Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
3 (2019): 517-546
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Abstract
The increasing of tax evasion and tax avoidance, due to lack of taxpayer’s liability
regulation in tax legislation, has been very detrimental to state revenues. Based on
normative juridical research with descriptive-comparative-prescriptive approach
which has been done, it is concluded that the regulation of strict liability of taxpayers
of Indonesia can: 1) fulfill the sense of justice in terms of equality and or fairness as
long as it meets the condition that reflects of material justice and formal justice which
must be regulated explicitly in tax legislation; and 2) provide public benefit to the
state in handling the social welfare and regulation offences and or in handling the rise
of abnormally dangerous behaviors that require a due care standard in the taxpayer’s
business environment. It is recommended to be explicitly set about the criteria of strict
liability and widening the defenition of any person, including individual and
corporation, in tax legislation.
Abstrak
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Maraknya penggelapan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax
avoidance) yang sangat merugikan penerimaan negara yang dilakukan oleh suatu
Wajib Pajak (WP) tertentu, baik dalam skala internasional maupun skala nasional,
memperlihatkan belum maksimalnya penerapan pertanggungjawaban WP dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan, khususnya di Indonesia. Timbulnya
ketidakmaksimalan ini tidak terlepas dari adanya kesempatan WP dalam
memanfaatkan loophole aturan, terutama yang belum mengantisipasi perkembangan
pertanggungjawaban yang pada saat ini bukan hanya sebatas berdasarkan kesalahan
(based on fault), namun dalam hal-hal tertentu seharusnya telah dapat menerapkan
doktrin pertanggungjawaban lainnya seperti pertanggungjawaban mutlak (strict
liability).1
Maraknya tax evasion dan tax avoidance secara terencana dan terstruktur2 dalam
skala internasional dapat dilihat dari beberapa fakta seperti terungkapnya sekitar
214.488 entitas pribadi dan korporasi di 21 negara tax havens dalam “panama
papers” yang memuat bukti 11,5 juta dokumen yang berasal dari lebih 50 negara
(termasuk Indonesia), 3 dimana Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) telah mengindikasikan sebelumnya bahwa terdapat kerugian
yang diakibatkan oleh terjadinya transaksi perpajakan internasional yang mencapai
sekitar 4%-10% dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan global atau
sekitar AS$100-$240 milyar per tahun. 4 Sedangkan maraknya tax evasion dan tax
avoidance dalam skala nasional dapat dilihat dari beberapa kasus seperti putusan
kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam pidana pajak Tax Manager 14 perusahaan grup
AA yang merugikan pendapatan Negara sebesar Rp. 1,25 triliun dan denda pidana
lebih dari Rp.2,5 triliun,5 dan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap terdakwa
TKB alias W dan bersama-sama dengan terdakwa E dan S yang terbukti
menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari 22 perusahaan sehingga menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara sekurang-kurangnya sebesar Rp. 168,13 milyar. 6 Bahkan,
Jahanzeb Naseer menaksir adanya sekitar AS$200 milyar kekayaan orang-orang
Indonesia yang ditempatkan di negara-negara offshore.7
1
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP),
<http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_dengan_lampiran.pdf>,
diakses tanggal 27 Mei 2016, hal. 34.
2
Tori Magill dan Anne-Marie Ottaway, ‘Panamania’: legitimate concerns or a lack of
understanding? <https://www.taxjournal.com/articles/panamania-legitimate-concerns-or-lack-
understanding-13042016 >, diakses tanggal 15 Juni 2017.
3
The International Consortium of Investigative Journalists, Panama Papers the Power Players,
<https://panamapapers.icij.org/the_power_players/>, diakses tanggal 15 Agustus 2016.
4
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), 2015, “Explanatory
Statement, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project”, <www.oecd.org/tax/beps-
explanatory-statement-2015.pdf>, hal. 4.
5
Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Nomor 2239 K/PID.SUS/2012, 18
Desember 2012.
6
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 156/PID/2014/PT. DKI tanggal 18 Agustus 2014.
7
Jahanzeb Naseer, “Tax Amnesty-the Process, Impact and Implications,” <https://plus.credit-
suisse.com/researchplus/ravDocView?docid=axcnwb, diakses pada tanggal>, diakses tanggal 11
Oktober 2016.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 519
Selain itu, terjadinya tax evasion dan tax avoidance ini disebabkan adanya
manfaat yang diterima oleh pihak-pihak tertentu WP yang dalam hubungan keagenan8
(agency relationship) dikenal sebagai pihak prinsipal 9 (principal). Manfaat yang
diterima oleh prinsipal ini tidak dapat terlepas dari dukungan dan atau bantuan
pegawainya atau dikenal dengan istilah agen 10 (agent) 11 yang merupakan
“gatekeeper”, pihak yang bertanggungjawab kepada prinsipal dalam mencegah
terjadinya pelanggaran dalam kegiatan usaha.12 Hal ini ditegaskan oleh Laffont dan
Tirole 13 dan Privileggi et.al 14 yang menyatakan bahwa “gatekeeper”, demi
kepentingan prinsipal, berperan dalam penghindaran pajak dengan melakukan
manipulasi akuntansi, kemudian Chyz dan White15 dan Desai dan Dharmapala16 juga
menegaskan bahwa terjadinya penghindaran pajak sangat berhubungan dengan kinerja
pembukuan dan tata kelola perusahaan yang merupakan upaya manajerial dalam
meningkatkan nilai perusahaan yang pada dasarnya akan dinikmati oleh para
pemegang saham.
2. Pokok Permasalahan
Mengingat berkembangnya tax evasion dan tax avoidance baik dalam skala
internasional maupun skala nasional yang manfaatnya dinikmati oleh prinsipal tertentu
dengan memanfaatkan agen, terdapatnya pengaturan pengenaan sanksi administrasi
pajak dan atau sanksi pidana pajak, dan adanya semangat untuk melakukan
penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara dari sektor
pajak melalui alternatif penerapan strict liability, maka sangat penting agar badan
yudikatif dan legislatif mempertimbangkan perluasan cakupan pertanggungjawaban
mutlak WP dengan tetap didasarkan pada perspektif keadilan dan kemanfaatan umum
di Indonesia. Terdapat 2 (dua) permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini.
Pertama, bagaimana pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak dalam
perspektif keadilan hukum di Indonesia? Kedua, bagaimana pengaturan
pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak dalam perspektif kemanfaatan umum di
Indonesia?
17
Soerjono Soekanto et al., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hal. 13 dan 14.
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal. 9 dan 10.
19
Ibid., hal. 52 dan 53.
20
Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal
dan Dogmatikal”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi
dan Refleksi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. 144 dan 145.
21
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), hal. 61.
22
Ibid., hal. 63.
23
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, penerjemah Raisul Muttaqien
(Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 95.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 521
i.e., cases where there is neither breach of genuine contract or fault, and yet
liability”.24 Selanjutnya dalam menganalisis pertanggungjawaban, menurut George P.
Fletcher, diperlukan dua paradigma yang sangat berbeda, yaitu paradigma timbal balik
(the paradigm of reciprocity) dan paradigma kepatutan (the paradigm of
reasonableness) yang merepresentasikan suatu pandangan yang kompleks tentang (1)
standar pertanggungjawaban yang tepat, (2) ciri khas legal reasoning yang tepat, dan
(3) hubungan antara pemecahan permasalahan pertikaian individu dan kesejahteraan
masyarakat.25 Berdasarkan paradigma timbal balik, terdapat dua isu sentral dalam tort
law, yaitu bagaimana hak korban untuk mendapatkan ganti rugi dan bagaimana
kewajiban pelaku pelanggaran untuk memberikan ganti rugi, merupakan permasalahan
yang berbeda, yang masing-masing dapat diselesaikan tanpa melihat lebih jauh dari
kasus tersebut.26 Sedangkan paradigma kepatutan merepresentasikan suatu penolakan
dari nilai-nilai yang non-instrumentalist dan suatu komitmen kepada kesejahteraan
masyarakat sebagai kriteria dalam menetapkan siapa yang berhak untuk menerima dan
siapa yang harus membayar kompensasi. Kepatutan ditetapkan oleh keseimbangan
langsung dari biaya dan manfaat dimana jika risiko menghasilkan suatu manfaat
kemasyarakatan maka korban dianggap tidak berhak mendapatkan hak pemulihan
sedangkan jika risikonya menghasilkan suatu ketidakmanfaatan kemasyarakatan maka
korban berhak untuk mendapatkan pemulihan. 27 Khusus mengenai
pertanggungjawaban mutlak, berdasarkan beberapa literatur kepustakaan, juga dikenal
dalam beberapa istilah yang sudah umum yaitu “no-fault liability” atau “liability
without fault” atau “absolute liability” atau “strict liability” atau prinsip
pertanggungjawaban tanpa harus membuktikan adanya kesalahan.28
Terdapat pemikiran beberapa tokoh, baik yang berasal dari luar negeri maupun
dari Indonesia, yang menguraikan pendapatnya tentang pertanggungjawaban mutlak
berdasarkan masing-masing perspektif. Fleming James, dalam menangani pertanyaan
dalam hal bagaimana para pabrikan (manufacturers) seharusnya menjadi
bertanggungjawab tanpa kelalaian, memperluas jangkauan strict liability dalam tort
law, dengan menyatakan:
“strict liability is to be preferred over a system of liability based on fault
wherever you have an enterprise or activity, beneficial to many, which takes a
more or less inevitable accident toll of human life and limb. This is true at least
where the accident victims are as a class economically ill-equipped to carry the
burden of serious accident losses.”29
24
Jeremiah Smith, Tort and Absolute Liability: Suggested Changes in Classification, “Harvard
Law Review”, Vol. 30, No. 3, Januari 1917, 241-262, hal. 256.
