Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
risis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah
K berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni
lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup
dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya
disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti
kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah
selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan
peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan
kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2
dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran
relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca
berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih
cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Lihat Tabel.
Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan
domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi
tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan
kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam
jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana
dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi
juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih
mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang
badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada,
yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang
datang mengancam.
*) Tulisan ini merupakan revisi dan updating dari pidato pengukuhan Guru Besar Madya pada FEUI dengan judul
“Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF”, Jakarta, 10 Juni 1998.
**) Lepi T. Tarmidi : Wakil Kepala Pusat Kajian APEC, Universitas Indonesia, email : lepi@lpem.feui.org
2
INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997
* Tahun anggaran
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia;
World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 3
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar
AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed
floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank
Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai
tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah
kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997
menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi
sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri,
ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis
finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-
sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang
pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli
1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini,
dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir
utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan
1 Dalam teori, overshooting nilai tukar biasanya bersifat sementara untuk kemudian mencari keseimbangan jangka
panjang baru. Tetapi selama krisis ini berlangsung, nilai overshooting adalah sangat besar dan sudah berlangsung
sejak akhir tahun 1997.
4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah
menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan
keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah
ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan
Presiden Soeharto pada waktu itu.
Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat
tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda
menurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari
berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1) Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim
devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesar-
besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening
valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri,
sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
2) Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan
pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari
kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama
makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga
proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan
produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang
kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor
menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini
sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan
nilai tukar yang nyata.
3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan
juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi
utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang
sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa
tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 5
bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena
telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah
terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam
rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah.
Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian
dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah.
Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan
pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga
memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin
besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh
pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap
utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah
dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar
negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu
gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2 , di mana pengusaha
beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah
jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak
memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut
bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi
keadaan (bandingkan IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga
ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun
masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital
outflow3 yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan
bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar
negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri
pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya
relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.
Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan
diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah
US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge
(Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati
selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22), misalnya
2 Yang dimaksud di sini adalah perilaku pengusaha yang bertindak atas pertimbangan dirinya sendiri tanpa mengetahui
apa yang dilakukan oleh pengusaha lainnya. Misalnya pengusaha ramai-ramai mendiri-kan apotik, membuka
tambak udang, membangun realestat dan kondomium.
3 Total pembayaran cicilan utang pokok dan bunga setelah dikurangi pinjaman baru.
6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah
besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah (bandingkan IDE). Ditambah
lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai
rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya.
Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak
yang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan
untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga
jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali
(Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang
dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak
menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resort
pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9;
IMF Research Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidak
menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit
sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar
negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand
dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis
di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi
investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari
dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge
(World Bank, 1998, hal. 1.4).
4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal
sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa
yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan
dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri
sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga
meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya
mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena
tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi
mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian
dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam
jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan
pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu
mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS (Wessel et al., hal. 1).
Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara
Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian
menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia (Nasution: 1; IMF Research
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 7
Department Staff: 10; IMF, 1998: 5). Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait
di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari
persetujuan IMF 15 Januari 1998).
5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita
batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan
mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal
14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas
dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih
berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis
menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk
memberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).
6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE),
yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor
dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah
yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah
dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7) Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diming-
imingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World
Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan
luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar
dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil
sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir
masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana
modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga
yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak
pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5).
Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p. 2.1).
8) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga
menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan
perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang
menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman
IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan
mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan
8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak
pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah
mempertajam dan memperpanjang krisis.
9. Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidak
semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim
perbankan untuk bermain.
10.Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu
membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan
dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap
dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi
dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya
ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember
1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri
karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank,
1998: 1.4, 1.10). Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan
terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan
harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan
kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan
mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru.
11. Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap
dollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata
uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang negara-
negara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur
meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi
dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik
menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar
AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan.
(Ehrke: 2).
Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan
yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun
masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan
perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber
ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang
menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan
yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana
yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 9
jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar
negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor
riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi
sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam
jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS
melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk
mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri,
membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam
dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah
pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial
dan politik.
Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$
11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan
segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya
telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai
kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia
sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. (IMF,
1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-
negara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih
10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
kurang US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini
dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-program
yang diprasyaratkan IMF.
Sebagai perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyar
untuk jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF. Thailand
hanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di antaranya US$ 4 milyar
dari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari Indonesia dan Korea.
Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak
Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi
kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang
ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saran-
saran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan
kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-
pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:
A. Kebijakan makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan.
Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecil-
menengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20
dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan
jumlah yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli,
bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/
Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan
untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman,
rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup
devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei
1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru
akan terlaksana awal bulan September ini.
ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru
untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus
dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup
anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%.
Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang
besar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi
oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar
rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahan
utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar.
J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang
teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi
menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang
dinamakan “konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus
mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas
kesempatan ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa
pencairan bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah
AS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan
menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).
Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya
masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan
penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran
surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin
dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah
peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program
yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorong
ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai
mengatakan bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan.
Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan
visi politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta
konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi
manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti Dewan
Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”. Demikianpun halnya
dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim
perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang
amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini
tidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank
Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat
beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan
pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional
yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal
15 Januari 1998).
Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah
sejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi
yang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika
Serikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju
lainnya yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah
mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996
dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam
jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk
menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus
merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan bantuan tahap
kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah
jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan
ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan
memperparah keadaan. Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang
menjanjikan bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan
yang besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain
pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan
bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutan
reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada
mundurnya Presiden Soeharto.
14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Saran IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang
ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,
dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF
(lihat butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya
tidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali
nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan
permasalahan yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih
dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau,
dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang
didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negara
sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat
dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputar-
putar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor
riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negara-
negara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan
menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia.
Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan
kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda
kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan
berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan
menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih
program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan
nilai tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF
dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari
IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap
masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi struktural
yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus
secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat
dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan
pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan
reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam
diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi
disuruh belajar berenang dahulu.
oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar
yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan
yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan
dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar
nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen,
sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum
terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak
sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya
akan lain, bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat
sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia misalnya.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya
krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa
yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban
mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya
menaikkan harga BBM dan tarif listrik.
Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal
asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang
yang cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan
hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari
perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public.
Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi
bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasai
perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTA
dan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari
keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi
dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah
anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah
menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil?
Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan
pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan
menggunakan kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani: 72-3).
Saran IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan
program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang-
Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).
Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena
IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 17
luar negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMF
bisa bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya.
Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa hikmah.
Secara umum impor barang menurun tajam termasuk impor buah, perjalanan ke luar negeri
dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akan
lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah
meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis
pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukar
rupiah, pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. Hasilnya adalah
perbaikan dalam neraca berjalan. Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiah
mendadak melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri harga beras, gula, kopi
dan sebagainya ikut naik. Sayangnya ekspor yang secara teoretis seharusnya naik, tidak
terjadi, bahkan cenderung sedikit menurun pada sektor barang hasil industri. Meskipun
penerimaan rupiah petani komoditi ekspor meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalam
valas umumnya tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya karena
tahu petani dapat untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami depresiasi
4 Suatu inflasi dikatakan terjadi karena imported inflation bila harga barang-barang di negara pengekspornya naik,
dan ini tidak terjadi.
18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
dalam nilai tukar mata uangnya dan bisa menurunkan harga jual dalam nominasi valas.
Hal yang serupa juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada kesulitan
lain untuk meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan pembukaan L/C dan keadaan
sosial-politik yang belum menentu sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan pesanan
barangnya ke negara lain.
Sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, pada Oktober 1998 ini
jumlah keluarga miskin diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta, sehingga perlu dilancarkan
program-program untuk menunjang mereka yang dikenal sebagai social safety net.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiah
yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang
karena PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat
inflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanya
maka biaya besar yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara drastis.
Namun secara keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih
lebih besar dari dampak positifnya.
Tapi sekali krisis berakhir dan ekonomi berbalik bangkit kembali (rebound), maka
perbaikan ini diperkirakan akan berlangsung relatif cepat. Karena prasarana dasar untuk
pembangunan sudah tersedia, tenaga terlatih, pabrik, mesin-mesin sudah ada, sehingga
yang diperlukan adalah pulihnya kepercayaan dan masuknya modal baru.
Saran-Saran
Krisis moneter telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk menentukan
kebijakan di masa depan, maka upaya yang paling utama dan mendesak bagi Indonesia
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 19
Setelah mendapat pengalaman dari krisis ini, dana asing akan sangat hati-hati masuk
ke Indonesia, begitupun pengusaha domestik akan sangat hati-hati untuk meminjam dari
luar negeri. Ditambah dengan hilangnya insentif untuk meminjam dari luar negeri karena
biaya pinjaman yang lebih rendah diimbangi dengan tingkat depresiasi yang lebih tinggi
dan karena tidak adanya lagi intervensi kurs oleh BI. Dengan demikian sumber utama krisis
di masa lalu untuk masa mendatang sudah dapat dieliminir, sejauh persyaratan di atas bisa
dipenuhi. Dengan demikian, kegiatan ekonomi Indonesia terutama harus ditunjang oleh
kekuatan sendiri berdasarkan dana modal yang tersedia di dalam negeri. Dunia perbankan
nasional juga telah diajarkan dari manfaat jangka panjang untuk bertindak prudent.
Inti dari pemecahan krisis moneter dalam jangka pendek haruslah ditujukan kepada
pencegahan penumpukan pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah,
pada suatu saat tertentu dan membagi (spread-out) pembayaran ini secara merata dalam
jangka waktu yang lebih panjang pada tingkat yang terkendali (manageable).
Beberapa saran dari penulis untuk mengatasi krisis ekonomi dewasa ini adalah
sebagai berikut:
20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Namun pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, harus
bertindak proaktif menghadapi IMF dengan mengajukan saran-sarannya sendiri dan
menolak program-program yang tidak relevan dan cenderung merugikan Indonesia.
2. Membentuk kabinet baru yang terdiri atas teknokrat untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat Indonesia maupun luar negeri akan kesungguhan program reformasi. Dengan
adanya kepercayaan ini, termasuk program reformasi IMF, diharapkan akan terjadi arus
balik devisa dan masuknya modal luar negeri.
4. Menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang riil, artinya tidak lagi overvalued ketika
regim managed floating, bahkan bisa dipertimbangkan untuk membiarkannya sedikit
undervalued untuk meningkatkan daya saing secara internasional dan merangsang
produksi dalam negeri dan ekspor. Nilai tukar nyata yang wajar ini harus dicari dengan
memperhatikan kriteria-kriteria berikut, paling tidak tingkat depresiasi rupiah tidak lebih
rendah dari depresiasi nyatanya. Dengan kurs ini defisit anggaran belanja negara bisa
ditekan, juga tingkat inflasi, pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta dalam
rupiah dapat ditekan sehingga mampu dikembalikan, begitupun harga BBM/listrik dan
pakan ternak, harga barang-barang produksi dalam negeri dapat terjangkau termasuk
sembako dan pabrik-pabrik beroperasi kembali, orang-orang yang menganggur dapat
bekerja kembali, jumlah penduduk miskin dapat ditekan kembali dan jaringan keamanan
sosial tidak lagi diperlukan, biaya angkutan udara bisa diturunkan, perjalanan domestik
dan luar negeri dapat hidup kembali. Dilain pihak kurs dollar AS ini harus cukup tinggi
untuk menahan impor berbagai macam barang dan bahan serta meningkatkan daya
saing produk dalam negeri termasuk buah-buahan, insentif untuk meminjam dana dari
luar negeri hilang, biaya perjalanan ke dan sekolah di luar negeri tetap masih mahal,
yang semuanya mengurangi pengurangan devisa. Sebaliknya daya saing ekspor masih
cukup tinggi, sehingga ekspor masih bisa tetap bergairah. Bila ini disadari sebagai hal
yang utama dan yang paling mendesak untuk mengakhiri krisis ini, maka seluruh daya
upaya dan pikiran dapat diarahkan untuk memecahkan persoalannya.
