Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ABSTRACT
System of Rice Intensification (SRI) and Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya
Terpadu (PTT) developed in Indonesia, the two methods were characterised by giving
of macak-macak water or at different intervalsthat was different from the conventional
method was carried out by the farmer (the pool more than 5cm and the old seed). SRI
and PTT was tested could increase the production of unhulled rice so as to be
introduced widely to the farmer, but its development hampered by the behaviour,
ownership of the land, the policy of the government, and network readiness. This
research was carried out to support modeling to applicate of the water-effective
irrigation, the area of the irrigation in Tasikmalaya as the location of the test, whereas
Jambi and Central Java as the standard of comparison. Existence of the farmer's group
and his activity in network management of irrigation became a key factor to the
success of SRI/Irigasi Hemat Air development for increasing the income, as a result of
increasing of production and planted intensity with wider area. Because of that this
enhancing achievement and farmer development must be maximised in accordance
with the legislation regulation. Results of this research was hoped become the learning
materia, escort and policy makers in implementing the network of irrigation
infrastructure as supporting the provisions of national food.
Keywords: modeling, water-effective irrigation, application, production increasingly
ABSTRAK
System of Rice Intensification (SRI) maupun Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya
Terpadu (PTT) berkembang di Indonesia, kedua metode tersebut bercirikan pemberian
air macak-macak atau berselang yang berbeda dengan cara konvensional yang biasa
dilakukan oleh petani (genangan lebih dari 5cm dan bibit tua). SRI maupun PTT telah
teruji dapat meningkatkan produksi gabah sehingga diperkenalkan secara luas kepada
petani, tetapi dalam perkembangannya terkendala oleh perilaku, kepemilikan lahan,
kebijakan pemerintah, dan kesiapan jaringan. Penelitian ini dilaksanakan untuk
mendukung pemodelan dalam rangka penerapan irigasi hemat air, daerah irigasi di
Tasikmalaya sebagai lokasi ujicoba, sedangkan Jambi dan Jawa Tengah sebagai
pembanding. Adanya kelompok tani dan keaktifannya dalam pengelolaan jaringan
irigasi menjadi faktor kunci keberhasilan pengembangan SRI/Irigasi Hemat Air dalam
peningkatan pendapatan, akibat terjadi kenaikan produksi dan peningkatan intensitas
tanam dengan pertambahan areal tanam. Oleh karena itu peningkatan kinerja dan
pembinaan petani perlu dimaksimalkan sesuai dengan peraturan perundangan. Hasil
penelitian ini diharapkan akan dapat menjadi bahan pembelajaran, panduan dan
penentu kebijakan dalam penyelenggaraan infrastruktur jaringan irigasi sebagai
penunjang penyediaan pangan nasional.
1
R.M.Syarief.AR, Jafung ahli teknik pengairan madya
2
Eddy Sudaryono,Kepala Balai Litbang Sosek Bidang Sumber Daya Air
PENDAHULUAN
Pengembangan pengelolaan irigasi di Indonesia memasuki era baru dengan
bergesernya usaha tani padi yang menggunakan pupuk dan insektidida kimia ke
organik, ini bermula diperkenalnya System of Rice Intensification (SRI) oleh FR.Henry
de Laulanie pada priode 1980-an. Kemudian SRI mulai diperkenalkan oleh DR.Uphoff
pada tahun 1997 di Bogor, kemudian penerapan Demplot SRI di daerah irigasi melalui
program Decentralized Irrigation System Improvement Project in Eastern Region of
Indonesia (DISIMP) dan beberapa Balai Wilayah Sungai Dirjen.Sumber Daya Air PU.
Departemen Pertanian melakukan program Pengelolaan Tanaman dan
Sumber Daya Terpadu (PTT) memperkenalkan usaha tani padi baru pada 33 propinsi
menggantikan pola usaha konvensional. Kedua metode tersebut (SRI dan PTT)
mempunyai kesamaan yaitu menggunakan bibit muda, berpengairan secara macak-
macak atau berselang,pupuk berimbang (organik dan kimia) dan ramah lingkungan
(menggunakan pestisida organik).