25
George P. Fletcher, Fairness and Utility in Tort Theory, “Harvard Law Review”, Vol. 85, No.
3, January 1972, 537-573, hal. 540 dan 542.
26
George P. Fletcher, Op.cit, hal. 540.
27
George P. Fletcher, Op.cit, hal. 542.
28
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana,
2010), hal. 107.
29
Fleming James, Jr., General Products-Should Manufacturers be Liable without Negligence?,
“Tennesse Law Review”, Vol. 24, No. 7, 1957, 923-927, hal. 923.
30
Richard A. Posner, Strict Liability: A Comment, “The Journal of Legal Studies”, Vol. 2, No. 1,
Januari 1973, 205-221, hal. 205.
522 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
Posner menyimpulkan: (1) teori ekonomi tidak memberikan dasar, secara umumnya,
untuk lebih memilih strict liability terhadap kelalaian (negligence), atau negligence
terhadap strict liability, asalkan beberapa versi dari suatu pembelaan contributory
negligence diakui, (2) suatu standar strict liability tanpa suatu pembelaan contributory
negligence, kurang efisien dibandingkan standar kelalaian negligence-contributory.31
Steven Shavell menjelaskan bahwa strict liability merupakan salah satu contoh
yang terpenting dalam membantu menjelaskan ciri khas tertentu tort law, yang
diterapkan pada kegiatan-kegiatan yang sangat berbahaya. Hal ini disebabkan adanya
dua karakteristik strict liability, yakni:
“First, they are such that injurer activity has a distinctive aspect (which makes
the activity easy for the law to single out) and imposes nonnegligible risks on
victims (which make the activity worthwile controlling). And, second, they are
such that victim activity is usually not at all special - on the contrary, it is
typically entirely routine in nature, part of what it is to carry on a normal life –
and is therefore activity that cannot and ought not be controlled.”32
31
Ibid., hal. 221.
32
Steven Shavell, Strict Liability versus Negligence, “The Journal of Legal Studies”, Vol. 9, No.
1, Januari 1980, 1-25, hal. 24.
33
Keith N. Hylton, A Positive Theory of Strict Liability, “Review of Law and Economics”, Vol.
4, No. 1, 2008, 153-181, hal. 171.
34
Harvey Wallace dan Cliff Roberson, Principles of Criminal Law, (New Jersey: Pearson
Education, 2012), hal. 45.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 523
Dalam hubungan dengan tort law, Lucy Jones menguraikan pendapatnya tentang
strict liability sebagaimana dikutip pada uraian berikut:
“The Law of Torts covers a range of different civil wrongs including negligence,
trespass, nuisance, and defamation. Each tort has its own rules about liability
but most torts require an element of culpability, which means that liability is
only imposed on a person who intentionally or negligently acts or fails to act in
a particular manner. However, there are some torts, called strict liability torts,
that impose liability on a person even though they have not been at fault in any
way.” 35
Selain pendapat dari beberapa ahli dari luar negeri, beberapa ahli hukum di
Indonesia juga mengemukakan pendapatnya tentang strict liability. Etty Utju R.
Koesoemahatmadja berpendapat bahwa kemunculan doktrin strict liability adalah
merupakan salah satu alternatif dalam melakukan penanggulangan tindak pidana
badan hukum dimana tanggung jawab ini tidak memiliki keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan karena didasarkan alasan seperti untuk menjamin
dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu untuk kesejahteraan sosial, sulitnya
membuktikan mens rea (niat melakukan) dalam pelanggaran-pelanggaran terkait
kesejahteraan sosial, dan tingginya bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan
yang bersangkutan. 36 Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa doktrin
pertanggungjawaban mutlak merupakan pertanggungjawaban pidana badan hukum
yang semata-mata berdasarkan undang-undang (UU) yang pengenaannya adalah
terhadap badan hukum yang melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi
tertentu sebagaimana telah ditentukan oleh UU. 37 Chairul Huda berpendapat bahwa
walaupun strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak
pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya, namun
pertanggungjawaban pidana tetap berdasar kesalahan karena kesalahan dipandang
tetap ada sepanjang telah dipenuhinya unsur delik namun tidak harus dibuktikan.38
Selanjutnya Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa, pada umumnya baik pada hukum
pidana di Inggris dan di sebagian negara bagian di Amerika Serikat,
pertanggungjawaban pidana mutlak diberlakukan terhadap pelanggaran yang termasuk
“welfare offences” atau “regulatory offences” dimana ketentuan untuk dapat
diberlakukannya mencakup: a). tidak untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman
berat, b). ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan; b). adanya “mens rea” yang
akan menghambat tujuan perundangan sehingga menurut UU yang berlaku, “mens-
rea” secara kasuistis tidak perlu dibuktikan, c) merupakan kejahatan yang dilakukan
secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-hak orang lain.39
Selain berperan pentingnya pertanggungjawaban dalam mereduksi bahaya
ataupun kerugian dimana yang melakukan pelanggaran dituntut harus membayar
kerugian yang terjadi, maka hal ini juga berhubungan dengan pajak, yang menurut A.
C. Pigou, dapat dipergunakan sebagai sarana mengawasi aktivitas yang berpotensi
35
Lucy Jones, Introduction to Business Law, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hal. 344.
36
Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi: Penegakan Hukum Terhadap Pelaku
Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hal. 66
dan 67.
37
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, 2010), hal. 251.
38
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 86 dan 87.
39
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Fikahati
Aneska, 2009), hal. 102 dan 103.
524 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
40
Steven Shavell, Corrective Taxation versus Liability, “The American Economic Review”, Vol.
101, No. 3, Mei 2011, 273-276, hal. 273.
41
Steven Shavell, Corrective Taxation versus Liability as a Solution to the Problem of Harmful
Externalities, “The Journal of Law and Economics”, Vol. 54, No. 4, Markets, Firms, and Property
Rights: A Celebration of the Research of Ronald Coase, Nopember 2011, S249-S266, hal. S263 dan
S264.
42
Steven Shavell, Op.cit, S249-S266, hal. S258.
43
Pasal 1 angka (2) UU KUP mendefenisikan Wajib Pajak sebagai orang pribadi atau badan
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
44
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa subjek pajak terdiri dari subjek
pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri yang meliputi orang pribadi, warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan bentuk usaha tetap (BUT).
45
Pasal 1 angka (15) UU PPN mendefenisikan PKP sebagai Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak
berdasarkan UU PPN.
46
Pasal 1 angka (28) UU KUP dan Pasal 1 angka (3) UU PPSP mendefenisikan Penanggung
Pajak sebagai orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk
wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban WP sesuai dengan ketentuan perpajakan.
47
Pasal 2 ayat (1) UU KUP.
48
Pasal 4 ayat (1) UU KUP.
49
Pasal 4 ayat (3) UU KUP.
50
Pasal 4 ayat (2) UU KUP.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 525
terutang.51 Namun tanggung jawab renteng tersebut dapat dikecualikan apabila wakil
WP tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya,
menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.52
Adanya pengecualian tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng
Wakil WP tersebut atas pembayaran pajak yang terutang menunjukkan bahwa
pertanggungjawaban atas pembayaran pajak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak lain yang tidak melakukan perbuatan melanggar hukum secara langsung, yang
berhubungan erat dengan WP Badan tersebut, seperti komisaris dan atau pemegang
saham mayoritas atau pengendali dan atau orang yang berwenang menentukan
kebijakan dan atau mengambil keputusan dalam perusahaan dan atau berwenang
menandatangani kontrak/perjanjian dan atau cek/giro korporasi.53
Bahkan di negara yang menganut tradisi common law seperti Amerika Serikat,
pengaturan secara tertulis suatu hukum tetap dibutuhkan, sebagaimana Langdell, yang
dikutip dalam Jeremiah Smith, menyatakan:
51
Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP
52
Penjelasan Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
53
Penjelasan Pasal 32 ayat (4) UU KUP.