Kebijakan depresiasi nilai tukar yang relatif besar dampaknya sama seperti kebijakan
proteksi produksi dalam negeri, karena merubah perbandingan harga antara barang
dalam negeri aktif dalam forum-forum internasional seperti APEC, ASEAN, dan
sebagainya untuk mencari pemecahan atas krisis moneter yang sedang melanda banyak
negara Asia Timur. Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkuat nilai tukar mata
uang masing-masing kembali pada tingkat yang wajar. Misalnya dengan mengajukan
gagasan-gagasan pemecahan yang konkrit dan mendesak diadakannya pertemuan-
pertemuan dengan segera. Hingga kini sikap pemerintah Indonesia terkesan pasif.
6. Mengadakan negosiasi ulang utang luar negeri swasta Indonesia dengan para kreditor
untuk meminta penundaan pembayaran, yang sekarang sedang diusahakan oleh Tim
Penanggulangan Utang Luar Negeri Swasta (PULNS) atau Indonesian Debt Restructuring
Agency (INDRA).
22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
7. Mengembalikan stabilitas sosial dan politik dan rasa aman secepatnya sehingga bisa
memulihkan kepercayaan pemilik modal dalam dan luar negeri.
Daftar Kepustakaan
Bello, W. 1998. “Mencari Solusi Alternatif untuk Mengatasi Krisis”, saduran, Jakarta:
Kompas, 1 September, hal. 3.
Ehrke, M.1998. “Pangloss oder die beste aller moeglichen Welten, Ursachen und
Auswirkungen der Asienkrise”, Bonn: Friedrich Ebert Stiftung, Februari.
________. 1998c. “The Asian Crisis and the Changing Role of the IMF”, Washington,
D.C.: Finance & Development, Vol. 35 No. 2, June, pp. 2-5.
Greenwood, J. 1997. “The Lessons of Asia’s Currency Crisis”, Hong Kong: The Asian
Wall Street Journal, 9 Oktober, hal. 6.
Gunawan, A.H., Sri Mulyani I.. 1998. “Krisis Ekonomi Indonesia dan Reformasi (Makro)
Ekonomi”, makalah pada Simposium Kepedulian Universitas Indonesia Terhadap Tatanan
Masa Depan Indonesia”, Kampus UI, Depok, 30 Maret - 1 April.
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 23
Hartcher, P., C. Ryan. 1998. “The IMF Turns Off the Tap”, Australian Financial Review,
May 21.
Hollinger, W.C. 1996. Economic Policy under President Soeharto: Indonesia’s Twenty-Five
Year Record, the United States-Indonesia Society.
IMF. 1997. “IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia”, Washington, D.C., Press
Release No. 97/50, November 5.
IMF. 1997. “IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia”, Press Release No. 97/50,
November 5.
IMF Research Department Staff. 1997. “Capital Flow Sustainability and Speculative
Currency Attacks”, Finance and Development, Washington, D.C.: World Bank, December, hal.
8-11.
IMF Staff. 1998. “The Asian Crisis: Causes and Cures”, Washington, D.C.: Finance &
Development, Vol. 35 No. 2, June, pp.18-21.
Institute of Developing Economies (IDE). 1997. 1998 Economic Outlook for East Asia,
Tokyo, December 9.
Kitamura, K.; T. Tanaka (editors). 1997. Examining Asia’s Tigers, Nine Economies
Challenging Common Structural Problems, Tokyo: Institute of Developing Economies, IDE Spot
Survey.
Krause, L.B. 1994. The Pacific Century: Myth or Reality?, the 1994 Panglaykim Memorial
Lecture, Jakarta: CSIS.
24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
_________. 1998a. “What Happened to Asia”, The Economist, January. Dimuat di Kompas
dengan judul “Di Balik Terjadinya Krisis Keuangan Asia”, 27 Januari, hal. 17.
Montes, M.F. 1998. The Currency Crisis in Southeast Asia, Singapore: ISEAS, 3rd updated
reprint.
Nasution, Anwar. 1997. “Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia”,
makalah pada “1997 Economics Conference”, diselenggarakan bersama oleh USAID, ACAES,
LPEM-FEUI, Jakarta, 17-18 Desember.
Radelet, S., J. Sachs. 1998. “Why Not Let the Banks Own the Debtor Firms?”, The
Sunday Times, Singapore, July 26, p. 28-29.
“Saran Ali Wardhana untuk Atasi Krisis, Ada yang Harus Dilakukan dan yang Harus
Dihindari”, Jakarta: Kompas, 26 Agustus 1998, hal. 3.
Schuman, M., N. Cho. 1997. “South Korea, IMF Agree on Bailout; Economy Is Slated for
Rapid Change”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 4.
Sender, H.1997. “What’s a Fund for?”, Hong Kong: Far Eastern Economic Review,
September 25, hal. 140-2.
Soros, G. 1998. “The Crisis of Global Capitalism”, Hong Kong: The Asian Wall Street
Journal, September 16.
Stiglitz, J. 1998. “Restoring the Asian Miracle”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal,
February 2, hal. 8.
Sri Mulyani Indrawati. 1998. “Kesepakatan Ketiga”, Gatra, No. 25 Tahun IV, Jakarta, 9
Mei, hal. 72-3.
Tarmidi, L.T. 1998a. “APEC dan Krisis Moneter di Kawasan Asia Timur”, majalah
Global, Jakarta, No. 5, hal. 31-38.
___________. 1998b. Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF, pidato pengukuhan
Guru Besar Madya Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni.
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran 25
___________. 1998c. “APEC and the Monetary Crisis in East Asia”, paper presented
at the APEC Study Centre Consortium Conference, Bangi, Malaysia, August 11-13.
“Utang Swasta Sekitar 64 Milyar Dollar AS”, Jakarta: Kompas, 2 Mei 1998.
Wessel, D., B. Davis. 1998. “Crisis Crusaders, Would-Be Keyneses Debate How to
Fight Global Woes”, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, September 28, hal. 1, 16.
Wessel, D., D. McDermott, G. Ip. 1997. “Money Trail: Who Ruptured the Rupiah”,
Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 31, hal. 1, 22.
World Bank. 1994. Indonesia: Stability, Growth and Equity in Repelita VI, May 27.
__________. 1997. Indonesia, Sustaining High Growth with Equity, Report No. 16433-
IND, May 30.
