Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
SRI RIANAWATI
Sri Rianawati
NIM A161060101
ABSTRACT
SRI RIANAWATI. Induksi Variasi somaklonal dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan
Ketahanan Phalaenopsis Terhadap Penyakit Busuk Lunak. Dibimbing oleh AGUS
PURWITO, BUDI MARWOTO dan G.A. WATTIMENA.
SRI RIANAWATI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Dewi Sukma, SP.Msi
2. Dr. Sinto Wahyuning Ardie, Msi
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc. Agr
2. Prof. Dr. Ir. Soeranto Hoeman, MSc
Judul Disertasi : Induksi Variasi Somaklonal dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan
Ketahanan Phalaenopsis Terhadap Penyakit Busuk Lunak.
Nama : Sri Rianawati
NRP : A161060101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budi Marwoto, MS. APU Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, MSc
Anggota Anggota
Mengetahui
Sri Rianawati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Jepara Jawa Tengah pada tanggal 24 Agustus 1965
sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Soelardi (alm) dan Ibu Sri Hartini. Penulis
telah menikah dengan Drs Eddy Soesanto dan telah dikaruniai 3 orang putra laki-laki,
Rakai Daksa Yudistira (15th), Rakyan Panji Langit (alm), dan Eros Ulung Ranuwukir
(5th).
Pendidikan sarjana ditempuh di perguruan tinggi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, jurusan Biologi lulus awal tahun 1990. Pada tahun 1999 penulis
mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan strata 2 bidang Bioteknologi di IPB
dengan biaya ARMP II.
Penulis pernah bekerja sebagai staf peneliti di Balai Penelitian Bioteknologi
Tanaman Pangan Bogor di bagian Kultur Jaringan Tanaman selama 7 tahun,
selanjutnya, penulis mutasi tugas ke Balai Penelitian Tanaman Hias di Pasar Minggu
Jakarta Selatan tepatnya pada tahun 1997 sampai sekarang.
Jenjang fungsional Peneliti Muda bidang Bioteknologi telah diperoleh
sebelum melakukan pendidikan strata 3 ini. Dalam kaitannya dengan tugas, penulis
bergabung dalam Kelompok Peneliti Pemuliaan dan Sumberdaya Genetik Balai
Tanaman Hias Segunung, Cianjur-Jawa Barat, dan melaksanakan penelitian
pemuliaan tanaman hias melalui teknik in vitro.
DAFTAR ISI
23 Mutan tahan dan agak tahan dari klon SGN-PV2.11, 642 dan 377
hasil validasi dengan uji di lapangan menggunakan patogen
Erwinia carotovora subsp. carotovora
103
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1 Kerangka pemikiran untuk mendapatkan kultivar baru tahan 5
busuk lunak pada tanaman anggrek Phalaenopsis.
2 (a) Tetua klon SGN-PV2.11, (b) klon 377 dan (c) klon 642 6
6 (a) dan (b) Inisiasi kalus dari irisan eksplan daun yang mulai 40
membengkak dan berkalus membentuk proembrio (c) plb (d)
regenerasi tanaman dari plb.
16 (a) Korelasi antara masa infeksi dengan laju infeksi (b) korelasi 82
antara masa infeksi dengan intensitas penyakit busuk lunak pada
varian-varian hasil radiasi sinar gamma dan EMS yang diinokulasi
secara in vitro.
21 (a) Korelasi antara masa infeksi dengan laju infeksi penyakit (b) 98
korelasi antara masa infeksi dengan intensitas penyakit busuk
lunak varian potensial pada pengujian di lapangan
No Halaman
1 Daftar varian potensial klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang 119
tahan (SKD 1) dan agak tahan (SKD 3) terhadap Erwinia
carotovora subsp carotovora hasil uji in vitro yang dilanjutkan
dengan uji di lapangan.
2 Data mentah rata-rata jumlah plantlet per eksplant dari tiga klon 123
SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang diperoleh setelah 12 MST
PENDAHULUAN
Latar Belakang
untuk mendapatkan bentuk dan corak yang baru. Anggrek hasil persilangan
intergenerik telah diperoleh di berbagai negara terutama Belanda yang kini
merupakan penghasil anggrek intergenerik terbesar di dunia khususnya Phalaenopsis.
Di Indonesia, hasil persilangan intergenerik masih sangat jarang dijumpai meskipun
Indonesia memiliki ribuan jenis anggrek. Hal ini disebabkan karena terbatasnya
informasi mengenai karakter spesies alam yang ada.
Pengembangan anggrek di Indonesia seringkali terkendala oleh keterbatasan
iklim tropis basah yang menyebabkan serangan patogen yang lebih banyak. Beberapa
penyakit utama anggrek hingga saat ini sulit dikendalikan di antaranya ialah penyakit
degenerasi virus, penyakit layu dan penyakit busuk. Salah satu penyakit busuk yang
menyebabkan kerusakan pada semua jenis tanaman anggrek dengan kerugian yang
besar ialah penyakit busuk lunak (soft rot). Penyakit ini disebabkan oleh Erwinia
carotovora subsp. carotovora, bakteri yang menimbulkan pembusukan pada jaringan
lunak tanaman (Snijder et al. 2004) atau pseudobulb pada anggrek dan disertai bau
yang tidak enak dan mati hanya dalam beberapa hari.
Meskipun kerugian yang disebabkan oleh penyakit busuk lunak pada
anggrek di Indonesia belum pernah didata secara formal tetapi pada kenyataanya
banyak petani terutama petani kecil kesulitan mengatasinya. Petani anggrek
Phalaenopsis di Indonesia tidak semua mampu menyediakan kondisi lingkungan
buatan dapat menekan perkembangan penyakit busuk lunak. Kerugian yang
ditimbulkan oleh penyakit mampu mencapai 80-100%. (McMillan et al. 2007).
Secara umum penyakit akibat serangan bakteri lebih sulit dikendalikan
daripada penyakit lain. Tindakan tepat pengendalian kimia secara praktis dan efektif
belum ditemukan. Salah satu cara yang efektif untuk mengendalikan penyakit
tersebut ialah dengan menggunakan kultivar yang tahan (Snijder et al. 2004).
Pengendalian dengan menanam kultivar yang tahan merupakan cara yang efektif,
efisien dan aman bagi lingkungan (Sobiczewski 2008).
Perakitan kultivar baru melalui pemuliaan untuk menghasilkan Phalenopsis
yang berbunga indah dan tahan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan
penggabungan teknik persilangan konvensional dan teknik in vitro melalui induksi
keragaman somaklonal. Sejak ditemukan teknik keragaman somaklonal banyak
dilakukan penelitian-penelitian mengenai aplikasi teknik ini terutama pada tanaman
hias. Teknik induksi keragaman somaklonal tersebut dapat digunakan untuk
memperoleh karakter tertentu seperti morfologi tanaman, morfologi daun, bentuk dan
3
warna bunga (Chen & Chen 2007). Teknik induksi keragaman somaklonal
merupakan salah satu teknik penting yang potensinya cukup tinggi dalam membantu
pemulia tanaman mencapai tujuan perbaikan tanaman, pengembangan kultivar
unggul dan mempelajari lebih jauh tentang keadaan karakter tertentu dari suatu
spesies tanaman (Nasir 2002).
Pengembangan Phalaenopsis yang mengarah pada karakter ketahanan
terhadap suatu penyakit belum banyak dilakukan khususnya di Indonesia.
Pengembangan yang dilakukan melalui hibridisasi masih terbatas pada pembentukan
karakter fenotip bunga. Informasi mengenai sumber ketahanan terhadap suatu
penyakit pada anggrek juga masih sangat jarang ditemukan, khususnya sumber
ketahanan terhadap penyakit busuk lunak. Teknik induksi variasi somaklonal dapat
digunakan untuk menginduksi munculnya satu atau dua karakter tertentu tanpa
merubah sifat dasar tanaman.
Peningkatan keragaman somaklonal dapat dilakukan dengan cara induksi
mutasi melalui pemberian mutagen. Mutagen yang digunakan dapat diklasifikasikan
dalam dua kelompok yaitu mutagen fisik seperti iradiasi sinar gamma, sinar X
ataupun neutron dan mutagen kimia dengan pemberian EMS, DES, dan NEU
(Ahloowalia et al. 2004). Hingga saat ini metode keragaman somaklonal yang
dikombinasikan dengan mutagenesis masih dapat diandalkan untuk tujuan pemuliaan
tanaman dalam mendapatkan karakter tertentu yang diinginkan seperti sifat
ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik.
Keberhasilan penggunaan mutagen kimia sebagai agen induksi mutan telah
banyak diketahui di antaranya pada ubijalar dengan skrining in vitro untuk toleran
garam (Luan et al. 2007), pada krisan untuk mutasi warna (Rodrigo et al. 2004), pada
Arabidopsis untuk toleran terhadap herbisida (Jender et al. 2003), dan juga pada
paku-pakuan (Jeong et al. 2006). Tidak hanya di luar negeri, di Indonesia teknik ini
juga telah dimanfaatkan pada tanaman panili dan telah didapatkan tanaman tahan
penyakit layu bakteri (Lestari et al. 2006), tanaman pisang ambon tahan fusarium
(Husni et al. 2005).
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran perakitan kultivar anggrek Phalaenopsis tahan penyakit
busuk lunak Erwinia melalui teknik in vitro dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber gen
ketahanan terhadap penyakit pada anggrek belum diketahui. Penelitian awal pada
4
beberapa media yang mengandung beberapa kombinasi zat pengatur tumbuh dalam
media MS. Kalus yang muncul diproliferasikan dan diregenerasikan dalam media
regenerasi.
diamati persentase kematiannya untuk menentukan LD50 untuk dosis iradiasi dan
LC50 untuk konsentrasi EMS. LD50 dan LC50 digunakan untuk menentukan dosis dan
konsentrasi yang optimum pada pembentukan varian somaklon. Varian somaklon
yang diperoleh dari induksi mutasi, diuji secara in vitro untuk mendapatkan varian
yang tahan terhadap bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora. Varian yang telah
diuji secara in vitro diaklimatisasi dan diuji kembali di lapangan agar hasil yang
diperoleh lebih akurat ketahanannya terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan
oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora.
.
Gambar 2 (a) Tetua klon SGN-PV2.11, (b) tetua klon 377 dan (c) tetua klon 642.
Permasalahan
Tanaman anggrek khususnya Phalaenopsis merupakan komoditas bernilai
ekonomi tinggi dan sangat prospektif untuk dibudidayakan sebagai sumber
7
pendapatan petani. Budidaya anggrek juga menjadi penyedia lapangan pekerjaan dan
sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di daerah. Adanya keberagaman manfaat
bunga anggrek dalam kehidupan manusia menyebabkan permintaan terus meningkat.
Hal ini menyebabkan minat masyarakat untuk memelihara tanaman anggrek dengan
tujuan komersial semakin meningkat. Kondisi pasar yang cerah baik di dalam
maupun di luar negeri memungkinkan ekspor anggrek dapat menjadi sumber devisa
yang potensial bagi negara, di samping menjadi sumber penghasilan petani dan
pendapatan asli daerah (Suryana et al. 2005).
Kondisi pasar anggrek khususnya Phalaenopsis akan tetap cerah apabila
didukung dengan pengembangan yang optimum untuk penyediaan pasokan
Phalaenopsis yang berkualitas secara berkesinambungan. Sejalan dengan globalisasi
ekonomi, maka usaha peningkatan dan pengkayaan keanekaragaman dalam
penyediaan produk anggrek yang berkualitas menjadi lebih penting di tengah
timbulnya kejenuhan pasar yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan dalam
penyediaan bibit berkualitas di dalam negeri dapat mengatasi permasalahan
ketergantungan penyediaan bibit impor dari luar negeri yang masih terjadi hingga
saat ini.
Terobosan baru pada pengembangan Phalaenopsis perlu dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut. Pemilihan teknik in vitro perlu dilakukan sebagai upaya
terobosan untuk mendapatkan varietas unggul baru. Di dalam teknik in vitro,
komposisi media merupakan hal penting untuk penyediaan nutrisi yang bermanfaat
bagi pertumbuhan sel dan jaringan serta diferensiasi sel menjadi tanaman utuh
kembali. Penggunaan berbagai zat pengatur tumbuh akan mempengaruhi arah
diferensiasi sel maupun jaringan. Auksin dalam konsentrasi optimum akan medorong
terbentuknya kalus, sedangkan sitokinin akan mendorong terbentuknya tunas. Inisiasi
embrio somatik dapat dilakukan pada media yang mengandung kombinasi zat
pengatur tumbuh auksin dan sitokinin seimbang (Chowdhury et al. 2003).
Keseimbangan komposisi nutrisi dan zat pengatur tumbuh tambahan pada induksi
embrio somatik setiap tanaman adalah berbeda, oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian mengenai komposisi tersebut.
Peningkatan keragaman genetik harus dilakukan apabila materi tanaman
merupakan klon, karena suatu klon tidak memiliki keragaman genetik. Keragaman
genetik dapat diperoleh selain melalui persilangan dapat dicapai melalui peningkatan
8
variasi somaklonal. Teknik ini merupakan teknik untuk mendapatkan variasi genetik
tanaman yang dapat dilakukan melalui kultur jaringan secara in vitro (Karp 2004).
Pada saat ini teknik in vitro dan mutagenesis merupakan metode yang paling
banyak digunakan untuk meningkatkan variabilitas pada tanaman yang diperbanyak
secara vegetatif. Teknik mutasi yang dikombinasikan dengan kultur in vitro dan
metode molekuler akan menyediakan metode-metode yang kuat untuk meningkatkan
pemuliaan tanaman pada banyak tanaman hias. Selain itu dengan perlakuan
mutagenesis dapat diinduksi perubahan ukuran tanaman, waktu mekar bunga,
pemasakan buah, warna buah, self-compatibility, dan juga resistensi terhadap patogen
(Predieri 2001). Teknik mutasi ini dapat dilakukan secara fisik dengan teknik nuklir
iradiasi sinar gamma maupun kimia (Konstantinov & Driníc 2007).
Dalam pemuliaan tanaman, penggunaan teknik nuklir paling berpengaruh
secara langsung untuk menginduksi mutasi sel. Sejak penemuan sinar-X sekitar
seratus tahun yang lalu, penggunaan iradiasi pengion seperti sinar-X, gamma dan
neutron telah menjadi suatu teknologi yang telah terbukti secara luas (Ahloowalia &
Maluszynski 2001). Bahan mutagen fisik ini dapat melepas energi (ionisasi), segera
setelah melewati atau menembus materi. Proses ionisasi akan terjadi dalam jaringan
dan selanjutnya dapat menyebabkan perubahan pada tingkat sel, genom, kromosom
dan DNA atau gen. Perubahan yang terjadi secara mendadak pada tingkat genom,
kromosom dan DNA atau gen sering bersifat permanen, dan diwariskan ke generasi
berikutnya, dikenal sebagai mutasi (Soeranto 2005).
Induksi mutasi dengan iradiasi ini paling banyak digunakan untuk
pengembangan metode perolehan varietas-varietas mutan secara langsung, dengan
frekuensi penggunaan yang paling tinggi yaitu 89%, sedangkan penggunaan mutagen
kimia relatif rendah. Di antara iradiasi pengion yang ada, induksi iradiasi varietas-
varietas mutan paling banyak dikembangkan dengan sinar-γ (65%), diikuti sinar-X
(22%). Dari 2.252 nomor aksesi, 75% merupakan tanaman pangan dan 25% tanaman
hias dan dekoratif (Ahloowalia et al. 2004).
Teknik induksi variasi somaklonal juga dapat diaplikasikan bersama dengan
teknik mutagenesis secara kimiawi. Mutagen kimia lebih mudah tersedia dan
perbandingan terhadap modifikasi yang tidak diinginkan lebih baik pada mutagen
kimia dibandingkan dengan iradiasi (Nasir 2002). EMS merupakan salah satu
kelompok mutagen kimia yang paling menarik karena agensia ini membentuk
9
alkilasi. Senyawa ini memiliki satu atau lebih gugus alkil reaktif yang dapat ditransfer
ke molekul lain pada posisi kepadatan cukup tinggi (Kodym & Afza 2003).
Jenis mutagen kimia sangat banyak, tetapi paling populer dan handal di
antaranya adalah jenis yang dikelompokkan dalam golongan senyawa ‘ethylating
agent’ dan ‘methylating agent’. Ethilmethanesulfonat (EMS), dan diethilsulfonat
(DES), merupakan mutagen kimia yang merupakan senyawa ‘ethylating agent’,
sedangkan Methylmethanesulfonat (MMS), Dimethylsulphate (DMS) dan sebagainya
(Kodym & Afza 2003). Keberhasilan penggunaan mutagen kimia sebagai agen
induksi mutan telah banyak diketahui di antaranya pada ubijalar dengan skrining in
vitro untuk toleran terhadap garam (Luan et al. 2007), pada tanaman arabidopsis yang
resisten terhadap herbisida (Jender et al. 2003), pada krisan (Rodrigo et al. 2004), dan
juga telah diaplikasikan pada kacang panjang (Svetleva & Crino 2005).
Metode pengujian ketahanan tanaman melalui cara inokulasi di lapangan telah
banyak dilakukan, tetapi metode ini sering mengalami disease escape. Di samping itu
lahan yang digunakan untuk pengujian tersebut dapat menjadi sumber penyakit baru.
Metode lain yang relatif aman diaplikasikan adalah metode uji secara in vitro.
Teknik ini lebih efisien dan efektif karena selain dapat mengurangi terjadinya escape,
hasil uji dapat diulang di rumah kaca, patogen yang digunakan tetap terbatas di
laboratorium dan umumnya memberikan hasil yang relatif tidak berbeda dengan
inokulasi di lapangan, tidak membutuhkan lahan yang luas dan lebih murah
(Samanhudi 2000).
Metode pengujian ketahanan tanaman secara in vitro terhadap penyakit busuk
lunak yang disebabkan oleh Erwinia spp khususnya pada Phalaenopsis belum pernah
dilakukan di Indonesia. Informasi mengenai masalah ketahanan Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak juga tidak banyak dijumpai, oleh karena itu masih
diperlukan penelitian mengenai baik penggunaan metode pengujian maupun sifat
ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak tersebut. Dalam penelitian ini
akan diaplikasikan penggunaan metode uji in vitro untuk ketahanan Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak menggunakan agen penguji bakteri, pada varian
somaklon hasil iradiasi dan perlakuan EMS. Beberapa analisis pendukung yang dapat
dilakukan antara lain analisis isoenzim, analisis kandungan peroksidase, dan
kandungan asam salisilat.
Tujuan Penelitian
10
Secara umum penelitian ini bertujuan mendapatkan klon baru tahan penyakit
busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora melalui
pendekatan penelitian, yaitu melalui pengujian varian somaklon yang diinduksi
menggunakan iradiasi sinar gamma dan perendaman larutan EMS. Secara spesifik
penelitian ini bertujuan :
1. Mendapatkan teknik induksi embriosomatik dari klon SGN-PV2.11, klon 377
dan klon 642.
2. Mendapatkan varian somaklon melalui iradiasi sinar gamma.
3. Mendapatkan varian somaklon melalui perlakuan perendaman larutan EMS.
4. Mendapatkan varian-varian somaklon SGN-PV2.11, 377 dan 642 hasil iradiasi
sinar gamma dan perendaman larutan EMS yang tahan terhadap Erwinia
carotovora subsp. carotovora melalui uji ketahanan secara in vitro.
5. Mengkonfirmasi hasil uji ketahanan terhadap Erwinia carotovora subsp.
carotovora secara in vitro dan uji ketahanan terhadap penyakit di lapangan.
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Phalaenopsis
Indonesia sebagai salah satu negara tropis di kawasan Asia memiliki
kekayaan flora yang tersebar di seluruh wilayah kepulauannya. Di antara ragam
kekayaan flora tersebut, tanaman anggrek merupakan komoditas yang paling penting
12
dan bernilai ekonomi tinggi. Sebagian besar spesies anggrek belum termanfaatkan
dan masih berada di hutan belantara dataran rendah maupun dataran tinggi sebagai
habitat alamnya. Dari berbagai jenis anggrek yang tumbuh di alam Indonesia,
Phalaenopsis merupakan salah satu yang paling populer di dunia. Sebagian besar
spesies Phalaenopsis yang dikenal di dunia diketahui berasal dari Indonesia, sedang
sebagian kecil berasal dari Semenanjung Malaya, Filipina, Thailand, dan Birma
(Djaafarer 2002).
