Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dekompensasi kordis (DK) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu keadaan dimana
jantung tidak dapat mempertahankan sirkulasi yang adekuat yang ditandai oleh adanya
suatu sindroma klinis berupa dispnu (sesak nafas), fatik (saat istirahat atau aktivitas),
dilatasi vena dan edema, yang diakibatkan oleh adanya kelainan struktur atau fungsi
jantung.
Insiden penyakit gagal jantung saat ini semakin meningkat. Dimana jenis penyakit
gagal jantung yang paling tinggi prevalensinya adalah Congestive Heart Failure (CHF). Di
Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Sedang pada
anak–anak yang menderita kelainan jantung bawaan, komplikasi gagal jantung terjadi 90%
sebelum umur 1 tahun, sedangkan sisanya terjadi antara umur 5 – 15 tahun.
Perlu diketahui, bahwa dekompensasi kordis pada bayi dan anak memiliki segi
tersendiri dibandingkan pada orang dewasa, yaitu :
1. Sebagian besar penyebab gagal jantung pada bayi dan anak dapat diobati (potentially
curable).
2. Dalam mengatasi gagal jantung tidak hanya berhenti sampai gejalanya hilang,
melainkan harus diteruskan sampai ditemukan penyebab dasarnya.
3. Setelah ditemukan penyebabnya, bila masih dapat diperbaiki maka harus segera
dilakukan perbaikan.
4. Lebih mudah diatasi dan mempunyai prognosis yang lebih baik daripada gagal jantung
pada orang dewasa.
Sementara itu, menurut Aulia Sani, penyakit gagal jantung meningkat dari tahun ke
tahun. Berdasarkan data di RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus dari penyakit
gagal jantung ini pada tahun 1997 adalah 248 kasus, kemudian melaju dengan pesat hingga
mencapai puncak pada tahun 2000 dengan 532 kasus. Karena itulah, penanganan sedini
mungkin sangat dibutuhkan untuk mencapai angka mortalitas yang minimal terutama pada
bayi dan anak-anak.
1
Faktor yang dapat menimbulkan penyakit jantung adalah kolesterol darah tinggi,
tekanan darah tinggi, merokok, gula darah tinggi (diabetes mellitus), kegemukan, dan stres.
Akibat lanjut jika penyakit jantung tidak ditangani maka akan mengakibatkan gagal
jantung, kerusakan otot jantung hingga 40% dan kematian.
Menurut data yang diperoleh penulis hingga sekarang penyakit jantung merupakan
pembunuh nomor satu (Sampurno,1993). WHO menyebutkan rasio penderita gagal jantung
di dunia adalah satu sampai lima orang setiap 1000 penduduk. Penderita penyakit jantung
di Indonesia kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari jumlah penduduk di
Nusantara (www.depkes.go.id).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan dengan masalah
penyakit jantung.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran tentang pengkajian dengan masalah penyakit jantung.
b. Memperoleh gambaran tentang masalah dan diagnosa keperawatan dengan masalah
penyakit jantung.
c. Memperoleh gambaran tentang rencana keperawatan dengan masalah penyakit
jantung.
d. Melakukan tindakan keperawatan serta evaluasi proses tindakan keperawatan dengan
masalah penyakit jantung.
e. Melakukan evaluasi hasil yang dibahas melalui catatan perkembangan dengan
masalah penyakit jantung.
f. Memperoleh gambaran tentang faktor penunjang dan faktor penghambat dalam
penerapan asuhan keperawatan dengan masalah penyakit jantung.
C. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab, yaitu :
Bab I: Pendahuluan berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
Bab II: Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar penyakit.
2
Bab III: Tinjauan kasus yang merupakan asuhan keperawatan mencakup pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Bab IV: Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
4
Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak lagi
mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada
tekanan pengisian yang normal, padahal aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam
keadaan normal.
Kontraktilitas
Kontraktilitas menunjukkan perubahan-perubahan dalam kekuatan kontraksi atau
keadaan inotropik yang terjadi bukan karena perubahan-perubahan dalam panjang serabut.
Pemberian obat-obat inotropik positif seperti katekolamin atau digoksin, akan
5
meningkatkan kontraktilitas, sedangkan hipoksia dan asidosis akan menekan kontraktilitas.
Pada gagal jantung terjadi depresi dari kontraktilitas miokardium ( Carleton,P.F dan M.M.
