Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pendahuluan
Artritis reumatoid, selanjutnya disebut AR, adalah suatu penyakit inflamatif yang biasa
menyerang persendian (dapat pula menyerang kulit, jantung, paru, mata), bersifat autoimun, kronik,
sistemik, dan progresif.1 Manifestasi klinik yang paling klasik dari AR adalah poliartritis simetrik (3
atau lebih sendi), sering menyerang sendi-sendi kecil di tangan dan kaki.2 Sendi yang terlibat terasa
hangat, nyeri, dan mengalami pembengkakan. Secara spesifik, bagian sendi yang terserang adalah lapisan
sinovial sendi. Pada akhirnya AR akan mendestruksi struktur rawan sendi, erosi tulang (bone erosion),
dan menyebabkan ankilosis (kaku sendi). Etiologi dari AR belom diketahui secara pasti, namun AR dapat
muncul akibat kombinasi faktor genetik, respons imun akibat infeksi, serta autoimunitas terhadap
berbagai komponen sendi (sinovium dan rawan sendi). Diperkirakan sekitar 1% penduduk dunia
menderita AR, dengan wanita 3-5 kali lebih banyak terserang dibandingkan pria. Walaupun dapat
menyerang rentang usia yang luas, AR banyak ditemukan di usia 40 sampai 70 tahun. 3
Epidemiologi
Secara umum, sekitar 1% penduduk dunia terserang AR, dan angka ini relatif konstan beberapa
dekade terakhir. Di China dan Indonesia, prevalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah pedesaan
maupun perkotaan.3 Prevalensi AR lebihh banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki
(rasio 3:1). Prevalensinya meningkat seriring dengan pertambahan usia. Walaupun AR menyerang semua
ras, insidens tertinggi ditemukan pada orang-orang di daerah Sahara Afrika dan kulit hitam Karibia.
Insidensnya sangat tinggi, yakni 80%.4
Etiopatogenesis2,3,4
AR dipercaya dipicu oleh pajanan terhadap individu dengan karakteristik genetik yang rentan
terhadap antigen artritogenik sehingga memicu respons imun (self-tolerance) dan reaksi inflamasi
kronik. Dengan demikian, reaksi autoimun, aktivasi sel CD4+ Helper, serta mediator inflamasi lokal dan
sitokin baru berkembang setelah adanya artritis akut yang disebabkan oleh pajanan tersebut. Oleh karena
itu, banyak buku teks yang menyebutkan etiologi AR adalah interaksi yang kompleks antara genetik
dan lingkungan.
Alel HLA-DRB1 akan menentukan lokasi tempat artritogen berikatan dan memicu respons
sinovitis. Artritogen berasal dari lingkungan, seperti agen mikrobial (virus Epstein-Barr, retrovirus,
parvovirus, mycobacteria, Proteus mirabilis, Mycoplasma), serta protein sitrulinasi (protein yang
mengalami pengubahan enzimatik dari arginin menjadi sitrulin, banyak ditemukan di paru-paru perokok).
Penyebab lain adalah heat shock protein (HSP) yang diproduksi oleh sel sebagai respons terhadap stres.
Protein ini memiliki homologi sebnayak 65% dengan HSP mikobakterium tuberkulosis. Homologi ini
membuat antibodi dan sel T mengenali epitop (situs pada antigen yang dikenali oleh antibodi) HSP baik
pada agen infeksi maupun sel host. Hal ini berakibat timbulnya reaksi silang sistem imun dengan sel host
dan mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal dengan kemiripan molekul (molecular
mimicry).
Respons sel T dimulai dengan induksi oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share epitope
dari MHC II dan peptida APC sinovium. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T, seperti interferon-γ dan IL-17
bekerja dengan menstimulasi sinoviosit dan makrofag yang kemudian akan menghasilkan sitokin pro-
inflamasi (IL-1, IL-6, IL-23, TNF, PGE3, NO, TGF-β). Sitokin pro-inflamasi ini mengaktivasi sel endotel
di sinovium dan memfasilitasi transmigrasi leukosit, serta meningkatkan matriks metaloproteinase.
Matriks metaloproteinase berperan dalam menghancurkan rawan sendi dan mengaktivasi peristiwa
osteoklastogenesis melalui produksi RANKL, yang juga diekspresikan oleh sel T dan sinoviosit
teraktivasi. Dengan demikian, sinovium akan mengalami pembengkakan serta hiperplasia yang kaya akan
sel radang dan sinovium ini semakin meluas ke arah rawan sendi dan tumbuh secara iregular, membentuk
pannus. Pada akhirnya, seluruh rangkaian ini mengakibatkan resorpsi pada tulang, terutama di bagian
tulang yang berartikulasi.
