Вы находитесь на странице: 1из 16

ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN FAIRCLOUGH DALAM NOVEL TIBA

SEBELUM BERANGKAT KARYA FAISAL ODDANG


Oleh: Idatus Sholihah

Idatus Sholihah. 2020. "Norman Fairclough Critical Discourse Analysis in Novel Arrives
Before Leaving the work of Faisal Oddang" Thesis, Indonesian Language and Literature
Education Study Program, Faculty of Education, Trunojoyo University, Madura. Supervisor:
Ika Febriani, S.S, M.Pd. Ayyu Subhi Farahiba, S.Pd., M.Pd.

ABSTRACT

Discourse has many supporting elements of language and critical


discourse analysis can reveal social reality presented by the author
which has a particular purpose. In the literature work, discourse
seen as social practice because there is a relation between
discursive practices with identity and social relation. Faisal
Oddang is a writer that gives a point of view about the existence
of ideology in the surrounding. This research aims to reveal the
ideology which is produced by the writer in his work based on
CDA, those are; textuality, discourse, and society's context with
practice socio-cultural.

This research used a qualitative method. The data is found by


collecting several sentences or paragraphs in the TSB novel. The
source of data in this research is the novel “Arrives Before
Leaving” written by Faisal Oddang. From the data of the sentences
and descriptions in the novel, the researcher found the ideological
exposure which is included in the three aspects of CDA by
Norman Fairclough.

The findings of this research are representation, relation, identity,


production practices and text consumption, and socio-cultural
practices. Then, text analysis shows the existence of
representations, relations between characters including family
relations, friendship, hostility, and between indigenous
communities. In addition, the identity described by the author in
the TSB novel is the identity amongst the character, for instance:
as a child, husband, bissu, toboto, friend, and kidnapper. The
practice of discourse includes the production and consumption of
texts indicating the existence of elements related to the life of the
author that influence the emergence of discourse in TSB.
Furthermore, the socio-cultural practices show the existence of
various ideologies, i.e., Islamic, Nationalist, and the practice of
power between groups of people.

Keywords : Critical Discourse Analysis, Text Analysis, Discourse


Practices, Socio-Cultural Practices, Ideology

1
2

Latar Belakang

Sebagai sarana komunikasi, bahasa memiliki peran dalam proses penyampaian


informasi. Adapun infromasi yang disampaikan dapat berupa informasi lisan dan tulis. Kajian
tentang bahasa mengalami perkembangan pesat di ranah akademis. Bahasa sebagai entitas yang
dinamis, mampu berkembang seiring perkembangan zaman dan objek yang menjadi ruang
lingkup terdekat. Bahasa dapat mengungkapkan fakta berkaitan dengan idelogi, kebudayaan,
dan informasi lainnya. Dengan adanya fakta tersebut bahasa mampu menjadi sarana yang
membangun kontruksi realitas yang terbangun dari kehidupan sosial di masyarakat. Kontruksi
realitas dapat dibangun melalui realitas nyata maupun rekaan yang dipersepsikan dari dunia
nyata. Adapun kontruksi realitas rekaan berwujud dalam bentuk ciptaan karya sastra atau
mimetik. Dengan demikian, bahasa menjadi jalur penghubung untuk mengungkap fakta dan
ideologi dalam sebuah karya sastra.

Keberadaan sebuah karya sastra merupakan suatu objek manusiawi, fakta


kemanusiaan, serta fakta kultural/kebudayaan. Sebuah karya sastra memiliki keberadaan yang
khas sehingga berbeda dari fakta dari aspek kemanusiaan lain seperti fakta sosial dan ekonomi.
Adanya hal tersebut tidak menutup kemungkinan munculnya berbagai penelitian sastra melalui
kajian linguistik oleh para pengamat, kritikus sastra, ataupun mahasiswa. Contoh karya sastra
yang dapat dikaji dan dianalisis adalah novel. Novel suatu bentuk karya sastra fiksi yang di
dalamnya memuat nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Jalan cerita yang disajikan lebih
kompleks dan ada sisi lain dari kehidupan yang dapat diungkap dan dikaji kembali.
Dalam mengkaji novel dapat menggunakan kajian kebahasaan lainnya. Salah satunya
analisis wacana kritis atau dalam penyebutan selanjutnya memakai AWK. AWK merupakan
salah satu kajian untuk mengungkapkan maksud penulis, baik dalam wacana berita, novel,
ataupun lainnya. Dalam praktiknya, AWK digunakan untuk mengetahui fakta ideologi, sosial,
membangun kekuasaan dan ilmu pengetahuan. Bahasa yang diungkapkan dalam kajian wacana
menghubungkan teks dan kekuasaan, sehingga dapat diketahui penyebab dari kepentingan
sosial kelompok masyarakat tertentu.
Praktik wacana dapat menampilkan efek ideologis serta penghubungan konteks untuk
mencapai tujuan tertentu (Fairclough, 2001: 78). Eksistensi ideologi bersifat laten yang
beroperasi di balik diskursus dan praktik diskursif-sosial. Justru karena bersifat laten, ideologi
memiliki potensi besar untuk mempengaruhi dan membentuk pandangan subjek dalam
memaknai realitas serta mengarahkan praktik sosialnya. Primana (2016: 34) mendeskripsikan
bahwa AWK adalah praktik pemakaian bahasa, terutama pencerminan suatu budaya melalui
sebuah bahasa. Hal itu disebabkan oleh keberadaan bahasa sebagai aspek sentral dalam
penggambaran suatu subyek.
AWK dapat menimbulkan konsekuensi wacana yang dinilai persuasif, mendebat,
menyanggah serta mempertimbangkan konteks latar dan situasi kondisi sosial, baik dalam segi
kekuasaan dari sejarah tertentu. Oleh karena itu, AWK tidak hanya fokus pada struktur wacana
kebahasaan melainkan menghubungkan dengan konteks historis, ideologi, dan sosial.
Wacana juga membangun dimensi sosial serta identitas dan hubungan sosial. Praktik
sosial merupakan salah satu refleksi dari realitas yang bersifat indipenden yang dapat
ditransformasikan. Begitu juga dengan realita, dapat memberikan pengaruh dan membentuk
praktik sosial. Wacana juga merujuk pada penggunaan bahasa sebagai praktik sosial yang
memiliki hubungan timbal balik dalam merefleksikan sesuatu. Wacana merupakan bentuk
tindakan seseorang untuk penggunaan bahasa terhadap representasi realita terhadap dunia.
Salah satu novel yang mempunyai kajian wacana, yakni novel Tiba Sebelum
Berangkat (TSB). Dalam peluncuruan novel ini di acara Makassar International Writers
3