Beberapa spesies yang sangat populer dan terus diburu yaitu Phalaenopsis
gigantea (anggrek bulan raksasa) yang berasal dari Kalimantan, dan sangat potensial
sebagai induk silangan. Phalaenopsis amboinensis yang juga terkenal sebagai cikal
bakal lahirnya Phalaenopsis berbunga kuning. Salah satu yang berbunga kupu-kupu
putih, Phalaenopsis amabilis dapat dijumpai hampir di seluruh kepulauan Indonesia,
seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Buru, Timor, Papua dan Jawa,
mendapat julukan "Puspa Pesona". Phalaenopsis lain yang merupakan bahan induk
silangan berpotensi yaitu Phalaenopsis cornucervi dikenal sebagai anggrek bulan
loreng merupakan sumber genotip anggrek hibrida bercorak loreng (Djaafarer 2002).
Semua tanaman Phalaenopsis memiliki batang yang pendek dan merupakan
tanaman monopodial. Berbeda dengan anggrek monopodial berbatang panjang
(seperti Arachnis, Renathera), batang anggrek Phalaenopsis dapat dikatakan hampir
tidak ada. Jarak antara daun sangat pendek, dan apabila terjadi pemanjangan
internode biasanya merupakan pengecualian pertumbuhan. Ciri batang yang pendek
menandakan bahwa tanaman ini membutuhkan intensitas cahaya matahari cukup
rendah. Siklus hidup Phalaenopsis secara alami terjadi selama 2-3 tahun dari fase
vegetative hingga fase reproduktif (Christenson 2001).
Phalaenopsis memiliki tiga jenis akar: akar udara, akar epifit dan akar
substrat. Akar udara silindrik dan tidak bercabang, besar, memanjang pada ujungnya
berpigmen ungu atau hijau seperti pigmentasi pada daun. Pigmentasi ini
kemungkinan merupakan pola pewarisan alel tunggal. Akar epifit, atau akar yang
berpangkal pada batang dan tidak menempel pada substrat atau tidak tertutupi oleh
substrat, bentuknya tipikal pipih dan menyerupai pita. Akar substrat berbentuk
silindrik berdiameter lebih besar dari pada akar udara dan biasanya ujung akarnya
tidak berpigmen. Pada setiap tanaman memiliki satu atau dua jenis akar tersebut
tergantung lingkungannya. Hormon yang terdapat di ujung akar mampu menginisiasi
13
mitosis sehingga jaringan ini cocok digunakan untuk pembentukan plb (protocorm
like bodies) dan berpeluang untuk menginduksi mutasi (Christenson 2001).
Ketebalan daun bervariasi dari spesies yang satu dengan spesies yang lain.
Namun, tekstur dan morfologinya semua hampir sama dalam satu genus
Phalaenopsis. Semua jenis daun ini sukulen dan mengkilap. Secara normal daun
bersifat evergreen, beberapa kadang-kadang menunjukkan variasi pigmentasi. Pada
Phalaenopsis daun kadang-kadang tampak keperakan kaya dengan spot-spot ungu.
Pola pewarnaan daun tampaknya berhubungan erat dengan tanda-tanda khusus untuk
pengenalan spesies. Pada spesies dengan daun yang tidak memiliki ciri, ada atau
tidaknya warna ungu di bagian bawah permukaan daun adalah bervariasi dan
dikontrol oleh satu sistem alel (Christenson 2001).
Tangkai bunga Phalaenopsis umumnya pendek, jumlah bunga sedikit.
Tetapi ada spesies yang tangkai bunganya bercabang sehingga hasil silangan-
silangannya hingga kini menghasilkan hibrid multiflora. Pangkal tangkai bunga
Phalaenopsis biasanya beruas 3-5 ruas dan masing-masing ruas terdapat mata tunas
yang diselubungi pelepah berukuran kecil. Setelah ruas-ruas tersebut, terdapat
kuntum-kuntum bunga. Kadang-kadang pada ruas tangkai bunga muncul keiki atau
tunas anakan (Djaafarer 2002).
Selama ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa anggrek
Phalaenopsis spesies hanya dapat tumbuh di daerah dataran tinggi. Padahal
sebenarnya anggrek dapat tumbuh di sembarang ketinggian, dataran rendah,
menengah sampai tinggi, selama kondisi ekologinya optimum untuk pertumbuhan
dan perkembangan tanaman, Phalaenopsis merupakan jenis anggrek epifit atau litofit.
Di alam anggrek ini epifit pada batang kayu atau dinding bebatuan dengan akar
menempel kuat. Di alam, Phalaenopsis hidup di tiga macam habitat antara lain
daerah kering, daerah dingin dan dan daerah yang memiliki kelembaban udara tinggi
secara terus-menerus. Di daerah yang mempunyai kondisi ekstrim akan memacu
sistem adaptasi tanaman terhadap lingkungan tersebut. Salah satu sistim adaptasi
ialah adaptasi terhadap kondisi xerofitik dengan cara meningkatkan kesukulenannya.
Hal ini sering dijumpai pada Phalaenopsis cornucervi dan kerabatnya yang memiliki
daun lebih tebal. Beberapa spesies seperti Phalaenopsis gigantea hidup di daerah
berkanopi lebih tinggi dan agak lebih terbuka. Jenis seperti ini, memiliki daun yang
amat keras untuk menghindari pengeringan dan lebih toleran terhadap level cahaya
yang tinggi dari pada spesies lain.
14
c
b
Persilangan anggrek telah dilakukan orang sejak tahun 1849 hingga saat ini
telah didaftarkan ribuan jenis baru termasuk di antaranya multigenerik, intragenerik
dan intergenerik. Dalam daftar persilangan intergenerik sendiri diketahui bahwa ada
589 macam yang bersifat intergenerik, 62 intergenerik di antaranya telah dihasilkan
mengandung tetua Phalaenopsis dan atau Vanda (Anonim 2006). Beberapa contoh
16
Seneviratne & Wijesundara 2007)). Selama ini warna bunga merupakan target utama
dalam pemuliaan konvensional. Pigmen utama yang terlibat dalam pewarnaan bunga
ialah flavanoid yang merupakan pembentuk warna kuning, merah, ungu dan biru.
sedangkan carotenoid menyebabkan terbentuknya warna kuning hingga orange.
Pigmen warna sangat kuat tergantung pada pH dalam sel (Tsuda et al. 2004). Selain
karakter kualitatif seperti warna, sifat kuantitatif yang dapat berubah karena teknik
keragaman somaklonal pada tanaman hias antara lain perubahan durasi vase-life,
jumlah bunga, kerajinan berbunga.
Keragaman somaklonal dapat diinduksi untuk memperoleh mutan-mutan yang
diharapkan membawa sifat yang menguntungkan tanaman, dan telah dilakukan oleh
beberapa orang peneliti. Induksi mutasi dapat dilakukan dengan pemberian mutagen.
Mutagen terdiri atas dua tipe yaitu fisik dan kimia (Kodym & Afza 2003). Mutagen
tersebut bervariasi dalam spektrum penyebab mutasi. Induksi secara fisik yang dapat
digunakan antara lain iradiasi gelombang elektromagnetik dengan sinar ultraviolet
(UV), sinar-x (X), neutron dan sinar gamma (Co60) (Kovacs & Karesztes 2002).
Secara kimiawi dapat digunakan senyawa kimia penyebab metilasi, antara lain ENU,
EI, IPMS, EMS (etilmetan sulfonat), MMS (metilmetan sulfonat), dan colchicin
(Konstantinov & Driníc 2007).
Penggunaan induksi mutasi tampaknya merupakan salah satu alternatif
terbaik bagi program pemuliaan tanaman membiak vegetatif. Melalui perbanyakan
vegetatif, individu mutan hasil pemuliaan mutasi dapat secara langsung membentuk
klon komersial. Database FAO/IAEA menyatakan bahwa dari 552 mutan yang
dilepas di antara tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, sebagian besar adalah
tanaman hias dan beberapa tanaman buah, termasuk Chrysanthemum, Dahlia,
Bougainvillea, Rosa, Begonia, Carnation, dan Azalea (Ahloowalia & Maluszynski
2001). Efek dari mutasi pada tanaman hias dapat terlihat secara jelas dengan kasat
mata. Seleksi untuk perubahan warna bunga, bentuk dan ukuran sangat mudah
dilakukan, dan hampir seluruh mutan yang dijumpai bernilai ekonomis tinggi.
Berdasarkan efek yang ditimbulkan tersebut, penggunaan teknik mutasi menjadi
sarana utama untuk pemuliaan tanaman hias (Rego & deFaria 2001).
Jumlah pasti kultivar-kultivar tanaman hias hasil mutasi induksi yang telah
dilepas dan berapa besar nilai ekonomisnya sulit untuk diprediksi. Perusahaan
komersial seringkali tidak melaporkan asal dari kultivar-kultivar mutan tanaman hias
yang diinduksi, dan nilai tanaman mutan tersebut menjadi rahasia suatu perusahaan.
19
Pada berbagai negara berkembang, kultivar-kultivar mutan yang dilepas dan didaftar,
dimanfaatkan oleh pihak lain, karena kultivar-kultivar tersebut dapat diperbanyak
secara bebas tanpa izin dari pemulia. Sebagai contoh, National Botanic Research
Institute (NBRI), Lucknow, India, selama 17 tahun terakhir telah melepas 70 kultivar
hasil induksi mutasi tanaman hias antara lain, Chrysanthemum, Mawar, Bougenvillia,
Lantana, Hibiscus, dan Portulaca (Ahloowalia et al. 2004). Demikian pula di negara
Thailand, Department of Applied Radiation and Isotopes, Kasetsart University, telah
melepas 6 mutan kultivar bunga Kana, 15 Chrysanthemum dan 2 mutan Portulaca.
Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan tanaman hias di India dan
Thailand, tampaknya juga dihadapi di Indonesia. Pelepasan varietas hasil induksi
mutasi banyak yang belum tercatat di kantor perlindungan varitas tanaman (PVT),
demikian pula kelanjutan penyebarannya.
Secara visual tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang
diberikan tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun dosis letal 50
(LD50). LD50 ialah dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi yang
20
diradiasi (Omar et al. 2008). Dari banyak penelitian mutasi induksi, telah diketahui
bahwa umumnya mutasi yang diinginkan terletak pada kisaran LD50 atau sedikit di
bawahnya. Pada kasus tertentu, misalnya pada perlakuan kalus digunakan dosis yang
besarnya sekitar LD30.
Faktor yang mempengaruhi tingkat sensitivitas tanaman terhadap iradiasi,
secara fisik bentuk morfologi tanaman, kesukulenan material dapat mempengaruhi
ketahanan fisik sel saat menerima iradiasi sinar gamma. Hal ini berhubungan dengan
faktor biologis lainnya seperti faktor genetika, dan juga faktor lingkungan seperti
oksigen, kadar air, penyimpanan pasca iradiasi dan suhu (Ashraf et al. 2003).
Pada plantlet lotus (Nelumbo nucifera Gaertn.), mutasi yang diinduksi
dengan dosis 20 Gy, menghasilkan laju pertahanan hidup sebesar 50%. Dosis 10 dan
20 Gy menghasilkan pemanjangan akar sekunder dan pembentukan sejumlah akar
adventif. Mutan-mutan ini juga terhambat pertumbuhan pucuk dan perkembangan
rhizoma. Sebagian besar tanaman yang diberi perlaknan 20-50 Gy memperlihatkan
karakteristik yang abnormal, termasuk vitrifikasi, klorosis, dan penampilan petiole
dan penghambatan pertumbuhan tunas lateral, akar-akar sekunder dan rhizoma.
Seluruh tanaman yang diberi perlakuan 60 Gy mati dalam 4 minggu (Arunyanart &
Soontronyatara 2002). Hasil penelitian Mandal et al. (2000) pada tanaman Krisan
(Chrysanthemum morifolium cv. Maghi), iradiasi dapat diberikan pada nodus batang,
internodus batang, pucuk, dan bunga (ray floret) dengan dosis 15, 20 dan 25 Gy.
Perlakuan sinar gamma 2 krad (20 Gy) menimbulkan daun-daun klorofil variegata,
2.5 krad (25 Gy) bunga kimera (mutan putih, wild-type ungu tua/mauve). Mutan solid
dengan daun variegata klorofil, dihasilkan dari eksplan nodus batang. Pada dosis
tersebut tidak dilaporkan adanya letalitas.
Efek iradiasi terhadap perubahan warna bunga tanaman tergantung pada
warna tetua sumber eksplan. Warna tetua biru yang mengandung antosianin,
malvidin, peonidin, petunidin dan cyanidin pada bunga torenia yang diradiasi
memberikan tambahan pelargonium dan delphinidin. Akibat ketidakadaan
malvinidin, menyebabkan bunga mutan menjadi biru pucat. Warna pink
mengandung peonidin, cyanidin dan pelargonium dan tidak mengandung malvinidin
dan petunidin (Miyazaki et al. 2006).
Induksi Mutasi Menggunakan EMS
mutagen yang cukup berguna dan handal antara lain etilmetanasulfonat (EMS),
dietilsulfat (DES), etilenimin (El), N-nitro-N-etil urea (NEU) (Konstantinov &
Driníc 2007). Mutagen kimia khususnya EMS lebih mudah tersedia dan rasio
mutasionalnya terhadap modifikasi yang tidak diinginkan lebih baik dibandingkan
dengan iradiasi (Nasir 2002).
Sebagai sarana pemuliaan praktis, kelompok mutagen kimia yang paling
menarik ialah agensia yang membentuk alkilasi. Kelompok ini memiliki satu atau
lebih kelompok alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi di
mana kepadatannya tinggi. Agensia yang mengalkilasi dapat bereaksi dengan DNA.
Pada awalnya terbentuk triester yang tidak stabil karena fosfat triester dihidrolisa
antara gula dan fosfat yang menghasilkan pecahnya tulang punggung DNA. Alkilasi
dari nitrogen basa terjadi dan bereaksi dengan guanine pada posisi N-7. Kejadian ini
biasanya diikuti oleh adenine pada posisi N-3 dan citosin pada posisi N-1 (Kodym &
Afza 2003). Alkilasi guanine membentuk O6-ethyl guanine yang dapat berpasangan
dengan timin tetapi tidak dengan citosin (Kim et al. 2006). EMS menginduksi C ke T
menghasilkan C/G ke T/A yang bersifat substitusi, sedang methyl methansulfonate
menghasilkan transversi T/A ke G/C dan transisi A/T ke G/C (1,3,4). Pada frequensi
rendah EMS membentuk G/C ke CG atau transversi G/C ke T/A oleh hidrolisa 7-
ethylguanin atau transisi A/T ke G/C oleh 3-ethyladenin (Kim et al. 2006).
Mutagen kimia dapat diintroduksi ke dalam jaringan tanaman dan bahkan sel
dapat menyebabkan jumlah mutasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara lain
tetapi hasil yang memuaskan bergantung pada konsentrasi bahan kimia, lama masa
perlakuan, suhu, pH larutan mutagenik dan kadar air bahan yang diberi perlakuan
(Kovacs & Karesztes 2002). Penggunaan EMS telah banyak digunakan pada berbagai
tanaman, selain pada tanaman hias seperti krisan berwarna pink tua dengan perlakuan
EMS 0.77% selama 45 menit yang menghasilkan mutan 5.2% yang berwarna pink-
salmon, pink terang, putih , kuning, warna sahnon dan bronze (Rodrigo et al. 2004),
juga tanaman kacang-kacangan (Svetleva & Crino 2005). Pada tanaman ubijalar,
EMS diaplikasikan untuk mendapatkan tanaman toleran kadar garam tinggi dengan
konsentrasi 0.5% selama 2-2.5 jam pada eksplan kalus (Luan et al. 2007).
Efek Fisiologi Mutagen
berasal dari pembelahan sel-sel yang termutasi. Hasil pembelahan meristem ini berisi
satu lapis sel yang secara genetik berbeda dari sel meristem yang tidak termutasi.
Contoh kimera periklinal adalah blackberry tanpa duri. Lapisan epidermis ini
membentuk duri. Lapisan epidermis tanpa duri menutupi batang yang berisi informasi
genotip berduri.
23
Kimera yang lain, ialah kimera meriklinal dan sektoral. Kimera meriklinal
dihasilkan ketika sel termutasi tidak sampai memasuki kubah apikal. Lapisan sel
termutasi mungkin dipelihara hanya sebagian dari meristem. Kimera meriklinal yang
meliputi sejumlah sel yang hanya sebagian kecil yang terpengaruh. Kimera ini
merupakan tipe yang tidak stabil. Selanjutnya ialah kimera sektoral, dihasilkan dari
mutasi yang terjadi pada sebidang meristem apikal, perluasannya meliputi seluruh
lapisan. Tipe kimera ini tidak stabil dan dapat memunculkan tunas atau daun yang
bukan kimera. Sel termutasi maupun sel normal dapat diproduksi tergantung pada
bagian mana yang paling berkembang (Lineberger 2007).
Pada tanaman yang diperbanyak secara in vitro yang diikuti dengan
mutagenesis, beberapa siklus propagasi dibutuhkan untuk menghilangkan kimera,
dan mendapatkan mutan yang solid, karena diduga bahwa banyak mutan yang
diregenerasikan merupakan kimera sektoral. Sub-kultur secara in vitro material yang
diradiasi melalui V0 sampai V4 dapat diperoleh secara cepat dan tanpa kehilangkan
setiap genotip di bawah kondisi bebas penyakit (Ahloowalia & Maluszynski 2001).
Pada kasus umum, aplikasi mutagen menghasilkan kimera meriklinal atau
sektoral. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya kompetisi pada jaringan meristem
di antara sel-sel yang tidak bermutasi yang dikenal sebagai seleksi diplontik.
Fenomena ini dapat mempengaruhi besarnya frekuensi mutan yang teramati pada
generasi M1V2 (Datta et al. 2005).
Penyakit busuk lunak dapat menyerang semua jenis anggrek terutama yang
memiliki jaringan yang lunak. Bakteri penyebab busuk lunak yang dijumpai pada
beberapa jenis anggrek biasanya adalah Erwinia carotovora subsp. carotovora dan
Erwinia chrysanthemi (Cating and Hong 2008). Pada Phalaenopsis, penyakit ini
biasanya disebabkan oleh serangan bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora
(Syahril et al. 2006). Bakteri busuk lunak ini mampu tumbuh dan aktif pada suhu 24-
35 °C. Bakteri dapat terbunuh bila suhu mencapai 50 °C (Charkowsky 2006).
Secara umum bakteri Erwinia carotovora dapat bertahan hidup dan
menginfeksi organ-organ tanaman yang disimpan, di lahan, di serasah tanaman
ataupun di akar tanaman inang, di irigasi air, bahkan di dalam pupa serangga.
Penyakit ini pertama kali muncul di dalam media tanam yang sebelumnya telah
terinfeksi. Infeksi dapat terjadi melalui pelukaan jaringan tanaman oleh serangga.
24
Ketika bakteri busuk lunak memasuki luka, bakteri menginfeksi dan memperbanyak
diri dengan bantuan enzim. Salah satu enzim yang dihasilkan ialah enzim pektolitik.
Bakteri meningkatkan jumlah enzim pektolitik dan mampu memecahkan senyawa
pektik pada lamella tengah. Oleh karena tekanan osmotik jaringan berada pada porsi
tinggi, maka sel-sel sangat mudah dipisahkan, air berdifusi ke ruang antar sel.
Hasilnya sel-sel mengalami plasmolisis, collapse dan mati. Bakteri melanjutkan
pergerakannya dan memperbanyak diri di ruang antar sel selanjutnya (Janse 2006).
Gejala Penyakit
Keadaan lingkungan yang disukai penyakit busuk lunak ialah pada saat suhu
hangat hingga panas dengan kelembaban tinggi. Bakteri ini biasanya bersifat epifit
pada permukaan daun dan agresif menyerang jaringan bila ada pelukaan. Bakteri
dapat berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain dengan mengikuti aliran air.
Infeksi terlihat sebagai bulatan berwarna gelap, hijau keabu-abuan yang sangat cepat
meluas. Bagian daun yang terserang menjadi lembek, berwarna coklat dan seringkali
berbau. Daya perusakannya sangat tinggi, sangat cepat menyebar di daun dan akar
tetapi lebih lambat perusakannya pada rizoma dan pseudobulb (Simone & Barnett
1995).
bakteri penyebab penyakit busuk lunak pada tanaman lain dapat digunakan sebagai
dasar untuk memahami sistim pertahanan tersebut.
