Вы находитесь на странице: 1из 138

INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL

DAN UJI IN VITRO UNTUK


PERBAIKAN KETAHANAN PHALAENOPSIS
TERHADAP PENYAKIT BUSUK LUNAK

SRI RIANAWATI

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya berjudul ”Induksi


Variasi Somaklonal Dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan Ketahanan Phalaenopsis
Terhadap Penyakit Busuk Lunak” adalah benar-benar asli karya saya dengan
arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun
serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tunggi manapun.

Bogor, Nopember 2010

Sri Rianawati
NIM A161060101
ABSTRACT

SRI RIANAWATI. Somaclonal Variation Induction and In Vitro Testing for


Phalaenopsis Resistance Improvement Againts Soft Rot Disease. Supervised by
AGUS PURWITO, BUDI MARWOTO dan G.A. WATTIMENA.

Soft rot disease caused by Erwinia carotovora subsp. carotovora is an important


disease of Phalaenopsis sp. Efforts have been made to control the disease, but the
results are not sufficiently promising. The use of resistant varieties is commontly
recommended to control the disease because of its save impact to the environment
and human life. Therefore, development of new superior varieties that are highly
resistant to the disease is very urgent at the moment. Somaclonal variation using
mutagenic agents is proven to be one of feasible technique to provide promising
resistant varieties. In this study, development new resistant varieties to soft rot
disease was conducted by using physical mutagenesis gamma ray irradiation and
chemical mutagenesis EMS that were induced somaclonal variation and combined
with in vitro testing technique. Gamma ray and EMS were applied separately to the
calli. The treated calli were regenerated on selected in vitro medium enriched with
plant growth regulator. The results showed that somaclone variation occured on the
three clones treated. Frequency of occurance of somaclone variation using gamma
ray variation was 0.4- 6.85 while using EMS was 0.9 – 20.8%. The all variants were
in vitro tested for their resistance to soft rot disease by using pathogen suspension
agent Erwinia carotovora subsp. carotovora and it was obtained 162 potential
mutant resistant to soft rot. After all potential mutant resistant being tested using the
same agent in the field, it was proven that of the total available genetic materials, 14
mutants of SGN-PV2.11, 6 mutants of clone No. 642 and 4 mutants of clone No.
377 were resistant to Erwinia carotovora subsp. carotovora, the cause agent of soft
rot disease.

Keywords : Somaclonal Variation, Phalaenopsis, Erwinia carotovora subsp.


carotovora
RINGKASAN

SRI RIANAWATI. Induksi Variasi somaklonal dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan
Ketahanan Phalaenopsis Terhadap Penyakit Busuk Lunak. Dibimbing oleh AGUS
PURWITO, BUDI MARWOTO dan G.A. WATTIMENA.

Penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora


subsp. carotovora merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kerugian bagi para
petani anggrek Phalaenopsis. Salah satu metode untuk mengendalikan penyakit ini
yaitu menggunakan kultivar tahan. Kultivar tahan penyakit busuk lunak dapat dirakit
melalui berbagai cara di antaranya melalui hibridisasi dan seleksi. Sejatinya perakitan
kultivar tahan Erwinia carotovora subsp. carotovora melalui hibridisasi tidak mudah
dilakukan karena ketersediaan sumber genetik yang membawa sifat tahan sangat
terbatas. Pendekatan untuk memperluas keragaman genetik dengan menggunakan
kombinasi perlakuan mutagenesis radiasi sinar gamma dan EMS secara in vitro yang
diikuti dengan pengujian in vitro merupakan metode yang efisien untuk memperolah
kultivar Phalaenopsis tahan terhadap penyakit busuk lunak. Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan materi genetik anggrek Phalaenopsis yang tahan terhadap
penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora.
Induksi ketahanan terhadap penyakit busuk lunak telah dilakukan melalui
iradiasi sinar gamma dan EMS dalam beberapa tahap percobaan. Pertama, penyiapan
kalus embriogenik klon SGN-PV2.11 , 642 dan klon 377. Kedua, kalus yang
diperoleh, diradiasi dengan sinar gamma dan sebagian lainnya direndam dalam
larutan EMS. Ketiga, kalus diregenerasikan pada media yang diberi zat pengatur
tumbuh. Keempat, plantlet yang terbentuk (berukuran 5 cm atau memiliki 4 daun
sejati) diuji ketahanannya terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora. Hasil
pengujian tersebut diperoleh varian yang potensial tahan terhadap patogen busuk
lunak. Kelima, varian potensial tahan hasil uji in vitro yang diperoleh, diaklimatisasi
hingga tanaman berukuran 7-10 cm dan selanjutnya diuji kembali di lapangan
menggunakan Erwinia carotovora subsp. carotovora. Hasil pengujian tersebut
diperoleh mutan tahan terhadap penyakit busuk lunak.
Pembentukan kalus embriogenik dilakukan pada eksplan daun Phalaenopsis
yang diinduksi melalui tahapan inisiasi kalus, proliferasi kalus dan selanjutnya
regenerasi plantlet dan pemeliharaan plantlet menjadi tanaman. Media yang
mengandung thidiazuron 0.1 mg.l-1 dan 10 mg.l-1 2.4-D merupakan media yang
paling baik untuk menginisiasi kalus. Kalus yang terbentuk merupakan kalus
embriogenik sehingga mudah diproliferasikan dan diregenerasikan. Media yang berisi
1/2 MS + 0.2 mg.l-1 TDZ + 0.5 mg.l-1 2.4-D merupakan media untuk proliferasi kalus
sedangkan media yang mengandung ½ MS + 0.4 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1 2.4-D
merupakan media yang sesuai untuk regenerasi tanaman.
Iradiasi sinar gamma pada kalus menggunakan beberapa dosis. Dosis iradiasi
awal ini digunakan untuk menentukan LD50 yang akan dijadikan acuan untuk
menentukan dosis utama untuk mendapatkan varian-varian dari klon Phalaenopsis.
Besarnya LD50 menentukan radiosensitivitas klon Phalaenopsis. Klon 377
merupakan genotip yang memiliki radiosensitivitas terendah di antara ketiga klon
yang digunakan yaitu sekitar 22 Gy, sedang klon 642 mempunyai radiosensitivitas
tertinggi yang terlihat pada LD50 yang paling rendah yaitu 15.3 Gy. Klon SGN-
PV2.11 merupakan genotip yang memiliki radiosensitivitas di antara kedua klon
tersebut. Variasi yang ditimbulkan dari perlakuan iradiasi sinar gamma sebesar 0.4-
6.8 %, yaitu perubahan 5 karakter fenotip dibanding karakter asalnya.
Konsentrasi mutagen EMS yang merupakan LC50 pada ketiga klon ialah 0.28-
0.34% dan perendaman selama 19.34-38.66 menit. Varian-varian yang ditimbulkan
dari perlakuan perendaman kalus pada berbagai konsentrasi EMS ialah sebesar 0.6-
20.9% yang berupa 4 karakter fenotip abnormal dari karakter asalnya.
Pengujian varian hasil induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma dan
perendaman dalam larutan EMS berdasarkan metode sebelumnya menghasilkan
beberapa varian yang tahan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora. Uji in
vitro dapat dilakukan pada varian somaklon yang diperoleh dari perlakuan iradiasi
sinar gamma dan perendaman dalam larutan EMS. Masa inkubasi penyakit dalam
kultur in vitro terjadi dalam 24 jam pertama setelah inokulasi patogen. Tanaman mati
pada varian iradiasi sinar gamma berkisar antara 68- 93.75% dan membutuhkan
waktu selama 4.66 - 7.37 hari untuk menyebabkan kematian plantlet setelah
inokulasi. Pada varian yang diperoleh dari perlakuan perendaman dalam larutan
EMS, tanaman mati lebih tinggi dibandingkan tanaman mati pada varian iradiasi,
yaitu berkisar antara 77.5 - 100% dengan lama waktu kematian plantlet selama 3.7 –
6.59 hari. Berdasarkan skor kebusukan daun (SKD) varian hasil iradiasi sinar gamma
dan varian EMS, diperoleh 162 varian potensial tahan terhadap penyakit busuk
lunak yang dapat dikategorikan agak tahan dan tahan.
Pengujian di lapangan dari 162 varian yang berpotensi tahan menunjukkan
kesamaan dengan pengujian ketahanan secara in vitro. Pola masa inkubasi, laju
infeksi dan intensitas penyakit di lapangan menunjukkan kesesuaian dengan pola di
dalam kultur in vitro. Beberapa varian potensial dapat dikategorikan sebagai varian
Phalaenopsis tahan penyakit busuk lunak, yang berjumlah 14 varian dari klon SGN-
PV2.11, 6 varian dari klon 642 varian dari klon 377. Analisis jumlah stomata, tebal
daun dan konsentrasi asam salisilat tidak menunjukkan korelasi positif terhadap
ketahanan tanaman tetapi peroksidase dan esterase berkorelasi positif.

Kata kunci : keragaman somaklonal, Phalaenopsis, Erwinia carotovora subsp.


carotovora.
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan kaerya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
.
INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL
DAN UJI IN VITRO UNTUK
PERBAIKAN KETAHANAN PHALAENOPSIS
TERHADAP PENYAKIT BUSUK LUNAK

SRI RIANAWATI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Dewi Sukma, SP.Msi
2. Dr. Sinto Wahyuning Ardie, Msi

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc. Agr
2. Prof. Dr. Ir. Soeranto Hoeman, MSc
Judul Disertasi : Induksi Variasi Somaklonal dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan
Ketahanan Phalaenopsis Terhadap Penyakit Busuk Lunak.
Nama : Sri Rianawati
NRP : A161060101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr


Ketua

Dr. Ir. Budi Marwoto, MS. APU Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, MSc
Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil. A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 27 Desember 2010 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Dengan senantiasa mengucapkan syukur Alhamdullillah kepada Allah SAW


atas segala karuniaNya penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul ” Induksi
Variasi Somaklonal Dan Uji In Vitro Untuk Perbaikan Ketahanan Phalaenopsis
Terhadap Penyakit Busuk Lunak” berhasil diselesaikan. Disertasi ini memuat tujuh
bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal
ilmiah. Bab 1 berjudul ”Embriogenesis Somatik Dari Eksplan Daun Anggrek
Phalaenopsis sp”, telah diterbitkan [J. Agron. Indonesia 37 (3) : 240-248 (2009)].
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada Bapak Dr. Ir. Agus Purwito MSc.Agr, Bapak Dr.Ir. Budi Marwoto,
MS. APU. dan Bapak Prof. Dr. Ir. G. A. Wattimena, MSc sebagai komisi
pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan telah membantu dalam
medapatkan dana penelitian melalui KKP3T selama tahun 2007-2008.
Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian yang telah menyediakan beasiswa dan memberikan
kesempatan untuk mendapatkan dana penelitian melalui KKP3T. Selain itu juga
kepada Kepala Pusat Penelitian Tanaman Hortikultura Bapak Dr. Ir.Yusdar Hilman,
MS yang telah memberi kesempatan untuk melanjutkan studi S3 ini, kepada Bapak
Kepala Balai Penelitian Tanaman Hias Dr. Ir. Muchdar Soedardjo, MSc yang selalu
memberi kelancaran studi ini.
Kepada rekan-rekan sesama mahasiswa pascasarjana IPB yang selalu saling
berbagi semangat dalam bekerja: Reni Indrayanti, Dwi Wahyu Ganefianti, Ali Husni,
Budi Winarto juga teman - teman laboratorium Juariah, Kholifah, dan Joko, penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Tak terlupakan pula sahabat-sahabat
lama di Balai Penelitian Tanaman Hias, Suskandari K, Ridho Kurniati yang telah
merelakan materi penelitiannya untuk digunakan dalam disertasi ini, Minangsari dan
juga Suryanah yang telah membantu kelancaran penelitian.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat
memberikan sumbangan bagi perkembangan IPTEK dan industri tanaman hias di
Indonesia.

Bogor, Nopember 2010

Sri Rianawati
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Jepara Jawa Tengah pada tanggal 24 Agustus 1965
sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Soelardi (alm) dan Ibu Sri Hartini. Penulis
telah menikah dengan Drs Eddy Soesanto dan telah dikaruniai 3 orang putra laki-laki,
Rakai Daksa Yudistira (15th), Rakyan Panji Langit (alm), dan Eros Ulung Ranuwukir
(5th).
Pendidikan sarjana ditempuh di perguruan tinggi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, jurusan Biologi lulus awal tahun 1990. Pada tahun 1999 penulis
mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan strata 2 bidang Bioteknologi di IPB
dengan biaya ARMP II.
Penulis pernah bekerja sebagai staf peneliti di Balai Penelitian Bioteknologi
Tanaman Pangan Bogor di bagian Kultur Jaringan Tanaman selama 7 tahun,
selanjutnya, penulis mutasi tugas ke Balai Penelitian Tanaman Hias di Pasar Minggu
Jakarta Selatan tepatnya pada tahun 1997 sampai sekarang.
Jenjang fungsional Peneliti Muda bidang Bioteknologi telah diperoleh
sebelum melakukan pendidikan strata 3 ini. Dalam kaitannya dengan tugas, penulis
bergabung dalam Kelompok Peneliti Pemuliaan dan Sumberdaya Genetik Balai
Tanaman Hias Segunung, Cianjur-Jawa Barat, dan melaksanakan penelitian
pemuliaan tanaman hias melalui teknik in vitro.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………… xii


DAFTAR TABEL……….……….…….……….……………..………….. xv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………...……… xvii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xix
PENDAHULUAN.…….…..….…………………….………..……….….. 1
Latar Belakang…......………………….……………………………….. 1
Kerangka Pemikiran….....…..…...……………….…………………….. 3
Permasalahan Penelitian …......…...………………….………………… 7
Tujuan Penelitian….…...………..…………………….………….…….. 10
Hipotesis..……..……………...……………………………...………… 10
Kegunaan Penelitian….………………………………………………… 11
TINJAUAN PUSTAKA……...………….……………………..…………. 12
Botani Tanaman Phalaenopsis…………………………......................... 12
Pemuliaan Tanaman Anggrek……….….…………………………....… 15
Pemuliaan tanaman melalui persilangan konvensional…………… 15
Pemuliaan tanaman melalui induksi keragaman somaklonal…..….. 17
Induksi mutasi menggunakan radiasi sinar Gamma………… 19
Induksi mutasi menggunakan EMS…………………………… 21
Efek fisiologi mutagen….……………………………..……… 22
Penyakit Busuk Lunak pada Phalaenopsis…..……………………...…. 23
Gejala Penyakit…………………………………………………….. 24
Bakteri Pektolitik Erwinia carotovora subsp carotovora…….…… 24
Jalur Pertahanan Tanaman terhadap Erwinia spp………..………… 25
Pengujian Ketahanan Terhadap Patogen secara in vitro….……...… 27
DAFTAR PUSTAKA…………………………………….……………. 28
INDUKSI KALUS EMBRIOSOMATIK DARI EKSPLAN DAUN 33
ANGGREK Phalaenopsis sp L.....................................................................
ABSTRAK………………………………………..…………………… 33
ABSTRACT………………………………...………..………………… 34
PENDAHULUAN……………………………….………..…………… 34
BAHAN DAN METODE.……………………….……..……………… 36
Induksi Pembentukan kalus…………………………………………….. 36
Proliferasi Kalus …………………………………....………………….. 37
Perkembangan Kalus dan Regenerasi Tanaman………….…………..… 37
HASIL DAN PEMBAHASAN.….……………………..….…………. 38
Induksi Pembentukan kalus……………………………….……………. 38
Proliferasi Kalus ……………………………………….………………. 41
Perkembangan Kalus dan Regenerasi Tanaman……………….………. 43
KESIMPULAN.………………………………………………..……… 45
DAFTAR PUSTAKA.………………………………………….……… 45
INDUKSI VARIAN SOMAKLON PADA KALUS PHALAENOPSIS 47
MENGGUNAKAN RADIASI SINAR GAMMA.......................................
ABSTRAK…………………………...………………………………... 47
ABSTRACT…………………………………………………………… 48
PENDAHULUAN……………………………...……………………… 48
BAHAN DAN METODE.……………………………………………... 50
Induksi varian dengan iradiasi sinar gamma............................................ 50
Daya regenerasi tanaman pasca iradiasi sinar gamma............................. 50
Pembentukan Generasi M1V4 Melalui Embriogenesis langsung........... 50
Keragaman fenotipik plantlet akibat radiasi sinar gamma....................... 51
HASIL DAN PEMBAHASAN.………………………….……………. 52
Induksi Variasi Somaklonal dengan radiasi Sinar Gamma pada 52
pada Kalus Phalaenopsis.........................................................................
Daya Regenerasi Kalus Phalaenopsis pasca iradiasi............................... 54
Pembentukan Generasi M1V4 Melalui Embriogenesis langsung............ 55
Keragaman fenotipik plantlet akibat radiasi sinar gamma....................... 57
KESIMPULAN.……………………………………………………..… 61
DAFTAR PUSTAKA.……………………………………….…………. 61
INDUKSI VARIAN SOMAKLON PADA KALUS PHALAENOPSIS 65
MENGGUNAKAN EMS……………………………………….…………
ABSTRAK………………………………………………...…………… 64
ABSTRACT……………………………………………………….…… 65
PENDAHULUAN……………………………………..………….…… 65
BAHAN DAN METODE.…………………………………..….……… 66
Penyiapan kalus…………………………………………..…………….. 66
Daya hambat EMS terhadap proliferasi kalus dan regenerasi 67
tanaman…………………………………………………………..……..
Evaluasi keragaman varian EMS…………………….……….……….. 67
HASIL DAN PEMBAHASAN.……………………………………….. 68
Penghambatan pada induksi somaklonal variasi menggunakan EMS.... 68
Evaluasi keragaman fenotip varian…………………………………….. 70
KESIMPULAN.……………………………………………………...… 73
DAFTAR PUSTAKA.…………………………………………………. 74
UJI IN VITRO KETAHANAN TERHADAP Erwinia carotovora subsp. 74
carotovora PADA VARIAN SOMAKLON PHALAE NOPSIS
SECARA IN VITRO MENGGUNAKAN SUSPENSI BAKTERI……..
ABSTRAK………………………………………………………..…… 75
ABSTRACT…………………………………………………..……..… 76
PENDAHULUAN…………………………………………………….. 76
BAHAN DAN METODE.………………………..………………….… 78
Bahan Tanaman dan Inokulum................................................................ 78
Uji In Vitro Menggunakan suspensi bakteri Erwinia carotovora 78
Subsp. carotovora....................................................................................
Evaluasi Varian Hasil Pengujian In Vitro……………………….…….... 80
HASIL DAN PEMBAHASAN………….…………………..………… 81
Uji Ketahanan Varian secara In Vitro .................................................... 81
Evaluasi ketahanan padaVarian terhadap infeksi Erwinia
carotovora subsp carotovora................................................................... 86
KESIMPULAN.……………………………………………….………. 88
DAFTAR PUSTAKA.…………………………………….…………… 89
PENGU JIAN DI LAPANG KETAHANAN VARIAN SOMAKLON 91
PHALAENOPSIS TERHADAP PENYAKIT BUSUK LUNAK….…......
ABSTRAK…………………………………………………………….. 91
ABSTRACT………………………………………………………….... 92
PENDAHULUAN…………………………………………………...… 92
BAHAN DAN METODE.……………………………………………... 93
Bahan Tanaman........................................................................................ 93
Pengujian Varian terhadap Erwinia carotovora subsp carotovora 94
di Lapang……………....................................................................…….
Pengujian karakter varian potensial......................................................... 95
Analisis isoenzim menggunakan..elektrophoresis gel starch................... 95
Analisis kandungan peroksidase dan asam salisilat……………………. 96
HASIL DAN PEMBAHASAN.…………………….…………….…… 96
Uji Varian Somaklon Potensial terhadap Erwinia carotovora subsp 96
carotovora di Lapanan…………...…………………..…………………
Evaluasi Karakter Kualitatif Ketahanan Penyakit pada Varian 99
Potensial……………………………………………………………...…
KESIMPULAN.……………………………………………………..… 103
DAFTAR PUSTAKA.…………………………………………….…… 104
PEMBAHASAN UMUM………………………………………….…...… 106
SIMPULAN DAN SARAN………………………………………….…… 111
SIMPULAN………………………………………………………....……. 111
SARAN…………………………………………………………………… 112
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 113
LAMPIRAN……………………………………………………………… 114
DAFTAR TABEL
No Halaman
1 Beberapa nama intergenerik yang melibatkan tetua persilangan 16
Phalaenopsis dan Vanda

2 Beberapa uji biokimia dan fisiologi untuk karakterisasi Erwinia 25


carotovora subsp carotovora setelah didapatkan koloni tunggal.

3 Komposisi media inisiasi tanaman yang digunakan dalam 36


penelitian.

4 Pengaruh komposisi media inisiasi terhadap perubahan eksplan 39


daun dari klon Phalaenopsis 377, 642 dan SGN-PV2.11 pada 12
MST (minggu setelah tanam).

5 Pengaruh komposisi media proliferasi terhadap perkembangan 41


kalus klon Phalaenopsis 377, 642 dan SGN-PV2.11 pada 12 MST
(minggu setelah tanam) .

6 Pengaruh komposisi media proliferasi kalus terhadap pembentukan 41


kalus.

7 Daya pembentukan embriosomatik dan tunas klon SGN-PV2.11,


377 dan 642 pada media MR pada setiap gerombol kalus yang 43
diamati setiap 4 minggu selama 12 MST.

8 LD50 pada kalus 3 klon Phalaenopsis akibat radiasi sinar gamma. 53

9 Pengaruh perlakuan dosis iradiasi pada kalus embriogenik klon 54


SGN-PV2.11, 642 dan 377 terhadap persentase kalus yang
bertunas dan jumlah tunas per kalus selama 12 minggu setelah
tanam (MST).

10 Persentase pembentukan M1V4 melalui embriogenesis langsung 57


menggunakan eksplan daun selama 12 MST

11 Rataan berbagai karakter kuantitiatif pada populasi varian Klon 58


SGN-PV2.11, 642 dan 377 berumur 12 minggu setelah tanam (12
MST).

12 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif diantara 59


populasi varian klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 yang
diregenerasikan dari kalus embriogenik setelah diberi perlakuan
radiasi sinar gamma 12 MST

13 LC50 pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 berdasarkan persentase


konsentrasi EMS dan waktu yang digunakan untuk perendaman. 68
Pengamatan dilakukan pada 6 MST. Data diolah dengan
persamaan Quadrqtic fit.
14 Pengaruh dua kelompok perlakuan konsentrasi dan waktu 69
perendaman mutagen EMS pada kalus klon SGN-PV2.11, 377 dan
642 terhadap persentase eksplan hidup yang diamati selama 6
MST, jumlah tunas per eksplan dan penurunan jumlah total tunas
yang diamati selama 16 MST

15 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif abnormal 71


diantara populasi varian klon 377, 642 dan SGN-PV2.11 yang
diregenerasikan dari kalus embriogenik setelah diberi perlakuan
EMS setelah 16 MST.

16 Jumlah kromosom dan kloroplas beberapa mutan normal maupun 73


abnormal pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang terjadi akibat
perlakuan EMS.

17 Analisis ragam dan peragam. 80

18 Persentase plantlet mati dan lama waktu yang diperlukan plantlet 82


dari awal inokulasi sampai plantlet mati pada plantlet yang
diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp carotovora secara
in-vitro.

19 Rata-rata skor kerusakan daun (SKD), intensitas penyakit (IP), dan 85


ketahanan klon varian Phalaenopsis SGN-PV2.11, klon 377, dan
klon 642 hasil seleksi in vitro

20 Hasil analisis ragam dan ragam genetik karakter ketahanan 87


penyakit bususk lunak pada setiap genotip SGN-PV2.11, 377, 642
dan antara seluruh genotip.

21 Respon tanaman varian yang telah diuji secara in vitro terhadap 99


infeksi Erwinia carotovora subsp carotovora di lapangan

22 Hubungan antara isoenzim peroksidase, esterase dan unit aktivitas 100


enzim (UAE) peroksidase terkadap skor kebusukan daun (SKD)
varian tanaman pada engamatan dilakukan 24 jam setelah
diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp carotovora

23 Mutan tahan dan agak tahan dari klon SGN-PV2.11, 642 dan 377
hasil validasi dengan uji di lapangan menggunakan patogen
Erwinia carotovora subsp. carotovora

103
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1 Kerangka pemikiran untuk mendapatkan kultivar baru tahan 5
busuk lunak pada tanaman anggrek Phalaenopsis.

2 (a) Tetua klon SGN-PV2.11, (b) klon 377 dan (c) klon 642 6

3 Morfologi tanaman Phalaenopsis sp (a) akar substrat (b) daun (c) 14


calon bunga

4 Anggrek hasil silangan intergenerik (a) Renanthopsis Mildred 16


Jameson, (b) Phalaendopsis Arizona Star’Jim Turnbow’

5 Persentase perubahan eksplan irisan daun Phalaenopsis menjadi 38


hitam beberapa minggu setelah tanam pada media MI-0, MI-1,
MI-2, MI-3, MI-4.

6 (a) dan (b) Inisiasi kalus dari irisan eksplan daun yang mulai 40
membengkak dan berkalus membentuk proembrio (c) plb (d)
regenerasi tanaman dari plb.

7 Penambahan berat kalus dari subkultur (SK) I hingga ke III pada 42


media MP (1/2MS + 0,5 mg/L 2,4-D + 0,2 mg thidiazuron) dan
MR (1/2MS + 0,2 mg/l 2,4-D + 0,4 mg/l BAP).

8 Proses embriogenesis somatik pada kalus Phalaenopsis sp L.(a) 44


globuler dan jaringan kalus sekitarnya (b) bentuk torpedo (c) calon
kotiledon, primordial tunas dan akar (d) telah membentuk daun.

9 Penampilan plantlet hasil regenerasi tanaman pada klon 642, 377 44


dan SGN-PV2.11

10 Embriogenesis langsung pada pembentukan M1V4. Kalus –kalus 56


bening muncul dari irisan daun pada media E1 (a), E2 (b), E3 (c)
di ruang gelap. Perubahan kalus menjadi calon tunas setelah kalus
dipindahkan ke ruang terang pada media E1 (d), E2 (e), E3 (f).

11 Fenotip varian yang dihasilkan dari iradiasi sinar gamma (a) 59


plantlet dengan duduk daun roset, (b) daun plantelt merah, (c)
daun terompet, (d) daun bergerigi, (e) daun terbelah

12 Pita isoenzim peroksidase (PER) dan aspartat aminotransferase 60


(AAT) pada 26 sampel klon dan tetua

13 Fenotip yang terbentuk karena pengaruh mutagen EMS (a) plantlet 72


SGN-PV2.11/88E/E1/2.2 dengan ciri normal, (b) plantlet
377/23F/E1/1.7 dengan pertumbuhan daun abnormal, (c) plantlet
642/13F/E2/1.4 dengan pertumbuhan daun abnormal, (d) plantlet
SGN-PV2.11/71E/E5/2.2 dengan pertumbuhan duduk daun rapat
(e) SGN-PV2.11/.K4/E0/1.1 bentuk terompet, (f) plantlet SGN-
PV2.11/54E/E5/3.1 berdaun bulat.
14 Jumlah kromosom pada tanaman fenotip normal (a) jumlah 73
kromosom 2n=2x=38 pada SGN-PV2.11/41E/E1/3.1, (b) jumlah
kromosom 2n=3x=56 pada klon 377/22F/E2/5.4, (c) jumlah
kromosom 2n=3x=56 pada 642/13F/E2/4.4.

15 Skoring bercak gejala penyakit busuk lunak pada pengujian in 79


vitro

16 (a) Korelasi antara masa infeksi dengan laju infeksi (b) korelasi 82
antara masa infeksi dengan intensitas penyakit busuk lunak pada
varian-varian hasil radiasi sinar gamma dan EMS yang diinokulasi
secara in vitro.

17 Hasil inokulasi secara in vitro (a) plantlet mengalami hipersensitif 83


respon, (b) tanaman mengalami kebusukan daun dengan skor 9, (c)
seluruh plantlet busuk, d) cara memperkirakan luasan kebusukan
daun.

18 Jumlah plantlet varian dalam kategori skor 1 dan 3 hasil perlakuan 84


radiasi sinar gamma (Rad SGN, Rad 642, Rad 377) dan EMS
(EMS SGN, EMS 642, EMS 377) yang telah diuji secara in vitro.

19 Konsentrasi peroksidase pada plantlet varian 24 jam setelah 88


inokulasi dengan Erwinia carotovora subsp carotovora,

20 Inokulasi di lapang dengan Erwinia carotovora subsp carotovora 97


pada varian tanaman tahan hasil seleksi in vitro : (a) diinkubasi
tertutup dalam kumbung plastic, (b) dan (c) pelukaan setelah
inokulasi ditutup dengan kapas basah dan selotip, (d) kebusukan
yang terjadi setelah inokulasi 24 jam, (e) tanaman yang tetap sehat
setelah inokulasi SKD 1, (f) tanaman dengan SKD 9

21 (a) Korelasi antara masa infeksi dengan laju infeksi penyakit (b) 98
korelasi antara masa infeksi dengan intensitas penyakit busuk
lunak varian potensial pada pengujian di lapangan

Diagram konsentrasi asam salisilat varian tanaman setelah 24 jam 102


terinfeksi Erwinia carotovora subsp carotovora.
DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman
1 Daftar varian potensial klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang 119
tahan (SKD 1) dan agak tahan (SKD 3) terhadap Erwinia
carotovora subsp carotovora hasil uji in vitro yang dilanjutkan
dengan uji di lapangan.

2 Data mentah rata-rata jumlah plantlet per eksplant dari tiga klon 123
SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang diperoleh setelah 12 MST
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman anggrek


spesies alam yang sangat besar dan tersebar di seluruh wilayah nusantara. Di antara
5000 spesies anggrek yang ditemukan di wilayah Indonesia, Phalaenopsis merupakan
salah satu genus yang terkenal akan keindahan dan keragaman coraknya (Djafaarer
2002). Hibrida-hibrida yang dihasilkan dan terkenal di dunia banyak ditemukan
memiliki induk yang berasal dari Phalaenopsis spesies di Indonesia. Salah satu
spesies ialah Phalaenopsis amabilis yang berwarna putih seperti kupu-kupu.
Phalaenopsis tersebut menjadi induk yang sangat penting karena menurunkan
berbagai hibrida yang berpotensi komersial yang lebih indah, lebih seragam dan
kuntum lebih lebar. Spesies Phalaenopsis yang lain seperti Phalaenopsis
amboinensis dan Phalaenopsis venosa sangat potensial menurunkan warna kuning.
Produksi Phalaenopsis di dunia semakin meningkat dan menjadi komoditi
unggulan yang tetap prospektif di tengah kelesuan bisnis tanaman hias. Di Indonesia,
produksi anggrek diharapkan dapat meningkat dari 16.166.628 pot pada tahun 2005
menjadi 19.284.219 pot tahun 2010 (Dirjen Horti 2005), sesuai standar mutu yang
dipersyaratkan pasar domestik dan internasional. Sebagai salah satu negara yang
memiliki sumber genetik anggrek bervariasi, Indonesia memiliki kesempatan yang
cukup tinggi untuk lebih memberdayakan sumber daya genetik tersebut. Keberhasilan
dalam pemberdayaan sumber genetik akan menjadi kekuatan yang berarti dalam
pengembangan anggrek Indonesia khususnya Phalaenopsis.
Sesuai kenyataan di lapangan, budidaya Phalaenopsis di Indonesia yang ada
pada saat ini telah didominasi oleh hibrida - hibrida hasil dari mancanegara. Negara
yang memiliki kemampuan teknologi yang cukup terkemuka seperti Taiwan,
Thailand, Singapura, Hawaii dan Australia merupakan negara penghasil Phalae-
nopsis terbesar di dunia (Tang & Chen 2007). Pengembangan Phalaenopsis telah
mencapai titik klimaks yang dibuktikan dari adanya kejenuhan produksi dan
kejenuhan pasar. Persilangan konvensional yang dilakukan pada tetua-tetua yang
berasal dari satu genus sudah tidak memberikan corak baru yang mampu
mendongkrak perdagangan anggrek.
Upaya berinovasi baru sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hibrida-
hibrida yang berbeda bentuk dan corak. Persilangan intergenerik perlu dikembangkan
1
2

untuk mendapatkan bentuk dan corak yang baru. Anggrek hasil persilangan
intergenerik telah diperoleh di berbagai negara terutama Belanda yang kini
merupakan penghasil anggrek intergenerik terbesar di dunia khususnya Phalaenopsis.
Di Indonesia, hasil persilangan intergenerik masih sangat jarang dijumpai meskipun
Indonesia memiliki ribuan jenis anggrek. Hal ini disebabkan karena terbatasnya
informasi mengenai karakter spesies alam yang ada.
Pengembangan anggrek di Indonesia seringkali terkendala oleh keterbatasan
iklim tropis basah yang menyebabkan serangan patogen yang lebih banyak. Beberapa
penyakit utama anggrek hingga saat ini sulit dikendalikan di antaranya ialah penyakit
degenerasi virus, penyakit layu dan penyakit busuk. Salah satu penyakit busuk yang
menyebabkan kerusakan pada semua jenis tanaman anggrek dengan kerugian yang
besar ialah penyakit busuk lunak (soft rot). Penyakit ini disebabkan oleh Erwinia
carotovora subsp. carotovora, bakteri yang menimbulkan pembusukan pada jaringan
lunak tanaman (Snijder et al. 2004) atau pseudobulb pada anggrek dan disertai bau
yang tidak enak dan mati hanya dalam beberapa hari.
Meskipun kerugian yang disebabkan oleh penyakit busuk lunak pada
anggrek di Indonesia belum pernah didata secara formal tetapi pada kenyataanya
banyak petani terutama petani kecil kesulitan mengatasinya. Petani anggrek
Phalaenopsis di Indonesia tidak semua mampu menyediakan kondisi lingkungan
buatan dapat menekan perkembangan penyakit busuk lunak. Kerugian yang
ditimbulkan oleh penyakit mampu mencapai 80-100%. (McMillan et al. 2007).
Secara umum penyakit akibat serangan bakteri lebih sulit dikendalikan
daripada penyakit lain. Tindakan tepat pengendalian kimia secara praktis dan efektif
belum ditemukan. Salah satu cara yang efektif untuk mengendalikan penyakit
tersebut ialah dengan menggunakan kultivar yang tahan (Snijder et al. 2004).
Pengendalian dengan menanam kultivar yang tahan merupakan cara yang efektif,
efisien dan aman bagi lingkungan (Sobiczewski 2008).
Perakitan kultivar baru melalui pemuliaan untuk menghasilkan Phalenopsis
yang berbunga indah dan tahan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan
penggabungan teknik persilangan konvensional dan teknik in vitro melalui induksi
keragaman somaklonal. Sejak ditemukan teknik keragaman somaklonal banyak
dilakukan penelitian-penelitian mengenai aplikasi teknik ini terutama pada tanaman
hias. Teknik induksi keragaman somaklonal tersebut dapat digunakan untuk
memperoleh karakter tertentu seperti morfologi tanaman, morfologi daun, bentuk dan
3

warna bunga (Chen & Chen 2007). Teknik induksi keragaman somaklonal
merupakan salah satu teknik penting yang potensinya cukup tinggi dalam membantu
pemulia tanaman mencapai tujuan perbaikan tanaman, pengembangan kultivar
unggul dan mempelajari lebih jauh tentang keadaan karakter tertentu dari suatu
spesies tanaman (Nasir 2002).
Pengembangan Phalaenopsis yang mengarah pada karakter ketahanan
terhadap suatu penyakit belum banyak dilakukan khususnya di Indonesia.
Pengembangan yang dilakukan melalui hibridisasi masih terbatas pada pembentukan
karakter fenotip bunga. Informasi mengenai sumber ketahanan terhadap suatu
penyakit pada anggrek juga masih sangat jarang ditemukan, khususnya sumber
ketahanan terhadap penyakit busuk lunak. Teknik induksi variasi somaklonal dapat
digunakan untuk menginduksi munculnya satu atau dua karakter tertentu tanpa
merubah sifat dasar tanaman.
Peningkatan keragaman somaklonal dapat dilakukan dengan cara induksi
mutasi melalui pemberian mutagen. Mutagen yang digunakan dapat diklasifikasikan
dalam dua kelompok yaitu mutagen fisik seperti iradiasi sinar gamma, sinar X
ataupun neutron dan mutagen kimia dengan pemberian EMS, DES, dan NEU
(Ahloowalia et al. 2004). Hingga saat ini metode keragaman somaklonal yang
dikombinasikan dengan mutagenesis masih dapat diandalkan untuk tujuan pemuliaan
tanaman dalam mendapatkan karakter tertentu yang diinginkan seperti sifat
ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik.
Keberhasilan penggunaan mutagen kimia sebagai agen induksi mutan telah
banyak diketahui di antaranya pada ubijalar dengan skrining in vitro untuk toleran
garam (Luan et al. 2007), pada krisan untuk mutasi warna (Rodrigo et al. 2004), pada
Arabidopsis untuk toleran terhadap herbisida (Jender et al. 2003), dan juga pada
paku-pakuan (Jeong et al. 2006). Tidak hanya di luar negeri, di Indonesia teknik ini
juga telah dimanfaatkan pada tanaman panili dan telah didapatkan tanaman tahan
penyakit layu bakteri (Lestari et al. 2006), tanaman pisang ambon tahan fusarium
(Husni et al. 2005).

Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran perakitan kultivar anggrek Phalaenopsis tahan penyakit
busuk lunak Erwinia melalui teknik in vitro dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber gen
ketahanan terhadap penyakit pada anggrek belum diketahui. Penelitian awal pada
4

pengujian ketahanan terhadap penyakit busuk lunak pada beberapa spesies


Phalaenopsis telah dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Hias sebagai lembaga
yang mengemban mandat melaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman hias,
memperoleh hasil bahwa Phalaenopsis cornucervi dan Phalaenopsis amboinensis
bersifat tahan, sedangkan Phalaenopsis amabilis bersifat peka terhadap penyakit
busuk lunak (Handayati et al. 2004).
Hasil persilangan Phalaenopsis pada saat ini telah sangat berkembang luas,
mengingat genus ini memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi terutama pada
keragaman bunga. Namun keragaman genus Phalaenopsis sangat sempit untuk sifat
ketahanan terhadap penyakit. Persilangan Phalaenopsis yang masih merupakan
persilangan spesies murni, seperti Phalaenopsis amboinensis dan Phalaenopsis
cornu-cervi, sangat jarang ditemui. Salah satu cara untuk mendapatkan keturunan
kultivar yang tahan Erwinia pada penelitian ini, ialah dengan menelusuri tetua
tanaman komersial yang memiliki keturunan Phalaenopsis cornu-cervi atau
Phalaenopsis amboinensis.
Penelitian ini menggunakan tiga klon yaitu 1) klon SGN-PV2.11
(Phalaenopsis Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuch DeLight x Vanda
lombokensis) yang merupakan hasil persilangan intergenerik Phalaenopsis dengan
Vanda, 2) klon 377 (Phalaenopsis Golden Poeker/Sogolisa x Phalalaenopsis
Viogold), dan 3) klon 642 ([Phalaenopsis Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao
Freed] x Phalaenopsis amboinensis) x Ever Spring Prince) (Gambar 2). Tetua betina
persilangan intergenerik SGN-PV2.11 merupakan Phalaenopsis yang memiliki
keturunan Phalaenopsis amabilis yang rentan, sedang Vanda sebagai tetua jantan
diharapkan dapat menurunkan sifat fisiknya yang berdaun lebih keras dari daun
Phalaenopsis. Dua klon yang lain yaitu klon 642 dan klon 377, salah satu tetuanya
merupakan keturunan dari Phalaenopsis amboinensis yang bersifat tahan terhadap
penyakit busuk lunak. Klon 642 memiliki keturunan Phalaenopsis amboinensis dari
tetua betina yaitu Phalaenopsis Golden poeker sedang klon 377 mendapatkan dari
kedua tetuanya.
Klon SGN-PV2.11, klon 642 dan klon 377 ditingkatkan keragamannya
dengan menggunakan iradiasi sinar gamma dan EMS. Varian yang dihasilkan diuji
ketahanannya terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora secara in vitro.
Pembentukan kalus pada Phalaenopsis diinisiasi menggunakan eksplan daun.
Respon eksplan daun telah diuji kemampuan pembentukan kalusnya pada
5

beberapa media yang mengandung beberapa kombinasi zat pengatur tumbuh dalam
media MS. Kalus yang muncul diproliferasikan dan diregenerasikan dalam media
regenerasi.

