Вы находитесь на странице: 1из 14

PENYELESAIAN PRAKTIK PENAGIHAN TERHADAP BORROWER PADA

PERUSAHAAN FINANCIAL TECHNOLOGY PEER TO PEER LENDING


DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI
INDONESIA

Faithersha Juinebelle Veanza


Email : fvjuinebelle@gmail.com

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Munawar Kholil
Email : munawarkholil@staff.uns.ac.id

Kukuh Tejomurti
Email : kukuhmurtifhuns@staff.uns.ac.id

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

This article aims to find out how the forms of debt collection and acts that violate
the provisions of the consumer protection law for borrowers at Fintech Lending
companies and what are the forms of settlement of debt collection practices
against borrowers at Fintech Lending companies within the Consumer Protection
Law framework. The research method used is prescriptive empirical legal
research. Sources of legal materials used are primary legal materials and
secondary legal materials as well as non-legal materials sourced from the
Indonesian Financial Services Authority and Yayasana Indonesian Consumers,
by means of library / document studies and interviews, the analysis techniques of
legal materials are qualitative, namely data obtained, grouped, selected from
field research then linked to theories, principles, and legal norms and arranged
systematically. The results of this study, the problem of debt collection of Fintech
Lending of the borrower is carried out in various forms such as contacting
borrower contacts, debt collecting with harsh and intimidating words to
disturbing the privacy of the borrower. YLKI mentioned that there were 96
complaints throughout 2019. To resolve this problem, YLKI and OJK would
confirm with the organizers and would conduct mediation, if it was deemed

1 …
insufficient then YLKI and OJK allowed borrowers to report to the policeOJK
also acknowledged that the current regulation, POJK 77/2016, is not enough to
regulate the development of Fintech Lending, a higher regulation is needed and
that is the Constitution

Key Word ; Debt Collection Practices; Fintech Lending; Consumer Protection

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk penagihan dan


perbuatan yang melanggar ketentuan dari hukum perlindungan konsumen
terhadap peminjam pada perusahaan Fintech Lending dan penyelesaian dari
praktik penagihan terhadap peminjam pada perusahaan Fintech Lending dalam
kerangka Hukum Perlindungan Konsumen. Jenis penelitian ini adalah empiris
dengan sifat penelitian hukum empiris bersifat deskriptif. Sumber bahan hukum
yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta
bahan non-hukum yang bersumber dari Otoritas Jasa Keuangan dan Yayasana
Lembaga Konsumen Indonesia, dengan cara studi pustaka/dokumen dan
wawancara, teknik analisis bahan hukum secara kualitatif. Hasil penelitian ini,
permasalahan penagihan Fintech Lending terhadap borrower dilakukan dalam
berbagai bentuk seperti, menghubungi kontak-kontak borrower, menagih dengan
kata-kata kasar dan intimidatif sampai dengan mengganggu privasi borrower.
YLKI menyebutkan tterdapat 96 keluhan sepanjang tahun 2019. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, YLKI dan OJK akan mengkonfirmasi kepada
penyelenggara dan akan melakukan mediasi, bila dirasa tidak cukup maka YLKI
dan OJK membolehkan borrower untuk melapor kepada Polisi. OJK juga
mengakui bahwa peraturan yang ada sekarang yaitu POJK 77/2016 saja tidak
cukup untuk mengatur perkembangan Fintech Lending, diperlukan peraturan yang
lebih tinggi yaitu Undang-undang.

Kata Kunci ; Praktik Penagihan; Fintech Lending; Perlindungan Konsumen

A. Pendahaluan

Dengan adanya perkembangan zaman dan arus globalisasi, semakin banyak


juga perkembangan dan kemajuan yang terjadi dalam Lembaga Keuangan.
Memanfaatkan pesat dan semakin canggihnya teknologi informasi, muncul
banyaknya inovasi dalam lembaga keuangan non bank seperti hadirnya Financial
Technology (selanjutnya disebut “Fintech”) yang berkembang pesat di Indonesia.
Peluang dan perkembangan Fintech di Indonesia sangat pesat karena berbagai