Pada umumnya, tanaman yang terserang patogen akan terinduksi untuk
mempertahankan diri. Tanaman menjadi tahan terhadap penyakit dapat dilakukan
secara aktif atau pasif. Ketahanan pasif tergantung pada pertahanan yang telah
terekspresikan pada tanaman, sedang ketahanan aktif merupakan pertahanan yang
diinduksi setelah ada penyerangan. Ketahanan terinduksi dapat berupa pertahanan
local atau sistemik. Mekanisme penghentian perkembangan patogen secara lokal
dilakukan dengan cara memproduksi pathogenesis - related protein (PR protein) dan
mengembangkan dinding sel untuk menghambat perkembangan inokulum.
Mekanisme pertahanan secara sistemik diawali adanya induksi primer untuk
membentuk PR protein. Mekanisme tersebut merupakan mekanisme ketahanan
terinduksi yang dibedakan menjadi dua yaitu systemic acquired resistance (SAR)
dan induced systemic resistance (ISR). Keduanya dibedakan berdasarkan tipe agen
penginduksi dan jalur penghantaran signal pada inang yang menghasilkan ekspresi
ketahanan (Hammerschmidt 2007).
Secara umum, awal suatu interaksi inang-patogen sampai terjadi gejala
penyakit ialah melalui beberapa tahapan. Tahapan awal yaitu prekolonisasi dimulai
dengan adanya kontak dan pelekatan bakteri pada permukaan inang, pengenalan
antara bakteri dan sel inang dan penetrasi bakteri ke dalam jaringan. (Hallmann
2001). Pada saat bakteri mulai berhasil menembus jaringan, terjadilah infeksi
penyakit. Untuk menginfeksi tanaman, patogen harus menginvasi sistim pertahanan
tanaman yang dapat berupa penghalang fisik tanaman seperti kutikula dan dinding
sel. Tanaman mengetahui adanya patogen yang menyerang melalui pengenalan
molekul yang disebut elisitor yang berasal dari patogen ataupun dari tanaman dan
dapat memacu sistim pertahanan. Dalam berbagai kasus, pengenalan patogen oleh
tanaman yang spesifik, mengikuti konsep Flor interaksi gene-for-gene (Flor 1971;
Pozo et al. 2005).
Interaksi gene-for-gene antara inang-patogen meliputi pengenalan spesifik
dari protein avirulensi yang disandi oleh gen avr dari patogen melalui komplementari
protein yang disandi oleh gen R (Agrios 2005). Bakteri tidak dapat berkembang pada
suatu tanaman apabila terjadi pengenalan elisitor patogen oleh reseptor tanaman yang
merupakan produk dari gen R dalam keadaan nonkompatibel. Sebaliknya, apabila
pengenalan elisitor oleh reseptor kompatibel, bakteri akan terjadi penyakit (Keller et
27
al. 2000). Hipersensitif Respon (HR) adalah respon pertahanan tanaman yang
berhubungan dengan resistensi dalam interaksi nonkompatibel inang-patogen dan ini
dicirikan oleh adanya local cell death di sekitar infeksi (Montesinos 2000; Strange
2003).
Setelah terjadi pengenalan elisitor, serentetan perubahan sitologis dan respon
fisiologis terjadi pada sel tanaman. Perubahan sitologi termasuk di antaranya
pembentukan papilla, peningkatan aliran sitoplasmik dan migrasi nuklear, yang akan
berhubungan dengan depolimerisasi mikrotubula dan mikrofilamen. Respon biologis
yang terjadi adalah perubahan konsentrasi ion yang akan menyeberangi membran
plasma, dan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang terjadi dalam 2-5
menit setelah pengenalan elisitor. Beberapa reaksi biokimia ini dihubungkan dengan
signal tranduksi yang akan mengawali respon pertahanan. Defosforilasi protein
merupakan peristiwa yang berbeda yang mengikuti pengenalan patogen dan terlibat
dalam penghantaran signal bertahap yang memacu pertahanan.. Identifikasi beberapa
Mitogen Activated Protein (MAP) kinase dan reseptor kinase dihubungkan dengan
respon pertahanan yang digaris bawahi relevan terhadap proses defosforilasi selama
penghantaran signal pertahanan tanaman (Boller & Keen 2000).
Respon pertahanan terhadap patogen bisa merupakan pertahanan lokal atau
sistemik yang meliputi sejak perubahan yang terjadi dari awal persepsi hingga
perubahan sitoplasmik yang merubah permiabilitas membrane plasma sehingga
memicu perubahan lain yang mengarah kepada ekspresi gen pertahanan. Pelukaan
juga memacu respon pertahanan termasuk Reactive Oxygen Species (ROS) dan
induksi signal seperti ethylene dan Jasmonic Acid (JA) dan derivatnya (Jabs &
Slurenko 2000).
lapangan. Metode ini juga efisien karena hanya klon-klon yang tahan dalam
pengujian in vitro yang dilanjutkan pengujiannnya di lapangan (Samanhudi 2000).
Seleksi untuk ketahanan penyakit dapat dilakukan menggunakan beberapa
agen penyeleksi seperti toksin, toksin analog, filtrat maupun patogen itu sendiri.
Penggunaan toksin murni sebagai agen penyeleksi dalam kultur cukup efisien ketika
gejala penyakit dapat ditimbulkan oleh toksin yang diproduksi oleh patogen dan
ketika toksin dapat berperan pada level eksplan yang dikultur misalnya level sel.
Penggunaan patogen sebagai agen penyeleksi langsung pada ketahanan tanaman
terhadap penyakit dapat dilaksanakan apabila dapat dipenuhi syarat lingkungan
tumbuh patogen sehingga kesulitan pertumbuhan dapat ditiadakan (Chandra et al.
2010) .
Beberapa penelitian di antaranya uji ketahanan pada plantlet kentang
menggunakan ko-kultur dengan Phytophtora infestan berkorelasi dengan resistensi
kultivar di lapangan (Daayf et al. 2003). Microcutting tanaman poplar ko-kultur
dengan Xanthomonas menghasilkan resistensi sebanding dengan resistensi terhadap
fireblight di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press.
Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney.
Tokyo. 922p
Ahloowalia BS, Maluszynski M, Nichterlein K. 2004. Global impact of mutation-
derived varieties. Rev. Euphytica 135: 187–204.
Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutations-A new paradigm in plant
breeding. Euphytica 118: 167–173, 2001.
Akin-Idowu PE, Ibitoye DO, Ademoyegun OT. 2009. Tissue culture as a plant
production technique for horticultural crop. Afr J Biotech 8(16): 3782-3788
Arunyanart S. Soontronyatara S. 2002. Mutation induction by γ and X-ray
irradiation in tissue cultured lotus. Plant Cell Tissue Organ Cult 70: 119–
122, 2002.
Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1
generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795
Boller T, Keen NT. 2000. Resistance genes and the perception and transduction of
elicitor signals in host-pathogen interactions. Di dalam: Slurenko AJ, Fraser
RSS, van Loon LC, editor. Mechanism of Resistance to Plant Diseases.
Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 189-229
Cammareri et al. 2002. Induction of variability in chimeric Aster cordifolius ‘White
Elegans’ through somaclonal variation. Euphytica 128: 19-25
Cating RA, Hong JC. 2008. First report of bacterial soft rot on Vanda Orchids caused
by Dickey chrysanthemi (Erwinia chrysantemi) in the limited stark. Plant Dis
92 (6) : 977
29
Hyman LJ, Sullivan L, Toth IK, Perombelon CM. 2007. Modified crystal violet
pectate medium (CVP) based on a new polypectate source (Slendid) for the
detection and isolation of soft rot erwinias. Potato Res 44(3) : 265-270.
Jain SM, Buiatti M, Gimelli F Saccardo F. 1997. Somaclonal variation in
improving ornamentals plants. Di dalam: Jain SM, Brar DS, Ahloowalia BS,
editor. Somaclonal Variation and Induced Mutation in Crop Improvement.
Kluwer Academic Press. The Netherland. p 35-58
Janse, J. D. 2006. Phytobacteriology. Principles and Practice. CABI Publishing. Uk.
Singapore. p. 360
Jender et al. 2003. Ethylmethanesulfonate saturation mutagenesis in Arabidopsis to
determine frequency of herbicide resistance. Plant Physiol 131: 139- 146.
Jeong JA, Ryu BY, Lee CH. 2006. In vitro culture of variants induced by chemical
mutagenesis in Phyllitis scolopendrium (L) Newn. Flower Res J 14 (2): 121-
127
Jabs T, Slurenko AJ. The hypersensitiv response. In Slurenko AJ, Fraser RSS, van
Loon LC (eds). Mechanism of Resistance to Plant Diseases. Kluwer
Academic Publisher . Netherlands. p 279-323
Kao YY, Lin CC, Huang CH, Li YH. 2007. The Cytogenetics of Phalaenopsis
Orchids. Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchids Biotechnology.
Singapore. p. 115-128
Karp A. 2004. Somaclonal variation as a tool for crop improvement. Euphytica 85
(1): 295-302
Kaeppler SM, Kaeppler HT, Rhee Y. Epigenetic aspect of somaclonal variation in
plants. Plant Mol Biol 43 (3): 179-188.
Keller B, Feuillet C, Messmer M. 2000. Genetics of disease resistance. Basic
concepts and application in resistance breeding. Di dalam: Slurenko AJ,
Fraser RSS, van Loon LC, editor. Mechanism of Resistance to Plant Diseases.
Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 101-160
Kim YS, Schumaker KS, Zhu JK. 2006. EMS mutagenesis of Arabidopsis.
http://www.faculty.ucr.edu/--jkzhu/articles/2006/yskim.pdf.15/11/2010
Kodym A, Afza R. 2003. Physical and Chemical mutagenesis. Method Mol Biol 236:
189-204.
Kontantinov K, Driníc SM. 2007. Molecular genetics-step by step implementation in
maize breeding. Genetika 39 (2): 139-154
Kovacs E, Keresztes. 2002. Effects of gamma and UV-B/C radiation on plant cell.
Micron 39: 199-210
Lestari EG, Sukmadjaja D, Mariska I. 2006. Perbaikan ketahanan tanaman panili
terhadap penyakit layu melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 25(4)
: 149-153
Lin CC, Chen YH, Chen WH, Chen CC, Kao YY. 2005. Genome organization and
relationships of Phalaenopsis orchids infered from genomic in situ
hybridization. Bot Bull Acad Sci 46: 339-345
Linberger RD. 2007. Origin, Developmental propagation of chimeras.
http://www.aggie-horticulture.tamu.edu/tisscult/chimeras/s.html. 28/03-/2008
Luan YS, Juan Z, Rong GX, Jia AL. 2007. Mutation induced by
ethylmethanesulphonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant
regeneration of sweet potato (Ipomoea batatas L). Plant Cell Tissue Organ
Cult 88 (1): 77-81
Mandal AK, Chakrabarty AD, Datta SK. 2000. Application of in vitro techniques in
mutation breeding of chrysanthemum. Plant Cell Tissue Organ Cult 60: 33–
38.
31
McMillan RT, Palmateer A, Vendrame W. 2007. Effect rouging on Erwinia soft rot
in commercial production with two Phalaenopsis per pot. Jr. Kerry’s
Bromeliad Nursery, Inc. http://www.fsfs.org/-meetimg2007/AllAbs-tracts-
FSHS-2007-ForWebsite-April27.html#Ornamental. 24/05/08
Miyazaki et al. 2006. Flower pigment mutations induced by heavy ion beam
irradiation in an interspecific hybrid of torenia. Plant Biotech 23 : 163-167
Montesinos E. 2000. Pathigenic plant-microbe interactions. Internatl Microbial 3: 69-
70.
Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. Teknik rekayasa genetik tanaman. PT.Citra
Aditya Bakti. Bandung. hal 59-78
Nguyen et al. 2001. DNA inversion in the tail fiber gene alters the host range
specificity of Erwinia carotovora. A phage-tail-like bacteriocin of
phytopatogenic Erwinia carotovora subsp. carotovora. J. Bacteriol 183:
6274-6281
Odjakova M, Hadjiivanova C. 2001. The complexity of pathogen defense in plant.
Bulg J Plant Physiol 27 (1-2): 101-109
Omar SR, Ahmed OH, Saamin S, Majid NMA. 2008. Gamma radiosensitivity study
on Chili (Capsicum annum). Am J Appl Sci 5 (2): 67-70
Perombelon MCM. 2002. Potato diseases caused by soft rot erwinias: an
overview of patogenesis. Plant Pathol 51: 1-12
Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell
Tissue Organ Cult 64: 185-210.
Pineland Orchid Society. 2006. Just a few of our Awarded Plants from the SEPOS
2006 Show. http://www.pinelandsorchidsociety.org.15/11/2010.
Pozo MJ, van Loon LC, Pieterse CMJ. 2005. Jasmonates-signals in plant microbe
interactions. J Plant Growth Regul 23: 211-222
Rego LV, deFaria RT. 2001. Tissue culture in ornamental plant breeding: A review.
Crop Breed Appl Biotech 1 (3): 283-300
Rodrigo RL, Alvis HA, Augusto TN. 2004. In vitro mutation of Chrysanthemum
(Dendranthema grandiflora Tzvelev) with Ethylmethanesulfphonate (EMS)
in immature floral pedicels. Plant Cell Tissue Organ Cult 77 (1): 103-106.
Royal Horticultural Society.2006. Quarterly supplement to the international register
of orchid hybrids (Sander’s List). Orchid J Royal Hort Soc. Vol 114 (1272).
Nopember-December 2006.
Samanhudi. 2001. Identifikasi ketahanan klon kentang hasil fusi protoplas BF15
dengan Solanum stenotomum terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia
solanacearum). Thesis Pascasarjana IPB, Bogor. 88 hal.
Seneviratne KACN, Wijesundara DSA. 2007. First Afreican violets (Saintpaulia
ionantha H. Wendl) with changing colour pattern induced by mutation. Am J
Plant Physiol 2 (3): 233-236
Semiarti et al. 2007. Agrobacterium-mediated transformation of the wild Orchid
spesies Phalaenopsis amabilis. Plant Biotech 24 : 265-272.
Schepper S, Deberg P, van Bookstaele E, Delouse M, Gerats A, Depicker A. 2002.
Genetic and epigenetic aspects of somaclonal variation : flower colour bud
sports in azalea, a case study. African J Bot 69 (2): 117-128
Simone GW, Bernett HC. 1995. Diseases caused by bacteria and fungi .
Orchid Pests and Disease. p. 50-73.
Snijder RC, Cho HR, Hendriks MMWB, Lindhout P, van Tuyl JM. 2004. Genetic
variation in Zantedechia spp (Araceae) for resistance to soft rot caused by
Erwinia carotovora subsp. carotovora. Euphytica 135 : 119-128
32
ABSTRAK
Embryogenesis somatik merupakan salah satu proses yang terjadi melalui regenerasi
pembentukan embrio dan melalui fase kalus. Penelitian ini dilakukan melalui fase
33
kalus yang diinisiasi dari eksplan daun pada lima macam media MS yang
dimodifikasi yaitu: ½ MS tanpa hormon ( MI-0); 1/2 MS yang berisi 1 mg.l-1 BA+
0.5 mg.l-1 2,4-D+ 1mg.l-1 NAA (MI-1); 1/3 MS berisi 2 mg.l-1 2,4-D (MI-2); 1/2 MS
diberi tambahan zat pengatur tumbuh 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.5 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1
thidiazuron ( MI-3); 1/2 MS berisi 2 mg.l-1 thidiazuron dan 1 mg.l-1 BAP (MI-4).
Setelah jaringan eksplan membengkak, eksplan ditempatkan pada medium 1/2 MS
ditambah dengan 0.2 mg.l-1 thidiazuron dan 0.5 mg.l-1 2,4-D (MP). Setelah dua bulan,
kalus dipindahkan pada media regenerasi 1/2 MS ditambah dengan 0.4 mg.l-1 BAP
dan 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa MI-1 dan MI-3
merupakan media yang terbaik untuk pembengkakan jaringan sebelum kalus
dipindahkan ke media MP dan MR. Kalus yang diprodiksi meningkat di setiap
subkultur, namun tingkat produksi kalus menurun pada subkultur berikutnya. Plantlet
dapat diregenerasikan dari embrio somatik yang berasal dari kalus yang dihasilkan
pada media MR.
ABSTRACT
34
Somatic embryogenesis has been recoqnized as one of the process which occured
through regeneration by direct embryo formation and through an intermediary callus
phase. This research was conducted by an intermediary callus phase. The experiment
was inisiated with callus induction from leaf explant on five mediums MS
modification i.e :1/2MS without plant hormone (MI-0); 1/2 MS containing 1mg.l-1
BA + 0.5 mg.l-1 2,4-D + 1mg.l-1 NAA (MI-1);1/3 MS containing 2 mg.l-1 2,4-D
(MI-2); 1/2 MS supplemented with 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.5 mg.l-1 BAP +0.2 mg.l-1
thidiazuron (MI-3) ; 1/2 MS containing 2 mg.l-1 thidiazuron and 1 mg.l-1 BAP (MI-4).
After the tissues were swollen, the explants were placed on callus proliferation
medium ½ MS supplemented with 0.2 mg.l-1 thidiazuron and 0.5 mg.l-1 2,4-D (MP).
After two months, calli were regenerated in regeneration medium 1/2 MS
supplemented with 0.4 mg.l-1 BAP and 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). The results showed
that MI-1 and MI-3 are the best swelting explant mediums before the callus
produced in both MP and MR medium. Callus produced was increased in every
subculture. However, the level of calli production decrease on the following
subculture. Plantlets were regenerated from somatic embryos derived from calli on
MR medium.
PENDAHULUAN
muda dan kalus yang berasal dari daun kacang-kacangan. Pada penelitian ini
embriogenesis somatik terjadi secara bersama-sama, secara langsung maupun tidak
langsung. Beberapa peneliti lebih menyukai cara langsung pada tanaman Vinca
(Hashemloian et al. 2008), pada kopi arabika (Gatica et al. 2008), sereal (Eudes et al.
2003).
Kecepatan proses embriogenesis somatik dipengaruhi oleh dua faktor
pembatas yaitu inisiasi embrio somatik dan regenerasi tanaman. Keduanya
membutuhkan kondisi yang tepat termasuk komposisi media dan zat pengatur
tumbuh. Di era tahun 2000, protokol regenerasi tanaman Phalaenopsis direalisasikan
menggunakan medium ½ nutrisi Murashige and Skoog (MS) yang ditambahkan
thidiazuron 0-1 mg.l-1 dan 2,4-dichloropenoxyacetic acid (2,4-D) 0-10 mg.l-1,
sedangkan plb dapat dibentuk dari kalus tersebut pada medium 1/2 MS yang
ditambah thidiaruron saja sebanyak 0,1-1 mg.l-1 (Ying-Chun et al. 2000). Park et al.
(2002a) dan Chowdhury et al. (2003) juga melakukan perbanyakan cepat pada
Phalaenopsis menggunakan eksplan daun dari mata tunas tangkai bunga, tetapi media
yang digunakan lebih sederhana yaitu menggunakan ½ MS dan diberi tambahan BAP
dan NAA untuk inisiasi. Eksplan ujung akar juga dapat digunakan sebagai eksplan
pembentuk plb Phalaenopsis dengan media yang diberikan tambahan thidiazuron
(Chang 2007).
Pada penelitian ini, dipelajari beberapa media untuk menguji respon terhadap
inisiasi kalus, proliferasi kalus maupun regenerasi tanaman pada eksplan daun
Phalaenopsis yang diperoleh dari mata tunas tangkai bunga. Dari penelitian ini
diharapkan dapat diperoleh media inisiasi, proliferasi dan regenerasi yang optimal
untuk pengembangan Phalaenopsis, terkait dengan media yang digunakan. Selain itu
juga diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam
pengembangan teknik lain yang berhubungan dengan pengembangan Phalaenopsis
pada masa mendatang khususnya di Indonesia.
Materi penelitian menggunakan daun plantlet yang berasal dari mata tunas
tangkai beberapa klon hasil silangan Phalaenopsis yaitu, 377 (Phal. Golden
Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold), 642 ([Phal. Chih Sang’s Stripe/ Alfonso
Ibara/Matao Freed] x Phal. amboinensis) x Ever Spring Prince) dan SGN-PV2.11
(Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuch delight x Vanda lombokensis).
Materi didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung - Cianjur Jawa
Barat.
Induksi embriosomatik dengan eksplan irisan daun dari ketiga macam klon
Phalaenopsis diuji pada lima macam media inisiasi yaitu MI-0 hingga MI-4.
Komposisi media ditampilkan secara rinci pada Tabel 3. Media tersebut
menggunakan unsur makro dan mikro 1/3, 1/2 maupun penuh, vitamin penuh dari
media dasar MS, dan beberapa konsentrasi dan kombinasi zat pengatur tumbuh.