Festival, penulis dalam wawancara bersama awak media mengungkapkan bahwa penulisan
novel TSB berdasarkan riset dan pengumpulan dokumen sejarah, sumber riset dan penelitan,
serta wawancara penduduk lokal. Penulis mengungkapkan bahwa sebagai orang yang lahir
kemudian tumbuh di sebuah kota kecil Makassar, Wajo, novel TSB ditulis dari berbagai
permasalahan yang personal dari fragmen masa lalu pada diri seseorang kemudian dikaitkan
dengan sejarah yang ada di Sulawesi Selatan.
Penulis yang lahir pada 1994 ini merupakan penulis muda yang sudah berprestasi, di
antaranya, meraih penghargaan Young Writers Award pada tahun 2014 oleh pemerintah
Thailand, selain itu juga pernah masuk dalam jajaran penulis cerpen terbaik Kompas 2014.
Pada tahun 2014 novel berjudul dari Puya ke Puya merupakan pemenang Sayembara Novel
Dewan Kesenian Jakarta, lalu pada tahun 2018 menjadi finalis pada penghargaan Kusala Sastra
Khatulistiwa atas Novel TSB. Penulis yang merupakan alumnus Sastra Indonesia Universitas
Hasanudin ini pada tahun 2016 pernah mengikuti kunjungan penulis di Belanda dan pernah
diundang dalam acara International Writing Program di Lowa City, Amerika Serikat pada
2018 silam, pada tahun 2018 juga menerima Robert Bosch Stiftung and Literariches
Colloquium Berlin Grants 2018.
Permasalahan yang diangkat dalam TSB begitu kompleks, membahas konflik para
tokoh dalam stuktur sosial masyarakat, kehidupan sosial masyarakat suku Bugis, adanya
praktik kelompok ilegal yang memperjualbelikan organ dalam tubuh manusia. Selain itu juga
berkisah tentang sejarah yang dilihat dari sudut pandang berbeda, yakni dari sejarah Indonesia
bagian timur selain pada umunya yang selalu dilihat dari sudut pandang pulau Jawa atau
Jawasentris.
Novel TSB dikaji menggunakan AWK Norman Fairclough. Dalam pendekatan ini
wacana dipandang sebagai praktik sosial, yaitu ada hubungan antara praktik diskursif dengan
identitas dan relasi sosial. Fairclough menggunakan wacana untuk menunjukkan bahasa
sebagai praktik sosial. Dengan demikian wacana merupakan suatu bentuk tindakan dimana
seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia, khususnya sebagai bentuk
representasi ketika menghadapi realitas. Adapun AWK Fairclough dibagi menjadi tiga
kerangka analisis, yaitu: analisis struktur teks, praktik kewacanaan, serta praktik sosial-budaya.
Analisis struktur teks bertujuan mengungkap makna yang terkandung dalam wacana dengan
melakukan analisis pada teks baik verbal ataupun visual secara kritis. Selain itu juga melihat
hubungan antarobjek didefiniskan. Dalam analisis struktur teks terdapat tiga pembahasan
dasar, yakni representasi, relasi, dan identitas.
Praktik kewacanaan merupakan praktik yang menentukan terbentuknya sebuah teks.
Dalam pandangan Fairclough ada dua sisi praktik diskursus yakni, konsumsi dan produksi teks.
Kemudian praktik sosial budaya memandang hubungan lebih jauh pada konteks sosial
atau keadaan yang menjadi latar belakang terbentuknya wacana. Pada praktik sosial budaya
memiliki penentu produksi media dan faktor sosial yakni dengan melihat pada aspek makro,
misalnya sistem politik, ekonomi dan budaya masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut
memiliki pengaruh terhadap wacana yang muncul.
Selain itu, Fairclough membuat tiga bagian analisis pada praktik sosial budaya, yakni
level situasional, institusional, dan sosial. Level situasional merupakan konteks sosial teks.
Sebuah produksi teks atau wacana yang dihasilkan dalam kondisi yang unik, khas sehingga
berbeda dengan yang lain. Level institusional melihat pengaruh institusi atau organisasi dalam
produksi wacana. Selain itu juga faktor institusi lain yang berpengaruh adalah politik.
Sedangkan pada level sosial, wacana yang muncul ditentukan oleh perubahan kondisi
masyarakat. Dalam level sosial, budaya masyarakat turut menjadi penentu perkembangan dari
suatu wacana.
4

Metode Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan dengan teknik kualitatif.
Ibrahim (2015:52) memaparkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
menggunakan uraian deskriptif kalimat untuk menafsirkan hasil penelitian. Pada penelitian
TSB karya Faisal Oddang ini proses penelitian kualitatif dilakukan dengan pengumpulan data
yang berupa kalimat atau paragraf dalam novel TSB.
Objek pada penelitian ini menggunakan novel “Tiba Sebelum Berangkat” yang ditulis
oleh Faisal Oddang. Novel ini diterbitkan pada tanggal 23 April 2018 oleh penerbit
Kepustakaan Populer Gramedia dengan tebal buku sejumlah 212 halaman. Novel TSB menjadi
finalis dalam Kusala Sastra Khatulistiwa 2018. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan Teknik baca, catat, wawancara, transkrip, pustaka, serta
dokumentasi.
Teknik analisis data menurut Moleong (2007: 103) merupakan proses menata urutan
data kemudian menggolongkannya dalam suatu pola, kategori, dan uraian dasar. Pada
penelitian ini teknik analisis data menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough.
Fairclough (1995) mengklasifikasikan analisis tersebut dalam tiga dimensi yakni (1) analisis
teks/deskripsi; analisis ini berfokus pada tataran linguistik. (2) interpretasi, digunakan untuk
menganalisis proses, yakni menginterpretasikan teks itu sendiri dan bagaimana teks
dikonsumsi dan diinterpretasikan oleh pembaca., teks yang diproduksi oleh pengarang
mendapat respon dari pembaca atau apresiator setelah membaca karya tersebut. (3)
penjelasan/eksplanasi, tahap penjelasan/eksplanasi menghubungkan teks dengan konteks di
luar teks.
Teknik validasi data atau keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data dengan berbagai teknik yang sesuai dan tepat untuk menggali data dalam
bagi penelitian sehingga data penelitian menjadi tepat dan valid.Pada penelitian ini, digunakan
model triangulasi teori. Triangulasi teori pada penelitian ini peneliti melakukan proses untuk
pengecekan terhadap data yang didapat, yakni dengan mengecek sumber data kemudian
direlevansikan dengan teori-teori yang terkait dan sumber penelitian lain yang ditemukan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bagian ini akan dipaparkan hasil analisis AWK Norman Fairclough pada kajian
ideologi novel TSB karya Faisal Oddang yang meliputi, analisis stuktur teks, praktik wacana,
dan praktik sosial budaya. Ketiganya dipaparkan sebagai berikut.
Analisis Teks
Analisis teks berarti menganalisis penggunaan bahasa dalam sebuah teks. Pada AWK
Fairclough, teks dilihat dari faktor kosakata, semantik, tata kalimat, dan bagaimana antarkata
atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk makna dan pengertian secara kohesi
maupun koherensi. Fairclough dalam (Eriyanto, 2001:289) melihat teks dalam berbagai
tingkatan. Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi
juga bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan. Fairclough membagi analisis wacana teks
menjadi tiga elemen dasar, yaitu, representasi, relasi, dan identitas, ketiganya sebagai berikut.