2 …
perusahaan Fintech terus berkembang seiring dengan pemenuhan kebutuhan
konsumen, Salah satu layanan Fintech yang mendapatkan perhatian adalah
layanan Peer to Peer (P2P) Lending (selanjutnya disebut Fintech Lending).
Fintech Lending adalah sebuah platform teknologi yang mempertemukan secara
digital peminjam yang membutuhkan modal usaha dengan pemberi pinjaman
yang mengharapkan return yang kompetitif. Fintech Lending khususnya layanan
pinjam meminjam secara online yang terdaftar di OJK, payung hukumnya
mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (selanjutnya
disebut “POJK Nomor 77/2016”). Berdasarkan POJK Nomor 77/2016, OJK
sebagai lembaga untuk mengatur, memberi izin dan mengawasi Fintech Lending
yang terdaftar dan berizin.

Fintech Lending merupakan salah satu kegiatan atau sistem pada perusahaan
Fintech yang mempertemukan secara langsung pemilik dana (investor/lender)
dengan peminjam dana (borrower). Caranya ialah dengan membuat platform
online yang menyediakan fasilitas bagi pemilik dana, untuk memberikan
pinjaman secara langsung kepada kreditur dengan return (pengembalian) yang
lebih tinggi. Akan tetapi peminjam dana juga akan diuntungkan, karena dapat
mengajukan kredit dengan syarat dan proses yang lebih mudah cepat, serta tanpa
agunan, bila dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional lain, seperti
bank.

Kehadiran perusahaan Fintech Lending ibarat dua sisi mata uang. Industri ini
mendorong perluasan akses pinjaman keuangan kepada masyarakat yang tidak
memiliki rekening bank (unbankables) atau kredit terbatas. Di sisi lain, minimnya
regulasi yang mengatur jasa layanan keuangan ini justru memunculkan banyak
kasus. Mulai dari tata cara penagihan utang yang belum diatur hingga tingkat
bunga pinjaman yang di luar kewajaran. Dalam dua tahun terakhir kasus
mengenai penagihan pinjaman online kerap menjadi aduan konsumen baik kepada
regulator, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (selanjutnya disebut YLKI) hingga Lembaga Bantuan
Hukum (selanjutnya disebut LBH). Kasus-kasus penagihan ini tak jauh dari
oknum tim kolektor yang menagih kredit kepada rekan peminjam dengan
mengakses kontak telepon. Penagihan tersebut dilakukan secara intimidatif dan
menggunakan kata-kata kasar.

3 …
Berdasarkan data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (selanjutnya
disebut sebagai “AFPI”) menerima 426 pengaduan sejak 2019. Mayoritas
mengadu soal penagihan dengan cara yang kasar dan akses terhadap data pribadi
oleh Fintech Lending. Laporan tentang penagihan yang dilakukan secara kasar
mencapai 43 persen dari total aduan. Adapun 426 aduan tersebut melibatkan 510
Fintech Lending. Sebanyak 70 persen Fintech pinjaman ilegal atau tidak terdaftar
di OJK. Lalu, 30 persen lainnya merupakan anggota AFPI. YLKI hanya
menerima 26 aduan konsumen sejak awal tahun 2019. Aduan tersebut hampir
serupa dengan aduan yang diterima AFPI yakni mengenai ancaman terhadap
konsumen yang gagal bayar.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,