Peubah yang diamati dalam percobaan ini meliputi (1) persentase perubahan
warna eksplan (2) persentase eksplan hidup (3) persentase eksplan yang mampu
membentuk kalus. Pengamatan dilakukan setiap minggu hingga minggu ke enam.
Data yang terkumpul dianalisis menggunakan SAS Release Window 6.2. Jika
ditemukan perbedaan nyata antar perlakuan, maka perbedaan nyata antar nilai rerata
perlakuan diuji lanjut menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf
kepercayaan α 5%.
Proliferasi Kalus
Kalus pertama yang diperoleh dari proses induksi kalus dipindahkan ke media
MP dan MR agar dapat berproliferasi. Media MP mengandung 1/2 MS + 0.5 mg.l-1
2,4-D + 0.2 mg.l-1 thidiazuron + 2 g.l-1 pepton + 75 ml.l-1 air kelapa, sedangkan
media MR mengandung 1/2 MS + 0.2 mg.l-1 2,4-D + 0.4 mg.l-1 BAP + 2 g.l-1 pepton
+ 75 ml.l-1 air kelapa. Kedua media tersebut diberi tambahan arang aktif 1 g.l-1.
Media MI- 0 digunakan sebagai media kontrol. Kalus-kalus yang diperoleh
selanjutnya disubkultur 3 kali pada media yang sama dengan interval waktu 4 minggu
dan diinkubasikan di ruang terang dengan suhu 25 °C. Percobaan disusun dalam
Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan. Tiap perlakuan berisi 5 botol, masing-
masing botol berisi sekelompok kalus yang telah ditimbang terlebih dahulu.
Pengamatan dilakukan terhadap (1) persentase eksplan berkalus yang
berproliferasi (2) adanya kalus globuler (3) berat kalus setiap subkultur (4) persentase
perubahan berat kalus pada setiap subkultur.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA).
Perlakuan yang pengaruhnya nyata dianalisis lanjut dengan uji wilayah berganda
Duncan pada taraf kepercayaan α 5%.
Plb yang
g telah dihaasilkan dari kketiga kali subkultur
s diuuji daya reg
generasinya
men
nggunakan media
m MR hingga terbbentuk planttlet. Pada ppercobaan in
ni masing-
massing klon diiregenerasi sebanyak
s 100 gerombol plb
p dalam 110 botol kulltur dengan
ulan
ngan 3 kali, dalam
d rancaangan acak leengkap.
Peubah yang diamaati adalah (1) jumlah callon tunas tiaap geromboll kalus dan
(2) jumlah tun
nas tiap gero
ombol kaluss. Pengamattan dilakukaan setelah 16
1 minggu
dalaam media reegenerasi. Data
D yang dipperoleh diannalisis mengggunakan an
nalisis sidik
ragaam (ANOVA
A). Perlaku
uan yang peengaruhnya nyata
n dianallisis lanjut dengan uji
wilaayah bergand
da Duncan pada
p taraf keepercayaan α 5%.
H
HASIL DAN
N PEMBAH
HASAN
Ind
duksi Pembeentukan Kaalus
Seperti pada
p tanamaan lainnya, pproses embriiosomatik paada Phalaenoopsis dapat
dilaakukan secaara tidak langsung melalui tahhapan pem
mbentukan kalus
k dan
mem
mbutuhkan zat pengattur tumbuhh spesifik (Arnold
( et al. 2002). Tahapan
pem
mbentukan kalus
k diawalii dengan iniisiasi kalus dari eksplann. Dalam pennelitian ini
inisiasi dilakukaan menggunnakan eksplann daun Phallaenopsis yanng berasal dari
d biji.
Gam
mbar 5 Perseentase perubbahan eksplan dari irisan
n daun Phalaaenopsis mennjadi hitam
beberapa minggu seetelah tanam m pada mediaa MI-0, MI-1, MI-2, MI-3 dan MI-
4.
Keberhaasilan inisiassi awal padaa kalus Phallaenopsis yaang ditunjukkkan dalam
gam
mbar 5 sanggat rendah. Hal
H ini dipeengaruhi komposisi media. Pengam
matan pada
keliima media innisiasi MI-00 hingga MI--4 pada irissan daun terrnyata diketaahui bahwa
ekspplan tidak langsung meembentuk kaalus, tetapi di dahului ddengan pem
mbengkakan
jarinngan daun meskipun
m tidak semua ekksplan meng
galami hal terrsebut. Menuurut Gill et
al. (2004), pem
mbengkakann eksplan m
merupakan pemanjangann sel yang disebabkan
d
39
adanya 2,4-D. Meskipun beberapa media yang digunakan mengandung 2,4-D, tidak
semua media memberikan dampak yang sama pada irisan daun. Media yang
memberikan respon pembengkakan hanya media yang mengandung 0.5 mg.l-1 2,4-D.
Pada umumnya daun yang diiris masih berwarna hijau hingga 6 minggu
setelah tanam dan inkubasi di ruang gelap. Lambat laun eksplan berubah warna
menjadi kuning kecoklatan dan kemudian menghitam. Gambar 5 menunjukkan
persentase eksplan yang berubah hitam semakin besar pada semua media yang
digunakan dengan bertambahnya waktu. Media MI-3, pada 6 MST menunjukkan
persentase eksplan yang masih hijau paling tinggi yaitu lebih dari 20%.
(Gb 6b). Eksplan yang berubah warna dari hijau menjadi coklat tidak mengalami
pencoklatan karena komponen fenolik yang timbul pada bekas pelukaan.
Tabel 4 menunjukkan bahwa respon ketiga genotip yang digunakan dalam
pembentukan kalus berbeda-beda. Persentase pembentukan kalus tertinggi sebesar
40% terbentuk pada media MI-3 pada klon 642, media MI-1dan MI-3 pada SGN-
PV2.11. Setelah itu diikuti oleh klon 377 pada media yang sama sebesar 33.3%.
Media tersebut merupakan media yang sesuai untuk pembentukan kalus. Hal ini
karena media MI-1 dan MI-3 mengandung kombinasi zat pengatur tumbuh yang
sesuai antara auksin dan sitokinin. Kesesuaian ini mampu mendorong terbentuknya
kalus. Media MI-2 yang mengandung auksin saja dan MI-4 yang mengandung
kombinasi sitokinin saja tidak mampu menstimulasi terbentuknya kalus. Berdasarkan
penelitian terdahulu, pengaruh thidiazuron sangat penting untuk proses morfogenesis
in vitro ataupun embriogenesis somatik karena potensinya sebagai bioregulan.
Thidiazuron yang digunakan tanpa kombinasi zat pengatur tumbuh yang lain,
pengaruhnya akan berbeda (Jiang et al. 2005).
a b
c d
Gambar 6 (a) dan (b) Inisiasi kalus dari irisan eksplan daun yang membengkak dan
berkalus membentuk proembrio (c) plb (d) regenerasi tanaman dari plb.
Proliferasi kalus
Gammbar 7 Penaambahan berrat kalus daari subkulturr (SK)I hinggga ke III pada
p media
-1 -1
MP (1/22MS + 0,5 mg.l
m 2,4-D + 0,2 mg.l thidiazuron)
t ) dan MR (1//2MS + 0,2
mg.l-1 2,,4-D + 0,4 mg.l
m -1 BAP).
Perrkembangan n Kalus dan n Regenerassi tanaman
Tabel 7 Daya pembentukan embriosomatik dan tunas klon SGN-PV2.11, klon 377
dan klon 642 pada media MR pada setiap gerombol kalus yang diamati
setiap 4 minggu selama 12 MST
4 MST 8 MST 12 MST
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Klon Jumlah Jumlah Jumlah
Kalus Embrio Embrio Embrio
Tunas Tunas Tunas
somatik somatik somatik
SGN-PV2.11 30 17 a 3c 20 a 8c 25 a 18 b
377 30 12 bc 7b 17 b 15 a 19 b 22 a
642 30 16 ab 10 a 19 a 12 b 22 ab 15 bc
Keterangan: MST (minggu setelah tanam); Angka yang diikuti oleh huruf yang sama
pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf
α 5%.
a b
c d
Gam
mbar 8 Prosses embriogeenesis somaatik pada kaalus Phalaennopsis sp L..(a) bentuk
globulerr dan jaringaan kalus sekiitarnya (b) bentuk
b torpedo (c) calonn kotiledon,
primorddial tunas dann akar (d) teelah memben ntuk daun.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
47
Kata Kunci: Phalaenopsis, kalus, induksi varian somaklon, sinar gamma, LD50
ABSTRACT
48
The objectives of this research were to (1) induced somaclonal variation of callus
through mutagenesis technique using gamma ray irradiation, (2) regenerated M1V1
plantlets variant, (3) evaluate type and frequencies of fenotypic variance among
regenerated plantlets. Callus was induced on medium 1/2 MS supplemented with 0.2
mg.l-1 tidhiazuron and 0.5 mg.l-1 2,4-D (MI) and regenerated with 1/2 MS
supplemented with 0.4 mg.l-1 BAP and 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). Calli were irradiated
with 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 Gy to determinate LD50 of clones. Based on the
recommended LD50, the dosage to obtain variants was 2.5; 5; 10; 15; 20 GY. The
approximate LD50 of SGN-PV2.11 as determined by CurveFit 1.3 is 16.2 Gy, clone
377 is 22 Gy and 642 was 15.3 Gy. Certain irradiation doses were caused increasing
rate of shoot number ie clones 377 was 20 Gy, clones 642 was 15 Gy, SGN-PV2.11
was 2,5 and 5 Gy. Optimum quantitative characters rates could be detect on 5 Gy.
Fenotipe variation of 3 clones were aproven from 6 morphologies characters
included normal character. Fenotype variation frequency of three clones were around
0.4- 6.8%.
PENDAHULUAN
Dalam industri florikultura, selalu ada permintaan varietas baru dan novelty.
Pemuliaan mutasi merupakan metode yang dapat diandalkan untuk memperoleh
varitas-varitas mutan dengan bentuk, corak, dan warna baru (Datta et al. 2005).
Secara konvensional, mutasi dapat diinduksi dari bagian tanaman yang diberi
mutagen. Mutan akan dihasilkan dari kimera yang terbentuk setelah diberikan
mutagen tersebut, dan dilakukan seleksi diplontik dalam beberapa generasi (Çağirgan
2009). Metode mutagenesis in vitro merupakan metode cepat yang dapat
menghasilkan mutan-mutan berkarakter tertentu. Salah satu mutagen yang dapat
digunakan ialah mutagen fisik iradiasi sinar gamma (Seneviratne & Wijesundara
2007; Sheela et al. 2006).
Sinar gamma memiliki kemampuan lebih baik dari pada sinar yang lain
seperti proton, neutron, sinar alfa, sinar beta, atau sinar X (Predieri & Vrigillio 2007).
Kemampuan mengion dari sinar gamma lebih berenergi di antara radiasi
elektromagnetik yang lain (Kovacs & Keresztes 2002). Iradiasi pengion terutama
sinar gamma telah terbukti keberhasilannya secara luas untuk menginduksi
keragaman genetik (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Bahan mutagen fisik ini
dapat melepas energi (ionisasi), segera setelah melewati atau menembus materi.
Proses ionisasi akan terjadi dalam jaringan sehingga menyebabkan perubahan pada
tingkat sel, genom, kromosom dan DNA atau gen. Perubahan yang terjadi secara
49
mendadak pada tingkat genom, kromosom dan DNA atau gen seringkali bersifat
permanen dan diwariskan ke generasi berikutnya (Soeranto 2005). Sifat-sifat iradiasi
pengion inilah yang dimanfaatkan dalam pengembangan tanaman. Perubahan hasil
muatgenesis ini biasanya hanya pada beberapa sifat saja.
Efek biologikal sinar gamma berdasarkan interaksi atom atau molekul dalam
sel, khususnya air, mnghasilkan radikal bebas (Kovacs & Keresztes 2002), radikal ini
memodifikasi komponen penting dalam sel tanaman sehingga mempengaruhi
morfologi, anatomi, biokimia dan fisiologi tanaman tergantung dosis iradiasi yang
digunakan (Ashraf et al. 2003). Efek ini termasuk perubahan struktur seluler tanaman
dan metabolisme seperti hilangnya membran thylakoid, perubahan fotosintesis,
akumulasi komponen fenolik (Kim et al. 2004; Ashraf 2009).
Metode iradiasi dapat dikombinasikan dengan teknik in vitro yaitu teknik
keragaman somaklonal melalui pembentukan kalus, proliferasi dan regenerasi
tanaman. Teknik ini banyak diaplikasikan untuk memperoleh sifat-sifat unggul
tanaman. Beberapa penelitian induksi mutasi menggunakan penyinaran dengan sinar
gamma yang telah dilakukan antara lain yaitu pada tanaman pangan seperti tanaman
tebu tahan penyakit (Somad et al. 2001), kentang tahan penyakit (Gossal et al.
2001), jagung (Viccini & Carvalho 2002) dan tanaman hortikultura seperti apokat
(Witjaksono & Litz 2004), pisang (Rayes-Borja et al. 2007) dan juga tanaman hias
Helianthus (Encheva et al. 2004), Torenia (Miyazaki et al. 2006), Krisan (Datta et
al. 2005) dan juga tanaman angrek Dendrobium (Piluek and Lamseejan 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengamati radiosensitivitas pada kalus
klon SGN-PV2.11, klon 642 dan klon 377 setelah pemberian berbagai dosis iradiasi
sinar gamma, (2) menentukan LD50 kalus Phalaenopsis ketiga klon terhadap iradiasi
sinar gamma, untuk menetukan dosis yang tepat, (3) melakukan regenerasi tanaman
dari kalus hasil iradiasi untuk menghasilkan varian dan membentuk generasi mutan
solid M1V4 (4) melakukan evaluasi fenotip mutan hasil iradiasi secara morfologi
dan secara kualitas dengan analisis isoenzim.
Kalus klon SGN–PV2.11, 377 dan 642 hasil inisiasi in vitro masing-masing
sebanyak 80 berukuran kira-kira satu sentimeter, diletakkan di dalam 80 botol kultur
50
Kalus klon SGN-PV2, 642 dan 377 yang hidup setelah iradiasi sinar gamma
dosis 0, 2.5G ; 5G; 10 G; 15 G (SGN-PV2.11), 15 G (642) dan 20 G (377)
diregenerasikan pada media regenerasi MR yaitu ½ MS yang diberi tambahan BAP
0,4 mg.l-1, 2,4-D 0,2 mg.l-1 serta 75 ml.l-1 air kelapa dan pepton 2 g.l-1. Selanjutnya
plantlet diperbesar pada media MR1 yang mengandung BAP 0.5 mg.l-1 dan 2 g.l-1
pepton. Perlakuan diaplikasikan pada setiap klon berjumlah 15 botol, masing-masing
botol berisi 1 gerombol kalus. Pengamatan dilakukan terhadap persentase kalus
mampu membentuk plantlet, dan jumlah plantlet.
Varian-varian klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang diperoleh dari induksi
variasi somaklonal menggunakan iradiasi dimultiplikasikan dengan cara menanam
irisan daun masing-masing varian pada media organogenesis. Irisan daun plantlet
tersebut ditanam pada beberapa media antara lain ELl (1/2 MS + 0,2 mg.l-1 TDZ + 1
mg.l-1 IAA), EL2 (1/2 MS + 0,2 mg.1-1 TDZ + 0,2 mg.l-1 IAA), EL3 (1/2 MS + 3,5
mg.1-1 TDZ + 1 mg.l-1 IAA). Plb yang diperoleh dari eksplan daun, diperbanyak
dalam 3 kali subkultur sebelum akhirnya diregenerasikan menjadi plantlet.
51
Multiplikasi dilakukan sebanyak paling sedikit 4 kali atau hingga diperoleh M1V4
bertujuan agar diperoleh mutan yang benar-benar solid, karena dengan proses
multiplikasi tersebut akan terjadi proses seleksi diplontik. Media MR digunakan
untuk meregenerasikan plb menjadi plantlet.
diserap dengan kertas saring yang telah dipotong secukupnya, Selanjutnya kertas
yang telah menyerap sel daun tersebut disisipkan pada gel yang telah dilubangi.
Cetakan yang telah disisipkan kertas saring yang berisi contoh cairan daun
dimasukkan dalam kotak plastik yang berisi buffer elektroda. Kaki cetakan hams
terendam dalam buffer elektroda lalu diletakkan dalam ruangan es pada suhu 5-10 °C.
Selanjutnya dialiri listrik 100 Volt 30 menit dan dilanjutkan 3-4 jam pada 150 Volt.
Untuk mengontrol karak migrasi molekul, disalah satu sisinya diberi penanda
Bromofenol blue. Setelah selesai pengaliran listrik, gel dibelah menjadi dua atau tiga
(sesuai ketebalannya) pada posisi horisontal di atas alat pemotong. Sebelumnya
kertas saring dikeluarkan dari lubang-lubangnya. Lembaran gel dimasukkan ke dalam
nampan kemudian diberi pewarna yang masing-masing telah disiapkan. Setelah itu
kotak plastik ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi pada suhu ruang sampai
muncul pita-pita pada gel. Perendaman ini dilakukan 1-2 jam tergantung jenis enzim.
Gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian potongan gel yang telah
terlihat pita-pitanya dapat difiksasi dengan 50% etanol yaitu etanol: akuades: asam
asetat:gliserol = 5:4:2:1. Pengamatan segera dilakukan setelah pencucian dan
hasilnya dapat diabadikan dengan kamera.
Tabel 8 LD50 pada kalus 3 klon Phalaenopsis akibat iradiasi sinar gamma.
LD 20 LD 50
Klon Persamaan
(Gy) (Gy)
377 Y= 92.72-2.36x + 0.02x2 + 0.0001x3 5.7 22.0
Tabel 9 Pengaruh perlakuan dosis iradiasi pada kalus embriogenik klon SGN-
PV2.11, 642 dan 377 terhadap persentase kalus yang bertunas dan jumlah
tunas per kalus selama 12 minggu setelah tanam (MST).
Klon dan Dosis iradiasi Kalus bertunas (%) Rata-rata Jumlah tunas
per kalus
Klon 377
0 47.0 4.2c
20 53.3 7.4ab
Klon 642
0 33.3 3.0cd
5 40.0 5.5b
15 27.0 6.0b
Klon SGN-PV2.11
0 47.0 6.2b
2,5 80.0 7.6ab
5 75.0 8.4a
10 87.0 3.6c
15 27.0 4.25c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%.
sedang pada klon SGN-PV2.11, dosis iradiasi 2.5 Gy dan 5 Gy mampu beregenerasi
lebih banyak dari pada dosis 10 dan 15 Gy. Hal ini dapat dikatakan bahwa dosis
iradiasi tertentu dapat menyebabkan meningkatnya kemampuan berdeferensiasi dan
beregenerasi suatu tanaman secara in vitro. Borzonei et al. (2010) mendapatkan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa dosis iradiasi 100 Gy meningkatkan 25% berat
kering tanaman gandum, sedang penelitian Melki and Salami (2008) mendapatkan
peningkatan hasil yang meningkat pada 15 Gy daripada 0 Gy.
Irradiasi menyebabkan sebagian sel menjadi tidak normal dan berada di antara
sel-sel normal. Selama proses pembelahan, sel termutasi berkompetisi dengan sel-sel
normal untuk bertahan hidup. Proses ini dinamakan seleksi diplontik. Sel termutasi
yang mampu bertahan hidup apabila sel tersebut berasal dari materi yang
diperlakukan dengan mutagen secara in vitro, akan terekspresi menjadi tanaman
mutan solid (Datta et al. 2005).
Proses pembentukan mutan solid pada materi kultur in vitro ditempuh dalam
pembentukan beberapa turunan generasi. Berdasarkan protokol IAEA (2001), untuk
mendapatkan mutan solid diperlukan generasi paling sedikit 4 generasi. Pada materi
yang didapatkan secara in vitro disebut M1V4, oleh karena itu dalam penelitian ini
diperlukan pembentukan generasi M1V4. Pembentukan generasi M1V4 dilakukan
sesuai dengan cara perbanyakan materi yang digunakan. Materi yang berupa tunas
adventif atau tunas aksilar dan memiliki batang dapat dibentuk M1V4 dengan cara
menanam kembali ruas-ruas batang yang memiliki mata tunas dan diulang hingga 3-
4 kali penanaman. Materi yang diperbanyak melalui pembentukan kalus dapat
dilakukan perbanyakan dengan cara organogenesis atau embriogenesis langsung dan
diulang 3-4 kali pembentukan plantlet secara organogenesis atau embriogenesis
langsung.