Representasi
Teks dianalisis secara linguistik dengan melihat penggunaan kosakata, tata kalimat,
koherensi, kohesivitas. Menurut Fairclough, seseorang, suatu peristiwa, kelompok, yang
digambarkan dalam teks, maka penulis dihadapkan pada pilihan kosa kata, metafora dan tata
bahasa. Sehingga ini berhubungan dengan proses pemunculan suatu realitas. Representasi
dalam AWK Fairclough dibagi menjadi empat, yakni pengandaian, penghilangan informasi,
analisis anak kalimat, kombinasi anak kalimat, dan rangkaian antar anak kalimat.
5

(1) Penculik itu melemparkan buku yang penuh bercak darah itu ke wajah
Mapata. Lelaki empat puluhan yang dilempari itu, membuka mulut, tapi
yang terdengar hanya kalimat tak jelas. (TSB 3:1)

Data (1) kalimat pertama, pengarang menggunakan jenis kalimat aktif dengan
menempatkan subjek kemudian diikuti frasa melemparkan buku. Masih pada kalimat yang
sama, terdapat penjelasan bahwa buku yang dilemparkan tersebut penuh bercak darah. Adanya
kalimat tersebut, pengarang memfokuskan informasi pada buku sebagai objek penyiksaan.
Dengan adanya keterangan penuh bercak darah dapat diketahui bahwa sebelumnya buku itu
digunakan untuk menyiksa seseorang.

(2) Pria bergamis hitam, gemuk, jangkung, berkumis,berjanggut, dan


cambangnya membentuk setengah lingkaran di wajah. Seingat Mapata,
lelaki pertama itu bernama Ali Baba, ia memperkenalkan diri di hari
pertama sebagai Ali Baba. Baba hanya lekatan karena tanda lahir sebesar
telapak tangan di pipi kirinya, yang dalam bahasa Bugis disebut ‘baba’.
(TSB 5:2)

Pada data (2) terdapat terdapat unsur kohesi dan koherensi yang ditunjukkan penulis
melalui adanya kata tunjuk dan pronomina, dan penambahan. Pengarang menggunakan kata
tunjuk dasar berupa itu dan pronomina ia untuk menunjuk subjek Ali Baba. Adapun unsur
elaborasi (penjelasan) dapat dilihat dari penjelasan tambahan mengenai arti nama Baba dalam
bahasa Bugis.

(3) “Sekalipun tuan telah potong lidah saya, itu tidak berarti bahwa Tuan
menghalangi saya menyampaikan kebenaran yang saya yakini atau
menghalangi saya mengucapkan doa pada Dewata Sewwae.” (TSB 9:2)

Pada data (3) penulis menggunakan repetisi dalam frasa menghalangi menyampaikan
kebenaran atau menghalangi saya mengucapkan doa, repetisi tersebut merepresentasikan
bahwa pengarang memberikan penegasan bahwa sekalipun Mapata tidak bisa berbicara namun
dirinya masih bisa berhubungan dengan Tuhannya melalui doa dalam hati.

(4) Lelaki Menjijikan Level bla-bla-bla ia penculik yang baik hati meski
tampangnya sungguh bodoh. Selain kantong plastik untuk wadah kotoran,
ia juga bertugas membawakan makanan dan air dalam jeriken satu liter,
setiap dua hari sekali. (TSB 25:1)

Pada data (4) terdapat unsur elaborasi berupa penggunaan kata yang pada kalimat
pertama untuk menjelaskan subjek yang dipanggil dengan Lelaki Menjijikan Level bla-bla-bla
yang merupakan sosok baik hati meskipun bodoh. Kemudian unsur koherensi selanjutnya
berupa penggunaan kata dan pada kalimat kedua, yang berarti sebuah unsur perpanjangan
perihal tugas subjek di atas.

(5) Mapata hanya diam, dia memang tidak bisa melawan, tetapi meringis
atau kesakitan atau menampakan kekesalan adalah kalah tanpa bertaruh.
Dan diam? Diam adalah satu-satunya cara untuk melawan. (TSB 35: 3)
6

Pada data (5) terdapat pronomina dia untuk menyebut subjek Mapata, penggunaan kata
adalah setelah frasa meringis, kesakitan, kekesalan sebagai penjelasan dari definisi kata kalah.
Selain itu juga terdapat konjungsi penambahan dan yang berada di awal kalimat.

Relasi
Fungsi relasional terkait dengan keberadaan diskursus yang berfungsi untuk
menciptakan relasi-relasi sosial di dalam masyarakat (Munfarida, 2016: 6). Relasi melihat
hubungan khalayak, partisipan, khalayak dalam teks. Adanya interaksi antar partisipan dalam
teks yang saling terhubung membuat adanya hubungan personal dalam situasi sosial.
(1) “Kau menyerah akhirnya, bencong,” (TSB 7:3)

Pada kutipan data (1) terlihat adanya unsur hegemoni. Hegemoni dimaknai sebagai
kekuasaan atas masyarakat yang dibangun yang memiliki kekuatan sosial dan dominasi atas
kelompok sosial lain yang berpartisipasi (Munfarida, 2016: 16). Terdapat penggunaan kata
bencong memberikan arti bahwa penutur memanggil mitra tutur dengan panggilan yang
merendahkan dan melecehkan. Penggunaan diksi menyerah dalam KBBI berarti memberikan
dirinya kepada yang berwenang: menurut saja (sekehendak orang); tidak melawan: mengaku
kalah; tunduk (tidak akan melawan lagi). Hal itu memberikan gambaran bahwa mitra tutur
merupakan orang yang tidak memiliki kekuatan dan lemah dan penutur merupakan orang yang
memiliki kekuasaan dan kekuasaan sehingga berpotensi untuk menguasai pihak yang lemah.

(2) Mapata hanya diam, dia memang tidak bisa melawan, tetapi meringis
atau kesakitan atau menampakan kekesalan adalah kalah tanpa bertaruh.
Dan diam? Diam adalah satu-satunya cara untuk melawan. (TSB 35: 3)

Pada data (2) terdapat adanya relasi antara Mapata dan Ali Baba, Mapata sebagai objek
penyiksaan Mapata. Adanya unsur penyiksaan memperlihatkan bahwa keduanya memiliki
hubungan yang tidak baik.

