Вы находитесь на странице: 1из 30

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No.

3 (2019): 517-546
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK DI


INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN DAN
KEMANFAATAN UMUM

Henry Dianto Pardamean Sinaga*

* Pegawai Kanwil DJP Kalimantan Barat


Korespondensi: sinagahenrydp@gmail.com
Naskah dikirim: 05 Juli 2017
Naskah diterima untuk diterbitkan: 2 Oktober 2018

Abstract

The increasing of tax evasion and tax avoidance, due to lack of taxpayer’s liability
regulation in tax legislation, has been very detrimental to state revenues. Based on
normative juridical research with descriptive-comparative-prescriptive approach
which has been done, it is concluded that the regulation of strict liability of taxpayers
of Indonesia can: 1) fulfill the sense of justice in terms of equality and or fairness as
long as it meets the condition that reflects of material justice and formal justice which
must be regulated explicitly in tax legislation; and 2) provide public benefit to the
state in handling the social welfare and regulation offences and or in handling the rise
of abnormally dangerous behaviors that require a due care standard in the taxpayer’s
business environment. It is recommended to be explicitly set about the criteria of strict
liability and widening the defenition of any person, including individual and
corporation, in tax legislation.

Keywords: Strict Liability, Taxpayer, Justice, Public Benefit, Regulation.

Abstrak

Maraknya penggelapan pajak dan penghindaran pajak akibat belum maksimalnya


penerapan pertanggungjawaban Wajib Pajak dalam peraturan pajak telah merugikan
penerimaan negara. Berdasarkan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan
deskriptif – komparatif – preskriptif yang telah dilakukan disimpulkan bahwa
pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia: 1) dapat memenuhi
rasa keadilan dari segi kesamaan dan atau kewajaran sepanjang memenuhi kondisi
yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal yang harus diatur secara
eksplisit dalam peraturan pajak, dan 2) dapat memberikan kemanfaatan umum bagi
negara berupa solusi atas maraknya pelanggaran peraturan kesejahteraan dan atau
maraknya perilaku tertentu yang memerlukan suatu standar kehati-hatian dalam
lingkungan bisnis Wajib Pajak. Disarankan agar diatur secara eksplisit tentang kriteria
pertanggungjawaban mutlak dan tentang perluasan definisi setiap orang, termasuk
manusia alami dan badan hukum, dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Mutlak, Wajib Pajak, Keadilan, Kemanfaatan Umum,


Pengaturan.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2186
518 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Maraknya penggelapan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax
avoidance) yang sangat merugikan penerimaan negara yang dilakukan oleh suatu
Wajib Pajak (WP) tertentu, baik dalam skala internasional maupun skala nasional,
memperlihatkan belum maksimalnya penerapan pertanggungjawaban WP dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan, khususnya di Indonesia. Timbulnya
ketidakmaksimalan ini tidak terlepas dari adanya kesempatan WP dalam
memanfaatkan loophole aturan, terutama yang belum mengantisipasi perkembangan
pertanggungjawaban yang pada saat ini bukan hanya sebatas berdasarkan kesalahan
(based on fault), namun dalam hal-hal tertentu seharusnya telah dapat menerapkan
doktrin pertanggungjawaban lainnya seperti pertanggungjawaban mutlak (strict
liability).1
Maraknya tax evasion dan tax avoidance secara terencana dan terstruktur2 dalam
skala internasional dapat dilihat dari beberapa fakta seperti terungkapnya sekitar
214.488 entitas pribadi dan korporasi di 21 negara tax havens dalam “panama
papers” yang memuat bukti 11,5 juta dokumen yang berasal dari lebih 50 negara
(termasuk Indonesia), 3 dimana Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) telah mengindikasikan sebelumnya bahwa terdapat kerugian
yang diakibatkan oleh terjadinya transaksi perpajakan internasional yang mencapai
sekitar 4%-10% dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan global atau
sekitar AS$100-$240 milyar per tahun. 4 Sedangkan maraknya tax evasion dan tax
avoidance dalam skala nasional dapat dilihat dari beberapa kasus seperti putusan
kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam pidana pajak Tax Manager 14 perusahaan grup
AA yang merugikan pendapatan Negara sebesar Rp. 1,25 triliun dan denda pidana
lebih dari Rp.2,5 triliun,5 dan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap terdakwa
TKB alias W dan bersama-sama dengan terdakwa E dan S yang terbukti
menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari 22 perusahaan sehingga menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara sekurang-kurangnya sebesar Rp. 168,13 milyar. 6 Bahkan,
Jahanzeb Naseer menaksir adanya sekitar AS$200 milyar kekayaan orang-orang
Indonesia yang ditempatkan di negara-negara offshore.7

1
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP),
<http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_dengan_lampiran.pdf>,
diakses tanggal 27 Mei 2016, hal. 34.
2
Tori Magill dan Anne-Marie Ottaway, ‘Panamania’: legitimate concerns or a lack of
understanding? <https://www.taxjournal.com/articles/panamania-legitimate-concerns-or-lack-
understanding-13042016 >, diakses tanggal 15 Juni 2017.
3
The International Consortium of Investigative Journalists, Panama Papers the Power Players,
<https://panamapapers.icij.org/the_power_players/>, diakses tanggal 15 Agustus 2016.
4
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), 2015, “Explanatory
Statement, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project”, <www.oecd.org/tax/beps-
explanatory-statement-2015.pdf>, hal. 4.
5
Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Nomor 2239 K/PID.SUS/2012, 18
Desember 2012.
6
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 156/PID/2014/PT. DKI tanggal 18 Agustus 2014.
7
Jahanzeb Naseer, “Tax Amnesty-the Process, Impact and Implications,” <https://plus.credit-
suisse.com/researchplus/ravDocView?docid=axcnwb, diakses pada tanggal>, diakses tanggal 11
Oktober 2016.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 519

Selain itu, terjadinya tax evasion dan tax avoidance ini disebabkan adanya
manfaat yang diterima oleh pihak-pihak tertentu WP yang dalam hubungan keagenan8
(agency relationship) dikenal sebagai pihak prinsipal 9 (principal). Manfaat yang
diterima oleh prinsipal ini tidak dapat terlepas dari dukungan dan atau bantuan
pegawainya atau dikenal dengan istilah agen 10 (agent) 11 yang merupakan
“gatekeeper”, pihak yang bertanggungjawab kepada prinsipal dalam mencegah
terjadinya pelanggaran dalam kegiatan usaha.12 Hal ini ditegaskan oleh Laffont dan
Tirole 13 dan Privileggi et.al 14 yang menyatakan bahwa “gatekeeper”, demi
kepentingan prinsipal, berperan dalam penghindaran pajak dengan melakukan
manipulasi akuntansi, kemudian Chyz dan White15 dan Desai dan Dharmapala16 juga
menegaskan bahwa terjadinya penghindaran pajak sangat berhubungan dengan kinerja
pembukuan dan tata kelola perusahaan yang merupakan upaya manajerial dalam
meningkatkan nilai perusahaan yang pada dasarnya akan dinikmati oleh para
pemegang saham.

2. Pokok Permasalahan
Mengingat berkembangnya tax evasion dan tax avoidance baik dalam skala
internasional maupun skala nasional yang manfaatnya dinikmati oleh prinsipal tertentu
dengan memanfaatkan agen, terdapatnya pengaturan pengenaan sanksi administrasi
pajak dan atau sanksi pidana pajak, dan adanya semangat untuk melakukan
penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara dari sektor
pajak melalui alternatif penerapan strict liability, maka sangat penting agar badan
yudikatif dan legislatif mempertimbangkan perluasan cakupan pertanggungjawaban
mutlak WP dengan tetap didasarkan pada perspektif keadilan dan kemanfaatan umum
di Indonesia. Terdapat 2 (dua) permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini.
Pertama, bagaimana pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak dalam
perspektif keadilan hukum di Indonesia? Kedua, bagaimana pengaturan
pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak dalam perspektif kemanfaatan umum di
Indonesia?

II. METODE PENELITIAN

Penulisan ini menggunakan bentuk yuridis normatif, yakni menginventarisir dan


mengidentifikasi peraturan perundang-undangan, hukum in concreto, asas hukum, dan
8
Bryan A. Garner (Ed), Black’s Law Dictionary, (St. Paul, West Publishing Co., 2004), hal. 67.
Black’s Law Dictionary menegaskan definisi keagenan sebagai “a fiduciary relationship created by
express or implied contract or by law, in which one party (the agent) may act on behalf of another party
(the principal) and bind that other party by words or actions”.
9
Bryan A. Garner, Op.cit, hal. 1230. Black’s Law Dictionary menegaskan definisi prinsipal
sebagai “one who authorizes another to act on his or her behalf as an agent”.
10
Bryan A. Garner, Op.cit, hal. 68. Black’s Law Dictionary menegaskan definisi agen sebagai
“one who is authorized to act for or in place of another; a representative”.
11
Fabio Privileggi, Carla Marchese, dan Alberto Cassone, Agent’s Liability versus Principal’s
Liability when Attitudes Toward Risk Differ, “International Review of Law and Economics”, Vol. 21,
No. 2, 2001, 181-195, hal. 181 dan 182.
12
Reinier H. Kraakman, Gatekeepers: The Anatomy of a Third-Party Enforcement Strategy,
“Journal of Law, Economics, and Organization”, Vol. 2, No. 1, 1986, 53-104, hal. 53.
13
Jean-Jacques Laffont dan Jean Tirole, Cost Padding, Auditing and Collusion, “Annales
d’Economie et de Statistique”, No. 25/26, 1992, 205-226, hal. 206.
14
Fabio Privileggi, Carla Marchese, dan Alberto Cassone, Op.cit, hal. 182.
15
James A. Chyz dan Scott D. White, The Association between Agency Conflict and Tax
Avoidance: A Direct Approach, “Advances in Taxation”, Vol. 21, 2014, 107-138, hal. 133.
16
Mihir A. Desai dan Dhammika Dharmapala, Corporate Tax Avoidance and Firm Value, “The
Review of Economics and Statistics”, Vol. 91, No. 3, Agustus 2009, 537-546, hal. 546.
520 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

perbandingan hukum terkait pertanggungjawaban mutlak WP dalam perspektif


keadilan dan kemanfaatan hukum di Indonesia berdasarkan bahan pustaka (data
sekunder) yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.17 Bahan hukum
primer mencakup bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan
perundang-undangan. Bahan hukum sekunder mengacu pada rancangan undang-
undang, textbooks, pendapat ahli hukum, artikel, hasil-hasil seminar, dan hasil
penelitian di bidang hukum dan perpajakan. Sedangkan bahan hukum tersier mengacu
pada bahan-bahan yang menunjang informasi bahan hukum primer dan sekunder
seperti sumber internet, kamus, encyclopedia, dan bahan- bahan hukum tersier lain.
Data sekunder yang diperoleh diteliti dengan pendekatan deskriptif – komparatif
- preskriptif18 dan dianalisis dengan kritis secara yuridis kualitatif, yaitu berdasarkan
perundang-undangan yang tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang
lain, dengan memperhatikan hierarki perundang-undangan, mewujudkan kepastian
hukum, mencari hukum yang hidup di dalam masyarakat, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis. 19 Untuk dapat memperoleh penyelesaian terhadap permasalahan
yang dihadapi, dilakukan penalaran hukum (legal reasoning) yang menurut Visser ‘t
Hooft harus berlangsung dalam kerangka tiga acuan dasar, yakni hukum yang
memiliki otoritas yang menjamin adanya kepastian hukum dan prediktabilitas
(positivitas), hukum yang mempunyai daya kerja yang dapat mencegah dan
menanggulangi adanya inkonsistensi dan kontradiksi internal dalam tata hukum
(koherensi), dan hukum yang dapat diterima oleh para pihak dan juga oleh masyarakat
(keadilan). 20 Kemudian data sekunder yang telah disusun secara sistematis akan
disimpulkan, dan diusulkan saran-saran yang membangun.