56
a b c
d e f
Rataan karakter kuantitatif jumlah daun yang tumbuh setelah 12MST (Tabel
11) terlihat bahwa baik yang berasal dari kalus yang tidak diberi perlakuan maupun
dengan yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma tidak terjadi perbedaan yang
menyolok. Rataan jumlah daun kontrol sebanyak 2.2 sama dengan jumlah daun pada
perlakuan 2.5 Gy. Jumlah tertinggi dapat diperoleh pada 5 Gy. Gambaran umum pada
dosis 5 Gy tampak memiliki penampilan yang lebih besar dibanding tanaman yang
berasal dari perlakuan yang lain.
58
Pada percobaan ini populasi plantlet yang didapat dari berbagai dosis iradiasi
pada 12 minggu setelah regenerasi diamati secara morfologi adanya abnormalitas
pada daun yang ditimbulkan akibat iradiasi. Abnormalitas ini tidak terjadi semata-
mata diakibatkan karena iradiasi saja, tetapi mungkin juga karena selama proses
embriosomatik. Hal ini terlihat pada Tabel 12, bahwa pada plantlet hasil regenerasi
kalus yang tidak diperlakukan dengan sinar gamma 0 Gy masih terjadi perubahan
morfologi seperti tanaman menjadi roset.
Tabel 11 Rataan berbagai karakter kuantitiatif pada populasi varian Klon SGN-
PV2.11, 642 dan 377 berumur 12 minggu setelah tanam (12 MST).
Karakter kuantitatif 0 2.5 5 10 15 20
tanaman Gy Gy Gy Gy Gy Gy
Klon SGN-PV2.11
Jumlah daun 2.2 2.2 3.2 - - -
Jumlah akar 1.8 2.0 2.4 - - -
Panjang Daun (cm) 1.6 1.7 2.8 - - -
Lebar Daun (cm) 0.9 1.2 1.4 - - -
Klon 642
Jumlah daun 2.4 - - - 5.5 -
Jumlah akar 2.2 - - - 3.8 -
Panjang Daun (cm) 1.7 - - - 2.9 -
Lebar Daun (cm) 0.9 - - - 1.1 -
Klon 377
Jumlah daun 3.5 - - - - 4.2
Jumlah akar 1.4 - - - - 1.9
Panjang Daun (cm) 2.3 - - - - 2.4
Lebar Daun (cm) 0.7 - - - - 0.7
Keterangan : (-) tidak dilakukan.
Varian-varian yang berbeda morfologi terlihat banyak terjadi pada kalus yang
mendapat dosis iradiasi antara 2,5 Gy dan 5 Gy. Pada 5 Gy ini juga didapatkan
paling banyak tipe fenotip varian abnormal yaitu terdapat 5 macam keabnormalan
daun seperti ujung daun terbelah, roset, tepi daun warna merah, daun atau seluruh
tanaman berwarna terbelah, roset, tepi daun warna merah, daun atau seluruh tanaman
berwarna merah serta lembaran daun yang seharusnya melebar, hal ini tidak terjadi
tetapi menggulung sehingga menyerupai terompet (Gambar 11). Data juga
menunjukkan bahwa klon 642 paling sedikit abnormalitasnya. Hal ini menunjukkan
bahwa klon ini cukup kuat karakternya sehingga dengan dosis yang lebih tinggi,
abnormalitas yang ditemui hanya sedikit. Demikian juga pada klon 377 dari 380
plantlet hanya 21 plantlet yang mengalami abnormalitas.
59
Tabel 12 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif diantara populasi varian
klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 yang diregenerasikan dari kalus
embriogenik setelah diberi perlakuan iradiasi sinar gamma 12 MST
Jumlah dan persentase varian diantara populasi plantlet yang
Klon Phalaenopsis diregenerasikan dari kalus dengan berbagai dosis iradiasi
dan karakter varian
0 Gy 2.5Gy 5Gy 10Gy 15Gy 20Gy
Klon SGN-PV2.11 (102) * (216) (980) (45) (32)
Tepi daun bergerigi 0 0 9(0.9) 0 0 -
Ujung daun terbelah 1(0.9) ** 5(2.3) 4(0.4) 0 0 -
Daun roset 7(6.8) 12(5.6) 8(0.8) 0 0 -
Daun warna merah 0 14(6.5) 22(2.2) 0 0 -
Daun terompet 0 5(2.3) 3(0.3) 0 0 -
Klon 377 (56) (380)
Tepi daun bergerigi 0 - - - - 0
Ujung daun terbelah 0 - - - - 8(2.1)
Daun roset 0 - - - - 10(2.6)
Daun warna merah 0 - - - - 0
Daun terompet 0 - - - - 0
Klon 642 (155) - - - (89) -
Tepi daun bergerigi 0 - - - 0 -
Ujung daun terbelah 0 - - - 0 -
Daun roset 0 - - - 2(2.2) -
Daun warna merah 0 - - - 0 -
Daun terompet 0 - - - 0 -
Keterangan : (b) * : angka yang b=jumlah planlet yang dievaluasi. p(q) ** : angka yang
yang ditunjukkan oleh p = jumlah plantlet dengan fenotip varian dan q =
persentase plantlet varian. (-) penelitian tidak dilakukan.
Gambar 11 Fenotip varian yang dihasilkan dari iradiasi sinar gamma (a) plantlet
dengan duduk daun roset, (b) daun plantlet merah, (c) daun terompet, (d) daun
bergerigi, (e) daun terbelah. Plantlet berumur 4 bulan.
60
Gambar 12 Pita isoenzim peroksidase (PER) pada 26 sampel varian iradiasi sinar gamma dan
tetua klon.
Terlihat pada gambar 12, analisis beberapa wakil varian yang terdiri dari 26
sampel klon varian hasil iradiasi sinar gamma SGN-PV2.11. Dari kelima jenis
isoenzim yang dianalisis yaitu malat dehidrogenase (MDH), esterase (EST), aspartat
aminotransferase (AAT), superoxid dismutase (SOD) dan peroksidase (PER),
diketahui hanya ada 1 jenis enzim yang memberikan bentuk pita yang dapat dibaca
yaitu peroksidase (PER). Pola pita isoenzim pada peroksidase tampak cukup jelas
baik pada sampel plantlet varian maupun sampel tanaman tetuanya. Pita terjelas
terlihat pada sampel - sampel varian klon 642 dan 377, sedangkan pada varian SGN-
PV2.11 no 10 dan 11 saja yang memiliki pita cukup jelas. Muncul atau tidaknya pita
isoenzim pada varian-varian hasil iradiasi sinar gamma menyatakan bahwa iradiasi
sinar gamma dapat menyebabkan terjadinya mutan.
KESIMPULAN
61
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui konsentrasi EMS yang tepat untuk
menginduksi variasi somaklonal dari klon Phalaenopsis SGN-PV2.11, 377 dan 642,
(2) meregenerasikan populasi plantlet dari kalus (3) mengevaluasi keragaman
fenotipe di antara plantlet yang diregenerasikan tersebut. Toksisitas EMS diukur
berdasarkan daya hambatnya terhadap proliferasi kalus dan regenerasi tanamannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi 0.28-0.35% dengan perendaman
19.4-38.7 menit merupakan LC50. Konsentrasi 0.3% dengan perendaman 30 menit
mampu menghasilkan tunas paling banyak pada klon SGN-PV2.11 sebesar 12.6 tunas
per kelompok kalus. Pembentukan tunas pada klon 642 dan 377 terturut-turut 5.9 dan
4.4 tunas per kelompok kalus. Perlakuan dengan EMS mampu meningkatkan
keragaman genetik, terbukti dengan adanya beberapa fenotip yang terbentuk
berdasarkan karakter morfologi jumlah kromosom maupun jumlah kloroplas.
Keragaman somaklonal yang terjadi paling banyak 4 macam morfologi pada SGN-
PV2.11 dan 642 yaitu selain tanaman normal, ciri morfologi yang lain adalah kerdil,
duduk daun tidak beraturan dan ujung daun terbelah. Berdasarkan jumlah kromosom
dan atau kloroplas, tanaman normal berjumlah kromosom berkisar antara 38 -76,
tanaman kerdil berjumlah kromosom dan atau klororoplas 30 - 37, tanaman dengan
daun berduduk daun taidak beraturan berjumlah kromosomdan atau kloroplas 38 - 44,
dan tanaman dengan daun ujung terbelah berjumlah kromosom dan atau kloroplas
berkisar antara 38 - 47.
ABSTRACT
The objectives of this study were (1) to determinate suitable concentration of EMS to
induce somaclonal variation, (2) to regenerate population of plantlet derived from
callus of Phalaenopsis clones of SGN-PV2, 377 and 642, (3) to evaluate fenotypic
variance among regenerated plantlets. The toxicity of EMS was measured based on
its inhibition effects on callus proliferation and plant regeneration. The result
indicated that the concentration of EMS 0.28 – 0.35% with immersed for 19.4-38.7
minute capable to caused 50% of callus were not developed. The concentration of
EMS 0.3% with 30 minute immersed were formed 12.6 plantlets of SGN-PV2.11, 5.9
and 4.4 plantlets formed from clone 377 and 642 respectively.Treatment by EMS
could have improved the genetic variation, proved by existence of some fenotip
formed pursuant to morphology character of number chromosome and also number of
chloroplast. Four kinds of abnormal morphology were founded from SGN-PV2.11
and 642 ie: cretin, roset leaf and leaf with tip apart. Based on number of chromosome
and chloroplast, normal plant ranged from 38-76, the cretinous plant chromosome
number around 30-37, plant with roset leaf has 38-44 chromosome and plant with
channel shape leaf possessed 38-47 chromosome.
PENDAHULUAN
Penyiapan kalus
Kalus klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 hasil inisiasi diperbanyak dengan cara
disubkultur pada media proliferasi kalus yaitu 1/2 MS yang diberi tambahan zat
pengatur tumbuh 0,2 mg.l-1 thidiazuron dan 0,5 mg.l-1 2,4-D, dipindahkan pada media
1/2 MS tanpa zat pengatur tumbuh selama 1 minggu untuk mengurangi pengaruh
67
ZPT pada kalus. Tahap ini membutuhkan beberapa subkultur untuk mencapai jumlah
kalus yang memadai untuk perlakuan.
Ploidi kromosom planlet varian hasil mutasi induksi dianalisis dengan cara
sederhana yaitu dengan merendam ujung akar muda yang sebelumnya telah dikupas
tudung akarnya yaitu beberapa lapis sel bagian paling ujung, dengan larutan maserasi
HCl 1N dan dipanaskan selama 2 menit pada suhu 60 °C. Irisan ujung akar tesebut
diurendam dengan 2 % aceto-orcein selama 20 menit. Ujung akar tersebut
dikeringkan dan di letakkan di atas gelas preparat dan ditetesi kembali dengan aceto-
orcein dan ditutup dengan gelas penutup selanjutnya ditekan atau di squase.
Kromosom dihitung di bawah mikroskop.
Pengaruh konsentrasi EMS pada kalus dapat diketahui dari tabel 13, yang
menunjukkan bahwa persentase kalus yang hidup dan kemampuan kalus beregenerasi
semakin menurun dengan semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama perendaman
kalus di dalam larutan EMS.
Tabel 13 LC50 pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 berdasarkan persentase
konsentrasi EMS dan waktu yang digunakan untuk perendaman.
Pengamatan dilakukan pada 6 MST, data diolah dengan persamaan
Quadratic Fit.
LC50
Klon
Konsentrasi EMS (%) Waktu Perendaman (menit)
SGN‐PV2.11 0.28 38.70
642 0.35 22.50
377 0.32 19.40
Keterangan: LC (konsentrasi yang menyebabkan lethalitas eksplan).
Klon dan Perlakuan Eksplan hidup Jumlah tunas per Penurunan Jumlah
EMS (%) eksplan tunas per eksplan (%)
Klon SGN-PV2.11
0 95.0 22.5** 00.0
0,3% 30 menit 57.5 12.6 * 66.0
0,3% 60 menit 45.0 9.0 81.0
0,3% 90 menit 22.5 3.5 96.0
0,3% 120 menit 00.0 0.0 100.0
0,6% 30 menit 35.0 4.9 92.0
0,6% 60 menit 57.5 5.6 89.0
0,6% 90 menit 20.0 6.0 94.0
0,6% 120 menit 12.0 5.3 97.0
Klon 642
0 80.0 14.5* 0.0
0,3% 30 menit 76.3 5.9 61.0
0,3% 60 menit 16.3 5.1 92.0
0,3% 90 menit 30.0 4.1 89.0
0,3% 120 menit 37.0 5.3 83.0
0,6% 30 menit 0.0 5.1 93.0
0,6% 60 menit 0.0 0.0 100.0
0,6% 90 menit 0.0 0.0 100.0
0,6% 120 menit 0.0 0.0 100.0
Klon 377
0 85.0 15.0* 00.0
0,3% 30 menit 92.5 4.4 68.0
0,3% 60 menit 13.8 5.0 94.0
0,3% 90 menit 30.0 4.1 90.0
0,3% 120 menit 43.0 4.1 86.0
0,6% 30 menit 2.5 1.8 99.0
0,6% 60 menit 0.0 0.0 100.0
0,6% 90 menit 0.0 0.0 100.0.
0,6% 120 menit 0.0 0.0 100.0
Keterangan : Penurunan jumlah total tunas dihitung dengan rumus : [(x0*y0-x1*y1)/
(x0*y0)]*100% ; dimana x0 dan y0 berturutan adalah persentase eksplan
bertunas dan jumlah tunas per eksplan pada perlakuan standar (larutan EMS
0%), sedangkan x1 dan y1 adalah persentase eksplan bertunas dan jumlah tunas
per eksplan pada masing-masing perlakuan EMS.
yang lebih lama. Konsentrasi 0.3% menyebabkan kematian eksplan kalus mencapai
88% pada SGN-PV2.11, 100% pada klon 642 dan klon 377 pada lama perendaman
60-90 menit.
Pengaruh EMS terhadap kalus tersebut menandakan bahwa EMS secara
mudah terabsorbsi oleh kalus. Penyerapan EMS oleh kalus dibantu dengan adanya
DMSO yang diaplikasikan sebagai pelarut EMS. DMSO berperan penting dalam
membantu peningkatan absorbsi dan penetrasi ke dalam jaringan (Khalatkar 1976).
bisa lebih rendah dari jumlah kromosom normal yaitu 38. Hal berarti ada
kemungkinan terjadi keabnormalan pada saat proses mitosis.
a b
c d
e f
Gambar 13 Fenotip yang terbentuk karena pengaruh mutagen EMS (a) plantlet SGN-
PV2.11/88E/E1/2.2 dengan ciri normal, (b) plantlet 377/23F/E1/1.7 dengan
pertumbuhan daun abnormal, (c) plantlet 642/13F/E2/1.4 dengan pertumbuhan
daun abnormal, (d) plantlet SGN-PV2.11/71E/E5/2.2 dengan pertumbuhan
duduk daun rapat (e) SGN-PV2.11/.K4/E0/1.1 bentuk terompet, (f) plantlet
SGN-PV2.11/54E/E5/3.1 berdaun bulat.
73
a b c
Gambar 14 Jumlah kromosom pada tanaman fenotip normal (a) jumlah kromosom
2n=2x=38 pada SGN-PV2.11/41E/E1/3.1, (b) jumlah kromosom
2n=3x=56 pada klon 377/22F/E2/5.4, (c) jumlah kromosom 2n=3x=56
pada 642/13F/E2/4.4.
Tabel 16 Jumlah kromosom beberapa mutan normal maupun abnormal pada klon
SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang terjadi akibat perlakuan EMS
KESIMPULAN
konsentrasi 0.3 - 0.6% dan lama perendaman 30, 60, 90,120 menit.
2. LC50 perlakuan perendaman EMS pada kalus Phalaenopsis diketahui sebesar
0.28 - 0.32% dengan perendaman selama 19.4-38.7 menit.
3. Keragaman genetik pada SGN-PV2.11 dapat ditingkatkan sebesar 1.07% -
16.5%, pada 642 meningkat sebesar 0.9% - 6.2% dan pada klon 377
meningkat sebesar 7.6 - 20.9%.
4. Keragaman genetik yang timbul berupa ciri morfologi tanaman yang terdiri
dari 5 macam yaitu normal, kerdil ujung daun terbelah dan duduk daun tidak
beraturan.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Kata kunci : Uji in vitro, Erwinia carotovora subsp carovora, varian somaklon.
76
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Untuk mencegah serangan penyakit tersebut, umumnya para pelaku usaha tani
Phalaenopsis menggandalkan penyemprotan bakterisida yang diaplikasikan secara
intensif. Tindakan tersebut selain membutuhkan biaya yang mahal, juga akan
menyebabkan penurunan kualitas secara keseluruhan. Sisa-sisa dari penyemprotan
bakterisida akan menempel pada permukaan daun maupun bunga, sehingga
penampilan bunga menjadi kurang menarik. Alternatif pengendalian yang efektif,
murah, efisien, ramah lingkungan serta tidak mengganggu penampilan tanaman
sangat dibutuhkan dalam hal ini.. Pengendalian penyakit dengan menanam varietas
yang tahan merupakan cara yang efektif, efisien dan aman bagi lingkungan (Snijder
et al. 2004).
Strategi perakitan berbagai tanaman tahan dapat dilakukan melalui
pembentukan keragaman somaklonal yang dikombinasikan dengan metode seleksi in
vitro (Mohamed et al. 2000; Bajji et al. 2004). Beberapa pendapat menyatakan bahwa
keragaman somaklonal dapat diinduksi (Hutami et al. 2006), untuk mendapatkan
ketahanan suatu tanaman terhadap penyakit tertentu (Švábová & Lebeda 2005).
Pengujian pada varian somaklon terhadap suatu penyakit dapat dilakukan
secara in vitro karena metode ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan pengujian di lapangan. Pengujian ketahanan tanaman melalui cara inokulasi
di lapangan telah banyak dilakukan, tetapi metode ini sering mengalami desease
escape. Di samping itu lahan yang digunakan untuk pengujian tersebut dapat menjadi
sumber penyakit baru. Metode lain yang relatif aman diaplikasikan adalah metode
pengujian in vitro ini lebih efisien dan efektif karena selain dapat mengurangi
terjadinya escape, hasil pengujian dapat diulang di rumah kaca, patogen yang
digunakan tetap terbatas di laboratorium dan umumnya memberikan hasil yang relatif
tidak berbeda dengan inokulasi di lapangan (Samanhudi 2000).
Beberapa keberhasilan pengujian secara in vitro untuk tujuan mendapatkan
kultivar baru antara lain pada tanaman barley tahan suhu ekstrim rendah (Tantau et
al. 2004), gandum tahan kekeringan (Bajji et al. 2004), strawberi toleran kadar garam
tinggi (Dziadczyk et al. 2003). Al-Safadi & Arabi (2003) telah mendapatkan mutan
yang tahan terhadap penyakit layu pada kentang. Švábová & Lebeda. (2005) telah
menelusuri bahwa sejak tahun 1980-2003 diketahui bahwa tidak kurang dari 80
penelitian memanfaatkan metode pengujian in vitro. Metode tersebut umumnya
dilakukan pada kalus, protoplas, suspensi sel, maupun klon dan lebih dari 60%
dilakukan untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap Fusarium seperti
78
tanaman anyelir (Thakur et al. 2002), kacang kapri (Singh et al. 2003), pisang (Hoss
et al. 2000). Dari sebagian besar penelitian tersebut, penelitian untuk ketahanan
terhadap Erwinia carotovora sangat jarang ditemukan pada tanaman anggrek
khususnya Phalaenopsis.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi efektifitas metode pengujian
in vitro pada varian somaklonal menggunakan suspensi bakteri, (2) mengevaluasi
respon varian somaklonal terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp carotovora.
Materi penelitian menggunakan plantlet varian somaklon dari tiga klon yaitu
SGN-PV2.11. (Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuchdelight x Vanda
lombokensis), 377 (Phal. Golden Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold), dan 642 ([Phal.
Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao Freed] x Phal. amboinensis) x Ever Spring
Prince) yang merupakan generasi M1V4 hasil iradiasi sinar gamma dan hasil
perlakuan perendaman larutan EMS. Masing – masing varian somaklon yang
diperoleh dari perlakuan yaitu dosis iradiasi (0; 2.5; 5; 15; 20 Gy), dan dari
perlakuan perendaman larutan EMS (E0 = 0%, E1 = 0.2%, E2 = 0.25%, E3 = 0.3%,
E4 = 0.35%, E5 = 0.4%) digunakan sebanyak 25 varian dengan ulangan 3 kali.