54
V. Lee Hamilton, Who is Responsible? Toward a Social Psychology of Responsibility, “Social
Psychology”, Vol. 41, No. 4, 1978,316-328, hal. 316.
55
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hal. 1 dan 31.
56
Gustav Radbruch, Five Minutes of Legal Philosophy, penerjemah Bonnie Litschewski Paulson
dan Stanley L. Paulson, “Oxford Journal of Legal Studies”, Vol. 26, No. 1, 2006, 13-15, hal. 13 dan 14.
57
Gustav Radbruch, Statutory Lawlesness and Supra-Statutory Law (1946), penerjemah Bonnie
Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, “Oxford Journal of Legal Studies”, Vol. 26, No. 1, 2006,
1-11, hal. 6.
526 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
“Strictly, every obligation is created by the law. When it is said that a contract
creates an obligation, it is only meant that the law annexes an obligation to
every contract. A contract may be well enough defined as an agreement to which
the law annexes an obligation”, 58
dan Corbin menyatakan “All enforcible obligations are created by law”.59 Kemudian
Gilbert Sandler, dalam kaitannya dengan implikasi pada perusahaan industri, juga
menegaskan:
“The proposed legislation would be a major improvement over the present strict
liability scheme. A wider distribution of losses would be accomplished, and the
harsh secondary effects of strict liability in competitive industries would be
alleviated by the proposed scheme of recouping losses either directly from
consumers or from society as a whole”.60
58
Jeremiah Smith, Op.cit, hal. 257.
59
Jeremiah Smith, Loc.cit.
60
Gilbert Sandler, Strict Liability and the Need for Legislation, “Virginia Law Review”, Vol. 53,
No. 7, Nopember 1967, 1509-1521, hal. 1521.
61
Andrei Shleifer, Understanding Regulation, “European Financial Management”, Vol. 11, No.
4, 2005, 439-451, hal. 445.
62
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, (Hampshire,
UK: Harriman House Ltd, 2007), hal. 535.
63
Ibid., hal. 536-537.
64
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hal.
27 dan 28.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 527
Keadilan merupakan kebajikan yang paling utama dari suatu institusi sosial,65
termasuk otoritas pajak, yang hanya dapat dipahami jika diposisikan sebagai situasi
yang harus direalisasikan oleh hukum melalui proses yang dinamis. 66 Terdapat
beberapa pendapat tokoh penting tentang keadilan yang perlu untuk lebih dipahami
dalam kaitannya dengan pengaturan pertanggungjawaban.
Socrates berpendapat bahwa hukum merupakan tatanan yang mengutamakan
kebajikan dan keadilan umum dalam konteks mutu pribadi individu warga polis
(negara). Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat,
bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri. Hukum, sejatinya adalah
tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.67
Aristoteles menegaskan bahwa hukum tidak akan pernah dapat menjadi sangat
adil68 sehingga permasalahan keadilan hukum harus dipahami dari segi kesamaan yang
terdiri dari tiga keadilan yaitu keadilan berbasis kesamaan (cummulative), keadilan
distributif (distributive), dan keadilan korektif (remedial). 69 Keadilan kumulatif
mencakup dua kesamaan yaitu kesamaan numerik, yang melahirkan prinsip “semua
orang sederajat di depan hukum”, dan kesamaan proporsional, yang melahirkan
prinsip: “memberi tiap orang apa yang menjadi haknya”. Keadilan distributif identik
dengan keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif
bertugas membangun kembali kesetaraan dengan berfokus pada pembetulan sesuatu
yang salah. 70 Ketidakmampuan hukum untuk berlaku adil juga disikapi oleh John
Rawls dengan mengkonsepsikan keadilan dari sisi fairness dengan menegaskannya
dalam dua prinsip yang mengekspresikan keadilan berdasarkan tiga pemikiran
kompleks berupa kebebasan (liberty), persamaan (equality), dan penghargaan (reward)
atas kontribusi pelayanan untuk kebaikan umum. Kedua prinsip tersebut mencakup:
“First, each person participating in a practice, or affected by it, has an equal
right to the most extensive liberty compatible with a like liberty for all; and
second, inequalities are arbitrary unless it is reasonable to expect that they will
work out for everyone's advantage, and provided the positions and offices to
which they attach, or from which they may be gained, are open to all”.71
65
John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts: Harvard University Press, 1999), hal. 3.
66
Gustav Radbruch, Five Minutes of Legal Philosophy, Op.cit, hal. 14.
67
Bernard L. Tanya, et. al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hal. 31.
68
Aristotle, Politics, terjemahan C.D.C. Reeve, (Indianapolis, Hackett Publishing Company,
1998), hal 82.
69
John Rawls, Op.cit, hal. 45.
70
Bernard L. Tanya, et. al, Op.cit, hal. 45.
71
John Rawls, Justice as Fairness, “The Philosophical Review”, Vol. 67, No. 2, April 1958, 164-
194, hal. 165.
72
Paul W. Taylor, Justice and Utility, “Canadian Journal of Philosophy”, Vol. I, No. 3, Maret
1972, 327-350, hal. 334.
528 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
73
Paul W. Taylor, Op.cit, hal. 348 dan 349.
74
Paul W. Taylor, Op.cit, hal. 347.
75
Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum: Mencari Hakikat Hukum,
(Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2008), hal. 41 dan 42.
76
Astim Riyanto, Filsafat Hukum, (Bandung: Penerbit Yapemdo Bandung, 2010), hal. 716 dan
717.
77
Ernest J. Weinrib, The Gains and Losses of Corrective Justice, “Duke Law Journal”, Vol. 44,
No. 2, Nopember 1994, 277-297, hal. 277.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 529
terdapat moral hazard dibandingkan dengan ketika tanpa adanya moral hazard. 78
Kemudian dalam yang membandingkan antara negligence dan strict liability dalam
suatu principal-agent model, Harry A. Newman dan David W. Wright menghasilkan
penelitian bahwa pemilihan bentuk peraturan pertanggungjawaban kemungkinan
menyebabkan tingkat keperdulian yang dilakukan oleh agen dimana atas adanya
kontrak optimal yang ditawarkan dalam negligence rule dapat lebih memotivasi
pegawai dibandingkan dengan yang ditawarkan dalam strict liability.79
Penelitian Bharat Bhole dan Jeffrey Wagner menyarankan agar didapat motivasi
yang efisien terhadap kehati-hatian yang tidak teramati (unobservable care) maka
lebih baik dilakukan penggunaan secara bersama-sama peraturan dan
pertanggunggungjawaban dibandingkan hanya penggunaan pertanggungjawaban saja.
Namun terhadap care atas penggunaan secara bersama-sama peraturan dan strict
liability dapat juga diberikan terhadap care atas penggunaan secara bersama-sama
peraturan dan negligence ketika terdapat care yang multidimensional, care dalam
dimensi yang berbeda yaitu yang dapat diamati, tetapi care dalam beberapa dimensi
tidak diatur. Sehingga dalam hal ini, negligence rule bersama dengan regulation akan
menghasilkan insentif yang lebih baik dibandingkan hanya negligence rule saja, sama
halnya dengan penggunaan secara bersama-sama peraturan dan strict liability.80
Dalam perkembangannya, khususnya dalam prakteknya, di beberapa negara,
baik yang telah dan atau bermaksud menerapkannya dalam peraturan perundang-
undangan perpajakannya, strict liability masih menimbulkan reaksi pro dan kontra
sampai dengan saat ini. Menurut Kathleen DeLaney Thomas, dukungan terhadap
penerapan strict liability dalam ketentuan perpajakan didasarkan pada argumen untuk
mengantisipasi adanya pelanggaran doktrin substansi ekonomis81 (economic substance
doctrine), sehingga bermanfaat dalam hal: 82 (a). deterrence, dengan menerapkan
sanksi yang tegas terhadap transaksi yang tidak atau kurang didukung dengan
substansi ekonomis akan menjerakan WP sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
WP; dan (b). complexity, adanya kesengajaan WP dalam doktrin substansi ekonomis
membuat struktur transaksi yang rumit yang hanya bisa diakses dan dipahami WP
sehingga hanya ahli-ahli tertentu yang dapat mengungkap permasalahan tersebut.