III. HASIL PENELITIAN

1. Pertanggungjawaban Mutlak dan Gambaran Umum Wajib Pajak di


Indonesia
Konsep pertanggungjawaban (liability) berhubungan dengan konsep kewajiban
hukum terhadap seseorang yang dikatakan secara hukum bertanggung jawab atas suatu
perbuatan tertentu sehingga terhadapnya dapat dikenakan sanksi tertentu bila
melakukan perbuatan yang melawan hukum21 yang tidak hanya dikenakan terhadap
yang melakukan pelanggaran tetapi juga terhadap setiap orang yang secara hukum
terkait dengannya.22
Tentang pertanggungjawaban, Hans Kelsen mengemukakan bahwa dalam teori
tradisional terdapat dua jenis tanggung jawab (atau pertanggungjawaban), yaitu
tanggung jawab berdasarkan kesalahan dan tanggung jawab mutlak,23dimana Jeremiah
Smith mengistilahkan pertanggungjawaban dalam hukum dengan causes of personal
action yang meliputi tiga perbuatan berikut: “1) breach of genuine contract, 2) tort in
the sense of fault, 3) a third class comprising cases of so called “absolute liability”,

17
Soerjono Soekanto et al., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hal. 13 dan 14.
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal. 9 dan 10.
19
Ibid., hal. 52 dan 53.
20
Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal
dan Dogmatikal”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi
dan Refleksi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. 144 dan 145.
21
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), hal. 61.
22
Ibid., hal. 63.
23
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, penerjemah Raisul Muttaqien
(Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 95.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 521

i.e., cases where there is neither breach of genuine contract or fault, and yet
liability”.24 Selanjutnya dalam menganalisis pertanggungjawaban, menurut George P.
Fletcher, diperlukan dua paradigma yang sangat berbeda, yaitu paradigma timbal balik
(the paradigm of reciprocity) dan paradigma kepatutan (the paradigm of
reasonableness) yang merepresentasikan suatu pandangan yang kompleks tentang (1)
standar pertanggungjawaban yang tepat, (2) ciri khas legal reasoning yang tepat, dan
(3) hubungan antara pemecahan permasalahan pertikaian individu dan kesejahteraan
masyarakat.25 Berdasarkan paradigma timbal balik, terdapat dua isu sentral dalam tort
law, yaitu bagaimana hak korban untuk mendapatkan ganti rugi dan bagaimana
kewajiban pelaku pelanggaran untuk memberikan ganti rugi, merupakan permasalahan
yang berbeda, yang masing-masing dapat diselesaikan tanpa melihat lebih jauh dari
kasus tersebut.26 Sedangkan paradigma kepatutan merepresentasikan suatu penolakan
dari nilai-nilai yang non-instrumentalist dan suatu komitmen kepada kesejahteraan
masyarakat sebagai kriteria dalam menetapkan siapa yang berhak untuk menerima dan
siapa yang harus membayar kompensasi. Kepatutan ditetapkan oleh keseimbangan
langsung dari biaya dan manfaat dimana jika risiko menghasilkan suatu manfaat
kemasyarakatan maka korban dianggap tidak berhak mendapatkan hak pemulihan
sedangkan jika risikonya menghasilkan suatu ketidakmanfaatan kemasyarakatan maka
korban berhak untuk mendapatkan pemulihan. 27 Khusus mengenai
pertanggungjawaban mutlak, berdasarkan beberapa literatur kepustakaan, juga dikenal
dalam beberapa istilah yang sudah umum yaitu “no-fault liability” atau “liability
without fault” atau “absolute liability” atau “strict liability” atau prinsip
pertanggungjawaban tanpa harus membuktikan adanya kesalahan.28
Terdapat pemikiran beberapa tokoh, baik yang berasal dari luar negeri maupun
dari Indonesia, yang menguraikan pendapatnya tentang pertanggungjawaban mutlak
berdasarkan masing-masing perspektif. Fleming James, dalam menangani pertanyaan
dalam hal bagaimana para pabrikan (manufacturers) seharusnya menjadi
bertanggungjawab tanpa kelalaian, memperluas jangkauan strict liability dalam tort
law, dengan menyatakan:
“strict liability is to be preferred over a system of liability based on fault
wherever you have an enterprise or activity, beneficial to many, which takes a
more or less inevitable accident toll of human life and limb. This is true at least
where the accident victims are as a class economically ill-equipped to carry the
burden of serious accident losses.”29

Richard A. Posner menjelaskan bahwa terdapat berbagai jenis konsep strict


liability yang digunakan untuk memecahkan permasalahan hukum terhadap
penggunaan sumber daya, namun pada intinya pertanggungjawaban ini merupakan
gagasan tentang seseorang yang merugikan orang lain yang harus dibebani tanggung
jawab walaupun pelaku lalai atau tidak merasa bersalah. 30 Kemudian Richard A.

24
Jeremiah Smith, Tort and Absolute Liability: Suggested Changes in Classification, “Harvard
Law Review”, Vol. 30, No. 3, Januari 1917, 241-262, hal. 256.
25
George P. Fletcher, Fairness and Utility in Tort Theory, “Harvard Law Review”, Vol. 85, No.
3, January 1972, 537-573, hal. 540 dan 542.
26
George P. Fletcher, Op.cit, hal. 540.
27
George P. Fletcher, Op.cit, hal. 542.
28
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana,
2010), hal. 107.
29
Fleming James, Jr., General Products-Should Manufacturers be Liable without Negligence?,
“Tennesse Law Review”, Vol. 24, No. 7, 1957, 923-927, hal. 923.
30
Richard A. Posner, Strict Liability: A Comment, “The Journal of Legal Studies”, Vol. 2, No. 1,
Januari 1973, 205-221, hal. 205.
522 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

Posner menyimpulkan: (1) teori ekonomi tidak memberikan dasar, secara umumnya,
untuk lebih memilih strict liability terhadap kelalaian (negligence), atau negligence
terhadap strict liability, asalkan beberapa versi dari suatu pembelaan contributory
negligence diakui, (2) suatu standar strict liability tanpa suatu pembelaan contributory
negligence, kurang efisien dibandingkan standar kelalaian negligence-contributory.31
Steven Shavell menjelaskan bahwa strict liability merupakan salah satu contoh
yang terpenting dalam membantu menjelaskan ciri khas tertentu tort law, yang
diterapkan pada kegiatan-kegiatan yang sangat berbahaya. Hal ini disebabkan adanya
dua karakteristik strict liability, yakni:
“First, they are such that injurer activity has a distinctive aspect (which makes
the activity easy for the law to single out) and imposes nonnegligible risks on
victims (which make the activity worthwile controlling). And, second, they are
such that victim activity is usually not at all special - on the contrary, it is
typically entirely routine in nature, part of what it is to carry on a normal life –
and is therefore activity that cannot and ought not be controlled.”32

Menurut Keith N. Hylton, strict liability merupakan pondasi kesejahteraan


(welfare) yang tepat karena yang melakukan perbuatan melawan hukum (tortfeasor)
yang berpotensi menerima lebih banyak risiko dibandingkan pelaku khasnya (yang
ternyata tidak menerima manfaat tambahan). Selanjutnya, Keith N. Hylton
mengaplikasikan aktivitas berbahaya yang tidak normal (abnormally dangerous
activities) dalam konteks strict liability yang telah dikodifikasi dalam Pasal 520
Restatement (Second) of Torts yang berbunyi: 33
“In determining whether an activity is abnormally dangerous, the following
factors are to be considered: (a) existence of a high degree of risk of some harm
to the person, land, or chattels of others; (b) likelihood that the harm that results
from it will be great; (c) inability to eliminate the risk by the exercise of
reasonable care; (d) extent to which the activity is not a matter of common
usage; (e) inappropriateness of the activity to the place where it is carried on
and; (f) extent to which its value to the community is outweighed by its
dangerous attributes”.

Kemudian Harvey Wallace dan Cliff Roberson menjelaskan bahwa secara


tradisional, kejahatan mala in se membutuhkan adanya maksud (intent) baik secara
umum maupun secara spesifik. Namun dalam kejahatan mala prohibita, tidak
dibutuhkan pembuktian adanya kesalahan, yang dikenal sebagai pelanggaran “strict
liability”, karena buktinya hanya semata-mata berupa perbuatan yang dilakukan
adalah memadai untuk menghukum seseorang. Selanjutnya, Harvey Wallace dan Cliff
Roberson menegaskan tentang strict liability dengan penjelasan berikut:
“No culpability or state of mind need be proven. Strict liability crimes often
involve one of the following types of conduct: selling impure or adulterated food,
selling prohibited beverages to minors, selling articles that are misbranded, and
driving without a license.”34

31
Ibid., hal. 221.
32
Steven Shavell, Strict Liability versus Negligence, “The Journal of Legal Studies”, Vol. 9, No.
1, Januari 1980, 1-25, hal. 24.
33
Keith N. Hylton, A Positive Theory of Strict Liability, “Review of Law and Economics”, Vol.
4, No. 1, 2008, 153-181, hal. 171.
34
Harvey Wallace dan Cliff Roberson, Principles of Criminal Law, (New Jersey: Pearson
Education, 2012), hal. 45.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 523

Dalam hubungan dengan tort law, Lucy Jones menguraikan pendapatnya tentang
strict liability sebagaimana dikutip pada uraian berikut:
“The Law of Torts covers a range of different civil wrongs including negligence,
trespass, nuisance, and defamation. Each tort has its own rules about liability
but most torts require an element of culpability, which means that liability is
only imposed on a person who intentionally or negligently acts or fails to act in
a particular manner. However, there are some torts, called strict liability torts,
that impose liability on a person even though they have not been at fault in any
way.” 35

Selain pendapat dari beberapa ahli dari luar negeri, beberapa ahli hukum di
Indonesia juga mengemukakan pendapatnya tentang strict liability. Etty Utju R.
Koesoemahatmadja berpendapat bahwa kemunculan doktrin strict liability adalah
merupakan salah satu alternatif dalam melakukan penanggulangan tindak pidana
badan hukum dimana tanggung jawab ini tidak memiliki keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan karena didasarkan alasan seperti untuk menjamin
dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu untuk kesejahteraan sosial, sulitnya
membuktikan mens rea (niat melakukan) dalam pelanggaran-pelanggaran terkait
kesejahteraan sosial, dan tingginya bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan
yang bersangkutan. 36 Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa doktrin
pertanggungjawaban mutlak merupakan pertanggungjawaban pidana badan hukum
yang semata-mata berdasarkan undang-undang (UU) yang pengenaannya adalah
terhadap badan hukum yang melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi
tertentu sebagaimana telah ditentukan oleh UU. 37 Chairul Huda berpendapat bahwa
walaupun strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak
pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya, namun
pertanggungjawaban pidana tetap berdasar kesalahan karena kesalahan dipandang
tetap ada sepanjang telah dipenuhinya unsur delik namun tidak harus dibuktikan.38
Selanjutnya Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa, pada umumnya baik pada hukum
pidana di Inggris dan di sebagian negara bagian di Amerika Serikat,
pertanggungjawaban pidana mutlak diberlakukan terhadap pelanggaran yang termasuk
“welfare offences” atau “regulatory offences” dimana ketentuan untuk dapat
diberlakukannya mencakup: a). tidak untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman
berat, b). ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan; b). adanya “mens rea” yang
akan menghambat tujuan perundangan sehingga menurut UU yang berlaku, “mens-
rea” secara kasuistis tidak perlu dibuktikan, c) merupakan kejahatan yang dilakukan
secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-hak orang lain.39
Selain berperan pentingnya pertanggungjawaban dalam mereduksi bahaya
ataupun kerugian dimana yang melakukan pelanggaran dituntut harus membayar
kerugian yang terjadi, maka hal ini juga berhubungan dengan pajak, yang menurut A.
C. Pigou, dapat dipergunakan sebagai sarana mengawasi aktivitas yang berpotensi

35
Lucy Jones, Introduction to Business Law, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hal. 344.
36
Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi: Penegakan Hukum Terhadap Pelaku
Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hal. 66
dan 67.
37
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, 2010), hal. 251.
38
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 86 dan 87.
39
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Fikahati
Aneska, 2009), hal. 102 dan 103.
524 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

menghasilkan bahaya, seperti terjadinya polusi. 40 Pendapat ini kemudian


dikembangkan oleh Steven Shavell dengan menggabungkan perbaikan pajak
(corrective taxes) dan liability, namun tetap harus memperhatikan dua poin yang harus
menjadi catatan dalam pelaksanaannya. Pertama, terdapat suatu manfaat umum akan
penggabungan corrective taxes dan liability, karena masing-masing kebijakan ini
dapat mengkompensasi permasalahan-permasalahan yang terdapat satu sama lain.
Kedua, terdapatnya dua kali pengenaan pembayaran kerugian yang timbul jika
corrective taxes dan liability dikenakan bersamaan.41 Khusus dalam hal menekankan
hubungan strict liability dengan corrective tax, Steven Shavell menyatakan:
“The argument regarding the efficiency of strict liability is similar to that
regarding the efficiency of the corrective tax. Namely, if potential injurers face a
choice about any dimension of their behavior, they will make this choice taking
into account its influence on the expected harm, because they will have to pay
for the actual harm.”42

Lebih lanjut dalam hal ketentuan perpajakan di Indonesia, posisi


pertanggungjawaban pajak identik dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan
yang penyebutannya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan
terkait. UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP) menegaskan dengan sebutan WP,43 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (UU PPh) menegaskan dengan sebutan subjek pajak,44 UU No. 42 Tahun
2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (UU PPN) menegaskan dengan sebutan PKP,45 dan UU No. 19 Tahun
2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) menyebutkan
Penanggung Pajak. 46 Dalam hal setiap WP, baik WP Orang Pribadi maupun WP
Badan, telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif 47 sebagai WP wajib
mengisi, menandatangani dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan
benar, lengkap, dan jelas.48 WP dapat menunjuk seorang kuasa khusus dengan surat
kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani SPT.49 Dalam hal WP Badan, SPT
harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi 50 atau seorang kuasa dengan surat
kuasa khusus. Adapun yang menjadi wakil WP, yaitu pengurus dalam hal WP Badan,
bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang

40
Steven Shavell, Corrective Taxation versus Liability, “The American Economic Review”, Vol.
101, No. 3, Mei 2011, 273-276, hal. 273.
41
Steven Shavell, Corrective Taxation versus Liability as a Solution to the Problem of Harmful
Externalities, “The Journal of Law and Economics”, Vol. 54, No. 4, Markets, Firms, and Property
Rights: A Celebration of the Research of Ronald Coase, Nopember 2011, S249-S266, hal. S263 dan
S264.
42
Steven Shavell, Op.cit, S249-S266, hal. S258.
43
Pasal 1 angka (2) UU KUP mendefenisikan Wajib Pajak sebagai orang pribadi atau badan
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
44
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa subjek pajak terdiri dari subjek
pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri yang meliputi orang pribadi, warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan bentuk usaha tetap (BUT).
45
Pasal 1 angka (15) UU PPN mendefenisikan PKP sebagai Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak
berdasarkan UU PPN.
46
Pasal 1 angka (28) UU KUP dan Pasal 1 angka (3) UU PPSP mendefenisikan Penanggung
Pajak sebagai orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk
wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban WP sesuai dengan ketentuan perpajakan.
47
Pasal 2 ayat (1) UU KUP.
48
Pasal 4 ayat (1) UU KUP.
49
Pasal 4 ayat (3) UU KUP.
50
Pasal 4 ayat (2) UU KUP.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 525

terutang.51 Namun tanggung jawab renteng tersebut dapat dikecualikan apabila wakil
WP tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya,
menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.52
Adanya pengecualian tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng
Wakil WP tersebut atas pembayaran pajak yang terutang menunjukkan bahwa
pertanggungjawaban atas pembayaran pajak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak lain yang tidak melakukan perbuatan melanggar hukum secara langsung, yang
berhubungan erat dengan WP Badan tersebut, seperti komisaris dan atau pemegang
saham mayoritas atau pengendali dan atau orang yang berwenang menentukan
kebijakan dan atau mengambil keputusan dalam perusahaan dan atau berwenang
menandatangani kontrak/perjanjian dan atau cek/giro korporasi.53

2. Nilai-Nilai Hukum dalam Pengaturan Pertanggungjawaban Pajak


Pertanggungjawaban pajak merupakan salah satu pokok persoalan dalam hukum
pajak yang harus dipahami setiap WP dalam menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya karena berhubungan erat dengan sanksi yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 54 Peraturan perundang-
undangan perpajakan yang dimaksud, idealnya adalah merupakan perwujudan
rumusan kaidah-kaidah hukum yang sangat berhubungan dengan kecenderungan-
kecenderungan yang ada pada masyarakat. 55 Sehingga, agar peraturan
pertanggungjawaban pajak tetap memiliki validitas dalam masyarakat atau WP
melalui adanya kekuasaan (power) dari negara untuk memberlakukannya, maka
pengaturan tersebut harus mengandung nilai-nilai hukum, sebagaimana menurut
Gustav Radbruch, yang harus mencakup kemanfaatan umum (public benefit),
kepastian hukum (legal certainty), dan keadilan (justice). 56
Perlunya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan adalah merupakan salah satu perwujudan dari positivisme
hukum yang dapat menciptakan kepastian hukum, yang juga harus sejalan dengan
nilai-nilai hukum lainnya yaitu kemanfaatan dan keadilan. Hal ini ditegaskan Gustav
Radbruch dengan menyatakan:
“Obligation and legal validity must be based, rather, on a value inherent in the
statute. To be sure, one values come with every positive-law statute without
reference to its content: Any statutes is always better than no statute at all, since
it at least creates legal certainty. But legal certainty is not the only value that
law must effectuate, nor is it the decisive value. Alongside legal certainty, there
are two other values: purposiveness and justice.”57

Bahkan di negara yang menganut tradisi common law seperti Amerika Serikat,
pengaturan secara tertulis suatu hukum tetap dibutuhkan, sebagaimana Langdell, yang
dikutip dalam Jeremiah Smith, menyatakan:

51
Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP
52
Penjelasan Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
53
Penjelasan Pasal 32 ayat (4) UU KUP.
54
V. Lee Hamilton, Who is Responsible? Toward a Social Psychology of Responsibility, “Social
Psychology”, Vol. 41, No. 4, 1978,316-328, hal. 316.
55
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hal. 1 dan 31.
56
Gustav Radbruch, Five Minutes of Legal Philosophy, penerjemah Bonnie Litschewski Paulson
dan Stanley L. Paulson, “Oxford Journal of Legal Studies”, Vol. 26, No. 1, 2006, 13-15, hal. 13 dan 14.
57
Gustav Radbruch, Statutory Lawlesness and Supra-Statutory Law (1946), penerjemah Bonnie
Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, “Oxford Journal of Legal Studies”, Vol. 26, No. 1, 2006,
1-11, hal. 6.
526 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

“Strictly, every obligation is created by the law. When it is said that a contract
creates an obligation, it is only meant that the law annexes an obligation to
every contract. A contract may be well enough defined as an agreement to which
the law annexes an obligation”, 58

dan Corbin menyatakan “All enforcible obligations are created by law”.59 Kemudian
Gilbert Sandler, dalam kaitannya dengan implikasi pada perusahaan industri, juga
menegaskan:
“The proposed legislation would be a major improvement over the present strict
liability scheme. A wider distribution of losses would be accomplished, and the
harsh secondary effects of strict liability in competitive industries would be
alleviated by the proposed scheme of recouping losses either directly from
consumers or from society as a whole”.60

Dalam tradisi civil law, adanya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam


peraturan perundang-undangan perpajakan adalah merupakan mekanisme yang sudah
umum yang memang dengan tegas memformalkan prosedur-prosedur hukumnya untuk
menjamin keakurasian keadilan dan untuk mencegah terjadinya subversi terhadap
keadilan, serta dapat meminimalisasi diskresi yang dilakukan aparatur pemerintahan
dan pengadilan pada saat penegakan peraturan perundang-undangan tersebut.61 Begitu
juga dengan pengaturan pertanggungjawaban pajak terkait strict liability,
pengadopsian nilai-nilai hukum Gustav Radbruch sejalan dengan dua asas pajak dari
empat asas yang dikemukakan oleh Adam Smith62 yakni, asas kesamaan (equality) dan
asas kepastian (certainty).63 Asas equality menekankan bahwa pengenaan pajak harus
bersikap adil, tidak diskriminatif, serta pengenaannya harus seimbang sesuai dengan
kemampuan subjeknya, sedangkan asas certainty menegaskan bahwa semua
pemungutan pajak harus terang/pasti baik mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif
pajak, waktu pembayaran pajak, dan sebagainya.64

3. Prinsip Keadilan Dan Kemanfaatan Umum Dalam Pertanggungjawaban


Pajak
Pengaturan merupakan salah satu perwujudan dari positivisme hukum yang
dapat menciptakan kepastian hukum. Namun pengaturan pertanggungjawaban pajak
dalam suatu negara, khususnya di Indonesia, dapat menimbulkan potensi untuk saling
bertentangan antara keadilan dengan kemanfaatan karena adanya tuntutan dan atau
muatan yang berlainan di dalam pelaksanaanya. Sehingga sangat dibutuhkan alternatif
penyelesaian yang berhubungan erat dengan pendalaman yang mendasar terhadap
nilai-nilai hukum berupa keadilan dan kemanfaatan umum yang diterapkan di bidang
perpajakan yang dapat menjawab permasalahan pengaturan pertanggungjawaban
mutlak WP sebagai salah satu pondasi kepatuhan pajak yang memperkuat sistim
perpajakan di Indonesia

58
Jeremiah Smith, Op.cit, hal. 257.
59
Jeremiah Smith, Loc.cit.
60
Gilbert Sandler, Strict Liability and the Need for Legislation, “Virginia Law Review”, Vol. 53,
No. 7, Nopember 1967, 1509-1521, hal. 1521.
61
Andrei Shleifer, Understanding Regulation, “European Financial Management”, Vol. 11, No.
4, 2005, 439-451, hal. 445.
62
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, (Hampshire,
UK: Harriman House Ltd, 2007), hal. 535.
63
Ibid., hal. 536-537.
64
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hal.
27 dan 28.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 527

Keadilan merupakan kebajikan yang paling utama dari suatu institusi sosial,65
termasuk otoritas pajak, yang hanya dapat dipahami jika diposisikan sebagai situasi
yang harus direalisasikan oleh hukum melalui proses yang dinamis. 66 Terdapat
beberapa pendapat tokoh penting tentang keadilan yang perlu untuk lebih dipahami
dalam kaitannya dengan pengaturan pertanggungjawaban.
Socrates berpendapat bahwa hukum merupakan tatanan yang mengutamakan
kebajikan dan keadilan umum dalam konteks mutu pribadi individu warga polis
(negara). Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat,
bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri. Hukum, sejatinya adalah
tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.67
Aristoteles menegaskan bahwa hukum tidak akan pernah dapat menjadi sangat
adil68 sehingga permasalahan keadilan hukum harus dipahami dari segi kesamaan yang
terdiri dari tiga keadilan yaitu keadilan berbasis kesamaan (cummulative), keadilan
distributif (distributive), dan keadilan korektif (remedial). 69 Keadilan kumulatif
mencakup dua kesamaan yaitu kesamaan numerik, yang melahirkan prinsip “semua
orang sederajat di depan hukum”, dan kesamaan proporsional, yang melahirkan
prinsip: “memberi tiap orang apa yang menjadi haknya”. Keadilan distributif identik
dengan keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif
bertugas membangun kembali kesetaraan dengan berfokus pada pembetulan sesuatu
yang salah. 70 Ketidakmampuan hukum untuk berlaku adil juga disikapi oleh John
Rawls dengan mengkonsepsikan keadilan dari sisi fairness dengan menegaskannya
dalam dua prinsip yang mengekspresikan keadilan berdasarkan tiga pemikiran
kompleks berupa kebebasan (liberty), persamaan (equality), dan penghargaan (reward)
atas kontribusi pelayanan untuk kebaikan umum. Kedua prinsip tersebut mencakup:
“First, each person participating in a practice, or affected by it, has an equal
right to the most extensive liberty compatible with a like liberty for all; and
second, inequalities are arbitrary unless it is reasonable to expect that they will
work out for everyone's advantage, and provided the positions and offices to
which they attach, or from which they may be gained, are open to all”.71

Lebih lanjut tentang kemanfaatan, Paul W. Taylor menyatakan bahwa


kemanfaatan dapat digabungkan dengan keadilan untuk menegakkan suatu kondisi
yang memadai untuk dapat membenarkan suatu aturan kemasyarakatan ketika
kemanfaatan dan keadilan tersebut dapat beroperasi sebagai kriteria yang independen
dan walaupun tetap memperlihatkan hasil yang tidak konsisten. 72 Namun, bilamana
dalam suatu peraturan terdapat konflik antara keadilan dengan kemanfaatan, keadilan
semestinya lebih terprioritaskan dari kemanfaatan karena begitu suatu aturan atau
suatu tindakan tidak dapat memenuhi suatu kondisi yang mencerminkan keadilan
materiil dan atau keadilan formal, maka setidaknya seseorang tidak akan mempunyai
alasan untuk menjalankan aturan tersebut sebagai suatu peraturan, ataupun

65
John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts: Harvard University Press, 1999), hal. 3.
66
Gustav Radbruch, Five Minutes of Legal Philosophy, Op.cit, hal. 14.
67
Bernard L. Tanya, et. al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hal. 31.
68
Aristotle, Politics, terjemahan C.D.C. Reeve, (Indianapolis, Hackett Publishing Company,
1998), hal 82.
69
John Rawls, Op.cit, hal. 45.
70
Bernard L. Tanya, et. al, Op.cit, hal. 45.
71
John Rawls, Justice as Fairness, “The Philosophical Review”, Vol. 67, No. 2, April 1958, 164-
194, hal. 165.
72
Paul W. Taylor, Justice and Utility, “Canadian Journal of Philosophy”, Vol. I, No. 3, Maret
1972, 327-350, hal. 334.
528 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

membiarkan tindakan tersebut dilakukan. Sehingga, tak ada serangkaian peraturan


yang pelaksanaannya melanggar keadilan dapat dibenarkan terhadap setiap orang, dan
karenanya tak ada rangkaian tersebut yang dapat dibenarkan secara mutlak.73 Untuk
selanjutnya Paul W. Taylor mendefenisikan kemanfaatan sebagai “a necessary
condition for the justifiability of social rules because the concept of utility is built into
the very notion of an individual’s having good reasons for committing himself to
social rules.” 74
Kemudian untuk lebih memahami prinsip kemanfaatan umum dalam pengaturan
pertanggungjawaban, penting untuk mengadopsi pemikiran Jeremy Bentham dalam
the principle of utility yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.
Jeremy Bentham berpandangan bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan
jaminan kebahagiaan pada individu-individu, pandangan ini dimulai dengan
menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah
pemerintahan 2 (dua) penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan dan kesenangan.
Sesuai dengan kodratnya, manusia selalu berusaha menghindari ketidaksenangan dan
berusaha mencari kesenangan. Karena kodratnya selalu terarah kepada kebahagiaan,
maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu tindakan harus
ditentukan dengan menimbang kegunaan untuk mencapai kebahagiaan umat
manusia.75 Pemikiran Jeremy Bentham ini kemudian diperdalam lagi oleh John Stuart
Mill dengan menyatakan bahwa ukuran baik buruknya suatu perbuatan harus diukur
dari segi manfaat yang dihasilkan karena kebaikan yang tertinggi adalah manfaat
(utility). Manfaat merupakan suatu kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-
besarnya.76