(3) “Kau tidak kehilanganku. Kau kehilangan Rusming yang dulu. Kau harus
sadar, saya ini bissu dianggap orang suci, terhormat, tak patut kita masih
mengingat yang sudah-sudah apalagi mengulangnya. Sekarang, kau
adalah teman kecil saya tidak lebih, kembalilah ke pasukanmu!” (TSB
40:3)

Pada data (3) hubungan tokoh Mapata ditegaskan pada Andi Upe bahwasannya mereka
kini tidak lebih dari sekadar teman, berbeda dengan sebelumnya yang mana keduanya
merupakan sepasang kekasih.

(4) “Walida dan Batari apa kabarnya?” (TSB 43:1)

Pada data (4) pengarang menggunakan nama secara langsung ketika, hal ini
menunjukkan bahwa adanya jarak. Mapata tidak menyebut istri dan anakku ketika ingin
menanyakan kabar keduanya melalui keberadaan orang asing.

(5) “Apakah Anda baik-baik saja?”


“Apakah makanan ini cukup buat makan Anda”? (TSB 45:2)

Pada data (5) pengarang menggunakan kata anda sebagai kata ganti ketika salah satu
anak buah Ali Baba memanggil Mapata. Dengan tidak menggunakan kata ganti kau atau kamu
7

hal itu menunjukkan adanya sebuah rasa menghargai, sekalipun lawan bicaranya merupakan
seorang yang dianggap rendah.

Identitas
Fungsi identitas menegaskan peran diskursus dalam mengkonstruksi identitas sosial
anggota masyarakat. (Munfarida, 2016:7). Adanya penggambaran identitas khalayak,
pastisipan yang terdapat dalam teks akan diketahui juga identitas hubungan antar personal
dalam wacana atau teks sehingga dapat diketahui berdasarkan interaksi-interaksi dalam teks.
(1) Lelaki empat puluhan yang dilempari itu, membuka mulut, tapi yang
terdengar hanya kalimat tak jelas. (TSB 3:1)

Pada data (1) penggunaan frasa lelaki empat puluhan sebagai pengganti Mapata
menunjukkan bahwa pengarang menempatkan Mapata sebagai orang asing, taksiran -an pada
kata puluhan menunjukkan bahwa belum ada kepastian umur yang diketahui dari Mapata.

(2) Pria bergamis hitam, gemuk, jangkung, berkumis,berjanggut, dan


cambangnya membentuk setengah lingkaran di wajah. Seingat Mapata,
lelaki pertama itu bernama Ali Baba, ia memperkenalkan diri di hari
pertama sebagai Ali Baba. Baba hanya lekatan karena tanda lahir sebesar
telapak tangan di pipi kirinya, yang dalam bahasa Bugis disebut ‘baba’.
(TSB 5:2)

Pada data (2) terdapat gambaran identitas yang dituliskan pengarang untuk
menjelaskan identitas dari seorang tokoh penjahat yang bernama Ali Baba.

(3) “Mereka datang ke kampung Puang seperti sekelompok gembalaan yang


menghindari hujan.” (TSB 10:2)

Pada data (3) terdapat gambaran identitas dari para tentara yang datang, yakni
diibaratkan sebagai sekelompok gembalaan.

(4) Lelaki Menjijikan Level bla-bla-bla ia penculik yang baik hati meski
tampangnya sungguh bodoh. Selain kantong plastik untuk wadah kotoran,
ia juga bertugas membawakan makanan dan air dalam jeriken satu liter,
setiap dua hari sekali. (TSB 25:1)

Pada data (4) pengarang secara gamblang menggambarkan identitas dari tokoh tersebut
sebagai sosok yang baik meskipun bodoh.

(5) Terdengar suara robekan sesuatu. Entah apa. Tailaso! Mapata mengaduh
hanya bisa melakukan itu merasa telinga kananya panas kemudian
melihat ceceran darah di lantai. Dia akhirnya sadar, Ali Baba baru saja
mencopot antingnya. (TSB 39:2)

Penggunaan kata tailaso pada data (5) menunjukkan adanya kekesalan, diksi tersebut
merupakan sebuah umpatan bahasa Bugis. Penggunaan frasa Mapata mengaduh yang
merupakan frasa aktif menunjukkan bahwa pengarang ingin pembaca fokus pada tokoh utama
yang mendapat perlakuan kekerasan. Selain itu, penggunaan anting juga memperlihatkan
bahwa salah satu identitas bissu adalah memakai anting.
8

Praktik Wacana

Merupakan praktik diskursus yang menentukan bagaimana terbentuknya sebuah teks.


Aspek tersebut dibentuk oleh praktik sosial sehingga dapat interpretasikan. Praktik wacana
merupakan latar belakang penciptaan sebuah teks.

Produksi Teks
Produksi teks pada objek penelitian ini dapat diketahui dari latar belakang pengarang
novel TSB yang merupakan seorang berdarah Bugis dan penduduk asli Sulawesi Selatan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dalam karya TSB penulis secara tidak langsung mengambil dari
nilai yang ada dalam masyarakat sekitarnya.
Faisal Oddang sebagai alumnus Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin juga
merupakan individu yang lahir di Wajo, Sulawesi Selatan. Novel TSB tidak jauh berbeda
dengan karya-karya Faisal Oddang yang lain, kerapkali mengambil persoalan dengan latar
belakang dan mengambil sudut pandang masyarakat Sulawesi Selatan. Sebagai seorang yang
berasal dari suku Bugis dan tumbuh besar di sana, karya-karyanya merupakan jelmaan dari
dirinya dalam berbagai bentuk.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan adanya novel TSB, sebagai karya mutakhir banyak
mengisahkan kehidupan bissu dan kepercayaan tradisional Bugis. Pada bagian akhir buku,
Faisal juga menuliskan surat kepada pembaca yang berisi keterangan bahwa menulis kisah
rekaan yang berangkat dari peristiwa sejarah menjadi sebuah jalan terjal. Ini membuktikan
bahwa novel TSB merupakan kisah fiktif namun berdasarkan riset dari berbagai buku sejarah
tentang Sulawesi Selatan.
(1) “Bissu – para penyambung lidah masyarakat Bugis dengan Tuhan,
Dewata Sewwae.” (TSB 11: 1)

Pada data (1) digambarkan bahwa bissu merupakan tokoh penting dan merupakan
pendeta bagi kepercayaan tradisional Bugis. Kutipan data tersebut menunjukkan adanya
pengaruh lingkungan pengarang yang kemudian diikutikan dalam produksi teks tersebut.
Seperti yang diungkapkan Said (2016: 2) Dalam struktur budaya Bugis, peran bissu tergolong
istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator manusia
dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit (Basa
Torilangi.)