Plantlet varian turunan klon SGN-PV2.11 yang diuji seluruhnya berjumlah 75 varian
dalam 11 perlakuan sehingga total plantlet yang diuji sebanyak 825 plantlet. Plantlet
varian turunan klon 377 yang diuji sebanyak 75 plantlet dalam 8 jenis perlakuan
sehingga total adalah 600 plantlet. Sedang plantlet varian turunan klon 642 yang
diuji sebanyak 75 dalam 8 perlakuan sehingga total adalah 600 plantlet. Seluruh
plantlet diuji berjumlah 2025 plantlet.
Bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora yang berasal dari Phalaenopsis
terserang dipersiapkan dan disegarkan pada media NA untuk mendapatkan koloni
tunggal. Selanjutnya koloni tunggal disegarkan dalam media LB cair selama 24 jam
pada ruang bersuhu 28-30 °C. Selanjutnya dibuat larutan bakteri dengan konsentrasi
107 cfu/ ml.dalam media LB cair. Larutan bakteri tersebut siap digunakan untuk
inokulasi plantlet di dalam laminar air flow.
Dua puluh lima planlet M1V4 yang dihasilkan dari proses somaklonal variasi
dari masing-masing perlakuan, diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp
carotovora pada daun plantlet di dalam botol in vitro yaitu dengan cara menusukkan
atau melukai daun dengan alat yang telah dicelup bakteri dengan konsentrasi 107 cfu/
ml. Pelukaan dilakukan pada helaian daun pada salah satu daun plantlet yang berada
dalam botol kultur. Perlakuan inokulasi dilakukan dengan ulangan 3 kali. Setelah itu
diamati gejalanya selama 1-10 hari setelah inokulasi.
Pengamatan terhadap tingkat kebusukan daun dilakukan dengan cara
memberikan skor. Skoring tersebut ditentukan sebagaimana dilakukan oleh Norman
et al. (1997) yaitu skor 0 = daun tidak mengalami kebusukan, skor 1 – daun
mengalami bercak kecil pada luasan 1 % dari daun, skor 3 – daun mengalami kebusukan
dengan luasan 2-10%, skor 5- bercak daun agak meluas 11-25% dari luasan daun, skor
7 - bercak meluas 26 – 50 % dari luasan daun, skor 9 bercak melebar > 50 % atau daun
rontok (Gambar 15).
Gambar 15 Skoring bercak gejala penyakit busuk lunak pada pengujian in vitro.
Persentase daun bergejala busuk dan skor gejala kebusukan digunakan untuk
menghitung intensitas penyakit. Intensitas penyakit (IP) dihitung dengan rumus IP =
[Σ(ni x si)/(N x Z)] x 100%; N = jumlah tanaman yang diamati, Z = nilai skor
tertinggi, si = jumlah daun terserang dengan skor ke-I, ni = nilai skor penyakit dari i
= 0, 1, 2 sampai i t-skor tertinggi. Respon plantlet terhadap Erwinia carotovora
ditentukan berdasarkan kriteria persentase intensitas serangan sebagai berikut : tahan
(T) jika IP antara 0 % - 20 % ; agak tahan (AT) jika IP antara 21 % - 40 %; agak
rentan (AR) jika IP antara 41`% - 60 %; rentan (R) jika IP antara 61 % - 80 % ; sangat
rentan (SR) jika IP lebih dari 80 %. Cara menentukan persentase luasan daun adalah
dengan menggunakan ukuran pola daun yang dibuat pada plastik transparan sesuai
ukuran daun. Pola tersebut dibagi dalam 10 bagian (Gambar 23d) dan digunakan
80
sebagai alat bantu mengukur luasan bercak busuk. Selain pengamatan skor kerusakan
daun, ditentukan juga pada hari keberapa plantlet mati.
Laju infeksi (r) dihitung menggunakan rumus (Van Der Plank 1963) sbb :
2.3 1 1
r = ( log log )
t2-t1 1 - X2 1 - X1
r = laju infeksi
t = waktu pengamatan ( misalnya hari ke 1,...,5)
X = skor kebusukan daun
σ g2
KKG = x 100 %,
X
dimana X = rata-rata populasi yang diamati.
Kriteria KKG menurut Qosim et al (2000), jika 0<KKG≤10.94 (sempit);
10.95<KKG≤21.88 (agak sempit); 21.89<KKG≤32.83 (agak luas);
32.84<KKG≤43.77 (luas); 43.77<KKG (sangat luas).
Pada plantlet yang masih mengalami proses infeksi, setelah 24 jam infeksi,
diambil beberapa sampel plantlet untuk diuji kandungan peroksidasenya. Plantlet yang
telah berhasil mempertahankan diri dari serangan Erwinia yaitu plantlet yang tidak
mengalami kebusukan total dan memiliki skor 0-3 pada 4-7 hsi (hari setelah inokulasi)
diaklimatisasi di luar ruangan.
(aa)
(b
b)
Gam
mbar 16 (a) Korelasi an
ntara masa innfeksi dengaan laju infekssi (b) korelaasi antara
masa infeksi deng
gan intensitaas penyakit busuk
b lunak pada varian somaklon
yang diinokulasi secara in vittro.
Tabbel 18 Persenntase plantleet mati dan llama waktu yang diperluukan plantleet dari awal
inokulassi sampai plaantlet mati pada
p plantlett yang diinookulasi dengaan Erwinia
carotovoora subsp. ca arotovora seecara in vitroo
Perlak
kuan L
Lama kemattian plantlet setelah
Plantlet mati (%)
Assal inokkulasi (hari)
Varrian SGGN- SGN-
377 642 377 642
PV2 2.11 PV2.11
Popuulasi varian hhasil perlakuuan iradiasi
0GG 922.5 76.1 93.6 6.0 bcd 7.4 a 5.0 cd
2.55G 822.5 - - 6.2 abc - -
5GG 688.0 - - 5.9 bcd - -
15G - 77.3 - - 6.7 ab -
20G - - 89 - - 4.7 d
Poppulasi varian hasil perlakkuan EMS
0
E0 91.33 abc 888.8 abc 93.8 ab 6.1 ab 5.0 a-e 4.2 cde
E1 91.33 abc 900.0 abc 83.3 bc 6.6 a 5.8 abc 6.3 a
E2
2 91.33 abc 955.0 ab 86.7 abc 5.4 a-e 5.5 a-d 6.2 a
E3
3 1000.0 a 1000.0 a 100.0 a 4.0 de 3.7 e 4.2 cde
E4
4 1000.0 a 1000.0 a 100.0 a 5.3 a-e 4.4 b-e 5.2 a-e
E5
5 77.5 c 9
98.8 a 84.0 bc 5.8 abc 5.0 a-e 6.4 a
83
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%. E0 (EMS
0%), E1 (EMS 0.2%), E2 (EMS 0.25%), E3 (EMS 0.3%), E4 (EMS 0.35%), E5
(0.4%).
Pada populasi varian ketiga klon iradiasi sinar gamma setelah dilakukan
pengujian secara in vitro menunjukkan hasil bahwa perlakuan dosis iradiasi tidak
mempengaruhi persentase plantlet yang mati, sedangkan perlakuan EMS
mempengaruhi persentase kematian plantlet. Kisaran persentase plantlet mati pada
plantlet varian iradiasi mencapai sebesar 68%-93.8%. Persentase kematian plantlet
hasil perlakuan EMS lebih bervariasi pengaruhnya terhadap hasil inokulasi tetapi
cukup tinggi, yang berkisar antara 77.5% hingga 100%.
a b
c d
Gambar 17 Hasil inokulasi secara in vitro (a) plantlet mengalami hipersensitif respon,
(b) tanaman mengalami kebusukan daun dengan skor 9, (c) seluruh plantlet
busuk, d) cara memperkirakan luasan kebusukan daun.
Di antara varian EMS ketiga klon SGN-PV2.11, 377 dan 642, persentase
kematian plantlet dari perlakuan E5 pada SGN-PV2.11 paling rendah. Perbedaan
persentase kematian plantlet antara plantlet yang berasal dari perlakuan tanpa EMS
dengan plantlet yang dihasilkan dari perlakuan EMS adalah sangat kecil, bahkan
dapat diartikan bahwa perlakuan EMS tidak memberikan pengaruh yang sangat nyata
84
terhhadap kemam
mpuan varian
n untuk bertahan dari serangan bakteeri Erwinia carotovora
c
subsp. carotovoora.
Waktu yang
y diperluukan plantleet hingga mengalami
m k
kematian yaaitu hingga
seluuruh plantleet menjadi busuk, mennunjukkan waktu
w yang berbeda (T
Tabel 18).
Perbbedaan terseebut disebab
bkan oleh peerbedaan ko
onsentrasi E
EMS dalam perlakuan,
mau
upun dosis iradiasi.
i Keddua mutagenn menyebabbkan perbeddaan pertahaanan varian
terhhadap Erwiniia carotovorra subsp. carrotovora.
Gam
mbar 18 Jum mlah plantleet varian daalam kategoori skor 1 ddan 3 hasil perlakuan
iradiasi sinar gamm
ma (Rad SGN N, Rad 642, Rad 377) dan EMS (E EMS SGN,
EMS 64 42, EMS 3777) yang telahh diuji secaraa in vitro.
Pada varrian iradiasi,, diantara keetiga klon, kllon 642 tamppak paling reendah daya
perttahanannya dilihat
d berdaasarkan palinng cepatnya kematian plaantlet. Semeentara klon
SGN
N-PV2.11 dan
d 377 lebiih lama berttahan. Berbeeda dengan varian iradiiasi, varian
EM
MS lebih berv
variasi waktuu yang dibuutuhkan untuuk membusuukkan seluruh
h daunnya.
Secara keseluruuhan varian klon 642 tampak
t lebiih mampu bertahan
b dibbandingkan
den
ngan varian klon
k SGN-PV2.11, klonn 377 paling cepat menggalami kemaatian. Lama
wakktu yang dibbutuhkan oleeh varian kllon 642 berk
kisar antara 4.2 - 6.4 hari, SGN-
PV2
2.11 berkisarr anrtara 4-66.6 hari dan 377
3 berkisar antara 3.7 - 5.8.
Plantlet yang tahann biasanya tidak terjaddi infeksi saama sekali, sedangkan
plan kan mengalaami hipersennsitif responn dengan ciri di sekitar
ntlet yang aggak tahan ak
pelu
ukaan menjaadi mengeriing dan inffeksi tidak berkembang
b g (Gambar 17a). Pada
plan
ntlet yang rentan
r dan sangat
s rentaan, pembusuukan segera terjadi setelah infeksi
pad
da hari pertam
ma kemudiann seluruh daaun membussuk karena teerdegradasi oleh
o enzim
85
yang berasal dari patogen (Gambar 17b-c). Dalam keadaan terserang seluruh daun
menjadi berwarna coklat basah (Gambar 17c).
Tabel 19 Rata-rata skor kerusakan daun (SKD), intensitas penyakit (IP), dan
ketahanan beberapa contoh varian Phalaenopsis SGN-PV2.11, klon 377, dan
klon 642 hasil uji in vitro
Klon Phalaenopsis dan Varian IP
SKD Ketahanan
Hasil Pengujian (%)
Klon SGN-PV2.11
35C/2,5G/4.21 1 11.1 T
63E/2,5G/3.6 3 33.3 AT
BC8/0G/2.3 7 77.8 R
98E/5G/3.1 0 00.0 T
109E/5G/2.4 7 77.8 R
82E/5G/2.3 1 11.1 T
94E/5G/1.5 5 55.6 AR
E2/45E/3.4 1 11.1 T
E5/45E /5/2.3 0 00.0 T
Klon 642
15F/0G/2.2 5 55.6 AR
14F/15G/1.6 1 11.1 T
11F/15G/2.7 3 33.3 AT
15F/E2/6.1 7 77.8 R
Klon 377
377/21F/0G/1.6 3 33.3 AT
377/22F/20G/3.4 1 11.1 T
377/24F/20G/4.2 3 33.3 AT
377/22F/E1/5.3 3 33.3 AT
377/23F/E2/3.5 1 11.1 T
Keterangan : T: tahan, AT:agak tahan, AR: agak rentan dan R: rentan.
Hasil pengujian pada berbagai varian ini diperoleh beberapa plantlet yang
tahan dan agak tahan dalam kisaran jumlah yang berbeda-beda di setiap perlakuan
mutasi (Gambar 18). Jumlah seluruh tanaman agak tahan dan tahan tersebut
sebanyak 162 (Lampiran 1). Jumlah plantlet tahan terbanyak terdapat pada perlakuan
iradiasi sinar gamma dengan dosis 5 Gy yaitu sebanyak 34 plantlet dari SGNPV2.11.
Pada klon 642 dengan dosis 15 Gy menghasilkan plantlet potensial sebanyak 14
plantlet, sedangkan klon 377 menghasilkan 12 plantlet potensial pada dosis 20 Gy.
Perlakuan iradiasi memberikan kontribusi lebih besar dari pada perlakuan EMS
apabila ditinjau dari jumlah plantlet yang tahan hasil dari pengujian terhadap patogen
Erwinia carotovora subsp carotovora. Perlakuan iradiasi sinar gamma menghasilkan
104 plantlet tahan sedangkan dari perlakuan EMS terdapat 58 planlet yang berasal
dari 3 genotip yaitu SGN-PV2.11, 377 dan 642.
86
Pada perlakuan EMS baik pada konsentrasi 0%; 0.2%; 0.25%; 0.3%; 0.35%;
0.4%, menghasilkan plantlet potensial yang bervariasi. Pada klon SGN-PV2.11
konsentrasi 0.2% menghasilkan plantlet varian potensial terbanyak sebanyak 8, pada
klon 642 konsentrasi 0.4% menghasilkan plantlet varian potensial sebanyak 8,
sedangkan klon 377 menghasilkan plantlet varian potensial terbanyak dari perlakuan
konsentrasi EMS 0.4% yaitu sebanyak 6 varian. Beberapa konsentrasi memunculkan
seluruh varian yang tidak tahan terhadap penyakit busuk lunak.
Beberapa varian potensial disajikan mewakili dari 162 varian potensial hasil
uji (Lampiran 1). Beberapa varian tersebut disajikan dalam Tabel 18. Varian yang
tahan memiliki skor kebusukan daun dan intensitas penyakit sebesar 0-1 dengan
intensitas penyakit 11.1%, varian agak tahan memiliki skor kebusukan daun 3 dan
intensitas penyakit 33.3%. Varian yang tahan biasanya mengalami hipersensitif
respon yang dicirikan dengan adanya pengeringan di sekitar pelukaan daun yang
diinokulasi patogen. Di antara varian-varian tersebut tidak ditemukan varian yang
benar-benar imun. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan iradiasi maupun EMS
dalam penelitian ini mampu merubah klon hanya hingga ke taraf tahan yang artinya
dapat menyebabkan klon yang sebenarnya sangat rentan menjadi memiliki
kemampuan dalam ketahanan terhadap penyakit busuk lunak.
Keragaman suatu klon pada umumnya adalah nol. Seperti halnya keragaman
klon, ketahanan pada suatu klon terhadap suatu jenis penyakit pada umumnya adalah
sangat sempit atau sangat rendah bahkan dapat dikatakan tidak memiliki keragaman.
Tanaman yang diregenerasikan secara vegetatif akan mempunyai konsekuensi
diperolehnya karakteristik keturunan yang identik dengan tetuanya artinya tidak
memunculkan fenomena segregasi gen sebagai faktor yang bertanggungjawab
terhadap peningkatan variabilitas genetik (Rachmadi 1999).
Tiga klon yang digunakan pada penelitian ini yaitu SGN-PV2.11, 642 dan 377
memiliki keragaman genetik yang sangat sempit berdasarkan analisis ragam yang
dinyatakan dengan koefisien keragaman genetik (KKG) yang rendah berdasarkan
kriteria Qosim et al (2000), jika 0<KKG≤10.94 (sempit); 10.95<KKG≤21.88 (agak
sempit); 21.89<KKG≤32.83 (agak luas); 32.84<KKG≤43.77 (luas); 43.77<KKG
(sangat luas). Klon SGN-PV2.11 merupakan klon yang memiliki keragaman genetik
87
yang agak sempit, sedangkan klon 377 dan 642 memiliki keragaman genetik yang
sempit.
Keragaman genetik klon-klon tersebut di atas sangat selaras dan berkaitan
dengan jumlah hasil uji ketahanan terhadap penyakit busuk lunak yang telah disajikan
pada Gambar 18. Klon SGN-PV2.11 yang memiliki keragaman genetik agak sempit,
diperoleh plantlet yang agak tahan hingga tahan lebih banyak daripada klon 377 dan
642 yang memiliki keragaman genetik lebih sempit (Tabel 20). Berdasarkan keadaan
keragaman genetik yang sempit di atas, sifat ketahanan terhadap penyakit pada varian
yang dimunculkan sebagai dampak adanya keragaman somaklonal yang disebabkan
oleh induksi mutasi adalah sangat sedikitnya jumlah varian yang tahan. Meskipun
persentase tanaman yang tahan sangat kecil tetapi hasil keragaman somaklonal masih
dapat diandalkan untuk membantu pemuliaan tanaman. Beberapa penelitian
melibatkan hasil keragaman somaklonal untuk mendapatkan tanaman tahan penyakit
di antaranya adalah tanaman abaka, stevia, pisang dan tanaman hias.
Tabel 20 Hasil analisis ragam dan ragam genetik karakter ketahanan penyakit busuk
lunak pada setiap genotip klon SGN-PV2.11, 377, 642 dan antara seluruh
genotip.
KES
SIMPULAN
N
1. Uji in vitro
v dapat dilakukan ppada varian somaklonall yang dipeeroleh dari
perlakuaan iradiasi siinar gamma dan EMS.
2. Tanamaan mati padaa varian iraddiasi sinar gamma
g berkkisar antara 68- 93.8%
dan mem
mbutuhkan waktu
w selam
ma 4.7-7.4 hari
h untuk m
menyebabkann kematian
plantlet setelah inokkulasi.
3. Pada varrian EMS taanaman matii lebih tinggi dibandingkkan tanamann mati pada
89
varian iradiasi yaitu berkisar antara 88- 100% dengan lama waktu kematian
plantlet selama 3.7 – 6.6 hari.
4. Skor kebusukan daun (SKD) pada varian iradiasi sinar gamma 6.6 -7.8 dan
pada varian EMS 4.4-9, SKD tersebut mengindikasikan bahwa intensitas
penyakit pada plantlet varian memiliki fenotipe yang dapat dikategorikan
sangat rentan.
5. Kandungan peroksidase diduga tidak terlibat sistim pertahanan tanaman
Phalaenopsis dalam menghadapi serangan patogen penyebab penyakit busuk
lunak.
6. Varian tahan (SKD 1) dan agak tahan (SKD 3) secara in vitro, merupakan
varian potensial tahan penyakit busuk lunak. Jumlah keseluruhan sebanyak
162 varian.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press.
Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney.
Tokyo. p. 414-425.
Almagro et al 2008. Class III peroxidases in Plant Defence Reactions. J.Exp Bot 16
(5).
Al-Safadi B, Arabi MIE. 2003. In vitro induction. isolation. and selection of potato
mutant resistant to late blight. J. Genet & Breed 57: 359-364.
Bajji M, Bertin P, Lutts S, Kinet JM. 2004. Evaluation of drought resistance-related
traits in durum wheat somaclonal lines selected in vitro. Aust J Exp Agric 44:
27-35.
Charkowsky AO. 2006. The Soft rot Erwinia. Plant Associated Bacteria. Springer.
Netherland. p 423-505.
Dziadczyk P Balibok H, Tyrka M. Hortyński JA. 2003. In vitro selection of
strawberry (Fragaria x ananassa Duch) clones toleranct to salt stress.
Euphytica 132 : 49-55.
Hutami S, Mariska I, Supriati Y. 2006. Peningkatan keragaman genetic tanaman
melalui keragaman somaklonal. J. Agrobiogen 2 (2) : 81-88.
Hoss R, Helbig J, Bochow H. 2000. Function of host and fungal metabolites in
resistant response of banana and plantain in the black sigatoka disease
pathosystem (Musa spp – Mycosphaerella fijinensis). J. Pythopathol 148:
387-394.
Norman DJ, Henny RJ, Yuen JMF. 1997. Disease resistance in twenty in
Dieffenbachia cultivars. Hort SCi 32 (4) : 709-710.
Martin GB, Bogdanove AJ, Sessa G. 2003. Understanding the functions of plant
disease resistance proteins. Ann Rev Plant Biol 54: 23-61.