Selain argumen yang mendukung strict liability, terdapat juga argumen yang
mendebat pengaturan strict liability di bidang perpajakan. Mik Shin-Li dan Richard A.
Wasserstrom berpendapat bahwa strict liability seharusnya tidak diadopsi dalam
78
Harry A. Newman dan David W. Wright, Strict Liability in a Principal-Agent Model,
“International Review of Law and Economics”, Vol. 10, 1990, 219-231, hal. 227.
79
Harry A. Newman dan David W. Wright, Negligence Versus Strict Liability in a Principal-
Agent Model, “Journal of Economics and Business”, Vol. 44, 1992, 265-281, hal. 278.
80
Bharat Bhole dan Jeffrey Wagner, The Joint Use of Regulation and Strict Liability with
Multidimensional Care and Uncertain Conviction, “International Review of Law and Economics”, Vol.
28, Issue 2, 2008, 123-132, hal. 131.
81
Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 7701 – Definitions,
<https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/7701>, diakses tanggal 1 Juni 2017. Lebih lanjut tentang
penggunaan doktrin substansi ekonomis di Amerika Serikat secara tegas diatur dalam Pasal 7701 (o)
Internal Revenue Code (IRC) Amerika Serikat dimana pada Ayat 5 (A) didefenisikan sebagai “the
common law doctrine under which tax benefits under subtitle A with respect to a transaction are not
allowable if the transaction does not have economic substance or lacks a business purpose”. Kemudian
pada Ayat 1 disebutkan perlakuan yang dianggap memiliki substansi ekonomis bilamana: “(A) the
transaction changes in a meaningful way (apart from Federal income tax effects) the taxpayer’s
economic position, and (B) the taxpayer has a substantial purpose (apart from Federal income tax
effects) for entering into such transaction.”
82
Kathleen DeLaney Thomas, The Case Against A Strict Liability Economic Substance Penalty,
“University of Pennsylvania Journal of Business Law”, Vol. 13, No. 2, 2011, 445-497, hal. 462-464.
530 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
IV. PEMBAHASAN
83
Mik Shin-Li, Strictly Wrong as a Tax Policy: The Strict Liability Penalty Standard in
Noneconomic Substance Transactions, “Fordham Law Review”, Vol. 78, Issue 4, 2010, 2009-2050, hal.
2009.
84
Richard A. Wasserstrom, Strict Liability in the Criminal Law, “Stanford Law Review”, Vol.
12, No. 4, Juli 1960, 731-745, hal. 734.
85
Thomas C. Vanik, Torpedoing a Transaction: Economic Substance versus other Tax Doctrines
and the Application of the Strict Liability Penalty, “Cleveland State Law Review”, Vol. 64, Iss 1, 2015,
109-132, hal. 132.
86
Kathleen DeLaney Thomas, Op.cit, hal. 465-467.
87
James Quarmby, Strict Liability Offences: A Worrying Trend?,
<https://www.taxjournal.com/print/articles/strict-liability-offences-worrying-trend-13052016>, diakses
tanggal 15 Juni 2017.
88
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit, hal. 109; dan Romli Atmasasmita, Op. cit, hal 100.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 531
89
Martin Nell dan Andreas Richter, The Design of Liability Rules for Highly Risk Activities – Is
Strict Liability Superior when Risk Allocation Matters?, “International Review of Law and Economics”,
Vol. 23, Issue 1, 2003, 31-47, hal. 32.
90
Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 6662 - Imposition of
accuracy-related penalty on underpayments, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/6662>,
diakses pada tanggal 1 Juni 2017. Pasal 6662 huruf (a) US IRC yang berbunyi: “If this section applies to
any portion of an underpayment of tax required to be shown on a return, there shall be added to the tax
an amount equal to 20 percent of the portion of the underpayment to which this section applies” dan
Pasal 6662 huruf (a) angka (6) US IRC yang mengatur selanjutnya tentang portion of underpayment
yang berbunyi: “This section shall apply to the portion of any underpayment which is attributable to 1
or more of the following: (1) ... (6) Any disallowance of claimed tax benefits by reason of a transaction
lacking economic substance (within the meaning of section 7701(o)) or failing to meet the requirements
of any similar rule of law. ... (8) ...”.
91
Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 6662 - Imposition of
accuracy-related penalty on underpayments, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/6662>,
diakses pada tanggal 1 Juni 2017. Pasal 6662 huruf (i) angka (1) US IRC yang berbunyi: “In the case of
any portion of an underpayment which is attributable to one or more nondisclosed noneconomic
substance transactions, subsection (a) shall be applied with respect to such portion by substituting “40
percent” for “20 percent””.
92
Government of Canada, Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and last
amended on 2017-05-01, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/i-3.3/page-194.html#docCont>, diakses
tanggal 22 Juni 2017. Adapun bunyi selengkapnya Pasal 163 (1) Canadian Income Tax Act tersebut
adalah: “Every person who fails to pay all or any part of an instalment of tax for a taxation year on or
before the day on or before which the instalment is required by this Part to be paid is liable to a penalty
equal to 50% of the amount, if any, by which (a) the interest payable by the person under section 161 in
respect of all instalments for the year, exceeds the greater of (b) $1,000, and (c) 25% of the interest that
would have been payable by the person under section 161 in respect of all instalments for the year if no
instalment had been made for that year.”
93
Government of Canada, Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and last
amended on 2017-05-01, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/I-3.3/page-263.html#docContt>,
532 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
Sedangkan di negara Inggris, strict liability dengan tegas diatur dalam United
Kingdom Finance Act 2016 dengan mengenakan hukuman berupa denda dan atau
penjara maksimal 51 minggu atas kesalahan dalam melaporkan penghasilan, asset,
atau kegiatan-kegiatannya di negara offshore sebagaimana diatur dalam Pasal 106B
sampai dengan Pasal 106H, kecuali WP dapat membuktikan di pengadilan bahwa
mereka memiliki alasan yang masuk akal. Adapun Pasal 106B mengatur tentang
pelanggaran atas kesalahan dalam memberitahukan biaya yang dapat dibebankan pada
pajak (offence of failing to give notice of being chargeable to tax) dan atau pajak atas
capital gain pada suatu tahun pajak, kecuali WP tersebut dapat membuktikan bahwa
kesalahannya tersebut mempunyai alasan pemaaf. 94 Pasal 106C mengatur tentang
pelanggaran terhadap kesalahan dalam mengirimkan SPT (offence of failing to deliver
return) akhir periode yang telah ditentukan, suatu SPT yang dilaporkan akan telah
mengungkapkan adanya kewajiban atas PPh dan atau pajak capital gain yaitu yang
dapat dibebankan pada tahun fiskal atas atau oleh yang berhubungan dengan
penghasilan, asset, dan kegiatan-kegiatan offshore, dan jumlah PPh dan pajak capital
gain yang dapat dibebankan pada tahun fiskal atas atau oleh yang berhubungan dengan
penghasilan, asset, dan kegiatan-kegiatan offshore yang melebihi batas yang telah
ditetapkan. 95 Pasal 106D mengatur tentang pelanggaran dalam mengisi SPT yang
isinya tidak benar (offence of making inaccurate return) yang menyebabkan
meningkatnya jumlah PPh atau pajak capital gain yang lebih besar yaitu yang dapat
dibebankan pada tahun fiskal atas atau oleh yang berhubungan dengan penghasilan,
asset, dan kegiatan-kegiatan offshore, dan jumlah kenaikan tersebut melebihi batas
yang telah ditetapkan, kecuali orang yang diduga melanggar tersebut dapat
membuktikan telah melakukan kehati-hatian yang layak/patut dalam pelaporan SPT
diakses tanggal 22 Juni 2017. Adapun bunyi selengkapnya Pasal 238 (1) Canadian Income Tax Act
adalah: “Every person who has failed to file or make a return as and when required by or under this Act
or a regulation or who has failed to comply with subsection 116(3), 127(3.1) or (3.2), 147.1(7) or
153(1), any of sections 230 to 232, 244.7 and 267 or a regulation made under subsection 147.1(18) or
with an order made under subsection (2) is guilty of an offence and, in addition to any penalty
otherwise provided, is liable on summary conviction to: (a) a fine of not less than $1,000 and not more
than $25,000; or (b) both the fine described in paragraph 238(1)(a) and imprisonment for a term not
exceeding 12 months.”