(2) “Saya tidak hidup di masa itu, tidak terlibat apapun, tidak untuk DI/TII,
tidak untuk permesta, tidak untuk peristiwa rabu pagi, tidak untuk
ketiganya.” (TSB 14: 4)

Gerakan pembantaian besar-besaran itu tertuju pada bissu dan mereka yang percaya
akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang merupakan partai terlarang saat itu (Said, 2016:5). Mapata sebagai
mantan bissu juga menjadi korban, melalui kejadian pada data (2) pengarang ingin
menunjukkan adanya realitas yang pernah ada dalam sejarah Indonesia. Dari kutipan tersebut
terlihat bahwa pengarang melakukan riset terhadap sejarah dan menuangkan kepingan realitas
yang pernah ada dalam karyanya.

(3) Kesatuan Gerilja Sulawesi Selatan (KGSS) mengadakan pertemuan besar


di Maros. Mereka ingin diakui TNI, itulah penyebab perang dan ratusan
Bissu dibunuh.( TSB 15:2)
9

Peristiwa dibunuhnya para bissu pada data (3) ini juga merupakan salah satu sejarah
yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Bahkan pada karya sebelumnya Faisal juga pernah
menuliskan peristiwa tersebut Pada tahun 2014 Faisal yang mendapat penghargaan Asean
Young Writer Award 2014 atas tulisannya berjudul “Jangan Tanyakan tentang Mereka yang
Memotong Lidahku”. Di sana dirinya mencoba menceritakan kasus 1965, tentang komunisme
yang menjadi alasan dibasminya pendeta Bugis yang memiliki kepercayaan tradisional Bugis.
(4) Bissu di Bone, Soppeng, Pangkep, dan Wajo mendapatkan mimpi yang
sama. (TSB 16:2)

Daerah yang disebutkan pada data (4) merupakan beberapa daerah di Sulawesi Selatan
yang terdapat banyak komunitas bissu. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Wajo
menjadikan adanya kenyataan tersebut berpengaruh dalam proses produksi teks novel TSB.
Keberadaan Bissu ada di semua daerah atau kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan karena telah
menjadi bagian integral dari kosmologi masyarakat Bugis. Hingga saat ini daerah yang masih
teguh melaksanakan adat istiadat Bugis. (Wahyuni, 2014:136)
Konsumsi Teks
Konsumsi teks berkaitan dengan relevansi antara suatu wacana yang diciptakan dengan
kehidupan. Dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang relevan, seperti kehidupan para Toboto
ataupun Bissu di Sulawesi Selatan sebagai kelompok masyarakat yang menjadi tokoh religi
adat Bugis.
Dari sudut pandang pembaca, dapat diketahui bahwa novel ini memberikan banyak
pengetahuan sejarah. Sehingga terkadang terasa bias, apakah kisah ini fiksi atau realita.
Pembaca diajak memutar kebali pada putaran waktu yang pernah ada, peristiwa demi peristiwa
sejarah yang pernah terjadi disajikan dalam narasi yang menari dan tidak membosankan.
Melalui karya ini pengarang juga menunjukkan ideologi-ideologi yang pernah ada di indonesia
serta peristiwa kelam yang pernah terjadi. Unsur kekelaman dibungkus dalam kisah tragedi
yang epik, pertempuran dan perlawanan antara satu kelompok masyarakat dan kelompok
masyarakat yang lain.
Relevansi lain yakni, keberadaan Bissu di Sulawesi Selatan hingga saat ini masih ada,
namun keberadaan dan perannya tidak sama lagi seperti zaman dahulu. Kini para bissu yang
ada hanya bisa dihitung dengan jari, adanya perkembangan zaman, ideologi, dan kepercayaan
menjadikan bissu termasuk kaum minoritas yang tidak lagi memiliki banyak keistimewaan.
Praktik Sosial Budaya
Praktik sosial budaya melihat adanya hubungan lebih jauh hingga pada tataran konteks
sosial atau keadaan yang menjadi latar belakang terbentuknya wacana, (Sobur, 2004: 54). Pada
praktik sosial adanya institusi menjadi penentu atas produksi media. Faktor sosial melihat
keberadaan aspek makro seperti sistem politik, ekonomi dan budaya pada masyarakat yang
secara keseluruhan berpengaruh terhadap wacana yang muncul. Senada dengan yang
dingkapkan Fairclough (1992:24) bahwa wacana sebagai bentuk praktik sosial. hal itu karena
bahasa adalah bagian dari masyarakat.
Institusional
Fairclough (1992:26) Institusi sosial memiliki kekuasaan dan dominasi berkelanjutan.
lembaga-lembaga tersebut secara langsung atau tidak seringkali mewujudkan asumsi dan
hubungan kekuasaan yang ada. Level institusional memandang adanya pengaruh
institusi/organisasi dalam praktik produksi sebuah wacana. Selain itu keberadaan faktor
institusi lain yang berpengaruh yaitu sistem politik. Level institusional pada novel TSB
mencakup adanya organisasi, institusi pada masyarakat suku Bugis seperti DI/TII yang cukup
berpengaruh dalam situasi masyarakat sekitar.
10

(1) KNIL merupakan penyebab kemarahan orang-orang Sulawesi Selatan,


khususnya mereka yang ikut berjuang dalam KGSS. (TSB 18:1)

Kejadian pada data (1) sesuai dengan yang diungkapkan Sjah (2009:38), kelompok-
kelompok grilya yang tumbuh karena hadirnya tantara KNIL Hindia Belanda di Sulawesi. Dari
sini dapat diketahui adanya pengaruh adanya KNIL di lingkungan masyarakat Sulawesi
Selatan. Kedatangannya menjadi penyebab pemberontakan dan menimbulkan kemarahan.

(2) “Lelah betul rasanya jika harus menjelaskan berkali-kali bahwa saya
tidak sedang dalam upaya untuk memberontak terhadap negara. Sekali
lagi tegaskan bahwa organisasi kami yang dicurigai itu, tidak ada urusan
apapun.”(TSB 37:1)

Pada data (2) Mapata, seorang mantan bissu dianggap seorang yang memberontak
terhadap negara. Hal ini didasarkan pada sejarah masa lalu bissu yang melakukan
pemberontakan terhadap tentara ketika terjadi pertengkaran antara bissu dan prajurit TII, yang
mana ketika itu para bissu dibantai sebab dianggap menyalahi agama dan kodratnya.