Bahwa praktik penagihan ini tidak mencerminkan adanya perlindungan bagi
masyarakat dalam hal ini yaitu peminjam. Dilihat dari perspektif Hukum
Perlindungan Konsumen Indonesia, hal praktik penagihan ini tidak mencerminkan
perlindungan konsumen sama sekali. Dikaji dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4 huruf G bahwa salah satu hak
dari konsumen adalah untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif. Selanjutnya dalam Pasal 7 Huruf A dinyatakan bahwa
salah satu kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya. Kedua pasal ini menjadi acuan bahwa aktivitas praktik
penagihan ini dalam perspektif hukum perlindungan konsumen merupakan suatu
hal yang melanggar hukum. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan sebagai
regulasi yang berlaku atas terlaksana nya kegiatan layanan pinjam meminjam
berbasis teknologi informasi yang melindungi hak-hak konsumennya.
Berdasarkan permasalahan tersebut tampak bahwa pengawas dari penyelenggara
pinjam meminjam berbasis teknologi informasi belum sepenuhnya memberikan
standarisasi terhadap penagihan yang akan dilakukan terhadap para peminjam
yang pada akhirnya merugikan para peminjam yang merupakan konsumen dari
perusahaan penyelenggara.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka artikel ini akan
membahas bagaimana bentuk-bentuk penagihan dan perbuatan yang melanggar
ketentuan dari hukum perlindungan konsumen terhadap peminjam pada

4 …
perusahaan Fintech Lending dan apa penyelesaian praktik penagihan terhadap
peminjam pada perusahaan Fintech Lending dalam kerangka Hukum
Perlindungan Konsumen.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah


penelitian hukum empiris dan ditinjau dari sifat penelitiannya, maka penelitian ini
tergolong kedalam penelitian yang bersifat preskriptif. Dalam penelitian pada
umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data yaitu studi dokumen atau
bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Menurut data OJK per 22 Januari 2020, di Indonesia terdapat 164 Fintech
Lending dengan catatan 139 merupakan Fintech Lending Terdaftar dan 25
merupakan Fintech Lending Berizin. Perbedaan antara Fintech Lending Terdaftar
dan Fintech Lending Berizin adalah keduanya dapat menjalankan kegiatan
operasional sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Fintech Lending Terdaftar
dapat menjalankan kegiatan operasional hingga (satu) tahun setelah mendapat
tanda terdaftar dan selanjutnya wajib mengajukan permohonan perizinan, apabila
tidak mengajukan permohonan perizinan maka Fintech Lending Terdaftar harus
mengembalikan tanda terdaftarnya kepada OJK. Sementara Fintech Lending
Berizin tidak memiliki masa kadaluarsa atas tanda berizin yang dimilikinya. Dari
164 Fintech Lending ini, 152 merupakan Fintech Lending Konvensional dan 12
merupakan Fintech Lending Syariah. Menurut OJK, Jumlah Akumulasi Rekening
Lender di Indonesia Per 31 Desember 2019, terdapat 605.935 entitas. Jumlah
Akumulasi Rekening Borrower di Indonesia mencapai angka 18.569.123 entitas,
angka ini juga mengalami kenaikan sebesar 325,95% dibandingkan pada data Per
31 Desember 2018 dengan jumlah borrower se-Indonesia sebanyak 4.359.448
entitas. Data Jumlah Akumulasi Transaksi Borrower di Indonesia Per 31
Desember 2019 dengan total 81.876.033 akun. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi tinggi nya minat masyarakat terhadap Fintech Lending adalah
Pertama, karena kemudahan yang ditawarkan oleh penyelenggara Fintech
Lending tidak serumit ketika masyarakat akan meminjam di Bank ataupun
perusahaan finansial lainnya. Kedua, besaran pinjaman yang relatif kecil berkisar

5 …
antara 3 juta rupiah sampai 8 juta rupiah. Ketiga, suku bunga yang ditetapkan oleh
OJK kecil berkisar dari 1,5% - 2,5% perbulannya.

Walaupun bisnis Fintech Lending ini semakin menjamur di masyarakat, tidak


menutup kemungkinan bahwa masih masih sering ditemukan banyak
penyelenggara Fintech Lending yang masih melakukan bentuk-bentuk penagihan
yang tidak sesuai dengan hukum perlindungan konsumen. Asosiasi FinTech
Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) selaku organisasi yang mewadahi pelaku
usaha Fintech Peer to Peer (P2P) Lending atau Fintech Pendanaan Online di
Indonesia. AFPI ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai asosiasi resmi
penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi di
Indonesia, berdasarkan surat Nomor S-5/D.05/2019. Hal tersebut tertuang dalam
Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi Secara Bertanggung Jawab yang merupakan seperangkat
prinsip, proses, dan panduan yang disepakati secara bersama, sukarela, dan
mengikat untuk memberikan panduan etika serta perilaku bertanggung jawab bagi
Penyelenggara yang menawarkan layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi (LPMUBTI). Kecuali ditentukan lain, setiap definisi dan
istilah yang digunakan di dalam Pedoman Perilaku ini mengacu kepada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur mengenai Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Pedoman Perilaku mengikat bagi
setiap anggota Asosiasi Fintech Indonesia yang menawarkan layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi (LPMUBTI).