94
The United Kingdom, Finance (No. 2) Bill,
<https://www.publications.parliament.uk/pa/bills/cbill/2015-2016/0155/160155.pdf>, diakses tanggal 1
Juni 2017. Selengkapnya bunyi Pasal 106B UK Finance (No. 2) Bill 2016: “(1) A person who is
required by section 7 to give notice of being chargeable to income tax or capital gains tax (or both) for
a year of assessment and who has not given that notice by the end of the notification period commits an
offence if— (a) the tax in question is chargeable (wholly or in part) on or by reference to offshore
income, assets or activities, and (b) the total amount of income tax and capital gains tax that is
chargeable for the year of assessment on or by reference to offshore income, assets or activities exceeds
the threshold amount. (2) It is a defence for a person accused of an offence under this section to prove
that the person had a reasonable excuse for failing to give the notice required by section 7. (3) In this
section “the notification period” has the same meaning as in section 7 (see subsection (1C) of that
section).”
95
Ibid., selengkapnya Pasal 106C UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person who is
required by a notice under section 8 to make and deliver a return for a year of assessment commits an
offence if— (a) the return is not delivered by the end of the withdrawal period, (b) an accurate return
would have disclosed liability to income tax or capital gains tax (or both) that is chargeable for the
year of assessment on or by reference to offshore income, assets or activities, and (c) the total amount
of income tax and capital gains tax that is chargeable for the year of assessment on or by reference to
offshore income, assets or activities exceeds the threshold amount. (2) It is a defence for a person
accused of an offence under this section to prove that the person had a reasonable excuse for failing to
deliver the return. (3) In this section “the withdrawal period” has the same meaning as in section 8B
(see subsection (6) of that section).”
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 533
96
Ibid., selengkapnya Pasal 106D UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person who is
required by a notice under section 8 to make and deliver a return for a year of assessment commits an
offence if, at the end of the amendment period— (a) the return contains an inaccuracy the correction of
which would result in an increase in the amount of income tax or capital gains tax (or both) that is
chargeable for the year of assessment on or by reference to offshore income, assets or activities, and (b)
the amount of that increase exceeds the threshold amount. (2) It is a defence for a person accused of an
offence under this section to prove that the person took reasonable care to ensure that the return was
accurate. (3) In this section “the amendment period” means the period for amending the return under
section 9ZA.”
97
Ibid., selengkapnya Pasal 106E UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person is not
guilty of an offence under section 106B, 106C or 106D if the capacity in which the person is required to
give the notice or make and deliver the return is— (a) as a relevant trustee of a settlement, or (b) as the
executor or administrator of a deceased person. (2) The Treasury may by regulations provide that a
person is not guilty of an offence under section 106B, 106C or 106D if— (a) conditions specified in the
regulations are met, or (b) circumstances so specified exist. (3) The conditions may (in particular)
include conditions in relation to the income, assets or activities on or by reference to which the tax in
question is chargeable.”
98
Ibid., selengkapnya Pasal 106F UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) Where a period of
time is extended under subsection (2) of section 118 by HMRC98, the tribunal or an officer (but not
where a period is otherwise extended under that subsection), any reference in section 106B, 106C or
106D to the end of the period is to be read as a reference to the end of the period as so extended. (2)
The Treasury may by regulations specify the amount (which must not be less than £25,000) that is to be
the threshold amount for the purposes of sections 106B to 106D. (3) The Treasury may by regulations
make provision as to the calculation for the purposes of sections 106B to 106D of— (a) the amount of
tax that is chargeable on or by reference to offshore income, assets or activities, and (b) the increase in
the amount of tax that is so chargeable as a result of correcting an inaccuracy. (4) In sections 106B to
106D and this section “offshore income, assets or activities” means— (a) income arising from a source
in a territory outside the United Kingdom, (b) assets situated or held in a territory outside the United
Kingdom, or (c) activities carried on wholly or mainly in a territory outside the United Kingdom. (5) In
subsection (4), “assets” has the meaning given in section 21(1) of the 1992 Act, but also includes
sterling.”
99
Ibid., selengkapnya Pasal 106G UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person guilty
of an offence under section 106B, 106C or 106D is liable on summary conviction— (a) in England and
Wales, to a fine or to imprisonment for a term not exceeding 51 weeks or to both, and (b) in Scotland or
Northern Ireland, to a fine not exceeding level 5 on the standard scale or to imprisonment for a term
not exceeding 6 months or to both. (2) In relation to an offence committed before the coming into force
of section 281(5) of the Criminal Justice Act 2003, the reference in subsection (1)(a) to 51 weeks is to
be read as a reference to 6 months.”
534 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
perlakuan untuk kasus yang berbeda namun harus tetap dibuat oleh instrumen
peraturan yang dibuat oleh badan yang berwenang. 100
Di Indonesia, pengaturan eksplisit strict liability masih sebatas aturan sanksi
administrasi perpajakan, sedangkan dalam bentuk sanksi pidana di bidang perpajakan
belum diatur secara eksplisit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan hukum (positif)
lingkungan hidup yang telah mengatur secara tegas strict liability sebagaimana
tercantum pada Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang menyatakan bahwa setiap orang
yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan. Sedangkan dalam hal pertanggungjawaban pidana
mutlak masih dalam bentuk ius constituendum yang dalam Pasal 39 ayat (1) Konsep
Rancangan KUHP 2015-2016 yang berbunyi: “Bagi tindak pidana tertentu, UU dapat
menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.”101
Pengaturan secara eksplisit strict liability dalam hukum administrasi perpajakan
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU KUP yang mengenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp.500.000,00 untuk SPT Masa PPN, Rp.100.000,00 untuk SPT Masa
Lainnya dan untuk SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi, dan Rp.1.000.000,00 untuk
SPT Tahunan PPh WP Badan, yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, dan Pasal 16F UU PPN yang mengenakan tanggung jawab renteng
pembayaran PPN kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa PPN telah dibayar.
Adanya strict liability di negara Inggris dalam hal pengenaan hukuman berupa
denda dan atau penjara atas kesalahan dalam melaporkan penghasilan, asset, atau
kegiatan-kegiatannya di negara offshore, hampir mirip dengan hukum administrasi
pajak di Indonesia, namun identik dengan pertanggungjawaban pengganti (vicarious
liability), yang umum dikenal dengan istilah beneficial owner (BO)102 dan hubungan
istimewa (related party) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3b), ayat (3c), dan
ayat (3d) UU PPh. Pasal 18 ayat (3b) UU PPh mengatur tentang WP yang membeli
saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau special purpose company (SPV),
yang dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
sepanjang WP yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain
atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga. Pasal 18 ayat (3c)
UU PPh mengatur tentang penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
100
Ibid., selengkapnya Pasal 106H UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) This section
makes provision about regulations under sections 106E and 106F. (2) If the regulations contain a
reference to a document or any provision of a document and it appears to the Treasury that it is
necessary or expedient for the reference to be construed as a reference to that document or that
provision as amended from time to time, the regulations may make express provision to that effect. (3)
The regulations— (a) may make different provision for different cases, and (b) may include incidental,
supplemental, consequential and transitional provision and savings. (4) The regulations are to be made
by statutory instrument. (5) An instrument containing the regulations is subject to annulment in
pursuance of a resolution of the House of Commons.”
101
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia,
Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP),
<http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_dengan_lampiran.pdf>,
diakses tanggal 27 Mei 2016.
102
Abdul Ficar Hadjar, et. al., Menghukum Pengemplang Pajak: Hasil Eksaminasi Publik atas
Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana Pajak dengan Terdakwa Suwir Laut,
(Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center dan Indonesian Corruption Watch, 2014).
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 535
(conduit company atau SPV) yang didirikan atau bertempat kedudukan di tax haven
country yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia yang dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia. Kemudian Pasal 18 ayat (3d) UU PPh
mengatur tentang besarnya penghasilan yang diperoleh WP orang pribadi dalam negeri
dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat ditentukan
kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan WP
orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya
yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia tersebut.
103
Pasal 1 angka (1) UU KUP.
