Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh:
04061001076
Pembimbing:
dr. Sahat Edison Sitorus, SpBS
DEPARTEMEN BEDAH
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2010
HALAMAN PENGESAHAN
Disajikan oleh:
04061001076
Pembimbing:
Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior periode 30 Agustus - 25 Oktober 2010 di Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
2
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. G
Umur : 15 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Kt Banten
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
B. ANAMNESIS
- Keluhan Utama
Terjadi penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas.
C. PEMERIKSAAN FISIK
- Survei Primer
A : Baik
3
B : RR = 22 kali/menit
- Survei Sekunder
Regio frontalis dekstra
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 21 September 2010
Hb : 11,2 g/dl
Ht : 32 vol%
Na : 139 mmol/l
K : 4,6 mmol/l
- Pemeriksaan CT Scan
Foto CT Scan kepala tanggal 12 September 2010
4
5
E. DIAGNOSIS KERJA
Cedera kepala sedang tertutup GCS 12, ICH lobus frontal sinistra, kontusio lobus
temporal sinistra, fraktur linier os temporal dekstra, dan edema serebri.
F. PENATALAKSANAAN
- Observasi vital sign
- Head up 45 derajat
- Oksigen sungkup 10 ml/menit
- IVFD RL gtt XV/menit
- Injeksi sefotaksim 2 x 1 g
- Injeksi ketorolak 3 x 1 amp
- Injeksi ranitidin 2 x 1 amp
- Injeksi citicolin 2 x 1 amp
- Injeksi ATS 1500 UI
- Pemasangan NGT, kateter uretra.
G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tidak langsung
pada kepala. Benturan dapat dibedakan dari macam kekuatannya, yaitu
kompresi, akselerasi, dan deselerasi (perlambatan). Sulit dipastikan kekuatan
mana yang paling berperan. Dari tempat benturan, gelombang kejut disebarkan
ke semua arah. Gelombang ini mengubah tekanan jaringan. Apabila
tekanannya cukup besar akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat
benturan (coup) atau di tempat yang bersebrangan dengan datangnya benturan
(contracoup).
7
Fraktur pada fossa kranii anterior meliputi sinus frontal, etmoidal, dan
sfenoidal dan disertai perdarahan hidung atau mulut. Fraktur fossa anterior
mungkin melibatkan lamina cribriformis (dengan anosmia karena ruptur
bulbus olfaktorius) atau foramen optik (dengan atropi primer optik dan
kebutaan). Pasien yang mengalami epistaksis dan LCS merembes dari hidung
menandakan adanya robekan meningen dan mukoperiosteum. Fraktur yang
meliputi atap orbita seringkali berhubungan dengan perdarahan
subkonjungtiva. Hal ini harus dibedakan dengan perdarahan flameshape
konjungtiva yang disebabkan oleh trauma langsung. Black eye tidak selalu
indikasi fraktur fossa anterior. Mungkin saja terjadi karena kontusio langsung
jaringan lunak atau karena aliran darah dari lapisan aponeurosis kulit kepala.
Fraktur fossa kranii media sering terjadi karena merupakan tempat yang
paling lemah pada basis cranii. Secara anatomis ini karena banyaknya foramen
dan saluran di daerah ini. Bisa terjadi cedera n. III, IV, dan VI apabila dinding
lateral sinus kavernosus robek dan terjadi diplopia dan paralisis m. rektus
lateralis. Darah dan LCS mengalir ke hidung (lewat os. sphenoid) dan atau
meatus akusticus eksternus. Cedera wajah (n. VII) dan n. auditorius mungkin
terjadi karena melintasi pars petrosa ossis temporalis. Perdarahan telinga
mungkin disebabkan oleh trauma langsung tanpa melibatkan fraktur tengkorak.
8
B. HEMATOMA INTRASEREBRAL DAN KONTUSIO SEREBRI4,5
a. Definisi
b. Etiologi
9
- Trauma kepala
- Hipertensi
- Malformasi arteriovenosa.
- Aneurisme
- Terapi antikoagulan
- Diskrasia darah
c. Klasifikasi
- Hematom supratentorial
- Hematom serbeller
- Hematom pons-batang otak
e. Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar,
mirip dengan hematoma ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada
puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera. Namun, dengan adanya
pemeriksaan CT scan diagnosisnya dapat ditegakkan lebih cepat. Kriteria
diagnosis hematoma supra tentorial adalah nyeri kepala mendadak penurunan
tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam. Tanda fokal yang mungkin terjadi
adalah sebagai berikut:
- Hemiparesis / hemiplegi
- Hemisensorik
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III
10
- Ataksia
- Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial
C. Diagnosis Banding6
a. Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara
duramater dan arakhnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar
dibedakan dengan hematoma epidural yang berkembang lambat. Bisa di
sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh
parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di
sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma
subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk
bulan sabit.