Sesuai dengan data yang didapatkan dari hasil wawancara dengan YLKI, Per
Desember 2019 total keluhan konsumen akibat praktik penagihan yang dilakukan
oleh penyelenggara Fintech Lending sebanyak 96 keluhan. Praktik penagihan ini
dilakukan oleh Fintech Lending Ilegal. OJK telah melakukan koordinasi dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo
RI) dan Satgas Waspada Investasi (SWI). Sejak awal 2018 hingga September
2019 sudah terdapat 1350 entitas Fintech Lending Ilegal yang telah diblokir oleh
SWI. Tetapi tidak hanya Fintech Ilegal saja, masih ditemukan Fintech Lending
Legal yang masih termasuk dalam Fintech Lending terdaftar belum berizin yang
melakukan praktik penagihan tersebut.

Bentuk-bentuk penagihan yang selama ini dilakukan oleh penyelenggara


Fintech Lending terhadap konsumen adalah sebagai berikut. Pertama, salah satu

6 …
cara paling umum yang dilakukan adalah dengan menghubungi kontak-kontak
darurat borrower, kontak darurat borrower ini tidak didapatkan dari hasil
borrower yang memasukan nomor-nomor tersebut pada saat ingin meminjam
melainkan kontak-kontak darurat tersebut didapat dengan cara pada saat
borrower mengunduh aplikasi dan terdapat suatu tulisan yang muncul dengan
kata-kata “mengizinkan untuk mengakses buku kontak” dan borrower memilih
setuju maka pada saat itu secara tidak langsung, borrower memberikan data yang
berupa kontak-kontaknya kepada perusahaan penyelenggara. Setelah
mendapatkan kontak-kontak darurat tersebut, bila dalam suatu hari borrower
tidak membayarkan jumlah pinjaman yang diperjanjikan, walau hanya terlambat
satu hari saja maka kontak-kontak darurat tersebut akan dihubungi oleh desk
collection. Bentuk kontak yang dilakukan terhadap kontak-kontak darurat adalah
dengan memberikan pesan melalui pesan singkat ataupun melalui aplikasi pesan
online seperti whatsapp yang berisikan bahwa pihak penyelenggara meminta
kepada kontak-kontak darurat tersebut untuk menggalang dana sejumlah dengan
pinjaman yang telah dipinjam oleh borrower. Kedua, desk collection
menghubungi borrower yang telah jatuh tempo tanpa melalui perantara (kontak-
kontak borrower) dengan menggunakan kata-kata yang kasar dan intimidatif,
selain itu cara menyampaikan pesan pun tidak sopan. Salah satu contoh
pengiriman pesan oleh desk collection adalah dengan mengirimi pesan yang berisi
seolah borrower telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena belum
juga mengembalikan pinjamannya. Sebenarnya penyelenggara tidak
diperbolehkan untuk mengakses saat ini, hanya kamera, mikrofon, dan lokasi.
Dalam hal lokasi diperbolehkan oleh OJK guna untuk credit scoring dari
borrower. Memvalidasi data yang dimasukan oleh borrower dan menyamakannya
dengan lokasi rutin borrower. Ketiga, desk collection mendatangi tempat-tempat
yang dikunjungi oleh borrower ataupun mengunjungi tempat anggota keluarga
dari borrower. Perilaku seperti ini jatuhnya adalah menguntit. Tetapi desk
collection juga tidak selalu menguntit borrower, melainkan pada saat borrower
mengunduh aplikasi untuk pertama kali akan muncul permintaan izin akan
mengakses lokasi, jika borrower setuju maka semua koordinat lokasi yang
tersambung antara google maps dan selular borrower akan didapatkan oleh
penyelenggara Fintech Lending dan akhirnya akan dipakai dalam situasi-situasi
seperti ini.