536 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
dengan keuangan negara, dalam hal ini yang berkenaan dengan penerimaan negara
dari sektor pajak, maka “fault”, sebagaimana dikemukakan oleh Jeremiah Smith, dapat
mengacu pada eksistensi kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan, atau dengan kata
lain, perbuatan pelaku pelanggaran telah menyebabkan adanya kerusakan atau
kerugian terhadap korban dimana jenis pelanggaran tersebut merupakan perhatian
hukum. Atas kerusakan atau kerugian tersebut maka hukum akan berusaha
memperbaiki dengan mengatur bahwa sewaktu-waktu “person” yang menimbulkan
kerusakan atau kerugian tersebut dapat dianggap sebagai pelaku pelanggaran.104
Selain pemahaman yang menganggap bahwa pertanggungjawaban mutlak tidak
adil untuk diterapkan, F. E. Devine menganggap bahwa berdasarkan penyesuaian yang
telah dilakukan pada beberapa negara, strict liability diperlukan dan memang
memenuhi rasa keadilan untuk diterapkan, khususnya yang menyangkut tiga areanya
yang fleksibel. Pertama, elemen batin yang dapat didefenisikan dengan jangkauan
yang lebih luas dari fakta yang berdasarkan kesalahan yang masuk akal, melalui
pengabaiannya terhadap fakta, menjadi penerimaan semua kehati-hatian (care) yang
masuk akal. Kedua, tingkat pembebanan kepada pelaku pelanggaran dapat terbentang
dari pembuktian sikap batin yang diklaim oleh bukti yang berpengaruh lebih besar
menjadi semata-mata perolehannya untuk meningkatkan suatu keraguan yang masuk
akal yang mesti disanggah oleh pihak penuntut. Ketiga, tingkat pertanggungjawaban
mutlak yang dapat dibuat dapat bervariasi dari menerimanya ketika badan legislatif
dengan jelas menginginkannya, menjadi membatasinya ke peraturan perundang-
undangan yang dapat menghukum hanya melalui denda.105 Lebih dalam tentang care
dalam strict liability, sebagai bagian dari tort law di negara yang menganut tradisi
common law dimana salah satu bagian fundamental dari analisis ekonomi modern tort
law adalah adanya perbedaan care dan tingkatan kegiatan (activity levels),106 Steven
Shavell berpendapat bahwa the level of activity, biasanya, tidak dipertimbangkan
dalam merumuskan suatu standar kehati-hatian (a due care standard) karena adanya
kesulitan pada saat proses peradilan, dimana peradilan, yang akan memformulasikan
suatu standar kehati-hatian yang diperluas melalui defenisinya, akan kesulitan dalam
memutuskan tingkat aktivitas yang tepat, dan kompetensi peradilan untuk
melakukannya.107
Dalam hal keadilan di bidang perpajakan, pengaturan pertanggungjawaban
mutlak, menurut LeFevre, secara analitis dapat ditelusuri kembali dari empat maksim
Adam Smith dan yang saat ini diwujudkan dalam bentuk kesamaan horisontal, sebagai
kesamaan perlakuan dalam perpajakan seperti kesamaan pembayaran pajak yang
dilakukan oleh dua WP yang berada dalam juridiksi pajak yang sama dengan jenis dan
jumlah penghasilan yang sama, dan kesamaan vertikal, sebagai kesamaan terhadap
para WP yang berada dalam keadaan yang berbeda yang harus diperlakukan berbeda
dalam tingkatan yang sesuai. 108 Kemudian, Bărbuţă-Mişu 109 menyarankan bahwa
kerangka konseptual yang mengacu pada tax system fairness tidak dapat dipisahkan
dari keadilan distribusi, keadilan prosedural, dan keadilan retribusi yang masing-
masing diartikan sebagai berikut:
104
Jeremiah Smith, Op.cit, hal. 258.
105
F. E. Devine, Moderating Strict Liability Crimes in Common Law Tradition Countries,
“International Journal of Comparative and Applied Criminal Justice”, Vol. 20, No. 1, 1996, 117-128,
hal. 126.
106
Keith N. Hylton, Op.cit, hal. 153.
107
Steven Shavell, Strict Liability versus Negligence, Op.cit, hal. 22.
108
Tyler Antone LeFevre, “Justice in Taxation”, <https://ssrn.com/abstract=2792393>, direvisi
terakhir bulan Agustus 2016, diakses tanggal 17 Januari 2017, 1-30, hal. 7.
109
Nicoleta Bărbuţă-Mişu, A Review of Factors for Tax Compliance, “Economics and Applied
Informatics”, Vol. XVII, No. 1, 2011, 69-76, hal. 74.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 537
Selain itu, pengaturan strict liability di bidang perpajakan dalam suatu hubungan
keagenan sangat berhubungan dengan konsep keadilan distributif dan keadilan
korektif yang pelaksanaannya dapat dipahami secara hukum melalui proses yang
dinamis. Pemahaman ini dapat dilihat pada praktek sehari-hari suatu hubungan
keagenan tertentu, dimana prinsipal berusaha bekerjasama dengan agennya untuk
melepaskan tanggung jawab atas terjadinya tax evasion dan atau tax avoidance dengan
berargumen bahwa pelanggaran dilakukan oleh agen dengan tanpa sepengetahuan
prinsipal. Bahkan proses perwujudan keadilan terhadap agen menjadi semakin
kompleks bilamana prinsipal yang dimaksud bukan berwujud manusia alami
melainkan dalam bentuk badan hukum sehingga terjadi kesulitan dalam membuktikan
mens rea karena adanya argument yang menyatakan bahwa pelanggaran, baik berupa
kelalaian, kesengajaan atau kesalahan, hanya dapat dilaksanakan oleh manusia, bukan
oleh badan hukum (dalam hal ini WP Badan) yang keberadaannya seolah-olah masih
dipertanyakan dalam hukum apakah nyata atau fiksi atau hanya berupa kumpulan
manusia yang terikat kontrak.110
Sehubungan dengan terjadinya permasalahan keadilan dalam praktek hubungan
keagenan sebagaimana diuraikan sebelumnya, adalah dapat diselesaikan sepanjang
adanya pengaturan strict liability dalam suatu peraturan perundang-undangan
perpajakan dimana secara alami contract liability telah melekat dalam setiap
perjanjian keagenan yang dilakukan sesuai dengan hukum kontrak yang berlaku di
Indonesia. Hal dapat dilihat dari ide utama teori keagenan yang selalu menekankan
hubungan kontraktual antara prinsipal dengan agen yang harus merefleksikan
organisasi yang efisien yang dapat menyelesaikan permasalahan asimetri informasi
dalam hubungan keagenan, seperti: (a) adanya konflik tujuan antara prinsipal dengan
agen, dan (b) adanya kesulitan dan timbulnya biaya yang tidak sedikit yang dialami
prinsipal dalam mengawasi tindakan para agen. 111 Hubungan kontraktual ini juga
ditegaskan oleh Robert E. Scott yang menekankan bahwa inti dari setiap kewajiban
kontraktual adalah melekatnya strict liability di dalamnya, dan setiap bisnis komersial
akan mengutamakan strict liability rules dibandingkan fault- based rules dalam
menilai kinerja dan merespon yang tidak berkinerja. 112 Dengan adanya pengaturan
strict liability, mekanisme keadilan hukum melalui proses yang dinamis terwujud
melalui tingkat pembebanan sanksi yang tepat kepada prinsipal dan agen yang
berorientasi pada pemulihan kerugian terhadap korban, dalam hal ini adalah negara
atas kerugian dari sektor pajak, yang walaupun dilakukan oleh agen namun karena
perbuatan tersebut dilakukan sebagai gatekeeper yang semata-mata untuk kepentingan
prinsipal maka tidak adil jika pertanggungjawaban (pidana) pajak tersebut hanya
dibebankan kepada agen yang juga belum tentu memiliki kemampuan untuk
menanggulangi kerugian negara yang terjadi. Bahkan sepanjang agen dapat
110
Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Penerbit Kencana,
2013), hal. 185.
111
Kathleen M. Eisenhardt, Agency Theory: An Assessment and Review, “Academy of
Management Review”, Vol. 14, No. 1, Januari 1989, 57-74, hal. 57-59.
112
Robert E. Scott, In (Partial) Defense of Strict Liability in Contract, “Michigan Law Review”,
Vol. 107, No. 8, Symposium: Fault in American Contract Law, June 2009, 1381-1396, hal. 1396.
538 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
113
Pasal 7 ayat (6) UU PT menyatakan bahwa status badan hukum suatu Perseroan hanya dapat
diperoleh setelah akta pendiriannya mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM.
114
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU PT menegaskan kata “orang” sebagai orang perseorangan,
baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.
115
Pasal 1 angka (1) UU PT.
116
Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tanggal 21
Desember 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
117
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung Nomor
PER-028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 Tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan
Subjek Hukum Korporasi.
118
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Op.cit, hlm 35.
119
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia,
“Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan”, <http://www.bphn.go.id/data/documents/Penyelarasan-NA-RUU-
Ttg-Ketentuan-Umum-&-Tata-Cara-Perpajakan.PDF>, diakses tanggal 29 Maret 2017.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 539
Selanjutnya, Martin Nell dan Andreas Richter menegaskan bahwa strict liability
sangat bermanfaat diatur untuk aktivitas yang mengandung risiko yang sangat tinggi,
sebagaimana pernyataannya berbunyi:
“Highly risky activities, however, are often by strict liability. The reason usually
given for applying strict liability to these areas is that not only efficient care is
supposed to be induced, but also an efficient level of the risky activity itself. It is
argued that, in the case of no market relationship between injurers and victims,
this could only be achieved through strict liability but not via negligence”.123
120
Paul Weirich, Utility and Framing, “Synthese”, Vol. 176, Issue 1, 2010, 83-103, hal. 84.