KONSEP CROSS-GUARANTEE
DALAM PROGRAM PENJAMINAN
DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
Tulisan ini mencoba mengetengahkan salah satu bentuk pikiran alternatif dalam program
penjaminan yang dikenal dengan konsep Cross-Guarantee. Sangat berbeda dengan konsep-konsep
lainnya dalam program penjaminan, konsep ini sangat progresif dalam hal mempercayakan
penyelenggaraan penjaminan kepada mekanisme pasar dan meniadakan intervensi pemerintah,
sehingga mengarah sepenuhnya pada swastanisasi baik penyelenggaraan penjaminan maupun
pelaksanaan pengaturan dan pengawasan bank yang menyertainya.
Sebagai suatu konsep yang ditujukan untuk mengatasi berbagai kelemahan deposit insurance
scheme yang berlaku sekarang ini, maka konsep Cross-Guarantee menekankan pentingnya penggunaan
pendekatan risk-sensitive analysis dalam penetapan besarnya premi. Konsep ini juga mengupayakan
adanya perlakuan yang sama untuk bank-bank besar dan bank-bank kecil dalam memper-oleh
penjaminan. Pendekatan Too-Big-To-Fail (TBTF) yang sejak beberapa waktu terakhir telah
menimbulkan inkonsistensi dalam proses penjaminan diharapkan dapat dihilangkan oleh konsep ini.
Apabila diterapkan sepenuhnya, konsep Cross-Guarantee juga akan mengakibatkan perubahan
yang sangat mendasar terhadap seluruh pola dan praktek penjaminan dan pengawasan bank yang
sudah dijalankan selama ini. Dengan merujuk pada ide yang dilontarkan Bert Ely tentang Cross-
Guarantee, dalam tulisan ini akan didalami prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam konsep
tersebut beserta pengaruhnya terhadap pola penjaminan dan pengawasan bank, sekaligus mempelajari
kemungkinan penerapannya di Indonesia.
Pendahuluan
rogram penjaminan merupakan salah satu kebijaksanaan yang diambil pemerintah
Sulit untuk memungkiri bahwa skim penjaminan pemerintah yang bersifat menyeluruh
itu akan sangat memberatkan keuangan pemerintah, khususnya karena tidak sebandingnya
nilai premi dengan cakupan penjaminan disamping adanya peluang untuk melakukan
moral hazard. Untuk tindakan darurat1 , hal tersebut barangkali masih dapat diterima, namun
untuk jangka panjang tampaknya perlu dicari alternatif lain yang memungkinkan
terselenggaranya program penjaminan yang efisien dan efektif. Dalam hubungan ini,
Kusumaningtuti (1999)2 misalnya, telah mencoba mengkaji kemungkinan penggantian
ketentuan blanket guarantee tersebut dengan deposit protection scheme.
1 Menurut V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, tindakan darurat (emergency measures) yang dilakukan bank
sentral dapat berupa pemberian fasilitas lender of last resort, intervensi terhadap bank-bank/lembaga keuangan
bermasalah dan pembentukan deposit insurance. Untuk mendalami masalah ini lebih lanjut lihat tulisan mereka
berdua dalam Banking Crises: Cases and Issues, Editor: V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, International
Monetary Fund, Washington, D.C., 1991.
2 Kusumaningtuti S.S., Ketentuan Blanket Guarantee dan Kemungkinan Penggantiannya dengan Deposit Protection
Scheme, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Vol.1, No.3, Desember 1998.
3 Bert Ely, The Cross-Guarantee Concept and Interbank Markets, Paper dalam “The 35th Annual Conference on
Bank Structure and Competition”, The Federal Reserve Bank of Chicago, 7 Mei 1999.
Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia 33
sekarang ini menghadapi risiko yang lebih besar dibandingkan dengan periode-periode
sebelumnya4 .
Salah satu hal yang memperoleh kritikan adalah mengenai ruang lingkup penjaminan
FDIC yang cenderung agak kurang konsisten sehubungan dengan penerapan pendekatan
“Too-Big-To-Fail” (TBTF). Sebagaimana diketahui, pada dasarnya yang dijamin oleh FDIC
adalah dana pihak ketiga (deposits) maksimum sebesar USD.100.000,- sedangkan non-deposits
liabilities seperti pinjaman yang diterima, komitmen dan kewajiban off-balance sheet serta
kewajiban antar bank di atas USD.100.000 tidak dijamin. Namun dalam hal suatu bank
dinilai TBTF maka seluruh pos kewajibannya akan dijamin, termasuk juga pos pinjaman
subordinasi.
Kritikan berikutnya yang sering ditujukan kepada FDIC adalah berkenaan dengan
penetapan premi yang harus dibayar oleh bank-bank yang ikut penjaminan. Perhitungan
premi oleh FDIC dinilai kurang mencerminkan risiko yang harus ditanggungnya.
Sebagaimana layaknya perusahaan asuransi, seharusnya semakin besar risiko yang
ditanggung semakin besar premi, dan sebaliknya5 . Namun dalam prakteknya prinsip tersebut
ternyata tidak diterapkan karena dua alasan pokok berikut ini. Pertama, pendapatan dari
penanaman dana oleh FDIC jauh melebihi biaya-biaya operasionalnya. Dengan kata lain,
laba yang diperoleh FDIC cukup besar sehingga ketergantungan pada premi menjadi semakin
lebih berkurang. Alasan kedua adalah karena jumlah dana yang ditanamkan oleh FDIC
telah melebihi ketentuan minimum Reserve Ratio (RR) perbankan sebesar 1,25%. Oleh karena
itu, tampaknya hanya dalam FDIC mengalami kerugian dan deposit growth menekan RR di
bawah 1,25% barulah premi akan dinaikkan.
Disamping itu premi yang dikenakan oleh FDIC sekarang ini juga dinilai terlalu
berlebihan (overcharging) untuk bank-bank yang sehat dan terlalu kecil (undercharging) untuk
bank-bank yang bermasalah, sehingga menimbulkan cross-subsidies, yaitu bank-bank yang
4 Adanya risiko yang lebih besar tersebut antara lain dikemukakan oleh Jin-Chuan Duan, Arthur F. Moreau dan
C.W.Sealey dalam “Deposit Insurance and Bank Interest Rate Risk: Pricing and Regulatory Implications”,
Journal of Banking & Finance, No.19 Tahun 1995, hal.1091-1108.