Diagnosis AR secara resmi menggunakan kriteria yang dirilis oleh American College of
Rheumatology. Walaupun demikian, diagnosis sulit ditegakkan karena gejalanya berbeda pada satu orang
dengan orang lainnya. Anamnesis perlu dilakukan dengan menanyakan derajat nyeri (dengan VAS, visual
analog scale) yang dialami oleh pasien serta durasi kekakuan (kelemahan, keterbatasan) fungsional. Sendi
harus diperiksa secara teliti.
Tabel kriteria diagnosis AR menurut American College of Rheumatology (dikutip dari [2], dengan sedikit perubahan)
Pemeriksaan Penunjang
Laju Endap Darah (LED) yang meningkat >30 mm/jam dapat dicurigai AR. Indikator ini biasa
digunakan untuk evaluasi awal AR
C-reactive protein (CRP) yang meningkat hingga 0,7 pg/ml, juga untuk evaluasi awal AR
Leukosit dan trombosit mungkin mengalami peningkatan
Fungsi hati biasanya normal, namun dapat terjadi peningkatan fosfatase alkali
RF yang dapat bernilai (-) pada 30% penderita AR stadium awal. Apabila (-), pemeriksaan
diulang 6-12 bulan dari onsetnya. Penyakit keganasan dan infeksi juga dapat menunjukkan RF
yang (+) sehingga tidak spesifik
Anti-CCP (anticyclic citrullinated peptide antibody) yang lebih spesifik dibandingkan dengan
RF. Pemeriksaan ini bersama dengan RF sangat berperan dalam deteksi dini sebab AR dini
Untuk membantu penegakkan diagnosis, penderita AR harus diperiksa tingkat keaktivan penyakitnya.
Hal ini terutama berkaitan dengan variasi gejala yang ditampakkan oleh pasien serta untuk menentukan
program terapi. Gejala yang menjadi kriteria diagnostik ACR, seperti kaku pagi hari dan sinovitis,
menunjukkan penyakit dalam kondisi aktif. Status aktivitas ini dapat dinilai dengan kuisioner, yang mana
kuisioner ini memiliki parameter seperti TJC (tender joint count, penilaian nyeri tekan di 28 sendi); SJC
(swollen joint count, penilaian pembengkakan di 28 sendi); VAS (visual analogue scale, skala 0 – 10);
PGA (patient global assessment of disease activity); Physician global assessment of disease activitiy,
yakni penilaian umum oleh dokter terhadap aktivitas penyakit; serta nilai acute-phase reactants seperti
CRP dan LED.
Mengingat bahwa perjalanan penyakit AR adalah panjang, perbaikan kondisi umum pasien terhadap
AR perlu diukur dengan kriteria pula. Kriteria remisi AR, yang juga ditetapkan oleh ACR, adalah
memenuhi sekurang-kurangnya 5 dari: (1) kaku pagi hari berlangsung <15 menit; (2) kelelahan (-); (3)
nyeri sendi (-); (4) nyeri tekan atau nyeri gerak (-); (5) pembengkakan jaringan lunak / sarung tendon (-);
serta (6) LED <30 mm/jam (perempuan) dan <20 mm/jam (laki-laki).
Diagnogis Banding2
AR terutama harus dibedakan dengan penyakit yang menyerang persendian lain. Artropati reaktif
(berhubungan dengan infeksi), spondiloartropati seronegatif, serta lupus eritematosus sistemik (LES)
harus dibedakan dengan AR karena kemiripan gejala. Perbandingan RA dengan beberapa klasifikasi
artritis lain dapat dilihat melalui tabel berikut:
Gambar 2 – (ki) Tanda klinis RA berupa deformitas boutonniere dan deformitas leher angsa; (ka) deformitas leher
angsa berupa fleksi DIP dan hiperekstensi PIP
Kepustakaan
1. Setyohadi B. Osteoporosis. In: Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2010. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo; 2010.
2. Suarjana IN. Artrisit reumatoid. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta. InternaPublishing; 2009.
3. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC, editors. Pathologic basis of disease. 8 th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2010.
4. Lipsky PE. Rheumatoid artritis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Huaser SL, Jameson JL, editors.
Harisson’s principles of internal medicine. 16 th edition. New York: McGraw Hill; 2005.
5. Rheumatoid arthritis. National Institue of Arthirits and Musculoskeletal and Skin Diseases. 2010 [cited 2010 Dec 22].
Available from: http://www.niams.nih.gov/Health_Info/Rheumatic_Disease/default.asp
6. Khosla P, Shankar S, Duggal L. Anti CCP antibodies in rheumatoid arthirits. J Indian Rheumatol Assoc. 2004;12:143-
6.