Pelaksanaan SRI maupun PTT dilakukan dengan pola sosialisasi,demplot dan sekolah
lapang pola tanam terpadu (SL-PTT) kepada masyarakat petani termasuk pemuka /
penggerak masyarakat. Pengenalan SRI juga dilakukan oleh pihak swasta atau
lembaga swadaya masyarakat secara mandiri maupun bekerjasama dengan instansi
pemerintah. (Sampurna,Arta Graha, Tim Aliksa). Meskipun metode SRI-Irigasi Hemat
Air / PTT mampu meningkatkan produksi dan nilai jual tinggi (beras organik), masih
ada keraguan petani untuk menerapkan disebabkan karena ;
i) Budaya/etika subsistensi (safety first) terutama petani berlahan sempit; ii) tradisi
penggunaan air secara turun menurun sulit hilang dalam pikiran petani; iii) petani
kesulitan dalam mengatur air karena kondisi prasarana (pintu dan bok rusak) dan
drainase yang buruk, iv) adanya beban tambahan petani (waktu, tenaga, pengadaan
pupuk organik) yang melebihi cara konvensional.
SRI maupun PTT dapat menghemat air dan meningkatkan produksi padi
diharapkan memenuhi kebutuhan beras Nasional, selain itu menghindari konflik
perebutan air irigasi. Bertambahnya kesadaran masyarakat akan makanan sehat
(beras organik) mendorong perluasan tanam padi organik.
Penelitian SRI-Irigasi Hemat Air dengan identifikasi sosial-ekonomi
dilaksanakan di daerah irigasi Ciramajaya Tasikmalaya (Tasikmalaya), demplot-teknis
berada di lokasi sadap tersier BCMA 5 kiri saluran primer Ciramajaya dan di sadap
tersier SG1 saluran Sangegeng. Daerah irigasi Ciramajaya dengan areal potensial
1.250 ha mempunyai areal sawah 850 ha, tetapi sebagian areal disebelah hilir berupa
sawah tadah hujan atau bero, hal ini disebabkan penggunaan berlebihan dan bocor
dibagian hulu, faktor ini mendukung dilakukan pengembangan SRI atau PTT yang
bertendensi dapat menghemat menggunaan 20% – 50% dipetak sawah.
Pengelolaan irigasi hemat air sangat erat dengan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat, sehingga dipilih lokasi pembanding propinsi Jawa Tengah (
jaringan irigasi air tanah) dan Jambi (Daerah Irigasi Siulak Deras).
Kegiatan ini melingkupi litbang sosial-ekonomi masyarakat terkait dengan
penerapan SRI-Irigasi Hemat Air, peran serta masyarakat, mengukur kondisi sosial-
ekonomi masyarakat. Sehingga timbul pertanyaan penelitian sosek penerapan SRI -
irigasi hemat air seperti i) bagaimana penyiapan dan perkuatan kelompok petani untuk
melaksanakan irigasi hemat air, ii) bagaimana penerimaan petani untuk pengelolaan
infrastruktur irigasi hemat air.
Peralihan dari konvensional kepada SRI-Irigasi Hemat Air merupakan sebuah
proses sosial-ekonomi masyarakat. Untuk itu dipergunakan ujicoba model rekayasa
sosial pendayagunaan Irigasi hemat air.
Manfaat yang akan didapat antara lain adalah
• Peningkatan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap metode irigasi
hemat air.
• Peningkatan partisipatif dan kemandirian pengelolaan irigasi
METODE PENELITIAN
Metode penelitian berlandaskan pada penelitian sosial-ekonomi, tetapi tidak
menyampingkan adanya unsur bisnis/pemasaran, karena irigasi hemat air
memerlukan investasi/modal, penerima manfaat (masyarakat dan pemerintah), produk,
dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan/pasar sebagai sebuah sistem ekonomi.