O’Donnell, 1995 ).
Beban Akhir
Beban akhir adalah besarnya tegangan dinding ventrikel yang harus dicapai untuk
mengejeksikan darah sewaktu sistolik. Menurut Hukum Laplace , ada tiga variabel yang
mempengaruhi tegangan dinding yaitu ukuran atau radius intraventrikel, tekanan sistolik
ventrikel dan tebal dinding. Vasokonstriksi arteri yang meningkatkan tahanan terhadap
ejeksi ventrikel dapat meningkatkan tekanan sistolik ventrikel, sedangkan retensi cairan
dapat meningkatkan radius intraventrikel. Pemberian vasodilator dan hipertrofi ventrikel
sebagai konsekuensi lain dari gagal jantung dapat mengurangi beban akhir ( Carleton,P.F
dan M.M. O’Donnell, 1995 ).
2. Fisiologi Jantung
Fisiologi otot jantung
Terdiri dari tiga tipe otot jantung yang utama yaitu otot atrium, otot ventrikel, dan
serat otot khusus pengantar rangsangan, sebagai pencetus rangsangan. Tipe otot atrium dan
ventrikel berkontraksi dengan cara yang sama seperti otot rangka dengan kontraksi otot
yang lebih lama. Sedangkan serat khusus penghantar dan pencetus rangsangan
berkontraksi dengan lemah sekali sebab serat-serat ini hanya mengandung sedikit serat
kontraktif malahan serat ini menghambat irama dan berbagai kecepatan konduksi sehingga
serat ini bekerja sebagai suatu sistem pencetus rangsangan bagi jantung.
6
sinsitium sehingga impuls jantung segara dapat mencapai semua bagian jantung. Jantung
selalu berkontraksi dengan kekuatan yang sama. Kekuatan berkontraksi dapat berubah-
ubah bergantung pada faktor tertentu, misalnya serat otot jantung, suhu, dan hormon
tertentu.
Kedua hipotesis tersebut saling melengkapi, serta menjadi dasar patofisiologi gagal
Jantung : Kalau ventrikel gagal mengosongkan darah maka menurut hipotesis backward
failure :
7
a. Isi dan tekanan (volume dan pressure) pada akhirfase diastolik (end- diastolicpressure)
meninggi.
b. Isi dan tekanan akan meninggi pada atrium di belakang ventrikel yang gagal.
c. Atrium ini akan bekerja lebih keras (sesuai dengan hukum Frank – Starling).
d. Tekanan pada vena dan kapiler di belakang ventrikel yang gagal akan meninggi.
e. Terjadi transudasi pada jaringan interstitial (baik pulmonal maupun sistemik)
Akibat berkurangnya curah Jantung serta aliran darah pada jaringan/organ yang
menyebabkan menurunnya perfusi (terutama pada ginjal dengan melalui mekanisme yang
rumit), yang akan mengakibatkan retensi garam dan cairan serta memperberat ekstravasasi
cairan yang sudah terjadi. Selanjutnya terjadi gejala-gejala gagal Jantung kongestif sebagai
akibat bendungan pada jaringan dan organ.
Kedua jenis kegagalan ini jarang bisa dibedakan secara tegas, karena kalau gagal
Jantung kongestif, pada kenyataannya, kedua mekanisme ini berperan, kecuali pada gagal
jantung yang terjadinya secara mendadak. Contoh forward failure : gagal ventrikel kanan
akut yang terjadi akibat emboli paru yang masif, karena terjadinya peninggian isi dan
tekanan pada ventrikel kanan serta tekanan pada atrium kanan dan pembuluh darah balik
sistemik, tetapi pasien sudah meninggal sebelum terjadi ekstravasasi cairan yang
menimbulkan kongesti pada vena-vena sistemik. Baik back¬ward maupun forward failure
dapat terjadi pada infark jantung yang luas. Forward failure terjadi akibat berkurangnya
output ventrikel kiri dan renjatan kardiogenik dan yang akan menimbulkan manifestasi
berkurangnya perfusi jaringan/organ. Sedangkan backward failure terjadi karena adanya
output yang tidak sama (inequal) antara kedua ventrikel, yang meskipun bersifat sementara
berakibat terjadinya edema paru yang akut.
Hipotesis backward dan forward failure yang klasik ini meskipun banyak celah
kelemahannya ditinjau dengan perkembangan konsep patofisiologi gagal jantung saat ini,
masih tetap dapat menjadi pegangan untuk menjelaskan patogenesis gagal jantung
terutama bagi para edukator.