Plasma Nutfah Phalaenopsis

1. 377 (Phal. Golden Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold)


2. 642 ([Phal. Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao
Freed] x Phal. amboinensis) x Ever Spring Prince)
3. SGN-PV2.11 (Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x
Vanda Fuch delight / Vanda lombokensis)

Induksi Kalus Embriogenik


-kalus embriogenik

Penyinaran sinar Aplikasi Larutan


gamma EMS
-varian somaklon -varian somaklon

Pengujian in vitro Varian


pada ketahanan terhadap Erwinia carotovora
subsp. carotovora terhadap :
- Varian Somaklon Potensial
tahan terhadap Erwinia carotovora subsp.
carotovora

Pengujian ketahanan terhadap Erwinia


carotovora subsp. carotovora di Lapangan

Klon Phalaenopsis Unggul Tahan


Erwinia carotovora subsp. carotovora

Gambar 1 Kerangka pemikiran untuk mendapatkan kultivar baru tahan


busuk lunak pada tanaman anggrek Phalaenopsis
Kalus yang terinduksi media dapat diinduksi dengan mutagen fisik iradiasi
sinar gamma dan mutagen kimia EMS untuk memperoleh varian somaklon. kalus
yang telah diberi perlakuan iradiasi, ditumbuhkan pada media proliferasi kalus dan
6

diamati persentase kematiannya untuk menentukan LD50 untuk dosis iradiasi dan
LC50 untuk konsentrasi EMS. LD50 dan LC50 digunakan untuk menentukan dosis dan
konsentrasi yang optimum pada pembentukan varian somaklon. Varian somaklon
yang diperoleh dari induksi mutasi, diuji secara in vitro untuk mendapatkan varian
yang tahan terhadap bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora. Varian yang telah
diuji secara in vitro diaklimatisasi dan diuji kembali di lapangan agar hasil yang
diperoleh lebih akurat ketahanannya terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan
oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora.
.

Phal. Golden Poeker

Gambar 2 (a) Tetua klon SGN-PV2.11, (b) tetua klon 377 dan (c) tetua klon 642.

Permasalahan
Tanaman anggrek khususnya Phalaenopsis merupakan komoditas bernilai
ekonomi tinggi dan sangat prospektif untuk dibudidayakan sebagai sumber
7

pendapatan petani. Budidaya anggrek juga menjadi penyedia lapangan pekerjaan dan
sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di daerah. Adanya keberagaman manfaat
bunga anggrek dalam kehidupan manusia menyebabkan permintaan terus meningkat.
Hal ini menyebabkan minat masyarakat untuk memelihara tanaman anggrek dengan
tujuan komersial semakin meningkat. Kondisi pasar yang cerah baik di dalam
maupun di luar negeri memungkinkan ekspor anggrek dapat menjadi sumber devisa
yang potensial bagi negara, di samping menjadi sumber penghasilan petani dan
pendapatan asli daerah (Suryana et al. 2005).
Kondisi pasar anggrek khususnya Phalaenopsis akan tetap cerah apabila
didukung dengan pengembangan yang optimum untuk penyediaan pasokan
Phalaenopsis yang berkualitas secara berkesinambungan. Sejalan dengan globalisasi
ekonomi, maka usaha peningkatan dan pengkayaan keanekaragaman dalam
penyediaan produk anggrek yang berkualitas menjadi lebih penting di tengah
timbulnya kejenuhan pasar yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan dalam
penyediaan bibit berkualitas di dalam negeri dapat mengatasi permasalahan
ketergantungan penyediaan bibit impor dari luar negeri yang masih terjadi hingga
saat ini.
Terobosan baru pada pengembangan Phalaenopsis perlu dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut. Pemilihan teknik in vitro perlu dilakukan sebagai upaya
terobosan untuk mendapatkan varietas unggul baru. Di dalam teknik in vitro,
komposisi media merupakan hal penting untuk penyediaan nutrisi yang bermanfaat
bagi pertumbuhan sel dan jaringan serta diferensiasi sel menjadi tanaman utuh
kembali. Penggunaan berbagai zat pengatur tumbuh akan mempengaruhi arah
diferensiasi sel maupun jaringan. Auksin dalam konsentrasi optimum akan medorong
terbentuknya kalus, sedangkan sitokinin akan mendorong terbentuknya tunas. Inisiasi
embrio somatik dapat dilakukan pada media yang mengandung kombinasi zat
pengatur tumbuh auksin dan sitokinin seimbang (Chowdhury et al. 2003).
Keseimbangan komposisi nutrisi dan zat pengatur tumbuh tambahan pada induksi
embrio somatik setiap tanaman adalah berbeda, oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian mengenai komposisi tersebut.
Peningkatan keragaman genetik harus dilakukan apabila materi tanaman
merupakan klon, karena suatu klon tidak memiliki keragaman genetik. Keragaman
genetik dapat diperoleh selain melalui persilangan dapat dicapai melalui peningkatan
8

variasi somaklonal. Teknik ini merupakan teknik untuk mendapatkan variasi genetik
tanaman yang dapat dilakukan melalui kultur jaringan secara in vitro (Karp 2004).
Pada saat ini teknik in vitro dan mutagenesis merupakan metode yang paling
banyak digunakan untuk meningkatkan variabilitas pada tanaman yang diperbanyak
secara vegetatif. Teknik mutasi yang dikombinasikan dengan kultur in vitro dan
metode molekuler akan menyediakan metode-metode yang kuat untuk meningkatkan
pemuliaan tanaman pada banyak tanaman hias. Selain itu dengan perlakuan
mutagenesis dapat diinduksi perubahan ukuran tanaman, waktu mekar bunga,
pemasakan buah, warna buah, self-compatibility, dan juga resistensi terhadap patogen
(Predieri 2001). Teknik mutasi ini dapat dilakukan secara fisik dengan teknik nuklir
iradiasi sinar gamma maupun kimia (Konstantinov & Driníc 2007).
Dalam pemuliaan tanaman, penggunaan teknik nuklir paling berpengaruh
secara langsung untuk menginduksi mutasi sel. Sejak penemuan sinar-X sekitar
seratus tahun yang lalu, penggunaan iradiasi pengion seperti sinar-X, gamma dan
neutron telah menjadi suatu teknologi yang telah terbukti secara luas (Ahloowalia &
Maluszynski 2001). Bahan mutagen fisik ini dapat melepas energi (ionisasi), segera
setelah melewati atau menembus materi. Proses ionisasi akan terjadi dalam jaringan
dan selanjutnya dapat menyebabkan perubahan pada tingkat sel, genom, kromosom
dan DNA atau gen. Perubahan yang terjadi secara mendadak pada tingkat genom,
kromosom dan DNA atau gen sering bersifat permanen, dan diwariskan ke generasi
berikutnya, dikenal sebagai mutasi (Soeranto 2005).
Induksi mutasi dengan iradiasi ini paling banyak digunakan untuk
pengembangan metode perolehan varietas-varietas mutan secara langsung, dengan
frekuensi penggunaan yang paling tinggi yaitu 89%, sedangkan penggunaan mutagen
kimia relatif rendah. Di antara iradiasi pengion yang ada, induksi iradiasi varietas-
varietas mutan paling banyak dikembangkan dengan sinar-γ (65%), diikuti sinar-X
(22%). Dari 2.252 nomor aksesi, 75% merupakan tanaman pangan dan 25% tanaman
hias dan dekoratif (Ahloowalia et al. 2004).
Teknik induksi variasi somaklonal juga dapat diaplikasikan bersama dengan
teknik mutagenesis secara kimiawi. Mutagen kimia lebih mudah tersedia dan
perbandingan terhadap modifikasi yang tidak diinginkan lebih baik pada mutagen
kimia dibandingkan dengan iradiasi (Nasir 2002). EMS merupakan salah satu
kelompok mutagen kimia yang paling menarik karena agensia ini membentuk
9

alkilasi. Senyawa ini memiliki satu atau lebih gugus alkil reaktif yang dapat ditransfer
ke molekul lain pada posisi kepadatan cukup tinggi (Kodym & Afza 2003).
Jenis mutagen kimia sangat banyak, tetapi paling populer dan handal di
antaranya adalah jenis yang dikelompokkan dalam golongan senyawa ‘ethylating
agent’ dan ‘methylating agent’. Ethilmethanesulfonat (EMS), dan diethilsulfonat
(DES), merupakan mutagen kimia yang merupakan senyawa ‘ethylating agent’,
sedangkan Methylmethanesulfonat (MMS), Dimethylsulphate (DMS) dan sebagainya
(Kodym & Afza 2003). Keberhasilan penggunaan mutagen kimia sebagai agen
induksi mutan telah banyak diketahui di antaranya pada ubijalar dengan skrining in
vitro untuk toleran terhadap garam (Luan et al. 2007), pada tanaman arabidopsis yang
resisten terhadap herbisida (Jender et al. 2003), pada krisan (Rodrigo et al. 2004), dan
juga telah diaplikasikan pada kacang panjang (Svetleva & Crino 2005).
Metode pengujian ketahanan tanaman melalui cara inokulasi di lapangan telah
banyak dilakukan, tetapi metode ini sering mengalami disease escape. Di samping itu
lahan yang digunakan untuk pengujian tersebut dapat menjadi sumber penyakit baru.
Metode lain yang relatif aman diaplikasikan adalah metode uji secara in vitro.
Teknik ini lebih efisien dan efektif karena selain dapat mengurangi terjadinya escape,
hasil uji dapat diulang di rumah kaca, patogen yang digunakan tetap terbatas di
laboratorium dan umumnya memberikan hasil yang relatif tidak berbeda dengan
inokulasi di lapangan, tidak membutuhkan lahan yang luas dan lebih murah
(Samanhudi 2000).
Metode pengujian ketahanan tanaman secara in vitro terhadap penyakit busuk
lunak yang disebabkan oleh Erwinia spp khususnya pada Phalaenopsis belum pernah
dilakukan di Indonesia. Informasi mengenai masalah ketahanan Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak juga tidak banyak dijumpai, oleh karena itu masih
diperlukan penelitian mengenai baik penggunaan metode pengujian maupun sifat
ketahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak tersebut. Dalam penelitian ini
akan diaplikasikan penggunaan metode uji in vitro untuk ketahanan Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak menggunakan agen penguji bakteri, pada varian
somaklon hasil iradiasi dan perlakuan EMS. Beberapa analisis pendukung yang dapat
dilakukan antara lain analisis isoenzim, analisis kandungan peroksidase, dan
kandungan asam salisilat.
Tujuan Penelitian
10

Secara umum penelitian ini bertujuan mendapatkan klon baru tahan penyakit
busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora melalui
pendekatan penelitian, yaitu melalui pengujian varian somaklon yang diinduksi
menggunakan iradiasi sinar gamma dan perendaman larutan EMS. Secara spesifik
penelitian ini bertujuan :
1. Mendapatkan teknik induksi embriosomatik dari klon SGN-PV2.11, klon 377
dan klon 642.
2. Mendapatkan varian somaklon melalui iradiasi sinar gamma.
3. Mendapatkan varian somaklon melalui perlakuan perendaman larutan EMS.
4. Mendapatkan varian-varian somaklon SGN-PV2.11, 377 dan 642 hasil iradiasi
sinar gamma dan perendaman larutan EMS yang tahan terhadap Erwinia
carotovora subsp. carotovora melalui uji ketahanan secara in vitro.
5. Mengkonfirmasi hasil uji ketahanan terhadap Erwinia carotovora subsp.
carotovora secara in vitro dan uji ketahanan terhadap penyakit di lapangan.

Hipotesis

Hipotesis yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini antara lain:


1. Kemampuan pembentukan kalus setiap klon Phalaenopsis sangat ditentukan oleh
komposisi media.
2. Keragaman somaklonal dapat diinduksi dengan dosis iradiasi sinar gamma
tertentu dan keberadaan mutan ditentukan oleh kemampuan regenerasi pada
media yang sesuai dan seleksi diplontik yang dilakukan.
3. Keragaman somaklonal dapat diinduksi oleh konsentrasi mutagen EMS dan
keberadaan mutan ditentukan oleh kemampuan regenerasi pada media yang
sesuai dan seleksi diplontik yang dilakukan.
4. Uji ketahanan Erwinia carotovora subsp. carotovora secara in vitro dapat
menentukan tingkat ketahanan varian somaklon terhadap Erwinia carotovora
subsp. carotovora.
5. Uji ketahanan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan
memiliki tingkat akurasi yang sepadan dengan hasil uji ketahanan secara in
vitro.
Kegunaan Penelitian
11

Anggrek Phalaenopsis dengan sifat unggul tahan penyakit busuk lunak


berpeluang meningkatkan bisnis peranggrekan di dalam negeri. Dengan diperolehnya
klon unggul Phalaenopsis yang tahan penyakit busuk lunak pada penelitian ini
diharapkan dapat mendorong penelitian lain yang berbasis keragaman somaklonal
untuk mendapatkan klon-klon baru tahan penyakit yang lain, sehingga bermanfaat
dalam pengembangan industri pemuliaan di dalam negeri dalam penyediaan bibit
berkualitas.
Dampak positif lain yang diharapkan dari keberhasilan penelitian ini ialah
dapat meningkatkan minat petani anggrek dan luas areal bisnis anggrek
Phalaenopsis, sehingga akan meningkatkan peluang lapangan kerja.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Phalaenopsis
Indonesia sebagai salah satu negara tropis di kawasan Asia memiliki
kekayaan flora yang tersebar di seluruh wilayah kepulauannya. Di antara ragam
kekayaan flora tersebut, tanaman anggrek merupakan komoditas yang paling penting
12

dan bernilai ekonomi tinggi. Sebagian besar spesies anggrek belum termanfaatkan
dan masih berada di hutan belantara dataran rendah maupun dataran tinggi sebagai
habitat alamnya. Dari berbagai jenis anggrek yang tumbuh di alam Indonesia,
Phalaenopsis merupakan salah satu yang paling populer di dunia. Sebagian besar
spesies Phalaenopsis yang dikenal di dunia diketahui berasal dari Indonesia, sedang
sebagian kecil berasal dari Semenanjung Malaya, Filipina, Thailand, dan Birma
(Djaafarer 2002).
Beberapa spesies yang sangat populer dan terus diburu yaitu Phalaenopsis
gigantea (anggrek bulan raksasa) yang berasal dari Kalimantan, dan sangat potensial
sebagai induk silangan. Phalaenopsis amboinensis yang juga terkenal sebagai cikal
bakal lahirnya Phalaenopsis berbunga kuning. Salah satu yang berbunga kupu-kupu
putih, Phalaenopsis amabilis dapat dijumpai hampir di seluruh kepulauan Indonesia,
seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Buru, Timor, Papua dan Jawa,
mendapat julukan "Puspa Pesona". Phalaenopsis lain yang merupakan bahan induk
silangan berpotensi yaitu Phalaenopsis cornucervi dikenal sebagai anggrek bulan
loreng merupakan sumber genotip anggrek hibrida bercorak loreng (Djaafarer 2002).
Semua tanaman Phalaenopsis memiliki batang yang pendek dan merupakan
tanaman monopodial. Berbeda dengan anggrek monopodial berbatang panjang
(seperti Arachnis, Renathera), batang anggrek Phalaenopsis dapat dikatakan hampir
tidak ada. Jarak antara daun sangat pendek, dan apabila terjadi pemanjangan
internode biasanya merupakan pengecualian pertumbuhan. Ciri batang yang pendek
menandakan bahwa tanaman ini membutuhkan intensitas cahaya matahari cukup
rendah. Siklus hidup Phalaenopsis secara alami terjadi selama 2-3 tahun dari fase
vegetative hingga fase reproduktif (Christenson 2001).
Phalaenopsis memiliki tiga jenis akar: akar udara, akar epifit dan akar
substrat. Akar udara silindrik dan tidak bercabang, besar, memanjang pada ujungnya
berpigmen ungu atau hijau seperti pigmentasi pada daun. Pigmentasi ini
kemungkinan merupakan pola pewarisan alel tunggal. Akar epifit, atau akar yang
berpangkal pada batang dan tidak menempel pada substrat atau tidak tertutupi oleh
substrat, bentuknya tipikal pipih dan menyerupai pita. Akar substrat berbentuk
silindrik berdiameter lebih besar dari pada akar udara dan biasanya ujung akarnya
tidak berpigmen. Pada setiap tanaman memiliki satu atau dua jenis akar tersebut
tergantung lingkungannya. Hormon yang terdapat di ujung akar mampu menginisiasi
13

mitosis sehingga jaringan ini cocok digunakan untuk pembentukan plb (protocorm
like bodies) dan berpeluang untuk menginduksi mutasi (Christenson 2001).
Ketebalan daun bervariasi dari spesies yang satu dengan spesies yang lain.
Namun, tekstur dan morfologinya semua hampir sama dalam satu genus
Phalaenopsis. Semua jenis daun ini sukulen dan mengkilap. Secara normal daun
bersifat evergreen, beberapa kadang-kadang menunjukkan variasi pigmentasi. Pada
Phalaenopsis daun kadang-kadang tampak keperakan kaya dengan spot-spot ungu.
Pola pewarnaan daun tampaknya berhubungan erat dengan tanda-tanda khusus untuk
pengenalan spesies. Pada spesies dengan daun yang tidak memiliki ciri, ada atau
tidaknya warna ungu di bagian bawah permukaan daun adalah bervariasi dan
dikontrol oleh satu sistem alel (Christenson 2001).
Tangkai bunga Phalaenopsis umumnya pendek, jumlah bunga sedikit.
Tetapi ada spesies yang tangkai bunganya bercabang sehingga hasil silangan-
silangannya hingga kini menghasilkan hibrid multiflora. Pangkal tangkai bunga
Phalaenopsis biasanya beruas 3-5 ruas dan masing-masing ruas terdapat mata tunas
yang diselubungi pelepah berukuran kecil. Setelah ruas-ruas tersebut, terdapat
kuntum-kuntum bunga. Kadang-kadang pada ruas tangkai bunga muncul keiki atau
tunas anakan (Djaafarer 2002).
Selama ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa anggrek
Phalaenopsis spesies hanya dapat tumbuh di daerah dataran tinggi. Padahal
sebenarnya anggrek dapat tumbuh di sembarang ketinggian, dataran rendah,
menengah sampai tinggi, selama kondisi ekologinya optimum untuk pertumbuhan
dan perkembangan tanaman, Phalaenopsis merupakan jenis anggrek epifit atau litofit.
Di alam anggrek ini epifit pada batang kayu atau dinding bebatuan dengan akar
menempel kuat. Di alam, Phalaenopsis hidup di tiga macam habitat antara lain
daerah kering, daerah dingin dan dan daerah yang memiliki kelembaban udara tinggi
secara terus-menerus. Di daerah yang mempunyai kondisi ekstrim akan memacu
sistem adaptasi tanaman terhadap lingkungan tersebut. Salah satu sistim adaptasi
ialah adaptasi terhadap kondisi xerofitik dengan cara meningkatkan kesukulenannya.
Hal ini sering dijumpai pada Phalaenopsis cornucervi dan kerabatnya yang memiliki
daun lebih tebal. Beberapa spesies seperti Phalaenopsis gigantea hidup di daerah
berkanopi lebih tinggi dan agak lebih terbuka. Jenis seperti ini, memiliki daun yang
amat keras untuk menghindari pengeringan dan lebih toleran terhadap level cahaya
yang tinggi dari pada spesies lain.
14

Phalaenopsis mudah ditanam di bawah kondisi buatan selama masih sesuai


dengan ekologi aslinya. Beberapa unsur ekologi yang berperan dalam pertumbuhan
dan perkembangan Phalaenopsis adalah, kelembaban, intensitas cahaya, suhu, air dan
sirkulasi uadara. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan Phalaenopsis berkisar antara
26-30 °C dengan suhu ideal 28 °C. Pada siang hari merupakan saat kritis bagi
Phalaenopsis karena pada saat itu membutuhkan lebih banyak air untuk mengurangi
risiko dehidrasi.

c
b

Gambar 3 Morfologi tanaman Phalaenopsis sp (a) akar substrat (b) daun


(c) calon bunga.

Semua spesies Phalaenopsis memiliki 38 kromosom (2n = 2x=38) kecuali


Phalaenopsis buyssoniana yang menjadi tetraploid secara alami memiliki kromosom
2n=4x=76 (Christenson 2001; Kao et al. 2007). Kromosom di dalam satu genus ini
dapat berbeda ukuran maupun morfologi. Pada seksi Phalaenopsis memiliki
kromosom terpendek dalam satu genus ini. Anggrek populer seperti Phalaenopsis spp
memiliki ukuran genome yang besar yaitu berkisar antara 1 x 109 hingga 6 x 109 bp
(Lin et al. 2001) dan beberapa kultivar komersial ini multiploid. Seperti genom
tanaman lainnya, genom Phalaenopsis terdiri atas genom inti, chloroplas (cpDNA)
dan mitokondria (mtDNA). Pada Phalaenopsis aphrodite Reichbf diketahui memiliki
15

genom chloroplas yang merupakan molekul sirkuler berukuran 148.964 bp (Chang et


al. 2006).

Pemuliaan Tanaman Phalaenopsis

Pemuliaan anggrek terutama Phalaenopsis dapat dilakukan secara


persilangan konvensional, mutasi dan transformasi gen. Persilangan konvensional
mencakup persilangan intraspesies, interspesies maupun intergenerik antara genus
berbeda misalnya persilangan antara Vanda dan Phalaenopsis yang disebut
Vandopsis, Aranthera dan Vanda menjadi Aranda, Ascocentrum dan Vanda menjadi
Ascosenda dan sebagainya (Tanaka & Kamemoto 1961). Metode pemuliaan anggrek
yang diperbanyak secara vegetatif, antara lain dapat dilakukan melalui teknik
rekayasa genetik (Semiarti et al. 2007) dan teknik induksi keragaman somaklonal
atau mutasi induksi.
Induksi mutasi telah digunakan dalam peningkatan kemampuan genetik pada
beberapa tanaman, tetapi jumlah tanaman hasil induksi mutasi masih lebih kecil
dibandingkan dengan hasil pemuliaan melalui hibridisasi dan seleksi. Aspek yang
paling menjanjikan dari penerapan induksi mutasi pada tanaman yang diperbanyak
secara vegetatif adalah adanya kemungkinan untuk memperbaiki sedikit karakter,
tanpa mengubah secara mendasar susunan gen lain yang telah baik. Pada anggrek
Phalaenopsis, metode pemuliaan vegetatif seperti transformasi genetik, ataupun
melalui induksi variasi somaklonal belum banyak didapatkan, khususnya di
Indonesia. Pada saat ini di Indonedia, belum ditemukan varitas atau kultivar
Phalaenopsis yang merupakan hasil dari pengembangan metode transformasi ataupun
variasi somaklonal.

Pemuliaan Melalui Persilangan Konvensional

Persilangan anggrek telah dilakukan orang sejak tahun 1849 hingga saat ini
telah didaftarkan ribuan jenis baru termasuk di antaranya multigenerik, intragenerik
dan intergenerik. Dalam daftar persilangan intergenerik sendiri diketahui bahwa ada
589 macam yang bersifat intergenerik, 62 intergenerik di antaranya telah dihasilkan
mengandung tetua Phalaenopsis dan atau Vanda (Anonim 2006). Beberapa contoh
16

disajikan dalam tabel 1. Hasil persilangan intergenerik antara Phalaenopsis dengan


Renanthera disebut Renanthopsis memiliki penampilan tanaman berbatang pendek,
berdaun dan berbunga menyerupai bunga Renanthera (Gambar 4a). Demikian juga
hasil persilangan intergenerik Phalaenopsis dan Vandopsis menghasilkan turunan
berbunga tidak menyerupai Phalaenopsis maupun Vandopsis (Gambar 4b).

Phalaenopsis x Renanthera Phalaenopsis x Vandopsis


a b
Sumber : (a) Florzinha de Estufa (2009) dan (b) Pineland Orchid Society (2006)
Gambar 4. Anggrek hasil silangan intergenerik (a) Renanthopsis Mildred Jameson,
(b) Phalaendopsis Arizona Star’Jim Turnbow’

Tabel 1 Beberapa nama intergenerik yang melibatkan tetua persilangan


Phalaenopsis dan Vanda.
No Nama
Tetua asal intergenerik
Intergenerik
1 Bogardara Bgd Ascocentrum x Phalaenopsis xVanda x Vandopsis
2 Bokchoonara Bkch Arachnis x Ascocentrum x Phalaenopsis x Vanda
3 Deveneauxara Dvra Ascocentrum x Phalaenopsis x Vanda
4 Himoniara Hmra Ascocentrum x Phalaenopsis x Rhynchosyllus x Vanda
5 Aeridopsis Aerps Aerides x Phalaenopsis
6 Arachnopsis Arnps Arachnis x Phalaenopsis
7 Asconopsis Ascps Ascocentrum x Phalaenopsis
8 Doriotaenopsis Dtps Doritis x Phalaenopsis
9 Moirara Moir Phalaenopsis x Renanthera x Vanda
10 Lutherara Luth Phalaenopsis x Renanthera x Rhynchostilis
11 Phalandopsis Phdps Phalaenopsis x Vandopsis
12 Renanthopsis Renps Phalaenopsis x Renanthera
13 Rhynchonopsis Rhynps Pha laenopsis x Rhynchostilis
14 Vandopsis Vdps Phalaenopsis x Vanda
15 Yapara Yapr Phalaenopsis x Rhynchostilis x Vanda
Sumber : Royal Horticultural Society (2006).
Persilangan dari kelompok Sarcanthine termasuk di antaranya vandaceous
telah dikembangkan oleh Thailand, Singapura, Malaysia dan Hawaii pada akhir
17

dasawarsa. Poliploid pada vandaceous cenderung memberikan pengaruh pada bunga


yang menjadi lebih besar, sepal dan petal lebih lebar. Kelemahan dan sekaligus
keuntungan bagi produsen ialah karena pada vandaceous tersebut memiliki
keabnormalan meiosis dan fertilitasnya rendah dengan terjadinya afinitas kromosom
pada saat meiosis (Tanaka & Kamemoto. 1961).

Pemuliaan Melalui Induksi Keragaman Somaklonal

Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik yang diinduksi melalui


kultur sel somatik, kultur sel tunggal, atau kultur protoplas. Keragaman somaklonal
telah sangat dikenal pemanfaatannya di dunia industri florikulturauntuk menginduksi
varietas unggul baru. Berbagai kondisi selama proses kultur mempengaruhi fenotipik
hasil. Penurunan dan kehilangan total kemampuan regenerasi merupakan fenomena
umum selama kultur sel, karena pembentukan sel dengan DNA abnormal pada saat
pertumbuhan sel yang tak terorganisir. Peningkatan kejadian keragaman somaklonal
juga terjadi ketika kultur somatik embriogenik dilakukan dalam jangka waktu lama di
dalam kultur in vitro atau akibat subkultur yang terus menerus menggunakan
tambahan zat pengatur tumbuh (Kaeppler et al. 2000).
Perubahan genetik yang berhubungan dengan keragaman somaklonal adalah
mutasi titik, perubahan karyotipe (jumlah kromosom dan struktur), perubahan jumlah
kopi, pindah silang sel somatik, amplifikasi DNA dan delesi (Rego & deFaria 2001).
Timbulnya keragaman genetik selama proses in vitro dipengaruhi juga oleh faktor
internal maupun eksternal. Faktor internal terdiri atas pengaruh genotip, sumber
eksplan yang digunakan dan tingkat ploidi (Karp 2004). Semakin rendah tingkat
ploidi, semakin stabil suatu genotip tanamn selama proses kultur in vitro. Sedangkan
faktor eksternal terdiri atas pengaruh komposisi media buatan, zat pengatur tumbuh
serta proses regenerasi dari kalus menjadi tanaman yang membutuhkan beberapa kali
subkultur (Akin-Idowu et al. 2009).
Penggunaan teknik keragaman somaklonal dalam pemuliaan meliputi
beberapa tahap (1) induksi kalus atau kultur suspensi sel (2) regenerasi dari sejumlah
besar tanaman dari kultur (3) skrining untuk perlakuan yang diinginkan pada tanaman
yang diregenerasikan (4) pengujian varian terseleksi (5) perbanyakan varian stabil
atau menggunakannya pada program pemuliaan (Jain et al. 1997).
Pada tanaman hias, keragaman yang ditimbulkan meliputi morfologi
tanaman, morfologi daun, warna dan bentuk bunga (Schepper et al. 2002;
18

Seneviratne & Wijesundara 2007)). Selama ini warna bunga merupakan target utama
dalam pemuliaan konvensional. Pigmen utama yang terlibat dalam pewarnaan bunga
ialah flavanoid yang merupakan pembentuk warna kuning, merah, ungu dan biru.
sedangkan carotenoid menyebabkan terbentuknya warna kuning hingga orange.
Pigmen warna sangat kuat tergantung pada pH dalam sel (Tsuda et al. 2004). Selain
karakter kualitatif seperti warna, sifat kuantitatif yang dapat berubah karena teknik
keragaman somaklonal pada tanaman hias antara lain perubahan durasi vase-life,
jumlah bunga, kerajinan berbunga.
Keragaman somaklonal dapat diinduksi untuk memperoleh mutan-mutan yang
diharapkan membawa sifat yang menguntungkan tanaman, dan telah dilakukan oleh
beberapa orang peneliti. Induksi mutasi dapat dilakukan dengan pemberian mutagen.
Mutagen terdiri atas dua tipe yaitu fisik dan kimia (Kodym & Afza 2003). Mutagen
tersebut bervariasi dalam spektrum penyebab mutasi. Induksi secara fisik yang dapat
digunakan antara lain iradiasi gelombang elektromagnetik dengan sinar ultraviolet
(UV), sinar-x (X), neutron dan sinar gamma (Co60) (Kovacs & Karesztes 2002).
Secara kimiawi dapat digunakan senyawa kimia penyebab metilasi, antara lain ENU,
EI, IPMS, EMS (etilmetan sulfonat), MMS (metilmetan sulfonat), dan colchicin
(Konstantinov & Driníc 2007).
Penggunaan induksi mutasi tampaknya merupakan salah satu alternatif
terbaik bagi program pemuliaan tanaman membiak vegetatif. Melalui perbanyakan
vegetatif, individu mutan hasil pemuliaan mutasi dapat secara langsung membentuk
klon komersial. Database FAO/IAEA menyatakan bahwa dari 552 mutan yang
dilepas di antara tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, sebagian besar adalah
tanaman hias dan beberapa tanaman buah, termasuk Chrysanthemum, Dahlia,
Bougainvillea, Rosa, Begonia, Carnation, dan Azalea (Ahloowalia & Maluszynski
2001). Efek dari mutasi pada tanaman hias dapat terlihat secara jelas dengan kasat
mata. Seleksi untuk perubahan warna bunga, bentuk dan ukuran sangat mudah
dilakukan, dan hampir seluruh mutan yang dijumpai bernilai ekonomis tinggi.
Berdasarkan efek yang ditimbulkan tersebut, penggunaan teknik mutasi menjadi
sarana utama untuk pemuliaan tanaman hias (Rego & deFaria 2001).
Jumlah pasti kultivar-kultivar tanaman hias hasil mutasi induksi yang telah
dilepas dan berapa besar nilai ekonomisnya sulit untuk diprediksi. Perusahaan
komersial seringkali tidak melaporkan asal dari kultivar-kultivar mutan tanaman hias
yang diinduksi, dan nilai tanaman mutan tersebut menjadi rahasia suatu perusahaan.
19

Pada berbagai negara berkembang, kultivar-kultivar mutan yang dilepas dan didaftar,
dimanfaatkan oleh pihak lain, karena kultivar-kultivar tersebut dapat diperbanyak
secara bebas tanpa izin dari pemulia. Sebagai contoh, National Botanic Research
Institute (NBRI), Lucknow, India, selama 17 tahun terakhir telah melepas 70 kultivar
hasil induksi mutasi tanaman hias antara lain, Chrysanthemum, Mawar, Bougenvillia,
Lantana, Hibiscus, dan Portulaca (Ahloowalia et al. 2004). Demikian pula di negara
Thailand, Department of Applied Radiation and Isotopes, Kasetsart University, telah
melepas 6 mutan kultivar bunga Kana, 15 Chrysanthemum dan 2 mutan Portulaca.
Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan tanaman hias di India dan
Thailand, tampaknya juga dihadapi di Indonesia. Pelepasan varietas hasil induksi
mutasi banyak yang belum tercatat di kantor perlindungan varitas tanaman (PVT),
demikian pula kelanjutan penyebarannya.

Induksi Mutasi Menggunakan Iradiasi Sinar Gamma


Penggunaan sinar gamma untuk menginduksi keragaman pada tanaman hias
telah digunakan oleh banyak peneliti antara lain pada tanaman lotus (Arunyanart &
Soontronyatara 2002), dan chrysanthemum (Mandal et al. 2000). Pengujian berbagai
dosis iradiasi dilakukan untuk mengetahui radiosensitivitas suatu jaringan perlu
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sensitivitas jaringan tanaman yang diuji
terhadap dosis iradiasi yang diberikan. Penentuan dosis iradiasi yang tepat perlu
dilakukan untuk mendapatkan varian yang lebih banyak.
Pada beberapa studi mutagenesis, faktor kunci di dalam melakukan iradiasi
ialah dosis, yang merupakan jumlah energi iradiasi yang diabsorbsi oleh materi. Unit
pengukuran dosis iradiasi ialah Gray (Gy). 1 Gy setara dengan absorbsi 1 Joule
energi per kilogram produk yang diradiasi, yang setara dengan 100 rad. Dosis iradiasi
dibagi dalam tiga cakupan kategori: tinggi (> 10 kGy), medium (1-10 kGy), dan
rendah (< 1 kGy). Dosis yang tinggi digunakan untuk sterilisasi produk makanan, dan
untuk biji sebesar 60-700 Gy. Pada kultur in vitro kalus digunakan dosis 2-5 Gy dan
apabila dosis ditingkatkan menjadi 15-20 Gy menyebabkan nekrosis dan kapasitas
regenerasinya menjadi hilang. Pada tanaman kentang yang diperbanyak secara mikro,
dosis optimal untuk bertahan hidup ialah 20 Gy (Ahloowalia & Maluszynski 2001).