4. Tinjauan Literatur Pertanggungjawaban Mutlak


Dalam perkembangannya sampai dengan saat ini, strict liability tetap diteliti
oleh beberapa kalangan, termasuk aplikasi dan implikasinya pada berbagai kegiatan
atau bidang berdasarkan beberapa sudut pandang atau aspek. Ernest J. Weinreb yang
mengadopsi ide keadilan korektif Aristoteles menyatakan bahwa pertanggungjawaban,
yang merupakan respon hukum terhadap suatu ketidakadilan yang dilakukan pelaku
pelanggaran, adalah berkorelasi dengan kerugian yang tidak adil yang ditanggung oleh
korban. Karena trasansaksi yang tidak adil telah menyebabkan apa yang diperoleh
pelaku pelanggaran adalah apa yang merupakan kerugian yang diderita korban, maka
diperlukan keadilan korektif yang dapat menghubungkan para pihak tersebut.77
Kemudian berdasarkan penelitian Harry A. Newman dan David W. Wright
terhadap principal-agent model, analisisnya mendemonstrasikan bahwa keperdulian
dengan mempergunakan strict liability ketika terdapat moral hazard adalah berbeda
dibanding keperdulian tanpa adanya moral hazard. Mereka menyimpulkan bahwa
strict liability dapat memotivasi prinsipal untuk menawarkan suatu kontrak yang
secara sosial menimbulkan suatu tingkat keperdulian yang optimal, dimana tingkat
optimal keperdulian secara sosial tersebut dapat lebih tinggi atau lebih rendah ketika

73
Paul W. Taylor, Op.cit, hal. 348 dan 349.
74
Paul W. Taylor, Op.cit, hal. 347.
75
Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum: Mencari Hakikat Hukum,
(Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2008), hal. 41 dan 42.
76
Astim Riyanto, Filsafat Hukum, (Bandung: Penerbit Yapemdo Bandung, 2010), hal. 716 dan
717.
77
Ernest J. Weinrib, The Gains and Losses of Corrective Justice, “Duke Law Journal”, Vol. 44,
No. 2, Nopember 1994, 277-297, hal. 277.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 529

terdapat moral hazard dibandingkan dengan ketika tanpa adanya moral hazard. 78
Kemudian dalam yang membandingkan antara negligence dan strict liability dalam
suatu principal-agent model, Harry A. Newman dan David W. Wright menghasilkan
penelitian bahwa pemilihan bentuk peraturan pertanggungjawaban kemungkinan
menyebabkan tingkat keperdulian yang dilakukan oleh agen dimana atas adanya
kontrak optimal yang ditawarkan dalam negligence rule dapat lebih memotivasi
pegawai dibandingkan dengan yang ditawarkan dalam strict liability.79
Penelitian Bharat Bhole dan Jeffrey Wagner menyarankan agar didapat motivasi
yang efisien terhadap kehati-hatian yang tidak teramati (unobservable care) maka
lebih baik dilakukan penggunaan secara bersama-sama peraturan dan
pertanggunggungjawaban dibandingkan hanya penggunaan pertanggungjawaban saja.
Namun terhadap care atas penggunaan secara bersama-sama peraturan dan strict
liability dapat juga diberikan terhadap care atas penggunaan secara bersama-sama
peraturan dan negligence ketika terdapat care yang multidimensional, care dalam
dimensi yang berbeda yaitu yang dapat diamati, tetapi care dalam beberapa dimensi
tidak diatur. Sehingga dalam hal ini, negligence rule bersama dengan regulation akan
menghasilkan insentif yang lebih baik dibandingkan hanya negligence rule saja, sama
halnya dengan penggunaan secara bersama-sama peraturan dan strict liability.80
Dalam perkembangannya, khususnya dalam prakteknya, di beberapa negara,
baik yang telah dan atau bermaksud menerapkannya dalam peraturan perundang-
undangan perpajakannya, strict liability masih menimbulkan reaksi pro dan kontra
sampai dengan saat ini. Menurut Kathleen DeLaney Thomas, dukungan terhadap
penerapan strict liability dalam ketentuan perpajakan didasarkan pada argumen untuk
mengantisipasi adanya pelanggaran doktrin substansi ekonomis81 (economic substance
doctrine), sehingga bermanfaat dalam hal: 82 (a). deterrence, dengan menerapkan
sanksi yang tegas terhadap transaksi yang tidak atau kurang didukung dengan
substansi ekonomis akan menjerakan WP sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
WP; dan (b). complexity, adanya kesengajaan WP dalam doktrin substansi ekonomis
membuat struktur transaksi yang rumit yang hanya bisa diakses dan dipahami WP
sehingga hanya ahli-ahli tertentu yang dapat mengungkap permasalahan tersebut.
Selain argumen yang mendukung strict liability, terdapat juga argumen yang
mendebat pengaturan strict liability di bidang perpajakan. Mik Shin-Li dan Richard A.
Wasserstrom berpendapat bahwa strict liability seharusnya tidak diadopsi dalam

78
Harry A. Newman dan David W. Wright, Strict Liability in a Principal-Agent Model,
“International Review of Law and Economics”, Vol. 10, 1990, 219-231, hal. 227.
79
Harry A. Newman dan David W. Wright, Negligence Versus Strict Liability in a Principal-
Agent Model, “Journal of Economics and Business”, Vol. 44, 1992, 265-281, hal. 278.
80
Bharat Bhole dan Jeffrey Wagner, The Joint Use of Regulation and Strict Liability with
Multidimensional Care and Uncertain Conviction, “International Review of Law and Economics”, Vol.
28, Issue 2, 2008, 123-132, hal. 131.
81
Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 7701 – Definitions,
<https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/7701>, diakses tanggal 1 Juni 2017. Lebih lanjut tentang
penggunaan doktrin substansi ekonomis di Amerika Serikat secara tegas diatur dalam Pasal 7701 (o)
Internal Revenue Code (IRC) Amerika Serikat dimana pada Ayat 5 (A) didefenisikan sebagai “the
common law doctrine under which tax benefits under subtitle A with respect to a transaction are not
allowable if the transaction does not have economic substance or lacks a business purpose”. Kemudian
pada Ayat 1 disebutkan perlakuan yang dianggap memiliki substansi ekonomis bilamana: “(A) the
transaction changes in a meaningful way (apart from Federal income tax effects) the taxpayer’s
economic position, and (B) the taxpayer has a substantial purpose (apart from Federal income tax
effects) for entering into such transaction.”
82
Kathleen DeLaney Thomas, The Case Against A Strict Liability Economic Substance Penalty,
“University of Pennsylvania Journal of Business Law”, Vol. 13, No. 2, 2011, 445-497, hal. 462-464.
530 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

perpajakan83 karena hukuman yang dikenakan terhadap persons menurut persyaratan


minimum kewajiban yang ketat adalah tidak konsisten dengan tujuan umum hukum
pidana dan bertentangan dengan standar pidana kesalahan yang berlaku di
masyarakat. 84 Thomas C. Vanik berpendapat bahwa klarifikasi doktrin substansi
ekonomis melalui pengaturan pajak memang telah menunjukkan keobjektifan dalam
membangun keseragaman, tetapi dengan mengenakan sanksi strict liability terhadap
transaksi-transaksi yang salah terhadap doktrin ini dan, bukan doktrin common law
yang lain, menambah ketidakpastian yang lebih besar terhadap hukum pajak. 85
Kemudian, Kathleen DeLaney Thomas juga merangkum argumen yang mendasari
pemikiran yang mengkritisi penerapan sanksi pertanggungjawaban mutlak yang
didasarkan pada 4 (empat) hal berikut:86 (a). fairness, merupakan argumen utama yang
sangat menentang pertanggungjawaban mutlak karena didalamnya timbul
ketidakadilan dan ketidak proporsionalan yang sangat serius, terutama kepada WP
yang selama ini berusaha patuh namun karena terdapat kesalahan atau lupa atau
terlambat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), sebagaimana James Quarmby 87
mencontohkan di Inggris berupa transaksi harta di negara offshore, dianggap kriminal
dan didenda padahal disebabkan beberapa kendala seperti kompleksitas dalam
investasi atau perdagangan atau hukum di luar negeri; (b). adverse effects on taxpayers
behavioral, ketat dan kerasnya sanksi pidana pajak yang dikenakan menjadikan WP
untuk menghindari transaksi yang sah secara hukum sehingga dapat menyulitkan
otoritas pajak dalam mendeteksi tempat penampungan pajak WP, atau dapat
meningkatkan terjadinya litigasi yang diajukan oleh WP; (c). enforcement issues,
dimana pada saat terjadinya litigasi, pengadilan pajak enggan untuk menelusuri atau
membuktikan kurangnya substansi ekonomis pada kasus pajak tersebut; dan (d).
motivated by revenue, pengenaan sanksi pertanggungjawaban mutlak yang ternyata
dipaksakan untuk tujuan pencapaian target penerimaan pajak dipandang sebagai “an
unsatisfactory rationale”.

IV. PEMBAHASAN

1. Perkembangan Pertanggungjawaban Mutlak di Beberapa Negara


Pemberlakuan strict liability pada hukum pidana dalam tradisi common law
seperti dalam hukum pidana di Inggris biasanya berkaitan dengan tiga macam delik
berikut: “1) public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum), 2) criminal liabel
(fitnah, pencemaran nama), 3) contempt of court (pelanggaran tata tertib
pengadilan)”.88 Namun dalam perkembangannya, strict liability telah diterapkan pada
beberapa kegiatan dan atau bidang tertentu yang berisiko sangat tinggi dan atau sangat
berbahaya yang belum tentu dapat dijangkau oleh pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan, seperti dalam area pertanggungjawaban lingkungan hidup,

83
Mik Shin-Li, Strictly Wrong as a Tax Policy: The Strict Liability Penalty Standard in
Noneconomic Substance Transactions, “Fordham Law Review”, Vol. 78, Issue 4, 2010, 2009-2050, hal.
2009.
84
Richard A. Wasserstrom, Strict Liability in the Criminal Law, “Stanford Law Review”, Vol.
12, No. 4, Juli 1960, 731-745, hal. 734.
85
Thomas C. Vanik, Torpedoing a Transaction: Economic Substance versus other Tax Doctrines
and the Application of the Strict Liability Penalty, “Cleveland State Law Review”, Vol. 64, Iss 1, 2015,
109-132, hal. 132.
86
Kathleen DeLaney Thomas, Op.cit, hal. 465-467.
87
James Quarmby, Strict Liability Offences: A Worrying Trend?,
<https://www.taxjournal.com/print/articles/strict-liability-offences-worrying-trend-13052016>, diakses
tanggal 15 Juni 2017.
88
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit, hal. 109; dan Romli Atmasasmita, Op. cit, hal 100.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 531

pertanggungjawaban produk, atau pertanggungjawaban terhadap risiko terkait


rekayasa genetik, sebagaimana telah diterapkan di beberapa negara seperti Amerika
Serikat, Inggris, dan Jerman. 89 Bahkan, beberapa negara telah mengadopsi strict
liability dalam peraturan perpajakannya seperti di negara Amerika Serikat, Kanada,
dan Inggris.
Di negara Amerika Serikat, strict liability diidentikkan dengan pengenaan sanksi
sebesar 20% atas pajak yang kurang disetor terhadap setiap larangan terkait klaim
manfaat pajak yang didasarkan atas transaksi yang kurang memenuhi substansi
ekonomis sebagaimana diatur dalam Pasal 6662 huruf (a) juncto huruf (b) angka (6)
United States Internal Revenue Code (US IRC).90 Bahkan, pengenaan sanksi sebesar
20% tersebut dapat meningkat menjadi sebesar 40% atas pajak yang kurang disetor
bila WP sama sekali tidak mengungkapkan transaksi-transaksi yang bersubstansi non-
ekonomis (nondiclosed noneconomic substance transactions) sebagaimana diatur
dalam Pasal 6662 huruf (i) angka (1) US IRC,91 dimana pada Pasal 6662 huruf (i)
angka (2) US IRC ditegaskan pengertian nondiclosed noneconomic substance
transactions sebagai “any portion of a transaction described in subsection (b)(6) with
respect to which the relevant facts affecting the tax treatment are not adequately
disclosed in the return nor in a statement attached to the return”.
Negara Kanada mengadopsi strict liability secara tegas dalam Canadian Income
Tax Act, yakni pada Pasal 163 (1) dan Pasal 238 (1). Pasal 163 (1) Canadian Income
Tax Act mengatur tentang pengenaan sanksi sebesar 50% terhadap setiap orang yang
salah melaporkan angsuran pajaknya.92 Kemudian Pasal 238 (1) Canadian Income Tax
Act mengatur bahwa setiap orang yang salah melaporkan SPT PPh dikenakan pidana
dengan denda minimal sebesar $1.000 hingga denda maksimal $25.000 dan penjara
maksimal 12 bulan.93