8
kongesti pulmonal pada infark ventrikel kiri, hipertensi dan kelainan-kelainan pada katup
aorta serta mitral menunjukkan gagal jantung kiri (left heart failure).
Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama, cairan yang terbendung akan
berakumulasi secara sistemik : di kaki, asites, hepatomegali, efusi pleura dll, dan
menjadikan gambaran klinisnya sebagai gagal jantung kanan (right
heart failure).
9
Petanda yang paling nyata pada gagal jantung di sini adalah : fungsi sistolik ventrikel
biasanya normal (terutama dengan pengukuran ejection fraction misalnya dengan
pemeriksaan ekokardiografi).
D. Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan
kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi
aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark miokard atau kardiomyopati.
Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah
gangguan pengisisan ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler), gangguan pada pengisian
dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh
penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut
mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam
sistesis atau fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 1995).
E. Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung akibat
penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup, dan meningkatkan
volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme
primer yang dapat di lihat :
a. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik.
b. Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron, dan
c. Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah
jantung.
Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada
keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan menjadi
semakin kurang efektif. Menurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan
membangkitkan respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic
10
simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf adrenergic jantung dan
medulla adrenal. Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk
menambah curah jantung. Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk menstabilkan
tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ
organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal, agar perfusi ke jantung dan
otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa :
a. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus.
b. Pelepasan rennin dari apparatus juksta glomerulus.
c. Iteraksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin
I.
d. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.
e. Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
f. Retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
F. Manifestasi Klinis
Dampak dari cardiak output dan kongesti yang terjadi sisitem vena atau sistem
pulmonal antara lain :
a. Lelah
b. Angina
c. Cemas
d. Oliguri. Penurunan aktifitas GI
e. Kulit dingin dan pucat
Tanda dan gejala yang disebabkan oleh kongesti balik dari ventrikel kiri, antara lain :
a. Dypnea
11
b. Batuk
c. Orthopea
d. Reles paru
e. Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru.
G. Komplikasi
Komplikasi dari decompensatio cordis adalah:
a. Syok kardiogenik.
b. Episode tromboemboli.
c. Efusi dan tamporiade perikardium
H. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan fisik EKG untuk melihat ada tidaknya infark myocardial akut, dan guna
mengkaji kompensaai sepperti hipertropi ventrikel
b. Echocardiografi dapat membantu evaluasi miokard yang iskemik atau nekrotik pada
penyakit jantung kotoner
c. Film X-ray thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan pembesaran jantung
d. esho-cardiogram, gated pool imaging, dan kateterisasi arteri polmonal.utuk
menyajikan data tentang fungsi jantung
I. Faktor Resiko
1. Kebiasaan merokok
Yaitu bahwa rokok mengandung nikotin dan zat beracun yang berbahaya dan dapat
merusak fungsi jantung. Nikotin pada rokok dapat meningkatkan faktor resiko kerusakan
pembuluh darah dengan mengendapnya kolesterol pada pembuluh darah jantung koroner,
sehingga jantung bekerja lebih keras.
2. Hipertensi
12
Yaitu meningkatnya tekanan darah sistolik karena pembuluh darah tidak elastis
serta naiknya tekanan diastolic akibat penyempitan pembuluh darah tersebut, aliran darah
pada pembuluh koroner juga naik.
3. Obesitas
Yaitu penumpukan lemak tubuh, sehingga menyebabkan kerja jantung tida normal
dan menyebabkan kelainan.
4. Kolesterol tinggi
Yaitu mengendapnya kolesterol dalam pembuluh darah jantung koroner
menyebabkan kerja jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh menjadi lebih berat.
5. Diabetes Mellitus
Karena kadar glukosa yang berlebih bisa menimbulkan penyakit yang agak berat
dan bersifat herediter.
6. Ketegangan jiwa/stres
Stres terjadi bias meningkatkan aliran darah dan penyempitan pada pembuluh darah
koroner.
7. Keturunan
8. Kurang makan sayur dan buah
J. Pencegahan
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi hal yang diutamakan, terutama
pada kelompok dengan risiko tinggi.
a. Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard.
b. Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan.
c. Pengobatan hipertensi yang agresif.
d. Koreksi kelainan kongenital serta penyakit katup jantung.
e. Memerlukan pembahasan khusus.
f. Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari.