Secara visual tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang
diberikan tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun dosis letal 50
(LD50). LD50 ialah dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi yang
20

diradiasi (Omar et al. 2008). Dari banyak penelitian mutasi induksi, telah diketahui
bahwa umumnya mutasi yang diinginkan terletak pada kisaran LD50 atau sedikit di
bawahnya. Pada kasus tertentu, misalnya pada perlakuan kalus digunakan dosis yang
besarnya sekitar LD30.
Faktor yang mempengaruhi tingkat sensitivitas tanaman terhadap iradiasi,
secara fisik bentuk morfologi tanaman, kesukulenan material dapat mempengaruhi
ketahanan fisik sel saat menerima iradiasi sinar gamma. Hal ini berhubungan dengan
faktor biologis lainnya seperti faktor genetika, dan juga faktor lingkungan seperti
oksigen, kadar air, penyimpanan pasca iradiasi dan suhu (Ashraf et al. 2003).
Pada plantlet lotus (Nelumbo nucifera Gaertn.), mutasi yang diinduksi
dengan dosis 20 Gy, menghasilkan laju pertahanan hidup sebesar 50%. Dosis 10 dan
20 Gy menghasilkan pemanjangan akar sekunder dan pembentukan sejumlah akar
adventif. Mutan-mutan ini juga terhambat pertumbuhan pucuk dan perkembangan
rhizoma. Sebagian besar tanaman yang diberi perlaknan 20-50 Gy memperlihatkan
karakteristik yang abnormal, termasuk vitrifikasi, klorosis, dan penampilan petiole
dan penghambatan pertumbuhan tunas lateral, akar-akar sekunder dan rhizoma.
Seluruh tanaman yang diberi perlakuan 60 Gy mati dalam 4 minggu (Arunyanart &
Soontronyatara 2002). Hasil penelitian Mandal et al. (2000) pada tanaman Krisan
(Chrysanthemum morifolium cv. Maghi), iradiasi dapat diberikan pada nodus batang,
internodus batang, pucuk, dan bunga (ray floret) dengan dosis 15, 20 dan 25 Gy.
Perlakuan sinar gamma 2 krad (20 Gy) menimbulkan daun-daun klorofil variegata,
2.5 krad (25 Gy) bunga kimera (mutan putih, wild-type ungu tua/mauve). Mutan solid
dengan daun variegata klorofil, dihasilkan dari eksplan nodus batang. Pada dosis
tersebut tidak dilaporkan adanya letalitas.
Efek iradiasi terhadap perubahan warna bunga tanaman tergantung pada
warna tetua sumber eksplan. Warna tetua biru yang mengandung antosianin,
malvidin, peonidin, petunidin dan cyanidin pada bunga torenia yang diradiasi
memberikan tambahan pelargonium dan delphinidin. Akibat ketidakadaan
malvinidin, menyebabkan bunga mutan menjadi biru pucat. Warna pink
mengandung peonidin, cyanidin dan pelargonium dan tidak mengandung malvinidin
dan petunidin (Miyazaki et al. 2006).
Induksi Mutasi Menggunakan EMS

Penggunaan mutagen kimia dinilai lebih efektif untuk menimbulkan mutasi


dari pada mutagen lain. Di antara sekian banyak mutagen kimia, beberapa merupakan
21

mutagen yang cukup berguna dan handal antara lain etilmetanasulfonat (EMS),
dietilsulfat (DES), etilenimin (El), N-nitro-N-etil urea (NEU) (Konstantinov &
Driníc 2007). Mutagen kimia khususnya EMS lebih mudah tersedia dan rasio
mutasionalnya terhadap modifikasi yang tidak diinginkan lebih baik dibandingkan
dengan iradiasi (Nasir 2002).
Sebagai sarana pemuliaan praktis, kelompok mutagen kimia yang paling
menarik ialah agensia yang membentuk alkilasi. Kelompok ini memiliki satu atau
lebih kelompok alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi di
mana kepadatannya tinggi. Agensia yang mengalkilasi dapat bereaksi dengan DNA.
Pada awalnya terbentuk triester yang tidak stabil karena fosfat triester dihidrolisa
antara gula dan fosfat yang menghasilkan pecahnya tulang punggung DNA. Alkilasi
dari nitrogen basa terjadi dan bereaksi dengan guanine pada posisi N-7. Kejadian ini
biasanya diikuti oleh adenine pada posisi N-3 dan citosin pada posisi N-1 (Kodym &
Afza 2003). Alkilasi guanine membentuk O6-ethyl guanine yang dapat berpasangan
dengan timin tetapi tidak dengan citosin (Kim et al. 2006). EMS menginduksi C ke T
menghasilkan C/G ke T/A yang bersifat substitusi, sedang methyl methansulfonate
menghasilkan transversi T/A ke G/C dan transisi A/T ke G/C (1,3,4). Pada frequensi
rendah EMS membentuk G/C ke CG atau transversi G/C ke T/A oleh hidrolisa 7-
ethylguanin atau transisi A/T ke G/C oleh 3-ethyladenin (Kim et al. 2006).
Mutagen kimia dapat diintroduksi ke dalam jaringan tanaman dan bahkan sel
dapat menyebabkan jumlah mutasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara lain
tetapi hasil yang memuaskan bergantung pada konsentrasi bahan kimia, lama masa
perlakuan, suhu, pH larutan mutagenik dan kadar air bahan yang diberi perlakuan
(Kovacs & Karesztes 2002). Penggunaan EMS telah banyak digunakan pada berbagai
tanaman, selain pada tanaman hias seperti krisan berwarna pink tua dengan perlakuan
EMS 0.77% selama 45 menit yang menghasilkan mutan 5.2% yang berwarna pink-
salmon, pink terang, putih , kuning, warna sahnon dan bronze (Rodrigo et al. 2004),
juga tanaman kacang-kacangan (Svetleva & Crino 2005). Pada tanaman ubijalar,
EMS diaplikasikan untuk mendapatkan tanaman toleran kadar garam tinggi dengan
konsentrasi 0.5% selama 2-2.5 jam pada eksplan kalus (Luan et al. 2007).
Efek Fisiologi Mutagen

Pemuliaan mutasi melalui mutagenesis memberikan dampak secara sitologis


maupun fisiologis karena mutasi dapat terjadi pada tingkat sel maupun tingkat
jaringan (Ashraf et al. 2003). Kerusakan fisiologi yang disebabkan oleh mutagen,
22

dapat bersifat kromosomal atau ekstrakromosomal. Apabila setelah perlakuan


mutagenik menyebabkan tingkat kematian organisme yang rendah, biasanya
frekuensi mutasinya tinggi, kerusakan yang ditimbulkan merupakan kerusakan
ekstrakromosomal. Sebaliknya, bila tingkat lethalitas tinggi, frekuensi mutasinya
rendah dapat dikategorikan kerusakan kromosomal (Wi et al. 2007).
Kerusakan fisiologis pada sejumlah sel di jaringan meristem apikal dapat
terjadi pada lapisan terluar, yaitu epidermis (LI) yang menutupi semua jaringan
misalnya daun, batang, petal bunga dan sebagainya. Jaringan di bawahnya yang
terdiri atas beberapa lapis sel di dalam batang dan sebagian besar sel-sel yang berada
pada daun disebut lapisan sub-epidermis (L2), selanjutnya L3 merupakan sebagian
besar jaringan internal batang dan sejumlah sel di sekitar jaringan pembuluh daun
(Lineberger 2007).
Apabila mutasi non-lethal terjadi pada sel yang aktif membelah, seperti sel
meristem tersebut, maka biasanya akan diperoleh keturunan sel-sel yang bermutasi
dan sel sel yang tidak bermutasi tergantung pada dimensi mutasi. Dimensi mutasi
yang terjadi pada jaringan ini tergantung pada posisi sel yang bermutasi. Melalui
mutasi induksi, genotip yang diinginkan tidak dapat segera dikenali karena
terbentuknya kimera pada meristem yang multiseluler. Fenomena pada tanaman
termutasi ini dikatakan kimera apabila sel sel yang tumbuh tersebut menunjukkan
lebih dari satu genotip dalam satu jaringan tanaman. Seperti misalnya tanaman
variegata, sel-sel ini berasal dari jaringan meristem apikal yang beberapa selnya tidak
mampu mensintesis khlorofil sehingga daun tidak berwarna hijau (Cammareri et al.
2002).
Kimera tanaman dapat dikategorikan berdasarkan lokasi dan seberapa besar
proporsi sel-sel yang termutasi dan tidak termutasi di dalam meristem apikal
(Lineberger. 2007). Kimera periklinal merupakan kategori terpenting karena kimera
ini relatif stabil dan dapat diperbanyak secara vegetatif. Mutasi ini dihasilkan dari sel-
sel yang terletak di dekat apikal meristen, sehingga sel-sel yang diproduksikan selalu

berasal dari pembelahan sel-sel yang termutasi. Hasil pembelahan meristem ini berisi
satu lapis sel yang secara genetik berbeda dari sel meristem yang tidak termutasi.
Contoh kimera periklinal adalah blackberry tanpa duri. Lapisan epidermis ini
membentuk duri. Lapisan epidermis tanpa duri menutupi batang yang berisi informasi
genotip berduri.
23

Kimera yang lain, ialah kimera meriklinal dan sektoral. Kimera meriklinal
dihasilkan ketika sel termutasi tidak sampai memasuki kubah apikal. Lapisan sel
termutasi mungkin dipelihara hanya sebagian dari meristem. Kimera meriklinal yang
meliputi sejumlah sel yang hanya sebagian kecil yang terpengaruh. Kimera ini
merupakan tipe yang tidak stabil. Selanjutnya ialah kimera sektoral, dihasilkan dari
mutasi yang terjadi pada sebidang meristem apikal, perluasannya meliputi seluruh
lapisan. Tipe kimera ini tidak stabil dan dapat memunculkan tunas atau daun yang
bukan kimera. Sel termutasi maupun sel normal dapat diproduksi tergantung pada
bagian mana yang paling berkembang (Lineberger 2007).
Pada tanaman yang diperbanyak secara in vitro yang diikuti dengan
mutagenesis, beberapa siklus propagasi dibutuhkan untuk menghilangkan kimera,
dan mendapatkan mutan yang solid, karena diduga bahwa banyak mutan yang
diregenerasikan merupakan kimera sektoral. Sub-kultur secara in vitro material yang
diradiasi melalui V0 sampai V4 dapat diperoleh secara cepat dan tanpa kehilangkan
setiap genotip di bawah kondisi bebas penyakit (Ahloowalia & Maluszynski 2001).
Pada kasus umum, aplikasi mutagen menghasilkan kimera meriklinal atau
sektoral. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya kompetisi pada jaringan meristem
di antara sel-sel yang tidak bermutasi yang dikenal sebagai seleksi diplontik.
Fenomena ini dapat mempengaruhi besarnya frekuensi mutan yang teramati pada
generasi M1V2 (Datta et al. 2005).

Penyakit Busuk Lunak Pada Phalaenopsis

Penyakit busuk lunak dapat menyerang semua jenis anggrek terutama yang
memiliki jaringan yang lunak. Bakteri penyebab busuk lunak yang dijumpai pada
beberapa jenis anggrek biasanya adalah Erwinia carotovora subsp. carotovora dan
Erwinia chrysanthemi (Cating and Hong 2008). Pada Phalaenopsis, penyakit ini
biasanya disebabkan oleh serangan bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora
(Syahril et al. 2006). Bakteri busuk lunak ini mampu tumbuh dan aktif pada suhu 24-
35 °C. Bakteri dapat terbunuh bila suhu mencapai 50 °C (Charkowsky 2006).
Secara umum bakteri Erwinia carotovora dapat bertahan hidup dan
menginfeksi organ-organ tanaman yang disimpan, di lahan, di serasah tanaman
ataupun di akar tanaman inang, di irigasi air, bahkan di dalam pupa serangga.
Penyakit ini pertama kali muncul di dalam media tanam yang sebelumnya telah
terinfeksi. Infeksi dapat terjadi melalui pelukaan jaringan tanaman oleh serangga.
24

Ketika bakteri busuk lunak memasuki luka, bakteri menginfeksi dan memperbanyak
diri dengan bantuan enzim. Salah satu enzim yang dihasilkan ialah enzim pektolitik.
Bakteri meningkatkan jumlah enzim pektolitik dan mampu memecahkan senyawa
pektik pada lamella tengah. Oleh karena tekanan osmotik jaringan berada pada porsi
tinggi, maka sel-sel sangat mudah dipisahkan, air berdifusi ke ruang antar sel.
Hasilnya sel-sel mengalami plasmolisis, collapse dan mati. Bakteri melanjutkan
pergerakannya dan memperbanyak diri di ruang antar sel selanjutnya (Janse 2006).

Gejala Penyakit

Keadaan lingkungan yang disukai penyakit busuk lunak ialah pada saat suhu
hangat hingga panas dengan kelembaban tinggi. Bakteri ini biasanya bersifat epifit
pada permukaan daun dan agresif menyerang jaringan bila ada pelukaan. Bakteri
dapat berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain dengan mengikuti aliran air.
Infeksi terlihat sebagai bulatan berwarna gelap, hijau keabu-abuan yang sangat cepat
meluas. Bagian daun yang terserang menjadi lembek, berwarna coklat dan seringkali
berbau. Daya perusakannya sangat tinggi, sangat cepat menyebar di daun dan akar
tetapi lebih lambat perusakannya pada rizoma dan pseudobulb (Simone & Barnett
1995).

Bakteri Pektolitik Erwinia carotovora subsp. carotovora


Bakteri Erwinia merupakan bakteri fakultatif anaerob, tidak membentuk
spora, termasuk enterobakteri gram negatif (Charkowski 2006) yang menyebabkan
penyakit pada beragam tanaman, di antaranya tanaman-tanaman yang bernilai
ekonomi tinggi. Hingga kini diketahui kurang lebih telah dilaporkan sebanyak 16
famili (Yap et al. 2004; Agrios 2005). Bakteri ini memproduksi sejumlah besar enzim
pektik ekstraseluler yang keberadaannya dapat menyebabkan penyakit busuk lunak
karena aktivitas degradasi yang dilakukannya (Perombelon 2002).
Isolat dapat diperoleh dari sampel yang terinfeksi, yang selanjutnya dapat
dikultur pada media semi selektif crystal violet pectate (CVP) (Hyman et al. 2006).
Medium ini mengandung kalsium pektat yang merupakan bahan khusus yang disukai
oleh Erwinia. Untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi Erwinia carotovora
subsp. carotovora lebih lanjut dapat dilakukan uji biokimia dan fisiologi (Tabel 2).
Erwinia carotovora mampu memproduksi enzim ekstraseluler pendegradasi
dinding sel tanaman (Plant Cell Wall Degrading Enzyme = PCWDE) termasuk di
25

antaranya beberapa pektinase, selulase, dan protease yang mengontrol virulensi


Erwinia carotovora. Setiap strain Erwinia carotovora subsp. carotovora memiliki
enzim pektolitik berbeda-beda. Beberapa strain bisa hanya memiliki satu, dua atau
tiga jenis enzim pektolitik sekaligus (Toth et al. 2003)..
Erwinia carotovora subsp. carotovora dijumpai lebih sering pada
lingkungan beriklim hangat. Pengaruh suhu lebih dari 33 °C menyebabkan bakteri ini
tidak mampu tumbuh. Pengaruh suhu ini pula akan mempengaruhi produksi protein
virulensi bakteri. Protein yang diproduksi bakteri tersebut termasuk pectatelyase,
pectinlyase, polygalacturonase tergantung jenis strain (Yap et al. 2005; Hasegawa et
al. 2005).

Tabel 2. Beberapa uji biokimia dan fisiologi untuk karakterisasi Erwinia


carotovora subsp. carotovora setelah didapatkan koloni tunggal
Jenis Pengujian Hasil reaksi
Pertumbuhan 37°C +
Reduksi gula dari sukrosa -
Aktifitas phosphate +
Sensitiovitas terhadap erythromicin -
Produksi indol -
Produksi asam dari :
Sorbitol -
Melibiosa +
Sitrat +
Raffinosa +
Arabitol -
Laktosa +
Penggunaan keto-methyl glukosida -
Sumber: De Boer & Kelman. 2001.

Erwinia carotovora juga dapat memproduksi berbagai bentuk carotovoricin,


suatu bacteriocin phage tail-lake yang mampu membunuh strain lain yang berkerabat
dekat maupun spesies, ekspresi carotovoricin ini diinduksi kerusakan DNA seperti
juga pectinlyase yang juga diregulasi oleh suhu, dengan kadar tertinggi pada saat
suhu 23-26 °C (Nguyen et al. 2002).
Jalur Pertahanan Tanaman Terhadap Erwinia
Sistim ketahanan tanaman Phalaenopsis terhadap suatu patogen penyebab
penyakit busuk lunak secara khusus dan pasti belum diketahui. Penelitian mengenai
hal yang menyangkut patogen busuk lunak pada tanaman Phalaenopsis juga sangat
jarang dijumpai, oleh karena itu, beberapa jalur pertahanan secara umum terhadap
26

bakteri penyebab penyakit busuk lunak pada tanaman lain dapat digunakan sebagai
dasar untuk memahami sistim pertahanan tersebut.
Pada umumnya, tanaman yang terserang patogen akan terinduksi untuk
mempertahankan diri. Tanaman menjadi tahan terhadap penyakit dapat dilakukan
secara aktif atau pasif. Ketahanan pasif tergantung pada pertahanan yang telah
terekspresikan pada tanaman, sedang ketahanan aktif merupakan pertahanan yang
diinduksi setelah ada penyerangan. Ketahanan terinduksi dapat berupa pertahanan
local atau sistemik. Mekanisme penghentian perkembangan patogen secara lokal
dilakukan dengan cara memproduksi pathogenesis - related protein (PR protein) dan
mengembangkan dinding sel untuk menghambat perkembangan inokulum.
Mekanisme pertahanan secara sistemik diawali adanya induksi primer untuk
membentuk PR protein. Mekanisme tersebut merupakan mekanisme ketahanan
terinduksi yang dibedakan menjadi dua yaitu systemic acquired resistance (SAR)
dan induced systemic resistance (ISR). Keduanya dibedakan berdasarkan tipe agen
penginduksi dan jalur penghantaran signal pada inang yang menghasilkan ekspresi
ketahanan (Hammerschmidt 2007).
Secara umum, awal suatu interaksi inang-patogen sampai terjadi gejala
penyakit ialah melalui beberapa tahapan. Tahapan awal yaitu prekolonisasi dimulai
dengan adanya kontak dan pelekatan bakteri pada permukaan inang, pengenalan
antara bakteri dan sel inang dan penetrasi bakteri ke dalam jaringan. (Hallmann
2001). Pada saat bakteri mulai berhasil menembus jaringan, terjadilah infeksi
penyakit. Untuk menginfeksi tanaman, patogen harus menginvasi sistim pertahanan
tanaman yang dapat berupa penghalang fisik tanaman seperti kutikula dan dinding
sel. Tanaman mengetahui adanya patogen yang menyerang melalui pengenalan
molekul yang disebut elisitor yang berasal dari patogen ataupun dari tanaman dan
dapat memacu sistim pertahanan. Dalam berbagai kasus, pengenalan patogen oleh
tanaman yang spesifik, mengikuti konsep Flor interaksi gene-for-gene (Flor 1971;
Pozo et al. 2005).
Interaksi gene-for-gene antara inang-patogen meliputi pengenalan spesifik
dari protein avirulensi yang disandi oleh gen avr dari patogen melalui komplementari
protein yang disandi oleh gen R (Agrios 2005). Bakteri tidak dapat berkembang pada
suatu tanaman apabila terjadi pengenalan elisitor patogen oleh reseptor tanaman yang
merupakan produk dari gen R dalam keadaan nonkompatibel. Sebaliknya, apabila
pengenalan elisitor oleh reseptor kompatibel, bakteri akan terjadi penyakit (Keller et
27

al. 2000). Hipersensitif Respon (HR) adalah respon pertahanan tanaman yang
berhubungan dengan resistensi dalam interaksi nonkompatibel inang-patogen dan ini
dicirikan oleh adanya local cell death di sekitar infeksi (Montesinos 2000; Strange
2003).
Setelah terjadi pengenalan elisitor, serentetan perubahan sitologis dan respon
fisiologis terjadi pada sel tanaman. Perubahan sitologi termasuk di antaranya
pembentukan papilla, peningkatan aliran sitoplasmik dan migrasi nuklear, yang akan
berhubungan dengan depolimerisasi mikrotubula dan mikrofilamen. Respon biologis
yang terjadi adalah perubahan konsentrasi ion yang akan menyeberangi membran
plasma, dan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang terjadi dalam 2-5
menit setelah pengenalan elisitor. Beberapa reaksi biokimia ini dihubungkan dengan
signal tranduksi yang akan mengawali respon pertahanan. Defosforilasi protein
merupakan peristiwa yang berbeda yang mengikuti pengenalan patogen dan terlibat
dalam penghantaran signal bertahap yang memacu pertahanan.. Identifikasi beberapa
Mitogen Activated Protein (MAP) kinase dan reseptor kinase dihubungkan dengan
respon pertahanan yang digaris bawahi relevan terhadap proses defosforilasi selama
penghantaran signal pertahanan tanaman (Boller & Keen 2000).
Respon pertahanan terhadap patogen bisa merupakan pertahanan lokal atau
sistemik yang meliputi sejak perubahan yang terjadi dari awal persepsi hingga
perubahan sitoplasmik yang merubah permiabilitas membrane plasma sehingga
memicu perubahan lain yang mengarah kepada ekspresi gen pertahanan. Pelukaan
juga memacu respon pertahanan termasuk Reactive Oxygen Species (ROS) dan
induksi signal seperti ethylene dan Jasmonic Acid (JA) dan derivatnya (Jabs &
Slurenko 2000).

Pengujian Ketahanan Terhadap Patogen Secara In Vitro

Pengujian ketahanan tanaman terhadap suatu patogen melalui cara inokulasi


secara in vitro merupakan suatu metode yang memberikan harapan, karena memiliki
beberapa keuntungan antara lain dapat mengurangi kemungkinan terjadinya desease
escape yang sering terjadi pada metode pengujian di lapangan, hasil pengujian dapat
diulang di rumah kaca atau di lapangan, sedangkan patogen yang digunakan tetap
terbatas di laboratorium. Metode pengujian in vitro ini dapat menghemat biaya dan
waktu pengujian tetapi hasil yang diperoleh relatif sama dengan pengujian di
28

lapangan. Metode ini juga efisien karena hanya klon-klon yang tahan dalam
pengujian in vitro yang dilanjutkan pengujiannnya di lapangan (Samanhudi 2000).
Seleksi untuk ketahanan penyakit dapat dilakukan menggunakan beberapa
agen penyeleksi seperti toksin, toksin analog, filtrat maupun patogen itu sendiri.
Penggunaan toksin murni sebagai agen penyeleksi dalam kultur cukup efisien ketika
gejala penyakit dapat ditimbulkan oleh toksin yang diproduksi oleh patogen dan
ketika toksin dapat berperan pada level eksplan yang dikultur misalnya level sel.
Penggunaan patogen sebagai agen penyeleksi langsung pada ketahanan tanaman
terhadap penyakit dapat dilaksanakan apabila dapat dipenuhi syarat lingkungan
tumbuh patogen sehingga kesulitan pertumbuhan dapat ditiadakan (Chandra et al.
2010) .
Beberapa penelitian di antaranya uji ketahanan pada plantlet kentang
menggunakan ko-kultur dengan Phytophtora infestan berkorelasi dengan resistensi
kultivar di lapangan (Daayf et al. 2003). Microcutting tanaman poplar ko-kultur
dengan Xanthomonas menghasilkan resistensi sebanding dengan resistensi terhadap
fireblight di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press.
Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney.
Tokyo. 922p
Ahloowalia BS, Maluszynski M, Nichterlein K. 2004. Global impact of mutation-
derived varieties. Rev. Euphytica 135: 187–204.
Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutations-A new paradigm in plant
breeding. Euphytica 118: 167–173, 2001.
Akin-Idowu PE, Ibitoye DO, Ademoyegun OT. 2009. Tissue culture as a plant
production technique for horticultural crop. Afr J Biotech 8(16): 3782-3788
Arunyanart S. Soontronyatara S. 2002. Mutation induction by γ and X-ray
irradiation in tissue cultured lotus. Plant Cell Tissue Organ Cult 70: 119–
122, 2002.
Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1
generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795
Boller T, Keen NT. 2000. Resistance genes and the perception and transduction of
elicitor signals in host-pathogen interactions. Di dalam: Slurenko AJ, Fraser
RSS, van Loon LC, editor. Mechanism of Resistance to Plant Diseases.
Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 189-229
Cammareri et al. 2002. Induction of variability in chimeric Aster cordifolius ‘White
Elegans’ through somaclonal variation. Euphytica 128: 19-25
Cating RA, Hong JC. 2008. First report of bacterial soft rot on Vanda Orchids caused
by Dickey chrysanthemi (Erwinia chrysantemi) in the limited stark. Plant Dis
92 (6) : 977
29

Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Mathukumar R, Kalim S. 2010. In vitro selection : A


candidate approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian J
Plant Sci 9 (8): 437-446.
Chang et al. 2006. The chloroplast genome of Phalaenopsis Aphrodite
(Orchidaceae): Comparative analysis of evolutionary rate with that of grasses
and its phylogenetic implication. Mol Biol Evol. 23 (2): 279-291
Charkowsky AO. 2006. The Soft rot Erwinia. Plant Associated Bacteria. Springer.
Netherland. p 423-505
Chen FC, Chen WH. 2007. Somaclonal variation in orchids. Di dalam: Chen WH,
Chen HH, editor : Orchids Biotechnology. Singapore. p. 65-76
Chowdhury I, Abu Reza MD, Rahman M, Islam O, Matsui S. 2003. Effect of plant
growth regulation on callus proliferation plantlet regeneration and Growth
of plantlets of Doritaenopsis Orchid. Biotechnology. Vol 2.no 3: 214-221.
Christenson EA. 2001. Phalaenopsis. A monograph. Timber Press. Portland
Oregon. p. 19-62.
Djaafarer R. 2002. Phalaenopsis Spesies. Jenis dan potensi untuk silangan. Penebar
Swadaya. Jakarta. hal.1-12
Daayf F, Adam L, Fernando WGD. 2003. Comparative screening of bacteria from
biological control of potato late blight (Strain US-8) using in vitro, detected
leaves and whole plant testing systems. Can j Plant Pathol 25: 276-284.
Datta SK, Mesra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for
establishment of solid mutant in Chrysantmemum. Curr Sci 88 (1); 155-158.
De Boer SH, Kelman A. 2001. Gram negative bacteria. Erwinia soft rot group. Di
dalam: Schaad NW, Jones JB, Chun W, Editor. Laboratory Guide for
Identification of Plant Pathogenic. Third ed. APS Press. Minnesota. p 56.
Dirjen Horti. 2005. Roadmap: Pascapanen dan pemasaran anggrek 2005-2010.
Direktorat Jendral Hortikultura. Pengolahan dan Pemasaran hasil pertanian.
Juli. 2005.
Flor HH. 1971. Current Status of gene for gene Concept. Ann Rev Phytopath 9: 276-
278.
Florzinha De Estufa. 2009. Renanthopsis Mildred Jameson. http://www.
renanthopsis-mildred-jameson html. 15/11/2010
Hallmann J. 2001. Plant interactions with endophytic bacteria. Di dalam: Jeger MJ,
Spence NJ, editor. Biotic Interactions in Plant-pathogen Associations. CABI
Publishing UK. USA. p 87-120.
Hammerschmidt R. 2007. Introduction: definition and some history. Di dalam: Walters
D, Newton A, Lyon G, editor. Induced Resistance for plant Defence. A
Sustainable Approach to Crop Protection. Blackwell Publshing Ltd. Singapura.
p. 1-11.
Handayati W, Hanudin , Soedjono S. 2004. Resistensi genotip Anggrek Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak. J Hort 14 (Edisi Khusus) : 398-402.
Hasegawa H, Chatterjee A, Cui Y, Chatterjee AK. 2005. Elevated temperature
enhances virulence of Erwinia carotovora subsp carotovora strain EC153 to
plants and stimulates production of the quorum sensing signal N-acyl
homoserine lactone and extracelluler proteins. Appl Environ Microbiol. 71:
4655-4663
Husni A, Hutami S, Kosmiatin M, Mariska I. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai
untuk meningkatkan sifat toleran kekerangan. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan. 23(2) : 93-100
30

Hyman LJ, Sullivan L, Toth IK, Perombelon CM. 2007. Modified crystal violet
pectate medium (CVP) based on a new polypectate source (Slendid) for the
detection and isolation of soft rot erwinias. Potato Res 44(3) : 265-270.
Jain SM, Buiatti M, Gimelli F Saccardo F. 1997. Somaclonal variation in
improving ornamentals plants. Di dalam: Jain SM, Brar DS, Ahloowalia BS,
editor. Somaclonal Variation and Induced Mutation in Crop Improvement.
Kluwer Academic Press. The Netherland. p 35-58
Janse, J. D. 2006. Phytobacteriology. Principles and Practice. CABI Publishing. Uk.
Singapore. p. 360
Jender et al. 2003. Ethylmethanesulfonate saturation mutagenesis in Arabidopsis to
determine frequency of herbicide resistance. Plant Physiol 131: 139- 146.
Jeong JA, Ryu BY, Lee CH. 2006. In vitro culture of variants induced by chemical
mutagenesis in Phyllitis scolopendrium (L) Newn. Flower Res J 14 (2): 121-
127
Jabs T, Slurenko AJ. The hypersensitiv response. In Slurenko AJ, Fraser RSS, van
Loon LC (eds). Mechanism of Resistance to Plant Diseases. Kluwer
Academic Publisher . Netherlands. p 279-323
Kao YY, Lin CC, Huang CH, Li YH. 2007. The Cytogenetics of Phalaenopsis
Orchids. Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchids Biotechnology.
Singapore. p. 115-128
Karp A. 2004. Somaclonal variation as a tool for crop improvement. Euphytica 85
(1): 295-302
Kaeppler SM, Kaeppler HT, Rhee Y. Epigenetic aspect of somaclonal variation in
plants. Plant Mol Biol 43 (3): 179-188.
Keller B, Feuillet C, Messmer M. 2000. Genetics of disease resistance. Basic
concepts and application in resistance breeding. Di dalam: Slurenko AJ,
Fraser RSS, van Loon LC, editor. Mechanism of Resistance to Plant Diseases.
Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 101-160
Kim YS, Schumaker KS, Zhu JK. 2006. EMS mutagenesis of Arabidopsis.
http://www.faculty.ucr.edu/--jkzhu/articles/2006/yskim.pdf.15/11/2010
Kodym A, Afza R. 2003. Physical and Chemical mutagenesis. Method Mol Biol 236:
189-204.
Kontantinov K, Driníc SM. 2007. Molecular genetics-step by step implementation in
maize breeding. Genetika 39 (2): 139-154
Kovacs E, Keresztes. 2002. Effects of gamma and UV-B/C radiation on plant cell.
Micron 39: 199-210
Lestari EG, Sukmadjaja D, Mariska I. 2006. Perbaikan ketahanan tanaman panili
terhadap penyakit layu melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 25(4)
: 149-153
Lin CC, Chen YH, Chen WH, Chen CC, Kao YY. 2005. Genome organization and
relationships of Phalaenopsis orchids infered from genomic in situ
hybridization. Bot Bull Acad Sci 46: 339-345
Linberger RD. 2007. Origin, Developmental propagation of chimeras.
http://www.aggie-horticulture.tamu.edu/tisscult/chimeras/s.html. 28/03-/2008
Luan YS, Juan Z, Rong GX, Jia AL. 2007. Mutation induced by
ethylmethanesulphonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant
regeneration of sweet potato (Ipomoea batatas L). Plant Cell Tissue Organ
Cult 88 (1): 77-81
Mandal AK, Chakrabarty AD, Datta SK. 2000. Application of in vitro techniques in
mutation breeding of chrysanthemum. Plant Cell Tissue Organ Cult 60: 33–
38.
31

McMillan RT, Palmateer A, Vendrame W. 2007. Effect rouging on Erwinia soft rot
in commercial production with two Phalaenopsis per pot. Jr. Kerry’s
Bromeliad Nursery, Inc. http://www.fsfs.org/-meetimg2007/AllAbs-tracts-
FSHS-2007-ForWebsite-April27.html#Ornamental. 24/05/08
Miyazaki et al. 2006. Flower pigment mutations induced by heavy ion beam
irradiation in an interspecific hybrid of torenia. Plant Biotech 23 : 163-167
Montesinos E. 2000. Pathigenic plant-microbe interactions. Internatl Microbial 3: 69-
70.
Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. Teknik rekayasa genetik tanaman. PT.Citra
Aditya Bakti. Bandung. hal 59-78
Nguyen et al. 2001. DNA inversion in the tail fiber gene alters the host range
specificity of Erwinia carotovora. A phage-tail-like bacteriocin of
phytopatogenic Erwinia carotovora subsp. carotovora. J. Bacteriol 183:
6274-6281
Odjakova M, Hadjiivanova C. 2001. The complexity of pathogen defense in plant.
Bulg J Plant Physiol 27 (1-2): 101-109
Omar SR, Ahmed OH, Saamin S, Majid NMA. 2008. Gamma radiosensitivity study
on Chili (Capsicum annum). Am J Appl Sci 5 (2): 67-70
Perombelon MCM. 2002. Potato diseases caused by soft rot erwinias: an
overview of patogenesis. Plant Pathol 51: 1-12
Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell
Tissue Organ Cult 64: 185-210.
Pineland Orchid Society. 2006. Just a few of our Awarded Plants from the SEPOS
2006 Show. http://www.pinelandsorchidsociety.org.15/11/2010.
Pozo MJ, van Loon LC, Pieterse CMJ. 2005. Jasmonates-signals in plant microbe
interactions. J Plant Growth Regul 23: 211-222
Rego LV, deFaria RT. 2001. Tissue culture in ornamental plant breeding: A review.
Crop Breed Appl Biotech 1 (3): 283-300
Rodrigo RL, Alvis HA, Augusto TN. 2004. In vitro mutation of Chrysanthemum
(Dendranthema grandiflora Tzvelev) with Ethylmethanesulfphonate (EMS)
in immature floral pedicels. Plant Cell Tissue Organ Cult 77 (1): 103-106.
Royal Horticultural Society.2006. Quarterly supplement to the international register
of orchid hybrids (Sander’s List). Orchid J Royal Hort Soc. Vol 114 (1272).
Nopember-December 2006.
Samanhudi. 2001. Identifikasi ketahanan klon kentang hasil fusi protoplas BF15
dengan Solanum stenotomum terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia
solanacearum). Thesis Pascasarjana IPB, Bogor. 88 hal.
Seneviratne KACN, Wijesundara DSA. 2007. First Afreican violets (Saintpaulia
ionantha H. Wendl) with changing colour pattern induced by mutation. Am J
Plant Physiol 2 (3): 233-236
Semiarti et al. 2007. Agrobacterium-mediated transformation of the wild Orchid
spesies Phalaenopsis amabilis. Plant Biotech 24 : 265-272.
Schepper S, Deberg P, van Bookstaele E, Delouse M, Gerats A, Depicker A. 2002.
Genetic and epigenetic aspects of somaclonal variation : flower colour bud
sports in azalea, a case study. African J Bot 69 (2): 117-128
Simone GW, Bernett HC. 1995. Diseases caused by bacteria and fungi .
Orchid Pests and Disease. p. 50-73.
Snijder RC, Cho HR, Hendriks MMWB, Lindhout P, van Tuyl JM. 2004. Genetic
variation in Zantedechia spp (Araceae) for resistance to soft rot caused by
Erwinia carotovora subsp. carotovora. Euphytica 135 : 119-128
32

Sobiczewski P. 2008. Bacterial diseases of plants : Epidemology. diagnostics &


control. Zembirbyrte-Agric 95 (3) : 151-157.
Suryana et al. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis anggrek. Badan
penelitian dan Pengambangan Pertanaian. Departemen Pertanian. Hal 18-28.
Soeranto H. 2005. Pemuliaan Tanaman dengan Teknik Mutasi. Puslitbang
Teknologi Isotop dan Iradiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional. 20 hal
Stange RN. 2003. Introduction to Plant Pathology. John Wiley & Sons Ltd. England..
p. 293-331.
Svetleva DL, Crino P. 2005. Effect of ethyl methanesulfonate (EMS) and N-nitrose-
N-ethyl urea (ENU) on callus growth of common bean. J Cent Eur Agric.
6(1): 59-64
Syahril et al. 2006. Transgenic Phalaenopsis plants with resistance to Erwinia
carotovora produced by introducing wasabi defensin gene using
Agrobacterium method. Plant Biotech 23 : 191-194
Tanaka R, Kamemoto H. 1961. Meiotic chromosome behaviour in some
intergeneric hybrids of the vandal alliance. Am J Bot. 48: 573-582
Tang CY, Chen WH. 2007. Breeding and development of new varieties in
Phalaenopsis. Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchids Biotechnology.
Singapore. p. 1-44
Toth IK, Bell KS, Holeva,MC, Birch, PRJ. 2003. Patogen profile. Soft rot erwiniae :
from genes to genomes. Mol Plant Pathol 4 (1): 17-30
Wi et al. 2007. Effects of gamma irradiation on morphological changes and
biological responses in plant. Micron 38: 553-564
Yap MN, Barak JD, Charkowski AO. 2004. Genomic diversity of Erwinia
carotovora subsp carotovora and its correlation with virulence. Appl Environ
Microbiol. 70 : 3013-302.

INDUKSI EMBRIOSOMATIK DARI EKSPLAN DAUN ANGGREK


Phalaenopsis sp L.

ABSTRAK

Embryogenesis somatik merupakan salah satu proses yang terjadi melalui regenerasi
pembentukan embrio dan melalui fase kalus. Penelitian ini dilakukan melalui fase
33

kalus yang diinisiasi dari eksplan daun pada lima macam media MS yang
dimodifikasi yaitu: ½ MS tanpa hormon ( MI-0); 1/2 MS yang berisi 1 mg.l-1 BA+
0.5 mg.l-1 2,4-D+ 1mg.l-1 NAA (MI-1); 1/3 MS berisi 2 mg.l-1 2,4-D (MI-2); 1/2 MS
diberi tambahan zat pengatur tumbuh 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.5 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1
thidiazuron ( MI-3); 1/2 MS berisi 2 mg.l-1 thidiazuron dan 1 mg.l-1 BAP (MI-4).
Setelah jaringan eksplan membengkak, eksplan ditempatkan pada medium 1/2 MS
ditambah dengan 0.2 mg.l-1 thidiazuron dan 0.5 mg.l-1 2,4-D (MP). Setelah dua bulan,
kalus dipindahkan pada media regenerasi 1/2 MS ditambah dengan 0.4 mg.l-1 BAP
dan 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa MI-1 dan MI-3
merupakan media yang terbaik untuk pembengkakan jaringan sebelum kalus
dipindahkan ke media MP dan MR. Kalus yang diprodiksi meningkat di setiap
subkultur, namun tingkat produksi kalus menurun pada subkultur berikutnya. Plantlet
dapat diregenerasikan dari embrio somatik yang berasal dari kalus yang dihasilkan
pada media MR.

Kata kunci: Induksi kalus, in vitro, Phalaenopsis, embriogenesis

EMBRYOSOMATIC INDUCTION FROM LEAF EXPLANT OF


PHALAENOPSIS sp. L

ABSTRACT
34

Somatic embryogenesis has been recoqnized as one of the process which occured
through regeneration by direct embryo formation and through an intermediary callus
phase. This research was conducted by an intermediary callus phase. The experiment
was inisiated with callus induction from leaf explant on five mediums MS
modification i.e :1/2MS without plant hormone (MI-0); 1/2 MS containing 1mg.l-1
BA + 0.5 mg.l-1 2,4-D + 1mg.l-1 NAA (MI-1);1/3 MS containing 2 mg.l-1 2,4-D
(MI-2); 1/2 MS supplemented with 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.5 mg.l-1 BAP +0.2 mg.l-1
thidiazuron (MI-3) ; 1/2 MS containing 2 mg.l-1 thidiazuron and 1 mg.l-1 BAP (MI-4).
After the tissues were swollen, the explants were placed on callus proliferation
medium ½ MS supplemented with 0.2 mg.l-1 thidiazuron and 0.5 mg.l-1 2,4-D (MP).
After two months, calli were regenerated in regeneration medium 1/2 MS
supplemented with 0.4 mg.l-1 BAP and 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). The results showed
that MI-1 and MI-3 are the best swelting explant mediums before the callus
produced in both MP and MR medium. Callus produced was increased in every
subculture. However, the level of calli production decrease on the following
subculture. Plantlets were regenerated from somatic embryos derived from calli on
MR medium.

Keywords : Calli induction, in vitro, Phalaenopsis, embryogenesis

PENDAHULUAN

Perbanyakan Phalaenopsis sp. L dapat dilakukan dengan cara perkecambahan


biji secara in vitro (Young et al. 2001), tetapi hasil yang diperoleh tidak seragam dan
menghasilkan warna bunga yang beragam. Untuk mengatasi masalah ini, produsen
Phalaenopsis memanfaatkan teknik kultur in vitro pada kultivar yang telah terpilih
dengan cara membentuk plb (protocorm like body) atau embrio somatik melalui
proses embriogenesis. Proses ini terkenal dengan sebutan ilmiah embriogenesis
somatik (Smith 2000). Beberapa teknik kultur jaringan yang telah dikembangkan
untuk pembentukan embrio somatik Phalaenopsis di antaranya termasuk kultur mata
tunas tangkai bunga (Kozir et al. 2004) maupun irisan daun (Sinha et al. 2007).
Meskipun telah banyak dilakukan penelitian mengenai pembentukan embrio somatik,
tetapi masih banyak dijumpai kesulitan. Beberapa metode dapat menghasilkan kalus
embrio somatik dalam volume besar, tetapi mengalami hambatan dalam regenerasi
tanamannya, sehingga pada kenyataannya penerapan teknik perbanyakan tersebut
belum mencapai efisiensi yang cukup tinggi (Young et al. 2001; Park et al. 2002).
Embriogenesis somatik pada beberapa eksplan tanaman dapat terjadi secara
langsung maupun tidak langsung atau dapat terjadi keduanya pada eksplan yang
sama. Naz et al. (2008) melakukan penelitian embriogenesis somatik pada kotiledon
35

muda dan kalus yang berasal dari daun kacang-kacangan. Pada penelitian ini
embriogenesis somatik terjadi secara bersama-sama, secara langsung maupun tidak
langsung. Beberapa peneliti lebih menyukai cara langsung pada tanaman Vinca
(Hashemloian et al. 2008), pada kopi arabika (Gatica et al. 2008), sereal (Eudes et al.
2003).
Kecepatan proses embriogenesis somatik dipengaruhi oleh dua faktor
pembatas yaitu inisiasi embrio somatik dan regenerasi tanaman. Keduanya
membutuhkan kondisi yang tepat termasuk komposisi media dan zat pengatur
tumbuh. Di era tahun 2000, protokol regenerasi tanaman Phalaenopsis direalisasikan
menggunakan medium ½ nutrisi Murashige and Skoog (MS) yang ditambahkan
thidiazuron 0-1 mg.l-1 dan 2,4-dichloropenoxyacetic acid (2,4-D) 0-10 mg.l-1,
sedangkan plb dapat dibentuk dari kalus tersebut pada medium 1/2 MS yang
ditambah thidiaruron saja sebanyak 0,1-1 mg.l-1 (Ying-Chun et al. 2000). Park et al.
(2002a) dan Chowdhury et al. (2003) juga melakukan perbanyakan cepat pada
Phalaenopsis menggunakan eksplan daun dari mata tunas tangkai bunga, tetapi media
yang digunakan lebih sederhana yaitu menggunakan ½ MS dan diberi tambahan BAP
dan NAA untuk inisiasi. Eksplan ujung akar juga dapat digunakan sebagai eksplan
pembentuk plb Phalaenopsis dengan media yang diberikan tambahan thidiazuron
(Chang 2007).
Pada penelitian ini, dipelajari beberapa media untuk menguji respon terhadap
inisiasi kalus, proliferasi kalus maupun regenerasi tanaman pada eksplan daun
Phalaenopsis yang diperoleh dari mata tunas tangkai bunga. Dari penelitian ini
diharapkan dapat diperoleh media inisiasi, proliferasi dan regenerasi yang optimal
untuk pengembangan Phalaenopsis, terkait dengan media yang digunakan. Selain itu
juga diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam
pengembangan teknik lain yang berhubungan dengan pengembangan Phalaenopsis
pada masa mendatang khususnya di Indonesia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Percobaan


Instalasi Penelitian Tanaman Hias Pasar Minggu Jakarta Selatan, Laboratorium
Biologi Sel Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Laboratorium Kultur
Jaringan Kebun Percobaan Instalasi Penelitian Tanaman Hias Cipanas, Cianjur-Jawa
Barat dari bulan Januari 2007-Januari 2008.
36

Materi penelitian menggunakan daun plantlet yang berasal dari mata tunas
tangkai beberapa klon hasil silangan Phalaenopsis yaitu, 377 (Phal. Golden
Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold), 642 ([Phal. Chih Sang’s Stripe/ Alfonso
Ibara/Matao Freed] x Phal. amboinensis) x Ever Spring Prince) dan SGN-PV2.11
(Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuch delight x Vanda lombokensis).
Materi didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung - Cianjur Jawa
Barat.