Mohamed MAH, Harris PJC, Handerson J. 2002. In vitro selection and
characterization of a drought tolerant clone of Tagetes minuta. Plant Sci 159 :
213-222
90
ABSTRAK
ABSTRACT
The objectives of this research is (1) testing field response of variant population
direved calli gamma ray radiated and EMS treatmented resistant to Erwinia
carotovora subsp carotovora through in vitro testing, (2) evaluating qualitative
characters of potential variants based on effect of stomata number, leaf thickness,
isoenzyme peroxidase and esterase also activity unit enzyme of peroxidase and
salycilic acid contain. Result of research indicate that some of variants which have
succeeded on in vitro testing to Erwinia carotovora subsp carotovora have
decreased. Percentage of the decrease till reached 12.5- 22.9% from radiated and
EMS treated. Incubation period was took place 24 first hour after patogen inokulated.
Number of stomata adaxial or abaxial and tleaf thickness also salisilic acid contain
was not correlated with the score of leaf damage. The contain of peroxidase has
been known higher at moderate than resistant. Resistance plants showed bands
esterase or peroxidase more than band on more susceptible plants.
PENDAHULUAN
menyebabkan penurunan hasil. Tindakan tepat pengendalian kimia secara praktis dan
efektif terhadap busuk lunak relatif belum ada. Salah satu metode untuk
mengendalikan penyakit yang efektif, efisien dan aman bagi lingkungan tersebut
adalah dengan menggunakan kultivar yang tahan (Sobiczewski 2008). Strategi
perakitan tanaman tahan penyakit merupakan strategi yang ekonomis bagi sejumlah
tanaman (Triphati & Triphati 2009) dan diharapkan akan ekonomis pula pada
tanaman Phalaenopsis. Sejumlah kendala dijumpai dalam perakitan Phalaenopsis
tahan penyakit busuk lunak karena studi penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh
Erwinia carotovora pada Phalaenopsis sangat terbatas dilaporkan, terutama
mengenai hal-hal yang menyangkut mekanisme pertahanan tanaman Phalaenopsis
terhadap penyakit tersebut di lapangan.
Studi perakitan kultivar tahan banyak dilakukan menggunakan varian
somaklon. Menurut Rossa (2009), varian hasil keragaman somaklonal merupakan
salah satu sumber yang dapat digunakan untuk memperoleh karakter tertentu yang
dikaitkan dengan sifat ketahanan terhadap suatu cekaman tertentu. Di Indonesia
teknik ini telah dimanfaatkan pada tanaman panili dan telah didapatkan tanaman
tahan penyakit layu bakteri (Lestari et al. 2006), tanaman pisang ambon tahan
fusarium (Husni et al. 2005), tanaman nilam tahan penyakit layu bakteri (Nasrun &
Nuryani 2007). Teknik pengujian untuk mendapatkan tanaman tahan penyakit ini
sebagian juga dilakukan dalam evaluasi di lapangan dengan cara menginokulasikan
langsung pada tanaman. Dewi et al. (2007) mengevaluasi ketahanan tanaman padi
haploid ganda yang akan digunakan sebagai tetua pembentukan padi tahan hawar
daun bakteri dengan metode pengguntingan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi respon di lapangan pada
populasi varian Phalaenopsis yang berasal dari kalus yang diberi perlakuan iradiasi
sinar gamma dan EMS yang telah tahan terhadap Erwinia carotovora subsp.
carotovora melalui uji secara in vitro, (2) mengevaluasi karakter kualitatif varian
potensial terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora pada pengujian di lapangan
berdasarkan pada tebal daun, isoenzim, kandungan peroksidase dan asam salisilat.
lombokensis, klon 377 (Phal. Golden Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold), dan 642
([Phal. Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao Freed] x Phal. Amboinensis) x Ever
Spring Prince) yang telah diuji ketahanan secara in vitro (Lampiran 1).
Varian potensial klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 digunakan sebagai materi
yang diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan. Inokulan
Erwinia carotovora subsp. carotovora berkonsentrasi 108 cfu/ml. Pada tanaman
varian, daun dilukai dengan jarum yang telah dicelup inokulan, kemudian luka
ditutup dengan kapas basah dan diselotip agar kapas tetap menempel (Gambar 22c).
Setelah diinokulasi, inkubasi dilakukan pada ruang ruang tertutup plastik (Gambar
22a). Pengamatan dilakukan selama 4 hari berturut-turut pada luas kebusukan yang
ditimbulkan Erwinia carotovora subsp. carotovora pada daun, untuk menentukan
skor gejala kerusakan daun. Peubah yang diamati meliputi masa inkubasi,
diameter/lebar serangan dan persentase tanaman anggrek yang terserang Erwinia.
Intensitas serangan penyakit busuk lunak dihitung dengan rumus yang dikemukakan
oleh Norman et al. (1997) :
I=
∑ (nxv)
ZxN
dimana : I = intensitas serangan; N = jumlah daun total ; n = jumlah daun terserang
pada tiap nilai skala; n = nilai skala untuk tiap daun ; Z = nilai skala tertinggi. Penentu-
an nilai skala dilakukan sebagai berikut : nilai 0 = tanpa gejala; 1 = bercak kecil pada
luasan 1 % dari daun; 3 = bercak 2 – 10 % dari luasan daun; 5 = bercak agak meluas 11
– 25 % dari luasan daun; 7 =bercak meluas 26 – 50 % dari luasan daun ; dan 9 = bercak
melebar > 50 % atau daun rontok.
Selanjutnya berdasarkan intensitas serangan tersebut, tingkat ketahanan
Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak ditentukan berdasarkan kriteria sebagai
berikut : intensitas serangan 0 = imun, 0 % < x ≤ 20 % = resisten, 21 % < x ≤ 40 %
= agak resisten, 41 < x ≤ 60 % = agak rentan, 61 % < x ≤ 80 % = rentan dan 81 % <
x = sangat rentan.
Laju infeksi (r) dihitung menggunakan rumus (Van der Plank1963) sbb :
2.3 1 1
r = ( log log )
t2-t1 1 - X2 1 - X1
95
r = laju infeksi
t = waktu pengamatan ( misalnya hari ke 1,...,5)
X = skor kebusukan daun
contoh cairan daun dimasukkan dalam kotak plastik yang berisi buffer elektroda.
Kaki cetakan harus terendam dalam buffer elektroda lalu diletakkan dalam ruangan es
pada suhu 5-10 °C. Selanjutnya dialiri listrik 100 Volt 30 menit dan dilanjutkan 3-4
jam pada 150 Volt. Untuk mengontrol karak migrasi molekul, disalah satu sisinya
diberi penanda Bromofenol blue. Setelah selesai pengaliran listrik, gel dibelah
menjadi dua atau tiga (sesuai ketebalannya) pada posisi horisontal di atas alat
pemotong. Sebelumnya kertas saring dikeluarkan dari lubang-lubangnya. Lembaran
gel dimasukkan ke dalam nampan kemudian diberi pewarna yang masing-masing
telah disiapkan. Setelah itu kotak plastik ditutup dengan aluminium foil dan
diinkubasi pada suhu ruang sampai muncul pita-pita pada gel. Perendaman ini
dilakukan 1-2 jam tergantung jenis enzim. Gel dicuci dengan air mengalir sampai
bersih, kemudian potongan gel yang telah terlihat pita-pitanya dapat difiksasi dengan
50% etansol yaitu etanol : akuades : asam asetat : gliserol = 5:4:2:1. Pengamatan
segera dilakukan setelah pencucian dan hasilnya dapat diabadikan dengan kamera.
dapat diabsorbsi. Proses terjadinya kontak patogen dengan permukaan daun hingga
terjadi penetrasi patogen memasuki jaringan serta degradasi dinding sel dan lamella
tengah hingga tampak gejala pembusukan merupakan masa inkubasi penyakit (Sinaga
2002).
berddasarkan pennelitian Huaang et al. 20004 pada tannaman tembaakau terjadi selama 24
jam
m setelah inokkulasi. Laju infeksi penyyakit di lapaangan juga m
menunjukkann pola yang
sam
ma dengan laaju penyakit di dalam kuultur in vitro pada peneelitian bab sebelumnya
(Gaambar 15) yaitu
y dengann pola yang menurun dan
d sebaliknnya intensitaas penyakit
sem
makin meninggkat. Gambaar 20a menuunjukkan lajuu infeksi yanng terjadi sellama 4 hari
pen
ngamatan, deengan intervaal pengamattan satu harii. Proses terjadinya peny
yakit busuk
lunaak di lapangan sama denngan yang terrjadi di dalam kultur in vvitro.
Respon yang terlihaat dari indiviidu varian po
otensial yangg diinfeksi di
d lapangan
ini, ternyata jum
mlah tanamaan tahan mennurun. Variaan yang tahan secara in vitro
v belum
tenttu akan tahann di lapangaan. Varian koontrol dari ketiga klon yaaitu varian yang
y belum
ulasi patogenn secara in vitro, setelaah mengalam
pernnah diinoku mi infeksi di
d lapangan
ham
mpir semua mati.
m
(a)
r=0.9998
(b)
r=0.9534
Gam
mbar 21 (aa) Korelasii antara maasa infeksi dengan
d laju infeksi pennyakit (b)
koorelasi antaraa masa infeeksi dengann intensitas penyakit bu usuk lunak
varian potensiaal pada penggujian di lapaangan.
99
Persentase varian potensial dari hasil mutasi iradiasi dan EMS yang telah
diuji secara in vitro yang masih dapat bertahan sekitar 5 – 17.7 % (Tabel 21),
tergantung genotipnya. Genotip klon SGN-PV2.11 lebih tahan dari pada genotip klon
377 dan klon 642. Varian potensial tahan dari klon SGN-PV2.11 hasil inokulasi in
vitro hanya bertahan sebanyak 17.7 % berasal dari mutasi dengan iradiasi sinar
gamma, genotip 642 tertinggi 16.6% berasal dari mutasi iradiasi sinar gamma dan
377 tertinggi 13.3% berasal dari mutasi EMS. Berdasarkan jumlah tanaman yang
tahan, SGN-PV2.11 diperoleh tanaman yang tahan lebih banyak dibandingkan
dengan genotip 642 dan 377.
Ketahanan plantlet di dalam kultur in vitro berbeda dengan ketahanan
tanaman di lapangan. Hal ini mungkin disebabkan karena di dalam kultur in vitro.
Plantlet dalam kondisi optimum dengan adanya nutrisi yang lengkap dan terus
menerus tersedia, lingkungan yang sesuai dan terkontrol. Kondisi di lapangan
sebaliknya, nutrisi tidak terus menerus ada dan lingkungan dapat berubah setiap saat
termasuk adanya serangan patogen lain yang tiba-tiba (Amusa & Odunbaku 2007).
Tabel 21 Respon tanaman varian dan silangan yang telah diuji secara in vitro
terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan
Tabel 22 Hubungan antara jumlah pita isoenzim peroksidase, esterase dan unit
aktivitas enzim (UAE) peroksidase terkadap skor kebusukan daun (SKD)
varian tanaman pada engamatan dilakukan 24 jam setelah diinokulasi dengan
Erwinia carotovora subsp carotovora.
UAE Σ Pita Σ Pita
Kode Klon Peroxidase Isoenzim Isoenzim SKD
(µl/mg) Peroksidase Esterase
SGN-PV2.11/10E/2.5G/2.3 0.0000403 1 1 5
SGN-PV2.11/ 45E/E5/2.3 0.0000348 1 3 0
SGN-PV2.11/17D/5G/1.7 0.0000325 1 2 3
SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.6 0.0000147 1 0 3
SGN-PV2.11/94E/5G/1.5 0.0000468 1 1 3
SGN-PV2.11/109E/5G/2.4 0.0000940 1 2 3
SGN-PV2.11/38E/2.5G/ 4.9 0.0000650 1 2 3
642/14F/15G/2.9 0.0000205 3 2 1
377/22F/E2/1.5 0.0000369 2 2 3
SGN-PV2.11/98E/5G/2.2 0.0000083 0 2 -
aktivitasnya dari pada tanaman yang memiliki SKD lebih dari 1. SKD yang lebih
dari 1 biasanya berubah setelah diamati 4 hsi menjadi 7 atau 9 (data tidak
ditunjukkan) tetapi tanaman yang menunjukkan SKD 1 biasanya lebih mampu
bertahan. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa pada tanaman yang lebih tahan
memang memiliki gen ketahanan yang mengendalikan sifat tahan tersebut selain
melibatkan peroksidase itu sendiri. Akan tetapi tanaman yang agak tahan berusaha
memberikan perlawanan yang kuat sehingga meningkat aktivitas peroksidasenya.
Aktivitas peroksidase diperkuat dengan isoenzim peroksidase yang disajikan
dalam bentuk tabel mengenai jumlah pita yang muncul dalam gel pati
elektrophoresis. Pada tanaman yang tidak diinokulasi tidak memunculkan pita
peroksidase sedangkan tanaman yang diinokulasi memunculkan pita paling sedikit
satu pita peroksidase. Jumlah pita esterase lebih banyak dari pada pita peroksidase.
Tanaman yang memiliki SKD 0 atau 1 memiliki salah satu jenis pita yang jumlahnya
lebih banyak dari pada yang lain. Misalnya sampel no 2 yang memiliki SKD 0,
memunculkan pita esterase 3 buah sedangkan sampel no 8 dengan SKD 1
memunculkan pita peroksidase yang berjumlah 3 buah yang merupakan jumlah pita
terbanyak. Hal ini diduga bahwa masing-masing tanaman memiliki peroksidase yang
berbeda-beda jenisnya.
Dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa tanaman yang tahan dapat
ditandai dengan adanya jumlah pita peroksidase atau esterase yang lebih banyak dari
pada tanaman yang bersifat rentan atau moderat. Aboshosha (2008) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa tanaman bunga matahari yang tahan terhadap
Macrophomia phaseolina memunculkan pita isozim peroksidase berjumlah 4
sedangkan tanaman yang peka memunculkan pita 2 buah dan tanaman yang
intermediate memunculkan pita 3-4. Hal yang dapat diambil dalam penelitian tersebut
adalah bahwa jumlah pita semakin banyak mengindikasikan bahwa tanaman semakin
tahan terhadap penyakit.
Analisis lain yang dilakukan untuk mempelajari sifat ketahanan pada
Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak adalah asam salisilat. Tanaman yang
diserang oleh patogen, menjalankan mekanisme pertahanan secara aktif yang
membutuhkan sintesis protein yang diatur melalui jalur signal kompleks dan saling
berhubungan, terutama melalui jalur asam salisilat, asam jasmonat atau ethylene yang
dihasilkan dalam sintesis protein PR (Almagro et al. 2009).
102
Pada pen
nelitian ini, analisis kanndungan asam
m salisilat yyang dilakuk
kan 24 jam
seteelah tanamann diinokulassi menunjukkkan bahwa semua
s tanam
man yang mengandung
m
asam
m salisilat baik tanam
man yang ddiinokulasi maupun yaang tidak diinokulasi.
d
Konnsentrasi assam salisilatt sembilan tanaman yang diinokuulasi tidak adda korelasi
den
ngan SKD masing-masin
m ng tanaman. Tanaman yang
y memiliiki SKD 0 atau
a 1 pada
sam
mpel no 2 dan
d 8, mennunjukkan kkonsentrasi asam
a salisillat yang lebbih rendah
dariipada tanam
man yang meemiliki SKD
D 3 yaitu sam
mpel no 5 dan 9 dan baahkan lebih
renddah dari tannaman yang
g tidak diinnokulasi yaittu sampel nno 10. Hasiil analisis
salisilat tersebu
ut menunjukk
kan bahwa asam
a salisilatt diduga tidaak terlibat daalam sistim
perttahanan Phaalaenopsis dalam
d menghadapi patthogen peenyakit busuusk lunak,
messkipun banyaak penelitiann menyebutkkan bahwa asam
a salisilaat biasanya teerinduksi 6
jam
m setelah teerinokulasi dan
d ditandaii adanya reaksi
r hiperssensitif padaa tanaman.
Dalam hal ini bukan
b berartii pertahanann tanaman diilakukan olehh asam salissilat sendiri
tetaapi asam salisilat mengin
nduksi pertahhanan tersebut. (Agrios 22005).
3.5
Konsentrasi asam Salisilat (%/g)
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Varrian
Hasil pengujian
p paada akhirnyaa memperoleeh beberapa mutan yangg memiliki
kriteeria tahan yaitu
y dengaan SKD 1 dan SKD 3 yang seluuruhnya berrjumlah 24
tanaaman. Darii klon SG
GN-PV2.11 diperoleh 5 mutan tahan yaaitu SGN-
103
Tabel 23 Mutan tahan dan agak tahan dari klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 hasil
validasi dengan uji di lapangan menggunakan patogen Erwinia carotovora
subsp. carotovora
No Nama Mutan SKD In Vitro SKD Akhir Kategori
1 SGN‐PV2.11/63E/2.5G/3.4 1 3 AT
2 SGN‐PV2.11/R6/2.5G/1.8 1 1 T
3 SGN‐PV2.11/98E/5G/3.1 0 1 T
4 SGN‐PV2.11/107E/5G/1.8 1 3 AT
5 SGN‐PV2.11/17D/5G/1.9 1 3 AT
6 SGN‐PV2.11/36C/5G/3.1 1 3 AT
7 SGN‐PV2.11/109E/5G/2.4 1 3 AT
8 SGN‐PV2.11/82E/5G/2.3 1 1 T
9 SGN‐PV2.11/99E/5G/6.2 1 1 T
10 SGN‐PV2.11/82/5G/2.3 1 3 AT
11 SGN‐PV2.11/82E/5G/2.3 1 3 AT
12 642/15G/14F/2.9 0 0 T
13 642/15G/14F/1.9 0 3 AT
14 642/15G/12F/3.4 3 3 AT
15 377/23F/20G/1.8 1 3 AT
16 377/19F/20G/1.5 0 1 T
17 SGN‐PV2.11/30E/E2/5.5 0 3 AT
18 SGN‐PV2.11/45E/E5/2.3 0 1 T
19 SGN‐PV2.11/34E/E5/2.6 1 3 AT
20 642/13F/E1/2.4 1 1 T
21 642/13F/E2/5.4 3 3 AT
22 642/11F//E5/7.6 1 3 AT
23 377/23F/E2/1.9 3 3 AT
24 377/21F/E2/1.4 3 3 AT
Keterangan : T (tahan), AT (Agak tahan), SKD (Skor Kebusukan Daun).
KESIMPULAN
2. Kandungan asam salisilat, peroksidase dan esterase tidak terdapat pada semua
tanaman yang tahan.
3. Beberapa mutan diperoleh dari validasi di lapangan antara lain dari klon
SGN-PV2.11 sebanyak 14 mutan terdiri atas 5 mutan tahan dan 9 mutan agak
tahan, klon 642 sebanyak 6 mutan terdiri atas 2 mutan tahan dan 4 mutan agak
tahan, sedang klon 377 sebanyak 4 mutan terdiri atas 1 mutan tahan dan 3
mutan agak tahan.
4. Dari klon SGN-PV2.11 diperoleh 5 mutan tahan yaitu SGN-
PV2.11/R6/2.5G/1.8, SGN-PV2.11/98E/5G/3.1, SGN-PV2.11/82E/5G/2.3,
SGN-PV2.11/99E/5G/6.2, SGN-PV2.11/45E/E5/2.3. Dari klon 642 diperoleh
2 mutan tahan yaitu 642/15G/14F/2.9, 642/13F/E1/2.4 dan dari klon 377
diperoleh 1 mutan tahan yaitu 377/19F/20G/1.
DAFTAR PUSTAKA
Aboshosha SS, Attaalla SI, El-Karomy AE, El-Argawi E. 2008. Protein analysis and
peroxidase isoenzymes as molecular markers for resistance and susceptibility
of Sun flower to Macrophomia phaseolina. J Agric Biol 10: 28-34.
Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press.
Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney.
Tokyo. p. 414-425.
Almagro et al 2009. Class III peroxidases in Plant Defence Reactions. J.Exp Bot 60
(2): 377-390.
Amusa NA. Odunbaku OA. 2007. Biological control of bacterial of plants in Nigeria
: Prolem and prospects research . J. Agric Biol Sci. 3 (6): 979-982.
Bozso Z, Besenyei E, Ott PG, Czelleny A, Klement Z. 2002. Cloning and
characterization of peroxidase associated with generalized defence reactions
of plants against bacterial patogens. Plant Physiol 46 (3-4): 139-141.
Dewi IS, Apriana A, Sisharmini A, Somantri IH. 2007. Evaluasi Ketahanan
Tanaman Padi Haploid Ganda Calon Tetua Padi Hibrida terhadap Wereng
Batang Coklat dan Hawar Daun Bakteri. J Bul Agron. 35 (1): 15 – 21.
Golubenko et al. 2008. Induction of peroxides as a disease resistance response in
resistant (Hibiscus trioma) and susceptible (Althen ameriaca) spesies in the
family Malvaceae. J Phytoparasitica 35 (4): 401- 413.