Aspek sosial ekonomi dipengaruhi oleh prilaku konsumen/produsen (petani dan
masyarakat terdampak) terhadap pasar, produksi, teknologi sehingga untuk
mengukurnya diperlukan data kualitatif dan kuantitatif melalui wawancara dan
penyebaran kuestioner.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tipe pendekatan, yaitu studi kasus dengan
pendekatan survei maupun pendekatan eksperimen ( penerapan irigasi hemat air).
Menurut Wirartha,2009, bahwa kegiatan penelitian sosial-ekonomi dapat dilakukan
dengan menggunakan metode 1) RRA (Raid Rural Appraisal / PPWS = Pemahaman
Pedesaan dalam waktu Singkat), 2)PRA (Participatory Rural Appraisal = Pemahaman
Pedesaan Partisipatif), 3) SAGA (Sosial Economi and Gender Analysis).
Kegiatan yang dilakukan adalah pertemuan kelompok tani di kelas, di lapangan
serta pendampingan pemberdayaan petani untuk penerapan irigasi hemat air,
kegiataan ini melibatkan aparat dinas pertanian, balai wilayah sungai dan Balitbang.
Observasi lapangan dan pengambilan data pada kelompok masyarakat yang
mengolah tanah atau mendapatkan air jaringan irigasi, seperti dari bangunan sadap
tersier SG1 Ciramajaya, dilakukan dengan menggunakan kuestioner kepada petani
serta wawancara / menghimpun informasi pemuka masyarakat maupun petugas
lapangan.
Data sekunder dikumpulkan dari instansi Dinas Pertanian, Dinas Sumber Daya
Air, Kantor Statistik di lokasi. Meneropong kondisi sosial-ekonomi masyarakat secara
mendalam menggunakan penerapan irigasi hemat air di SG1.
Kegiatan survey di propinsi Jambi ( DI.Sei.UlakDeras dan Jawa Tengah (Jaringan
Irigasi Air Tanah) sebagai pelengkap/pembanding penelitian, termasuk hasil penelitian
tahun 2008 di Sulawesi Selatan.
Penerapan prasarana irigasi hemat air prinsip partisipatif, dimulai dari
sosialisasi / kebutuhan masyarakat, tahap perencanaan, penentuan lokasi bangunan
(Tim terdiri dari unsur Balitbang, kelompok tani, petugas pengairan setempat, petugas
pertanian setempat). Kebutuhan bahan dan perkiraan biaya lapangan
dimusyawarahkan, termasuk mengatur kebutuhan pekerja dan waktu kegiatan gotong
royong. Hari dan jam pertemuan dengan masyarakat disesuaikan kebiasaan sosial
budaya / kearifan local setempat.
Pengaturan air dilakukan oleh tim litbang Balai Irigasi ( lingkup litbang),
sehingga kelompok tani Harapan Baru tersier BCMA5 kiri ini belum berperan untuk
mengatur air secara mandiri. Petugas air hanya mengatur air saat mempersiapkan
lahan sawah (bajak) dan memungut iuran sebesar 0,5 ons per bata (14m2).
Selanjutnya penerapaan irigasi hemat air ini dikembangkan pada tersier lain yaitu
tersier SG1 saluran Sangegeng.
Kelompok tani Ciomas yang mempunyai lahan garapan di SG1, teknis
usahatani/budidaya padi dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya,
sedangkan perkuatan teknis irigasi irigasi hemat air dilakukan oleh Balai Irigasi
bersama Balai Sosek bid SDA melalui pendampingan dan penyiapaan masyarakat.
tugas teknis dan penyiapaan masyarakat.