(3) Andi Upe, bangsawan dan berpangkat cukup tinggi. Dia telah lama
berjuang. Ketika ditawari menjadi prajurit biasa yang baginya menghina
kebangsawanan dan pengorbananya untuk bangsa maka, tidak salah jika
Andi Upe ingin memberontak. (39:3)

Dalam data (3) pada masa itu, orang-orang dengan gelar bangsawan dengan mudah
bisa masuk dalam barisan parjurit. Hal itu digunakan untuk menarik pasukan agar mau yang
mengikuti.

(4) Di Makasar pada waktu itu, terjadi demonstrasi besar-besaran menuntut


pembubaran Negara Indonesia Timur menyusul bubarnya Negara
Pasundan. (39:4)

Narasi pada data (4) juga pernah ada demo pembubaran NIT terjadi pada 17 Maret
1950. Adapun NIT terdiri dari 13 daerah otonomi: Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan
Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba,
Timor dan Kepulauan, Maluku Selatan dan Maluku Utara.

(5) Gurilla atau pasukan gerilya kata orang-orang, tidak sepakat jika di
Sulawesi Selatan ini lebih banyak dipimpin orang Jawa. Ketika terjadi
perang antara gurilla dan tentara Jawa, rakyat hidup sangat tersiksa.
Konon, kata orang-orang, jika tentara Jawa datang, mereka harus pura-
pura membenci gurilla dan jika gurilla yang muncul maka
berhamburanlah makian kepada tentara Jawa. (TSB 74:2)

Pengaruh adanya orang yang berkuasa pada data (5), dalam hal ini para tentara gurilla
dan tentara Jawa menjadikan rakyat seolah-olah harus berpihak kepada mereka. Kedatangan
mereka menjadikan rakyat tersiksa, para tentara Jawa tersebut mengambil makanan dari
lumbung para rakyat, dan jika tentara gurilla tahu maka dibakarlah lumbung tersebut agar
mereka tidak memperoleh sumber makanan.

Situasional
11

Level situasional merupakan sebuah konteks sosial teks. Sebuah produksi teks atau
wacana yang dihasilkan dalam kondisi yang unik, khas sehingga berbeda dengan yang lain.
Fairclough (1992: 72) Wacana adalah bagian tak terpisahkan dari situasi perjuangan yang
kompleks. Selain itu juga merupakan atas respons situasi atau kondisi sosial tertentu. Level
situasional pada penelitian ini penulis dalam novel TSB menciptakan kondisi yang unik, yakni
dengan mengungkap bagian sejarah Indonesia bagian timur, lebih tepatnya kehidupan
masyarakat Bugis.
(1) “Mereka datang ke kampung Puang seperti sekelompok kambing
gembalaan yang sedang menghindari hujan. Mereka datang sebagai
sahabat, mereka tentara-tentara Jawa itu berubah menjadi seperti tentara
gurilla, sama-sama membuat warga tidak tenang. Warga bertambah
mengutuk perang.” (TSB 10:2)

Kutipan data (1) di atas menggambarkan situasi sosial yang kacau. Kehidupan
masyarakat kacau dan kedatangan tentara diibaratkan sekelompok gembalaan kambing yang
datang musim hujan, ini berarti bahwa mereka datang secara tiba-tiba dan berbondong-
bondong.

(2) Tentara gurilla atau tentara gerilya akan turun dari gunung mencari
orang-orang yang dianggap menyalahi ketentuan agama. (TSB 11:1)

Situasi yang digambarkan pada data (2) menggambarkan adanya konflik dan
kerusuhan melalui adanya perburuan bissu oleh para tentara. Para bissu dianggap menyalahi
agama, ini menunjukkan adanya pertentangan antar ideologi antara bissu dan tentara.

(3) Puncak ketidakpuasan pejuang—pejuang Sulawesi Selatan adalah


puncak penderitaan bagi para Bissu. (TSB 11:2)

Kondisi menyengsarakan bissu pada data (3) akibat dari ketidakpuasaan pejuang
Sulawesi Selatan. Pejuang tersebut tidak puas apabila masih ada kelompok bissu yang tidak
mau mengikuti mereka dan meninggalkan kepercayaan tradisional mereka. Said (2016:6)
Gerombolan lantas melakukan serangan terhadap bissu, mereka membakar berbagai peralatan
upacara para bissu. Bahkan melakukan pembunuhan kepada para bissu yang dianggap tidak
mau bertaubat. Inilah masa yang dianggap bissu sebagai masa hitam dalam sejarah
eksistensinya.

(4) “Tentu saja ini tidak cukup, besok harus kau tulis lagi, siapa suruh tidak
bisa bicara. Rasakan sendiri! Atau jika menolak, kau langsung kami
putuskan bersalah lalu copot satu persatu kau punya organ tubuh,
paham?” (TSB 12:2)

Pada data (4) terlihat situasi yang menggambarkan adanya ancaman. Tokoh Ali Baba
mengancam Mapata. Jika perintahnya tidak dituruti maka Ali Baba akan menyiksa Mapata.
Adanya sebuah ancaman menimbulkan situasi yang tidak nyaman dan penuh kekhawatiran.
Hal tersebut menjadikan orang yang diancam akan berusaha menepati apa yang diinginkan si
pengancam.

(5) “Kini yang tersisa dapat dihitung jari, puluhan bahkan ratusan Bissu
telah bersama Dewata Sewwae, menjaga kita dari langit.” (TSB 17:2)
12

Pada data (5) terdapat narasi yang menggambarkan bahwa situasi yang terjadi pada
komunitas bissu begitu menyedihkan. Banyak bissu yang meninggal digambarkan dengan
kebersamaan bissu di sisi Dewata Sewwae, sehingga bissu yang masih ada tersisa sedikit.

Sosial
Pada tataran sosial, wacana yang ada ditentukan berdasarkan perubahan masyarakat.
Pada level sosial, suatu budaya masyarakat ikut menjadi penentu perkembangan atas suatu
wacana. Jika level situasional mengarah ke suasana mikro dalam arti waktu, aspek sosial lebih
memandang adanya aspek makro seperti politik, budaya, dan sistem ekonomi. Sistem tersebut
menentukan nilai yang dominan dan mengungkap nilai dari budaya sosial dalam suatu
kelompok masyarakat. Dalam menganalisis praktek sosial Fairclough (1995: 65) berfokus pada
politik terhadap peristiwa wacana yang behubungan dengan kekuasaan dan dominasi.
(1) “Kau rasakan sendiri akibatnya main-main sama negara, apalagi sama
agama beginilah jadinya! Sekarang kau jelas dari catatanmu kau tidak
punya agama dan kau punya organisasi itu terlibat perang, toh?” (TSB
14:1)

Pada data (1) terlihat adanya unsur politik yang ikut terlibat. Seorang yang diculik
dianggap sebagai orang yang tidak beragama dan melawan ideologi negara. Hal itu senanda
dengan ungkapan Supriyadi (2015:7) bahwasannya adanya praktik tidak lepas dari proses
kompetisi ideologi.