121
Paul Weirich, Op.cit, hal. 86.
122
Kangoh Lee, Risk Aversion, the Hand Rule, and Comparison between Strict Liability and the
Negligence Rule, “Review of Law & Economics”, Vol. 12, Issue 2, Juli 2016, 261-274, hal. 261.
123
Martin Nell dan Andreas Richter, Op.cit, hal. 44.
540 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
KUP terhadap SPT yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah diatur
dalam UU KUP, dan dapat melekat pada sanksi administrasi atau pidana pajak dalam
hal pelanggaran Pasal 16F UU PPN juncto Pasal 39A UU KUP yang mengenakan
tanggung jawab renteng kepada pembeli BKP atau penerima JKP atas pembayaran
PPN yang terutang yang tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan
pembeli BKP atau penerima JKP tidak dapat memberikan bukti yang sah bahwa atas
faktur pajak telah sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Hal ini diharapkan dapat
memberikan efek jera terhadap WP sehingga dapat semakin mengatur perilaku WP
agar tertib dalam melaporkan SPT serta tidak dengan sengaja berusaha membuat
struktur transaksi yang rumit yang disengaja untuk tujuan tax evasion dan atau tax
avoidance.
Walaupun manfaat strict liability sudah melekat pada sanksi administrasi denda
pajak di Indonesia, namun kemanfaatan langsung dalam bentuk sanksi pidana pajak
belum didapat karena belum adanya pengaturan secara eksplisit saat ini, terutama
dalam ketentuan formal (UU KUP). Sebagaimana strict liability sangat tepat
dikategorikan sebagai mala prohibita untuk diaplikasikan pada abnormally dangerous
activities, yang dalam bidang perpajakan meliputi pelanggaran yang berkenaan dengan
pengaturan dan kesejahteraan (regulatory and welfare offences) berupa timbulnya
kerugian pada pendapatan negara, dimana mens rea secara kasuistis tidak perlu
dibuktikan karena dapat menghambat tujuan perundang-undangan perpajakan itu
sendiri, maka pengaturan strict liability dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan di Indonesia layak untuk dipertimbangkan. Pertimbangan ini tidak dapat
terlepas dari pesatnya globalisasi dan promosi investasi dari banyak negara di dunia
sehingga diperlukan upaya maksimal dari pemerintah atau negara untuk
meminimalisasi terjadinya tax evasion dan tax avoidance terutama yang berkenaan
dengan penghasilan, asset-aset, dan aktivitas-aktivitas WP Indonesia di negara-negara
offshore, sebagaimana Inggris telah mengaturnya di UK Finance Bill 2016, dan
transaksi-transaksi WP Indonesia yang baik secara langsung maupun secara tidak
langsung dibuat rumit sehingga tidak memenuhi substansi ekonomisnya, sebagaimana
Amerika Serikat telah mengantisipasimya dalam Internal Revenue Code –nya.
1. Kesimpulan
Tulisan ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, pengaturan
pertanggungjawaban mutlak WP di Indonesia dapat memenuhi rasa keadilan dalam
pelaksanaannya karena berkenaan dengan terjadinya pelanggaran hukum pajak yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pendapatan negara dari sektor pajak dan
sekaligus menimbulkan konsekuensi terhadap masing-masing pihak yang saling
terkait. Walaupun hukum tidak akan pernah menjadi sangat adil, tetapi rasa keadilan
dari segi equality dan atau fairness harus diwujudkan terhadap tiga pihak yang saling
terkait, yaitu terhadap negara sebagai korban (adanya kerugian pada pendapatan
negara dari sektor pajak), terhadap pelaku langsung (dalam hubungan keagenan
disebut agen), dan terhadap penerima manfaat (dalam hubungan keagenan disebut
prinsipal), yang akan dapat tercapai sepanjang pertanggungjawaban mutlak pada setiap
orang memenuhi kondisi yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal
yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kedua, pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia dapat
memberikan kemanfaatan umum bagi negara berupa solusi atas permasalahan
terhadap maraknya pelanggaran di bidang-bidang kesejahteraan kemasyarakatan yang
mengandung risiko yang sangat tinggi dan atau maraknya perilaku tertentu yang
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 541
2. Saran
Berkembangnya tax evasion dan tax avoidance yang dalam praktek sehari-hari
berkenaan dengan penghasilan, asset-aset, dan aktivitas-aktivitas WP Indonesia di
negara-negara offshore maupun maraknya transaksi-transaksi WP Indonesia yang baik
secara langsung maupun secara tidak langsung dibuat rumit sehingga tidak memenuhi
substansi ekonomisnya ternyata sangat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara dari sektor pajak dimana dalam hal hubungan keagenan, manfaatnya dinikmati
oleh prinsipal tertentu dengan memanfaatkan agen, dan agen memanfaatkan
kompleksitas pembuktian mens rea yang belum tentu dapat dijangkau oleh
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau berdasarkan kelalaian. Sehingga,
sangat penting agar dalam kerangka pembaharuan hukum pajak di Indonesia yang
berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak yang tetap didasarkan pada rasa
keadilan dan untuk kemanfaatan umum, agar:
a. Pertanggungjawaban mutlak dan kriterianya diatur secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan,
b. Diatur secara tegas perluasan definisi setiap orang dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan, khususnya delik pidana pajak, yang bukan hanya
mencakup manusia alami saja tetapi juga termasuk badan hukum. Hal ini
diperlukan dalam rangka penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada
pendapatan negara dari sektor pajak, yang dalam hal ini yang menjadi korban
adalah negara, yang walaupun dilakukan agen dalam wujud manusia alami
ternyata kemanfaatannya diterima oleh prinsipal dalam wujud Wajib Pajak
Badan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, 2010.
Aristotle, Politics, terjemahan C.D.C. Reeve, Indianapolis, Hackett Publishing
Company, 1998.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Penerbit
Fikahati Aneska, 2009.
Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama,
2010.
Erwin, Muhammad dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum: Mencari Hakikat Hukum,
Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2008.
542 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
Fuady, Munir, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta: Penerbit
Kencana, 2013.
Garner, Bryan A. (Ed), Black’s Law Dictionary, St. Paul, West Publishing Co., 2004.
Hadjar, Abdul Ficar et. al., Menghukum Pengemplang Pajak: Hasil Eksaminasi Publik
atas Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana Pajak dengan
Terdakwa Suwir Laut, Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center dan
Indonesian Corruption Watch, 2014.
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap
Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:
Kencana, 2008.
Jones, Lucy, Introduction to Business Law, Oxford: Oxford University Press, 2013.
Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, penerjemah Raisul
Muttaqien, Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006.
Koesoemahatmadja, Etty Utju R, Hukum Korporasi: Penegakan Hukum Terhadap
Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, Bogor: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2011
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta:
Kencana, 2010.
Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009.
Rawls, John, A Theory of Justice, Massachusetts: Harvard University Press, 1999.
Riyanto, Astim, Filsafat Hukum, Bandung: Penerbit Yapemdo Bandung, 2010.
Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations,
Hampshire, UK: Harriman House Ltd, 2007.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.
Soekanto, Soerjono, et al., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007.
Sidharta, Bernard Arief, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal
dan Dogmatikal”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode
Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2009.
Tanya, Bernard L., et. al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Wallace, Harvey dan Cliff Roberson, Principles of Criminal Law, New Jersey:
Pearson Education, 2012.
Jurnal
Bhole, Bharat dan Jeffrey Wagner. “The Joint Use of Regulation and Strict Liability
with Multidimensional Care and Uncertain Conviction”, International Review
of Law and Economics, Vol. 28, Issue 2, 2008, 123-132: 131.
Nicoleta Bărbuţă-Mişu. “A Review of Factors for Tax Compliance”, Economics and
Applied Informatics, Vol. XVII, No. 1, 2011, 69-76: 74.
Chyz, James A., dan Scott D. White. “The Association between Agency Conflict and
Tax Avoidance: A Direct Approach”, Advances in Taxation, Vol. 21, 2014,
107-138: 133.
Devine, F. E. “Moderating Strict Liability Crimes in Common Law Tradition
Countries”, International Journal of Comparative and Applied Criminal
Justice, Vol. 20, No. 1, 1996, 117-128: 126.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 543
Desai, Mihir A., dan Dhammika Dharmapala. “Corporate Tax Avoidance and Firm
Value”, The Review of Economics and Statistics, Vol. 91, No. 3, Agustus 2009,
537-546: 546.