Induksi Pembentukan kalus

Induksi embriosomatik dengan eksplan irisan daun dari ketiga macam klon
Phalaenopsis diuji pada lima macam media inisiasi yaitu MI-0 hingga MI-4.
Komposisi media ditampilkan secara rinci pada Tabel 3. Media tersebut
menggunakan unsur makro dan mikro 1/3, 1/2 maupun penuh, vitamin penuh dari
media dasar MS, dan beberapa konsentrasi dan kombinasi zat pengatur tumbuh.

Tabel 3 Komposisi media inisiasi tanaman yang digunakan dalam penelitian.


Komponen media MS
MI-0 MI-1 MI-2 MI-3 MI-4
makro elemen penuh 1/2 1/3 1/2 1/2
Mikro elemen penuh 1/2 penuh 1/2 penuh
Na-FeEDTA penuh penuh penuh penuh penuh
Vitamin penuh penuh penuh penuh penuh
-1
Myoinositol (mg.l ) 100 100 100 100 100
2,4-D (mg.l-1) - 0.5 2 0.5 -
NAA (mg.l-1) - 1 - - -
BAP (mg.l-1) - 1 - 0.5 1
-1
TDZ (mg.l ) - - - 0.2 2
Pepton (g.l-1) - - - - -
Air kelapa (ml.l-1) - 75 75 75 75
Sukrosa (g.l-1) 20 20 20 20 20
Gelrite (g.l-1) 2.52 2.52 2.52 2.52 2.52
Charcoal (g.l-1) - - - - -
pH 5.7 5.7 5.7 5.7 5.7
Induksi kalus dilakukan di ruang gelap dengan suhu 25 °C. Mengingat
keterbatasan persediaan bahan eksplan, dalam percobaan ini setiap perlakuan berisi 5
botol (setiap botol = ulangan) dan setiap botol berisi 3 eksplan. Percobaan disusun
menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan faktor pertama ialah
klon dan kedua ialah jenis media inisiasi.
37

Peubah yang diamati dalam percobaan ini meliputi (1) persentase perubahan
warna eksplan (2) persentase eksplan hidup (3) persentase eksplan yang mampu
membentuk kalus. Pengamatan dilakukan setiap minggu hingga minggu ke enam.
Data yang terkumpul dianalisis menggunakan SAS Release Window 6.2. Jika
ditemukan perbedaan nyata antar perlakuan, maka perbedaan nyata antar nilai rerata
perlakuan diuji lanjut menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf
kepercayaan α 5%.

Proliferasi Kalus

Kalus pertama yang diperoleh dari proses induksi kalus dipindahkan ke media
MP dan MR agar dapat berproliferasi. Media MP mengandung 1/2 MS + 0.5 mg.l-1
2,4-D + 0.2 mg.l-1 thidiazuron + 2 g.l-1 pepton + 75 ml.l-1 air kelapa, sedangkan
media MR mengandung 1/2 MS + 0.2 mg.l-1 2,4-D + 0.4 mg.l-1 BAP + 2 g.l-1 pepton
+ 75 ml.l-1 air kelapa. Kedua media tersebut diberi tambahan arang aktif 1 g.l-1.
Media MI- 0 digunakan sebagai media kontrol. Kalus-kalus yang diperoleh
selanjutnya disubkultur 3 kali pada media yang sama dengan interval waktu 4 minggu
dan diinkubasikan di ruang terang dengan suhu 25 °C. Percobaan disusun dalam
Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan. Tiap perlakuan berisi 5 botol, masing-
masing botol berisi sekelompok kalus yang telah ditimbang terlebih dahulu.
Pengamatan dilakukan terhadap (1) persentase eksplan berkalus yang
berproliferasi (2) adanya kalus globuler (3) berat kalus setiap subkultur (4) persentase
perubahan berat kalus pada setiap subkultur.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA).
Perlakuan yang pengaruhnya nyata dianalisis lanjut dengan uji wilayah berganda
Duncan pada taraf kepercayaan α 5%.

Perkembangan Kalus dan Regenerasi Tanaman

Plb-plb yang telah terbentuk selama proses embriogenesis diuji secara


histologi untuk membuktikan perkembangan yang terjadi selama proses pembentukan
embrio. Uji histologi dilakukan pada jaringan kalus yang mengalami proses
embriogenesis. Jaringan didehidrasi menggunakan alkohol, pra parafinasi dan
parafinasi menggunakan alkohol-xylol dan xylol-parafin. Pewarnaan menggunakan
safranin dan alcian blue.
38

Plb yang
g telah dihaasilkan dari kketiga kali subkultur
s diuuji daya reg
generasinya
men
nggunakan media
m MR hingga terbbentuk planttlet. Pada ppercobaan in
ni masing-
massing klon diiregenerasi sebanyak
s 100 gerombol plb
p dalam 110 botol kulltur dengan
ulan
ngan 3 kali, dalam
d rancaangan acak leengkap.
Peubah yang diamaati adalah (1) jumlah callon tunas tiaap geromboll kalus dan
(2) jumlah tun
nas tiap gero
ombol kaluss. Pengamattan dilakukaan setelah 16
1 minggu
dalaam media reegenerasi. Data
D yang dipperoleh diannalisis mengggunakan an
nalisis sidik
ragaam (ANOVA
A). Perlaku
uan yang peengaruhnya nyata
n dianallisis lanjut dengan uji
wilaayah bergand
da Duncan pada
p taraf keepercayaan α 5%.

H
HASIL DAN
N PEMBAH
HASAN

Ind
duksi Pembeentukan Kaalus
Seperti pada
p tanamaan lainnya, pproses embriiosomatik paada Phalaenoopsis dapat
dilaakukan secaara tidak langsung melalui tahhapan pem
mbentukan kalus
k dan
mem
mbutuhkan zat pengattur tumbuhh spesifik (Arnold
( et al. 2002). Tahapan
pem
mbentukan kalus
k diawalii dengan iniisiasi kalus dari eksplann. Dalam pennelitian ini
inisiasi dilakukaan menggunnakan eksplann daun Phallaenopsis yanng berasal dari
d biji.

Gam
mbar 5 Perseentase perubbahan eksplan dari irisan
n daun Phalaaenopsis mennjadi hitam
beberapa minggu seetelah tanam m pada mediaa MI-0, MI-1, MI-2, MI-3 dan MI-
4.
Keberhaasilan inisiassi awal padaa kalus Phallaenopsis yaang ditunjukkkan dalam
gam
mbar 5 sanggat rendah. Hal
H ini dipeengaruhi komposisi media. Pengam
matan pada
keliima media innisiasi MI-00 hingga MI--4 pada irissan daun terrnyata diketaahui bahwa
ekspplan tidak langsung meembentuk kaalus, tetapi di dahului ddengan pem
mbengkakan
jarinngan daun meskipun
m tidak semua ekksplan meng
galami hal terrsebut. Menuurut Gill et
al. (2004), pem
mbengkakann eksplan m
merupakan pemanjangann sel yang disebabkan
d
39

adanya 2,4-D. Meskipun beberapa media yang digunakan mengandung 2,4-D, tidak
semua media memberikan dampak yang sama pada irisan daun. Media yang
memberikan respon pembengkakan hanya media yang mengandung 0.5 mg.l-1 2,4-D.
Pada umumnya daun yang diiris masih berwarna hijau hingga 6 minggu
setelah tanam dan inkubasi di ruang gelap. Lambat laun eksplan berubah warna
menjadi kuning kecoklatan dan kemudian menghitam. Gambar 5 menunjukkan
persentase eksplan yang berubah hitam semakin besar pada semua media yang
digunakan dengan bertambahnya waktu. Media MI-3, pada 6 MST menunjukkan
persentase eksplan yang masih hijau paling tinggi yaitu lebih dari 20%.

Tabel 4 Pengaruh komposisi media inisiasi terhadap perubahan eksplan daun


dari klon 377, klon 642 dan klon SGN-PV2.11 pada 12 MST (minggu
setelah tanam)
% Eksplan
Medium Jumlah Eksplan % Eksplan Hidup
Membentuk Kalus
Klon 377
MI-0 15 00.0 00.0 b
MI-1 15 53.3 33.3 a
MI-2 15 26.7 13.3 b
MI-3 15 40.0 33.3 a
MI-4 15 33.33
13.3 b
Klon 642
MI-0 15 00.0 00.0 b
MI-1 15 33.3 00.0 b
MI-2 15 13.3 00.0 b
MI-3 15 53.3 40.0 a
MI-4 15 26.7 00.0 b
Klon SGN-PV2.11
MI-0 15 00.0 00.0 b
MI-1 15 40.0 40.0 a
MI-2 15 33.3 6.7 b
MI-3 15 46.7 40.0 a
MI-4 15 33.3 6.7 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%.

Persentase pembentukan kalus tertinggi sebesar 40% terbentuk dari media


Perubahan warna atau kesegaran eksplan tidak menjadi tanda bahwa eksplan yang
kecoklatan tidak mampu membentuk kalus. Pada kenyataannya eksplan yang berubah
coklat muda beberapa masih mampu membentuk kalus seperti terlihat pada Gambar
6a. Kalus-kalus globular yang berwarna transparan tumbuh di sela-sela irisan eksplan
40

(Gb 6b). Eksplan yang berubah warna dari hijau menjadi coklat tidak mengalami
pencoklatan karena komponen fenolik yang timbul pada bekas pelukaan.
Tabel 4 menunjukkan bahwa respon ketiga genotip yang digunakan dalam
pembentukan kalus berbeda-beda. Persentase pembentukan kalus tertinggi sebesar
40% terbentuk pada media MI-3 pada klon 642, media MI-1dan MI-3 pada SGN-
PV2.11. Setelah itu diikuti oleh klon 377 pada media yang sama sebesar 33.3%.
Media tersebut merupakan media yang sesuai untuk pembentukan kalus. Hal ini
karena media MI-1 dan MI-3 mengandung kombinasi zat pengatur tumbuh yang
sesuai antara auksin dan sitokinin. Kesesuaian ini mampu mendorong terbentuknya
kalus. Media MI-2 yang mengandung auksin saja dan MI-4 yang mengandung
kombinasi sitokinin saja tidak mampu menstimulasi terbentuknya kalus. Berdasarkan
penelitian terdahulu, pengaruh thidiazuron sangat penting untuk proses morfogenesis
in vitro ataupun embriogenesis somatik karena potensinya sebagai bioregulan.
Thidiazuron yang digunakan tanpa kombinasi zat pengatur tumbuh yang lain,
pengaruhnya akan berbeda (Jiang et al. 2005).

a b

c d

Gambar 6 (a) dan (b) Inisiasi kalus dari irisan eksplan daun yang membengkak dan
berkalus membentuk proembrio (c) plb (d) regenerasi tanaman dari plb.
Proliferasi kalus

Hasil pengamatan pada percobaan proliferasi menunjukkan bahwa


perkembangan kalus yang diperoleh dari proses inisiasi memiliki respon yang
41

beragam terhadap medium proliferasi. Dalam proses proliferasi kalus, kalus


membentuk kalus globuler yaitu kalus yang permukaannya membentuk bulatan-
bulatan mengkilap, atau kalus non globuler yaitu kalus yang permukaannya rata atau
bergerigi halus.

Tabel 5 Pengaruh komposisi media terhadap pembentukan kalus klon Phalaenopsis


377, 642 dan SGN-PV2.11 pada 12 MST (minggu setelah tanam)
Jumlah Total Jenis Kalus
Rata-rata Berat
Eksplan Non
Medium Kalus
Kalus Globuler Globuler
(mg)
Berproliferasi Hijau Pucat
Klon 377
MI-0 5 0/- 5/- 157.6 d
MP 16 2/++ 14/+ 371.3 c
MR 5 2/++ 3/+ 365.8 c
Klon 642
MI-0 5 0/- 0/- 00.0 e
MP 9 2/+ 7/+ 223.6 d
MR 17 4/++ 13/+++ 1012.9 a
Klon SGN-
PV2.11
MI-0 4 0/- 4/- 148.9 d
MP 37 12/++ 25/+++ 939.1 b
MR 14 4/++ 10/+++ 3
1001.5a
Keterangan : Setiap satu tanda (+) merupakan volume kalus ± 1 cm . Setiap satu
tanda (-) mewakili volume 0.5 cm3. Angka di depan garis miring menyatakan
jumlah total kalus. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%.

Tabel 6 Pengaruh komposisi media MP dan MR terhadap proliferasi kalus


Berat Kalus (gr)
Media Subkultur I Subkultur II Subkultur III
MP 2.5a 5.1a 9.1a
MR 3.3a 5.4a 7.4a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%.
MP (1/2MS + 0,5 mg.l-1 2,4-D + 0,2 mg.l-1 thidiazuron) dan MR
(1/2MS + 0,2 mg.l-1 2,4-D + 0,4 mg.l-1 BAP).

Tabel 5 menunjukkan hasil percobaan proliferasi kalus pada 3 klon


Phalaenopsis. Ketiga klon 377, 642 dan SGN-PV2.11 menghasilkan volume kalus
globuler yang sama pada media MR yaitu yang dinyatakan sebagai ++ yang artinya
volume sebesar 2 cm2. Klon SGN-PV2.11 menghasilkan volume kalus non globuler
terbanyak baik pada media MP maupun MR. Media MR juga mendukung
terbentuknya kalus dengan rata-rata berat lebih dari 1 gram pada klon 642 dan SGN-
42

2.11, semenntara pada klon 377 pembentuk


PV2 kan kalus lebih terhaambat bila
dibaandingkan dengan
d klon 642
6 dan SGN
N-PV2.11.
Rata-ratta produksi kalus
k dalam
m tiga kali suubkultur denngan intervall 4 minggu
men
ncapai 9.1 g pada mediaa MP dan 7.4 g pada meedia MR. Appabila dilihaat dari berat
kalu
us, media MP
M untuk prooliferasi lebihh baik dari pada
p media untuk regennerasi kalus
yaittu MR. Hal ini terlihat dari analisiis ragam terrnyata tidakk ada beda nyata
n pada
ked
dua media teersebut (Tab
bel 6). Jadi untuk
u prolifferasi kalus, kedua meddia tersebut
dapat digunakaan. Ditinjauu dari peninngkatan prooduksi kaluss pada masiing-masing
subkkultur (Gb 7),
7 peningkaatan produkssi kalus padaa subkultur I ke subkulttur II lebih
besaar dari padaa subkultur ke II ke suubkultur IIII. Hal ini dapat
d dikatakkan bahwa
kem
mampuan pro
oduksi kalus semakin meenurun padaa subkultur berikutnya.
b
Pengaruuh media MP
M dan MR
R terhadap pembentukan
p n kalus terjjadi akibat
konntribusi komb
binasi zat peengatur tumbbuh TDZ deengan 2.4-D atau BAP dengan
d 2.4-
D yang seim
mbang unttuk pembeelahan sel. Akibat aakumulasi zaat pengatur
mbuh tersebuut akan menuurunkan atauu menghambbat pembelahhan sel olehh karena itu
tum
sem mpuan sel unntuk membelah. Chang
makin sering disubkultur semakin renndah kemam
& Chang
C (2000
0) menyatak
kan bahwa T
TDZ yang teerakumulasi menjadi san
ngat tinggi
konnsentrasinya mampu meenghambat ppembelahan sel. Tidhiazzuron yang merupakan
m
deriivat phenylu
urea diketahu
ui lebih aktiif menstimuulasi pembenntukan tunass dari pada
kalu
us (Park et al.
a 2002b; Jiang et al. 20005).

Gammbar 7 Penaambahan berrat kalus daari subkulturr (SK)I hinggga ke III pada
p media
-1 -1
MP (1/22MS + 0,5 mg.l
m 2,4-D + 0,2 mg.l thidiazuron)
t ) dan MR (1//2MS + 0,2
mg.l-1 2,,4-D + 0,4 mg.l
m -1 BAP).
Perrkembangan n Kalus dan n Regenerassi tanaman

Pada penelitian ini, proses embriosomatik telah


t tercapaai menggunaakan media
R yang meng
MR AP 0.4 mg.l-1 dan 2.4-D 0.2 mg.l-1. BAP pada konsentrasi
gandung BA k
43

tersebut mampu menginduksi sel-sel untuk melewati proses embriosomatik seperti


bentuk globuler, torpedo dan bentuk hati yang akhirnya membentuk kotiledon calon
tunas dan akar (Gambar 9a-d). Auksin 2.4-D umumnya digunakan untuk
menginduksi kalus, tetapi dalam bentuk kombinasi dengan BAP mampu
menginduksi embriosomatik. Pada penelitian semacam yang dilakukan oleh Ishii et
al. (1998) kombinasi BAP dan 2.4-D telah digunakan untuk menginduksi
embriosomatik pada Phalaenopsis dengan konsentrasi 0.1-1 mg.l-1.
Hasil percobaan regenerasi tanaman yang dipaparkan pada Tabel 7
memperlihatkan bahwa selama proses regenerasi, kecepatan pembentukan organ di
antara ketiga klon berbeda, pada saat yang sama sudah terbentuk tunas juga masih
terdapat kalus globuler atau embriosomatik (Gambar 9d dan 9e). Kemampuan
membentuk embrisomatik maupun tunas pada media yang diberi tambahan dengan
BAP dan 2.4-D juga berbeda. Pada umur 4 MST hingga 12 MST, pembentukan
embrio semakin banyak dan pembentukan tunas semakin banyak pula.

Tabel 7 Daya pembentukan embriosomatik dan tunas klon SGN-PV2.11, klon 377
dan klon 642 pada media MR pada setiap gerombol kalus yang diamati
setiap 4 minggu selama 12 MST
4 MST 8 MST 12 MST
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Klon Jumlah Jumlah Jumlah
Kalus Embrio Embrio Embrio
Tunas Tunas Tunas
somatik somatik somatik
SGN-PV2.11 30 17 a 3c 20 a 8c 25 a 18 b
377 30 12 bc 7b 17 b 15 a 19 b 22 a
642 30 16 ab 10 a 19 a 12 b 22 ab 15 bc
Keterangan: MST (minggu setelah tanam); Angka yang diikuti oleh huruf yang sama
pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf
α 5%.

Jumlah embriosomatik yang berdiferensiasi menjadi tunas semakin


banyak, tetapi jumlah embriosomatik tetap meningkat. Hal ini disebabkan karena
sebagian kalus embriogenik masih dapat membentuk kalus embriogenik kembali
dan berdiferensiasi menjadi tunas. Pada 12 MST pembentukan embriosomatik
terbanyak didapatkan pada klon SGN-PV2.11 sebanyak 25 embriosomatik setiap
kalus. Pembentukan tunas terbanyak diperoleh pada klon 377 sebanyak 22 tunas,
disusul oleh SGN-PV2.11 kemudian 642. Secara visual ketiga klon memiliki
penampilan dan karakter berbeda (Gambar 10).
Klon 377 memiliki lembar daun paling runcing bila dibandingkan dengan
44

yanng lain dan


n lebih lambbat respon rregenerasinyya dibandinggkan dengann SGN-
PV
V2.11 yang merespon leebih cepat. Perbedaan postur
p man seperti terlihat
tanam
padda gambar 9 tersebut buukan merupaakan pengaru
uh dari mediia tetapi merrupakan
penngaruh hasill persilangann.

a b

c d

Gam
mbar 8 Prosses embriogeenesis somaatik pada kaalus Phalaennopsis sp L..(a) bentuk
globulerr dan jaringaan kalus sekiitarnya (b) bentuk
b torpedo (c) calonn kotiledon,
primorddial tunas dann akar (d) teelah memben ntuk daun.

Gambarr 9 Penampillan plantlet hasil


h regenerrasi tanamann pada klon 642.
6
Klon 377 dan klon S SGN-PV2.111.

Pengaruuh media MR terhadap regenerasi tanaman


t didduga berkaittan dengan
kan
ndungan dan konsentrasii benzylamiinopurin (BA
AP) dan 2.4--dichloropennoxy-acetic
acidd (2.4-D) yaang cukup sesuai
s Konsentrasi 0.4 mg.l-1
untukk ketiga klonn tersebut. K
P dan 0.2 mg.l-1 2.4-D
BAP D merupakaan kombinaasi yang teppat dan efeektif untuk
45

menginduksi regenerasi tunas pada Phalaenopsis seperti yang dinyatakan oleh


Chowdhury et al. (2003).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sbb:


1. Embrio somatik dapat diinduksi dari ekisplan daun melalui tahapan inisiasi
kalus dan proliferasi kalus.
2. Media MI-3 yang mengandung thidiazuron 0.1 mg.l-1 dan 10 mg.l-1 2.4-D
merupakan media yang paling baik untuk menginisiasi kalus.
3. Media MP yang mengandung 1/2 MS + 0.2 mg.l-1 Thidiazuron + 0.5 mg.l-1
2.4-D merupakan media untuk proliferasi kalus.
4. Media MR yang mengandung 1/2 MS + 0.4 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1 2.4-D)
sesuai untuk meregenerasikan kalus menjadi tanaman utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold SV, Sabali I, Bozhlov P, Dyachok J, Filonova L. 2004. Developmental


pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue Organ Cult 69: 233-
249
Chang WC. 2007. In vitro morphogenesis and micropropagation of orchids. Di dalam
Chen WH, Chen HH. Editor. Orchids Biotechnology. New Jersey. London.
Singapore. p. 45-64
Chang C, Chang W. 2000. Effect thidiazuron on bud development of Cymbidium
sinensis Wild in vitro. Plant Growth Reg. 30: 171-175
Chowdhury I, Abu Reza MD, Rahman M, Islam O, Matsui S. 2003. Effect of plant
growhregulation on callus proliferation . plantlet regeneration and Growth
of plantlets of Doritaenopsis Orchid. Biotechnology. Vol 2.no 3: 214-221.
Eudes F, Acharya S, Laroche A, Selinger LB, Cheng KJ. 2003. A novel method to
induce direct somatic embryogenesis. secondary embryogenesis and
regeneration of fertile green cereal plants. Plant Cell. Tissue Organ Cult 73:
147-157.
Gatica AM, Arrieta G, Espinoza AM. 2008. Direct somatic embryogenesis in Coffea
Arabica L cvs Caturra & Catuai : Effect of triacontanol. light condition and
medium consistency. Agronomia Costaricense 32 (1): 139-147
Gill NK, Gill R, Gisal SS. 2004. Factors enhancing somatic embryogenesis and plant
regeneration in sugaecane (Saccharum officinarum L). Indian J. Biochem. Vol
3 : 119-123
Hashemloian BD, Azimi AA, Majid A, Ebrahimzadeh H. 2008. Abnormal plantlets
regeneration through direct somatic embryogenesis on immature seeds of
Vinca herbacea Waldst & Kit. African J. Biotech. Vol 7(11): 179-183
46

Ishii Y, Takamura T, Goi M, Tanaka M. 1998. Callus induction and somatic


embryogenesis of Phalaenopsis. Plant Cell Rep 17: 446-450
Jiang B, Yang Y, Guo M, Guo Z, Chen Y. 2005. Thidiazuron-induced in vitro shoot
organogenesis of the medicinal plant Arnebia eichroma (Royle) Johnst. In
vitro Cell & Dev. Biol-Plant 41: 677-681
Kozir P, Skof S, Luthan Z. 2004. Direct shoot regeneration from nodes of
Phalaenopsis Orchids. Acta Agric Slovenica 82: 233-242
Naz S, Ali A, Siddique FA, Iqbal J. 2008. Somatic embryogenesis from immature
cotyledone & leaf calli of chicpea (Cicer arietinum L). Pak. J. Bot. 40 (2):
523-531
Park SY, Yeung EC, Chakrabarty D, Paek KY. 2002a. An efficient direct induction
of protocorm like bodies from leaf subepidermal cells of Doritaenopsis hybrid
using thin-section culture. Plant Cell Rep 21: 46-51
Park SY, Murthy HN, Paek YK. 2002b. Rapid propagation of Phalaenopsis from
floral stalk.-derived leaves. In vitro Cell Dev Biol Plant 38: 168-172
Sinha P, Hakim ML, Alam MF. 2007. Efficient micropropagation of Phalaenopsis
amabilis (L) BL cv Cool Breeze using inflorescence axis thin sections as
explants. Propagation of Ornamentals plants Vol 7 (1) : 9-15
Smith RH. 2000. Plant Tissue Culture: Techniques and Experiments. Second
Edition. Academic Press. Diego. San Fransisco. New York. Boston Sydney.
Tokyo.p.111
Chang YC, Chen C, Chang WC. 2000. A reliable culture of protocol for plant
regeration from callus Phalaenopsis. In Vitro Cell Dev Biol Plant. Vol 36 (5):
420-423
Young PS, Murthy HN, Yeuep PK. 2001. Mass multiplication of protocorm-like
bodies using bioreactor system and subsequent plant regeneration in
Phalaenopsis. Plant Cell Tisue Organ Cult 63: 67-72.

INDUKSI VARIAN SOMAKLON PADA KALUS PHALAENOPSIS


MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA

ABSTRAK
47

Penelitian ini bertujuan (1) menginduksi variasi somaklonal dari kalus


melalui teknik mutagenesis dengan menggunakan iradiasi sinar gamma, (2)
meregenerasikan generasi M1V4, dan (3) mengevaluasi tipe dan frekuensi fenotip di
antara varian teregenerasi. Kalus diinisiasi menggunakan media 1/2 MS yang diberi
tambahan 0.2 mg.l-1 tidhiazuron dan 0.5 mg.l-1 2,4-D (MI) dan diregnerasikan dengan
media 1/2 MS dengan zat pengatur tumbuh with 0.4 mg.l-1 BAP and 0.2 mg.l-1 2,4-D
(MR). Kalus diradiasi dengan sinar gamma dengan dosis 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70
Gy untuk menentukan dosis besarnya LD50. Berdasarkan LD50 tersebut, dosis iradiasi
yang digunakan untuk merangsang terbentuknya varian ialah 2.5; 5; 10; 15; 20 Gy.
Perkiraan LD50 ditentukan menggunakan CurveFit 1.3. LD50 dari Klon SGN-PV2.11
sebesar 16.2 Gy, selanjutnya 377 adalah sekitar 22 Gy dan klon 642 ialah sekitar 15.3
Gy. Dosis iradiasi yang dapat meningkatkan kecepatan regenerasi tunas pada klon
377 ialah 20 Gy, klon 642 adalah 15 Gy dan klon SGN-PV2.11 ialah 2.5 dan 5 Gy.
Variasi fenotip dari 3 klon terdiri atas 6 macam morfologi termasuk fenotip normal.
Frekuensi variasi fenotip dari ketiga klon tersebut sebesar 0.4-6.8%.

Kata Kunci: Phalaenopsis, kalus, induksi varian somaklon, sinar gamma, LD50

VARIANT SOMACLONE INDUCTION OF PHALAENOPSIS USING


GAMMA RAY RADIATION

ABSTRACT
48

The objectives of this research were to (1) induced somaclonal variation of callus
through mutagenesis technique using gamma ray irradiation, (2) regenerated M1V1
plantlets variant, (3) evaluate type and frequencies of fenotypic variance among
regenerated plantlets. Callus was induced on medium 1/2 MS supplemented with 0.2
mg.l-1 tidhiazuron and 0.5 mg.l-1 2,4-D (MI) and regenerated with 1/2 MS
supplemented with 0.4 mg.l-1 BAP and 0.2 mg.l-1 2,4-D (MR). Calli were irradiated
with 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 Gy to determinate LD50 of clones. Based on the
recommended LD50, the dosage to obtain variants was 2.5; 5; 10; 15; 20 GY. The
approximate LD50 of SGN-PV2.11 as determined by CurveFit 1.3 is 16.2 Gy, clone
377 is 22 Gy and 642 was 15.3 Gy. Certain irradiation doses were caused increasing
rate of shoot number ie clones 377 was 20 Gy, clones 642 was 15 Gy, SGN-PV2.11
was 2,5 and 5 Gy. Optimum quantitative characters rates could be detect on 5 Gy.
Fenotipe variation of 3 clones were aproven from 6 morphologies characters
included normal character. Fenotype variation frequency of three clones were around
0.4- 6.8%.

Key words : Phalaenopsis, callus, variant somaclonal induction, gamma ray,


LD50

PENDAHULUAN

Dalam industri florikultura, selalu ada permintaan varietas baru dan novelty.
Pemuliaan mutasi merupakan metode yang dapat diandalkan untuk memperoleh
varitas-varitas mutan dengan bentuk, corak, dan warna baru (Datta et al. 2005).
Secara konvensional, mutasi dapat diinduksi dari bagian tanaman yang diberi
mutagen. Mutan akan dihasilkan dari kimera yang terbentuk setelah diberikan
mutagen tersebut, dan dilakukan seleksi diplontik dalam beberapa generasi (Çağirgan
2009). Metode mutagenesis in vitro merupakan metode cepat yang dapat
menghasilkan mutan-mutan berkarakter tertentu. Salah satu mutagen yang dapat
digunakan ialah mutagen fisik iradiasi sinar gamma (Seneviratne & Wijesundara
2007; Sheela et al. 2006).
Sinar gamma memiliki kemampuan lebih baik dari pada sinar yang lain
seperti proton, neutron, sinar alfa, sinar beta, atau sinar X (Predieri & Vrigillio 2007).
Kemampuan mengion dari sinar gamma lebih berenergi di antara radiasi
elektromagnetik yang lain (Kovacs & Keresztes 2002). Iradiasi pengion terutama
sinar gamma telah terbukti keberhasilannya secara luas untuk menginduksi
keragaman genetik (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Bahan mutagen fisik ini
dapat melepas energi (ionisasi), segera setelah melewati atau menembus materi.
Proses ionisasi akan terjadi dalam jaringan sehingga menyebabkan perubahan pada
tingkat sel, genom, kromosom dan DNA atau gen. Perubahan yang terjadi secara
49

mendadak pada tingkat genom, kromosom dan DNA atau gen seringkali bersifat
permanen dan diwariskan ke generasi berikutnya (Soeranto 2005). Sifat-sifat iradiasi
pengion inilah yang dimanfaatkan dalam pengembangan tanaman. Perubahan hasil
muatgenesis ini biasanya hanya pada beberapa sifat saja.
Efek biologikal sinar gamma berdasarkan interaksi atom atau molekul dalam
sel, khususnya air, mnghasilkan radikal bebas (Kovacs & Keresztes 2002), radikal ini
memodifikasi komponen penting dalam sel tanaman sehingga mempengaruhi
morfologi, anatomi, biokimia dan fisiologi tanaman tergantung dosis iradiasi yang
digunakan (Ashraf et al. 2003). Efek ini termasuk perubahan struktur seluler tanaman
dan metabolisme seperti hilangnya membran thylakoid, perubahan fotosintesis,
akumulasi komponen fenolik (Kim et al. 2004; Ashraf 2009).
Metode iradiasi dapat dikombinasikan dengan teknik in vitro yaitu teknik
keragaman somaklonal melalui pembentukan kalus, proliferasi dan regenerasi
tanaman. Teknik ini banyak diaplikasikan untuk memperoleh sifat-sifat unggul
tanaman. Beberapa penelitian induksi mutasi menggunakan penyinaran dengan sinar
gamma yang telah dilakukan antara lain yaitu pada tanaman pangan seperti tanaman
tebu tahan penyakit (Somad et al. 2001), kentang tahan penyakit (Gossal et al.
2001), jagung (Viccini & Carvalho 2002) dan tanaman hortikultura seperti apokat
(Witjaksono & Litz 2004), pisang (Rayes-Borja et al. 2007) dan juga tanaman hias
Helianthus (Encheva et al. 2004), Torenia (Miyazaki et al. 2006), Krisan (Datta et
al. 2005) dan juga tanaman angrek Dendrobium (Piluek and Lamseejan 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengamati radiosensitivitas pada kalus
klon SGN-PV2.11, klon 642 dan klon 377 setelah pemberian berbagai dosis iradiasi
sinar gamma, (2) menentukan LD50 kalus Phalaenopsis ketiga klon terhadap iradiasi
sinar gamma, untuk menetukan dosis yang tepat, (3) melakukan regenerasi tanaman
dari kalus hasil iradiasi untuk menghasilkan varian dan membentuk generasi mutan
solid M1V4 (4) melakukan evaluasi fenotip mutan hasil iradiasi secara morfologi
dan secara kualitas dengan analisis isoenzim.

BAHAN DAN METODE

Induksi varian dengan iradiasi sinar gamma

Kalus klon SGN–PV2.11, 377 dan 642 hasil inisiasi in vitro masing-masing
sebanyak 80 berukuran kira-kira satu sentimeter, diletakkan di dalam 80 botol kultur
50

jaringan. Iradiasi dilakukan di Pusat Pelelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop


dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pasar Jum’at Jakarta, dengan
menggunakan sinar Gamma dari ionisasi Cobalt60 melalui alat irradiator gamma
chamber 4000A tipe Irpasena, dengan satu seri dosis akut yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50,
60, 70 Gy. Iradiasi dilakukan setiap dosis masing-masing 10 botol. Setelah diradiasi,
kalus segera dikeluarkan dan dipindahkan pada media regenerasi yang mengandung
zat pengatur tumbuh serta diinkubasikan di ruang terang bersuhu 25 °C.
Pengamatan pada kalus dilakukan mulai satu minggu setelah iradiasi.
Pengamatan dilakukan pada jumlah kematian kalus yang telah diradiasi tersebut
untuk menentukan LD50. LD50 ditentukan dengan cara menghitung dosis yang
menyebabkan 50% kalus mati dengan menggunakan program CurveFit 1.3. Setelah
diperoleh LD50 dari percobaan tersebut di atas, dilakukan kembali iradiasi dengan
dosis sesuai LD50 tersebut. Untuk mendapatkan varian somaklonal diradiasi kalus
dengan dosis 0; 2,5; 5; 10; 15 dan 20 Gy. Pengamatan dilakukan terhadap persentase
kalus yang bertahan hidup, jumlah kalus yang mampu beregenerasi menjadi tanaman

Daya regenerasi tanaman pasca iradiasi sinar gamma

Kalus klon SGN-PV2, 642 dan 377 yang hidup setelah iradiasi sinar gamma
dosis 0, 2.5G ; 5G; 10 G; 15 G (SGN-PV2.11), 15 G (642) dan 20 G (377)
diregenerasikan pada media regenerasi MR yaitu ½ MS yang diberi tambahan BAP
0,4 mg.l-1, 2,4-D 0,2 mg.l-1 serta 75 ml.l-1 air kelapa dan pepton 2 g.l-1. Selanjutnya
plantlet diperbesar pada media MR1 yang mengandung BAP 0.5 mg.l-1 dan 2 g.l-1
pepton. Perlakuan diaplikasikan pada setiap klon berjumlah 15 botol, masing-masing
botol berisi 1 gerombol kalus. Pengamatan dilakukan terhadap persentase kalus
mampu membentuk plantlet, dan jumlah plantlet.

Pembentukan generasi M1V4 melalui embriogenesis langsung

Varian-varian klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang diperoleh dari induksi
variasi somaklonal menggunakan iradiasi dimultiplikasikan dengan cara menanam
irisan daun masing-masing varian pada media organogenesis. Irisan daun plantlet
tersebut ditanam pada beberapa media antara lain ELl (1/2 MS + 0,2 mg.l-1 TDZ + 1
mg.l-1 IAA), EL2 (1/2 MS + 0,2 mg.1-1 TDZ + 0,2 mg.l-1 IAA), EL3 (1/2 MS + 3,5
mg.1-1 TDZ + 1 mg.l-1 IAA). Plb yang diperoleh dari eksplan daun, diperbanyak
dalam 3 kali subkultur sebelum akhirnya diregenerasikan menjadi plantlet.
51

Multiplikasi dilakukan sebanyak paling sedikit 4 kali atau hingga diperoleh M1V4
bertujuan agar diperoleh mutan yang benar-benar solid, karena dengan proses
multiplikasi tersebut akan terjadi proses seleksi diplontik. Media MR digunakan
untuk meregenerasikan plb menjadi plantlet.

Keragaman fenotipik plantlet akibat iradiasi sinar gamma

Plantlet hasil regenerasi M1V4 diamati berdasarkan perbedaan morfologi


dengan tanaman standar mengenai karakter kualitatif seperti warna dan bentuk daun
serta analisis pita isoenzim. Selain itu karakter kuantitatif secara agronomi mengenai
pertumbuhan plantlet seperti jumlah daun, panjang dan lebar daun, jumlah akar,
panjang akar dan diameter akar yang diamati setelah 16 MST.
Analisis isoenzim diawali dahulu dengan identifikasi enzim-enzim spesifik
yang dapat terdeteksi pada varian somaklonal. Kemudian setelah diketahui beberapa
enzim spesifik tanaman tersebut, varian tahan dideteksi menggunakan enzim spesifik
tersebut, untuk mencirikan mutan yang diperoleh. Analisis isoenzim dilakukan
menggunakan elektrophoresis gel starch dengan metode Solties (1992). Beberapa
tahapan yang harus dilakukan adalah pembuatan larutan buffer pengekstrak yang
dilakukan dengan mencampur larutan l0 mM L-ascorbat 0,07 gram, 40 mM L-sistein
0.1939 gram, Triton X-100 0.12 ml, PVP-40 sebanyak 0,25 gram dan 0.1M
Na2HPO4. 2H20 dan ditambahkan akuades sampai 100 ml pada pH 7,0. Pembuatan
larutan buffer gel yang terdiri dari 5mM L-Histidin monohidrat 1,040 gram yang
dilarutkan dalam akuades sampai volume dengan pH 6.0. Pembuatan larutan buffer
elektroda, 50 mM asam sitrat monohidrat 10.55 gram dan 150 mM tris hidroksimetil
aminometan 18.16 gram dilarutkan dalam akuades sampai dengan pH 6.0.
Selanjutnya pembuatan gel pati, pati dicampur dengan sepertiga bagian buffer gel dan
dua pertiga bagian lagi dimasak lebih dahulu hingga mendidih. Setelah matang
diangkat lalu dicampurkan dengan campuran pati, kemudian dimasak lagi hingga
kelihatan bening. Selanjutnya divakum hingga gelembung udara dalam gel habis. Gel
secepatnya dituang pada cetakan yang sebelumnya telah diolesi parafin cair dan
lubang pada kaki cetakan ditutup dengan perekat. Setelah gel dingin, ditutup dengan
plastik yang telah diolesi dengan parafin. Gel bisa disimpan pada suhu 5-10 °C.
Pelaksanaan analisis isoenzim dilakukan pada daun segar dari sampel yang
digunakan sebanyak 100-200 mg, dihaluskan dengan terlebih dahulu memberikan
buffer ekstrak sebanyak 0.5 ml, lalu digerus hingga halus. Cairan daun gerusan
52

diserap dengan kertas saring yang telah dipotong secukupnya, Selanjutnya kertas
yang telah menyerap sel daun tersebut disisipkan pada gel yang telah dilubangi.
Cetakan yang telah disisipkan kertas saring yang berisi contoh cairan daun
dimasukkan dalam kotak plastik yang berisi buffer elektroda. Kaki cetakan hams
terendam dalam buffer elektroda lalu diletakkan dalam ruangan es pada suhu 5-10 °C.
Selanjutnya dialiri listrik 100 Volt 30 menit dan dilanjutkan 3-4 jam pada 150 Volt.
Untuk mengontrol karak migrasi molekul, disalah satu sisinya diberi penanda
Bromofenol blue. Setelah selesai pengaliran listrik, gel dibelah menjadi dua atau tiga
(sesuai ketebalannya) pada posisi horisontal di atas alat pemotong. Sebelumnya
kertas saring dikeluarkan dari lubang-lubangnya. Lembaran gel dimasukkan ke dalam
nampan kemudian diberi pewarna yang masing-masing telah disiapkan. Setelah itu
kotak plastik ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi pada suhu ruang sampai
muncul pita-pita pada gel. Perendaman ini dilakukan 1-2 jam tergantung jenis enzim.
Gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian potongan gel yang telah
terlihat pita-pitanya dapat difiksasi dengan 50% etanol yaitu etanol: akuades: asam
asetat:gliserol = 5:4:2:1. Pengamatan segera dilakukan setelah pencucian dan
hasilnya dapat diabadikan dengan kamera.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Induksi Variasi Somaklonal dengan Iradiasi Sinar Gamma pada Kalus


Phalaenopsis
Langkah utama dalam pemberian perlakuan mutagenik adalah estimasi dosis
yang cocok untuk induksi mutasi. Metode yang tepat untuk penentuan dosis iradiasi
pada suatu tanaman telah dilakukan oleh banyak peneliti dengan cara menentukan
radiosensitivitas (Predieri 2001). Radiosensitivitas dapat diestimasikan melalui
respon fisiologis bahan tanaman yang diiradiasi. Determinasi dosis dapat ditentukan
berdasarkan reduksi pertumbuhan vegetatif dari bahan yang diradiasi (LD50) jika
dibandingkan dengan tanaman kontrol pada siklus vegetatif yang pertama (M1V1).
Setelah dilakukan iradiasi pada kalus, kalus langsung dipindahkan pada media
agar yang baru, selanjutnya diamati tingkat lethalitas kalus selama beberapa minggu
hingga lethalitas maksimum. Data yang diperoleh, diolah menggunakan program
CurveExpert 1.3 dan menunjukkan nilai LD50 pada ketiga klon berkisar antara 15-22
Gy (Tabel 8). Hasil menunjukkan bahwa secara genetik tingkat radiosensitivitas kalus
53

masing-masing klon berbeda. Genotipe klon 377 merupakan genotipe yang


radiosensitivitasnya paling rendah (LD50 22 Gy), sedangkan genotipe klon 642
merupakan genotipe yang paling sensitif di antara ketiganya (15.3 Gy).
Radiosensitivitas genotipe SGN-PV2.11 berada di antara kedua klon tersebut (16.2
Gy).