Di tersier SG1 ini diterapkan prasarana irigasi hemat air dengan stimulan bahan
untuk perbaikan jaringan tersier termasuk bangunan ukurnya, kegiatan ini dilakukan
secara partsipatif. Prioritas kegiatan di tersier SG1 sebagai percontohan diharapkan
dapat dilakukan secara berlanjut di tersier SG2 dan seterusnya, sehingga dapat
diketahui dampak adanya SRI-Irigasi Hemat Air.
Kegiatan pendampingan teknis usaha tani dilakukan oleh Dinas Pertanian,
sedangkan Balai Litbang Sosial-Ekonomi bidang SDA dan Balai Irigasi Puslitbang
SDA melakukan pendampingan teknis irigasi dan penyiapan masyarakat untuk
pengelolaan jaringan irigasi.
Untuk memadukan penyuluhan SRI secara teknis usaha tani dan teknis irigasi sesuai
dengan kewenangan instansi, maka sejak awal disiapkan dengan model sebagai
berikut;
(berkelompok) dan membuka diri. Tetapi bagi petani yang sudah mengadaptasi
sebagai petani SRI (BCMA 5kiri) sangat percaya diri mengurangi air di petak sawahnya
agar tetap macak-macak atau kering sampai retak rambut. Dalam kasus BCMA 5 kiri
dan SG1, sebagian petani besar petani mengolah sawah dengan luas 0,13 ha, disini
berlaku sistim bagi hasil untuk penggarap 50 bagian dan pemilik 50 bagian, termasuk
juga saat panen dilakukan bagi hasil 1 bagian pemanen untuk 10 bagian yan dipanen,
sehingga peningkatan produksi menjadi pilihan untuk menambah pendapatan.
Perkembangan luas areal tanam SRI di BCMA 5 kiri telah dimulai pada musim tanam
Sep.07-Jan.2008 seperti terlihat di tabel.1 Perkembangan SRI-Irigasi Hemat Air di
tersier BCMA 5 kiri.
Hasil padi SRI yang dapat dicapai adalah 6,3kg atau 9,9 ton/ha jauh lebih
tinggi dari hasil padi konvensional 3,6 kg atau 5,6 ton/ha. Jumlah rumpun padi SRI
mencapai 40 – 52 batang per rumpun.
Perkembangan SRI-Irigasi Hemat Air di hamparan SG1 yang mempunyai luas
7,537 Ha, hanya 2 petani yang menamam pola SRI/PTT sebelum penerapan
prasarana irigasi hemat air hasil dari penyuluhan SRI/PTT oleh aparat dinas pertanian.
Pada saat dilakukan penerapaan irigasi hemat air di SG1, telah dilakukan
penanaman sebagian petani, tetapi terdapat 5 demplot SRI dengan hasil panen
tanggal 7-13 Nopember 2009 menghasilkan produksi rata-rata 10,9 ton/ha lebih tinggi
dari hasil rata-rata 10,1 ton/ha. Hasil ubinan produksi petani di tersier SG1 terlihat
seperti tabel 2. Produksi Padi di tersier SG1 ( masa panen Nopember 2009)
Hasil padi SRI BCMA 5 kiri lebih rendah dari SG1 karena kondisi tanah di SG1
lebih baik tidak serusak pada BCMA 5 kiri.
Modal sosial dari BCMA 5 kiri dan SG1 berupa keberadaan kelembagaan
petani untuk penerapan SRI-Irigasi Hemat Air, mereka telah membentuk kelompok tani
tetapi belum mempunyai kelompok tani pemakai air atau bagian yang harus mengatur
air irigasi di tingkat tersier, Gabungan Petani Pemakai Air (GP3A) yang ada dengan
wilayah administrasi kecamatan, bukan batas operasi jaringan sekunder.