K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan hanya untuk
menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada penderita yang potentially
curable. Dasar pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi menjadi :
1. Non medikamentosa.
13
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja
jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar–benar dengan tirah baring
(bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat.
Sering tampak gejala–gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja.
Diet umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan
kebutuhan. Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
Cairan diberikan sebanyak 80–100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
2. Medikamentosa
Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan diuretik oral maupun
parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung. Sampai edema
atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker
(ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta
dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-inhibitor tersebut
diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT
lainnya) dimana digitalis memiliki mamfaat utama dalam menambah kekuatan dan
kecepatan kontraksi otot. Jika ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang
memuaskan. Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada
pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan
mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N atriuretic Peptide
(Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac
Resychronization Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac
Defibrillator) sebagai alat pencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia
maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun
mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih terkendala dengan masih
minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang
rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.
3. Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :
a. Revaskularisasi (perkutan, bedah).
14
b. Operasi katup mitral.
c. Aneurismektomi.
d. Kardiomioplasti.
e. External cardiac support.
f. Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.
g. Implantable cardioverter defibrillators (ICD).
h. Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
i. Ultrafiltrasi, hemodialisis.
15
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Aktivitas dan Istirahat
o Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan berdebar.
Mengeluh sulit tidur (keringat malam hari).
o Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja, takpineu,
dispneu.
2. Sirkulasi
o Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital:
kerusakan arteial septal, trauma dada, riwayat murmur jantung dan palpitasi,
serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum, riwayat anemia, riwayat shock
hipovolema.
o Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang keras,
takikardia. Irama tidak teratur; fibrilasi arterial.
3. Integritas Ego
o Tanda: Menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar. Takut akan
kematian, keinginan mengakhiri hidup, merasa tidak berguna,
kepribadian neurotik.
4. Makanan / Cairan
o Gejala: Mengeluh terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan diuretik.
o Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan bising
terdengar krakela dan mengi.
5. Neurosensoris
o Gejala: Mengeluh kesemutan, pusing
o Tanda: Kelemahan
6. Pernafasan
o Gejala: Mengeluh sesak, batuk menetap atau nokturnal.
o Tanda: Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi, sputum berwarna bercak darah,
gelisah.
7. Keamanan
o Gejala: Proses infeksi/sepsis, riwayat operasi
16
o Tanda: Kelemahan tubuh
8. Penyuluhan / pembelajaran
o Gejala: Menanyakan tentang keadaan penyakitnya.
o Tanda: Menunjukan kurang informasi.
Pernapasan.
Paru harus diauskultasi dengan interval sesering mungkin untuk menentukan ada atau tidak
adanya krekel dan wheezing. Krekel terjadi oleh gerakan udara melalui cairan, dan
menunjukkan terjadinya kongesti paru. Frekuensi dan dalamnya pernapasan juga harus
dicatat.
Jantung.
Jantung diauskultasi mengenai adanya bunyi jantung S3 atau S4. Adanya tanda tersebut
berarti bahwa pompa mulai mengalami kegagalan, dan pada setiap denyutan, darah yang
tersisa didalam ventrikel makin banyak. Frekuensi dan irama juga harus dicatat. Frekuensi
yang terlalu cepat menunjukkan bahwa ventrikel memerlukan waktu yang lebih banyak
untuk pengisian, serta terdapat stagnasi darah yang terjadi di atria dan pada akhirnya juga
di paru.
Penginderaan/Tingkat Kesadaran.
Bila volume darah dan cairan dalam pembuluh darah meningkat, maka darah yang beredar
menjadi lebih encer dan kapasitas transpor oksigen menjadi berkurang. Otak tidak dapat
bertoleransi terhadap kekurangan oksigen dan pasien mengalami konfusi.
Perifer.
Bagian bawah tubuh pasien harus dikaji akan adanya edema. Bila pasien duduk tegak,
maka yang diperiksa adalah kaki dan tungkai bawah; bila pasien berbaring telentang, yang
dikaji adalah sakrum dan punggung untuk melihat adanya edema. Jari dan tangan kadang
17
juga bisa mengalami edema. Pada kasus khusus gagal jantung, pasien dapat mengalami
edema periorbital, dimana kelopak mata tertutup karena bengkak.