Tabel 8 LD50 pada kalus 3 klon Phalaenopsis akibat iradiasi sinar gamma.

LD 20 LD 50
Klon Persamaan
(Gy) (Gy)
377 Y= 92.72-2.36x + 0.02x2 + 0.0001x3 5.7 22.0

642 Y=89.58 - 2.958 x + 0.024x2 3.3 15.3

SGN-PV2.11 Y= 101.2 - 4.07x + 0.062x2 + 0.0003x3 5.7 16.2

Pada penelitian lain yang dilakukan pada mutasi Phalaenopsis dengan


menggunakan bahan plantlet diperoleh bahwa LD 50 diperoleh pada dosis 32.5 Gy
(Khamla et al. 2007) dan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kurniati (2004)
dosis lethal yang diperoleh untuk iradiasi plantlet Phalaenopsis silangan Phal.
Hinamatsuri x Dtps. Modern Beauty adalah sebesar 27.8 Gy, sedangkan pada kalus
Phal. amabilis ’formosa x Phal. Taipei Gold’GS membutuhkan dosis optimum 10
Gy. LD50 biasanya digunakan sebagai tolok acuan dosis untuk meradiasi material
yang akan dimutasikan, tetapi Shirong (2008) menyatakan bahwa untuk
menentukan dosis optimum yang dapat menimbulkan mutan tetapi tidak melukai
jaringan somatik pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif adalah dosis yang
menyebabkan 60-70% tanaman yang hidup (LD30-40). Hussin et al (2008) juga
menyatakan dosis optimum yang diterapkan untuk menginduksi mutan adalah 20% di
atas dan 20 % di bawah dosis optimumnya. Berdasarkan hal ini perlakuan dosis
diambil interval lebih kecil untuk dengan tujuan diperoleh mutan yang lebih banyak.

Daya Regenerasi Kalus Phalaenopsis pasca iradiasi

Iradiasi kalus menyebabkan daya regenerasi tanaman setiap klon berbeda.


Secara keseluruhan persentase kalus yang mampu bertunas berkisar antara 27-87%
dan memiliki daya regenerasi dalam setiap gerombol kalus berkisar antara 3-8
plantlet setiap gerombol kalus dalam pengamatan selama 12 MST.
54

Tabel 9 Pengaruh perlakuan dosis iradiasi pada kalus embriogenik klon SGN-
PV2.11, 642 dan 377 terhadap persentase kalus yang bertunas dan jumlah
tunas per kalus selama 12 minggu setelah tanam (MST).
Klon dan Dosis iradiasi Kalus bertunas (%) Rata-rata Jumlah tunas
per kalus
Klon 377
0 47.0 4.2c
20 53.3 7.4ab
Klon 642
0 33.3 3.0cd
5 40.0 5.5b
15 27.0 6.0b
Klon SGN-PV2.11
0 47.0 6.2b
2,5 80.0 7.6ab
5 75.0 8.4a
10 87.0 3.6c
15 27.0 4.25c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%.

Dosis tertentu menyebabkan kalus berdeferensiasi lebih banyak. Pada klon


377 dosis 20 Gy yang sesuai LD50 menyebabkan deferensiasi kalus menjadi plantlet
lebih banyak dibandingkan dengan diferensiasi kalus yang tidak diradiasi.
Sebaliknya pada klon SGN-PV2.11 dan 642 diferensiasi kalus yang diiradiasi
dengan dosis LD50 yaitu 15 Gy menyebabkan kemampuan difrensiasi kalus menjadi
plantlet masing-masing lebih rendah.bila dibandingkan dengan diferensiasi kalus
menjadi plantlet yang tidak diradiasi (Tabel 9). Apabila dosis diturunkan kurang dari
15 Gy, diferensiasi kalus menjadi lebih tinggi pada kedua klon yaitu SGN-PV2.11
dan 642. Hal tersebut dapat dijelaskan dari sifat radiosensitivitas klon 377 yang
rendah sehingga dengan dosis iradiasi yang tinggi masih mampu berdeferensiasi,
sedang klon SGN-PV2.11 dan 642 yang memiliki radiosensitivitas lebih tinggi dari
klon 377 kemampuan deferensiasi kalus lebih rendah dari pada klon 377.

Dosis iradiasi juga menyebabkan kemampuan berdeferensiasi meningkat dari


pada tanpa iradiasi. Kemampuan regenerasi tanaman pada kalus yang diradiasi juga
meningkat daripada regenerasi tanaman pada kalus tanpa iradiasi. Kemampuan setiap
klon untuk beregenerasi juga berbeda. Pada klon 377, pemberian iradiasi 20 Gy
meningkatkan jumlah plantlet per kalus dari 4 menjadi 7 plantlet. Iradiasi 5 Gy dan
15 Gy pada klon 642 meningkatkan jumlah palntlet dari 3 menjadi 5-6 plantlet,
55

sedang pada klon SGN-PV2.11, dosis iradiasi 2.5 Gy dan 5 Gy mampu beregenerasi
lebih banyak dari pada dosis 10 dan 15 Gy. Hal ini dapat dikatakan bahwa dosis
iradiasi tertentu dapat menyebabkan meningkatnya kemampuan berdeferensiasi dan
beregenerasi suatu tanaman secara in vitro. Borzonei et al. (2010) mendapatkan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa dosis iradiasi 100 Gy meningkatkan 25% berat
kering tanaman gandum, sedang penelitian Melki and Salami (2008) mendapatkan
peningkatan hasil yang meningkat pada 15 Gy daripada 0 Gy.

Pembentukan generasi M1V4 melalui embriogenesis langsung

Irradiasi menyebabkan sebagian sel menjadi tidak normal dan berada di antara
sel-sel normal. Selama proses pembelahan, sel termutasi berkompetisi dengan sel-sel
normal untuk bertahan hidup. Proses ini dinamakan seleksi diplontik. Sel termutasi
yang mampu bertahan hidup apabila sel tersebut berasal dari materi yang
diperlakukan dengan mutagen secara in vitro, akan terekspresi menjadi tanaman
mutan solid (Datta et al. 2005).
Proses pembentukan mutan solid pada materi kultur in vitro ditempuh dalam
pembentukan beberapa turunan generasi. Berdasarkan protokol IAEA (2001), untuk
mendapatkan mutan solid diperlukan generasi paling sedikit 4 generasi. Pada materi
yang didapatkan secara in vitro disebut M1V4, oleh karena itu dalam penelitian ini
diperlukan pembentukan generasi M1V4. Pembentukan generasi M1V4 dilakukan
sesuai dengan cara perbanyakan materi yang digunakan. Materi yang berupa tunas
adventif atau tunas aksilar dan memiliki batang dapat dibentuk M1V4 dengan cara
menanam kembali ruas-ruas batang yang memiliki mata tunas dan diulang hingga 3-
4 kali penanaman. Materi yang diperbanyak melalui pembentukan kalus dapat
dilakukan perbanyakan dengan cara organogenesis atau embriogenesis langsung dan
diulang 3-4 kali pembentukan plantlet secara organogenesis atau embriogenesis
langsung.
56

a b c

d e f

Gambar 10 Embriogenesis langsung pada pembentukan M1V4. Kalus –kalus bening


muncul dari irisan daun pada media E1 (a), E2 (b), E3 (c) di ruang gelap.
Perubahan kalus menjadi calon tunas setelah kalus dipindahkan ke ruang
terang pada media E1 (d), E2 (e), E3 (f).

Proses pembentukan generasi M1V4 pada Phalaenopsis dapat dilakukan


melalui pembentukan kembali kalus yang berasal dari daun generasi sebelumnya,
tetapi membutuhkan waktu lebih lama. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang
lebih cepat yaitu melalui embriogenesis langsung. Pada embriogenesis langsung,
mula-mula terbentuk kalus bening (Gambar 10a-c) dalam ruang gelap selama 8
minggu. Selanjutnya inkubasi dipindahkan pada ruang terang, dan menyebabkan
proliferasi kalus tidak terjadi, tetapi langsung berubah menjadi calon plantlet.
Pengaruh media EL1, EL2 dan EL3 terlihat pada gambar 12 serta tabel di
bawah. Secara visual kalus yang menyerupai calon embrio atau biasa disebut
protocorm-like bodies (plb’s) terbentuk paling banyak pada EL3. Pada tabel 10
terlihat bahwa media EL1 tidak mampu merangsang terbentuknya embrio karena
tidak adanya hormon. Media EL2 dan EL3 mampu mendorong terjadinya
diferensiasi pada ketiga macam klon. Eksplan daun klon SGN-PV2.11 mampu
membentuk plb sebesar 13.3- 57.8%, pada klon 642 mampu membentuk embrio
sebanyak 13.3 - 48.9% sedangkan 377 hanya 13.3 - 17.8%. Pengaruh dosis iradiasi
juga terlihat jelas pada tabel 10 tersebut. Dosis 2.5 Gy lebih responsif dibandingkan
dengan 5 Gy.
57

Tabel 10 Persentase pembentukan tunas M1V4 melalui embriogenesis langsung


menggunakan eksplan daun selama 12MST

Perubahan eksplan (%) %


Rata-rata
Dosis 12 MST Eksplan
Media & Klon jumlah tunas
(Gy) terbentuk
per eksplan
Coklat Hijau Berkalus plb
Klon SGN-PV2.11
EL1 0 80.0 22.2 0.0 0.0 0.0 d
2.5 31.1 66.7 17.8 13.3 1.3 c
5 33.3 66.7 48.9 40.0 5.5 ab
EL2 0 75.6 24.4 0.0 0.0 0.0 d
2.5 31.1 66.7 44.4 31.1 1.9 c
5 24.4 75.6 53.3 48.9 6.6 a
EL3 0 73.3 28.9 0.0 0.0 0.0 d
2.5 26.7 71.1 66.7 42.2 4.6 b
5 26.7 72.2 53.3 57.8 6.9 a
Klon 642
EL1 0 82.2 20.0 0.0 0.0 0.0 c
5 37.8 60.0 22.2 15.6 3.9 ab
15 40.0 60.0 46.7 40.0 3.6 b
EL2 0 77.8 22.2 0.0 0.0 0.0 c
5 31.1 35.6 35.6 13.3 4.8 ab
15 24.4 75.6 53.3 48.9 5.0 a
EL3 0 80.0 20.0 0.0 0.0 0.0 c
5 42.2 55.6 44.4 35.6 5.1 a
15 42.2 62.2 42.2 33.3 4.7a
Klon 377
EL1 0 84.5 15.5 0.0 0.0 0.0 b
20 71.1 28.9 13.3 13.3 4.5 a
EL2 0 75.6 24.4 0.0 0.0 0.0 b
20 44.4 55.6 22.2 15.6 3.9 b
EL3 0 73.3 28.9 0.0 0.0 0.0 b
20 26.7 71.1 17.8 17.8 4.6 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada uji Duncan taraf α 5%. El (1/2 MS + 0,2 mg.l-1 TDZ + 1 mg.l-1 IAA), E2 (1/2
MS + 0,2 mg.l-1 TDZ + 0,2 mg.l-1 IAA), E3 (1/2 MS + 3,5 mg.l-1 TDZ + 1 mg.l-1
IAA), plb (protocorm-like bodi’s). Olah data rata-rata jumlah tunas telah dilakukan
transformasi logaritma.

Keragaman fenotipik plantlet akibat iradiasi sinar gamma

Rataan karakter kuantitatif jumlah daun yang tumbuh setelah 12MST (Tabel
11) terlihat bahwa baik yang berasal dari kalus yang tidak diberi perlakuan maupun
dengan yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma tidak terjadi perbedaan yang
menyolok. Rataan jumlah daun kontrol sebanyak 2.2 sama dengan jumlah daun pada
perlakuan 2.5 Gy. Jumlah tertinggi dapat diperoleh pada 5 Gy. Gambaran umum pada
dosis 5 Gy tampak memiliki penampilan yang lebih besar dibanding tanaman yang
berasal dari perlakuan yang lain.
58

Pada percobaan ini populasi plantlet yang didapat dari berbagai dosis iradiasi
pada 12 minggu setelah regenerasi diamati secara morfologi adanya abnormalitas
pada daun yang ditimbulkan akibat iradiasi. Abnormalitas ini tidak terjadi semata-
mata diakibatkan karena iradiasi saja, tetapi mungkin juga karena selama proses
embriosomatik. Hal ini terlihat pada Tabel 12, bahwa pada plantlet hasil regenerasi
kalus yang tidak diperlakukan dengan sinar gamma 0 Gy masih terjadi perubahan
morfologi seperti tanaman menjadi roset.

Tabel 11 Rataan berbagai karakter kuantitiatif pada populasi varian Klon SGN-
PV2.11, 642 dan 377 berumur 12 minggu setelah tanam (12 MST).
Karakter kuantitatif 0 2.5 5 10 15 20
tanaman Gy Gy Gy Gy Gy Gy
Klon SGN-PV2.11
Jumlah daun 2.2 2.2 3.2 - - -
Jumlah akar 1.8 2.0 2.4 - - -
Panjang Daun (cm) 1.6 1.7 2.8 - - -
Lebar Daun (cm) 0.9 1.2 1.4 - - -
Klon 642
Jumlah daun 2.4 - - - 5.5 -
Jumlah akar 2.2 - - - 3.8 -
Panjang Daun (cm) 1.7 - - - 2.9 -
Lebar Daun (cm) 0.9 - - - 1.1 -
Klon 377
Jumlah daun 3.5 - - - - 4.2
Jumlah akar 1.4 - - - - 1.9
Panjang Daun (cm) 2.3 - - - - 2.4
Lebar Daun (cm) 0.7 - - - - 0.7
Keterangan : (-) tidak dilakukan.

Varian-varian yang berbeda morfologi terlihat banyak terjadi pada kalus yang
mendapat dosis iradiasi antara 2,5 Gy dan 5 Gy. Pada 5 Gy ini juga didapatkan
paling banyak tipe fenotip varian abnormal yaitu terdapat 5 macam keabnormalan
daun seperti ujung daun terbelah, roset, tepi daun warna merah, daun atau seluruh
tanaman berwarna terbelah, roset, tepi daun warna merah, daun atau seluruh tanaman
berwarna merah serta lembaran daun yang seharusnya melebar, hal ini tidak terjadi
tetapi menggulung sehingga menyerupai terompet (Gambar 11). Data juga
menunjukkan bahwa klon 642 paling sedikit abnormalitasnya. Hal ini menunjukkan
bahwa klon ini cukup kuat karakternya sehingga dengan dosis yang lebih tinggi,
abnormalitas yang ditemui hanya sedikit. Demikian juga pada klon 377 dari 380
plantlet hanya 21 plantlet yang mengalami abnormalitas.
59

Tabel 12 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif diantara populasi varian
klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 yang diregenerasikan dari kalus
embriogenik setelah diberi perlakuan iradiasi sinar gamma 12 MST
Jumlah dan persentase varian diantara populasi plantlet yang
Klon Phalaenopsis diregenerasikan dari kalus dengan berbagai dosis iradiasi
dan karakter varian
0 Gy 2.5Gy 5Gy 10Gy 15Gy 20Gy
Klon SGN-PV2.11 (102) * (216) (980) (45) (32)
Tepi daun bergerigi 0 0 9(0.9) 0 0 -
Ujung daun terbelah 1(0.9) ** 5(2.3) 4(0.4) 0 0 -
Daun roset 7(6.8) 12(5.6) 8(0.8) 0 0 -
Daun warna merah 0 14(6.5) 22(2.2) 0 0 -
Daun terompet 0 5(2.3) 3(0.3) 0 0 -
Klon 377 (56) (380)
Tepi daun bergerigi 0 - - - - 0
Ujung daun terbelah 0 - - - - 8(2.1)
Daun roset 0 - - - - 10(2.6)
Daun warna merah 0 - - - - 0
Daun terompet 0 - - - - 0
Klon 642 (155) - - - (89) -
Tepi daun bergerigi 0 - - - 0 -
Ujung daun terbelah 0 - - - 0 -
Daun roset 0 - - - 2(2.2) -
Daun warna merah 0 - - - 0 -
Daun terompet 0 - - - 0 -
Keterangan : (b) * : angka yang b=jumlah planlet yang dievaluasi. p(q) ** : angka yang
yang ditunjukkan oleh p = jumlah plantlet dengan fenotip varian dan q =
persentase plantlet varian. (-) penelitian tidak dilakukan.

Gambar 11 Fenotip varian yang dihasilkan dari iradiasi sinar gamma (a) plantlet
dengan duduk daun roset, (b) daun plantlet merah, (c) daun terompet, (d) daun
bergerigi, (e) daun terbelah. Plantlet berumur 4 bulan.
60

Untuk menunjukkan variabilitas somaklonal dapat dievaluasi secara


morfologi (Podwyszynski 2005), sitologi, biokimia dan molekuler (Zhao et al.
2005). Peroksidase merupakan isoenzym yang dapat ditemui di setiap fase tanaman
(Kiarostami & Ebrahimzadeh. 2004), oleh karena itu peroksidase sering digunakan
untuk mendeteksi varian dengan melihat variasi pita yang dapat dimunculkan pada
gel isoenzim. Pada penelitian ini diuji analisis isoenzim dengan dua macam enzim
antara lain peroksidase (PER), dan Aspartat aminotransferase (AAT).

Keterangan : 1.tetua betina Phal, 2. tetua jantan Vanda, 3. SGN-PV2.11/89E/5G/5.1 daun


berombak,4.SGN-PV2.11/10E/5G/3.7 merah, 5.SGN-PV2.11/37E/2.5G/5.3
merah, 6. SGN-PV2.11/51E/2.5G/2.6 roset. 7.SGN-PV2.11/36B/2.5G/4.1
merah, 8.SGN-PV2.11/35D/2.5G/3.3 merah bercabang, 9. SGN-
PV2.11/55E/2.5G/4.3 coklat muda, 10. SGN-PV2.11/38E/5G/6.5 daun terbelah,
11-14 SGN-PV2.11/BC8/0G, 15. tetua betina 642, 16. tetua jantan 642, 17-20 .
klon 642 /14F/15G/1-5 normal, 21-24 klon 377/23F/20G/21-5, 25. tetua betina
377, 26. tetua jantan 377.

Gambar 12 Pita isoenzim peroksidase (PER) pada 26 sampel varian iradiasi sinar gamma dan
tetua klon.

Terlihat pada gambar 12, analisis beberapa wakil varian yang terdiri dari 26
sampel klon varian hasil iradiasi sinar gamma SGN-PV2.11. Dari kelima jenis
isoenzim yang dianalisis yaitu malat dehidrogenase (MDH), esterase (EST), aspartat
aminotransferase (AAT), superoxid dismutase (SOD) dan peroksidase (PER),
diketahui hanya ada 1 jenis enzim yang memberikan bentuk pita yang dapat dibaca
yaitu peroksidase (PER). Pola pita isoenzim pada peroksidase tampak cukup jelas
baik pada sampel plantlet varian maupun sampel tanaman tetuanya. Pita terjelas
terlihat pada sampel - sampel varian klon 642 dan 377, sedangkan pada varian SGN-
PV2.11 no 10 dan 11 saja yang memiliki pita cukup jelas. Muncul atau tidaknya pita
isoenzim pada varian-varian hasil iradiasi sinar gamma menyatakan bahwa iradiasi
sinar gamma dapat menyebabkan terjadinya mutan.

KESIMPULAN
61

Berdasarkan hasil pengujian dapat diambil kesimpulan :

1. Radiosensitivitas kalus ketiga klon berbeda. Klon 377 memiliki


radiosensitivitas paling rendah diantara ketiga klon dengan LD50 sebesar 22
Gy. Klon 642 memiliki radiosensitivitas tertinggi dengan LD50 sebesar 15.3
Gy, sedangkan klon SGN-PV2.11 menunjukkan radiosensitivitas diantaranya
yaitu 16.2 Gy.
2. Kemampuan deferensiasi dan regenerasi kalus Phalaenopsis meningkat
dengan perlakuan iradiasi dosis rendah yaitu 2.5 – 5 Gy.
3. Dosis iradiasi 2.5 Gy dan 5 Gy merupakan dosis yang menyebabkan
terjadinya varian hasil mutasi terbanyak berdasarkan karakter morfologi.
4. Beberapa abnormalitas fenotip daun muncul pada varian-varian yang
dihasilkan dari ketiga klon antara lain daun yang ujungnya terbelah, daun
roset, daun tidak beraturan, daun terompet, daun berwarna merah.
5. Isoenzim peroksidase (PER) dapat digunakan untuk membedakan adanya
varian dari hasil iradiasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutations- a new paradigm in plant


breeding. Euphytica 119: 167-173.
Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1
generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795.
Ashraf M. 2009. Biotechnolocal approach of improving plant salt tolerance using
antioxidant as marker. Bioechnol Adv 27: 84-93.
Borzonei A, Kafi M, Khazei H, Naseriyan B, Majdabedi A. 2010. Effects radiaton oo
germination and physiological aspects of wheat (Triticum aestivum L). Pak J
Bot 92(4): 2281-2290.
Çağirgan MI. 2009. Chlorophyl mutation-like chimeric cases induced by fast
neutrons in M1 generation of a durum wheat. Turkish J Field Crops 14 (2):
159-161.
Datta SK, Mesra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for
establishment of solid mutant in Chrysantmemum. Current Sci 88 (1); 155-
158.
Encheva J, Tsvetkova F, Ivanova P. 2003. A comparison between somaclonal
variation and induced mutagenesis in tissue culture of sunflower line Z-8-A
(Helianthus annuus L). Helia 26 (38): 91-98.
Gossal SS, Das S, Gopal J, Minocha JL, Chopra HR, Dhaliwal HS. 2001. In vitro
induction of variability through radiation for late blight resistance and heat
tolerance in potato. Di dalam. IAEA. In vitro techniques for selection of
62

radiation induced mutations adapted to adverse environmental conditions.


Austria.
Hussien G, Harun AR, Shamsudin S. 2008. Study on mutagenesis of signals grass
(Brachiaria decumbens) by gamma irradiation. http://www-.google.w.id-
/search?q=radiosensits/+plant&hl=id&stored=60850=N
Kiarostami KH, Ebrahimzadeh. 2004. Study on changes of proteins, enzymes and
chromosome number in regenerated plants of wheat (Triticum aestivum L.). J
Sci. Islamic Rep Iran. http://sciences.ut.,ac.,ir/archive/Autumn-
2000/kiarostami_1142.pdf. Mei 2008.
Khamla CS, Anguravirutt S, Samuppito, Lamseejan S. 2007. Effect of gamma rays
on in vitro cultures of fancy leaved Caladium (Caladium bicolor Vent).
http://www.scicoc.or.th/stt/32/sec_f/paper/stt32_FF0059
Kim JH, Baek MH, Chung BY, WiSG, Kim JS. 2004. Alteration in the photosinthesis
pigments and antioxidant machineries of red pepper (Capsicum annum L)
seedlings from gamma irradiated seeds. J Plant Biotechnol 47 : 314-321.
Kovacs E, Keresztes. 2002. Effects of gamma and UV-B?C radiation on plant cell.
Micron 39: 199-210.
Kurniati, R. 2004. Induksi keragaman genetik Phalaenopsis Hinamatsuri x
Doritaenopsis modern Beauty dan Phalaenopsis Taipei Gold’ GS’
Dengan menggunakan Iriradiasi sinar gamma. Sekolah Pasca Sarjana . IPB
hal. 30-31.
Melki M, Salami D. 2008. Studies the effect of low dose of gamma rays on the
behavior of Chickpea under various conditions. Pak J Biol Sci 11(19): 2326-
2330.
Miyazaki et al. 2006. Flower pigment mutations induced by heavy ion beam
irradiation in an interspecific hybrid of torenia. Plant Biotech 23 : 163-167
Piluek C, Lamseejan S. 2005. Orchid improvement through mutation induction by
gamma rays. http://www.fnca.jp/english/eold/2 totuzenheni/3/2002ws/04/06-
thailand/main.html. 1/7/2005.
Podwyszynska M. 2005. Somaclonal variation in micropropagated Tulips based on
phenotype observation. J Fruit Ornamental Plant Res 13: 109-122.
Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell
Tissue Organ Cult 64: 185-210.
Reyes-Borja et al. 2007. Alteration of resistance to black sigatoka (Mycosphaerella
fijiensis Morelet) in banana by in vitro irradiation using carbon ion-beam.
Plant Biotech 24: 349-353.
Samad MA, Begun S, Majid MA. 2001 Somaclonal variation and irradiation in
sugarcane calli for selection against red rot, water-logged condition and
delayed or non-flowering character. Di dalam. IAEA. In vitro techniques for
selection of radiation induced mutations adapted to adverse environmental
conditions. Austria.
Seneviratne KACN, Wijesundara DSA. 2007. First African violets (Saintpaulia
ionantha H. Wendl) with changing colour pattern induced by mutation. Am J
Plant Physiol 2 (3): 233-236.
Sheela VL, Sarada S, Anita S. 2006. Development of protocorm-like bodies and
shoot Dendrobium cv Sonia following gamma radiation. J Tropical Agric
44(1): 86-87.
Shirong Z, Luxiang L, Wang J. 2008. Induced Mutations for improvement of fruit
Trees and Ornamental Plants China http://www.fnca.next.go.jp/englishhold-
/2totuzeni/3/20ciws/04/01china/main_html.10/8/2008.
63

Soeranto, H. 2005. Pemuliaan Tanaman dengan Teknik Mutasi. Puslitbang


Teknologi Isotop dan Radiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional. 20 hal.
Viccini LF, de Carvalho CR. 2002. Meiotic chromosomal variation resulting from
irradiation of pollen in maize. J Appl Genet 43 (4): 463-469.
Witjaksono, Litz RE. 2004. Effect of gamma irradiation on embryogenic avocado
cultures and somatic embryo development. Plant Cell Tissue Organ Cult 77 :
139-147.
Zhao Y, Grout BWW, Crisp P. 2005. Variation in morphology and disease
susceptibility of micropropagated rhubarb (Rheum rhaponticum) PC49,
compared to conventional plants. Plant Cell Tissue Organ Cult 82: 357-361.

INDUKSI VARIAN SOMAKLON DARI KALUS PHALAENOPSIS


MENGGUNAKAN EMS
64

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui konsentrasi EMS yang tepat untuk
menginduksi variasi somaklonal dari klon Phalaenopsis SGN-PV2.11, 377 dan 642,
(2) meregenerasikan populasi plantlet dari kalus (3) mengevaluasi keragaman
fenotipe di antara plantlet yang diregenerasikan tersebut. Toksisitas EMS diukur
berdasarkan daya hambatnya terhadap proliferasi kalus dan regenerasi tanamannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi 0.28-0.35% dengan perendaman
19.4-38.7 menit merupakan LC50. Konsentrasi 0.3% dengan perendaman 30 menit
mampu menghasilkan tunas paling banyak pada klon SGN-PV2.11 sebesar 12.6 tunas
per kelompok kalus. Pembentukan tunas pada klon 642 dan 377 terturut-turut 5.9 dan
4.4 tunas per kelompok kalus. Perlakuan dengan EMS mampu meningkatkan
keragaman genetik, terbukti dengan adanya beberapa fenotip yang terbentuk
berdasarkan karakter morfologi jumlah kromosom maupun jumlah kloroplas.
Keragaman somaklonal yang terjadi paling banyak 4 macam morfologi pada SGN-
PV2.11 dan 642 yaitu selain tanaman normal, ciri morfologi yang lain adalah kerdil,
duduk daun tidak beraturan dan ujung daun terbelah. Berdasarkan jumlah kromosom
dan atau kloroplas, tanaman normal berjumlah kromosom berkisar antara 38 -76,
tanaman kerdil berjumlah kromosom dan atau klororoplas 30 - 37, tanaman dengan
daun berduduk daun taidak beraturan berjumlah kromosomdan atau kloroplas 38 - 44,
dan tanaman dengan daun ujung terbelah berjumlah kromosom dan atau kloroplas
berkisar antara 38 - 47.

Kata kunci : variasi somaklonal, EMS, in vitro, Phalaenopsis

SOMACLONAL VARIATION OF PHALAEOPSIS CALLUS


USING EMS
65

ABSTRACT

The objectives of this study were (1) to determinate suitable concentration of EMS to
induce somaclonal variation, (2) to regenerate population of plantlet derived from
callus of Phalaenopsis clones of SGN-PV2, 377 and 642, (3) to evaluate fenotypic
variance among regenerated plantlets. The toxicity of EMS was measured based on
its inhibition effects on callus proliferation and plant regeneration. The result
indicated that the concentration of EMS 0.28 – 0.35% with immersed for 19.4-38.7
minute capable to caused 50% of callus were not developed. The concentration of
EMS 0.3% with 30 minute immersed were formed 12.6 plantlets of SGN-PV2.11, 5.9
and 4.4 plantlets formed from clone 377 and 642 respectively.Treatment by EMS
could have improved the genetic variation, proved by existence of some fenotip
formed pursuant to morphology character of number chromosome and also number of
chloroplast. Four kinds of abnormal morphology were founded from SGN-PV2.11
and 642 ie: cretin, roset leaf and leaf with tip apart. Based on number of chromosome
and chloroplast, normal plant ranged from 38-76, the cretinous plant chromosome
number around 30-37, plant with roset leaf has 38-44 chromosome and plant with
channel shape leaf possessed 38-47 chromosome.

Key words: somaclonal variation, EMS, in vitro, Phalaenopsis

PENDAHULUAN

Hasil pengembangan pemuliaan konvensional Phalaenopsis di dalam negeri


hingga saat ini masih sangat terbatas. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyak
beredarnya Phalaenopsis-Phalaenopsis yang berasal dari luar negeri (Suryana 2005).
Agar Phalaenopsis dalam negeri mampu bersaing dengan Phalaenopsis impor saat
ini, diperlukan suatu upaya tepat untuk mendapatkan kultivar ataupun varietas
Phalaenopsis baru dalam waktu yang tidak lama. Salah satu upaya tersebut dapat
ditempuh melalui peningkatan keragaman genetik dengan cara induksi keragaman
somaklonal.
Pada tanaman Phalaenopsis yang perbanyakannya dilakukan secara vegetatif,
tidak memiliki keragaman genetik karena hasil perbanyakan tanaman ini sama
dengan induknya. Keragaman genetik tanaman dapat ditingkatkan melalui proses
mutagenesis buatan. Peranan mutagenesis dalam menginduksi sifat yang diinginkan
dalam plasma nutfah alami telah banyak diketahui (Svetleva & Crino 2005).
Penggunaan mutagen kimia dinilai lebih efektif untuk menimbulkan mutasi
daripada mutagen lain. Di antara sekian banyak mutagen kimia, beberapa di
antaranya merupakan mutagen yang cukup bermanfaat dan handal antara lain
66

etilmetansulfonat (EMS), dietilsulfat (DES), etilenimin (EI), N-nitro-N-etil urea


(NEU) (Konstantinov & Driníc 2007). EMS, selain mudah didapatkan, EMS bersifat
non karsinogenik karena setelah dihidrolisis tidak bersifat mutagenik dan terbukti
merupakan mutagen yang efektif (Nassar et al. 2009). Sifat EMS yang demikian,
menyebabkan EMS banyak digunakan untuk menginduksi mutasi secara somaklonal.
Mutagen kimia dapat diintroduksi ke dalam jaringan tanaman dan bahkan sel
sehingga dapat menyebabkan jumlah mutasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
cara lain tetapi hasil yang memuaskan bergantung pada konsentrasi bahan kimia,
lama masa perlakuan, suhu, pH larutan mutagenik dan kadar air bahan yang diberi
perlakuan (Nasir 2002).
Penggunaan EMS telah banyak digunakan pada berbagai tanaman, selain pada
tanaman pangan seperti kacang-kacangan (Svetleva & Crino 2005), tanaman ubijalar
toleran kadar garam tinggi (Luan et al. 2007), tanaman padi (Till et al. 2007), juga
tanaman hias krisan (Rodrigo et al. 2004)
Efek morfologi dan fisiologi dari ploidi bervariasi sekali pada berbagai
material (Soniya et al. 2001). Akan tetapi, pada umumnya kekurangan atau
penambahan kromosom khusus menghasilkan ketidakseimbangan dalam genotipe
yang menyebabkan bermacam-macam aneuploid yang berbeda secara morfologis
dari diploid atau euploid (Yuffa et al. 2000; Rego & deFaria 2001; Minnot & Warren
2001), namun fenotip aneuploid biasanya kurang kuat dibanding dengan tetuanya.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektvitas EMS untuk meningkatkan
keragaman somaklonal plantlet Phalaenopsis yang diregenerasikan dari kalus. Secara
khusus penelitian ini bertujuan (1) mengetahui konsentrasi EMS yang tepat untuk
menginduksi variasi somaklonal klon Phalaenopsis SGN-PV2.11, 377 dan 642, (2)
meregenerasikan populasi plantlets dari kalus, (3) mengevaluasi keragaman fenotipe
di antara plantlet.

BAHAN DAN METODE

Penyiapan kalus
Kalus klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 hasil inisiasi diperbanyak dengan cara
disubkultur pada media proliferasi kalus yaitu 1/2 MS yang diberi tambahan zat
pengatur tumbuh 0,2 mg.l-1 thidiazuron dan 0,5 mg.l-1 2,4-D, dipindahkan pada media
1/2 MS tanpa zat pengatur tumbuh selama 1 minggu untuk mengurangi pengaruh
67

ZPT pada kalus. Tahap ini membutuhkan beberapa subkultur untuk mencapai jumlah
kalus yang memadai untuk perlakuan.

Daya hambat EMS terhadap proliferasi kalus dan regenerasi tanaman

Kalus masing-masing klon yang telah diperoleh, sebagian diberi perlakuan


peredaman EMS selama 30, 60 90, 120 menit dengan konsentrasi masing-masing
0,3% dan 0,6%. Kalus yang telah direndam tersebut, diinkubasikan di ruang terang
dengan suhu 25 °C hingga diperoleh tunas varian. EMS dilarutkan dalam buffer
fosfat dengan cara mencampurkan 39 ml 0,2M KH2PO4 dan 61 ml K2HPO4 yang
dilarutkan dengan 4% DMSO dalam 100 ml akuades, pH 7. Kalus yang telah
direndam dicuci dan dikulturkan kembali pada media regenerasi 1/2 MS yang
ditambahkan 0,4 mg.l-1 BAP dan 0,2 mg.l-1 2,4-D. Pengamatan dilakukan pada
persentase kalus yang mampu hidup untuk menentukan LC50 pada 6 MST.
Selanjutnya salah satu konsentrasi yang ditemukan menyebabkan 50% eksplan mati,
dijadikan acuan untuk menentukan kembali konsentrasi dan perendamannya.
Konsentrasi yang digunakan untuk memperbanyak mutan adalah E0, E1-E5 berturut-
turut sebesar 0; 0.2; 0.25; 0.3; 0.35; 0.4% dengan lama perendaman yang sama yaitu
30 menit. Pengamatan dilakukan pada 16 MST pada eksplan beregenerasi, jumlah
plantlet yang dihasilkan. Daya hambat perlakuan EMS diamati berdasarkan
penurunan persentase pembentukan plantlet.

Evaluasi keragaman varian EMS

Ploidi kromosom planlet varian hasil mutasi induksi dianalisis dengan cara
sederhana yaitu dengan merendam ujung akar muda yang sebelumnya telah dikupas
tudung akarnya yaitu beberapa lapis sel bagian paling ujung, dengan larutan maserasi
HCl 1N dan dipanaskan selama 2 menit pada suhu 60 °C. Irisan ujung akar tesebut
diurendam dengan 2 % aceto-orcein selama 20 menit. Ujung akar tersebut
dikeringkan dan di letakkan di atas gelas preparat dan ditetesi kembali dengan aceto-
orcein dan ditutup dengan gelas penutup selanjutnya ditekan atau di squase.
Kromosom dihitung di bawah mikroskop.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penghambatan Pada Induksi Somaklonal Variasi Menggunakan EMS


68

Pengaruh konsentrasi EMS pada kalus dapat diketahui dari tabel 13, yang
menunjukkan bahwa persentase kalus yang hidup dan kemampuan kalus beregenerasi
semakin menurun dengan semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama perendaman
kalus di dalam larutan EMS.

Tabel 13 LC50 pada klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 berdasarkan persentase
konsentrasi EMS dan waktu yang digunakan untuk perendaman.
Pengamatan dilakukan pada 6 MST, data diolah dengan persamaan
Quadratic Fit.
LC50
Klon 
Konsentrasi EMS (%)  Waktu Perendaman (menit) 
SGN‐PV2.11  0.28  38.70 
642  0.35  22.50 
377  0.32  19.40 
Keterangan: LC (konsentrasi yang menyebabkan lethalitas eksplan).