11
b. Subarakhnoid hematoma
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh
darah di dalam subarachnoid.
3. Hematoma epidural
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG7,8,9
a. Foto kranium
12
Foto kranium bermanfaat sebagai screening sebelum pasien di lakukan CT scan.
Foto rontgen kranium biasa (AP dan lateral) umumnya dilakukan pada keadaan:
b. CT scan kepala
E. DIAGNOSIS
a. Anamnesis7
13
dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena
keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya. Jatuh
kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
- Sifat kecelakaan
- Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit
- Ada tidaknya benturan kepala langsung
- Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa
b. Indikasi Perawatan7
Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila tedapat gejala atau tanda
sebagai berikut:
14
- Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam
- Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur
- Kejang, pingsan
- Keluar darah/cairan dari hidung, telinga
15
Intraserebral
16
Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien bernapas
segera dinilai. Fungsi normal paru, dinding dada, dan diafragma
dibutuhkan untuk ventilasi dan pertukaran gas. Auskultasi, inspeksi, dan
palpasi akan membantu menentukan adanya tension pneumothorax, open
pneumothorax, massive hemothorax, atau flail chest karena kontusio
pulmo. Kompresi dengan jarum, penempatan chest tube, atau intubasi
endotracheal mungkin diperlukan untuk memastikan ventilasi yang
adekuat. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil
analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap
FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat
yang menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun secara
progresif atau terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-
35 mmHg.
17
- Dissabilitas dan penilaian status neurologi
- Eksposure
G. TERAPI MEDIKAMENTOSA
a. Cairan Intravena
18
adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga
harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.3 Strategi terbaik
adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari
hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk
mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.8
b. Hiperventilasi
Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa mencegah atau
menunda herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Gol
tindakan ini adalah menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi
akan menurunkan ICP dengan menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan
onset efek dalam 30 detik. Hiperventilasi menurunkan ICP sekitar 25% pada
rata-rata pasien; jika pasien tidak berespon terhadap intervensi ini, prognosisnya
secara umum adalah buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak dianjurkan
karena bisa menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis
juga tidak dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis
parah yang mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8
Selain itu, hiperventilasi dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis.7
c. Manitol7,11,12
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada
kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika
osmotik, seperti manitol atau HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan
agen osmotik adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma,
dilatasi pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien
dalam observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice dengan HTS sebagai
alternatif. Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. 3 Sediaan
yang tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis
0,25-1 g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient
19
osmotis yang akan menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.1 Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan
ICP bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3 Dosis tinggi manitol tidak
boleh diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik
osmotik yang poten dan akan memperberat hipovolemia. 3 HTS pada konsentrasi
3,1%-23% digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan
kenaikan ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi
vasospasme, dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat
pada trauma kapitis yang terjadi pada anak dan edem serebri.
d. Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang
biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid
tidak boleh diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat
hipovolemia.3
e. Barbiturat
f. Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala
tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi
epilepsi tetapi kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan
20
menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan
peningkatan ICP.9 Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi
pasca trauma, yaitu kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan
intrakranial, atau fraktur depresif. Penelitan menunjukkan, pemberian
antikonvulsan bermanfaat mengurangi kejang dalam minggu pertama setelah
cedera namun tidak setelah itu. Namun penelitian lain menyebutkan,
penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi risiko serangan kejang secara
bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis pada trauma kapitis akut
dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau profilaksis kejang dini
tidak mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi antiepilepsi adalah untuk
mencegah akibat tambahan yang disebabkan trauma.12 Kejang harus dihentikan
dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30-60 menit) dapat
menyebabkan cedera otak sekunder.3 Benzodiazepine dipilih sebagai first-line
antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV, tiap 5 menit hingga total 4 mg)
sangat efektif menggagalkan serangan epilepsy. Pillihan lain adalah diazepam.
Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin bisa diberikan.11
H. TERAPI KONSERVATIF
- Fraktura basis kranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
- Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (battle’s sign) dan atau
kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
- Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
- Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang
yang
- Menembus dura dan jaringan otak
21
- Hematoma intraserebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau
progresif akibat contusio.
Pada hematoma intraserebral yang luas dapat ditatalaksana dengan
hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial
sebagai usaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk
hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya
elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis.
I. TERAPI OPERATIF
Operasi di lakukan bila terdapat:
- Volume hematoma > 25 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana
(burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi
operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi
emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
- Penurunan klinis
- Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif
- Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
22
J. KOMPLIKASI
a. Koagulopati
b. Tromboemboli
K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada:
- Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
- Besarnya
- Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian
berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk
pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.