89
Martin Nell dan Andreas Richter, The Design of Liability Rules for Highly Risk Activities – Is
Strict Liability Superior when Risk Allocation Matters?, “International Review of Law and Economics”,
Vol. 23, Issue 1, 2003, 31-47, hal. 32.
90
Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 6662 - Imposition of
accuracy-related penalty on underpayments, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/6662>,
diakses pada tanggal 1 Juni 2017. Pasal 6662 huruf (a) US IRC yang berbunyi: “If this section applies to
any portion of an underpayment of tax required to be shown on a return, there shall be added to the tax
an amount equal to 20 percent of the portion of the underpayment to which this section applies” dan
Pasal 6662 huruf (a) angka (6) US IRC yang mengatur selanjutnya tentang portion of underpayment
yang berbunyi: “This section shall apply to the portion of any underpayment which is attributable to 1
or more of the following: (1) ... (6) Any disallowance of claimed tax benefits by reason of a transaction
lacking economic substance (within the meaning of section 7701(o)) or failing to meet the requirements
of any similar rule of law. ... (8) ...”.
91
Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 6662 - Imposition of
accuracy-related penalty on underpayments, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/6662>,
diakses pada tanggal 1 Juni 2017. Pasal 6662 huruf (i) angka (1) US IRC yang berbunyi: “In the case of
any portion of an underpayment which is attributable to one or more nondisclosed noneconomic
substance transactions, subsection (a) shall be applied with respect to such portion by substituting “40
percent” for “20 percent””.
92
Government of Canada, Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and last
amended on 2017-05-01, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/i-3.3/page-194.html#docCont>, diakses
tanggal 22 Juni 2017. Adapun bunyi selengkapnya Pasal 163 (1) Canadian Income Tax Act tersebut
adalah: “Every person who fails to pay all or any part of an instalment of tax for a taxation year on or
before the day on or before which the instalment is required by this Part to be paid is liable to a penalty
equal to 50% of the amount, if any, by which (a) the interest payable by the person under section 161 in
respect of all instalments for the year, exceeds the greater of (b) $1,000, and (c) 25% of the interest that
would have been payable by the person under section 161 in respect of all instalments for the year if no
instalment had been made for that year.”
93
Government of Canada, Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and last
amended on 2017-05-01, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/I-3.3/page-263.html#docContt>,
532 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

Sedangkan di negara Inggris, strict liability dengan tegas diatur dalam United
Kingdom Finance Act 2016 dengan mengenakan hukuman berupa denda dan atau
penjara maksimal 51 minggu atas kesalahan dalam melaporkan penghasilan, asset,
atau kegiatan-kegiatannya di negara offshore sebagaimana diatur dalam Pasal 106B
sampai dengan Pasal 106H, kecuali WP dapat membuktikan di pengadilan bahwa
mereka memiliki alasan yang masuk akal. Adapun Pasal 106B mengatur tentang
pelanggaran atas kesalahan dalam memberitahukan biaya yang dapat dibebankan pada
pajak (offence of failing to give notice of being chargeable to tax) dan atau pajak atas
capital gain pada suatu tahun pajak, kecuali WP tersebut dapat membuktikan bahwa
kesalahannya tersebut mempunyai alasan pemaaf. 94 Pasal 106C mengatur tentang
pelanggaran terhadap kesalahan dalam mengirimkan SPT (offence of failing to deliver
return) akhir periode yang telah ditentukan, suatu SPT yang dilaporkan akan telah
mengungkapkan adanya kewajiban atas PPh dan atau pajak capital gain yaitu yang
dapat dibebankan pada tahun fiskal atas atau oleh yang berhubungan dengan
penghasilan, asset, dan kegiatan-kegiatan offshore, dan jumlah PPh dan pajak capital
gain yang dapat dibebankan pada tahun fiskal atas atau oleh yang berhubungan dengan
penghasilan, asset, dan kegiatan-kegiatan offshore yang melebihi batas yang telah
ditetapkan. 95 Pasal 106D mengatur tentang pelanggaran dalam mengisi SPT yang
isinya tidak benar (offence of making inaccurate return) yang menyebabkan
meningkatnya jumlah PPh atau pajak capital gain yang lebih besar yaitu yang dapat
dibebankan pada tahun fiskal atas atau oleh yang berhubungan dengan penghasilan,
asset, dan kegiatan-kegiatan offshore, dan jumlah kenaikan tersebut melebihi batas
yang telah ditetapkan, kecuali orang yang diduga melanggar tersebut dapat
membuktikan telah melakukan kehati-hatian yang layak/patut dalam pelaporan SPT

diakses tanggal 22 Juni 2017. Adapun bunyi selengkapnya Pasal 238 (1) Canadian Income Tax Act
adalah: “Every person who has failed to file or make a return as and when required by or under this Act
or a regulation or who has failed to comply with subsection 116(3), 127(3.1) or (3.2), 147.1(7) or
153(1), any of sections 230 to 232, 244.7 and 267 or a regulation made under subsection 147.1(18) or
with an order made under subsection (2) is guilty of an offence and, in addition to any penalty
otherwise provided, is liable on summary conviction to: (a) a fine of not less than $1,000 and not more
than $25,000; or (b) both the fine described in paragraph 238(1)(a) and imprisonment for a term not
exceeding 12 months.”
94
The United Kingdom, Finance (No. 2) Bill,
<https://www.publications.parliament.uk/pa/bills/cbill/2015-2016/0155/160155.pdf>, diakses tanggal 1
Juni 2017. Selengkapnya bunyi Pasal 106B UK Finance (No. 2) Bill 2016: “(1) A person who is
required by section 7 to give notice of being chargeable to income tax or capital gains tax (or both) for
a year of assessment and who has not given that notice by the end of the notification period commits an
offence if— (a) the tax in question is chargeable (wholly or in part) on or by reference to offshore
income, assets or activities, and (b) the total amount of income tax and capital gains tax that is
chargeable for the year of assessment on or by reference to offshore income, assets or activities exceeds
the threshold amount. (2) It is a defence for a person accused of an offence under this section to prove
that the person had a reasonable excuse for failing to give the notice required by section 7. (3) In this
section “the notification period” has the same meaning as in section 7 (see subsection (1C) of that
section).”
95
Ibid., selengkapnya Pasal 106C UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person who is
required by a notice under section 8 to make and deliver a return for a year of assessment commits an
offence if— (a) the return is not delivered by the end of the withdrawal period, (b) an accurate return
would have disclosed liability to income tax or capital gains tax (or both) that is chargeable for the
year of assessment on or by reference to offshore income, assets or activities, and (c) the total amount
of income tax and capital gains tax that is chargeable for the year of assessment on or by reference to
offshore income, assets or activities exceeds the threshold amount. (2) It is a defence for a person
accused of an offence under this section to prove that the person had a reasonable excuse for failing to
deliver the return. (3) In this section “the withdrawal period” has the same meaning as in section 8B
(see subsection (6) of that section).”
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 533

tersebut.96 Pasal 106E mengatur tentang pengecualian-pengecualian dari pelanggaran


Pasal 106B sampai dengan Pasal 106D (exclusions from offences under sections 106B
to 106D).97 Pasal 106F mengatur tentang ketentuan tambahan pelanggaran Pasal 106B
sampai dengan Pasal 106D (offences under sections 106B to 106D: supplementary
provision) seperti adanya perpanjangan waktu, adanya pemberian wewenang mengatur
kepada Departemen Keuangan (The Treasury) dalam hal jumlah tertentu sepanjang
yang tidak melebihi £25.000,- terkait jumlah pajak atas atau oleh yang berhubungan
dengan penghasilan, asset, dan kegiatan-kegiatan offshore dimana kenaikan jumlah
pajak tersebut berasal dari jumlah koreksi atas ketidak benaran. Kemudian dalam Pasal
106F tersebut ditegaskan juga defenisi penghasilan, asset, dan kegiatan offshore
sebagai: “(a) income arising from a source in a territory outside the United Kingdom,
(b) assets situated or held in a territory outside the United Kingdom, or (c) activities
carried on wholly or mainly in a territory outside the United Kingdom. (5) In
subsection (4), “assets” has the meaning given in section 21(1) of the 1992 Act, but
also includes sterling.” 98 Pasal 106G mengatur tentang sanksi terhadap pelanggaran
Pasal 106B sampai dengan Pasal 106D (penalties for offences under sections 106B to
106D).99 Dan Pasal 106H mengatur tentang tata cara regulasi Pasal 106E dan Pasal
106F (Regulations under sections 106E and 106F) yang memperkenankan perbedaan

96
Ibid., selengkapnya Pasal 106D UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person who is
required by a notice under section 8 to make and deliver a return for a year of assessment commits an
offence if, at the end of the amendment period— (a) the return contains an inaccuracy the correction of
which would result in an increase in the amount of income tax or capital gains tax (or both) that is
chargeable for the year of assessment on or by reference to offshore income, assets or activities, and (b)
the amount of that increase exceeds the threshold amount. (2) It is a defence for a person accused of an
offence under this section to prove that the person took reasonable care to ensure that the return was
accurate. (3) In this section “the amendment period” means the period for amending the return under
section 9ZA.”
97
Ibid., selengkapnya Pasal 106E UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person is not
guilty of an offence under section 106B, 106C or 106D if the capacity in which the person is required to
give the notice or make and deliver the return is— (a) as a relevant trustee of a settlement, or (b) as the
executor or administrator of a deceased person. (2) The Treasury may by regulations provide that a
person is not guilty of an offence under section 106B, 106C or 106D if— (a) conditions specified in the
regulations are met, or (b) circumstances so specified exist. (3) The conditions may (in particular)
include conditions in relation to the income, assets or activities on or by reference to which the tax in
question is chargeable.”
98
Ibid., selengkapnya Pasal 106F UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) Where a period of
time is extended under subsection (2) of section 118 by HMRC98, the tribunal or an officer (but not
where a period is otherwise extended under that subsection), any reference in section 106B, 106C or
106D to the end of the period is to be read as a reference to the end of the period as so extended. (2)
The Treasury may by regulations specify the amount (which must not be less than £25,000) that is to be
the threshold amount for the purposes of sections 106B to 106D. (3) The Treasury may by regulations
make provision as to the calculation for the purposes of sections 106B to 106D of— (a) the amount of
tax that is chargeable on or by reference to offshore income, assets or activities, and (b) the increase in
the amount of tax that is so chargeable as a result of correcting an inaccuracy. (4) In sections 106B to
106D and this section “offshore income, assets or activities” means— (a) income arising from a source
in a territory outside the United Kingdom, (b) assets situated or held in a territory outside the United
Kingdom, or (c) activities carried on wholly or mainly in a territory outside the United Kingdom. (5) In
subsection (4), “assets” has the meaning given in section 21(1) of the 1992 Act, but also includes
sterling.”
99
Ibid., selengkapnya Pasal 106G UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person guilty
of an offence under section 106B, 106C or 106D is liable on summary conviction— (a) in England and
Wales, to a fine or to imprisonment for a term not exceeding 51 weeks or to both, and (b) in Scotland or
Northern Ireland, to a fine not exceeding level 5 on the standard scale or to imprisonment for a term
not exceeding 6 months or to both. (2) In relation to an offence committed before the coming into force
of section 281(5) of the Criminal Justice Act 2003, the reference in subsection (1)(a) to 51 weeks is to
be read as a reference to 6 months.”
534 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

perlakuan untuk kasus yang berbeda namun harus tetap dibuat oleh instrumen
peraturan yang dibuat oleh badan yang berwenang. 100
Di Indonesia, pengaturan eksplisit strict liability masih sebatas aturan sanksi
administrasi perpajakan, sedangkan dalam bentuk sanksi pidana di bidang perpajakan
belum diatur secara eksplisit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan hukum (positif)
lingkungan hidup yang telah mengatur secara tegas strict liability sebagaimana
tercantum pada Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang menyatakan bahwa setiap orang
yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan. Sedangkan dalam hal pertanggungjawaban pidana
mutlak masih dalam bentuk ius constituendum yang dalam Pasal 39 ayat (1) Konsep
Rancangan KUHP 2015-2016 yang berbunyi: “Bagi tindak pidana tertentu, UU dapat
menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.”101
Pengaturan secara eksplisit strict liability dalam hukum administrasi perpajakan
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU KUP yang mengenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp.500.000,00 untuk SPT Masa PPN, Rp.100.000,00 untuk SPT Masa
Lainnya dan untuk SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi, dan Rp.1.000.000,00 untuk
SPT Tahunan PPh WP Badan, yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, dan Pasal 16F UU PPN yang mengenakan tanggung jawab renteng
pembayaran PPN kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa PPN telah dibayar.
Adanya strict liability di negara Inggris dalam hal pengenaan hukuman berupa
denda dan atau penjara atas kesalahan dalam melaporkan penghasilan, asset, atau
kegiatan-kegiatannya di negara offshore, hampir mirip dengan hukum administrasi
pajak di Indonesia, namun identik dengan pertanggungjawaban pengganti (vicarious
liability), yang umum dikenal dengan istilah beneficial owner (BO)102 dan hubungan
istimewa (related party) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3b), ayat (3c), dan
ayat (3d) UU PPh. Pasal 18 ayat (3b) UU PPh mengatur tentang WP yang membeli
saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau special purpose company (SPV),
yang dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
sepanjang WP yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain
atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga. Pasal 18 ayat (3c)
UU PPh mengatur tentang penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara

100
Ibid., selengkapnya Pasal 106H UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) This section
makes provision about regulations under sections 106E and 106F. (2) If the regulations contain a
reference to a document or any provision of a document and it appears to the Treasury that it is
necessary or expedient for the reference to be construed as a reference to that document or that
provision as amended from time to time, the regulations may make express provision to that effect. (3)
The regulations— (a) may make different provision for different cases, and (b) may include incidental,
supplemental, consequential and transitional provision and savings. (4) The regulations are to be made
by statutory instrument. (5) An instrument containing the regulations is subject to annulment in
pursuance of a resolution of the House of Commons.”
101
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia,
Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP),
<http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_dengan_lampiran.pdf>,
diakses tanggal 27 Mei 2016.
102
Abdul Ficar Hadjar, et. al., Menghukum Pengemplang Pajak: Hasil Eksaminasi Publik atas
Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana Pajak dengan Terdakwa Suwir Laut,
(Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center dan Indonesian Corruption Watch, 2014).
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 535

(conduit company atau SPV) yang didirikan atau bertempat kedudukan di tax haven
country yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia yang dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia. Kemudian Pasal 18 ayat (3d) UU PPh
mengatur tentang besarnya penghasilan yang diperoleh WP orang pribadi dalam negeri
dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat ditentukan
kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan WP
orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya
yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia tersebut.

2. Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak di Indonesia Dalam


Perspektif Keadilan
Pertentangan paling utama atas penerapan pertanggungjawaban mutlak dalam
suatu peraturan perundang-undangan adalah anggapan adanya ketidakadilan berupa
pengenaan sanksi terhadap suatu subjek hukum yang bukan merupakan pelaku
pelanggaran atas suatu hukum tertentu tanpa harus membuktikan adanya kesalahan.
Hal ini semakin kompleks dalam lapangan hukum pajak karena adanya kesamaan
anggapan bahwa pemungutan pajak terhadap masyarakat tidak akan pernah bisa
mencerminkan keadilan yang hakiki dimana pengertian dari pajak itu sendiri, di
Indonesia, merupakan kontribusi wajib kepada negara dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.103
Dalam hal anggapan adanya ketidakadilan terhadap pengenaan strict liability
terhadap yang bukan pelaku pelanggaran adalah sepenuhnya tidak benar karena
konsep pertanggungjawaban hukum sangat berhubungan dengan konsep kewajiban
hukum karena terhadap “setiap orang” yang dianggap cakap maka secara hukum harus
bertanggung jawab atas suatu perbuatan tertentu. Sehingga terhadap setiap
pelanggaran hukum yang terjadi dapat menimbulkan konsekuensi, baik terhadap yang
melakukan pelanggaran langsung maupun terhadap setiap orang yang secara hukum
terkait dengannya. Salah satu segi keadilan strict liability ini dapat dilihat dari
maraknya pelanggaran pajak yang dilakukan dalam konteks hubungan keagenan
dimana dalam hal terjadinya tax evasion dan tax avoidance, yang menjadi korban
adalah negara, yang melakukan langsung pelanggaran adalah pegawai atau agen yang
dalam hal ini dapat meliputi pegawai tetap dan atau pegawai tidak tetap dan atau
dewan direksi dan atau dewan komisaris sesuai dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing, sedangkan yang menerima manfaat, pada umumnya, adalah prinsipal
yang dalam hal ini dapat meliputi pemegang saham dan atau top management seperti
direksi dan atau komisaris.
Dalam hal anggapan tentang adanya ketidakadilan terkait pengenaan strict
liability terhadap suatu subjek hukum tanpa harus membuktikan adanya kesalahan,
adalah merupakan salah satu bentuk kesalahpahaman terhadap pengertian strict
liability itu saja. Selain itu, pengenaan sanksi tanpa adanya kesalahan sangat
bertentangan dengan asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana di Indonesia.
Strict liability adalah merupakan pertanggungjawaban yang tetap berdasarkan
kesalahan karena kesalahan dipandang tetap ada sepanjang telah dipenuhinya unsur
delik namun tidak harus dibuktikan. Dalam hal terjadinya pelanggaran yang berkenaan

103
Pasal 1 angka (1) UU KUP.
536 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

dengan keuangan negara, dalam hal ini yang berkenaan dengan penerimaan negara
dari sektor pajak, maka “fault”, sebagaimana dikemukakan oleh Jeremiah Smith, dapat
mengacu pada eksistensi kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan, atau dengan kata
lain, perbuatan pelaku pelanggaran telah menyebabkan adanya kerusakan atau
kerugian terhadap korban dimana jenis pelanggaran tersebut merupakan perhatian
hukum. Atas kerusakan atau kerugian tersebut maka hukum akan berusaha
memperbaiki dengan mengatur bahwa sewaktu-waktu “person” yang menimbulkan
kerusakan atau kerugian tersebut dapat dianggap sebagai pelaku pelanggaran.104
Selain pemahaman yang menganggap bahwa pertanggungjawaban mutlak tidak
adil untuk diterapkan, F. E. Devine menganggap bahwa berdasarkan penyesuaian yang
telah dilakukan pada beberapa negara, strict liability diperlukan dan memang
memenuhi rasa keadilan untuk diterapkan, khususnya yang menyangkut tiga areanya
yang fleksibel. Pertama, elemen batin yang dapat didefenisikan dengan jangkauan
yang lebih luas dari fakta yang berdasarkan kesalahan yang masuk akal, melalui
pengabaiannya terhadap fakta, menjadi penerimaan semua kehati-hatian (care) yang
masuk akal. Kedua, tingkat pembebanan kepada pelaku pelanggaran dapat terbentang
dari pembuktian sikap batin yang diklaim oleh bukti yang berpengaruh lebih besar
menjadi semata-mata perolehannya untuk meningkatkan suatu keraguan yang masuk
akal yang mesti disanggah oleh pihak penuntut. Ketiga, tingkat pertanggungjawaban
mutlak yang dapat dibuat dapat bervariasi dari menerimanya ketika badan legislatif
dengan jelas menginginkannya, menjadi membatasinya ke peraturan perundang-
undangan yang dapat menghukum hanya melalui denda.105 Lebih dalam tentang care
dalam strict liability, sebagai bagian dari tort law di negara yang menganut tradisi
common law dimana salah satu bagian fundamental dari analisis ekonomi modern tort
law adalah adanya perbedaan care dan tingkatan kegiatan (activity levels),106 Steven
Shavell berpendapat bahwa the level of activity, biasanya, tidak dipertimbangkan
dalam merumuskan suatu standar kehati-hatian (a due care standard) karena adanya
kesulitan pada saat proses peradilan, dimana peradilan, yang akan memformulasikan
suatu standar kehati-hatian yang diperluas melalui defenisinya, akan kesulitan dalam
memutuskan tingkat aktivitas yang tepat, dan kompetensi peradilan untuk
melakukannya.107
Dalam hal keadilan di bidang perpajakan, pengaturan pertanggungjawaban
mutlak, menurut LeFevre, secara analitis dapat ditelusuri kembali dari empat maksim
Adam Smith dan yang saat ini diwujudkan dalam bentuk kesamaan horisontal, sebagai
kesamaan perlakuan dalam perpajakan seperti kesamaan pembayaran pajak yang
dilakukan oleh dua WP yang berada dalam juridiksi pajak yang sama dengan jenis dan
jumlah penghasilan yang sama, dan kesamaan vertikal, sebagai kesamaan terhadap
para WP yang berada dalam keadaan yang berbeda yang harus diperlakukan berbeda
dalam tingkatan yang sesuai. 108 Kemudian, Bărbuţă-Mişu 109 menyarankan bahwa
kerangka konseptual yang mengacu pada tax system fairness tidak dapat dipisahkan
dari keadilan distribusi, keadilan prosedural, dan keadilan retribusi yang masing-
masing diartikan sebagai berikut:

104
Jeremiah Smith, Op.cit, hal. 258.
105
F. E. Devine, Moderating Strict Liability Crimes in Common Law Tradition Countries,
“International Journal of Comparative and Applied Criminal Justice”, Vol. 20, No. 1, 1996, 117-128,
hal. 126.
106
Keith N. Hylton, Op.cit, hal. 153.
107
Steven Shavell, Strict Liability versus Negligence, Op.cit, hal. 22.
108
Tyler Antone LeFevre, “Justice in Taxation”, <https://ssrn.com/abstract=2792393>, direvisi
terakhir bulan Agustus 2016, diakses tanggal 17 Januari 2017, 1-30, hal. 7.
109
Nicoleta Bărbuţă-Mişu, A Review of Factors for Tax Compliance, “Economics and Applied
Informatics”, Vol. XVII, No. 1, 2011, 69-76, hal. 74.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 537

“Distributive justice is related to the fairness of taxpayers' outcomes and the


desire of taxpayers to be treated relative to their merits, efforts and needs.
Procedural justice is related to the neutrality of the procedure, trustworthiness of
the tax authorities and polite, dignified, and respectful treatment. Retributive
justice is related to the perceived appropriateness of sanctions in the case of
norm-breaking toward the tax office and taxes in general.”

Selain itu, pengaturan strict liability di bidang perpajakan dalam suatu hubungan
keagenan sangat berhubungan dengan konsep keadilan distributif dan keadilan
korektif yang pelaksanaannya dapat dipahami secara hukum melalui proses yang
dinamis. Pemahaman ini dapat dilihat pada praktek sehari-hari suatu hubungan
keagenan tertentu, dimana prinsipal berusaha bekerjasama dengan agennya untuk
melepaskan tanggung jawab atas terjadinya tax evasion dan atau tax avoidance dengan
berargumen bahwa pelanggaran dilakukan oleh agen dengan tanpa sepengetahuan
prinsipal. Bahkan proses perwujudan keadilan terhadap agen menjadi semakin
kompleks bilamana prinsipal yang dimaksud bukan berwujud manusia alami
melainkan dalam bentuk badan hukum sehingga terjadi kesulitan dalam membuktikan
mens rea karena adanya argument yang menyatakan bahwa pelanggaran, baik berupa
kelalaian, kesengajaan atau kesalahan, hanya dapat dilaksanakan oleh manusia, bukan
oleh badan hukum (dalam hal ini WP Badan) yang keberadaannya seolah-olah masih
dipertanyakan dalam hukum apakah nyata atau fiksi atau hanya berupa kumpulan
manusia yang terikat kontrak.110
Sehubungan dengan terjadinya permasalahan keadilan dalam praktek hubungan
keagenan sebagaimana diuraikan sebelumnya, adalah dapat diselesaikan sepanjang
adanya pengaturan strict liability dalam suatu peraturan perundang-undangan
perpajakan dimana secara alami contract liability telah melekat dalam setiap
perjanjian keagenan yang dilakukan sesuai dengan hukum kontrak yang berlaku di
Indonesia. Hal dapat dilihat dari ide utama teori keagenan yang selalu menekankan
hubungan kontraktual antara prinsipal dengan agen yang harus merefleksikan
organisasi yang efisien yang dapat menyelesaikan permasalahan asimetri informasi
dalam hubungan keagenan, seperti: (a) adanya konflik tujuan antara prinsipal dengan
agen, dan (b) adanya kesulitan dan timbulnya biaya yang tidak sedikit yang dialami
prinsipal dalam mengawasi tindakan para agen. 111 Hubungan kontraktual ini juga
ditegaskan oleh Robert E. Scott yang menekankan bahwa inti dari setiap kewajiban
kontraktual adalah melekatnya strict liability di dalamnya, dan setiap bisnis komersial
akan mengutamakan strict liability rules dibandingkan fault- based rules dalam
menilai kinerja dan merespon yang tidak berkinerja. 112 Dengan adanya pengaturan
strict liability, mekanisme keadilan hukum melalui proses yang dinamis terwujud
melalui tingkat pembebanan sanksi yang tepat kepada prinsipal dan agen yang
berorientasi pada pemulihan kerugian terhadap korban, dalam hal ini adalah negara
atas kerugian dari sektor pajak, yang walaupun dilakukan oleh agen namun karena
perbuatan tersebut dilakukan sebagai gatekeeper yang semata-mata untuk kepentingan
prinsipal maka tidak adil jika pertanggungjawaban (pidana) pajak tersebut hanya
dibebankan kepada agen yang juga belum tentu memiliki kemampuan untuk
menanggulangi kerugian negara yang terjadi. Bahkan sepanjang agen dapat