(2) “Perang hanya perbuatan sia-sia yang mengatasnamakan kehidupan


yang lebih baik – tetapi sungguh omong kosong. Kita dihukum atas
kesalahan orang lain dan kebenaran tidak pernah berpihak pada kaum
yang lemah seperti Bissu” (TSB 15:2)

Data (2) pengarang menyisipkan nilai sosial bahwasannya perang merupakan suatu
tindakan yang berdampak buruk. Ada pihak yang sengsara dan menjadi korban. Dalam hal ini
para bissu yang menjadi korban.

(3) “Bissu di Bone, Soppeng, Pangkep, dan Wajo mendapatkan mimpi yang
sama. Kami yakin mimpi itu dari Dewata Sewwae, mimpi sekaligus isyarat
hati-hati. Dalam mimpi dilihatnya orang berpesta tujuh hari tujuh malam
menyambut panen padi yang berhasil. Lumbung penuh sesak, dan orang-
orang bergembira. Ketika pesta selesai ratusan tikus dan ayam meninggal
dalam lumbung milik warga – kucing penjaga lumbung juga mati
tercabik-cabik.”(TSB 16:2)

Narasi data (3) menggambarkan adanya nilai yang dipercaya oleh kelompok bissu.
Melalui isyarat mimpi para bissu percaya bahwasannya hal tersebut merupakan isyarat dan
wahyu dari Dewata. Oleh sebab itu, mereka harus berhati-hati dan berjaga-jaga atas
kemungkinan yang akan terjadi.

(4) “Hidup itu, nak adalah perang melawan masa lalu dan pertaruhan untuk
mengalahkan masa depan. Kelak ketika sudah tidak memiliki apa-apa,
ketika telah kehilangan segalanya – satu-satunya yang kau miliki
hanyalah masa lalu. Karena itu kau harus mengalahkannya untuk
memenangkan masa depan.”(TSB 20:2)
13

Pada data (4) orang Bugis memegang teguh pedoman bahwasannya hidup adalah
sebuah pertarungan. Oleh sebab itu manusia harusnya memperjuangkan itu dan tidak boleh
kalah oleh masa lalu.

(5) Banyak Bissu yang harus menemui nenek moyangnya di akhirat dan
barangkali karena keberanian itu mereka dianggap menentang gurilla
yang akhirnya semakin beringas dam tidak peduli lagi tujuan awal mereka
untuk mengislamkan malah beralih pada akhirnya untuk membunuh para
Bissu tak bersalah itu. (TSB 22:1)

Pada data (5) para bissu percaya bahwa kematian akibat pertempuran dengan para
gurilla adalah tindakan mulia. Oleh karena itu mereka tidak menyerah terhadap para tentara
yang ingin menjadikan mereka orang Islam, bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa
mereka.

Simpulan

Pada tataran analisis stuktur teks terdapat representasi berupa representai anak
kalimat, kombinasi anak kalimat, dan kombinasi antar kalimat. Representasi anak kalimat
berbentuk pemilihan diksi dan frasa kalimat aktif, dan pemilihan diksi raja. Representasi anak
kalimat terdapat pada adanya unsur kohesi berupa penggunaan pronomina dan repetisi, serta
unsur koherensi berupa adanya elaborasi, ekstensi, dan perluasan. Adapun representasi antar
kalimat berupa penggunaan konjungsi, tetapi, maka, karena. Pada bagian relasi terdapat
hubungan kekerabatan, pertemanan, permusuhan, hegemoni, feodalisme. Bentuk relasi
kekerabatan seperti Batari dan Mapata sebagai suami istri, Mapata dengan Ayah dan Ibunya,
Walida dan Mapata sebagai Anak dan orang tua. Terdapat hubungan pertemanan antara Batari
dan Mapata, tentara gurilla dan bissu, Rusmi dan Andi Upe. Serta bentuk hubungan
permusuhan TII dan Bissu, Mapata dan Sukeri, Ali Baba dan Mapata. Relasi lain yakni
praktik adanya feodalisme antara toboto dan bissu, bissu dan masyarakat. Terakhir adanya
relasi hegemoni, yang berbentuk kekuasaan atas kelompok lemah, penyiksaan, dan kekerasan
verbal, antara Ali Baba selaku penculik dan penjahat, kekerasan pertengkaran antara TII dan
komunitas bissu. Sedangkan analisis identitas dalam novel TSB karya Faisal Oddang dapat
dilihat adanya penggambaran identitas Mapata sebagai tokoh utama, Ali Baba sebagai
penjahat dan penculik, identitas sekelompok tentara TII, gurilla, serta identitas Bugis yang
banyak ditemukan. Adapun adanya pengungkapan identitas Bugis seperti, penggunaan kata
umpatan tailaso,penyebutan kitab la Galigo, dewata, adanya ritual, bissu dan toboto. Selain
itu juga terdapat identitas Islam yakni dalam penyebutan abba sebagai kata ganti ayah, serta
adanya kebencian terhadap orang yang menyalahi agama dan kodrat.

Kedua, pada tataran praktik wacana, produksi teks pada novel TSB karya Faisal
Oddang tidak lepas dari latar belakang penulis yang merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan
dan Suku Bugis. Selain itu adanya salah satu perisitiwa sejarah Indonesia yang pernah berpusat
di Sulawesi Selatan turut menjadi faktor pengaruh adanya produksi teks ini. Sedangkan
konsumsi teks yakni adanya relevansi lain yakni, keberadaan Bissu di Sulawesi Selatan hingga
saat ini masih ada, namun keberadaan dan perannya tidak sama lagi seperti zaman dahulu. Kini
para bissu yang ada hanya bisa dihitung dengan jari, adanya perkembangan zaman, ideologi,
dan kepercayaan menjadikan bissu termasuk kaum minoritas yang tidak lagi memiliki banyak
keistimewaan.
Ketiga, pada tataran praktik sosial budaya, level institusional terdapat adanya pengaruh
organisasi, seperti komunitas adat dan bissu, kelompok DII/TII, gurilla. Kemunculan institusi
14

tersebut memunculkan adanya wacana, persuasivitas, hingga pertentangan antarideologi.