Persentase kalus yang hidup menentukan LC50, yang apabila dihitung


menggunakan CurveExpert 1.3 pada persamaan Quadratic Fit, LC50 dapat diketahui
pada klon SGN-PV2.11 adalah pada konsentrasi EMS sebesar 0.28% dengan
perendaman selama 38.7 menit. LC50 klon 642 adalah konsentrasi 0.35%
perendaman selama 22.5 menit sedangkan klon 377 mencapai LC50 pada konsentrasi
0.32% perendaman selama 19.4 menit (Tabel 12). Secara umum dapat dikatakan
bahwa konsentrasi LC50 berkisar antara 0.28-0.34% dengan perendaman 19.4 – 38.7
menit. Berdasarkan LC50 tersebut, untuk mendapatkan varian dibuat perlakuan
dengan lama perendaman EMS selama 30 menit dengan konsentrasi 0; 0.2; 0.25;
0.3; 0.35 dan 0.4% yang diaplikasikan pada ketiga klon di atas.
Kalus yang telah berumur 4 bulan tanpa diberi perlakuan (EMS 0%)
mendeferensiasikan tunas sebesar 22 per eksplan kalus, sedangkan kalus embriogenik
Phalaenopsis 642 dengan perlakuan standar (EMS 0%) menghasilkan 14.5 tunas per
eksplan dan 15 tunas pada klon 377. Hal ini menunjukkan penghambatan
pembentukan tunas, dan ini terjadi pada ketiga klon yang ditandai dengan penurunan
persentase jumlah eksplan yang bertunas, dengan semakin tinggi konsentrasi EMS
dan semakin lama perendamannya (Tabel 14). Penghambatan dibuktikan juga dalam
penelitian mutasi tanaman pisang (Roux 2007) dan kedelai (Pavadai et al. 2004).
Tabel 14 Pengaruh konsentrasi dan waktu perendaman mutagen EMS pada kalus klon
SGN-PV2.11, 377 dan 642 terhadap persentase eksplan hidup yang diamati
selama 6 MST, jumlah tunas per eksplan dan penurunan jumlah total tunas
yang diamati selama 16 MST
69

Klon dan Perlakuan Eksplan hidup Jumlah tunas per Penurunan Jumlah
EMS (%) eksplan tunas per eksplan (%)
Klon SGN-PV2.11
0 95.0 22.5** 00.0
0,3% 30 menit 57.5 12.6 * 66.0
0,3% 60 menit 45.0 9.0 81.0
0,3% 90 menit 22.5 3.5 96.0
0,3% 120 menit 00.0 0.0 100.0
0,6% 30 menit 35.0 4.9 92.0
0,6% 60 menit 57.5 5.6 89.0
0,6% 90 menit 20.0 6.0 94.0
0,6% 120 menit 12.0 5.3 97.0
Klon 642
0 80.0 14.5* 0.0
0,3% 30 menit 76.3 5.9 61.0
0,3% 60 menit 16.3 5.1 92.0
0,3% 90 menit 30.0 4.1 89.0
0,3% 120 menit 37.0 5.3 83.0
0,6% 30 menit 0.0 5.1 93.0
0,6% 60 menit 0.0 0.0 100.0
0,6% 90 menit 0.0 0.0 100.0
0,6% 120 menit 0.0 0.0 100.0
Klon 377
0 85.0 15.0* 00.0
0,3% 30 menit 92.5 4.4 68.0
0,3% 60 menit 13.8 5.0 94.0
0,3% 90 menit 30.0 4.1 90.0
0,3% 120 menit 43.0 4.1 86.0
0,6% 30 menit 2.5 1.8 99.0
0,6% 60 menit 0.0 0.0 100.0
0,6% 90 menit 0.0 0.0 100.0.
0,6% 120 menit 0.0 0.0 100.0
Keterangan : Penurunan jumlah total tunas dihitung dengan rumus : [(x0*y0-x1*y1)/
(x0*y0)]*100% ; dimana x0 dan y0 berturutan adalah persentase eksplan
bertunas dan jumlah tunas per eksplan pada perlakuan standar (larutan EMS
0%), sedangkan x1 dan y1 adalah persentase eksplan bertunas dan jumlah tunas
per eksplan pada masing-masing perlakuan EMS.

Pada perlakuan 0.3% selama 30 hingga 120 menit, klon SGN-PV2.11


menghasilkan persentase kemampuan bertunas semakin kecil. Pada klon 642 tidak
mampu bertahan dalam konsentrasi EMS 0.6%. Kalus langsung mati dalam waktu 2-
4 MST sehingga tidak didapatkan tunas atau persentasenya menjadi 0%. Konsentrasi
0.3% pada perendaman 30 menit merupakan konsentrasi terendah yang hanya mampu
menyebabkan 57.5% eksplan klon SGN-PV2.11 yang hidup. Eksplan klon 642 hidup
sebesar 76.3%, sedang eksplan klon 377 hidup sebanyak 92.5%. Persentase kematian
meningkat sangat tinggi pada konsentrasi yang lebih tinggi dan lama perendaman
70

yang lebih lama. Konsentrasi 0.3% menyebabkan kematian eksplan kalus mencapai
88% pada SGN-PV2.11, 100% pada klon 642 dan klon 377 pada lama perendaman
60-90 menit.
Pengaruh EMS terhadap kalus tersebut menandakan bahwa EMS secara
mudah terabsorbsi oleh kalus. Penyerapan EMS oleh kalus dibantu dengan adanya
DMSO yang diaplikasikan sebagai pelarut EMS. DMSO berperan penting dalam
membantu peningkatan absorbsi dan penetrasi ke dalam jaringan (Khalatkar 1976).

Evaluasi keragaman fenotip varian

Konsentrasi EMS yang digunakan untuk mendapatkan varian yaitu E1 sampai


dengan E5 yang merupakan konsentrasi baru untuk mendapatkan varian pada ketiga
klon dengan lama perendaman yang sama yaitu 30 menit. Konsentrasi E1 yaitu
konsentrasi 0.2% menunjukkan bahwa jumlah tunas yang dihasilkan relatif lebih
banyak dibandingkan dengan konsentrasi yang lain yang semakin tinggi. Jumlah
tunas yang terbentuk pada konsentrasi tersebut mencapai 108-218 plantlet, dan pada
konsentrasi lebih dari 0.2% tunas yang terbentuk umumnya semakin sedikit.
Macam fenotip yang terjadi akibat pengaruh EMS terdiri atas 5 karakter
abnormal yaitu daun bulat kerdil, ujung daun terbelah, daun tak beraturan, daun
warna merah, daun terompet (Gambar 13a-f). Fenotip abnormal terbentuk hingga
mencapai 20.9% pada konsentrasi 3.5% dari klon 377 dalam bentuk daun tidak
beraturan. Persentase terkecil dari abnormalitas varian terdapat pada klon 642 yang
terjadi pada perlakuan EMS E1 atau EMS 0.2% yaitu sebesar 0.9% (Tabel 14).
Keragaman fenotip pada genotip SGN-PV2.11 meningkat antara 0.6- 16.5%, pada
genotip 642 meningkat sebesar 0.9-6.2%, sedangkan genotip 377 meningkat antara
7.6-20.9%.
Perubahan fenotip ke arah abnormal pada ketiga klon berbeda. Pada klon 377
hanya terjadi 2 macam fenotip abnormal, klon 642 terdapat 4 macam fenotip
abnormal, sedangkan SGN-PV2.11 terjadi 5 macam fenotip abnormal. Berdasarkan
hal tersebut, berarti bahwa SGN-PV2.11 merupakan genotip yang paling mudah
terpengaruh oleh perlakuan EMS. Klon 642 merupakan klon yang lebih tahan
terhadap EMS karena selain jumlah fenotip yang lebih sedikit juga persentasenya
lebih rendah dari pada persentase fenotip abnormal klon yang lain.
71

Tabel 15 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif abnormal diantara


populasi varian klon 377, 642 dan SGN-PV2.11 yang diregenerasikan dari
kalus embriogenik setelah diberi perlakuan EMS setelah 16 MST.
Klon Jumlah dan persentase varian diantara populasi plantlet yang
Phalaenopsis dan diregenerasikan dari kalus dengan berbagai
karakter varian perlakuan EMS
E0 E1 E2 E3 E4 E5
Klon SGN-PV2.11 315* 278 115 0 0 109
Daun bulat, kerdil 0 0 4(3.4) 0 0 6(5.5)
Ujung daun terbelah 0 3(1.07)) 0 0 0 0
Daun tak beraturan 0 5(1.7) 5(4.3) 0 0 18(16.5)
Daun warna merah 0 0 14(12.1) 0 0 7(6.4)
Daun terompet 2(0.6) ** 0 0 0 0 0
Klon 642 174 108 89 68 32 44
Daun bulat, kerdil 0 3(2.7) 4(4.4) 0 0 0
Ujung daun terbelah 0 1(0.9) 0 0 0 0
Daun tak beraturan 0 6(5.5) 5(5.6) 2(2.9) 2(6.2) 2(4.5)
Daun warna merah 0 0 0 0 0 0
Daun terompet 2(1.1) 0 2(2.2) 0 0 0
Klon 377 186 118 117 138 43 85
Daun bulat, kerdil 0 0 0 0 0 0
Ujung daun terbelah 0 9(7.6) 15(12.8) 11(7.9) 0 0
Daun tak beraturan 0 19(16.1) 17(14.5) 12(8.6) 9(20.9) 16(18.8)
Daun warna merah 0 0 0 0 0 0
Daun terompet 0 0 0 0 0 0
Keterangan : a* : angka yang ditunjukkan a = total plantlet yang dievaluasi. p(q)** : angka
yang ditunjukkan oleh p = jumlah plantlet dengan fenotip varian dan q =
persentase plantlet varian. E0 (EMS 0%), E1 (EMS 0.2%), E2 (EMS 0.25%),
E3 (EMS 0.3%), E4 (EMS 0.35%), E5 (0.4%).

Varian akibat perlakuan EMS dengan fenotip normal memiliki jumlah


kromosom yang bervariasi. Jumlah kromosom plantlet normal Phalaenopsis
umumnya adalah 2n=2x=38. Pada varian klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 tanpa
perlakuan EMS memiliki jumlah kromosom normal, tetapi pada plantlet yang berasal
dari kalus yang diberi perlakuan EMS memiliki jumlah kromosom bervariasi.
Beberapa contoh tanaman yang dianalisis jumlah kromosomnya terlihat pada gambar
14a-b, klon 377 dan 642 memiliki kromosom berjumlah 56. Perubahan jumlah
kromosom banyak terjadi pada saat kalus mengalami pembelahan mitosis abnormal
sehingga berbagai proses terjadi seperti poliploid, aneuploid, kromosom lengket dan
sebagainya (Yuffa et al. 2000; Jander et al. 2003; Zhao et al. 2005).
Pada tanaman varian berdaun tidak beraturan dan ujung daun terbelah juga
memiliki jumlah kromosom antara 38-50, tetapi pada varian kerdil jumlah kromosom
72

bisa lebih rendah dari jumlah kromosom normal yaitu 38. Hal berarti ada
kemungkinan terjadi keabnormalan pada saat proses mitosis.

a b

c d

e f
Gambar 13 Fenotip yang terbentuk karena pengaruh mutagen EMS (a) plantlet SGN-
PV2.11/88E/E1/2.2 dengan ciri normal, (b) plantlet 377/23F/E1/1.7 dengan
pertumbuhan daun abnormal, (c) plantlet 642/13F/E2/1.4 dengan pertumbuhan
daun abnormal, (d) plantlet SGN-PV2.11/71E/E5/2.2 dengan pertumbuhan
duduk daun rapat (e) SGN-PV2.11/.K4/E0/1.1 bentuk terompet, (f) plantlet
SGN-PV2.11/54E/E5/3.1 berdaun bulat.
73

a b c

Gambar 14 Jumlah kromosom pada tanaman fenotip normal (a) jumlah kromosom
2n=2x=38 pada SGN-PV2.11/41E/E1/3.1, (b) jumlah kromosom
2n=3x=56 pada klon 377/22F/E2/5.4, (c) jumlah kromosom 2n=3x=56
pada 642/13F/E2/4.4.

Tabel 16 Jumlah kromosom beberapa mutan normal maupun abnormal pada klon
SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang terjadi akibat perlakuan EMS

Kisaran Rata-rata Jumlah


Klon Mutan dan Ciri Penampilan Plantlet
Kromosom
Klon SGN-PV2.11
SGN-PV2.11/41E//E/3.1, normal 38 - 56
SGN-PV2.11/54E/E5/3.1, kerdil 30 - 36
SGN-PV2.11/44E/E5/5.1, daun tak beraturan 36 - 44
SGN-PV2.11/ 2E/E1/6.3, ujung daun terbelah 37 - 46
Klon 642
642/15F/E1/1.6, normal 38 - 55
642/19F/ E5/8.4, daun tak beraturan 38 - 47
642/15F/E2/1.4, kerdil 32 - 39
Klon 377
377/22F/E2/2.2, normal 38 - 76
377/23F/E1/1.7, daun tak beraturan 38 - 50
377/23F/E1/2.7, daun terbelah 38 - 47

KESIMPULAN

1. Mutagen kimia EMS dapat menyebabkan penghambatan pembentukan tunas


ketiga klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 sebesar 60 - 100% dengan perlakuan
74

konsentrasi 0.3 - 0.6% dan lama perendaman 30, 60, 90,120 menit.
2. LC50 perlakuan perendaman EMS pada kalus Phalaenopsis diketahui sebesar
0.28 - 0.32% dengan perendaman selama 19.4-38.7 menit.
3. Keragaman genetik pada SGN-PV2.11 dapat ditingkatkan sebesar 1.07% -
16.5%, pada 642 meningkat sebesar 0.9% - 6.2% dan pada klon 377
meningkat sebesar 7.6 - 20.9%.
4. Keragaman genetik yang timbul berupa ciri morfologi tanaman yang terdiri
dari 5 macam yaitu normal, kerdil ujung daun terbelah dan duduk daun tidak
beraturan.

DAFTAR PUSTAKA

Jander et al. 2003. Ethylmethanesulfonate saturation mutagenesis in Arabidopsis to


determine frequency of herbicide resistance. Plant Physiol 131: 139-146.
Khalatkar AS. 1976. Influence of DMSO on the mutagenicity of EMS in barley. Bot
Gazette 137 (4): 348-350.
Luan YS, Juan Z, Rong GX, Jia AL. 2007. Mutation induced by
ethylmethanesulphonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant
regeneration of sweet potato (Ipomoea batatas L). Plant Cell Tissue Organ
Cult 88 (1): 77-81
Minnot MJP, Warren JH. 2001. Meiotic and mitotic instability of two EMS-produced
centric fragmentt in the haplodiploid wasp Nasonia vitropennis. J Heredity
87 (1) : 8-16
Nassar MN, Cucolo M, Miller SA. 2009. Ethyl methanesulphonate in a parenteral
formulation of BMS-214662 mesylate, a selective fernasyltransferase
inhibitor: formation and rate of hydrolisis. Pharm Dev Technol 14(6): 672-
677
Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. T eknik rekayasa genetik tanaman. PT.Citra
Aditya Bakti. Bandung. hal 59-78
Pavadai P, Dhanavai D. 2004. Effect of EMS, DES and colchicines treatment in
soybean. Crop Res-Hisar. Vol 28:118-120.
Rego VL, de Faria RT. 2001. Tissue culture in Ornamental plant breeding : Rev
Crop Breed Appl Biotech. 1(3) : 283-300.
Roux NS. 2007. Banana Improvement. Plant Breeding Unit. FAO/IAEA Agriculture
and Biotechnology Improveent. IAEA . Austria.
http://localhost/F:/lit%201maret%2007/Bana%20Improvement html.
Soniya EV, Banerjee NS, Das MR. 2001. Genetic analysis of somaclonal variation
among callus-derived plant of tomato. Current Sci 80 (9): 1213-1215.
Svetleva DL, Crino P. 2005. Effect of ethyl methanesulfonate (EMS) and N-nitrose-
N-ethyl urea (ENU) on callus growth of common bean. J Cent Eur Agric.
6(1): 59-64
Yuffa AM, Da Silva RF, Rios L, de Enrech NX. 2000. Mitotic Aberrations in coffee
(Coffea Arabica cv Catimor) leaf explantes and their derived embryogenic
callii. EJB Electronic J Biotech 3(2):1-6.
75

Zhao Y, Grout BWW, Crisp P. 2005. Variation in morphology and disease


susceptibility of micropropagated rhubarb (Rheum rhaponticum) OC49,
compared to conventional plants. Plant Cell Tisues Organ Cult 82: 357-361.

UJI IN VITRO KETAHANAN TERHADAP Erwinia carotovora subsp


carotovora PADA VARIAN SOMAKLON PHALAENOPSIS
M ENGGUNAKAN SUSPENSI BAKTERI

ABSTRAK

Teknik pengujian ketahanan tanaman secara in vitro merupakan teknik


sederhana yang dapat dikombinasikan dengan teknik induksi keragaman somaklonal.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan uji ketahanan varian Phalaenopsis
terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovota subsp
carotovora menggunakan suspensi bakteri, (2) mengevaluasi respon varian tiga klon
Phalaenopsis SGN-PV2.11, 377 dan 642 hasil mutasi sinar gamma dan EMS. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan suspensi bakteri 107cfu/ml, inokulasi dengan
pelukaan mampu menyebabkan infeksi pada daun Phalaenopsis secara in vitro.
Tanaman mati pada varian iradiasi sinar gamma berkisar antara 68- 93.75% dan
membutuhkan waktu selama 4.7 – 7.4 hari untuk menyebabkan kematian plantlet
setelah inokulasi. Pada varian EMS tanaman mati lebih tinggi dibandingkan tanaman
mati pada varian iradiasi yaitu berkisar antara 77.5- 100% dengan lama waktu
kematian plantlet selama 3.7 – 6.6 hari. Skor kebusukan daun (SKD) pada varian
iradiasi sinar gamma 6.6 -7.8 dan pada varian EMS 4.4-9. Dengan SKD tersebut
mengindikasikan bahwa intensitas penyakit pada plantlet varian memiliki fenotipe
yang dapat dikategorikan sangat rentan.

Kata kunci : Uji in vitro, Erwinia carotovora subsp carovora, varian somaklon.
76

IN VITRO TESTING OF RESISTANCE PHALAENOPSIS VARIANT


SOMACLONE AGAINST Erwinia carotovora subsp carotovora
USING BACTERIUM SUSPENSION

ABSTRACT

In vitro testing technique crop is a technique to establishe disease resistant cultivare


combined with somaclonal variation technique. The objectives of This research were
(1) conducted resistance testing of Phalaenopsis variant for soft rot disease caused
by Erwinia carotovota subsp carotovora using bacterium suspense (2) evaluated
respon variant three clone of Phalaenopsis SGN-PV2.11, 377 and 642 result of
gamma ray and EMS mutation. Research indicate that bacterium suspense 107cfu/ml,
inoculation with wounding leaf could caused the infection of leaf Phalaenopsis by in
vitro condition. Persentage gamma ray radiation variant unsurvive were around 68-
93.75% and required 4.66 – 7.37 day to cause whole plant infected. Whole plant
infection on EMS variant higher than gamma ray radiation variant, its around 77.5-
100% required 3.7 – 6.7 days. Score of leaf rot (SKD) of gamma ray radiation variant
were around 6.6 – 7.8 and EMS variant were 4.4-9. The score of leaf rot indicated
that disease intensity of plantlet variant have the fenotipe able to be categorized was
very susceptible.

Keywords : in vitro testing, Erwinia carotovora subsp carovora, varian


Somaclone

PENDAHULUAN

Secara alami setiap tanaman berpeluang mendapat serangan hama dan


penyakit, tak terkecuali anggrek. Tidak kurang dari 130 jenis penyakit dapat terjadi
pada genera anggrek, baik disebabkan oleh patogen bakteri, cendawan atau virus
dan nematode (Simon & Barnet 1995). Penyakit anggrek ini umumnya dapat
menyerang dan merusak semua bagaian tanaman. Data mengenai ketahanan
Phalaenopsis terhadap hama dan penyakit terutama terhadap penyakit busuk lunak
yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora belum pernah diketahui
secara pasti (Syahril et al. 2006).
77

Untuk mencegah serangan penyakit tersebut, umumnya para pelaku usaha tani
Phalaenopsis menggandalkan penyemprotan bakterisida yang diaplikasikan secara
intensif. Tindakan tersebut selain membutuhkan biaya yang mahal, juga akan
menyebabkan penurunan kualitas secara keseluruhan. Sisa-sisa dari penyemprotan
bakterisida akan menempel pada permukaan daun maupun bunga, sehingga
penampilan bunga menjadi kurang menarik. Alternatif pengendalian yang efektif,
murah, efisien, ramah lingkungan serta tidak mengganggu penampilan tanaman
sangat dibutuhkan dalam hal ini.. Pengendalian penyakit dengan menanam varietas
yang tahan merupakan cara yang efektif, efisien dan aman bagi lingkungan (Snijder
et al. 2004).
Strategi perakitan berbagai tanaman tahan dapat dilakukan melalui
pembentukan keragaman somaklonal yang dikombinasikan dengan metode seleksi in
vitro (Mohamed et al. 2000; Bajji et al. 2004). Beberapa pendapat menyatakan bahwa
keragaman somaklonal dapat diinduksi (Hutami et al. 2006), untuk mendapatkan
ketahanan suatu tanaman terhadap penyakit tertentu (Švábová & Lebeda 2005).
Pengujian pada varian somaklon terhadap suatu penyakit dapat dilakukan
secara in vitro karena metode ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan pengujian di lapangan. Pengujian ketahanan tanaman melalui cara inokulasi
di lapangan telah banyak dilakukan, tetapi metode ini sering mengalami desease
escape. Di samping itu lahan yang digunakan untuk pengujian tersebut dapat menjadi
sumber penyakit baru. Metode lain yang relatif aman diaplikasikan adalah metode
pengujian in vitro ini lebih efisien dan efektif karena selain dapat mengurangi
terjadinya escape, hasil pengujian dapat diulang di rumah kaca, patogen yang
digunakan tetap terbatas di laboratorium dan umumnya memberikan hasil yang relatif
tidak berbeda dengan inokulasi di lapangan (Samanhudi 2000).
Beberapa keberhasilan pengujian secara in vitro untuk tujuan mendapatkan
kultivar baru antara lain pada tanaman barley tahan suhu ekstrim rendah (Tantau et
al. 2004), gandum tahan kekeringan (Bajji et al. 2004), strawberi toleran kadar garam
tinggi (Dziadczyk et al. 2003). Al-Safadi & Arabi (2003) telah mendapatkan mutan
yang tahan terhadap penyakit layu pada kentang. Švábová & Lebeda. (2005) telah
menelusuri bahwa sejak tahun 1980-2003 diketahui bahwa tidak kurang dari 80
penelitian memanfaatkan metode pengujian in vitro. Metode tersebut umumnya
dilakukan pada kalus, protoplas, suspensi sel, maupun klon dan lebih dari 60%
dilakukan untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap Fusarium seperti
78

tanaman anyelir (Thakur et al. 2002), kacang kapri (Singh et al. 2003), pisang (Hoss
et al. 2000). Dari sebagian besar penelitian tersebut, penelitian untuk ketahanan
terhadap Erwinia carotovora sangat jarang ditemukan pada tanaman anggrek
khususnya Phalaenopsis.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi efektifitas metode pengujian
in vitro pada varian somaklonal menggunakan suspensi bakteri, (2) mengevaluasi
respon varian somaklonal terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp carotovora.

BAHAN DAN METODE

Bahan Tanaman dan Inokulum

Materi penelitian menggunakan plantlet varian somaklon dari tiga klon yaitu
SGN-PV2.11. (Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuchdelight x Vanda
lombokensis), 377 (Phal. Golden Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold), dan 642 ([Phal.
Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao Freed] x Phal. amboinensis) x Ever Spring
Prince) yang merupakan generasi M1V4 hasil iradiasi sinar gamma dan hasil
perlakuan perendaman larutan EMS. Masing – masing varian somaklon yang
diperoleh dari perlakuan yaitu dosis iradiasi (0; 2.5; 5; 15; 20 Gy), dan dari
perlakuan perendaman larutan EMS (E0 = 0%, E1 = 0.2%, E2 = 0.25%, E3 = 0.3%,
E4 = 0.35%, E5 = 0.4%) digunakan sebanyak 25 varian dengan ulangan 3 kali.
Plantlet varian turunan klon SGN-PV2.11 yang diuji seluruhnya berjumlah 75 varian
dalam 11 perlakuan sehingga total plantlet yang diuji sebanyak 825 plantlet. Plantlet
varian turunan klon 377 yang diuji sebanyak 75 plantlet dalam 8 jenis perlakuan
sehingga total adalah 600 plantlet. Sedang plantlet varian turunan klon 642 yang
diuji sebanyak 75 dalam 8 perlakuan sehingga total adalah 600 plantlet. Seluruh
plantlet diuji berjumlah 2025 plantlet.
Bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora yang berasal dari Phalaenopsis
terserang dipersiapkan dan disegarkan pada media NA untuk mendapatkan koloni
tunggal. Selanjutnya koloni tunggal disegarkan dalam media LB cair selama 24 jam
pada ruang bersuhu 28-30 °C. Selanjutnya dibuat larutan bakteri dengan konsentrasi
107 cfu/ ml.dalam media LB cair. Larutan bakteri tersebut siap digunakan untuk
inokulasi plantlet di dalam laminar air flow.

Uji In Vitro Menggunakan suspensi bakteri Erwinia carotovora subsp.


carotovora.
79

Dua puluh lima planlet M1V4 yang dihasilkan dari proses somaklonal variasi
dari masing-masing perlakuan, diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp
carotovora pada daun plantlet di dalam botol in vitro yaitu dengan cara menusukkan
atau melukai daun dengan alat yang telah dicelup bakteri dengan konsentrasi 107 cfu/
ml. Pelukaan dilakukan pada helaian daun pada salah satu daun plantlet yang berada
dalam botol kultur. Perlakuan inokulasi dilakukan dengan ulangan 3 kali. Setelah itu
diamati gejalanya selama 1-10 hari setelah inokulasi.
Pengamatan terhadap tingkat kebusukan daun dilakukan dengan cara
memberikan skor. Skoring tersebut ditentukan sebagaimana dilakukan oleh Norman
et al. (1997) yaitu skor 0 = daun tidak mengalami kebusukan, skor 1 – daun
mengalami bercak kecil pada luasan 1 % dari daun, skor 3 – daun mengalami kebusukan
dengan luasan 2-10%, skor 5- bercak daun agak meluas 11-25% dari luasan daun, skor
7 - bercak meluas 26 – 50 % dari luasan daun, skor 9 bercak melebar > 50 % atau daun
rontok (Gambar 15).

Gambar 15 Skoring bercak gejala penyakit busuk lunak pada pengujian in vitro.

Persentase daun bergejala busuk dan skor gejala kebusukan digunakan untuk
menghitung intensitas penyakit. Intensitas penyakit (IP) dihitung dengan rumus IP =
[Σ(ni x si)/(N x Z)] x 100%; N = jumlah tanaman yang diamati, Z = nilai skor
tertinggi, si = jumlah daun terserang dengan skor ke-I, ni = nilai skor penyakit dari i
= 0, 1, 2 sampai i t-skor tertinggi. Respon plantlet terhadap Erwinia carotovora
ditentukan berdasarkan kriteria persentase intensitas serangan sebagai berikut : tahan
(T) jika IP antara 0 % - 20 % ; agak tahan (AT) jika IP antara 21 % - 40 %; agak
rentan (AR) jika IP antara 41`% - 60 %; rentan (R) jika IP antara 61 % - 80 % ; sangat
rentan (SR) jika IP lebih dari 80 %. Cara menentukan persentase luasan daun adalah
dengan menggunakan ukuran pola daun yang dibuat pada plastik transparan sesuai
ukuran daun. Pola tersebut dibagi dalam 10 bagian (Gambar 23d) dan digunakan
80

sebagai alat bantu mengukur luasan bercak busuk. Selain pengamatan skor kerusakan
daun, ditentukan juga pada hari keberapa plantlet mati.
Laju infeksi (r) dihitung menggunakan rumus (Van Der Plank 1963) sbb :
2.3 1 1
r = ( log log )
t2-t1 1 - X2 1 - X1
r = laju infeksi
t = waktu pengamatan ( misalnya hari ke 1,...,5)
X = skor kebusukan daun

Evaluasi Varian Hasil Pengujian In Vitro

Evaluasi dilakukan baik selama masih mengalami infeksi Erwinia carotovora


subsp. carotovora maupun setelah plantlet bertahan hidup. Evaluasi tersebut meliputi
penentuan besarnya respon genotip digunakan analisis data dengan beberapa parameter
genetik, berdasarkan metode yang digunakan oleh Singh & Chaudhary (1979) :

Tabel 17 Analisis ragam dan peragam


Sumber Keragaman db Kuadrat Tengah Nilai Harapan
Genotipe (g-1) M2 σ e2 + 3 σ g2
Galat ( (r-1)(g-1) M1 σ e2

σ e2 =lingkungan; σ g2 = ragam genetik, σ 2p = ragam fenotipe


σ g2 = M2-M1 , σ e2 = M1, σ 2p = σ g2 + σ e2
r
Standar deviasi ragam genetik menggunakan rumus :
σσ2g = √[2/r][(M2 2g /dbg+2)+(M12/dbe+2)]
M2=kuadrat tengah genotipe
M1=Kuadrat tengah galat
r = ulangan
dbg = derajat bebas genotipe
dbe = derajat bebas galat
Keragaman genetik dapat diduga dari ragam genetik (σ2g) dan standar deviasi
ragam genetik (σσ2g). Suatu karakter mempunyai keragaman genetik yang luas jika σ2g
>2 σσ2g (Pinaria et al. 1995).
Koefisien Keragaman Genotipe (KKG):
81

σ g2
KKG = x 100 %,
X
dimana X = rata-rata populasi yang diamati.
Kriteria KKG menurut Qosim et al (2000), jika 0<KKG≤10.94 (sempit);
10.95<KKG≤21.88 (agak sempit); 21.89<KKG≤32.83 (agak luas);
32.84<KKG≤43.77 (luas); 43.77<KKG (sangat luas).
Pada plantlet yang masih mengalami proses infeksi, setelah 24 jam infeksi,
diambil beberapa sampel plantlet untuk diuji kandungan peroksidasenya. Plantlet yang
telah berhasil mempertahankan diri dari serangan Erwinia yaitu plantlet yang tidak
mengalami kebusukan total dan memiliki skor 0-3 pada 4-7 hsi (hari setelah inokulasi)
diaklimatisasi di luar ruangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Ketahanan Varian secara In Vitro

Keberhasilan uji in vitro menggunakan agen patogen langsung sangat


tergantung pada kemampuan agen patogen untuk melakukan infeksi pada tanaman
yang ditulari di dalam lingkungan botol kultur. Pada penelitian ini, kontak patogen
Erwinia penyebab busuk lunak pada permukaan daun yang dilukai dapat
menyebabkan infeksi penyakit busuk lunak pada plantlet varian Phalaenopsis hasil
mutasi menggunakan iradiasi sinar gamma dan EMS di dalam botol kultur. Patogen
tersebut menembus sel dan mendegradasi dinding sel untuk mendapatkan zat
makanan untuk pertumbuhannya (Agrios 2005). Proses tersebut terjadi sejak 24 jam
pertama setelah diinokulasi dengan agen patogen sebanyak 1x 108 cfu/ml, inkubasi di
ruang bersuhu ± 30 ºC. Peranan suhu sangat penting bagi pertumbuhan Erwinia
carotovora khususnya Erwinia carotovora subsp. carotovora yang hanya mampu
menyebabkan penyakit jika suhu lingkungannya ± 30 °C (Charkowski 2006).
Pada hari pertama kecepatan terjadinya infeksi pada plantlet sangat tinggi
selanjutnya laju infeksi menurun hingga mencapai titik terendah pada hari ke 8
(Gambar 16a) yang diindikasikan dengan daun membusuk atau rontok keseluruhan.
Laju infeksi menurun tetapi intensitas penyakit semakin meningkat sehingga
menyebabkan kematian plantlet. Pada hari ke 4, intensitas penyakit sudah hampir
mencapai 80% (Gambar 15b). Menurut Yap et al. (2004) Erwinia carotovora subsp.
carotovora yang diinkulasikan ke kentang sebanyak 1 x 108 cfu/ml membutuhkan
82

massa inkubasi selama 2-3 hari, sedanngkan bila digunakan


d ppetiole secarra in vitro,
inkuubasi memb
butuhkan waaktu selama 2 hari, beerbeda dengan daun Ph
halaenopsis
yan
ng hanya mem
mbutuhkan masa
m inkubaasi selama 1 hari.

(aa)

(b
b)

Gam
mbar 16 (a) Korelasi an
ntara masa innfeksi dengaan laju infekssi (b) korelaasi antara
masa infeksi deng
gan intensitaas penyakit busuk
b lunak pada varian somaklon
yang diinokulasi secara in vittro.

Tabbel 18 Persenntase plantleet mati dan llama waktu yang diperluukan plantleet dari awal
inokulassi sampai plaantlet mati pada
p plantlett yang diinookulasi dengaan Erwinia
carotovoora subsp. ca arotovora seecara in vitroo
Perlak
kuan L
Lama kemattian plantlet setelah
Plantlet mati (%)
Assal inokkulasi (hari)
Varrian SGGN- SGN-
377 642 377 642
PV2 2.11 PV2.11
Popuulasi varian hhasil perlakuuan iradiasi
0GG 922.5 76.1 93.6 6.0 bcd 7.4 a 5.0 cd
2.55G 822.5 - - 6.2 abc - -
5GG 688.0 - - 5.9 bcd - -
15G - 77.3 - - 6.7 ab -
20G - - 89 - - 4.7 d
Poppulasi varian hasil perlakkuan EMS
0
E0 91.33 abc 888.8 abc 93.8 ab 6.1 ab 5.0 a-e 4.2 cde
E1 91.33 abc 900.0 abc 83.3 bc 6.6 a 5.8 abc 6.3 a
E2
2 91.33 abc 955.0 ab 86.7 abc 5.4 a-e 5.5 a-d 6.2 a
E3
3 1000.0 a 1000.0 a 100.0 a 4.0 de 3.7 e 4.2 cde
E4
4 1000.0 a 1000.0 a 100.0 a 5.3 a-e 4.4 b-e 5.2 a-e
E5
5 77.5 c 9
98.8 a 84.0 bc 5.8 abc 5.0 a-e 6.4 a
83

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%. E0 (EMS
0%), E1 (EMS 0.2%), E2 (EMS 0.25%), E3 (EMS 0.3%), E4 (EMS 0.35%), E5
(0.4%).
Pada populasi varian ketiga klon iradiasi sinar gamma setelah dilakukan
pengujian secara in vitro menunjukkan hasil bahwa perlakuan dosis iradiasi tidak
mempengaruhi persentase plantlet yang mati, sedangkan perlakuan EMS
mempengaruhi persentase kematian plantlet. Kisaran persentase plantlet mati pada
plantlet varian iradiasi mencapai sebesar 68%-93.8%. Persentase kematian plantlet
hasil perlakuan EMS lebih bervariasi pengaruhnya terhadap hasil inokulasi tetapi
cukup tinggi, yang berkisar antara 77.5% hingga 100%.

a b

c d

Gambar 17 Hasil inokulasi secara in vitro (a) plantlet mengalami hipersensitif respon,
(b) tanaman mengalami kebusukan daun dengan skor 9, (c) seluruh plantlet
busuk, d) cara memperkirakan luasan kebusukan daun.

Di antara varian EMS ketiga klon SGN-PV2.11, 377 dan 642, persentase
kematian plantlet dari perlakuan E5 pada SGN-PV2.11 paling rendah. Perbedaan
persentase kematian plantlet antara plantlet yang berasal dari perlakuan tanpa EMS
dengan plantlet yang dihasilkan dari perlakuan EMS adalah sangat kecil, bahkan
dapat diartikan bahwa perlakuan EMS tidak memberikan pengaruh yang sangat nyata
84

terhhadap kemam
mpuan varian
n untuk bertahan dari serangan bakteeri Erwinia carotovora
c
subsp. carotovoora.
Waktu yang
y diperluukan plantleet hingga mengalami
m k
kematian yaaitu hingga
seluuruh plantleet menjadi busuk, mennunjukkan waktu
w yang berbeda (T
Tabel 18).
Perbbedaan terseebut disebab
bkan oleh peerbedaan ko
onsentrasi E
EMS dalam perlakuan,
mau
upun dosis iradiasi.
i Keddua mutagenn menyebabbkan perbeddaan pertahaanan varian
terhhadap Erwiniia carotovorra subsp. carrotovora.

Gam
mbar 18 Jum mlah plantleet varian daalam kategoori skor 1 ddan 3 hasil perlakuan
iradiasi sinar gamm
ma (Rad SGN N, Rad 642, Rad 377) dan EMS (E EMS SGN,
EMS 64 42, EMS 3777) yang telahh diuji secaraa in vitro.

Pada varrian iradiasi,, diantara keetiga klon, kllon 642 tamppak paling reendah daya
perttahanannya dilihat
d berdaasarkan palinng cepatnya kematian plaantlet. Semeentara klon
SGN
N-PV2.11 dan
d 377 lebiih lama berttahan. Berbeeda dengan varian iradiiasi, varian
EM
MS lebih berv
variasi waktuu yang dibuutuhkan untuuk membusuukkan seluruh
h daunnya.
Secara keseluruuhan varian klon 642 tampak
t lebiih mampu bertahan
b dibbandingkan
den
ngan varian klon
k SGN-PV2.11, klonn 377 paling cepat menggalami kemaatian. Lama
wakktu yang dibbutuhkan oleeh varian kllon 642 berk
kisar antara 4.2 - 6.4 hari, SGN-
PV2
2.11 berkisarr anrtara 4-66.6 hari dan 377
3 berkisar antara 3.7 - 5.8.
Plantlet yang tahann biasanya tidak terjaddi infeksi saama sekali, sedangkan
plan kan mengalaami hipersennsitif responn dengan ciri di sekitar
ntlet yang aggak tahan ak
pelu
ukaan menjaadi mengeriing dan inffeksi tidak berkembang
b g (Gambar 17a). Pada
plan
ntlet yang rentan
r dan sangat
s rentaan, pembusuukan segera terjadi setelah infeksi
pad
da hari pertam
ma kemudiann seluruh daaun membussuk karena teerdegradasi oleh
o enzim
85

yang berasal dari patogen (Gambar 17b-c). Dalam keadaan terserang seluruh daun
menjadi berwarna coklat basah (Gambar 17c).
Tabel 19 Rata-rata skor kerusakan daun (SKD), intensitas penyakit (IP), dan
ketahanan beberapa contoh varian Phalaenopsis SGN-PV2.11, klon 377, dan
klon 642 hasil uji in vitro
Klon Phalaenopsis dan Varian IP
SKD Ketahanan
Hasil Pengujian (%)
Klon SGN-PV2.11
35C/2,5G/4.21 1 11.1 T
63E/2,5G/3.6 3 33.3 AT
BC8/0G/2.3 7 77.8 R
98E/5G/3.1 0 00.0 T
109E/5G/2.4 7 77.8 R
82E/5G/2.3 1 11.1 T
94E/5G/1.5 5 55.6 AR
E2/45E/3.4 1 11.1 T
E5/45E /5/2.3 0 00.0 T
Klon 642
15F/0G/2.2 5 55.6 AR
14F/15G/1.6 1 11.1 T
11F/15G/2.7 3 33.3 AT
15F/E2/6.1 7 77.8 R
Klon 377
377/21F/0G/1.6 3 33.3 AT
377/22F/20G/3.4 1 11.1 T
377/24F/20G/4.2 3 33.3 AT
377/22F/E1/5.3 3 33.3 AT
377/23F/E2/3.5 1 11.1 T
Keterangan : T: tahan, AT:agak tahan, AR: agak rentan dan R: rentan.

Hasil pengujian pada berbagai varian ini diperoleh beberapa plantlet yang
tahan dan agak tahan dalam kisaran jumlah yang berbeda-beda di setiap perlakuan
mutasi (Gambar 18). Jumlah seluruh tanaman agak tahan dan tahan tersebut
sebanyak 162 (Lampiran 1). Jumlah plantlet tahan terbanyak terdapat pada perlakuan
iradiasi sinar gamma dengan dosis 5 Gy yaitu sebanyak 34 plantlet dari SGNPV2.11.
Pada klon 642 dengan dosis 15 Gy menghasilkan plantlet potensial sebanyak 14
plantlet, sedangkan klon 377 menghasilkan 12 plantlet potensial pada dosis 20 Gy.
Perlakuan iradiasi memberikan kontribusi lebih besar dari pada perlakuan EMS
apabila ditinjau dari jumlah plantlet yang tahan hasil dari pengujian terhadap patogen
Erwinia carotovora subsp carotovora. Perlakuan iradiasi sinar gamma menghasilkan
104 plantlet tahan sedangkan dari perlakuan EMS terdapat 58 planlet yang berasal
dari 3 genotip yaitu SGN-PV2.11, 377 dan 642.
86

Pada perlakuan EMS baik pada konsentrasi 0%; 0.2%; 0.25%; 0.3%; 0.35%;
0.4%, menghasilkan plantlet potensial yang bervariasi. Pada klon SGN-PV2.11
konsentrasi 0.2% menghasilkan plantlet varian potensial terbanyak sebanyak 8, pada
klon 642 konsentrasi 0.4% menghasilkan plantlet varian potensial sebanyak 8,
sedangkan klon 377 menghasilkan plantlet varian potensial terbanyak dari perlakuan
konsentrasi EMS 0.4% yaitu sebanyak 6 varian. Beberapa konsentrasi memunculkan
seluruh varian yang tidak tahan terhadap penyakit busuk lunak.
Beberapa varian potensial disajikan mewakili dari 162 varian potensial hasil
uji (Lampiran 1). Beberapa varian tersebut disajikan dalam Tabel 18. Varian yang
tahan memiliki skor kebusukan daun dan intensitas penyakit sebesar 0-1 dengan
intensitas penyakit 11.1%, varian agak tahan memiliki skor kebusukan daun 3 dan
intensitas penyakit 33.3%. Varian yang tahan biasanya mengalami hipersensitif
respon yang dicirikan dengan adanya pengeringan di sekitar pelukaan daun yang
diinokulasi patogen. Di antara varian-varian tersebut tidak ditemukan varian yang
benar-benar imun. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan iradiasi maupun EMS
dalam penelitian ini mampu merubah klon hanya hingga ke taraf tahan yang artinya
dapat menyebabkan klon yang sebenarnya sangat rentan menjadi memiliki
kemampuan dalam ketahanan terhadap penyakit busuk lunak.