5 Ide agar FDIC menetapkan premi sebagaimana layaknya perusahaan asuransi swasta mula-mula sekali dilontarkan
oleh Merton (1977). Hal ini diungkap dalam tulisan Yoram Landskroner dan Jacob Paroush, “Deposit Insurance
Pricing and Social Welfare”, Journal of Banking & Finance, No.18, Tahun 1994, hal. 531-552.
34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
sehat membayar kewajiban bank-bank yang tidak sehat. Hal ini erat kaitannya dengan
belum diterapkannya secara penuh prinsip risk-sensitive premium sebagaimana yang
dipersyaratkan oleh Section 302 FDICIA6 serta penggunaan alat ukur risiko yang belum
sesuai. Sekarang ini FDIC menggunakan 2 (dua) alat ukur risiko yaitu Capital Levels dan
CAMEL Rating, namun pendekatan ini dinilai kurang ideal dalam perhitungan premi.
Menurut Bert Ely, seharusnya alat ukur yang digunakan adalah leading indicators of banking
risks seperti risk mismatches, rapid growth, weak internal controls dan execessive exposure to emerging
speculative bubbles.
Kritikan lainnya adalah mengenai masih terbukanya peluang untuk melakukan moral
hazard dalam sistem yang berlaku sekarang. Hal ini terjadi karena pada satu pihak FDIC
memiliki kekuasaan besar dalam penentuan premi, sedangkan pihak lain yaitu birokrasi
pemerintah (regulator) berkewajiban untuk meminimumkan kerugian FDIC dan mencegah
kegagalan bank (bank failures). Struktur seperti ini ternyata dapat mengakibatkan terjadinya
regulatory moral hazard pada tingkat pembuat ketentuan, dan potensial untuk berubah menjadi
real moral hazard pada tingkat FDIC. Contoh yang paling baru dari fenomena regulatory moral
hazard ini adalah dalam hal kegagalan BestBank di Boulder, Colorado pada bulan Juli 1998.
6 FDICIA singkatan dari FDIC Improvement Act. Menurut George G.Kaufman, apabila diterapkan secara penuh
maka ketentuan yang tercakup dalam FDICIA dapat efektif menurunkan moral hazard. Selanjutnya lihat George
G.Kaufman, “FDICIA and Bank Capital” dalam Journal of Banking & Finance, No.19, Tahun 1995, hal.721-722.
Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia 35
b. Apabila direct guarantor gagal memenuhi kewajibannya maka guarantor dari direct guarantor
tersebut harus bertanggungjawab. Secara bersama-sama para direct guarantor akan
membentuk suatu sindikat direct guarantor (lihat Lampiran-2). Selanjutnya, secara accrual
accounting setiap direct guarantor akan langsung mengakui dan mencatat kerugian sebesar
share yang harus ditanggungnya apabila bank yang dijaminnya mengalami kegagalan
usaha. Direct guarantor akan melakukan pembayaran dengan menggunakan general funds
(cadangan umum) yang merupakan salah satu unsur modalnya. Dengan cara ini, seluruh
kerugian karena bangkrutnya suatu bank akan langsung diserap oleh modal bank-bank
yang ada dalam sistem perbankan suatu negara. Jumlah modal yang tersedia untuk
menyerap kerugian juga akan semakin besar dan semua itu terjadi atas dasar komitmen
sukarela (committed voluntarily).
d. Sebuah lembaga baru yang disebut Cross Guarantee Regulation Corporation (CGRC) harus
dibentuk. Lembaga ini berfungsi untuk memastikan bahwa perjanjian penjaminan (cross-
guarantee contract) yang disepakati para pihak telah sesuai dengan aturan penyebaran
risiko (risk dispersion rule) serta ketentuan-ketentuan lainnya.
Perlu kiranya dikemukakan bahwa aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule)
merupakan salah satu pilar penting dalam konsep Cross-Guarantee. Aturan ini mencakup
hal-hal sebagai berikut:
♦ Setiap penjamin (guarantor) harus dijamin oleh penjamin-penjamin lainnya dalam suatu
sistem cross-guarantee, minimal untuk menyelesaikan kewajiban cross-guarantee dari
setiap penjamin. Dengan demikian setiap dolar kerugian pasti akan dapat diselesaikan
oleh bank-bank yang berada dalam himpunan para penjamin (the universe of guarantors).
36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
♦ Untuk memastikan bahwa tidak akan pernah ada suatu bank mengalami kegagalan
usaha karena menjadi penjamin maka perlu diberlakukan suatu standard stop-loss rule,
yang menyatakan bahwa “apabila satu penjamin mengalami kerugian cross-guarantee
melebihi lima kali premi yang diperolehnya dalam setahun maka kewajiban cross-
guarantee-nya harus dialihkan kepada direct guarantor-nya.
7 Dalam hal ini premi merupakan proxy terbaik dari cross-guarantee risk.
Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia 37
Dengan swastanisasi penjaminan dan pengawasan bank maka nantinya tidak akan
ada lagi fenomena “satu ketentuan yang berlaku untuk semua” (one-size-must-fit-all government
regulation) yang selama ini merupakan salah satu kelemahan inheren dari ketentuan
perbankan yang dibuat pemerintah. Dalam praktek selama ini sering ditemukan adanya
beberapa ketentuan yang sulit diterapkan karena bersifat terlalu umum dan kurang
mempertimbangkan karakteristik individual bank. Atas dasar konsep Cross-Guarantee ini,
insured banks dapat membuat berbagai ketentuan yang mengatur dirinya secara spesifik
berdasarkan kesepakatan dengan direct guarantor-nya.
Persaingan sehat juga akan terjadi diantara sesama syndicate agent yang akan berfungsi
sebagai pengganti pengawas dan pemeriksa bank yang ada sekarang. Karena kemungkinan
akan banyak perusahaan syndicate agent yang muncul maka direct guarantor diberi
keleluasaan dalam menentukan syndicate agent yang mereka pilih. Hal ini pada gilirannya
dapat mendorong kompetisi yang sehat diantara sesama perusahaan syndicate agent dan
mendorong efisiensi pekerjaan penjaminan.