110
Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Penerbit Kencana,
2013), hal. 185.
111
Kathleen M. Eisenhardt, Agency Theory: An Assessment and Review, “Academy of
Management Review”, Vol. 14, No. 1, Januari 1989, 57-74, hal. 57-59.
112
Robert E. Scott, In (Partial) Defense of Strict Liability in Contract, “Michigan Law Review”,
Vol. 107, No. 8, Symposium: Fault in American Contract Law, June 2009, 1381-1396, hal. 1396.
538 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

membuktikan tindakan pelanggaran yang dilakukannya tersebut telah melalui proses


due diligence yang patut secara hukum dan tidak ada manfaat timbal balik yang
diterima agen dari prinsipal atas tax evasion dan atau tax avoidance yang terjadi maka
sewajarnya penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara
tersebut dibebankan kepada prinsipal.
Selain itu, sehubungan dengan adanya pertanggungjawaban pidana pajak yang
belum mengatur secara tegas WP Badan sebagai bagian dari unsur setiap orang dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku saat ini, dapat menciptakan
ketidakadilan bagi agen sebagai pelaku pelanggaran karena prinsipal dalam bentuk
WP Badan dianggap tidak pernah melakukan pelanggaran pidana pajak, baik secara
lalai atau sengaja, dan hal ini juga dikhawatirkan dapat menyuburkan praktek tax
evasion dan tax avoidance melalui WP Badan. Padahal beberapa peraturan di
Indonesia telah menyatakan bahwa badan hukum merupakan subjek hukum di
Indonesia, seperti dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)
yang menegaskan bahwa Perseroan merupakan badan hukum, 113 yang pendiriannya
wajib didirikan dua orang114 atau lebih, yang dapat bertindak dalam lalu lintas hukum
sebagai subyek hukum dan memiliki kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi
pengurusnya, 115 Peraturan MA (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 yang menegaskan
bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana,116 dan Peraturan Jaksa
Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 yang menegaskan bahwa Jaksa berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pidana terhadap korporasi. 117
Bahkan mengingat pentingnya pertanggungjawaban pidana badan hukum, pada
Rancangan KUHP 2015-2016118 ditegaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan suatu
korporasi dapat dipertanggungjawabkan bersama-sama pengurus apabila pengurus
yang memiliki jabatan penting dan atau orang-orang yang mempunyai kedudukan
fungsional dalam struktur organisasi yang bertindak baik secara individual atau atas
nama badan hukum untuk dan atas nama badan hukum, berdasarkan hubungan kerja
atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup badan hukum tersebut, dan pada Pasal
118 ayat (2) RUU KUP119 diatur tentang adanya pemidanaan pajak terhadap Badan
dalam hal: (a) dilakukan atau diperintahkan oleh pengurus; (b) dilakukan dalam
rangka pemenuhan maksud dan tujuan Badan; (c) dilakukan sesuai dengan tugas dan
fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan (d) dilakukan dengan maksud memberikan
manfaat bagi Badan.

3. Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak di Indonesia


Dalam Perspektif Kemanfaatan Umum

113
Pasal 7 ayat (6) UU PT menyatakan bahwa status badan hukum suatu Perseroan hanya dapat
diperoleh setelah akta pendiriannya mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM.
114
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU PT menegaskan kata “orang” sebagai orang perseorangan,
baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.
115
Pasal 1 angka (1) UU PT.
116
Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tanggal 21
Desember 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
117
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung Nomor
PER-028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 Tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan
Subjek Hukum Korporasi.
118
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Op.cit, hlm 35.
119
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia,
“Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan”, <http://www.bphn.go.id/data/documents/Penyelarasan-NA-RUU-
Ttg-Ketentuan-Umum-&-Tata-Cara-Perpajakan.PDF>, diakses tanggal 29 Maret 2017.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 539

Banyak negara, termasuk Indonesia, menerapkan pertanggungjawaban


berdasarkan kesalahan dan kelalaian sebagai rejim pertanggungjawabannya. Padahal
terdapat banyak kegiatan yang mengandung risiko yang sangat tinggi dan atau sangat
berbahaya dan atau perilaku tertentu dalam kemasyarakatan dan atau sulitnya
membuktikan mens rea yang belum tentu dapat dijangkau oleh pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan dan atau berdasarkan kelalaian tersebut, sementara potensi
pelanggaran mencakup bidang-bidang yang berhubungan dengan kesejahteraan
kemasyarakatan yang membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat sebagai wujud
tugas dan tanggung jawab negara. Sehingga sangat diperlukan pengaturan khusus oleh
hukum tertentu terhadap solusi atas permasalahan yang ada tersebut, yaitu pengaturan
pertanggungjawaban mutlak yang dapat memberi kemanfaatan umum tanpa
mengabaikan rasa keadilan.
Pentingnya kemanfaatan atas pengaturan pertanggungjawaban mutlak
menunjukkan bahwa dengan dapat menginterpretasikan keberadaan kemanfaatan
secara baik dan benar, berdasarkan preferensi berupa urutan-urutan opsi-opsi dari
manfaat yang diharapkan (expected utility), 120 diharapkan dapat menghasilkan
keputusan yang berhasil,121 khususnya dalam pengaturan pertanggungjawaban mutlak.
Hal ini ditegaskan oleh Kangoh Lee dengan mengemukakan bahwa strict liability
merupakan salah satu aturan pertanggungjawaban yang terbaik dan efisien dalam tort
law, sebagaimana penjelasannya lebih lanjut berbunyi:
“Under strict liability, an injurer is liable for the loss when an accident occurs
and causes a loss to a victim. The probability of an accident depends on the level
of precaution or care taken by the injurer, and the injurer has an incentive to
take care. The key question concerns the efficiency of the injurer’s incentive to
take care.”122

Selanjutnya, Martin Nell dan Andreas Richter menegaskan bahwa strict liability
sangat bermanfaat diatur untuk aktivitas yang mengandung risiko yang sangat tinggi,
sebagaimana pernyataannya berbunyi:
“Highly risky activities, however, are often by strict liability. The reason usually
given for applying strict liability to these areas is that not only efficient care is
supposed to be induced, but also an efficient level of the risky activity itself. It is
argued that, in the case of no market relationship between injurers and victims,
this could only be achieved through strict liability but not via negligence”.123

Adanya pengecualian tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng


menunjukkan bahwa strict liability dapat berperan dalam hal pengenaan sanksi
terhadap WP dan atau pihak-pihak yang menerima manfaat atas timbulnya kerugian
negara dari sektor pajak tersebut. Hal ini disebabkan bilamana strict liability telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan maka ketidakpastian hukum
dapat dihindari dan atau diskresi pada saat pelaksanaan hukum pajak dapat
diminimalisasi, sehingga aparatur pajak (fiskus) dan atau hakim (pidana) pajak dapat
lebih mudah mengelola proses penegakan hukum di bidang perpajakan melalui adanya
informasi yang diperoleh atas tingkat kerugian negara yang telah ditimbulkan.
Secara sanksi administrasi perpajakan, manfaat strict liability tersebut melekat
pada sanksi administrasi denda pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU

120
Paul Weirich, Utility and Framing, “Synthese”, Vol. 176, Issue 1, 2010, 83-103, hal. 84.
121
Paul Weirich, Op.cit, hal. 86.
122
Kangoh Lee, Risk Aversion, the Hand Rule, and Comparison between Strict Liability and the
Negligence Rule, “Review of Law & Economics”, Vol. 12, Issue 2, Juli 2016, 261-274, hal. 261.
123
Martin Nell dan Andreas Richter, Op.cit, hal. 44.
540 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

KUP terhadap SPT yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah diatur
dalam UU KUP, dan dapat melekat pada sanksi administrasi atau pidana pajak dalam
hal pelanggaran Pasal 16F UU PPN juncto Pasal 39A UU KUP yang mengenakan
tanggung jawab renteng kepada pembeli BKP atau penerima JKP atas pembayaran
PPN yang terutang yang tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan
pembeli BKP atau penerima JKP tidak dapat memberikan bukti yang sah bahwa atas
faktur pajak telah sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Hal ini diharapkan dapat
memberikan efek jera terhadap WP sehingga dapat semakin mengatur perilaku WP
agar tertib dalam melaporkan SPT serta tidak dengan sengaja berusaha membuat
struktur transaksi yang rumit yang disengaja untuk tujuan tax evasion dan atau tax
avoidance.
Walaupun manfaat strict liability sudah melekat pada sanksi administrasi denda
pajak di Indonesia, namun kemanfaatan langsung dalam bentuk sanksi pidana pajak
belum didapat karena belum adanya pengaturan secara eksplisit saat ini, terutama
dalam ketentuan formal (UU KUP). Sebagaimana strict liability sangat tepat
dikategorikan sebagai mala prohibita untuk diaplikasikan pada abnormally dangerous
activities, yang dalam bidang perpajakan meliputi pelanggaran yang berkenaan dengan
pengaturan dan kesejahteraan (regulatory and welfare offences) berupa timbulnya
kerugian pada pendapatan negara, dimana mens rea secara kasuistis tidak perlu
dibuktikan karena dapat menghambat tujuan perundang-undangan perpajakan itu
sendiri, maka pengaturan strict liability dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan di Indonesia layak untuk dipertimbangkan. Pertimbangan ini tidak dapat
terlepas dari pesatnya globalisasi dan promosi investasi dari banyak negara di dunia
sehingga diperlukan upaya maksimal dari pemerintah atau negara untuk
meminimalisasi terjadinya tax evasion dan tax avoidance terutama yang berkenaan
dengan penghasilan, asset-aset, dan aktivitas-aktivitas WP Indonesia di negara-negara
offshore, sebagaimana Inggris telah mengaturnya di UK Finance Bill 2016, dan
transaksi-transaksi WP Indonesia yang baik secara langsung maupun secara tidak
langsung dibuat rumit sehingga tidak memenuhi substansi ekonomisnya, sebagaimana
Amerika Serikat telah mengantisipasimya dalam Internal Revenue Code –nya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Tulisan ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, pengaturan
pertanggungjawaban mutlak WP di Indonesia dapat memenuhi rasa keadilan dalam
pelaksanaannya karena berkenaan dengan terjadinya pelanggaran hukum pajak yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pendapatan negara dari sektor pajak dan
sekaligus menimbulkan konsekuensi terhadap masing-masing pihak yang saling
terkait. Walaupun hukum tidak akan pernah menjadi sangat adil, tetapi rasa keadilan
dari segi equality dan atau fairness harus diwujudkan terhadap tiga pihak yang saling
terkait, yaitu terhadap negara sebagai korban (adanya kerugian pada pendapatan
negara dari sektor pajak), terhadap pelaku langsung (dalam hubungan keagenan
disebut agen), dan terhadap penerima manfaat (dalam hubungan keagenan disebut
prinsipal), yang akan dapat tercapai sepanjang pertanggungjawaban mutlak pada setiap
orang memenuhi kondisi yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal
yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kedua, pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia dapat
memberikan kemanfaatan umum bagi negara berupa solusi atas permasalahan
terhadap maraknya pelanggaran di bidang-bidang kesejahteraan kemasyarakatan yang
mengandung risiko yang sangat tinggi dan atau maraknya perilaku tertentu yang
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 541

memerlukan a due care standard dalam kemasyarakatan yang pada pelaksanaannya


harus lebih mengutamakan strict liability rules dibandingkan fault-based rules.
Pelanggaran yang berkenaan dengan pengaturan dan kesejahteraan (regulatory and
welfare offences) tersebut telah menimbulkan kerugian pada pendapatan negara di
sektor pajak dalam bentuk tax evasion dan tax avoidance dimana pajak yang
seharusnya dipungut dari masyarakat yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif untuk dikelola negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
menjadi lebih kecil dari yang seharusnya.