Hati
Hati diperiksa juga akan adanya hepatojugular refluks (HIR). Pasien diminta bernapas
secara normal pada saat dilakukan penekanan pada hati selama 30 sampai 60 detik. Bila
distensi vena leher meningkat lebih dari 1 cm,, maka tes ini positif menunjukkan adanya
peningkatan tekanan vena.
Haluaran Urin.
Pasien bisa mengalami oliguria (berkurangnya haluaran urin kurang dari 100 dan 400
ml/24 jam) atau anuria (haluaran urin kurang dari 100 ml/24 jam). Maka penting sekali
mengukur haluaran sesering mungkin untuk membuat dasar pengukuran efektivitas
diuretik. Masukan dan haluaran harus dicatat dengan baik dan pasien ditimbang setiap hari,
pada saat yang sama dan pada timbangan yang sama.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Diagnosa Utama:
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan dispnu akibat turunnya
curah jantung.
b. Kecemasan berhubungan dengan kesulitan napas dan kegelisahan akibat oksigenasi
yang tidak adekuat.
c. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan stasis vena.
d. Potensial kurang pengetahuan mengenai program perawatan diri berhubungan
dengan tidak bisa menerima perubahan gaya hidup yang dianjurkan.
18
a. Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler
alveoli dan retensi cairan interstisiil.
b. Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium
dan kongesti vena.
C. Intervensi
Perencanaan menurut Brunner & Suddarth, 2002:
Tujuan utama mencakup bertambahnya istirahat, penghilangan kecemasan, pencapaian
perfusi jaringan yang normal, pemahaman mengenai program perawatan diri dan tidak
terjadi komplikasi.
Diagnosa Keperawatan 1) :
Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli
dan retensi cairan interstisiil
Tujuan :
Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, PH darah normal, PO2 80-100
mmHg, PCO2 35-45 mm Hg, HCO3 –3 – 1,2
Tindakan:
• Kaji kerja pernafasan (frekwensi, irama , bunyi dan dalamnya)
• Berikan tambahan O2 6 lt/mnt
• Pantau saturasi (oksimetri) PH, BE, HCO3 (dengan BGA)
• Koreksi kesimbangan asam basa
• Beri posisi yang memudahkan klien meningkatkan ekpansi paru.(semi fowler)
• Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan nafas dalam
• Lakukan balance cairan
• Batasi intake cairan
• Evaluasi kongesti paru lewat radiografi
• Kolaborasi :
RL 500 cc/24 jam
Digoxin 1-0-0
Furosemid 2-1-0
19
Rasional
• Untuk mengetahui tingkat efektivitas fungsi pertukaran gas.
• Untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas.
• Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak adekuat tidaknya
proses pertukaran gas.
• Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernafasan.
• Meningkatkan ekpansi paru
• Kongesti yang berat akan memperburuk proses perukaran gas sehingga berdampak
pada timbulnya hipoksia.
• Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat meguranngi timbulnya odem
sehingga dapat mecegah ganggun pertukaran gas.
• Membantu mencegah terjadinya retensi cairan dengan menghambat ADH.
Diagnosa Keperawatan 2) :
Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan
kongesti vena.
Tujuan :
Stabilitas hemodinamik dapat dipertahanakan dengan kriteria : (TD > 90 /60), Frekwensi
jantung normal.
Tindakan:
• Pertahankan pasien untuk tirah baring
• Ukur parameter hemodinamik
• Pantau EKG terutama frekwensi dan irama.
• Pantau bunyi jantung S-3 dan S-4
• Periksa BGA dan saO2
• Pertahankan akses IV
• Batasi Natrium dan air
• Kolaborasi :
ISDN 3 X1 tab
Spironelaton 50 –0-0
20
Rasional
• Mengurangi beban jantung
• Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui PCWP, CVP
sebagai indikator peningkatan beban kerja jantung.
• Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat mempengaruhi
curah jantung.
• Untuk mengetahui tingkat gangguan pengisian sistole ataupun diastole. Untuk
mengetahui perfusi jaringan di perifer.
• Untuk maintenance jika sewaktu terjadi kegawatan vaskuler.
• Mencegah peningkatan beban jantung
• Meningkatkan perfusi ke jaringan
• Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat menyebabkan
timbulnya kontraksi otot jantung.
Posisi.