Adapun level situasional terdapat beberapa situasi berikut: situasi penuh kekacauan yang
diakibatkan adanya kelompok tentara yang tiba-tiba datang dan memburu bissu, konflik akibat
perburuan bissu yang dilakukan TII, pembantaian para bissu, adanya ancaman yang dialami
tokoh Mapata oleh Ali Baba, situasi berduka akibat kematian para bissu, penggambaran situasi
rumah arajang yang digunakan sebagai tempat menyimpan pusaka dan melakukan ritual,
situasi perdebatan para bissu dan TII, dan situasi penyekapan dan penculikan Mapata.
Sedangkan praktik sosial budaya, yakni adanya praktik pertentangan ideologi antara
bissu, TII, Mapata, dan Ali baba. Adanya pengungkapan nilai sosial kehidupan, seperti
memegang teguh adat, tidak putus asa dan menyerah, religiusitas dengan percaya bahwa bissu
adalah utusan dewa. Praktik sosial lain yakni adanya praktik pengkhianatan pada tentara.
Adanya praktik feodalisme bahwa raja memiliki wewenang memberikan tanah dan
kesejahteraan pada bissu. Dengan demikian dapat diketahui ideologi, nilai sosial, praktik kuasa
dari kelompok-kelompok sosial.

Saran
a. Bagi bidang pembelajaran, uraian hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan tambahan
bagi pendidik dalam mata kuliah analisis wacana
b. Bagi pembaca, uraian hasil penelitian ini dapat menjadi sarana wawasan tambahan agar
lebih mengetahui ideologi yang disisipkan pengarang dalam karya yang dibuatnya,
khususnya pada novel TSB karya Faisal Oddang.
c. Bagi peneliti lanjutan, agar dapat dikembangkan lebih kritis lagi dalam mengungkap
ideologi dengan menggunakan teori AWK Norman Fairclough sehingga dapat dijadikan
referensi bagi penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
A gustin, Dewi Khofsoh Istianatul. 2013. Analisis Wacana Kritis Pada Novel Ksatria Pembela Kurawa
Narasoma Karya Pitoyo Amrih. Jurnal Skriptorium Vol. 2 No.1.

Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Bahfiarti, Tuti. 2011. Mistifikasi Bissu dalam Upacara Ritual Adat Etnik Bugis Makassar (Kajian Studi
Dramaturgi). Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol 1 No 2.

Bahtiar, Ansaar, Sritimuryati. 2019. Peristiwa Andi Azis Di Sulawesi Selatan 5 April 1950. Jurnal
Seminar Series in Humanities and Social Sciences No. 1 (2019). Pdf

Endraswara. Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widyatama.

Eriyanto. 2001/2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: the Critical Study Of Language. New York:
Longman Publishing. E-Book.

Faruk. 2015. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haryatmoko. 2016. Analisis Wacana Kritis (Landasan Teori, Metodologi, dan Penerapan). Depok:
Rajawali Pers

Ibrahim. 2015. Metode Penelitian Kualitatif: Panduan Penelitian Beserta Contoh Proposal Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
15

Jorgensen, Marianne W. Louise J. Phillips. 2017. Analisis Wacana Kritis Teori dan Metode. Jogjakarta:
Pustaka Pelajar.

Moeloeng, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Nasulloh, Zulfa. 2015. “Pengakuan Faisal Oddang, Pemenang Cerpen Pilihan Kompas 2014”,
(Online), http://www.buruan.co/pengakuan-faisal-oddang-pemenang-cerpen-pilihan-kompas-
2014/. Diakses pada 15 Juni 2020.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Oddang, Faisal. 2018. Tiba Sebelum Berangkat. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Pebrianto, Muhammad Gigih. 2018. Pandangan Pengarang dalam Novel Puya ke Puya Karya Faisal
Oddang: Tinjauan Strukturalisme Genetik. Skripsi. Bangkalan: Universitas Trunojoyo Madura.

Priambodo, Marcelinus Justian. 2019. Apresiasi Sastra Indonesia Melalui Pelestarian Kebudayaan
Daerah. (Online), http://www.balairungpress.com/2019/08/apresiasi-sastra-indonesia-melalui-
pelestarian-kebudayaan-daerah/. Diakses pada 15 Juni 2020.

Primana, Isma Yudi. 2016. Wacana Etnosentrisme Dalam Novel (Analisis Wacana Kritis dalam Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck). Skripsi. Lampung: Universitas Lampung.

Rizy, Purnama Ayu. 2018. Kala Faisal Oddang Bicara Gender Kelima. (Online),
https://www.alinea.id/gaya-hidup/kala-faisal-oddang-bicara-gender-kelima-b1U2A9cJY.
Diakses pada 15 Juni 2020.

Said, Mohammad. 2016. Peran Bissu Pada Masyarakat Bugis. Prosiding Seminar Nasional. Makassar:
Universitas Negeri Makassar.

Sari, Fitri Meliya. 2015. Perempuan Aceh dalam Media Massa (Analisis Wacana Kritis Norman
Fairclough Pada Berita Kekerasan di Situs Merdeka.Com. Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.

Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoned Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah
Indonesia Jilid VI. Jakarta: CV. Turnaritis.

Semi, M. Atar. 2008. Terampil Membuat Buku Harian dan Surat Pribadi. Bandung: Titian Ilmu.

Silalahi, Tumpal Marudut. 2014. Representasi Pluralisme Dalam Lirik Lagu Unity Karya Barry
Likumahuwa (Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough Tentang Representasi Pluralisme
Dalam Lirik Lagu Unity Karya Barry Likumahuwa). Bandung: Universitas Komputer
Indonesia.

Siswantoro. 2016. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sjaf. Sofjan, Muhammad Zid. 2009. Sejarah Perkembangan Desa Bugis - Makassar Sulawesi Selatan.
Jurnal Sejarah Lontar Vol. 6 No. 2. Pdf

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analsis wacana, Semiotika, dan
framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
16

Sujarweni, V. Wiratna. 2014. Metodologi Penelitian Lengkap, Praktis, dan Mudah Dipahami.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Suntini, Sun. 2017. Analisis Wacana Kritis Pada Novel “Perempuan Di Titik Nol” Karya Nawal El
Saadawi Ditinjau Dari Tokoh Dan Perwatakan, Konflik Serta Amanat. Vol 11 no 2. Pdf

Supriyadi. 2015. Analisis Wacana Kritis: Konsep dan Fungsinya Bagi Masyarakat. Pdf

Suyitno, 2018. Metode Penelitian Kualitatif: Konsep,Prinsip dan Operasionalnya. Tulungagung :


Akademia Pustaka.

Uljanah, Ummamah Nisa. 2017. Gerakan Perlawanan Perempuan dalam Novel (Analisis Wacana Kritis
Sara Mills dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari). Skripsi. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.

Wodak, Ruth. Meyer, Michael. 2001. Methods Of Critical Discourse Analysis. London: SAGE
Publications. e-Book

Wahyuni. 2014. Sosiologi Bugis Makassar. Makassar: UIN Alaudin Press

Вам также может понравиться