Evaluasi ketahanan pada Varian terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp.


carotovora

Keragaman suatu klon pada umumnya adalah nol. Seperti halnya keragaman
klon, ketahanan pada suatu klon terhadap suatu jenis penyakit pada umumnya adalah
sangat sempit atau sangat rendah bahkan dapat dikatakan tidak memiliki keragaman.
Tanaman yang diregenerasikan secara vegetatif akan mempunyai konsekuensi
diperolehnya karakteristik keturunan yang identik dengan tetuanya artinya tidak
memunculkan fenomena segregasi gen sebagai faktor yang bertanggungjawab
terhadap peningkatan variabilitas genetik (Rachmadi 1999).
Tiga klon yang digunakan pada penelitian ini yaitu SGN-PV2.11, 642 dan 377
memiliki keragaman genetik yang sangat sempit berdasarkan analisis ragam yang
dinyatakan dengan koefisien keragaman genetik (KKG) yang rendah berdasarkan
kriteria Qosim et al (2000), jika 0<KKG≤10.94 (sempit); 10.95<KKG≤21.88 (agak
sempit); 21.89<KKG≤32.83 (agak luas); 32.84<KKG≤43.77 (luas); 43.77<KKG
(sangat luas). Klon SGN-PV2.11 merupakan klon yang memiliki keragaman genetik
87

yang agak sempit, sedangkan klon 377 dan 642 memiliki keragaman genetik yang
sempit.
Keragaman genetik klon-klon tersebut di atas sangat selaras dan berkaitan
dengan jumlah hasil uji ketahanan terhadap penyakit busuk lunak yang telah disajikan
pada Gambar 18. Klon SGN-PV2.11 yang memiliki keragaman genetik agak sempit,
diperoleh plantlet yang agak tahan hingga tahan lebih banyak daripada klon 377 dan
642 yang memiliki keragaman genetik lebih sempit (Tabel 20). Berdasarkan keadaan
keragaman genetik yang sempit di atas, sifat ketahanan terhadap penyakit pada varian
yang dimunculkan sebagai dampak adanya keragaman somaklonal yang disebabkan
oleh induksi mutasi adalah sangat sedikitnya jumlah varian yang tahan. Meskipun
persentase tanaman yang tahan sangat kecil tetapi hasil keragaman somaklonal masih
dapat diandalkan untuk membantu pemuliaan tanaman. Beberapa penelitian
melibatkan hasil keragaman somaklonal untuk mendapatkan tanaman tahan penyakit
di antaranya adalah tanaman abaka, stevia, pisang dan tanaman hias.

Tabel 20 Hasil analisis ragam dan ragam genetik karakter ketahanan penyakit busuk
lunak pada setiap genotip klon SGN-PV2.11, 377, 642 dan antara seluruh
genotip.

Sumber Ragam KKG (%) Kriteria


SGN-PV2.11 42.573 11.2 Agak sempit
377 36.529 10.188 Sempit
642 9.489 5.085 Sempit
Seluruh genotip 41.455 11.055 Agak sempit
Keterangan : KKG (koefisien keragaman genetik).

Beberapa varian yang telah diinokulasi patogen Erwinia diuji kandungan


peroksidasenya setelah 24 jam. Menurut Agrios (2005) setiap tanaman memiliki cara
yang khusus untuk mempertahankan diri dari serangan patogen. Peroksidase adalah
protein yang terinduksi yang merupakan komponen mekanisme pertahanan tanaman
yang terlibat dalam proses lignifikasi pada dinding sel epidermis (Martin et al. 2003;
Almagro et al 2008).
Gambar 19 menunjukkan bahwa salah satu contoh varian no 4 yang berasal
dari mutasi EMS memiliki kandungan peroksidase yang tinggi dibandingkan dengan
yang lain. Varian no 4 (SGN-PV2.11/45E/E5/2.3) ini berdasarkan Tabel 18 memiliki
karakter tahan. Beberapa varian lain yaitu 2(SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.6), dan 8
(377/22F/0G/3.4), merupakan varian yang memiliki kandungan peroksidase sangat
88

renddah tetapi berdasarkann Tabel 188 bersifat agak


a tahan.. Varian no
n 1(SGN-
PV2
2.11/BC8/0G
G/2.3), 3((SGN-PV2.111/109E/5G//2.4) dann 7(642/115F/E2/6.1)
kan
ndungan pero
oksidasenyaa lebih tingggi malah memiliki
m sifatt rentan dibbandingkan
variian no 2, dan
d 8, yang memiliki sifat
s agak tahan.
t Variaan no 9 dann 10 tidak
diinnokulasi diteemukan tidaak adanya peroksidase. Hal ini menimbulkkan dugaan
bahwa pada saaat tanaman Phalaenoppsis terserang patogen penyakit
p bu
usuk lunak,
perooksidase did
duga tidak terlibat
t dalaam sistim pertahanan
p taanaman Pha
alaenopsis.
Bebberapa tanam
man yang tahhan dan agakk tahan mem
miliki kandunngan perokssidase yang
tingggi, tetapi teerlihat pula adanya kanndungan peroksidase yyang lebih tinggi pada
tanaaman agak reentan diband
dingkan denggan tanamann yang agak tahan.

mbar 19 Koonsentrasi peeroksidase ppada plantleet varian 24 jam setelah


Gam h inokulasi
dengaan Erwinia carotovora
c s
subsp carotoovora,

KES
SIMPULAN
N

1. Uji in vitro
v dapat dilakukan ppada varian somaklonall yang dipeeroleh dari
perlakuaan iradiasi siinar gamma dan EMS.
2. Tanamaan mati padaa varian iraddiasi sinar gamma
g berkkisar antara 68- 93.8%
dan mem
mbutuhkan waktu
w selam
ma 4.7-7.4 hari
h untuk m
menyebabkann kematian
plantlet setelah inokkulasi.
3. Pada varrian EMS taanaman matii lebih tinggi dibandingkkan tanamann mati pada
89

varian iradiasi yaitu berkisar antara 88- 100% dengan lama waktu kematian
plantlet selama 3.7 – 6.6 hari.
4. Skor kebusukan daun (SKD) pada varian iradiasi sinar gamma 6.6 -7.8 dan
pada varian EMS 4.4-9, SKD tersebut mengindikasikan bahwa intensitas
penyakit pada plantlet varian memiliki fenotipe yang dapat dikategorikan
sangat rentan.
5. Kandungan peroksidase diduga tidak terlibat sistim pertahanan tanaman
Phalaenopsis dalam menghadapi serangan patogen penyebab penyakit busuk
lunak.
6. Varian tahan (SKD 1) dan agak tahan (SKD 3) secara in vitro, merupakan
varian potensial tahan penyakit busuk lunak. Jumlah keseluruhan sebanyak
162 varian.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press.
Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney.
Tokyo. p. 414-425.
Almagro et al 2008. Class III peroxidases in Plant Defence Reactions. J.Exp Bot 16
(5).
Al-Safadi B, Arabi MIE. 2003. In vitro induction. isolation. and selection of potato
mutant resistant to late blight. J. Genet & Breed 57: 359-364.
Bajji M, Bertin P, Lutts S, Kinet JM. 2004. Evaluation of drought resistance-related
traits in durum wheat somaclonal lines selected in vitro. Aust J Exp Agric 44:
27-35.
Charkowsky AO. 2006. The Soft rot Erwinia. Plant Associated Bacteria. Springer.
Netherland. p 423-505.
Dziadczyk P Balibok H, Tyrka M. Hortyński JA. 2003. In vitro selection of
strawberry (Fragaria x ananassa Duch) clones toleranct to salt stress.
Euphytica 132 : 49-55.
Hutami S, Mariska I, Supriati Y. 2006. Peningkatan keragaman genetic tanaman
melalui keragaman somaklonal. J. Agrobiogen 2 (2) : 81-88.
Hoss R, Helbig J, Bochow H. 2000. Function of host and fungal metabolites in
resistant response of banana and plantain in the black sigatoka disease
pathosystem (Musa spp – Mycosphaerella fijinensis). J. Pythopathol 148:
387-394.
Norman DJ, Henny RJ, Yuen JMF. 1997. Disease resistance in twenty in
Dieffenbachia cultivars. Hort SCi 32 (4) : 709-710.
Martin GB, Bogdanove AJ, Sessa G. 2003. Understanding the functions of plant
disease resistance proteins. Ann Rev Plant Biol 54: 23-61.
Mohamed MAH, Harris PJC, Handerson J. 2002. In vitro selection and
characterization of a drought tolerant clone of Tagetes minuta. Plant Sci 159 :
213-222
90

Pinaria A, Baihaki A, Setiamiharja R, Daradjat AA.1995. Variabilitas genetic dan


heritabilitas karakter-karakter biomassa 53 genotipe kedelai. Zuriat 6 (2) : 88-
92.
Qosim WA, Kurniawan A, Marwoto B. 2000. Stabilitas parameter genetik mutan-
mutan krisan generasi MV3. Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran. Jatinangor.
Rachmadi M. 1999. Diktat Kuliah Pemuliaan Tanaman Membiak Vegetatif.
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. 116pp.
Samanhudi. 2001. Identifikasi ketahanan klon kentang hasil fusi protoplas BF15
dengan Solanum stenotomum terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia
solanacearum). Thesis Pascasarjana IPB, Bogor. 88 hal.
Simone, G. W and H.C. Bernett. 1995. Diseases caused by bacteria and fungi. In :
Orchid Pests and Disease, p. 50-73.
Sinaga MS. 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta.
h. 134.
Singh RK, Chaudhary BD. 1979. BiometricalMethods in Quantitative Genetics
Analysis. Kalyani Publ. New Delhi. 304 p.
Snijder RC, Cho HR, Hendriks MMWB, Lindhout P, van Tuyl JM. 2004. Genetic
variation in Zantedechia spp (Araceae) for resistance to soft rot caused by
Erwinia carotovora subsp. carotovora. Euphytica 135 : 119-128.
Syahril et al. 2006. Transgenic Phalaenopsis plants with resistance to Erwinia
carotovora produced by introducing wasabi defensin gene using
Agrobacterium methods. Plant Biotech 88: 191-194.
Svabova L, Lebeda A. 2005. In vitro selection for improved Plant resistance to
toksin-producing pathogen. J. Phytopathology 153: 52-64.
Singh R, Sindhu A, Singal HR, Singh R. 2003. Biochemical basis of resistance in
chickpea (Cicer arietinum L) against Fusarium wilt. Acta Phytopathol
Entomol Hungaria 38: 13-19.
Thakur M, Sharma DR, Sharma SK. 2002. In vitro selection and regeneration of
carnation (Dianthus caryophyllus L) plants resistant to culture filtrate
Fusarium oxysporum f. sp. Dianthi. Plant Cell Rep 20: 825-828.
Tantau H, Balko C, Brettschneider B, Melz G, DÖrffling K. 2004. Improved frost
tolerance and winter survival in winter barley (Hordeum vulgare L) by in
vitro selection of proline overaccumulating lines. Euphytica 139: 19-32.
Yap MN, Barak JD, Charkowski AO. 2004. Genomic diversity of Erwinia
carotovora subsp carotovora and its correlation with virulence. Appl Environ
Microbiol. 70 : 3013-3023.
91

PENGUJIAN DI LAPANGAN KETAHANAN VARIAN SOMAKLON


PHALAENOPSIS POTENSIAL TERHADAP PENYAKIT BUSUK LUNAK

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan (1) mengkonfirmasi di lapangan respon populasi


varian Phalaenopsis yang tahan terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora
secara uji in vitro (2) mengevaluasi ketahanan varian terhadap Erwinia carotovora
subsp. carotovora hasil pengujian di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sejumlah varian yang telah berhasil dalam uji ketahanan terhadap Erwinia carotovora
subsp. carotovora secara in vitro berkurang pada uji di lapangan. Persentase
menurun hingga mencapai 12.5- 22.9% baik varian yang berasal dari mutasi iradiasi
maupun EMS. Masa inkubasi terjadi 24 jam pertama setelah inokulasi patogen.
Jumlah stomata adaxial atau abaxial dan ketebalan daun tidak berkorelasi dengan
skor kerusakan daun. Kandungan peroksidase diketahui lebih tinggi pada varian yang
agak tahan bukan varian yang paling tahan. Pada tanaman yang tahan memunculkan
pita esterase atau peroksidase lebih banyak dari pada tanaman yang lebih rentan.
Adapun kandungan asam salisilat ternyata tidak berkorelasi dengan ketahanan
Phalaenopsis terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora.

Kata kunci : Ketahanan, penyakit busuk lunak, uji di lapangan


92

FIELD TESTING OF PHALAENOPSIS VARIANT RESISTANCE AGAINST


SOFT ROT DISEASE

ABSTRACT

The objectives of this research is (1) testing field response of variant population
direved calli gamma ray radiated and EMS treatmented resistant to Erwinia
carotovora subsp carotovora through in vitro testing, (2) evaluating qualitative
characters of potential variants based on effect of stomata number, leaf thickness,
isoenzyme peroxidase and esterase also activity unit enzyme of peroxidase and
salycilic acid contain. Result of research indicate that some of variants which have
succeeded on in vitro testing to Erwinia carotovora subsp carotovora have
decreased. Percentage of the decrease till reached 12.5- 22.9% from radiated and
EMS treated. Incubation period was took place 24 first hour after patogen inokulated.
Number of stomata adaxial or abaxial and tleaf thickness also salisilic acid contain
was not correlated with the score of leaf damage. The contain of peroxidase has
been known higher at moderate than resistant. Resistance plants showed bands
esterase or peroxidase more than band on more susceptible plants.

Keyword : Resistance, soft rot, field testing

PENDAHULUAN

Penyakit busuk lunak (soft rot) yang menyerang Phalaenopsis merupakan


salah satu penyakit yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora.
Patogen ini memasuki tanaman secara alami melalui stomata dan lentisel atau
melalui pelukaan yang disebabkan oleh insekta, herbivora, angin, hujan dan
sebagainya (Agrios 2005). Di dalam tanaman, populasi bakteri memperbanyak diri
dan mensekresikan berbagai enzim ekstraseluler yang dapat mendegradasi dinding sel
tanaman dan substansi pektik dari lamella tengah yang dapat menyebabkan maserasi
jaringan (Toth et al. 2003). Erwinia carotovora subsp. carotovora lebih sering
dijumpai pada lingkungan beriklim hangat. Pengaruh suhu lebih dari 33 ºC
menyebabkan bakteri ini tidak mampu tumbuh. Pengaruh suhu ini pula akan
mempengaruhi produksi protein virulensi bakteri termasuk produksi pectatelyase,
pectinlyase, polygalacturonase, dan sebagainya tergantung strain (Yap et al. 2005;
Hasegawa et al. 2005).
Menurut Amusa and Odunbaku (2007), secara umum penyakit akibat
serangan bakteri sangat sulit dikendalikan dan sering terjadi tiba-tiba dan umumnya
93

menyebabkan penurunan hasil. Tindakan tepat pengendalian kimia secara praktis dan
efektif terhadap busuk lunak relatif belum ada. Salah satu metode untuk
mengendalikan penyakit yang efektif, efisien dan aman bagi lingkungan tersebut
adalah dengan menggunakan kultivar yang tahan (Sobiczewski 2008). Strategi
perakitan tanaman tahan penyakit merupakan strategi yang ekonomis bagi sejumlah
tanaman (Triphati & Triphati 2009) dan diharapkan akan ekonomis pula pada
tanaman Phalaenopsis. Sejumlah kendala dijumpai dalam perakitan Phalaenopsis
tahan penyakit busuk lunak karena studi penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh
Erwinia carotovora pada Phalaenopsis sangat terbatas dilaporkan, terutama
mengenai hal-hal yang menyangkut mekanisme pertahanan tanaman Phalaenopsis
terhadap penyakit tersebut di lapangan.
Studi perakitan kultivar tahan banyak dilakukan menggunakan varian
somaklon. Menurut Rossa (2009), varian hasil keragaman somaklonal merupakan
salah satu sumber yang dapat digunakan untuk memperoleh karakter tertentu yang
dikaitkan dengan sifat ketahanan terhadap suatu cekaman tertentu. Di Indonesia
teknik ini telah dimanfaatkan pada tanaman panili dan telah didapatkan tanaman
tahan penyakit layu bakteri (Lestari et al. 2006), tanaman pisang ambon tahan
fusarium (Husni et al. 2005), tanaman nilam tahan penyakit layu bakteri (Nasrun &
Nuryani 2007). Teknik pengujian untuk mendapatkan tanaman tahan penyakit ini
sebagian juga dilakukan dalam evaluasi di lapangan dengan cara menginokulasikan
langsung pada tanaman. Dewi et al. (2007) mengevaluasi ketahanan tanaman padi
haploid ganda yang akan digunakan sebagai tetua pembentukan padi tahan hawar
daun bakteri dengan metode pengguntingan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi respon di lapangan pada
populasi varian Phalaenopsis yang berasal dari kalus yang diberi perlakuan iradiasi
sinar gamma dan EMS yang telah tahan terhadap Erwinia carotovora subsp.
carotovora melalui uji secara in vitro, (2) mengevaluasi karakter kualitatif varian
potensial terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora pada pengujian di lapangan
berdasarkan pada tebal daun, isoenzim, kandungan peroksidase dan asam salisilat.

BAHAN DAN METODA


Bahan Tanaman
Varian potensial tahan sebanyak 162 dari klon SGN-PV2.11 silangan
intergenerik Phal. Taisuco Kochdian/Yukimai x Vanda Fuch delight x Vanda
94

lombokensis, klon 377 (Phal. Golden Poeker/Sogolisa x Phal. Viogold), dan 642
([Phal. Chih Sang’s Stripe/ Alfonso Ibara/Matao Freed] x Phal. Amboinensis) x Ever
Spring Prince) yang telah diuji ketahanan secara in vitro (Lampiran 1).

Pengujian Varian terhadap Erwinia carotovora subsp. carotovora di Lapangan

Varian potensial klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 digunakan sebagai materi
yang diinokulasi dengan Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan. Inokulan
Erwinia carotovora subsp. carotovora berkonsentrasi 108 cfu/ml. Pada tanaman
varian, daun dilukai dengan jarum yang telah dicelup inokulan, kemudian luka
ditutup dengan kapas basah dan diselotip agar kapas tetap menempel (Gambar 22c).
Setelah diinokulasi, inkubasi dilakukan pada ruang ruang tertutup plastik (Gambar
22a). Pengamatan dilakukan selama 4 hari berturut-turut pada luas kebusukan yang
ditimbulkan Erwinia carotovora subsp. carotovora pada daun, untuk menentukan
skor gejala kerusakan daun. Peubah yang diamati meliputi masa inkubasi,
diameter/lebar serangan dan persentase tanaman anggrek yang terserang Erwinia.
Intensitas serangan penyakit busuk lunak dihitung dengan rumus yang dikemukakan
oleh Norman et al. (1997) :

I=
∑ (nxv)
ZxN
dimana : I = intensitas serangan; N = jumlah daun total ; n = jumlah daun terserang
pada tiap nilai skala; n = nilai skala untuk tiap daun ; Z = nilai skala tertinggi. Penentu-
an nilai skala dilakukan sebagai berikut : nilai 0 = tanpa gejala; 1 = bercak kecil pada
luasan 1 % dari daun; 3 = bercak 2 – 10 % dari luasan daun; 5 = bercak agak meluas 11
– 25 % dari luasan daun; 7 =bercak meluas 26 – 50 % dari luasan daun ; dan 9 = bercak
melebar > 50 % atau daun rontok.
Selanjutnya berdasarkan intensitas serangan tersebut, tingkat ketahanan
Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak ditentukan berdasarkan kriteria sebagai
berikut : intensitas serangan 0 = imun, 0 % < x ≤ 20 % = resisten, 21 % < x ≤ 40 %
= agak resisten, 41 < x ≤ 60 % = agak rentan, 61 % < x ≤ 80 % = rentan dan 81 % <
x = sangat rentan.
Laju infeksi (r) dihitung menggunakan rumus (Van der Plank1963) sbb :
2.3 1 1
r = ( log log )
t2-t1 1 - X2 1 - X1
95

r = laju infeksi
t = waktu pengamatan ( misalnya hari ke 1,...,5)
X = skor kebusukan daun

Pengujian karakter varian potensial


Evaluasi karakter kualitatif ditentukan berdasarkan hasil analisis isoenzim,
kandungan peroksidase yang dilakukan di laboratorium bioproses PAU, IPB dan
analisis kandungan asam salisilat yang dilakukan oleh laboratorium Balai Besar
Pascapanen Bogor.

Analisis isoenzim menggunakan elektrophoresis gel starch.


Analisis isoenzim dilakukan dahulu dengan mengidentifikasi enzim-enzim
spesifik yang dapat terdeteksi pada varian somaklonal. Kemudian setelah diketahui
beberapa enzim spesifik tanaman tersebut, varian tahan dideteksi menggunakan
enzim spesifik tersebut, untuk mencirikan mutan yang diperoleh. Beberapa tahapan
yang harus dilakukan adalah pembuatan larutan buffer pengekstrak yang dilakukan
dengan mencampur larutan 10 mM L-ascorbat 0.07 g, 40mM L-sistein 0.1939 g,
Triton X-100 0.12 ml, PVP-40 sebanyak 0.25 g dan 0,1M Na2HPO4.2H20 dan
ditambahkan akuades sampai 100 ml pada pH 7.0. Pembuatan larutan buffer gel
yang terdiri dari 5 mM L-Histidin monohidrat 1,04 g yang dilarutkan dalam akuades
sampai volume 100 ml dengan pH 6.0. Pembuatan larutan buffer elektroda, 50 mM
asam sitrat monohidrat 10.55 gram dan 150 mM tris hidroksimetil aminometan 18.16
g dilarutkan dalam akuades sampai dengan pH 6.0. Selanjutnya pembuatan gel pati,
pati dicampur dengan sepertiga bagian buffer gel dan dua pertiga bagian lagi dimasak
lebih dahulu hingga mendidih. Setelah matang diangkat lalu dicampurkan dengan
campuran pati, kemudian dimasak lagi hingga kelihatan bening. Selanjutnya divakum
hingga gelembung udara dalam gel habis. Gel secepatnya dituang pada cetakan yang
sebelumnya telah diolesi parafin cair dan lubang pada kaki cetakan ditutup dengan
perekat. Setelah gel dingin, ditutup dengan plastik yang telah diolesi dengan parafin.
Gel bisa disimpan pada suhu 5-10 °C. Pelaksanaan analisis isoenzim dilakukan pada
daun segar dari sampel yang digunakan sebanyak 100-200 mg, dihaluskan dengan
terlebih dahulu memberikan buffer ekstrak sebanyak 0,5 ml, lalu digerus hingga
halus. Cairan daun gerusan diserap dengan kertas saring yang telah dipotong
secukupnya, selanjutnya kertas yang telah menyerap sel daun tersebut disisipkan pada
gel yang telah dilubangi. Cetakan yang telah disisipkan kertas saring yang berisi
96

contoh cairan daun dimasukkan dalam kotak plastik yang berisi buffer elektroda.
Kaki cetakan harus terendam dalam buffer elektroda lalu diletakkan dalam ruangan es
pada suhu 5-10 °C. Selanjutnya dialiri listrik 100 Volt 30 menit dan dilanjutkan 3-4
jam pada 150 Volt. Untuk mengontrol karak migrasi molekul, disalah satu sisinya
diberi penanda Bromofenol blue. Setelah selesai pengaliran listrik, gel dibelah
menjadi dua atau tiga (sesuai ketebalannya) pada posisi horisontal di atas alat
pemotong. Sebelumnya kertas saring dikeluarkan dari lubang-lubangnya. Lembaran
gel dimasukkan ke dalam nampan kemudian diberi pewarna yang masing-masing
telah disiapkan. Setelah itu kotak plastik ditutup dengan aluminium foil dan
diinkubasi pada suhu ruang sampai muncul pita-pita pada gel. Perendaman ini
dilakukan 1-2 jam tergantung jenis enzim. Gel dicuci dengan air mengalir sampai
bersih, kemudian potongan gel yang telah terlihat pita-pitanya dapat difiksasi dengan
50% etansol yaitu etanol : akuades : asam asetat : gliserol = 5:4:2:1. Pengamatan
segera dilakukan setelah pencucian dan hasilnya dapat diabadikan dengan kamera.

Analisis kandungan peroksidase dan asam salisilat


Beberapa tanaman varian hasil uji in vitro yang telah diinokulasi di lapangan,
24 jam setelah diinokulasi diambil sebagian daunnya untuk dianalisis kandungan
peroksidase dan asam salisilatnya. Analisis kandungan peroksidase dilakukan di
Laboratorium Bioproses PAU IPB Bogor, sedangkan kandungan asam salisilat
dilakukan di Laboratorium Balai Besar Pasca Panen Bogor. Sampel yang digunakan
adalah sampel tunggal karena tanaman yang digunakan merupakan hasil akhir yang
telah terseleksi di lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Varian Somaklon Potensial terhadap Erwinia carotvora subsp. carotovora di


Lapangan
Gejala awal penyakit busuk lunak yang muncul pertama kali pada uji penyakit
di lapangan adalah berupa bercak basah pada permukaan daun yang diinokulasi
(Gambar 19d), kemudian berkembang secara cepat ke seluruh daun. Peristiwa
tersebut merupakan dampak degradasi dinding sel maristematik dan parenkim yang
terdiri dari dinding sel primer dan lamella tengah (Agrios 2005). Dinding sel dan
lamela tengah terbuat dari senyawa-senyawa yang memiliki berat molekul tinggi dan
kompleks, sehingga patogen harus memecah menjadi unit yang lebih sederhana agar
97

dapat diabsorbsi. Proses terjadinya kontak patogen dengan permukaan daun hingga
terjadi penetrasi patogen memasuki jaringan serta degradasi dinding sel dan lamella
tengah hingga tampak gejala pembusukan merupakan masa inkubasi penyakit (Sinaga
2002).

Gambar 20 Uji di lapangan dengan Erwinia carotovora subsp. carotovora pada


varian tanaman tahan hasil uji in vitro : (a) dalam kumbung plastik, (b)
dan (c) inokulasi ditutup dengan kapas basah dan selotip, (d) kebusukan
yang terjadi setelah inokulasi 24 jam, (e) tanaman yang tetap sehat setelah
inokulasi SKD 1, (f) tanaman busuk dengan SKD 9.

Pada penelitian ini, proses munculnya gejala penyakit busuk lunak di


lapangan pada varian Phalaenopsis potensial tahan terjadi selama 24 jam pertama
setelah inokulasi. Masa inkubasi penyakit di lapangan dan di dalam kultur in vitro
adalah sama yaitu terjadi selama 24 jam pertama setelah inokulasi dengan patogen.
Masa inkubasi penyakit yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora
98

berddasarkan pennelitian Huaang et al. 20004 pada tannaman tembaakau terjadi selama 24
jam
m setelah inokkulasi. Laju infeksi penyyakit di lapaangan juga m
menunjukkann pola yang
sam
ma dengan laaju penyakit di dalam kuultur in vitro pada peneelitian bab sebelumnya
(Gaambar 15) yaitu
y dengann pola yang menurun dan
d sebaliknnya intensitaas penyakit
sem
makin meninggkat. Gambaar 20a menuunjukkan lajuu infeksi yanng terjadi sellama 4 hari
pen
ngamatan, deengan intervaal pengamattan satu harii. Proses terjadinya peny
yakit busuk
lunaak di lapangan sama denngan yang terrjadi di dalam kultur in vvitro.
Respon yang terlihaat dari indiviidu varian po
otensial yangg diinfeksi di
d lapangan
ini, ternyata jum
mlah tanamaan tahan mennurun. Variaan yang tahan secara in vitro
v belum
tenttu akan tahann di lapangaan. Varian koontrol dari ketiga klon yaaitu varian yang
y belum
ulasi patogenn secara in vitro, setelaah mengalam
pernnah diinoku mi infeksi di
d lapangan
ham
mpir semua mati.
m

(a)
r=0.9998

(b)

r=0.9534

Gam
mbar 21 (aa) Korelasii antara maasa infeksi dengan
d laju infeksi pennyakit (b)
koorelasi antaraa masa infeeksi dengann intensitas penyakit bu usuk lunak
varian potensiaal pada penggujian di lapaangan.
99

Persentase varian potensial dari hasil mutasi iradiasi dan EMS yang telah
diuji secara in vitro yang masih dapat bertahan sekitar 5 – 17.7 % (Tabel 21),
tergantung genotipnya. Genotip klon SGN-PV2.11 lebih tahan dari pada genotip klon
377 dan klon 642. Varian potensial tahan dari klon SGN-PV2.11 hasil inokulasi in
vitro hanya bertahan sebanyak 17.7 % berasal dari mutasi dengan iradiasi sinar
gamma, genotip 642 tertinggi 16.6% berasal dari mutasi iradiasi sinar gamma dan
377 tertinggi 13.3% berasal dari mutasi EMS. Berdasarkan jumlah tanaman yang
tahan, SGN-PV2.11 diperoleh tanaman yang tahan lebih banyak dibandingkan
dengan genotip 642 dan 377.
Ketahanan plantlet di dalam kultur in vitro berbeda dengan ketahanan
tanaman di lapangan. Hal ini mungkin disebabkan karena di dalam kultur in vitro.
Plantlet dalam kondisi optimum dengan adanya nutrisi yang lengkap dan terus
menerus tersedia, lingkungan yang sesuai dan terkontrol. Kondisi di lapangan
sebaliknya, nutrisi tidak terus menerus ada dan lingkungan dapat berubah setiap saat
termasuk adanya serangan patogen lain yang tiba-tiba (Amusa & Odunbaku 2007).

Tabel 21 Respon tanaman varian dan silangan yang telah diuji secara in vitro
terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp. carotovora di lapangan

Jumlah bibit hasil uji In vitro Fenotip Fenotip Agak


KLon Tahan
Diinokulasi % Hidup Tahan
Kontrol
SGN-PV2.11 13 7.69 0 1
642 8 0.00 0 0
377 14 0.00 0 0
Populasi iradiasi
SGN-PV2.11 62 17.74 4 7
642 18 16.60 1 2
377 16 12.50 1 1
Populasi EMS
SGN-PV2.11 19 5.26 1 2
642 20 5.00 1 2
377 15 13.3 0 2

Evaluasi Karakter Kualitatif Ketahanan Penyakit pada Varian Potensial

Semua varian potensial yang diuji di lapangan terhadap Erwinia carotovora


subsp. carotovora tidak ada yang memiliki SKD 0 hingga akhir pengamatan. Varian
yang memiliki SKD 1 dan 3 biasanya mampu bertahan hidup hingga lebih dari 10 hsi
dan mutan ini terpilih menjadi mutan yang tahan terhadap penyakit busuk lunak.
100

Beberapa uji di antaranya, kandungan peroksidase, adanya isoenzim esterase dan


peroksidase maupun kandungan asam salisilat dilakukan pada beberapa sampel
varian potensial secara acak.
Peroksidase dan esterase merupakan isoenzim yang mudah dideteksi dari
berbagai tanaman. Keterlibatan komponen protein dan aktivitas peroksidase pada
ketahanan penyakit dan sebagai salah satu enzim pertama yang merespon dan
melakukan pertahanan cepat melawan patogen (Aboshosha 2008). Hubungan
peroksidase dan esterase terhadap induksi makanisme pertahanan adalah dalam
keterlibatannya dalam proses lignifikasi (Boszo et al. 2002; Golubenko et al. 2008).
Oleh karena itu pengujian peroksidase dan esterase merupakan suatu cara untuk
mengetahui apakah ada peranan enzim tersebut di dalam pertahanan Phalaenopsis
terhadap serangan Erwinia carotovora subsp .carotovora.

Tabel 22 Hubungan antara jumlah pita isoenzim peroksidase, esterase dan unit
aktivitas enzim (UAE) peroksidase terkadap skor kebusukan daun (SKD)
varian tanaman pada engamatan dilakukan 24 jam setelah diinokulasi dengan
Erwinia carotovora subsp carotovora.
UAE Σ Pita Σ Pita
Kode Klon Peroxidase Isoenzim Isoenzim SKD
(µl/mg) Peroksidase Esterase
SGN-PV2.11/10E/2.5G/2.3 0.0000403 1 1 5
SGN-PV2.11/ 45E/E5/2.3 0.0000348 1 3 0
SGN-PV2.11/17D/5G/1.7 0.0000325 1 2 3
SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.6 0.0000147 1 0 3
SGN-PV2.11/94E/5G/1.5 0.0000468 1 1 3
SGN-PV2.11/109E/5G/2.4 0.0000940 1 2 3
SGN-PV2.11/38E/2.5G/ 4.9 0.0000650 1 2 3
642/14F/15G/2.9 0.0000205 3 2 1
377/22F/E2/1.5 0.0000369 2 2 3
SGN-PV2.11/98E/5G/2.2 0.0000083 0 2 -

Besarnya konsentrasi peroksidase, pada saat setelah terjadi infeksi patogen,


dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 22. Satu sampel yang diambil secara acak
dan diuji, berdasarkan unit aktivitas enzim, sampel no 10 yang tidak diinokulasi
dengan patogen, aktivitasnya paling kecil apabila dibandingkan dengan sembilan
sampel yang diinokulasi dengan patogen. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
peroksidase meningkat setelah terjadi serangan penyakit, meskipun tidak dapat
dibedakan apakah respon tanaman yang paling tahan yang memiliki aktivitas paling
tinggi atau rendah. Tanaman yang memiliki SKD 0 atau 1 relatif lebih rendah
101

aktivitasnya dari pada tanaman yang memiliki SKD lebih dari 1. SKD yang lebih
dari 1 biasanya berubah setelah diamati 4 hsi menjadi 7 atau 9 (data tidak
ditunjukkan) tetapi tanaman yang menunjukkan SKD 1 biasanya lebih mampu
bertahan. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa pada tanaman yang lebih tahan
memang memiliki gen ketahanan yang mengendalikan sifat tahan tersebut selain
melibatkan peroksidase itu sendiri. Akan tetapi tanaman yang agak tahan berusaha
memberikan perlawanan yang kuat sehingga meningkat aktivitas peroksidasenya.
Aktivitas peroksidase diperkuat dengan isoenzim peroksidase yang disajikan
dalam bentuk tabel mengenai jumlah pita yang muncul dalam gel pati
elektrophoresis. Pada tanaman yang tidak diinokulasi tidak memunculkan pita
peroksidase sedangkan tanaman yang diinokulasi memunculkan pita paling sedikit
satu pita peroksidase. Jumlah pita esterase lebih banyak dari pada pita peroksidase.
Tanaman yang memiliki SKD 0 atau 1 memiliki salah satu jenis pita yang jumlahnya
lebih banyak dari pada yang lain. Misalnya sampel no 2 yang memiliki SKD 0,
memunculkan pita esterase 3 buah sedangkan sampel no 8 dengan SKD 1
memunculkan pita peroksidase yang berjumlah 3 buah yang merupakan jumlah pita
terbanyak. Hal ini diduga bahwa masing-masing tanaman memiliki peroksidase yang
berbeda-beda jenisnya.
Dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa tanaman yang tahan dapat
ditandai dengan adanya jumlah pita peroksidase atau esterase yang lebih banyak dari
pada tanaman yang bersifat rentan atau moderat. Aboshosha (2008) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa tanaman bunga matahari yang tahan terhadap
Macrophomia phaseolina memunculkan pita isozim peroksidase berjumlah 4
sedangkan tanaman yang peka memunculkan pita 2 buah dan tanaman yang
intermediate memunculkan pita 3-4. Hal yang dapat diambil dalam penelitian tersebut
adalah bahwa jumlah pita semakin banyak mengindikasikan bahwa tanaman semakin
tahan terhadap penyakit.
Analisis lain yang dilakukan untuk mempelajari sifat ketahanan pada
Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak adalah asam salisilat. Tanaman yang
diserang oleh patogen, menjalankan mekanisme pertahanan secara aktif yang
membutuhkan sintesis protein yang diatur melalui jalur signal kompleks dan saling
berhubungan, terutama melalui jalur asam salisilat, asam jasmonat atau ethylene yang
dihasilkan dalam sintesis protein PR (Almagro et al. 2009).
102

Pada pen
nelitian ini, analisis kanndungan asam
m salisilat yyang dilakuk
kan 24 jam
seteelah tanamann diinokulassi menunjukkkan bahwa semua
s tanam
man yang mengandung
m
asam
m salisilat baik tanam
man yang ddiinokulasi maupun yaang tidak diinokulasi.
d
Konnsentrasi assam salisilatt sembilan tanaman yang diinokuulasi tidak adda korelasi
den
ngan SKD masing-masin
m ng tanaman. Tanaman yang
y memiliiki SKD 0 atau
a 1 pada
sam
mpel no 2 dan
d 8, mennunjukkan kkonsentrasi asam
a salisillat yang lebbih rendah
dariipada tanam
man yang meemiliki SKD
D 3 yaitu sam
mpel no 5 dan 9 dan baahkan lebih
renddah dari tannaman yang
g tidak diinnokulasi yaittu sampel nno 10. Hasiil analisis
salisilat tersebu
ut menunjukk
kan bahwa asam
a salisilatt diduga tidaak terlibat daalam sistim
perttahanan Phaalaenopsis dalam
d menghadapi patthogen peenyakit busuusk lunak,
messkipun banyaak penelitiann menyebutkkan bahwa asam
a salisilaat biasanya teerinduksi 6
jam
m setelah teerinokulasi dan
d ditandaii adanya reaksi
r hiperssensitif padaa tanaman.
Dalam hal ini bukan
b berartii pertahanann tanaman diilakukan olehh asam salissilat sendiri
tetaapi asam salisilat mengin
nduksi pertahhanan tersebut. (Agrios 22005).

3.5
Konsentrasi asam Salisilat (%/g)

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

Varrian

man setelah 24 jam


Gambar 22 Diagram koonsentrasi assam salisilat varian tanam
terinnfeksi Erwinnia carotovoora subsp carrotovora.

Hasil pengujian
p paada akhirnyaa memperoleeh beberapa mutan yangg memiliki
kriteeria tahan yaitu
y dengaan SKD 1 dan SKD 3 yang seluuruhnya berrjumlah 24
tanaaman. Darii klon SG
GN-PV2.11 diperoleh 5 mutan tahan yaaitu SGN-
103

PV2.11/R6/2.5G/1.8 , SGN-PV2.11/98E/5G/3.1, SGN-PV2.11/82E/5G/2.3, SGN-


PV2.11/99E/5G/6.2 , SGN-PV2.11/45E/E5/2.3. Dari klon 642 diperoleh 2 mutan
tahan yaitu 642/15G/14F/2.9, 642/13F/E1/2.4 dan dari klon 377 diperoleh 1 mutan
tahan yaitu 377/19F/20G/1.5 (Tabel 23).