Petani SRI di jaringan irigasi air tanah menjelaskan operasi pompa untuk padi
SRI dilakukan pada musim kemarau atau pada saat padi memerlukan air, hal ini
disebabkan karena lahan sawah dimusim hujan sering mengalami banjir atau
tergenang. Kelembagaan masyarakat tani yang aktif adalah kelompok tani, hal ini
disebabkan adanya pertemuan / temu muka penyuluh dilakukan terkait dengan
program pertanian tidak mencakup materi teknik irigasi.
Pengamatan lapangan di saluran Sangegeng Ciramajaya sebagian besar bok
tersier rusak atau tidak berpintu sehingga petani tidak dapat mengatur air secara
berselang atau macak-macak, sehingga mendorong petani tetap mengupayakan
tanaman konvensional. Air irigasi juga digunakan untuk kebutuhan rumah tangga/MCK,
kehilangan air lebih banyak pada kolam ikan yang tidak terukur/berlebihan karena air
tidak ke saluran irigasi kembali, hal ini menyebabkan kebutuhan air di sebelah hilir
menjadi berkurang. Dengan adanya pola penerapan irigasi hemat air (macak-macak
dan berselang) berpeluang untuk dapat menata pengelolaan irigasi diawali membina
kelembagaan petani untuk mengatur air. Untuk itu sebelum penerapan irigasi hemat air
perlu diperkuat kelembagaan petani pemakai air,pada umumnya belum ada petani
yang mengatur air pada tingkat tersier.
Buah dari pengalaman petani yang telah mempraktekkan SRI dan
mendapatkan hasil produksi lebih besar dibanding konvensional adalah petani tersebut
mengatur air disawahnya tidak berlebihan, penghentian air dalam waktu tertentu (
kebutuhan rehabilitasi jaringan, giliran ) tidak menjadi masalah bagi petani SRI, petani
memperhitungkan memberikan air setelah terjadi retak rambut ( 2 minggu terhenti).
Kepedulian petani untuk operasi pemeliharaan (OP) dan keberlanjutan jaringan irigasi
tingkat tersier mulai dilakukan oleh petani dengan memberikan hasil panen sebesar
Onta (1 on per bata atau 0,5 ons perbata, 1 bata = 14m2 ), apabila petani mempunyai
200 bata (0,03 ha) akan memberikan sumbangan 0,1 kg x 1 musim x 200 bata = 20
kg. Pungutan ini digunakan untuk membayar petugas air dan kas kelompok tani atau
sekitar 700 kg x Rp.2.500= Rp.1.750.000 untuk luasan 10 ha ( 1 tersier ) setiap musim.
Peran pemerintah ( Dinas PSDA maupun Dinas Pertanian) belum menyentuh
perbaikan bok tersier karena dipandang sebagai kewajiban petani, walaupun pada saat
pembangunan bok tersier dengan 50 m saluran sebagai tanggung jawab pemerintah.
Model Pendayagunaan Irigasi Hemat Air memilih SG1 sebagai bok tersier pertama di
saluran sekunder, selanjutnya model ini dapat dilakukan pada tersier yang terletak
disebelah hilirnya.
Dinas Sumber Daya Air / sektor sumber daya air melakukan pengelolaan
/rehabilitasi jaringan primer dan sekunder, tidak melakukan perbaikan jaringan tersier
termasuk pembinaan petani pemakai air, sejalan dengan Peraturan Pemerintah No.38
tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan Pemerintah Kabupaten/Kota bahwa pembinaan tersier / kelompok petani
pemakai air berada dalan lingkup sektor pertanian. Tetapi dalam Permen PU No.33
tahun 2006 menyiratkan dapat melakukan pemberdayan p3a dengan kegiatan teknis
irigasi.