Desk collection atau tindakan penagihan yang dilakukan oleh penyelenggara


Fintech Lending, terdapat dua pihak yaitu in-house desk collection atau penagihan

7 …
yang dilakukan oleh internal perusahaan dan pihak ketiga. Setiap perusahaan
Fintech Lending pasti mempunyai desk collection in-house untuk memberikan
peringatan kepada para borrower bahwa pinjamannya akan jatuh tempo. Yang
kedua adalah penagihan melalui pihak ketiga.. Saat ini Asosiasi Fintech
Pendanaan Bersama Indonesia (selanjutnya disebut sebagai AFPI) sudah
menunjuk 6 (enam) lembaga desk collection atau pihak ketiga. Fintech Lending
yang sudah terdaftar dan berizin di OJK hanya boleh bekerjasama dengan 6
(enam) lembaga desk collection yang telah ditentukan oleh AFPI dan tidak boleh
bekerjasama diluar lembaga desk collection yang sudah ditentukan itu.

Bagi kontak-kontak darurat yang dihubungi oleh desk collection, maka ini
melanggar ketentuan dalam UU ITE 11/2008 disebut dalam Pasal 27 Ayat 4 yang
berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.”. Selain itu dalam rangka melindungi hak kontak-kontak yang
dihubungi oleh desk collection, tertera dalam Pasal 26 UU ITE 11/2008 yang
berbunyi “Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan,
penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data
pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.”
Jika kontak-kontak dari borrower merasa risih maka bisa mengajukan gugatan
sebagaimana tercantum dalam di Pasal 26 ayat (2).

Pengancaman serta menyebarkan data pribadi borrower dipandang tidak


memperhatikan asas-asas perlindungan konsumen, khususnya asas keamanan dan
keselamatan konsumen sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 (selanjutnya disebut sebagai “UUPK 8/1999”)
tentang Perlindungan Konsumen yang berisi “Perlindungan konsumen berasaskan
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum.” Serta dalam Pasal 3 UUPK 8/1999, beberapa tujuan dari
perlindungan konsumen adalah; Poin ke-lima berbunyi “menumbuhkan kesadaran
pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;”. Tindakan penagihan
ini tentu tidak mengindahkan asas utama perlindungan konsumen dan hak
konsumen terlebih dalam aspek keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan serta tidak sesuai dengan tujuan. Lebih dijelaskan lagi dalam

8 …
Pasal 4 UUPK 89/1999 mengenai hak-hak konsumen, dalam nomor pertama
berbunyi “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;”. Dan dalam Pasal 5 UUPK 89/1999
mengenai kewajiban pelaku usaha yang berisi “memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;”. Hal ini belum
tercermin dari tindakan penyelenggara yang memperlakukan konsumen secara
tidak baik.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi masih banyaknya praktik penagihan