Manfaat berikutnya dari konsep Cross-Guarantee dapat ditinjau dari segi ruang
lingkup penjaminannya. Tanpa memandang besar kecilnya suatu bank, mereka akan dijamin
sebagaimana layaknya bank-bank lainnya, asal bank-bank tersebut dapat menemukan direct
guarantor-nya. Oleh karena itu, pendekatan TBTF menjadi tidak relevan sama sekali dalam
konsep Cross-Guarantee. Dengan menggunakan konsep Cross-Guarantee, maka transaksi-
transaksi non-funding obligations seperti account payment, unexpired leases dan kewajiban yang
muncul karena tuntutan hukum akan dapat ikut dijamin. Kewajiban yang tidak dapat dijamin
hanyalah pinjaman subordinasi karena memiliki karakteristik campuran (hybrid) hutang
dengan modal. Sama halnya dengan program penjaminan biasa, maka dalam cross-
guarantee, unsur modal juga tidak dijamin8 .
8 Pengecualian hanya terjadi dalam hal TBTF, karena ada kemungkinan pinjaman subordinasinya juga akan ikut
dibayar, tergantung pada bobot permasalahan bank yang TBTF tersebut.
38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
bertransaksi, sehingga mereka perlu saling menjamin dan saling menjaga kestabilan sistem
perbankan. Namun demikian perlu kiranya diingat agar pemilihan konsep Cross-Guarantee
tersebut hendaknya tidak terlepas dari tujuan utama dari program penjaminan, yaitu untuk
mencegah kegagalan pasar perbankan (banking market failure) dan untuk membangkitkan
kembali kepercayaan masyarakat serta menghentikan bank runs9 .
Meskipun dapat dipandang sebagai salah satu alternatif jalan keluar, penerapan
konsep Cross-Guarantee di Indonesia dapat menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang pro
mungkin lebih didasarkan atas adanya peluang besar untuk meringankan beban keuangan
pemerintah, apalagi dalam situasi krisis seperti sekarang. Sementara itu, yang kontra lebih
melihat dari sisi kesiapan perbankan dan kalangan pemerintahan kita dalam menerapkan
konsep dimaksud. Hal yang terakhir ini tampaknya ada benarnya juga karena untuk sampai
pada konsep Cross-Guarantee perlu dijawab terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikut
ini:
√ Apakah bank-bank di Indonesia sudah sedemikian sehat dan kuat sehingga mampu
untuk saling menjamin (cross-guarantee) sesama mereka ?
√ Apakah sistem informasi yang terdapat pada masing-masing bank dan secara nasional
telah sanggup menyediakan data/informasi yang diperlukan untuk penetapan premi
yang sensitif terhadap risiko ?
√ Apakah pihak otoritas pengawas yang ada sekarang berkenan menyerahkan fungsinya
pada mekanisme pasar melalui syndicate agent dan dapat menerima keberadaan Cross
Guarantee Regulation Corporation (CGRC) sebagai lembaga yang akan memverifikasi
perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract) ?.
9 Mengenai hal ini lihat misalnya Kerry Cooper dan Donald R.Fraser, “The Risk of Depository Institution Failure
and The Role of Deposit Insurance” dalam Banking Deregulation and The New Competition in Financial
Services, Ballinger Publishing Company, Cambridge Massachusetts, 1984.
40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Daftar Pustaka
Bert Ely, The Cross-Guarantee Concept and Interbank Markets, Paper dalam “The 35th
Annual Conference on Bank Structure and Competition”, The Federal Reserve Bank of Chicago,
7 Mei 1999.
George G.Kaufman, “FDICIA and Bank Capital” dalam Journal of Banking & Finance,
No.19, Tahun 1995, hal.721-722.
Jin-Chuan Duan, Arthur F.Moreau and C.W.Sealey dalam “Deposit Insurance and
Bank Interest Rate Risk: Pricing and Regulatory Implications” dalam Journal of Banking &
Finance, No.19 Tahun 1995, hal.1091-1108.
Kerry Cooper and Donald R.Fraser, “The Risk of Depository Institution Failure and
The Role of Deposit Insurance” dalam Banking Deregulation and The New Competition in Financial
Services, Ballinger Publishing Company, Cambridge Massachusetts, 1984.
V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, Banking Crises: Cases and Issues, Editor
V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, International Monetary Fund, Washington, D.C., 1991.
Yoram Landskroner dan Jacob Paroush, “Deposit Insurance Pricing and Social
Welfare” dalam Journal of Banking and Finance, No.18, Tahun 1994, hal.531-552.
Lampiran-1
3 Ruang-lingkup Penjaminan Terbatas dan sangat subjektif dalam Seluruh pos-pos kewajiban, kecuali
penentuan bank-bank yang "TBTF" Pinjaman Subordinasi.
(Too-Big-Too-Fail).
4 Bentuk kontribusi dari yang dijamin Premi (namun belum memenuhi Premi ("risk sensitive premium").
kriteria "risk-sensitive premium").
5 Sumber pembayaran klaim Hasil pengelolaan dan penanaman General funds (general reserves) dari
premi pada sektor-sektor yang direct guarantors.
menguntungkan.
6 Pelaksana pengawasan bank Bank Sentral dan FDIC Murni swasta, dilaksanakan oleh
"Syndicate Agent".
8 Lembaga lain yang terlibat Tidak ada lembaga lain yang terlibat Dibentuk lembaga baru yang disebut
kecuali FDIC, Bank Sentral dan Cross Guarantee Regulation Corporation
"insured banks". (CGRC) untuk memastikan bahwa
perjanjian jaminan sudah sesuai aturan
penyebaran risiko dan ketentuan lainnya.
41
42
Lampiran 2
cross-guarantee contract
rules and other statutory
Guarantee premium
monitoring responsibility
Ensures that
requirements
responsibility
Delegation of
Cross-guarantee
commitment
Fiduciary
1998 Ely & Company Inc. Permission granted to reproduce with attribution
Lampiran 3
Clearing Systems
Failure Failure
43
Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 45
Setelah disuguhi banyak topik moneter dengan teknik-teknik analisis canggih ekonometrika
tingkat pascasarjana, tulisan ini mengajak pembaca untuk turun ke dunia nyata tempat sebagian
besar saudara kita sebangsa hidup. Di era pengentasan kemiskinan ini, Indonesia telah menjadi
laboratorium bagi penelitian di bidang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), karena memiliki berbagai
jenis sejak lama. Di luar BRI Unit yang merupakan kisah sukses tingkat dunia, ada Badan Kredit
Desa yang didirikan di zaman Belanda, Badan Kredit Kecamatan di Jawa Tengah, di samping
berkembangnya kelompok-kelompok swadaya masyarakat sebagai bentuk lembaga keuangan yang
paling sederhana di tingkat “akar rumput”.