2. Saran
Berkembangnya tax evasion dan tax avoidance yang dalam praktek sehari-hari
berkenaan dengan penghasilan, asset-aset, dan aktivitas-aktivitas WP Indonesia di
negara-negara offshore maupun maraknya transaksi-transaksi WP Indonesia yang baik
secara langsung maupun secara tidak langsung dibuat rumit sehingga tidak memenuhi
substansi ekonomisnya ternyata sangat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara dari sektor pajak dimana dalam hal hubungan keagenan, manfaatnya dinikmati
oleh prinsipal tertentu dengan memanfaatkan agen, dan agen memanfaatkan
kompleksitas pembuktian mens rea yang belum tentu dapat dijangkau oleh
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau berdasarkan kelalaian. Sehingga,
sangat penting agar dalam kerangka pembaharuan hukum pajak di Indonesia yang
berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak yang tetap didasarkan pada rasa
keadilan dan untuk kemanfaatan umum, agar:
a. Pertanggungjawaban mutlak dan kriterianya diatur secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan,
b. Diatur secara tegas perluasan definisi setiap orang dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan, khususnya delik pidana pajak, yang bukan hanya
mencakup manusia alami saja tetapi juga termasuk badan hukum. Hal ini
diperlukan dalam rangka penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada
pendapatan negara dari sektor pajak, yang dalam hal ini yang menjadi korban
adalah negara, yang walaupun dilakukan agen dalam wujud manusia alami
ternyata kemanfaatannya diterima oleh prinsipal dalam wujud Wajib Pajak
Badan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, 2010.
Aristotle, Politics, terjemahan C.D.C. Reeve, Indianapolis, Hackett Publishing
Company, 1998.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Penerbit
Fikahati Aneska, 2009.
Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama,
2010.
Erwin, Muhammad dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum: Mencari Hakikat Hukum,
Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2008.
542 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

Fuady, Munir, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta: Penerbit
Kencana, 2013.
Garner, Bryan A. (Ed), Black’s Law Dictionary, St. Paul, West Publishing Co., 2004.
Hadjar, Abdul Ficar et. al., Menghukum Pengemplang Pajak: Hasil Eksaminasi Publik
atas Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana Pajak dengan
Terdakwa Suwir Laut, Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center dan
Indonesian Corruption Watch, 2014.
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap
Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:
Kencana, 2008.
Jones, Lucy, Introduction to Business Law, Oxford: Oxford University Press, 2013.
Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, penerjemah Raisul
Muttaqien, Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006.
Koesoemahatmadja, Etty Utju R, Hukum Korporasi: Penegakan Hukum Terhadap
Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, Bogor: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2011
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta:
Kencana, 2010.
Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009.
Rawls, John, A Theory of Justice, Massachusetts: Harvard University Press, 1999.
Riyanto, Astim, Filsafat Hukum, Bandung: Penerbit Yapemdo Bandung, 2010.
Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations,
Hampshire, UK: Harriman House Ltd, 2007.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.
Soekanto, Soerjono, et al., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007.
Sidharta, Bernard Arief, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal
dan Dogmatikal”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode
Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2009.
Tanya, Bernard L., et. al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Wallace, Harvey dan Cliff Roberson, Principles of Criminal Law, New Jersey:
Pearson Education, 2012.

Jurnal
Bhole, Bharat dan Jeffrey Wagner. “The Joint Use of Regulation and Strict Liability
with Multidimensional Care and Uncertain Conviction”, International Review
of Law and Economics, Vol. 28, Issue 2, 2008, 123-132: 131.
Nicoleta Bărbuţă-Mişu. “A Review of Factors for Tax Compliance”, Economics and
Applied Informatics, Vol. XVII, No. 1, 2011, 69-76: 74.
Chyz, James A., dan Scott D. White. “The Association between Agency Conflict and
Tax Avoidance: A Direct Approach”, Advances in Taxation, Vol. 21, 2014,
107-138: 133.
Devine, F. E. “Moderating Strict Liability Crimes in Common Law Tradition
Countries”, International Journal of Comparative and Applied Criminal
Justice, Vol. 20, No. 1, 1996, 117-128: 126.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 543

Desai, Mihir A., dan Dhammika Dharmapala. “Corporate Tax Avoidance and Firm
Value”, The Review of Economics and Statistics, Vol. 91, No. 3, Agustus 2009,
537-546: 546.
Eisenhardt, Kathleen M. “Agency Theory: An Assessment and Review”, Academy of
Management Review”, Vol. 14, No. 1, Januari 1989, 57-74: 57-59.
Fletcher, George P. “Fairness and Utility in Tort Theory”, Harvard Law Review, Vol.
85, No. 3, January 1972, 537-573: 540 dan 542.
Hamilton, Lee. “Who is Responsible? Toward a Social Psychology of Responsibility”,
Social Psychology, Vol. 41, No. 4, 1978, 316-328: 316.
Hylton, Keith N. “A Positive Theory of Strict Liability”, Review of Law and
Economics, Vol. 4, No. 1, 2008, 153-181: 153 dan 171.
Kraakman, Reinier H. “Gatekeepers: The Anatomy of a Third-Party Enforcement
Strategy”, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol. 2, No. 1, 1986,
53-104: 53.
James Jr., Fleming. “General Products-Should Manufacturers be Liable without
Negligence?”, Tennesse Law Review, Vol. 24, No. 7, 1957, 923-927: 923.
Laffont, Jean-Jacques dan Jean Tirole. “Cost Padding, Auditing and Collusion”,
Annales d’Economie et de Statistique, No. 25/26, 1992, 205-226: 206.
Lee, Kangoh. “Risk Aversion, the Hand Rule, and Comparison between Strict Liability
and the Negligence Rule”, Review of Law & Economics, Vol. 12, Iss 2, Juli
2016, 261-274: 261.
Nell, Martin dan Andreas Richter. “The Design of Liability Rules for Highly Risk
Activities – Is Strict Liability Superior when Risk Allocation Matters?”,
International Review of Law and Economics, Vol. 23, Issue 1, 2003, 31-47: 32
dan 44.
Newman, Harry A., dan David W. Wright. “Strict Liability in a Principal-Agent
Model”, International Review of Law and Economics, Vol. 10, 1990, 219-231:
227.
_____. “Negligence Versus Strict Liability in a Principal-Agent Model”, Journal of
Economics and Business, Vol. 44, 1992, 265-281: 278.
Posner, Richard A. “Strict Liability: A Comment”, The Journal of Legal Studies, Vol.
2, No. 1, Januari 1973, 205-221: 205 dan 221.
Privileggi, Fabio, et. al. “Agent’s Liability versus Principal’s Liability when Attitudes
Toward Risk Differ”, International Review of Law and Economics, Vol. 21,
No. 2, 2001, 181-195: 181 dan 182.
Radbruch, Gustav. “Five Minutes of Legal Philosophy”, penerjemah Bonnie
Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, Oxford Journal of Legal Studies,
Vol. 26, No. 1, 2006, 13-15: 13 dan 14.
_____. “Statutory Lawlesness and Supra-Statutory Law (1946)”, penerjemah Bonnie
Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, Oxford Journal of Legal Studies,
Vol. 26, No. 1, 2006, 1-11: 6.
Rawls, John, “Justice as Fairness”, The Philosophical Review, Vol. 67, No. 2, April
1958, 164-194: 165.
Sandler, Gilbert. “Strict Liability and the Need for Legislation”, Virginia Law Review,
Vol. 53, No. 7, Nopember 1967, 1509-1521: 1521.
Scott, Robert E. “In (Partial) Defense of Strict Liability in Contract”, Michigan Law
Review, Vol. 107, No. 8, Symposium: Fault in American Contract Law, June
2009, 1381-1396: 1396.
Shavell, Steven. “Strict Liability versus Negligence”, The Journal of Legal Studies,
Vol. 9, No. 1, Januari 1980, 1-25: 22 dan 24.
544 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

_____, “Corrective Taxation versus Liability”, The American Economic Review, Vol.
101, No. 3, Mei 2011, 273-276: 273.
_____, “Corrective Taxation versus Liability as a Solution to the Problem of Harmful
Externalities”, The Journal of Law and Economics, Vol. 54, No. 4, Markets,
Firms, and Property Rights: A Celebration of the Research of Ronald Coase,
Nopember 2011, S249-S266: S258, S263 dan S264.
Shin-Li, Mik. “Strictly Wrong as a Tax Policy: The Strict Liability Penalty Standard
in Noneconomic Substance Transactions”, Fordham Law Review, Vol. 78,
Issue 4, 2010, 2009-2050: 2009.
Shleifer, Andrei. “Understanding Regulation”, European Financial Management, Vol.
11, No. 4, 2005, 439-451: 445.
Smith, Jeremiah. “Tort and Absolute Liability: Suggested Changes in Classification”,
Harvard Law Review, Vol. 30, No. 3, Januari 1917, 241-262: 256-258.
Taylor, Paul W. “Justice and Utility”, Canadian Journal of Philosophy, Vol. I, No. 3,
Maret 1972, 327-350: 334.
Thomas, Kathleen DeLaney. “The Case Against A Strict Liability Economic Substance
Penalty”, University of Pennsylvania Journal of Business Law, Vol. 13, No. 2,
2011, 445-497: 462-465, dan 467.
Vanik Jr, Thomas C., “Torpedoing a Transaction: Economic Substance Versus Other
Tax Doctrines and the Application of the Strict Liability Penalty”, Cleveland
State Law Review, Vol. 64, Iss 1, 2015, 109-132: 132.
Wasserstrom, Richard A. “Strict Liability in the Criminal Law”, Stanford Law Review,
Vol. 12, No. 4, Juli 1960, 731-745: 734.
Weinri, Ernest J. “The Gains and Losses of Corrective Justice”, Duke Law Journal,
Vol. 44, No. 2, Nopember 1994, 277-297: 277.
Weirich, Paul. “Utility and Framing”, Synthese, Vol. 176, Iss 1, 2010, 83-103: 84 dan
86.

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Lainnya


Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) Tahun 2009 Nomor 62, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor 4953.
_____, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan UndangUndang
Nomor 36 Tahun 2008, LNRI Tahun 2008 Nomor 133, dan TLN Nomor 4893.
_____, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali
Diubah Terakhir Dengan UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009, LNRI Tahun
2009 Nomor 150, dan TLN Nomor 5069.
_____, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa Sebagaimana Telah Diubah Dengan UndangUndang Nomor 19
Tahun 2000, LNRI Tahun 2000 Nomor 129, dan TLN Nomor 3987.
_____, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, LNRI
Tahun 2007 Nomor 106, dan TLN Nomor 4756.
_____, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LNRI Tahun 2009 Nomor
140, dan TLN Nomor 5059.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 545

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung
Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 Tentang Pedoman
Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tanggal 21 Desember 2016 Tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

Sumber Internet
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia, “Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan”,
http://www.bphn.go.id/data/documents/Penyelarasan-NA-RUU-Ttg-
Ketentuan-Umum-&-Tata-Cara-Perpajakan.PDF, diakses 29 Maret 2017.
_____, “Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP)”,
http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_deng
an_lampiran.pdf, diakses 27 Mei 2016.
Government of Canada, “Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and
last amended on 2017-05-01”, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/i-
3.3/page-194.html#docCont>, diakses tanggal 22 Juni 2017.
_____, “Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and last amended on
2017-05-01”, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/I-3.3/page-
263.html#docContt>, diakses tanggal 22 Juni 2017.
LeFevre, Tyler Antone, “Justice in Taxation”, <https://ssrn.com/abstract=2792393>,
direvisi terakhir bulan Agustus 2016, diakses tanggal 17 Januari 2017, 1-30: 7.
Legal Information Institute of Cornell Law School, “26 U.S. Code § 7701 –
Definitions”, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/7701>, diakses
tanggal 1 Juni 2017.
_____, “26 U.S. Code § 6662 - Imposition of accuracy-related penalty on
underpayments”, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/6662>, diakses
pada tanggal 1 Juni 2017.
Magill, Tori dan Anne-Marie Ottaway. “‘Panamania’: legitimate concerns or a lack
of understanding?”, <https://www.taxjournal.com/articles/panamania-
legitimate-concerns-or-lack-understanding-13042016>, diakses tanggal 15 Juni
2017.
Naseer, Jahanzeb. “Tax Amnesty-the Process, Impact and Implications,”
<https://plus.credit-suisse.com/researchplus/ravDocView?docid=axcnwb,
diakses pada tanggal>, diakses tanggal 11 Oktober 2016.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). “Explanatory
Statement, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project”,
<www.oecd.org/tax/beps-explanatory-statement-2015.pdf>.
Quarmby, James. “Strict Liability Offences: A Worrying Trend?”,
<https://www.taxjournal.com/print/articles/strict-liability-offences-worrying-
trend-13052016>, diakses tanggal 15 Juni 2017.
The International Consortium of Investigative Journalists. “Panama Papers the Power
Players”, <https://panamapapers.icij.org/the_power_players/>, diakses tanggal
15 Agustus 2016.
The United Kingdom, “Finance (No. 2) Bill”,
<https://www.publications.parliament.uk/pa/bills/cbill/2015-
2016/0155/160155.pdf>, diakses tanggal 1 Juni 2017.
546 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

Putusan Pengadilan
Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 tanggal 18
Desember 2012.
Indonesia, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 156/PID/2014/PT. DKI tanggal
18 Agustus 2014.

Вам также может понравиться