Pada hematoma intraserebral, dapat terjadi mortalitas 20%-30% , bisa
sembuh tanpa defisit neurologis, atau sembuh dengan defisit neurologis.
Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit. Terlambatnya
penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim
ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan tindakan bedah dan
adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor yang memperburuk
prognosis penderita cedera kepala.
23
BAB III
ANALISIS MASALAH
24
Anamnesis yang dilakukan terhadap pasien Tn. G yang berusia 15 tahun
diperoleh bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu
lintas yang dialaminya. Kejadian tersebut terjadi kurang lebih 1 jam sebelum masuk
rumah sakit. Motor yang dikendarai penderita tersenggol oleh motor lain dari arah
samping. Penderita terjatuh dengan kepala membentur jalan. Pada pemeriksaan
fisik survei primer didapatkan airway, breathing dan circulation dalam batas
normal. Penilaian airway didasarkan pada ada atau tidaknya tanda-tanda obstruksi
jalan nafas. Tanda-tanda objektif untuk menilai jalan nafas, yaitu pada look, dimana
penderita menunjukkan tanda-tanda hipoksia yaitu retraksi dinding dada dan
penggunaan otot-otot bantu pernafasan. Tanda yang kedua adalah feel yang dapat
dirasakan aliran udara dari hidung. Tanda yang ketiga adalah listen yang tidak
ditemukan suara berkumur (gurgling), snoring (suara mendengkur yang
menunjukkan adanya sumbatan jalan nafas atas dimana lidah jatuh ke posterior
pharynx), dan crowing atau stridor (suara bersiul yang menunjukkan adanya
sumbatan di jalan nafas bawah terutama pada bronkus akibat adanya benda asing),
tidak ditemukan hoarness (suara parau yang menunjukkan sumbatan pada laring
yang biasa terjadi akibat edema laring). Pada penilaian Breathing dilakukan
pemeriksaan berupa look yaitu pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda seperti
luka tembus dada, fail chest, gerakan otot nafas tambahan. Pada feel tidak terlihat
pergeseran letak trakea, patah tulang iga, emfisema kulit, dan dengan perkusi tidak
ditemukan hemotoraks dan atau pnemutoraks, sedangkan pada listen tidak
didapatkan suara nafas tambahan, suara nafas menurun, dan dinilai frekuensi
pernapasan yang berada dalam batas normal. Pada circulation dalam batas normal
yang dinilai dari frekuensi nadi yang dalam batas normal yaitu 70 kali/menit.
25
Survei sekunder diperoleh pada inspeksi di regio frontalis didapatkan
tampak hematoma ukuran 4 x 5 cm. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
CT scan dan pemeriksaan darah rutin. Pada pemeriksaan CT scan diperoleh
gambaran sebagai berikut:
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam-nya adalah dubia ad bonam. Artinya
setelah mendapat tindakan life saving, maka kemungkinan dapat hidupnya besar,
sedangkan prognosis quo ad functionam-nya adalah dubia ad bonam. Artinya
fungsi otak tidak dapat dipastikan sembuh sepenuhnya. Namun, karena penderita
ini dilakukan penanganan yang lebih awal maka dimungkinkan fungsi otaknya akan
normal.
DAFTAR PUSTAKA
26
2. Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors. Eleventh edition.
Blackwell Publishing. 2006.
3. De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2004. p: 819-821.
4. Saharuddin, Lukman Bin. 2010. Laporan Kasus Trauma Capitis Sedang
Tertutup GCS 12, Fraktur Linear Os Temporal Dekstra , Fraktur Linear Os
Frontal Dekstra , Fraktur Linear Os Sphenoid Dekstra,ICH Lobus Temporal
Sinistra,Edema Serebri. Palembang.
5. Japardi, Iskandar. 2009. Trauma Kapitis. Bhuana Ilmu Popular. Jakarta.
6. Qauliyah A. Epidural hematoma. [cited 2009 Jan 25]. Available from
http://www.astaqauliyah.com/2007/02/26/referat-epidural-hematoma/.
7. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Available from
http://www.kalbe.co.id/files/cdk
8. Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel, BLUEPRINTS
SURGERY. Third Edition. Blackwell Publishing.2004
9. Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. Trauma. 5th Ed. McGraw-Hill.
2004.
10. Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses
Penyakit. EGC. Jakarta. 2006. p: 1167-1174.
11. American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh.
United States of America, 2004. p: 167-185.
12. Heegaard, William dan Michelle Biros, Traumatic Brain Injury. Emerg Med
Clin N Am 25 (2007) 655–678.
13. Price DD. Epidural hematoma. [cited 2009 Jan 25]. Available from
http://www.medicine.medspace.com/article/824029.
27