Jaringan irigasi air tanah (JIAT) di Jawa Tengah banyak tidak berfungsi karena
besarnya biaya operasional, dari ujicoba SRI menghasilkan jam kerja pompa lebih
sedikit dengan hasil padi lebih besar dibandingkan dengan metode konvensional,
sehingga berpeluang dapat menggiatkan petani mengoperasikan pompa yang telah
lama tidak dioperasikan, untuk itu perlu bangunan pengukur seberapa besar jumlah air
yang dapat dialirkan oleh petani.
pupuk dan pestisida kimia. Peran kelembagaan petani harus kuat sehingga diperlukan
pemberdayan kelembagaan, teknis usaha tani dan teknis irigasi, petani harus
berkomitmen tidak akan menggunakaan pupuk dan insektisida kimia, pola tersebut
menjadi persyaratan untukk mendapatkan sertifikasi beras organik dan mendapatkan
hargajual yang wajar. Harga dasar gabah kering panen (GKP) beberapa jenis varitas
padi yang dapat ditampung oleh Gapoktan Simpatik terlihat pada tabel.4 harga gabah
dan beras pembelian untuk eksport.
Beras
Harga GKP
No. Jenis Beras ICS Premium
(Rp)
(Rp/kg)
1 Gabah Organik SRI Sintanur 3.200 9.047
2 Gabah Organik SRI Sintanur Brown 3.200 8.386
Gabah Organik SRI Ciherang
3 3.100 8.182
White/Brown
4 Gabah Organik SRI Beras Merah 3.500 8.998
Gabah Organik SRI Beras Merah
5 3.500 9.494
Giling
Sumber : ICS Gapoktan Simpanik, 2009
Sosialisasi SRI-organik dapat menyadarkan petani terhadap struktur tanah dan
lingkungan akan rusak karena menggunakan pupuk kimia dan insektisida kimia, untuk
memperbaikinya harus menggunakan pupuk organik dan insektida organik.
Petani berusaha memberikan pupuk organik ( pembusukan jerami dan pupuk
organik), upaya pengadaan kotoran hewan disiasati dengan melakukan pemeliharaan
kelinci ( DI.Ciramajaya). Petani juga mengharapkan di daerah DI.Ciramajaya dapat
dijadikan sentra pemeliharaan ternak kambing. Petani sekarang telah mempunyai
keahlian secara mandiri mulai menyiapkan MOL ( Mikro Organik Lokal) yang dapat
dipergunakan untuk menyuburkan tanah dan pembasmi hama tanaman.
Dari survey pendapatan petani di BCMA 5 kiri dan SG1 kiri, petani menanam
padi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tidak ada kelebihan
panen yang dapat dijual, hal ini disebabkan oleh sempitnya lahan yang diusahakan
sehingga SRI menjadi pilihan bagi petani untuk menambah pendapatan petani.
Sedangkan petani di Jawa Tengah yang melakukan usaha tani padi dengan
perhitungan finansial seperti terlihat pada tabel.5 Pengeluaran dan Pendapatan Petani
SRI.
Tabel. 5 Pengeluaran dan pendapatan petani SRI P3A Sido Makmur
No. Item Pengeluaran Kuantitas Jumlah biaya
1 Kompos / pupuk kandang 3 ton Rp. 2.500.000
2 Benih 5 kg x Rp.600 Rp. 30.000
3 Besek 20 x Rp.150 Rp. 3.000
4 Pengolahan lahan Traktor Rp.400.000, perapian Rp. 500.000
pematang Rp.100.000
5 Biaya tanam 10 org x 3 hari x Rp.10.000,- Rp. 300.000
6 Pemeliharan
- Penyiangan 2 kali 30 orang x 2 x Rp. 10.000 Rp. 600.000
- Penyulaman 10 org x Rp. 10.000 Rp. 100.000
- Penyemprotan (MOL) 4 kali, 5 org x 4 x Rp.10.000 Rp. 200.000
- Pupuk organik Disemprot 4 kali pd umur 7 hr, Rp. 420.000
15hr, 30 hr, 90 hr. 6 x
Rp.70.000/botol
7 Ongkos panen 10 % dari hasil panen, 1200 kg
8 Karung 216 bh xRp. 2.500 Rp. 540.000
DAFTAR PUSTAKA