Eisenhardt, Kathleen M. “Agency Theory: An Assessment and Review”, Academy of
Management Review”, Vol. 14, No. 1, Januari 1989, 57-74: 57-59.
Fletcher, George P. “Fairness and Utility in Tort Theory”, Harvard Law Review, Vol.
85, No. 3, January 1972, 537-573: 540 dan 542.
Hamilton, Lee. “Who is Responsible? Toward a Social Psychology of Responsibility”,
Social Psychology, Vol. 41, No. 4, 1978, 316-328: 316.
Hylton, Keith N. “A Positive Theory of Strict Liability”, Review of Law and
Economics, Vol. 4, No. 1, 2008, 153-181: 153 dan 171.
Kraakman, Reinier H. “Gatekeepers: The Anatomy of a Third-Party Enforcement
Strategy”, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol. 2, No. 1, 1986,
53-104: 53.
James Jr., Fleming. “General Products-Should Manufacturers be Liable without
Negligence?”, Tennesse Law Review, Vol. 24, No. 7, 1957, 923-927: 923.
Laffont, Jean-Jacques dan Jean Tirole. “Cost Padding, Auditing and Collusion”,
Annales d’Economie et de Statistique, No. 25/26, 1992, 205-226: 206.
Lee, Kangoh. “Risk Aversion, the Hand Rule, and Comparison between Strict Liability
and the Negligence Rule”, Review of Law & Economics, Vol. 12, Iss 2, Juli
2016, 261-274: 261.
Nell, Martin dan Andreas Richter. “The Design of Liability Rules for Highly Risk
Activities – Is Strict Liability Superior when Risk Allocation Matters?”,
International Review of Law and Economics, Vol. 23, Issue 1, 2003, 31-47: 32
dan 44.
Newman, Harry A., dan David W. Wright. “Strict Liability in a Principal-Agent
Model”, International Review of Law and Economics, Vol. 10, 1990, 219-231:
227.
_____. “Negligence Versus Strict Liability in a Principal-Agent Model”, Journal of
Economics and Business, Vol. 44, 1992, 265-281: 278.
Posner, Richard A. “Strict Liability: A Comment”, The Journal of Legal Studies, Vol.
2, No. 1, Januari 1973, 205-221: 205 dan 221.
Privileggi, Fabio, et. al. “Agent’s Liability versus Principal’s Liability when Attitudes
Toward Risk Differ”, International Review of Law and Economics, Vol. 21,
No. 2, 2001, 181-195: 181 dan 182.
Radbruch, Gustav. “Five Minutes of Legal Philosophy”, penerjemah Bonnie
Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, Oxford Journal of Legal Studies,
Vol. 26, No. 1, 2006, 13-15: 13 dan 14.
_____. “Statutory Lawlesness and Supra-Statutory Law (1946)”, penerjemah Bonnie
Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, Oxford Journal of Legal Studies,
Vol. 26, No. 1, 2006, 1-11: 6.
Rawls, John, “Justice as Fairness”, The Philosophical Review, Vol. 67, No. 2, April
1958, 164-194: 165.
Sandler, Gilbert. “Strict Liability and the Need for Legislation”, Virginia Law Review,
Vol. 53, No. 7, Nopember 1967, 1509-1521: 1521.
Scott, Robert E. “In (Partial) Defense of Strict Liability in Contract”, Michigan Law
Review, Vol. 107, No. 8, Symposium: Fault in American Contract Law, June
2009, 1381-1396: 1396.
Shavell, Steven. “Strict Liability versus Negligence”, The Journal of Legal Studies,
Vol. 9, No. 1, Januari 1980, 1-25: 22 dan 24.
544 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
_____, “Corrective Taxation versus Liability”, The American Economic Review, Vol.
101, No. 3, Mei 2011, 273-276: 273.
_____, “Corrective Taxation versus Liability as a Solution to the Problem of Harmful
Externalities”, The Journal of Law and Economics, Vol. 54, No. 4, Markets,
Firms, and Property Rights: A Celebration of the Research of Ronald Coase,
Nopember 2011, S249-S266: S258, S263 dan S264.
Shin-Li, Mik. “Strictly Wrong as a Tax Policy: The Strict Liability Penalty Standard
in Noneconomic Substance Transactions”, Fordham Law Review, Vol. 78,
Issue 4, 2010, 2009-2050: 2009.
Shleifer, Andrei. “Understanding Regulation”, European Financial Management, Vol.
11, No. 4, 2005, 439-451: 445.
Smith, Jeremiah. “Tort and Absolute Liability: Suggested Changes in Classification”,
Harvard Law Review, Vol. 30, No. 3, Januari 1917, 241-262: 256-258.
Taylor, Paul W. “Justice and Utility”, Canadian Journal of Philosophy, Vol. I, No. 3,
Maret 1972, 327-350: 334.
Thomas, Kathleen DeLaney. “The Case Against A Strict Liability Economic Substance
Penalty”, University of Pennsylvania Journal of Business Law, Vol. 13, No. 2,
2011, 445-497: 462-465, dan 467.
Vanik Jr, Thomas C., “Torpedoing a Transaction: Economic Substance Versus Other
Tax Doctrines and the Application of the Strict Liability Penalty”, Cleveland
State Law Review, Vol. 64, Iss 1, 2015, 109-132: 132.
Wasserstrom, Richard A. “Strict Liability in the Criminal Law”, Stanford Law Review,
Vol. 12, No. 4, Juli 1960, 731-745: 734.
Weinri, Ernest J. “The Gains and Losses of Corrective Justice”, Duke Law Journal,
Vol. 44, No. 2, Nopember 1994, 277-297: 277.
Weirich, Paul. “Utility and Framing”, Synthese, Vol. 176, Iss 1, 2010, 83-103: 84 dan
86.
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung
Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 Tentang Pedoman
Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tanggal 21 Desember 2016 Tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Sumber Internet
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia, “Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan”,
http://www.bphn.go.id/data/documents/Penyelarasan-NA-RUU-Ttg-
Ketentuan-Umum-&-Tata-Cara-Perpajakan.PDF, diakses 29 Maret 2017.
_____, “Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP)”,
http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_deng
an_lampiran.pdf, diakses 27 Mei 2016.
Government of Canada, “Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and
last amended on 2017-05-01”, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/i-
3.3/page-194.html#docCont>, diakses tanggal 22 Juni 2017.
_____, “Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and last amended on
2017-05-01”, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/I-3.3/page-
263.html#docContt>, diakses tanggal 22 Juni 2017.
LeFevre, Tyler Antone, “Justice in Taxation”, <https://ssrn.com/abstract=2792393>,
direvisi terakhir bulan Agustus 2016, diakses tanggal 17 Januari 2017, 1-30: 7.
Legal Information Institute of Cornell Law School, “26 U.S. Code § 7701 –
Definitions”, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/7701>, diakses
tanggal 1 Juni 2017.
_____, “26 U.S. Code § 6662 - Imposition of accuracy-related penalty on
underpayments”, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/6662>, diakses
pada tanggal 1 Juni 2017.
Magill, Tori dan Anne-Marie Ottaway. “‘Panamania’: legitimate concerns or a lack
of understanding?”, <https://www.taxjournal.com/articles/panamania-
legitimate-concerns-or-lack-understanding-13042016>, diakses tanggal 15 Juni
2017.
Naseer, Jahanzeb. “Tax Amnesty-the Process, Impact and Implications,”
<https://plus.credit-suisse.com/researchplus/ravDocView?docid=axcnwb,
diakses pada tanggal>, diakses tanggal 11 Oktober 2016.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). “Explanatory
Statement, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project”,
<www.oecd.org/tax/beps-explanatory-statement-2015.pdf>.
Quarmby, James. “Strict Liability Offences: A Worrying Trend?”,
<https://www.taxjournal.com/print/articles/strict-liability-offences-worrying-
trend-13052016>, diakses tanggal 15 Juni 2017.
The International Consortium of Investigative Journalists. “Panama Papers the Power
Players”, <https://panamapapers.icij.org/the_power_players/>, diakses tanggal
15 Agustus 2016.
The United Kingdom, “Finance (No. 2) Bill”,
<https://www.publications.parliament.uk/pa/bills/cbill/2015-
2016/0155/160155.pdf>, diakses tanggal 1 Juni 2017.
546 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
Putusan Pengadilan
Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 tanggal 18
Desember 2012.
Indonesia, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 156/PID/2014/PT. DKI tanggal
18 Agustus 2014.