Kepala tempat tidur harus dinaikkan 20 sampai 30 cm (8-10 inci) atau pasien
didudukkan di kursi. Pada posisi ini aliran balik vena ke jantung (preload) dan paru
berkurang, kongesti paru berkurang, dan penekanan hepar ke diafragma menjadi minimal.
Lengan bawah harus disokong dengan bantal untuk mengurangi kelelahan otot bahu akibat
berat lengan yang menarik secara terus-menerus.
21
Pasien yang dapat bernapas hanya pada posisi tegak (ortopnu) dapat didudukkan di
sisi tempat tidur dengan kedua kaki disokong kursi, kepala dan lengan diletakkan di meja
tempat tidur dan vertebra lumbosakral disokong dengan bantal.
Bila terdapat kongesti paru, maka lebih baik pasien didudukkan di kursi karena
posisi ini dapat memperbaiki perpindahan cairan dari paru. Edema yang biasanya terdapat
di bagian bawah tubuh, berpindah ke daerah sakral ketika pasien dibaringkan di tempat
tidur.
Penghilangan Kecemasan.
Karena pasien yang mengalami gagal jantung mengalami kesulitan
mempertahankan oksigenasi yang adekuat, maka mereka cenderung gelisah dan cemas
karena sulit bernapas. Gejala ini cenderung memburuk pada malam hari.
Menaikkan kepala tempat tidur dan membiarkan lampu menyala di malam hari
sering sangat membantu. Kehadiran anggota keluarga cukup memberi rasa aman pada
kebanyakan pasien. Oksigen dapat diberikan selama stadium akut untuk mengurangi kerja
pernapasan dan untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Morfm dengan dosis kecil dapat
diberikan untuk dispnu yang berat dan hipnotis juga dapat diberikan untuk membantu
pasien tidur.
• Pada pasien dengan kongesti hepatik, hati tidak mampu melakukan proses
detoksifikasi racun obat-obatan dalam jangka waktu yang normal. Oleh sebab itu
obat-obat harus diberikan secara hati-hati.
• Hipoksia serebral yang disertai retensi nitrogen merupakan masalah pada gagal
jantung dan dapat menyebabkan pasien bereaksi negatif terhadap penenang dan
hipnotik, ditandai dengan adanya konfusi dan peningkatan rasa cemas.
• Hindari penggunaan ikatan karena dapat menjerat, yang menyebabkan kerja jantung
meningkat.
Pasien yang tidak dapat tidur di tempat tidur di malam hari dapat duduk dengan
nyaman di kursi. Posisi ini menyebabkan sirkulasi serebral maupun sistemik membaik,
sehingga kualitas tidur menjadi lebih baik.
Menghindari Stres.
Pasien yang sangat cemas tidak akan mampu beristirahat dengan cukup. Stres emosional
mengakibatkan vasokonstriksi, tekanan arteri meningkat, dan denyut jantung cepat.
22
Memberikan kenyamanan fisik dan menghindari situasi yang cenderung menyebabkan
kecemasan dan agitasi dapat membantu pasien untuk rileks. Istirahat dilanjutkan beberapa
hari hingga beberapa minggu sampai gagal jantung dapat dikontrol.
Biasanya pasien sering kembali ke klinik dan rumah sakit akibat kekambuhan
episode gagal jantung. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan masalah psikologis,
sosiologis dan finansial tetapi beban fisiologis pasien akan menjadi lebih serius. Organ
tubuh tentunya akan rusak. Serangan berulang dapat menyebabkan fibrosis paru, sirosis
hepatis, pembesaran limpa dan ginjal, dan bahkan kerusakan otak akibat kekurangan
oksigen selama episode akut.
23
Memberikan penyuluhan kepada pasien dan melibatkan pasien dalam implementasi
program terapi akan memperbaiki kerjasama dan kepatuhan. Kebanyakan kekambuhan
gagal jantung terjadi karena pasien tidak mematuhi terapi yang dianjurkan, seperti tidak
mampu melaksanakan terapi pengobatan dengan tepat, melanggar pembatasan diet, tidak
mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktivitas fisik yang berlebihan dan tidak dapat
mengenali gejala kekambuhan.
Pasien harus dibantu untuk memahami bahwa gagal jantung dapat dikontrol.