Hasegawa H, Chatterjee A, Cui Y, Chatterjee AK. 2005. Elevated temperature
enhances virulence of Erwinia carotovora subsp carotovora strain EC153 to
plants and stimulates production of the quorum sensing signal N-acyl
homoserine lactone and extracelluler proteins. Appl Environ Microbiol. 71:
4655-4663.
Husni A, Hutami S, Kosmiatin M, Mariska I. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai
untuk meningkatkan sifat toleran kekerangan. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan. 23 (2) : 93-100.
105
Huang HE, Ger MJ, Yip MK, Chen CY, Pandey AK, Feng TY. 2004. A
hypersensitive response was induced by virulent bacteria in transgenic
tobacco plants overexpressing a plant ferredoxin-like protein (PFLP). Physiol
Mol Plant Pathol 64 : 103–110.
Lestari EG, Sukmadjaja D, Mariska I. 2006. Perbaikan ketahanan tanaman panili
terhadap p[enyakit layu melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 25
(4) : 149-153.
Nasrun, Nuryani Y. 2007. Penyakit layu bakteri pada nilam dan strategi
pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian 26 (1) : 9-14.
Norman DJ, Henny RJ, Yuen JMF.1997. Disease resistance in twenty in
Dieffenbachia cultivars. Hort SCi 32 (4) : 709-710
Rossa Y. 2009. Pemanfaatan variasi somaklonal dan seleksi in vitro dalam perakitan
tanaman toleran cekaman abiotik.J Litbang Pertanian 28 (4): 142-148.
Sinaga MS. 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta.
h. 134.
Sobiczewski P. 2008. Bacterial diseases of plants : Epidemology. diagnostics &
control. Zembirbyrte-Agric 95 (3) : 151-157.
Toth IK, Bell KS, Holeva,MC, Birch, PRJ. 2003. Patogen profile. Soft rot erwiniae :
from genes to genomes. Mol Plant Pathol 4 (1): 17-30.
Triphati L, Triphati JN. 2009. Relative susceptibility of banana cultivars to
Xanthomonas campestris cv musaceano. Afr J Biotech 8 (2) : 5343-5350.
Van der Plank JE. 1963. Plant Diseases: epidemics and control. Academic Press.
New York. London. 349p.
Yap MN, Barak JD, Charkowski AO. 2004. Genomic diversity of Erwinia
carotovora subsp carotovora and its correlation with virulence. Appl Environ
Microbiol. 70 : 3013-3023.
PEMBAHASAN UMUM
106
lebih rendah atau tinggi. Menurut beberapa peneliti, dosis iradiasi rendah umumnya
dapat meningkatkan daya regenerasi kalus menjadi tanaman (Ahloowalia &
Maluszynski 2001; Datta et al. 2005). Berdasarkan data kemampuan regenerasi,
dosis iradiasi yang berada di sekitar LD20 –LD50 merupakan dosis yang dapat
digunakan untuk meningkatkan variasi somaklonal. Mampu. Shirong (2008) dan
Hussin et al. (2008) juga berpendapat sama yaitu bahwa dosis dibawah LD50 mampu
meningkatkan munculnya varian lebih banyak.
Mutagen fisik iradiasi maupun mutagen kimia EMS, memiliki pengaruh yang
sama pada penelitian ini. Keduanya dapat memunculkan varian-varian yang berbeda
secara morfologi maupun sitologi, meskipun mekanisme mutagenesis keduanya
berbeda. Menurut Kodym & Afza (2003), mutagen fisik iradiasi sinar gamma
bersifat acak, menyebabkan banyak terjadi rekombinasi gen dan mutasi kromosom.
Mutagen kimia bersifat lebih spesifik lokasi, banyak terbentuk heterokromatin,
banyak fragmen kromosom dan lebih sedikit perubahan struktural.
Pada studi ini, varian iradiasi sinar gamma yang berfenotip abnormal terdiri
atas daun bergerigi, daun terbelah, roset, merah dan berbentuk terompet, sedang
varian EMS terdiri atas tanaman kerdil, daun terbelah ujungnya, duduk daun tak
beraturan, warna daun merah dan daun berbentuk terompet. Secara sitologi,
perubahan jumlah kromosom muncul dari beberapa varian hasil mutasi
menggunakan EMS. Jumlah kromosom varian ada yang lebih tinggi dari jumlah
kromosom yang normal yaitu 2n=2x=38. Beberapa varian ada yang memiliki kurang
atau lebih dari jumlah kromosom normal. Perubahan jumlah kromosom menjadi lebih
sedikit akibat mutagen EMS ini dapat dijelaskan dengan adanya proses yang
disebabkan oleh alkilasi membentuk N-7 guanin di dalam asam nukleat atau
nukleotida (Kim et al. 2004). Jumlah kromosom yang meningkat yang diakibatkan
karena mutagen EMS seharusnya tidak terjadi, namun kenyataannya ditemukan pada
satu varian. Hal ini dapat diduga bahwa ada kemungkinan proses penggandaan
kromosom pada saat pembelahan cepat dan berulang pada proses proliferasi kalus
sebelumnya, mengingat materi yang digunakan adalah kalus dan media yang
digunakan mengandung zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Berdasarkan
alasan kemampuan terbentuknya varian, mutagen fisik iradiasi sinar gamma maupun
mutagen kimia EMS dapat dijadikan pilihan.
Fenotip abnormal yang timbul tidak semua bertahan sejak generasi ke 2,
keabnormalan kembali normal pada seleksi diplontik. Pada generasi M1V4 hanya
109
beberapa plantlet yang tetap menjadi plantlet abnormal, di antaranya yang berbentuk
kerdil. Hal ini menunjukkan bahwa variasi somaklonal yang ditimbulkan merupakan
variasi epigenetik. Variasi epigenetik sangat sering terjadi melalui teknik kultur in
vitro (Kaeppler et al. 2000).
Ketersediaan metode uji in vitro yang efektif dan mudah dilakukan
merupakan langkah awal yang diperlukan bagi pemuliaan tanaman Phalaenopsis
tahan penyakit. Metode uji yang dikembangkan harus mempertimbangkan aspek
teknis pelaksaannya, yaitu mudah dilakukan, tetapi dapat menduga dengan akurat
ketahanan tanaman yang diuji. Metode pelukaan dan penetesan suspensi bakteri
merupakan metode yang sederhana dan mudah dilaksanakan secara in vitro.
Inokulum sebanyak 10µl mampu menyebabkan infeksi pada plantlet. Metode ini juga
harus didukung dengan lingkungan yang sesuai dengan lingkungan tumbuh bakteri
yaitu pada suhu 28-30 °C (Charkowski 2006).
Secara umum, pengujian ketahanan varian somaklon yang dilakukan pada
penelitian ini, suspensi bakteri dengan kerapatan sel 107cfu.-ml yang digunakan dapat
menginfeksi plantlet-plantlet yang diinokulasi secara in vitro. Gejala awal infeksi
erwinia pada daun plantlet mulai terjadi diketahui pada pengamatan 24 jam pertama
setelah inokulasi. Intensitas penyakit meningkat selama 10 hari pengamatan. Laju
infeksi penyakit busuk lunak ini sangat tinggi pada hari pertama, skor kebusukan
daun mencapai 3-5 tergantung varian dari jenis klon yang digunakan.
Masa inkubasi penyakit busuk lunak pada semua varian, baik yang berasal
dari mutagenesis dengan iradiasi sinar gamma maupun mutagenesis dengan
perlakuan perendaman EMS, adalah sama yaitu selama 24 jam pertama setelah
inokulasi. Varian dari mutagenesis dengan EMS lebih banyak dan lebih cepat mati
bila dibandingkan dengan varian hasil iradiasi sinar gamma.
Keragaman genetik yang dihitung berdasarkan intensitas penyakit, dapat
diketahui bahwa klon SGN-PV2.11 merupakan klon yang memiliki keragaman
genetik yang agak sempit, sedangkan klon 377 dan 642 memiliki keragaman genetik
yang sempit, dengan demikian mutasi meningkatkan keragaman sifat ketahanan
terhadap busuk lunak terutama pada SGN-PV2.11 yang seharusnya sempit menjadi
agak sempit, sedangkan dua klon lain induksi mutasi tidak begitu berpengaruh pada
keragaman sifat ketahanan yang sempit.
Pengujian in vitro merupakan metode untuk mengefisienkan pengujian
tanaman di lapangan sehingga hanya tanaman-tanaman yang telah terseleksi yang
110
dan esterase. Hal inilah yang menyebabkan ketiga senyawa tidak berkorelasi dengan
sistim pertahanan tanaman.
SIMPULAN
SARAN
1. Penggunaan plantlet yang akan diuji dengan patogen sebaiknya menggunakan
plantlet yang teregenerasi di awal-awal subkultur yaitu 2-3 subkultur pertama
karena semakin banyak subkultur, hasil plantlet kurang optimum sehingga
hasil yang diperoleh lebih akurat.
2. Apabila akan melakukan penelitian dengan memanfaatkan isolat Erwinia,
sebaiknya erwinia disimpan dalam media cair. Media padat menyebabkan
koloni cepat kering dan menjadi kurang virulen. Pemilihan koloni harus
setepat mungkin yaitu koloni tunggal putih kekreman dan kelihatan kompak,
tidak melebar dan datar, karena yang demikian kemungkinan tercampur
dengan Psudomonas sp.
3. Sebelum dan pada saat iradiasi kalus, sebaiknya kalus telah dipindahkan pada
media tanpa zat pengatur tumbuh.
4. Tanaman yang akan diuji di lapangan sebaiknya tidak dipupuk dengan pupuk
yang mengandung Ca tinggi, karena Ca merupakan unsure yang dibutuhkan
untuk pembentukan dinding sel, sehingga hasil uji dapat diperoleh secara
akurat. Tanaman yang tahan bukan disebabkan oleh adanya didnding sel yang
sudah tebal.
5. Penelitian untuk mendapatkan klon-klon tahan Erwinia carotovora subsp
carotovora harus tetap dilakukan, untuk menangkal ras-ras baru yang
disebabkan oleh perubahan alami pada patogen Erwinia carotovora subsp
carotovora tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Akin-Idowu PE, Ibitoye DO, Ademoyegun OT. 2009. Tissue culture as a plant
production technique for horticultural crop. Afr J Biotech 8(16): 3782-3788
Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1
generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795
Charkowsky AO. 2006. The Soft rot Erwinia. Plant Associated Bacteria. Springer.
Netherland. p 423-505.
Datta SK, Mesra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for
establishment of solid mutant in Chrysantmemum. Curr Sci 88 (1); 155-158.
Handayati W, Hanudin, Miharja S. 2003. Teknik inokulasi bakteri busuk lunak
Erwinia spp pada anggrek Phalaenopsis untuk tujuan skrining varietas
resisten. Pros. Sem Nasional dan kongg PFI XVII,. Bandung 6-8 Agustus
2003.
Hutami S, Marisk I, Supriyai Y. 2006. Peningkatan keragaman genetic tanaman
melalui keragaman somaklonal. J Agrobiogen 2(2): 81-88.
Hussien G, Harun AR, Shamsudin S. 2008. Study on mutagenesis of signals grass
(Brachiaria decumbens) by gamma irradiation. http://www-.google.w.id-
/search?q=radiosensits/+plant&hl=id&stored=60850=N
Kiba A, Saitoh H, Nishihara M, Omiya K, Yamamura S. 2003. C-Terminal domain of
a hevein-like protein from wasabi japonica has poten antimicrobial activity.
Plant Cell Physiol 44 : 296-303.
Kaeppler SM, Kaeppler HT, Rhee Y. Epigenetic aspect of somaclonal variation in
plants. Plant Mol Biol 43 (3): 179-188.
Kim YS, Schumaker KS, Zhu JK. 2006. EMS mutagenesis of Arabidopsis.
http://www.faculty.ucr.edu/--jkzhu/articles/2006/yskim.pdf.15/11/2010
Kodym A, Afza R. 2003. Physical and Chemical mutagenesis. Method Mol Biol 236:
189-204.
Shirong Z, Luxiang L, Wang J. 2008. Induced Mutations for improvement of fruit
Trees and Ornamental Plants China http://www.fnca.next.go.jp-
/englishhold/2totuzeni/3/20ciws/04/01china/main_html
Sobiczewski P. 2008. Bacterial diseases of plants : Epidemology. diagnostics &
control. Zembirbyrte-Agric 95(3) : 151-157.
114
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar varian potensial klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang tahan
(SKD 1) dan agak tahan (SKD 3) terhadap Erwinia carotovora subsp
carotovora hasil uji in vitro yang dilanjutkan dengan uji di lapangan
40 SGN-PV2.11/109E/5G/3.4 3 3 9
41 SGN-PV2.11/109E/5G/2.24 1 3 9
42 SGN-PV2.11/110E/5G/2.6 3 3 9
43 SGN-PV2.11/98E/5G/3.1 0 0 1
44 SGN-PV2.11/107E/5G/1.8 1 1 3
45 SGN-PV2.11/107E/5G/1.9 3 3 9
46 SGN-PV2.11/17D/5G/1.9 1 1 3
47 SGN-PV2.11/29D/5G/1.6 1 3 7
48 SGN-PV2.11/22D/5G/1.4 1 1 5
49 SGN-PV2.11/36B/5G/12.5 3 3 9
50 SGN-PV2.11/10E/5G/7.3 3 3 9
51 SGN-PV2.11/36C/5G/3.1 1 1 3
52 SGN-PV2.11/35C/5G/5.20 3 3 9
53 SGN-PV2.11/36B/5G/12.5 3 3 9
54 SGN-PV2.11/36C/5G/3.1 1 1 3
55 SGN-PV2.11/35C/5G/5.20 3 3 9
56 SGN-PV2.11/35C/5G/5.3 3 3 5
57 SGN-PV2.11/95E/5G/5.7 3 3 9
58 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 3 3 9
59 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 1 3 9
60 SGN-PV2.11/109E/5G/2.4 1 3 3
61 SGN-PV2.11/68E/5G/3.4 3 3 9
62 SGN-PV2.11/17D/5G/1.7 3 3 9 no 3
63 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 1 3 1
64 SGN-PV2.11/99E/5G/6.2 1 1 1
65 SGN-PV2.11/82/5G/2.3 1 3 3
66 SGN-PV2.11/82E/5G/2.5 3 3 9
67 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 1 3 3
68 SGN-PV2.11/10E/5G/4.4 3 3 9
69 642/0G/14F/2.2 1 3 7
70 642/0G/13F/ 2.5 3 3 9
71 642/0G/14F/ 2.7 3 3 9
72 642/0G/15F/ 2.11 1 3 9
73 642/15G/24F/2.5 3 3 9
74 642/15G/14F/1.6 3 3 7
75 642/15G19F/2.7 3 3 9
76 642/15G/14F/2.9 3 3 9
77 642/15G/14F/2.9 0 0 0 no 8
78 642/15G/14F/2.5 1 3 9
79 642/15G/11F/2.7 3 3 7
80 642/15G/15F/1.6 3 3 9
81 642/15G/14F/6.9 3 3 9
82 642/15G/14F/1.9 0 3 3
83 642/15G/11F/ 2.5 3 3 9
84 642/11F/15G/2.7 3 3 7
117
85 642/12F/15G/3.4 3 3 3
86 642/10F/15G/4.6 3 3 5
87 377/21F/0G/ 1.6 3 3 9
88 377/22F/0G/ 1.10 3 3 9
89 377/19F/0G/1.16 3 3 9
90 377/19F/0G/3.8 1 terserang jamur
91 377/22F/0G/4.3 3 terserang jamur
92 377/22F/0G/6.2 3
93 377/23F/20G/1.13 3 3 9
94 377/23F/20G/1.6 3 3 9
95 377/23F/20G/1.8 1 1 3
96 377/19F/20G/1.5 3 3 9
97 377/19F/20G/1.4 3 3 9
98 377/19F/20G/1.9 3 3 9
99 377/19F/20G/1.5 0 1 1
100 377/22F/20G/3.4 1 3 9
101 377/23F/20G/2.5 3 3 9
102 377/22F/20G/3.1 3 3 9
103 377/24F/20G/4.2 3 3 9
104 377/20F/20G/2.2 3 3 9
105 SGN-PV2.11/24E/E0/1.7 3 3 9 terserang jamur
106 SGN-PV2.11/9E/E0/1.6 3 3 9
107 SGN-PV2.11/15E/E0/1.6 3 3 9
108 SGN-PV2.11/.BC8/E1/2.4 3 3 9
109 SGN-PV2.11/.BC8/E1/2.7 3 3 9
110 SGN-PV2.11/ 11E/E1/2.3 3 3 9
111 SGN-PV2.11/90E/E1/4.3 3 3 9
112 SGN-PV2.11/90E/E1/5.2 3 3 9
113 SGN-PV2.11/90E/E1/1.1 3 3 9
114 SGN-PV2.11/90E/E1/2.6 3 3 9
115 SGN-PV2.11/89E/E1/1.2 3 3 9
116 SGN-PV2.11/30E/E2/5.5 0 1 3
117 SGN-PV2.11/ 34E//E2/3.4 3 3 9
118 SGN-PV2.11/30E/E23.4 1 3 9
119 SGN-PV2.11/45E/E2/3.4 1 3 9
120 SGN-PV2.11/30E/E2/3.7 3 3 9
121 SGN-PV2.11/.BC8/E5/2.7 3 3 9
122 SGN-PV2.11/.BC8/E5/2.4 1 3 9
123 SGN-PV2.11/45E/E5/2.3 0 0 1 no 2
124 SGN-PV2.11/34E/E5/2.6 1 1 3
125 642/PA3/E0/2.2 3 3 9
126 642/53E/E0/5.5 3 3 9
127 642/13F/E1/7.3 3 3 7
128 642/12F/E1/5.3 3 3 9
129 642/13F/E1/2.4 1 1 1
118
130 642/95E/E1/1.3 3 3 9
131 642/95E/E1/11.5 3 3 9
132 642/95E/E1/2.3 3 3 9
133 642/12F/E2/7.4 3 3 7
134 642/13F/E2/5.4 3 3 3
135 642/13F/E2/3-5 3 3 9
136 642/14F/E2/5.2 3 3 9
137 642/13F/E2/ 13.2 3 3 9
138 642/13F/E4/1.7 3 3 9
139 642/11F/E5/1.2 3 3 9
140 64211F//E5/7.6 1 3 3
141 642/11F/E5/2.2 3 3 5
142 642/12F/E5/ 4.3 3 3 9
143 642/12F/E5/7.8 3 terserang jamur
144 642/12F/E5/8.9 3 terserang jamur
145 642/13F/E5/8.3 3 3 9
146 642/13F/E5/4.6 3 3 9
147 377/23F/E0/1.2 3 3 9
148 377/24F/E0/4.2 3 3 9
149 377/24F/E1/3.3 3 3 9
150 377/23F/E1/1.2 3 3 9
151 377/22F/E1/5.3 3 3 5
152 377/23F/E2/1-9 3 3 3
153 377/22F/E2/3.5 1 3 7 no 9
154 377/22F/E2/ 4.6 3 3 9
155 377/21F/E2/1.4 3 3 3
156 377/29F/E5/2.2 3 3 9
157 377/21F/E5/3.8 3 3 9
158 377/24F/E5/1.6 3 3 9
159 377/25F/E5/2.7 3 3 9 terserang jamur
160 377/23F/E5/8.1 3 3 9
161 377/23F/E5/7.5 3 3 9
162 377/23F/E5/3.4 3 3 9
Lampiran 2 Rata-rata jumlah plantlet per eksplant dari tiga klon SGN-PV2.11, klon
642 dan klon 377 yang diperoleh setelah 12 MST
V E D No
119
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SGN EL1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2.5 2 1 3 1 0 2 0 1 1 2
5 4 6 6 7 5 5 7 4 5 6
EL2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2.5 2 3 5 1 2 0 1 1 2 2
5 6 7 9 4 7 6 4 7 8 8
EL3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2.5 4 4 6 5 5 2 3 4 8 5
5 4 6 4 8 9 9 6 5 10 8
642 EL1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 3 4 6 7 4 3 2 4 4 2
15 3 5 5 5 2 2 3 1 5 5
EL2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 5 6 3 3 3 6 6 6 5 5
15 7 8 5 5 5 4 4 3 6 3
EL3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 6 6 4 3 5 7 7 7 3 3
15 4 2 6 8 9 7 2 2 3 4
377 EL1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 4 5 6 7 5 5 3 3 4 3
EL2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 2 3 5 8 5 3 4 4 2 3
EL3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 4 5 7 6 3 2 3 5 6 5
Keterangan : V (genotip), E (jenis media), D (dosis radiasi)