dan perbuatan-perbuatan lain yang dilakukan oleh penyelenggara Fintech
Lending baik legal maupun ilegal. Pertama, regulasi yang ada belum ada. Selama
ini acuan peraturan yang mengatur kegiatan pinjaman online terdapat pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Namun keberadaan POJK ini
masih belum cukup untuk menjadi payung hukum atas kegiatan pinjaman
meminjam online sekarang karena bidang keuangan Fintech Lending ini
bertumbuh sangat dinamis dan cepat sehingga payung hukum yang ada belum
diperbaharui untuk mengakomodir permasalahan yang timbul dalam dari kegiatan
transaksi Fintech Lending. Regulasi hukum yang hanya setingkat POJK membuat
penegakan hukum terhadap penyelenggara Fintech Lending ini menjadi terbatas,
khususnya bagi penyelenggara Fintech Lending yang ilegal. OJK pun mengakui
bahwa penegakan hukum terhadap penyelenggara Fintech Lending, khususnya
yang ilegal disebabkan karena peraturan masih sebatas tingkatan POJK sehingga
sanksi sebatas administrasi berupa pencabutan izin dan tidak bisa menjatuhkan
hukuman pidana. Hal ini berbeda dengan sektor keuangan lain seperti perbankan,
asuransi, hingga pasar modal yang penegakan hukumnya lebih pasti lantaran
memiliki payung hukum setingkat Undang-undang. Faktor kedua adalah
pengetahuan masyarakat itu sendiri, dengan adanya bidang keuangan Fintech
Lending yang kian menjamur seharusnya masyarakat seharusnya masyarakat
mampu secara cermat dan selektif dalam memilih platform-platform pinjaman
online yang disediakan penyelenggara Fintech Lending khususnya Fintech
Lending yang sudah terdaftar/berizin di OJK ataupun yang sudah bergabung
menjadi asosiasi di AFPI, borrower bisa memastikannya melalui cek legalitas
perusahaan melalui kontak ataupun website OJK. Ketika terdapat tindak
penagihan ini, secara perdata, konsumen dalam hal ini borrower tetap diarahkan
untuk membayar hutang sesuai dengan perjanjian yang ada karena mendapat
bayaran akan sejumlah uang adalah hak pelaku usaha. Secara pidana, konsumen

9 …
mempunyai hak untuk melaporkan kasus ini kepada kepolisian karena sudah
termasuk dalam perbuatan tidak menyenangkan, pencemaran nama baik,
mengganggu privasi serta pengambilan data pribadi. Masyarakat juga harus
memperhatikan syarat dan ketentuan serta pasal-pasal dari perjanjian pinjaman.
Borrower seharusnya memahami besaran biaya pinjaman (bunga) yang akan
ditanggung, serta mekanisme transaksi dari awal hingga pembayaran kembali
(repayment), dan ketentuan lainnya.

Untuk mencegah gagal bayar, OJK dan AFPI masing-masing mempunyai


pusat data. Di OJK pusat data tersebut bernama Pusat Data Fintech Lending atau
yang sering disebut sebagai PUSDAFIL. PUSDAFIL menjadi syarat bagi fintech
pinjaman yang ingin mengajukan perizinan ke OJK. Data yang dibagikan melalui
PUSDAFIL mencakup jumlah pemberi pinjaman (lender) hingga kredit macet
(Non Performing Loan/NPL). Informasi ini juga dapat dilihat oleh konsumen.
Dengan begitu, perusahaan Fintech Lending bisa berbagi data terkait peminjam
‘nakal’. Data yang dibagikan Fintech Lending melalui PUSDAFIL bukan berupa
nama pengguna, melainkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Sehingga data
konsumen dengan NIK tersebut dapat dilakukan pengecekan calon borrower
supaya pihak penyelenggara pemberi pinjaman bisa menilai apakah calon
borrower pantas untuk diberi pinjaman atau tidak. Dan diharapkan kedepannya
bisa bisa menjadi pertimbangan juga dalam mengatur besaran pinjaman borrower
tersebut. Selama ini, beberapa Fintech Lending harus bekerja sama terlebih dulu
untuk bisa berbagi data peminjam nakal.

YLKI mengumpulkan informasi atau keluhan dari konsumen tanpa


menambah atau mengurangi dan mengumpulkan semua bukti. Setelah menerima
aduan, YLKI segera mencoba untuk mengkonfirmasi kepada platform
bersangkutan apakah benar tindakan tersebut telah dilakukan oleh pelaku usaha
tersebut. Jika iya maka YLKI meminta klarifikasi, penjelasan dan penyelesaian
kepada pelaku usaha dengan mengirimkan surat kepada penyelenggara yang
bersangkutan, penyelenggara mengirimkan balasannya kepada YLKI, jika kasus
tersebut terselesaikan maka masalah sudah selesai sampai disitu maka selesai.
Tetapi jika tidak, YLKI akan mempertemukan kedua belah pihak untuk mediasi,
YLKI bertindak sebagai fasilitator dan terdapat alternatif penyelesaian yang telah
disediakan oleh YLKI. Jika konsumen kurang puas maka konsumen bisa
menggugat pelaku usaha tersebut ataupun melaporkan ke pihak kepolisian. YLKI
hanya bisa membuat aduan kepada OJK dan AFPI selaku pengawas kegiatan

10 …
transaksi pinjaman online, YLKI tidak bisa menjatuhkan sanksi ataupun teguran
kepada penyelenggara karena tidak mempunyai otoritas untuk melakukan itu.
YLKI hanya bertindak sebagai wadah bagi konsumen yang mempunyai
permasalahan dalam penggunaan barang atau jasa saja.