Tabel 23 Mutan tahan dan agak tahan dari klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 hasil
validasi dengan uji di lapangan menggunakan patogen Erwinia carotovora
subsp. carotovora
No  Nama Mutan     SKD In Vitro    SKD Akhir Kategori
1  SGN‐PV2.11/63E/2.5G/3.4 1 3 AT 
2  SGN‐PV2.11/R6/2.5G/1.8 1 1 T 
3  SGN‐PV2.11/98E/5G/3.1 0 1 T 
4  SGN‐PV2.11/107E/5G/1.8 1 3 AT 
5  SGN‐PV2.11/17D/5G/1.9 1 3 AT 
6  SGN‐PV2.11/36C/5G/3.1 1 3 AT 
7  SGN‐PV2.11/109E/5G/2.4 1 3 AT 
8  SGN‐PV2.11/82E/5G/2.3 1 1 T 
9  SGN‐PV2.11/99E/5G/6.2 1 1 T 
10  SGN‐PV2.11/82/5G/2.3 1 3 AT 
11  SGN‐PV2.11/82E/5G/2.3 1 3 AT 
12  642/15G/14F/2.9  0 0 T 
13  642/15G/14F/1.9  0 3 AT 
14  642/15G/12F/3.4 3 3 AT 
15  377/23F/20G/1.8   1 3 AT 
16  377/19F/20G/1.5   0 1 T 
17  SGN‐PV2.11/30E/E2/5.5 0 3 AT 
18  SGN‐PV2.11/45E/E5/2.3 0 1 T 
19  SGN‐PV2.11/34E/E5/2.6 1 3 AT 
20  642/13F/E1/2.4  1 1 T 
21  642/13F/E2/5.4  3 3 AT 
22  642/11F//E5/7.6  1 3 AT 
23  377/23F/E2/1.9  3 3 AT 
24  377/21F/E2/1.4  3 3 AT 
Keterangan : T (tahan), AT (Agak tahan), SKD (Skor Kebusukan Daun).

KESIMPULAN

1. Proses pengujian ketahanan tanaman terhadap penyakit busuk lunak yang


disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp carotovora di lapangan
menunjukkan kesamaan dengan pengujian ketahanan secara in vitro. Pola
masa inkubasi, laju infeksi dan intensitas penyakit di lapangan terjadi sesuai
dengan pola di dalam kultur in vitro.
104

2. Kandungan asam salisilat, peroksidase dan esterase tidak terdapat pada semua
tanaman yang tahan.
3. Beberapa mutan diperoleh dari validasi di lapangan antara lain dari klon
SGN-PV2.11 sebanyak 14 mutan terdiri atas 5 mutan tahan dan 9 mutan agak
tahan, klon 642 sebanyak 6 mutan terdiri atas 2 mutan tahan dan 4 mutan agak
tahan, sedang klon 377 sebanyak 4 mutan terdiri atas 1 mutan tahan dan 3
mutan agak tahan.
4. Dari klon SGN-PV2.11 diperoleh 5 mutan tahan yaitu SGN-
PV2.11/R6/2.5G/1.8, SGN-PV2.11/98E/5G/3.1, SGN-PV2.11/82E/5G/2.3,
SGN-PV2.11/99E/5G/6.2, SGN-PV2.11/45E/E5/2.3. Dari klon 642 diperoleh
2 mutan tahan yaitu 642/15G/14F/2.9, 642/13F/E1/2.4 dan dari klon 377
diperoleh 1 mutan tahan yaitu 377/19F/20G/1.

DAFTAR PUSTAKA

Aboshosha SS, Attaalla SI, El-Karomy AE, El-Argawi E. 2008. Protein analysis and
peroxidase isoenzymes as molecular markers for resistance and susceptibility
of Sun flower to Macrophomia phaseolina. J Agric Biol 10: 28-34.
Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press.
Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney.
Tokyo. p. 414-425.
Almagro et al 2009. Class III peroxidases in Plant Defence Reactions. J.Exp Bot 60
(2): 377-390.
Amusa NA. Odunbaku OA. 2007. Biological control of bacterial of plants in Nigeria
: Prolem and prospects research . J. Agric Biol Sci. 3 (6): 979-982.
Bozso Z, Besenyei E, Ott PG, Czelleny A, Klement Z. 2002. Cloning and
characterization of peroxidase associated with generalized defence reactions
of plants against bacterial patogens. Plant Physiol 46 (3-4): 139-141.
Dewi IS, Apriana A, Sisharmini A, Somantri IH. 2007. Evaluasi Ketahanan
Tanaman Padi Haploid Ganda Calon Tetua Padi Hibrida terhadap Wereng
Batang Coklat dan Hawar Daun Bakteri. J Bul Agron. 35 (1): 15 – 21.
Golubenko et al. 2008. Induction of peroxides as a disease resistance response in
resistant (Hibiscus trioma) and susceptible (Althen ameriaca) spesies in the
family Malvaceae. J Phytoparasitica 35 (4): 401- 413.
Hasegawa H, Chatterjee A, Cui Y, Chatterjee AK. 2005. Elevated temperature
enhances virulence of Erwinia carotovora subsp carotovora strain EC153 to
plants and stimulates production of the quorum sensing signal N-acyl
homoserine lactone and extracelluler proteins. Appl Environ Microbiol. 71:
4655-4663.
Husni A, Hutami S, Kosmiatin M, Mariska I. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai
untuk meningkatkan sifat toleran kekerangan. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan. 23 (2) : 93-100.
105

Huang HE, Ger MJ, Yip MK, Chen CY, Pandey AK, Feng TY. 2004. A
hypersensitive response was induced by virulent bacteria in transgenic
tobacco plants overexpressing a plant ferredoxin-like protein (PFLP). Physiol
Mol Plant Pathol 64 : 103–110.
Lestari EG, Sukmadjaja D, Mariska I. 2006. Perbaikan ketahanan tanaman panili
terhadap p[enyakit layu melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 25
(4) : 149-153.
Nasrun, Nuryani Y. 2007. Penyakit layu bakteri pada nilam dan strategi
pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian 26 (1) : 9-14.
Norman DJ, Henny RJ, Yuen JMF.1997. Disease resistance in twenty in
Dieffenbachia cultivars. Hort SCi 32 (4) : 709-710
Rossa Y. 2009. Pemanfaatan variasi somaklonal dan seleksi in vitro dalam perakitan
tanaman toleran cekaman abiotik.J Litbang Pertanian 28 (4): 142-148.
Sinaga MS. 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta.
h. 134.
Sobiczewski P. 2008. Bacterial diseases of plants : Epidemology. diagnostics &
control. Zembirbyrte-Agric 95 (3) : 151-157.
Toth IK, Bell KS, Holeva,MC, Birch, PRJ. 2003. Patogen profile. Soft rot erwiniae :
from genes to genomes. Mol Plant Pathol 4 (1): 17-30.
Triphati L, Triphati JN. 2009. Relative susceptibility of banana cultivars to
Xanthomonas campestris cv musaceano. Afr J Biotech 8 (2) : 5343-5350.
Van der Plank JE. 1963. Plant Diseases: epidemics and control. Academic Press.
New York. London. 349p.
Yap MN, Barak JD, Charkowski AO. 2004. Genomic diversity of Erwinia
carotovora subsp carotovora and its correlation with virulence. Appl Environ
Microbiol. 70 : 3013-3023.

PEMBAHASAN UMUM
106

Di dalam pemuliaan anggrek Phalaenopsis, hingga saat ini, pengembangan


masih mengarah pada perbaikan bunga saja. Perbaikan mutu dan kualitas dalam
bidang ketahanan terhadap penyakit belum dijadikan tujuan penting, meskipun
permintaan pasar terhadap bibit sehat dan bermutu sangat dibutuhkan. Hal ini terbukti
dengan minimnya data-data yang mendukung pengembangan Phalaenopsis tahan
penyakit. Budidaya Phalaenopsis di Indonesia juga belum mengenal penggunaan
bibit berkualitas tinggi dan tahan penyakit hasil pemulia Indonesia sendiri. Kenyataan
ini mendorong untuk terus melakukan penelitian mengenai Phalaenopsis tahan
penyakit. Strategi penggunaan kultivar tahan penyakit merupakan strategi efisien
untuk mendukung biokontrol penyakit (Sobiczewski 2008), mengingat lingkungan
Indonesia yang beriklim tropis.
Pada pemuliaan konvensional, perbaikan tanaman melalui pembentukan
kultivar tahan penyakit dapat terlaksana apabila tersedia sumber genetik dari sifat
yang diinginkan. Sifat ketahanan terhadap penyakit busuk lunak pada anggrek belum
diketahui secara pasti terdapat pada salah satu jenis anggrek terutama Phalaenopsis.
Salah satu penelitian awal mengenai skrining terhadap Erwinia carotovora telah
dilakukan oleh salah seorang peneliti tanaman hias, dan diketahui bahwa
Phalaenopsis cornu-cervi dan Phalaenopsis amboinensis memiliki ketahanan
terhadap penyakit busuk lunak (Handayati et al. 2004).
Berdasarkan informasi adanya Phalaenopsis yang diduga memiliki ketahanan
terhadap penyakit busuk lunak, dikembangkan penelitian menggunakan materi klon
yang memiliki keturunan Phalaenopsis spesies yang tahan yaitu Phalaenopsis
amboinensis. Metode kombinasi keragaman somaklonal menggunakan mutagen fisik
dan kimia serta pengujian terhadap infeksi Erwinia carotovora subsp. carotovora
merupakan metode yang efektif, murah dan efisien dilaksanakan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah inisiasi pembentukan kalus
embriogenik 3 buah klon yaitu SGN-PV2.11, 377 dan 642 yang merupakan klon hasil
silangan Phalaenopsis komersial, pada media terpilih yaitu MI-3 yang mengandung
1/2 MS yang ditambah 0.5 mg.l-1 2,4-D + 0.5 mg.l-1 BAP + 0.2 mg.l-1 thidiazuron,
adalah berbeda beda. Faktor yang menentukan keberhasilan induksi kalus antara lain
kandungan nutrisi media tanam, lingkungan, sumber eksplan yang digunakan, umur
sumber eksplan dan genotip (Akin-Idowu 2009).
Dalam studi ini, faktor yang dilihat adalah faktor nutrisi dan genotip. Nutrisi
dalam media yang digunakan terdiri atas unsur makro dan mikro serta vitamin dan zat
107

pengatur tumbuh. Komposisi media tersebut belum mampu mendorong pembentukan


kalus 100%. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain komposisi
media itu sendiri yang belum tepat, kesalahan teknis pada saat pengirisan eksplan
sehingga misalnya menyebabkan eksplan agak kering, dan sebagainya. Faktor
penyebab lain adalah genotip. Klon SGN-PV2.11 cenderung lebih mudah diinduksi
dan diproliferasikan kalusnya bila dibandingkan dengan klon 642 dan 377. Klon
SGN-PV2.11 lebih mudah diinduksi kalusnya karena kemungkinan tetua-tetuanya
masih memiliki keturunan Phalaenopsis spesies yang masih memiliki ploidi yang
lebih sederhana dari pada klon komersial yang lain. Klon komersial biasanya
merupakan hasil beberapa kali silangan, oleh karena itu biasanya bersifat
heterozygous dan juga mungkin ploidinya lebih tinggi.
Klon merupakan bagian dari suatu tanaman tunggal yang berdeferensiasi
secara mitosis sehingga tidak memungkinkan terjadinya perubahan susunan genetik
seperti halnya yang terjadi pada proses meiosis. Secara mendasar dalam suatu klon
tidak ditemukan variasi, tetapi pengembangan variasi genetik suatu klon dapat
diinduksi (Kodym & Afza 2003; Hutami et al. 2006).
Pada penelitian ini, dalam hal induksi variasi somaklonal melalui iradiasi, ada
beberapa yang dapat dilihat antara lain: radiosensitivitas, perkembangan materi pasca
iradiasi, dan persentase keragaman yang ditimbulkan. Ketiga hal tersebut saling
berkaitan. Perlakuan iradiasi sinar gamma diketahui menyebabkan radiosensitivitas
kalus ketiga klon berbeda. Klon 377 memiliki radiosensitivitas paling rendah dan
klon 642 memiliki radiosensitivitas tertinggi, sedang klon SGN-PV2.11 menunjukkan
radiosensitivitas di antara kedua klon tersebut di atas.
Radiosensitivitas merupakan ukuran sensitivitas materi terhadap iradiasi
(Ashraf et al. 2003), seharusnya dapat dihubungkan dengan seberapa besar perubahan
materi yang mampu ditimbulkan baik secara morfologi maupun genetik. Klon 377
yang memiliki radiosensitivitas rendah (tidak sensitive terhadap iradiasi), ternyata
persentase perubahan morfologi yang ditimbulkan lebih besar daripada klon 642 yang
teruji memiliki radiosensitivitas tinggi. Klon SGN-PV2.11 yang memiliki
radiosensitivitas yang besarnya di antara klon 642 dan 377, ternyata persentase
perubahan yang ditimbulkan lebih banyak.
Dari ketiga klon, daya regenerasi SGN-PV2.11 lebih besar dari pada 377 dan
642. Pada klon SGN-PV2.11 ini pula dapat dilihat bahwa dosis iradiasi 2.5 Gy dan
5Gy menyebabkan daya regenerasi lebih tinggi dari pada daya regenerasi pada dosis
108

lebih rendah atau tinggi. Menurut beberapa peneliti, dosis iradiasi rendah umumnya
dapat meningkatkan daya regenerasi kalus menjadi tanaman (Ahloowalia &
Maluszynski 2001; Datta et al. 2005). Berdasarkan data kemampuan regenerasi,
dosis iradiasi yang berada di sekitar LD20 –LD50 merupakan dosis yang dapat
digunakan untuk meningkatkan variasi somaklonal. Mampu. Shirong (2008) dan
Hussin et al. (2008) juga berpendapat sama yaitu bahwa dosis dibawah LD50 mampu
meningkatkan munculnya varian lebih banyak.
Mutagen fisik iradiasi maupun mutagen kimia EMS, memiliki pengaruh yang
sama pada penelitian ini. Keduanya dapat memunculkan varian-varian yang berbeda
secara morfologi maupun sitologi, meskipun mekanisme mutagenesis keduanya
berbeda. Menurut Kodym & Afza (2003), mutagen fisik iradiasi sinar gamma
bersifat acak, menyebabkan banyak terjadi rekombinasi gen dan mutasi kromosom.
Mutagen kimia bersifat lebih spesifik lokasi, banyak terbentuk heterokromatin,
banyak fragmen kromosom dan lebih sedikit perubahan struktural.
Pada studi ini, varian iradiasi sinar gamma yang berfenotip abnormal terdiri
atas daun bergerigi, daun terbelah, roset, merah dan berbentuk terompet, sedang
varian EMS terdiri atas tanaman kerdil, daun terbelah ujungnya, duduk daun tak
beraturan, warna daun merah dan daun berbentuk terompet. Secara sitologi,
perubahan jumlah kromosom muncul dari beberapa varian hasil mutasi
menggunakan EMS. Jumlah kromosom varian ada yang lebih tinggi dari jumlah
kromosom yang normal yaitu 2n=2x=38. Beberapa varian ada yang memiliki kurang
atau lebih dari jumlah kromosom normal. Perubahan jumlah kromosom menjadi lebih
sedikit akibat mutagen EMS ini dapat dijelaskan dengan adanya proses yang
disebabkan oleh alkilasi membentuk N-7 guanin di dalam asam nukleat atau
nukleotida (Kim et al. 2004). Jumlah kromosom yang meningkat yang diakibatkan
karena mutagen EMS seharusnya tidak terjadi, namun kenyataannya ditemukan pada
satu varian. Hal ini dapat diduga bahwa ada kemungkinan proses penggandaan
kromosom pada saat pembelahan cepat dan berulang pada proses proliferasi kalus
sebelumnya, mengingat materi yang digunakan adalah kalus dan media yang
digunakan mengandung zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Berdasarkan
alasan kemampuan terbentuknya varian, mutagen fisik iradiasi sinar gamma maupun
mutagen kimia EMS dapat dijadikan pilihan.
Fenotip abnormal yang timbul tidak semua bertahan sejak generasi ke 2,
keabnormalan kembali normal pada seleksi diplontik. Pada generasi M1V4 hanya
109

beberapa plantlet yang tetap menjadi plantlet abnormal, di antaranya yang berbentuk
kerdil. Hal ini menunjukkan bahwa variasi somaklonal yang ditimbulkan merupakan
variasi epigenetik. Variasi epigenetik sangat sering terjadi melalui teknik kultur in
vitro (Kaeppler et al. 2000).
Ketersediaan metode uji in vitro yang efektif dan mudah dilakukan
merupakan langkah awal yang diperlukan bagi pemuliaan tanaman Phalaenopsis
tahan penyakit. Metode uji yang dikembangkan harus mempertimbangkan aspek
teknis pelaksaannya, yaitu mudah dilakukan, tetapi dapat menduga dengan akurat
ketahanan tanaman yang diuji. Metode pelukaan dan penetesan suspensi bakteri
merupakan metode yang sederhana dan mudah dilaksanakan secara in vitro.
Inokulum sebanyak 10µl mampu menyebabkan infeksi pada plantlet. Metode ini juga
harus didukung dengan lingkungan yang sesuai dengan lingkungan tumbuh bakteri
yaitu pada suhu 28-30 °C (Charkowski 2006).
Secara umum, pengujian ketahanan varian somaklon yang dilakukan pada
penelitian ini, suspensi bakteri dengan kerapatan sel 107cfu.-ml yang digunakan dapat
menginfeksi plantlet-plantlet yang diinokulasi secara in vitro. Gejala awal infeksi
erwinia pada daun plantlet mulai terjadi diketahui pada pengamatan 24 jam pertama
setelah inokulasi. Intensitas penyakit meningkat selama 10 hari pengamatan. Laju
infeksi penyakit busuk lunak ini sangat tinggi pada hari pertama, skor kebusukan
daun mencapai 3-5 tergantung varian dari jenis klon yang digunakan.
Masa inkubasi penyakit busuk lunak pada semua varian, baik yang berasal
dari mutagenesis dengan iradiasi sinar gamma maupun mutagenesis dengan
perlakuan perendaman EMS, adalah sama yaitu selama 24 jam pertama setelah
inokulasi. Varian dari mutagenesis dengan EMS lebih banyak dan lebih cepat mati
bila dibandingkan dengan varian hasil iradiasi sinar gamma.
Keragaman genetik yang dihitung berdasarkan intensitas penyakit, dapat
diketahui bahwa klon SGN-PV2.11 merupakan klon yang memiliki keragaman
genetik yang agak sempit, sedangkan klon 377 dan 642 memiliki keragaman genetik
yang sempit, dengan demikian mutasi meningkatkan keragaman sifat ketahanan
terhadap busuk lunak terutama pada SGN-PV2.11 yang seharusnya sempit menjadi
agak sempit, sedangkan dua klon lain induksi mutasi tidak begitu berpengaruh pada
keragaman sifat ketahanan yang sempit.
Pengujian in vitro merupakan metode untuk mengefisienkan pengujian
tanaman di lapangan sehingga hanya tanaman-tanaman yang telah terseleksi yang
110

menjadi materi pengujian sebenarnya. Pengujian sesungguhnya di lapangan akan


menambah keakuratan hasil pengujian in vitro tersebut. Proses pengujian ketahanan
tanaman terhadap penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora
subsp. carotovora di lapangan menunjukkan kesamaan dengan pengujian ketahanan
secara in vitro. Reaksi yang terjadi akibat dari inokulasi tersebut seperti proses yang
terjadi secara alami pada tanaman. Pola masa inkubasi, laju infeksi dan intensitas
penyakit di lapangan terjadi sesuai dengan pola di dalam kultur in vitro. Beberapa
varian potensial dapat dikategorikan menjadi mutan Phalaenopsis tahan dan agak
tahan terhadap penyakit busuk lunak, yang berjumlah 14 mutan dari klon SGN-
PV2.11, 6 mutan dari klon 642 dan 4 mutan dari klon 377. Mutan pilihan yang
benar-benar dapat diandalkan adalah tanaman yang tidak terserang sama sekali yaitu
yang berjumlah 4 mutan dari klon SGN-PV2.11, 2 mutan dari klon642 dan 1 mutan
dari klon377.
Untuk menerangkan sifat ketahanan tanaman, telah dianalisis beberapa uji yaitu
analisis konsentrasi peroksidase dan asam salisilat, serta isoenzim, karena komponen-
komponen tersebut biasanya terlibat dalam mekanisme pertahanan tanaman pada fase
awal. Secara alami tanaman akan bereaksi melawan serangan patogen dalam
berbagai cara seperti membentuk hipersensitif cell death, memproduksi fitoalexin dan
mengekspresikan protein PR termasuk sejumlah peptide antimikrobia (Kiba et al.
2003). Hasil uji menunjukkan bahwa kandungan asam salisilat, peroksidase dan
esterase tidak berkorelasi positif terhadap ketahanan tanaman yang ditunjukkan
berdasakan SKD. Hal ini menunjukkan dugaan bahwa ketiganya tidak terlibat dalam
sistim pertahanan tanaman Phalaenopis pada saat terserang penyakit busuk lunak.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan adalah bahwa bakteri
Erwinia carotovora subsp carotovora adalah bakteri nekrotik. Bakteri nekrotik
biasanya menginduksi alkaloid asam jasmonate atau ethylene dan bukan asam
salisilat, meskipun beberapa penelitian menunjukkan adanya asam salisilat. Isoenzim
peroksidase dan esterase maupun kandungan peroksidase juga tidak terlibat dalam
sistim pertahanan Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak. Hal ini terjadi karena
pada proses inokulasi patogen ke tanaman, penetrasi dilakukan dengan sengaja yaitu
melalui pelukaan, sehingga tidak ada proses pre-existing penyakit atau adanya proses
pengenalan elisitor patogen dengan reseptor yang ada di tanaman. Dalam proses
tersebut, tanaman sudah tentu tidak akan membentuk pertahanan yang berhubungan
dengan pembentukan lignifikasi yaitu yang berhubungan dengan adanya peroksidase
111

dan esterase. Hal inilah yang menyebabkan ketiga senyawa tidak berkorelasi dengan
sistim pertahanan tanaman.

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

1. Media optimum untuk pembentukan kalus embriogenik atau embriosomatik


ketiga klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 adalah media 1/2 MS yang diberi
tambahan zat pengatur tumbuh 0.1 mg.l-1 BAP dan 10 mg.l-1 2,4-D. Proses
embriosomatik Phalaenopsis pada media tersebut melalui fase globuler,
torpedo dan calon tunas. Kalus berhasil diregenerasikan menjadi plantlet
menggunakan zat pengatur tumbuh 0.4 mg.l-1 BAP dan 0.2 mg.l-1 2,4-D.
2. Keragaman somaklonal hasil mutagenesis fisik iradiasi sinar gamma
meningkat hingga 6.8% pada klon SGN-PV2.11, 2.2% pada klon 642 dan
2.6% pada klon 377. LD50 klon SGN-PV2.11 diketahui sebesar 16.2 Gy, klon
642 15.3 Gy dan klon 377 sebesar 22 Gy. Hasil perubahannya berupa variasi
morfologi pada varian dan variasi jumlah pita isoenzim peroksidase.
3. Keragaman somaklonal yang ditimbulkan oleh mutagen EMS mencapai
sebesar 16.5% pada klon SGN-PV2.11, 6.2% pada klon 642 dan 20.9% pada
klon 377. LC50 perlakuan perendaman EMS pada kalus Phalaenopsis adalah
sebesar 0.28%-0.32% dengan lama perendaman 19.4 - 38.7 menit.
4. Fenotip yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan fenotip yang
ditimbulkan oleh mutagen fisik sinar gamma. Selain fenotip normal, fenotip
ujung daun terbelah, tak beraturan, daun berbentuk terompet, daun berwarna
merah, dan kerdil.
5. Berdasarkan persentase varian yang dihasilkan, dinyatakan bahwa genotipe
klon 642 lebih stabil dibandingkan dengan klon 377, sedang keduanya lebih
stabil daripada klon SGN-PV2.11.
6. Pengujian in vitro pada ketiga klon Phalaenopsis yaitu klon SGN-PV2.11,
377 dan 642 berhasil diperoleh varian potensial sebanyak 162 plantlet yang
memiliki SKD 1 dan 3 yang dikategorikan agak tahan dan tahan.
7. Hasil pengujian akhir menghasilkan mutan yang berjumlah 24 tanaman yang
terdiri dari 8 tanaman tahan dan 16 tanaman agak tahan.
112

8. Isoenzim peroksidase dan esterase, kandungan peroksidase dan asam salisilat


diduga tidak terlibat dalam sistim pertahanan Phalaenopsis ketika mendapat
serangan patogen Erwinia carotovora subsp. carotovora.
9. Berdasarkan alasan kemampuan terbentuknya varian, mutagen fisik iradiasi
sinar gamma maupun mutagen kimia EMS dapat dijadikan pilihan untuk
membentuk populasi varian untuk tujuan peningkatan ketahanan terhadap
penyakit.

SARAN
1. Penggunaan plantlet yang akan diuji dengan patogen sebaiknya menggunakan
plantlet yang teregenerasi di awal-awal subkultur yaitu 2-3 subkultur pertama
karena semakin banyak subkultur, hasil plantlet kurang optimum sehingga
hasil yang diperoleh lebih akurat.
2. Apabila akan melakukan penelitian dengan memanfaatkan isolat Erwinia,
sebaiknya erwinia disimpan dalam media cair. Media padat menyebabkan
koloni cepat kering dan menjadi kurang virulen. Pemilihan koloni harus
setepat mungkin yaitu koloni tunggal putih kekreman dan kelihatan kompak,
tidak melebar dan datar, karena yang demikian kemungkinan tercampur
dengan Psudomonas sp.
3. Sebelum dan pada saat iradiasi kalus, sebaiknya kalus telah dipindahkan pada
media tanpa zat pengatur tumbuh.
4. Tanaman yang akan diuji di lapangan sebaiknya tidak dipupuk dengan pupuk
yang mengandung Ca tinggi, karena Ca merupakan unsure yang dibutuhkan
untuk pembentukan dinding sel, sehingga hasil uji dapat diperoleh secara
akurat. Tanaman yang tahan bukan disebabkan oleh adanya didnding sel yang
sudah tebal.
5. Penelitian untuk mendapatkan klon-klon tahan Erwinia carotovora subsp
carotovora harus tetap dilakukan, untuk menangkal ras-ras baru yang
disebabkan oleh perubahan alami pada patogen Erwinia carotovora subsp
carotovora tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutations-A new paradigm in plant


breeding. Euphytica 118: 167–173, 2001.
113

Akin-Idowu PE, Ibitoye DO, Ademoyegun OT. 2009. Tissue culture as a plant
production technique for horticultural crop. Afr J Biotech 8(16): 3782-3788
Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1
generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795
Charkowsky AO. 2006. The Soft rot Erwinia. Plant Associated Bacteria. Springer.
Netherland. p 423-505.
Datta SK, Mesra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for
establishment of solid mutant in Chrysantmemum. Curr Sci 88 (1); 155-158.
Handayati W, Hanudin, Miharja S. 2003. Teknik inokulasi bakteri busuk lunak
Erwinia spp pada anggrek Phalaenopsis untuk tujuan skrining varietas
resisten. Pros. Sem Nasional dan kongg PFI XVII,. Bandung 6-8 Agustus
2003.
Hutami S, Marisk I, Supriyai Y. 2006. Peningkatan keragaman genetic tanaman
melalui keragaman somaklonal. J Agrobiogen 2(2): 81-88.
Hussien G, Harun AR, Shamsudin S. 2008. Study on mutagenesis of signals grass
(Brachiaria decumbens) by gamma irradiation. http://www-.google.w.id-
/search?q=radiosensits/+plant&hl=id&stored=60850=N
Kiba A, Saitoh H, Nishihara M, Omiya K, Yamamura S. 2003. C-Terminal domain of
a hevein-like protein from wasabi japonica has poten antimicrobial activity.
Plant Cell Physiol 44 : 296-303.
Kaeppler SM, Kaeppler HT, Rhee Y. Epigenetic aspect of somaclonal variation in
plants. Plant Mol Biol 43 (3): 179-188.
Kim YS, Schumaker KS, Zhu JK. 2006. EMS mutagenesis of Arabidopsis.
http://www.faculty.ucr.edu/--jkzhu/articles/2006/yskim.pdf.15/11/2010
Kodym A, Afza R. 2003. Physical and Chemical mutagenesis. Method Mol Biol 236:
189-204.
Shirong Z, Luxiang L, Wang J. 2008. Induced Mutations for improvement of fruit
Trees and Ornamental Plants China http://www.fnca.next.go.jp-
/englishhold/2totuzeni/3/20ciws/04/01china/main_html
Sobiczewski P. 2008. Bacterial diseases of plants : Epidemology. diagnostics &
control. Zembirbyrte-Agric 95(3) : 151-157.
114

LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar varian potensial klon SGN-PV2.11, 642 dan 377 yang tahan
(SKD 1) dan agak tahan (SKD 3) terhadap Erwinia carotovora subsp
carotovora hasil uji in vitro yang dilanjutkan dengan uji di lapangan

SKD    SKD SKD 


No  Nama Mutan  Keterangan 
In  hari   Akhir
115

Vitro ke‐1 Lapang


1 SGN-PV2.11/OG/.B3.1.1 3 3 9
2 SGN-PV2.11/OG/.B8.2.2 3 3 9
3 SGN-PV2.11/OG/.BC.3.4 3 3 9
terserang 
4 SGN-PV2.11/OG/.K4.5.6 3 jamur 
5 SGN-PV2.11/OG/.B8.5.3 3 3 9
6 SGN-PV2.11/OG/.BC.8.4 3 3 9
7 SGN-PV2.11/R6/2.5G/1.3 3 3 9
8 SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.6 3 3 9 sampel no 4 
9 SGN-PV2.11/101E/2.5G/2.16 3 3 9
10 SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.6 3 3 9
11 SGN-PV2.11/63E/2.5G/3.4 1 1 3
12 SGN-PV2.11/101E/2.5G/2.5 1 1 5
13 SGN-PV2.11/R6/2.5G/1.3 3 3 9
14 SGN-PV2.11/35C/5G/4.21 1 3 9
SGN-PV2.11/59F/2.5G/3.8 terserang 
15 3 jamur 
SGN-PV2.11/105E/25G/ 4.2 terserang 
16 3 jamur 
17 SGN-PV2.11/54E/2.5G/1.17 3 3 9
18 SGN-PV2.11/35C/2.5G/4.5 1 3 9
19 SGN-PV2.11/35C/2.5G/4.9 1 3 9
20 SGN-PV2.11/38E/2.5G/ 4.9 1 1 7
21 SGN-PV2.11/36C/2.5G/3.2 3 3 9
22 SGN-PV2.11/36C/2.5G/3.8 3 3 9
23 SGN-PV2.11/38E/2.5G/ 4.9 3 3 7 no 7 
24 SGN-PV2.11/R6/2.5G/1.8 1 1 1
terserang 
SGN-PV2.11/56E/2.5G/5.4
25 3 jamur 
terserang 
26 SGN-PV2.11/56E/2.5G/3.4 3 jamur 
27 SGN-PV2.11/35C/2.5G/4.4 3 3 9
28 SGN-PV2.11/10E/2.5G/6.5 3 3 9
29 SGN-PV2.11/10E/2.5G/2.3 3 3 9 no 1 
30 SGN-PV2.11/58E/2.5G/ 2.2 1 3 9
SGN-PV2.11/60E/2.5G/ 5.4 terserang 
31 3 jamur 
32 SGN-PV2.11/106E/2.5G/2.5 3 3 9
33 SGN-PV2.11/54E/2.5G/1.11 1 3 9
34 SGN-PV2.11/57E/2.5/1.1 1 3 9
35 SGN-PV2.11/36C/5G/3-8 3 3 9
36 SGN-PV2.11/36C/5G/3-14 3 3 7
37 SGN-PV2.11/36C/5G/3-1 3 3 9
38 SGN-PV2.11/94E/5G/1.5 1 3 9 no 5 
39 SGN-PV2.11/109E/5G/2.4 1 3 9 no 6 
116

40 SGN-PV2.11/109E/5G/3.4 3 3 9
41 SGN-PV2.11/109E/5G/2.24 1 3 9
42 SGN-PV2.11/110E/5G/2.6 3 3 9
43 SGN-PV2.11/98E/5G/3.1 0 0 1
44 SGN-PV2.11/107E/5G/1.8 1 1 3
45 SGN-PV2.11/107E/5G/1.9 3 3 9
46 SGN-PV2.11/17D/5G/1.9 1 1 3
47 SGN-PV2.11/29D/5G/1.6 1 3 7
48 SGN-PV2.11/22D/5G/1.4 1 1 5
49 SGN-PV2.11/36B/5G/12.5 3 3 9
50 SGN-PV2.11/10E/5G/7.3 3 3 9
51 SGN-PV2.11/36C/5G/3.1 1 1 3
52 SGN-PV2.11/35C/5G/5.20 3 3 9
53 SGN-PV2.11/36B/5G/12.5 3 3 9
54 SGN-PV2.11/36C/5G/3.1 1 1 3
55 SGN-PV2.11/35C/5G/5.20 3 3 9
56 SGN-PV2.11/35C/5G/5.3 3 3 5
57 SGN-PV2.11/95E/5G/5.7 3 3 9
58 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 3 3 9
59 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 1 3 9
60 SGN-PV2.11/109E/5G/2.4 1 3 3
61 SGN-PV2.11/68E/5G/3.4 3 3 9
62 SGN-PV2.11/17D/5G/1.7 3 3 9 no 3 
63 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 1 3 1
64 SGN-PV2.11/99E/5G/6.2 1 1 1
65 SGN-PV2.11/82/5G/2.3 1 3 3
66 SGN-PV2.11/82E/5G/2.5 3 3 9
67 SGN-PV2.11/82E/5G/2.3 1 3 3
68 SGN-PV2.11/10E/5G/4.4 3 3 9
69 642/0G/14F/2.2 1 3 7
70 642/0G/13F/ 2.5 3 3 9
71 642/0G/14F/ 2.7 3 3 9
72 642/0G/15F/ 2.11 1 3 9
73 642/15G/24F/2.5 3 3 9
74 642/15G/14F/1.6 3 3 7
75 642/15G19F/2.7 3 3 9
76 642/15G/14F/2.9 3 3 9
77 642/15G/14F/2.9 0 0 0 no 8 
78 642/15G/14F/2.5 1 3 9
79 642/15G/11F/2.7 3 3 7
80 642/15G/15F/1.6 3 3 9
81 642/15G/14F/6.9 3 3 9
82 642/15G/14F/1.9 0 3 3
83 642/15G/11F/ 2.5 3 3 9
84 642/11F/15G/2.7 3 3 7
117

85 642/12F/15G/3.4 3 3 3
86 642/10F/15G/4.6 3 3 5
87 377/21F/0G/ 1.6 3 3 9
88 377/22F/0G/ 1.10 3 3 9
89 377/19F/0G/1.16 3 3 9
90 377/19F/0G/3.8 1 terserang jamur 
91 377/22F/0G/4.3 3 terserang jamur 
92 377/22F/0G/6.2 3
93 377/23F/20G/1.13 3 3 9
94 377/23F/20G/1.6 3 3 9
95 377/23F/20G/1.8 1 1 3
96 377/19F/20G/1.5 3 3 9
97 377/19F/20G/1.4 3 3 9
98 377/19F/20G/1.9 3 3 9
99 377/19F/20G/1.5 0 1 1
100 377/22F/20G/3.4 1 3 9
101 377/23F/20G/2.5 3 3 9
102 377/22F/20G/3.1 3 3 9
103 377/24F/20G/4.2 3 3 9
104 377/20F/20G/2.2 3 3 9
105 SGN-PV2.11/24E/E0/1.7 3 3 9 terserang jamur 
106 SGN-PV2.11/9E/E0/1.6 3 3 9
107 SGN-PV2.11/15E/E0/1.6 3 3 9
108 SGN-PV2.11/.BC8/E1/2.4 3 3 9
109 SGN-PV2.11/.BC8/E1/2.7 3 3 9
110 SGN-PV2.11/ 11E/E1/2.3 3 3 9
111 SGN-PV2.11/90E/E1/4.3 3 3 9
112 SGN-PV2.11/90E/E1/5.2 3 3 9
113 SGN-PV2.11/90E/E1/1.1 3 3 9
114 SGN-PV2.11/90E/E1/2.6 3 3 9
115 SGN-PV2.11/89E/E1/1.2 3 3 9
116 SGN-PV2.11/30E/E2/5.5 0 1 3
117 SGN-PV2.11/ 34E//E2/3.4 3 3 9
118 SGN-PV2.11/30E/E23.4 1 3 9
119 SGN-PV2.11/45E/E2/3.4 1 3 9
120 SGN-PV2.11/30E/E2/3.7 3 3 9
121 SGN-PV2.11/.BC8/E5/2.7 3 3 9
122 SGN-PV2.11/.BC8/E5/2.4 1 3 9
123 SGN-PV2.11/45E/E5/2.3 0 0 1 no 2 
124 SGN-PV2.11/34E/E5/2.6 1 1 3
125 642/PA3/E0/2.2 3 3 9
126 642/53E/E0/5.5 3 3 9
127 642/13F/E1/7.3 3 3 7
128 642/12F/E1/5.3 3 3 9
129 642/13F/E1/2.4 1 1 1
118

130 642/95E/E1/1.3 3 3 9
131 642/95E/E1/11.5 3 3 9
132 642/95E/E1/2.3 3 3 9
133 642/12F/E2/7.4 3 3 7
134 642/13F/E2/5.4 3 3 3
135 642/13F/E2/3-5 3 3 9
136 642/14F/E2/5.2 3 3 9
137 642/13F/E2/ 13.2 3 3 9
138 642/13F/E4/1.7 3 3 9
139 642/11F/E5/1.2 3 3 9
140 64211F//E5/7.6 1 3 3
141 642/11F/E5/2.2 3 3 5
142 642/12F/E5/ 4.3 3 3 9
143 642/12F/E5/7.8 3 terserang jamur 
144 642/12F/E5/8.9 3 terserang jamur 
145 642/13F/E5/8.3 3 3 9
146 642/13F/E5/4.6 3 3 9
147 377/23F/E0/1.2 3 3 9
148 377/24F/E0/4.2 3 3 9
149 377/24F/E1/3.3 3 3 9
150 377/23F/E1/1.2 3 3 9
151 377/22F/E1/5.3 3 3 5
152 377/23F/E2/1-9 3 3 3
153 377/22F/E2/3.5 1 3 7 no 9 
154 377/22F/E2/ 4.6 3 3 9
155 377/21F/E2/1.4 3 3 3
156 377/29F/E5/2.2 3 3 9
157 377/21F/E5/3.8 3 3 9
158 377/24F/E5/1.6 3 3 9
159 377/25F/E5/2.7 3 3 9 terserang jamur 
160 377/23F/E5/8.1 3 3 9
161 377/23F/E5/7.5 3 3 9
162 377/23F/E5/3.4 3 3 9

Lampiran 2 Rata-rata jumlah plantlet per eksplant dari tiga klon SGN-PV2.11, klon
642 dan klon 377 yang diperoleh setelah 12 MST
V  E  D  No
119

1  2 3 4 5 6 7 8 9  10 
SGN  EL1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2.5 2  1 3 1 0 2 0 1 1  2 
5 4  6 6 7 5 5 7 4 5  6 
EL2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2.5 2  3 5 1 2 0 1 1 2  2 
5 6  7 9 4 7 6 4 7 8  8 
EL3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2.5 4  4 6 5 5 2 3 4 8  5 
5 4  6 4 8 9 9 6 5 10  8 
642  EL1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 3  4 6 7 4 3 2 4 4  2 
15 3  5 5 5 2 2 3 1 5  5 
EL2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 5  6 3 3 3 6 6 6 5  5 
15 7  8 5 5 5 4 4 3 6  3 
EL3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 6  6 4 3 5 7 7 7 3  3 
15 4  2 6 8 9 7 2 2 3  4 
377  EL1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 4  5 6 7 5 5 3 3 4  3 
EL2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 2  3 5 8 5 3 4 4 2  3 
EL3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
   20 4  5 7 6 3 2 3 5 6  5 
Keterangan : V (genotip), E (jenis media), D (dosis radiasi)

Вам также может понравиться