Di sini dibahas beberapa faktor yang menggambarkan perilaku masyarakat perdesaan yang
mempengaruhi kinerja lembaga keuangan mikro, misalnya: jam kerja, jarak rata-rata antara lokasi
LKM ke lokasi nasabah, waktu pemrosesan kredit, tingkat penghasilan nasabah, suku bunga tabungan
dan suku bunga pinjaman. Dari hasil analisis dapat diungkapkan, bahwa faktor yang paling
mempengaruhi kinerja adalah jarak ke lokasi nasabah dan selang waktu pemrosesan kredit. Tergambar
pula masih lugu dan mandirinya sifat pengusaha mikro perdesaan nasabah LKM dibanding pengusaha
konglomerat nasabah bank umum: apabila kenaikan pendapatan pengusaha mikro perdesaan dipakai
untuk menambah tabungan dan melunasi tunggakan, tidak demikian halnya pengusaha konglomerat,
karena sebagian justru sengaja memacetkan kreditnya.
Ukuran “kinerja” sendiri jauh berbeda dengan kriteria CAMEL yang tidak akan mudah tercerna
oleh kesahajaan lembaga-lembaga tersebut, dan kiranya akan menjadi topik pembicaraan tersendiri.
*) Bagian dari tulisan yang sedang dalam proses, kenangan dan salam perpisahan penulis kepada Urusan Kredit, Bank
Indonesia
**) Sumantoro Martowijoyo : Peneliti pada Tim Penyiapan Pusat Pendidikan dan Riset, USDM, Bank Indonesia
46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Latar Belakang
engan disepakatinya ikrar dalam Microcredit Summit di Washington DC Amerika
D Serikat pada tahun 1997 untuk membebaskan 100 juta penduduk dunia dari
kemiskinan, pencarian model lembaga keuangan mikro1 yang tepat untuk
melayani rakyat miskin dilakukan di mana-mana. Setelah dua dasawarsa diwarnai kredit-
kredit murah bersubsidi yang sebagian tidak jatuh ke tangan kelompok sasaran dan
mengakibatkan merosotnya kinerja serta moralitas lembaga keuangan pelaksananya, para
pakar merekomendasikan prinsip keswadayaan dan kesehatan (viability) dari program-
program pengentasan kemiskinan. Model Grameen Bank Bangladesh direplikasikan di mana-
mana, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) bergiat membina keswadayaan
masyarakat melalui kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM). Di luar perhatian
para penentu kebijakan kita, Indonesia sebetulnya sudah lebih maju dalam penciptaan
lembaga keuangan mikro sejak zaman Belanda, di samping BRI Unit yang merupakan kisah
sukses dunia. Dalam pengembangan KSM Bank Indonesia ikut berkiprah melalui
Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) yang
gagasannya berasal dari APRACA (Asia Pacific Rural and Agricultural Credit Association), dan
dalam pengembangan LKM melalui Proyek Kredit Mikro yang didanai bersama Asian
Development Bank.
Apabila kebutuhan akan uang tersebut makin terasa dan jumlah yang diperoleh dari
arisan terlalu kecil, timbullah gagasan untuk menambah jumlah dan jenis uang setoran
menjadi simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela. Dengan begitu,
1 banyak pula yang menyebutnya rural financial institutions (RFI) atau lembaga keuangan pedesaan (LKP), tapi
untuk Indonesia karena lokasinya banyak pula di perkotaan maka dipilih istilah yang dikenal sejak Summit ini.
Istilah “mikro” selain menunjuk skala yang lebih kecil dari yang kecil, konotasinya terkait dengan kemiskinan
Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 47
perkumpulan arisan telah berubah menjadi koperasi kredit (credit union), di mana untuk
peminjaman uang ditarik pula semacam “jasa” yang dipotongkan dari jumlah pinjaman.
Perkumpulan semacam ini secara tidak sadar sudah berfungsi sebagai lembaga keuangan
perdesaan: menghimpun dana dan memberikan kredit kepada anggota, memungut bunga
berupa “jasa”, serta di akhir tahun membagikan dividen bagi para pemegang saham.
Sebagai bank sekunder dalam pembinaan BRI, organisasi dan pengelolaan BKD
dipertahankan tetap seperti konsep semula yaitu Komisi BKD terdiri dari kepala desa sebagai
ketua komisi (Komisi I) dan 2 orang pemuka masyarakat atau aparat desa sebagai Komisi II
dan III. Pembukuan dilakukan oleh Juru Tata Usaha (JTU) yang bekerja untuk 6 BKD secara
bergilir (BKD umumnya buka sekali seminggu pada hari atau hari pasaran tertentu).
Pengawasan terhadap BKD dilakukan secara langsung oleh Mantri BKD yang mewilayahi
satu kemantren yang terdiri dari 18 BKD.
Sistem kredit BKD sederhana, terutama terdiri dari kredit pasaran dan mingguan yang
berjangka waktu 12 pasar2 atau 12 minggu dengan pembayaran angsuran pokok maupun
bunga dengan jumlah yang tetap. Jumlah kredit yang dapat diberikan sampai dengan Rp
400.000 tanpa agunan, semata-mata berdasarkan penilaian kelayakan nasabah oleh Komisi I.
2. Satu pasar=5 hari (kalender Jawa), kredit pasaran diberikan oleh BKD yang bukanya setiap hari pasaran tertentu
48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Lepas dari suara yang mendiskreditkan BKD, keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat
dan telah membuktikan kelestarian dan kemandiriannya dalam arti tidak pernah menerima
dana maupun subsidi bunga dari pemerintah. Di tengah maraknya kredit Bimas, misalnya,
lumbung desa tetap menjadi sumber kredit bagi rakyat kecil untuk konsumsi sehari-hari
(Dibyo Prabowo, 1981). Sebagai LKM, BKD mampu menjangkau masyarakat paling miskin
di pedesaan, tercermin dari paling rendahnya jumlah kredit rata-rata BKD dibanding
beberapa lembaga keuangan mikro yang terkenal di dunia, yaitu sebesar USD 38 di tahun
1993 (Christen, 1995,p.26). Jumlah BKD di Jawa dan Madura tercatat 5345 terdiri dari 4806
yang aktif dan 539 yang tidak aktif (BRI, 1998).