Berbeda dengan YLKI, jika ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh


pelaku usaha maka OJK dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan besarnya
pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara, sanksi dapat berupa peringatan,
denda, pembatasan kegiatan usaha ataupun pencabutan izin. OJK akan
mengirimkan surat himbauan kepada penyelenggara. Untuk membuktikan bahwa
penyelenggara melakukan pelanggaran adalah dengan pemeriksaan secara
langsung ke kantor penyelenggara ataupun offside yang berarti meminta data,
OJK mempunyai otoritas untuk memeriksa dibawah Direktorat Pengaturan,
Perizinan dan Pengawasan OJK. Jika memang dari hasil pemeriksaan
penyelenggara terbukti melakukan pelanggaran maka jenis pelanggaran tersebut
bisa dikategorikan; pelanggaran POJK, pelanggaran atas data pribadi ataupun
pelanggaran UU yang melanggar ketentuan pidana akan diserahkan kepada pihak
kepolisian. Selain dikenakan sanksi oleh OJK, penyelenggara yang melakukan
pelanggaran dan terbukti juga melanggar beberapa poin pada Pedoman Perilaku
AFPI juga akan diberikan sanksi oleh AFPI.

YLKI berharap agar pemerintah segera merumuskan regulasi terkait dengan


transaksi Fintech Lending, melihat POJK belum cukup untuk mengakomodir
kegiatan Fintech Lending yang sangat dinamis ini. Sedangkan OJK mengakui
kalau POJK sekarang memang tidak relevan lagi karena kegiatan transaksi yang
kian lama bertambah banyak dan perkembangannya yang sangat dinamis ini. OJK
mengakui sedang dalam masa penyusunan POJK baru yang akan lebih terkini
dengan keadaan yang ada. Sampai saat ini belum terdapat draft baru, melainkan
masih berbentuk kajian saja, hal ini dikarenakan problema-problema yang muncul
masih terus berkembang. Salah satu hal yang kemungkinan akan ada dalam draf
baru adalah mengenai kecukupan modal yang akan disetor.

D. Simpulan

Beberapa bentuk-bentuk penagihan yang terjadi antara lain; penagihan yang


menghubungi kontak-kontak borrower, penagihan dengan kata-kata kasar dan
intimidatif sampai dengan mengganggu kehidupan pribadi dari borrower. Sesuai

11 …
dengan ketentuan yang ada, tindakan ini jelas melanggar beberapa peraturan
dimulai dari Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi, UU ITE 11/2008 dan UU Perlindungan
Konsumen. Serta dalam Pedoman Perilaku AFPI, tidak mencerminkan salah satu
dari tiga prinsip dasar yaitu Penerapan Prinsip Itikad Baik. Sehingga regulasi
terkait Fintech harus mampu mengimbangi perkembangan kondisi tersebut, dan
harus menjadi perhatian serius dari pemerintah. Dengan banyaknya keluhan
sepanjang tahun 2019, OJK sebanyak 300 aduan dan YLKI sebanyak 96 keluhan,
OJK dan YLKI menangani hal ini dengan mengkonfirmasi tindakan kepada
penyelenggara, melakukan mediasi dan kalau dirasa tidak cukup maka
memperbolehkan borrower untuk melaporkan kepada pihak kepolisian.
Walaupun sudah terdapat peyelesaian yang dilakukan oleh pihak YLKI dan OJK,
OJK mengakui bahwa peraturan yang ada sekarang POJK 77/2016 memang tidak
cukup untuk mengakomodir perkembangan pesat dari Fintech Lending kini,
diperlukan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang.

