteri ringan dari cedera otak menyebar, disfungsi neurologis bersifat
sementara dapat pulih. Disorientasi & bingung sesaat dengan gejala sakit
kepala, tak mampu konsentrasi gangguan memori sementara pusing, peka
omnesia retrograde. Jika terjadi pembengkakan pada otak, maka bisa terjadi
kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat
bisa menyebabkan herniasi otak.

3. Memar / Laserasi cerebral (Komosio)


Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi
neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya meliputi sebuah
periode tidak sadarkan diri dalam beberapa detik sampai beberapa menit. Jika
jaringan otak di lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku
irasional yang aneh, dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan
amnesia atau disorientasi. Komosio cerebral ini merupakan memar pada
permukaan otak yang terdiri dari area hemoragi kecil-kecil yang tersebar,
gejala bersifat neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3 hari setelah cedera &
menimbulkan disfungsi luas akibat dari peningkatan edema serebral. Pada
scan tomografi terlihat masa & menimbulkan perubahan TIK dengan jelas.
Op poenya

Tindakan terhadap komosio meliputi mengobservasi pasien terhadap


adanya sakit kepala, pusing, peka rangsang, dan ansietas (sindrom pasca-
komosio), yang dapat mengikuti tipe cedera. Dengan memberi pasien
informasi, penjelasan, dan dukungan pada pasien dapat mengurangi beberapa
masalah sindrom pasca - komosio.

4. Hematom Epidural
Adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak
bagian dalam & lapangan meningens paling luar (dura), terjadi karena
robekan cabang kecil arteri meningeal tengah atau frontal. Hal ini terjadi
karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri
memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.

Tanda & gejala berupa sakit kepala hebat yang bias segera timbul tetapi
bias juga muncul beberapa jam setelah cedera dengan intensitas nyeri tidak
tetap, penurunan kesadaran ringan, diikuti periode lucid, kemudian penurunan
neurologi dari kacau mental sampai coma, bentuk dekortikasi & deserebrasi,
pupil isokor sampai anisokor.

Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan


darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat
lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga
dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.

5. Hematoma Subdural
Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater diatas
lapangan arakhnoid yang menutupi otak. Penyebabnya robekan permukaan &
lebih sering pada lansia & alkoholik gejala sakit kepala, letargi, kacau mental,
kejang disfasia. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di
sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera
kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala
yang lebih ringan. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
Op poenya

spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala


neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik,
bergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang
ada.
a. Hematoma subdural akut
Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau laserasi. Hematoma subdural akut
menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius
dalam 24 – 48 jam setelah cedera. Cedera ini sering berkaitan
dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan tanda
klinis sama dengan hematoma epidural. Tekanan darah
meningkat, frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat.
b. Hematoma subdural sub akut
Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih
dari 48 jam setelah cedera.
Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam
ruang subdural. Riwayat klinis khas dari penderita hematoma
subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, yang diikuti penurunan
kesadaran, dan perbaikan status neurologik secara bertahap.
Namun setelah jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan penurunan status neurologik. Tingkat
kesadaran menurun bertahap, pasien tidak berespon,
peningkatan TIK, lalu terjadi herniasi unkus atau sentral.
Angka kematian tinggi pada pasien hematoma subdural akut
Op poenya

dan sub akut, karena sering dihubungkan dengan kerusakan


otak.
c. Hematoma subdural kronik
Terjadi karena cedera kepala minor, terjadi paling sering pada
lansia akibat atrofi otak karena proses penuaan. Tampaknya
cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang
cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan
sekuela negative. Waktu di antara cedera dan awitan gejala
mungkin lama, sehingga akibat actual mungkin terlupakan.
Gejala dapat tampak beberapa minggu setelah cedera minor.
Hematoma subdural kronik menyerupai kondisi lain dan
mungkin dianggap sebagai stroke.
Tindakan terhadap hematoma subdural kronik ini daapt
dilakukan melalui lubang burr ganda, atau kraniotomi dapat
dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yagn
tidak dapat dilakukan melalui lubang burr.

6. Hematoma Intrakranial
Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak,
penyebabnya adalah fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi
peluru dan gerakan aselerasi-deserasi tiba-tiba tindakan bersifat kontroversial
bedah atau medis, serta bias juga terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus
otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak
sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis
perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI.
Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejal
adalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering
terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan
gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak.
Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang
Op poenya

otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan


kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian.
Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

7. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap,
setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik
yang nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak
menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi
setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang
menimpa otak di dalam tulang tengkorak.
Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa
mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami
penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita
merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi,
emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari
beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar
dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak
diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala
yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera
mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa
membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan
selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang
bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya
cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah,
sebainya segera mencari pertolongan medis.
Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka
tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala
diberitahu mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya
tidak semakin parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen.
Op poenya

Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
Op poenya

III
PATOFISIOLOGI

3.1 MANIFESTASI KLINIS


Gejala yang timbul tergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak.
Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur.
− Fraktur kubah cranial, menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan
karena alasan ini diagnosis yang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa
pemeriksaan dengan sinar X.
− Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang
frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering
menimbulkan hemoragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di
bawah konjunctiva. Suatu area ekimosis, atau memar, mungkin terlihat di
atas mastoid (tanda Battle). Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS
keluar dari telinga (otorea cairan serebrospinal) dan hidung (rinorea
serebrospinal). Keluarnya cairan serebrospinal merupakan masalah serius
karena dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika organisme
masuk ke dalam isi cranial melalui hidung, teling atau sinus melalui robekan
pada dura. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oelh cairan spinal
berdarah.
Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera
otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba
deficit neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan
pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak
menyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera
multisistem.
Op poenya

AKIBAT DARI TRAUMA OTAK INI TERGANTUNG pada:


1. Kekuatan benturan
Makin besar benturan makin parah kerusakan
2. Akselerasi / Deselerasi
Akselerasi = Benda yang bergerak mengenai kepala yang diam
Desekrasi = Kepala membentur benda diam
Keduanya bisa bersamaan terjadi bila gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung.
3. KUP & Kontra KUP
Cedera KUP Kerusakan pada daerah dekat yang terbentur
Kontra KUP Kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan
4. Lokasi Benturan
Bagi otak yang tersebar kemungkinan cedera kepala terberat adalah
bagian lotus anterior (Frontalis & temporalis) Lobus posterior (oksipitalis dan
atas mesenfalon).
5. Rotasi
Pengubahan posisi rotasi kepala menyebabkan trauma regangan &
robekan pada substansia alba dan batang otak.
6. Fraktur Impresi
Disebabkan oleh suatu kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun
menekan otak yang lebih dalam. Akibat fraktur ini kemungkinan CSS akan
mengalir ke hidung, telinga kemudian masuknya kuman dan terkontaminasi
dengan CSS dapat menimbulkan infeksi dan kejang.

3.2 KOMPLIKASI
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.
Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya
cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera
kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40%
penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
Op poenya

Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau


valproat) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat
tersebut sering diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera
kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini
seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak
terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang
mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari
area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan
mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi
dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus
frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang
telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat
dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya
dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat
mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-
benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat
melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah
kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan
benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi
segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan
khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
Op poenya

5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama
berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa
yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau
peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca
trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai
beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang
dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat
menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya
kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus
parietalis dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan
serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara
mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup,
atau bisa juga berulang. Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya
bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan
amnesia yang berlangsung lama.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati
Wernicke. Amnesia Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang
hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita,
dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi
dengan oklusi balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan
yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien
Op poenya

mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan


hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang
meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan
antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala
tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah
beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat
proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat,
pemberian antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau rinorea
cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan
indikasi untuk reparative.
10. Edema serebral & herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi
72 Jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak
teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan
dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan otak bergeser.
Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak
menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak.
Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial & menimbulkan herniasi.
Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral & menekan di
enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak
posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES.
Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
11. Defisit Neurologis & Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran,
Nyeri kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).
Op poenya

IV
PENATALAKSANAAN

4.1 PEDOMAN RESUSITASI DAN PENILAIAN AWAL


1. Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir.
Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus
diintubasi.
2. Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau
tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien
bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti
pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang
oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen
minimum 95 %. Jika jalan napas pasien tidak terlindung bahkan
terancam, maka pasien harus segera diintubasi serta diventilasi oleh
ahli anestersi.
3. Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya
cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila
tersedia.pasang jalur intravena yang bessar, ambil darah vena untuk
pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan AGD
arteri. Berikan larutan koloid.
4. Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan
harus diobati.
5. Menilai tingkat/ klasifikasi keparahan cedera

4.2 PEDOMAN PENATALAKSANAAN


1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto
tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior, lateral, dan
odontoid).
Op poenya

2. pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan
prosedur berikut:
 pasang jalur IV dengan larutan salin normal (NaCl 0.9 %) atau
larutan Ringer Laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume
intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak
menambah edema serebri.
 Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap,
trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa
protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan
kadar alcohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto roentgen kepal tidak perlu
jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitive untuk
mendeteksi fraktur. Pasien denga cedera kepala ringan, sedang, atau
berat harus dievaluasi adanya:
 Hematoma epidural
 Darah dalam subarakhnoid dan interventrikel
 Kontusio dan perdarahan jaringan otak
 Edema serebri
 Obliterasi sisterna perimesenfalik
 Pergeseran garis tengah
 Fraktur kranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
4. Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-
tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini:
 Elevasi kepala 30°
 Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
 Pasang kateter Foley
 Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma
epidural yang besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka,
dan fraktur impresi >1 diploe)
Op poenya

4.3 PENATALAKSANAAN KHUSUS


1. Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke
rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi
criteria berikut:
 Hasil pemeriksaan neurologist dalam batas normal
 Foto servikal jelas normal
 Adanya orang yang bertanggung jawab untuk
mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk
segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala
perburukan
2. Cedera kepala sedang
Pasien yang sedang menderita konkusi otak, dengan GCS 15
dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan
untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual,
muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intracranial lanjut
yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah
minimal.
3. Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini apakah terdapat indikasi interval bedah saraf
segera. Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf
untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat
seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan primer akibat cedera,
tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat
hipoksia, hipotensi, atau peningkatan TIK. Kejang umum yang terjadi
setelah cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder
karena hipoksia, sehingga terapi anti konvulsan dapat dimulai.
Op poenya

Lampiran 1
ILUSTRASI CEDERA KEPALA
Op poenya
Op poenya
Op poenya

V
DAFTAR PUSTAKA

 Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: IAPK


Pajajaran

 Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume
3. Jakarta: EGC

 Elizabeth J. Corwin. 1996. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

 Hudak & Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

 Meg Gulanik. 1994. Nursing Care Plans. New York: Mosby

 Price, Sylvia A. 2002. Patofisiologi: Konsep klinis Proses-proses penyakit.


Jakarta: EGC

 Swear Ingen. 1996. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

 Arif, Mansjoer. 2000. Kapita Selekta ed 3. Jakarta: Media Aesculapius.

 Doengoes, ME. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

 Artikel Cedera Kepala. www.medicastore.com.. Diakses pada Selasa, 13


Februari 2007

 Head injuries: What to Watch for Afterward. www.familydoctor.com..


Diakses pada Selasa, 13 Februari 2007

 Head Trauma: First Aid. www.firstaid.com. Diakses pada Selasa, 13


Februari 2007
Op poenya

Вам также может понравиться