Menyusun jadwal tindak lanjut medis secara teratur, menjaga berat badan yang stabil,
membatasi asupan natrium, pencagahan infeksi, menghindari bahan berbahaya seperti
kopi, tembakau, dan menghindari latihan yang tidak teratur dan berat semuanya membantu
mencegah awitan gagal jantung. Pada pasien denga penyakit kattup jantung, maka
pembedahan untuk memperbaiki defek pada saat yang tepat dapat mempertahankan
jantung dan mencegah kegagalan.
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek : mengurangi
beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam,
melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor pencetus dan penyakit yang mendasari.
Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi
aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara lain: diet rendah garam,
mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis, menghindari rokok,
olahraga teratur (Nugroho, 2009). Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan,
pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-
obat vasodilator, seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat ditingkatkan
dengan obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin (Sugeng dan Sitompul,
2003).
D. Implementasi
Implementasi ini disusun menurut Patricia A. Potter (2005)
Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan yang
telah disusun / ditemukan, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara
optimal dapat terlaksana dengan baik dilakukan oleh pasien itu sendiri ataupun perawat
secara mandiri dan juga dapat bekerjasama dengan anggota tim kesehatan lainnya seperti
ahli gizi dan fisioterapis. Perawat memilih intervensi keperawatan yang akan diberikan
24
kepada pasien. Berikut ini metode dan langkah persiapan untuk mencapai tujuan asuhan
keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat :
1. Memahami rencana keperawatan yang telah ditentukan
2. Menyiapkan tenaga dan alat yang diperlukan
3. Menyiapkan lingkungan terapeutik
4. Membantu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
5. Memberikan asuhan keperawatan langsung
6. Mengkonsulkan dan memberi penyuluhan pada klien dan keluarganya.
E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan ini disusun menurut Patricia A. Potter (2005)
Evaluasi merupakan proses yang dilakuakn untuk menilai pencapaian tujuan atau menilai
respon klien terhadap tindakan leperawatan seberapa jauh tujuan keperawatan telah
terpenuhi.
Pada umumnya evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu evaluasi kuantitatif dan
evaluasi kualitatif. Dalam evalusi kuantitatif yang dinilai adalah kuatitas atau jumlah
kegiatan keperawatan yang telah ditentukan sedangkan evaluasi kualitatif difokoskan pada
masalah satu dari tiga dimensi struktur atau sumber, dimensi proses dan dimensi hasil
tindakan yang dilakukan.
25
2. Menafsirkan (menginterpretasikan) perkembangan pasien.
3. Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan dengan
menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
4. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal yang
berlaku.
26
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita ketahui, bahwa penyakit dekompensasi kordis
masih merupakan masalah yang memiliki tingkat mortalitas yang tinggi terutama pada bayi
dan anak, jika tidak ditangani dengan baik.
Gagal jantung adalah kelainan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan akibat dari
meningkatnya beban awal atau beban akhir atau menurunnya kontraktilitas miokard.
Penanganan dari gagal jantung memerlukan perhitungan serta pertimbangan yang
tepat agar tidak memperburuk keadaan jantung dari penderita. Selain itu edukasi mengenai
gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan dan
dasar pengobatan sangatlah penting terutama bagi orang tua dan keluarga pasien agar dapat
membantu memaksimalkan proses penyembuhan dan menurunkan angka mortalitas.
Istirahat serta rehabilitasi, pola diet, kontrol asupan garam, air, monitor berat badan adalah
cara–cara yang praktis untuk menghambat progresifitas dari penyakit ini. Pada perjalanan
jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas memerlukan perhatian
khusus. Konseling mengenai obat, baik khasiat maupun efek samping.
Transplantasi jantung sebagai alternatif lain memberikan tingkat kesembuhan yang
cukup tinggi, 84% bertahan hidup sampai lima tahun dan 70% bertahan sampai 10 tahun.
Hanya kendalanya pada fasilitas yang rumit dan biaya transplantasi yang mahal. Negara-
negara tertentu saja yang dapat melakukan transplantasi seperti Jerman, Amerika Serikat,
dan Malaysia.
B. Saran
Saran sesuai dengan masalah yang telah disimpulkan oleh penulis, pada akhir
makalah penulis memberikan saran bahwa untuk penaggulangan penyakit decompensatio
27
cordis, masyarakat harus mengurangi kebiasaan merokok, pengurangan makanan
berkolesterol tinggi, makanan berlebih yang menyebabkan obesitas, perbanyak makan
sayur dan buah, kurangi stress dan lainnya yang telah tertulis dalam makalah guna
memperkecil resiko decompensatio cordis.
28