E. Saran

1. Kepada Pemerintah agar cepat menyusun dan mengeluarkan peraturan


yang lebih tingi daripada POJK.
2. Kepada masyarakat agar lebih teliti lagi dalam memilih penyelenggara
Fintech Lending.
3. Kepada Penyelenggara agar mempunyai self regulation walaupun belum
ada peraturan yang lebih rinci mengatur, agar menjalankan kegiatan usaha
yang mengutamakan perlindungan konsumen.

F. Daftar Pustaka

Agnes Toar. 1995. Uraian Singkat Tentang Arbitrase Dagang di


Indonesia, artikel dalam Arbitrase di Indonesia. Jakarta : Ghalia
Indonesia.

Chandra Hendriyani1 & Sam un Jaja Raharja. 2019. Strategy Business Agility
Peer-To-Peer Lending Fintech Startup In The Era Of Digital Financial
In Indonesia. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Administrasi Bisnis
dan Kewirausahaan. Vol.4, No. 1, April 2019. Bandung : Fakultas
Ilmu Administrasi Universitas Padjajaran.

12 …
Ernama, Budiharto, Hendro S. 2017. “Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan
Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016).” Diponegoro Law Journal. Vol. 6, Nomor
3. Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Etty Mulyati. 2016. “Asas Keseimbangan Pada Perjanjian Kredit Perbankan


dengan Nasabah Pelaku Usaha Kecil,” Jurnal Bina Mulia Hukum.
Vol.1, Nomor 1. September. Bandung : Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran.

Gary Goodpaster. 1995. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa,


artikel dalam Arbitrase di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.

H.B. Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS

Maya, Devi. Dwiatmanto. 2017. “Analisis Pengawasan Kredit Modal Kerja


(KMK) Sebagai Upaya Mengantisipasi Terjadinya Kredit Bermasalah
(Studi Pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Kantor Cabang
Mandiri)”, Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), Vol. 49, Nomor 1.
Agustus. Malang : Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Meline Gerarita Sitompul. 2018. Urgensi Legalitas Financial Technology


(Fintech): Peer To Peer (P2P) Lending Di Indonesia. Jurnal Yuridis
UNAJA. Vol 1 No 2. Desember. Jambi : Fakultas Hukum Universitas
Adiwangsa.

Nuzul Rahmayani. 2018. Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terkait


Pengawasan Perusahaan Berbasis Financial Technology di Indonesia.
Pagaruyuang Law Journal. Volume 2 Nomor 1. Juli. Padang :
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.

PwC Indonesia. 2019. Fintech Series, Indonesia’s Fintech Lending: Driving


Economic Growth Through Financial Inclusion. Executive Summary
PWC. June. Jakarta : PwC Indonesia.

Ratna H., dan Juliyani PR. 2018. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Peer to
Peer Lending. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Nomor 2 Vol. 25. Mei.
Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Ratnawaty Marginingsih. 2019. Analisis SWOT Technology Financial


(Fintech) Terhadap Industri Perbankan. Cakrawala-Jurnal

13 …
Humaniora, Vol 19 Nomor 1. Maret. Jakarta : Akademi Komunikasi
Bina Sarana Informatika.

Rizal, Maulina, Kostini. 2018. Fintech As One Of The Financing Solutions


For Smes. AdBispreneur : Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Administrasi Bisnis dan Kewirausahaan Vol.3, Nomor 2. Agustus.
Bandung : Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Padjajaran.

Saksonova, S., Kuzmina, I., & Merlino. 2017. Fintech As Financial


Innovation The Possibilities And Problems Of Implementation.
European Research Studies Journal. Yunani : University Piraeus.

Sangmin Lee. 2017. Evaluation of Mobile Application in User’s Perspective:


Case of P2P Lending Apps in FinTech Industry. KSII Transactions On
Internet And Information Systems. Vol. 11, Nomor 2. Korea :
Kementerian Pendidikan, Sains dan Teknologi Korea.

14 …

Вам также может понравиться