BKK didirikan dengan tujuan: (1) mendekatkan modal pada masyarakat pengusaha
miskin di perdesaan dengan cara mudah, murah dan mengarah, (2) menciptakan pemerataan
kesempatan berusaha di pedesaan, dan (3) mendidik masyarakat pedesaan untuk gemar
menabung (BP-BKK,1994). Prosedur permohonan kredit kepada BKK cukup sederhana dan
untuk jumlah kredit sampai dengan Rp 500.000 tidak diperlukan agunan selain rekomendasi
kepala desa. Selang waktu antara saat pengajuan permohonan dengan realisasi kredit untuk
nasabah baru paling lama seminggu, sedangkan untuk nasabah ulangan yang lancar
pencairan kredit dapat dilakukan pada hari yang sama.
Jenis kredit BKK sama dengan BKD, yaitu kebanyakan kredit pasaran, mingguan,
bulanan (3 bulan), dan musiman (6 bulan). Sama dengan BKD jumlah angsuran sama setiap
pembayaran, hanya menuruti peraturan BPR, dibukukan terpisah sebagai angsuran pokok
dan bunga.
Manajemen BKK terdiri dari Pimpinan, Pemegang Kas dan Pemegang Buku. Kinerja
manajemen BKK dipantau oleh Camat sebagai penanggung jawab BKK di wilayahnya.
Berdasarkan Perda no.11 tahun 1981 Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah
ditugasi sebagai pembina dan pengawas teknis BKK. BKK diharuskan menyimpan kelebihan
alat likuidnya di BPD, di pihak lain apabila BKK kekurangan modal kerja BPD akan
memberikan pinjaman likuiditas.
Jumlah BKK di seluruh Jawa Tengah 510, 202 di antaranya sudah berstatus BPR, rata-
rata peminjam per unit 978 orang, jumlah pinjaman rata-rata per unit Rp 96 juta dan per
nasabah Rp 132.584 (DAI, 1993)
Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 49
Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lapangan terhadap 105 lembaga keuangan mikro (LKM)
di Jawa Tengah, yang merupakan 34 % dari populasi, untuk masing-masing jenis LKM
(KSM, BKD, BKK) diambil proporsional berdasarkan jumlah populasinya masing-masing
secara purposif, beserta masing-masing 3 nasabah per LKM yang diambil secara acak.
Analisis data primer dilakukan dengan teknik statistik nonparametrik, pertama dengan uji
Kruskal-Wallis untuk beda populasi dan uji Kendall untuk kesesuaian (concordance)
pemeringkatan faktor-faktor kinerja, kemudiaan untuk hubungan antarfaktor kinerja dengan
korelasi jenjang Spearman3 . Keuntungan penggunaan statistik nonparametrik adalah tidak
perlu dibuktikannya kenormalan distribusi data (yang merupakan prasyarat bagi sahihnya
penggunaan statistik parametrik) dan dapat diterapkannya pada sampel kecil atau data
kualitatif (Siegel, 1997).
Mengenai kriteria kinerja, dari pengkajian terhadap falsafah dan hakekat LKM serta
pendapat para praktisi keuangan perdesaan, penulis mengajukan beberapa faktor penentu
kinerja LKM, yaitu tingkat akses kepada penabung (AKPEN), tingkat akses kepada peminjam
(AKPEM), persentase jumlah penunggak (PERPUNG), efisiensi (biaya usaha per rupiah
kredit, BIRUP) dan laba per rupiah kredit (LARAP). AKPEN dan AKPEM adalah masing-
masing jumlah penabung dan peminjam dibagi jumlah penduduk di wilayah kerja LKM.
PERPUNG adalah persentase jumlah penunggak (debitur kredit macet) dari jumlah peminjam,
BIRUP dihitung dari jumlah biaya operasional dibagi dengan saldo pinjaman, sedangkan
LARAP merupakan laba bersih sebelum pajak dibagi saldo pinjaman. Kegunaan kriteria ini
akan dapat dipahami setelah selesai membaca hasil analisis di belakang.
3
N
6 Σ di 2
i=1
rs = 1 - —————
N3 - N
di mana
rs = koefisien korelasi Spearman
N = jumlah pasangan observasi
d = perbedaan jenjang yang diperoleh dari setiap pasangan observasi
50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Hasil Analisis
Uji Kruskal-Wallis menghasilkan nilai chi-kuadrat yang sangat signifikan, demikian
pula uji Kendall menghasilkan nilai W yang sangat signifikan, membuktikan bahwa angka
rata-rata yang dianalisis memang berasal dari tiga populasi yang berbeda dan pemeringkatan
semua faktor kinerja dilakukan secara konsisten.
Dari hasil analisis korelasi peringkat Spearman antara variabel nonkinerja dengan
faktor penentu kinerja terdapat beberapa temuan yang berhubungan dengan perilaku
nasabah.
Tabel 1.
Korelasi antara Jarak, Selang dan Sukubunga Pinjaman terhadap Faktor Kinerja
1. Faktor yang berpengaruh paling besar terhadap faktor kinerja adalah jarak antara lokasi
nasabah ke kantor atau pos desa LKM (JARAK). Jauhnya jarak berpengaruh sangat
signifikan terhadap penurunan jumlah penabung (rs=-0,4959, α=0,000) dan jumlah
peminjam (rs=-0,4816, α=0,000), serta peningkatan jumlah penunggak (rs=0,3981, α =
0,000) dan biaya per rupiah kredit (rs=0,2292, α =0,019) juga berpengaruh sangat
signifikan dalam penurunan laba per rupiah kredit (rs=-0,3406, α=0,000).
2. Faktor lain yang cukup berpengaruh kepada faktor kinerja adalah lamanya waktu
pemrosesan kredit (SELANG). Lamanya waktu pemrosesan kredit berpengaruh
menurunkan jumlah peminjam cukup signifikan (rs=-0,1325, α=0,178), menurunkan
laba per rupiah kredit secara sangat signifikan (rs=-0,2864, α=0,003), meningkatkan
biaya per rupiah kredit secara tidak signifikan (rs=0,1183, α=0,229, meningkatkan jumlah
penunggak walaupun tidak signifikan (rs=0,0706, α=0,474).
3. Suku bunga pinjaman berpengaruh sangat signifikan terhadap jumlah peminjam (rs=-
0,2674, α=0,006), berpengaruh cukup signifikan terhadap jumlah penunggak (rs=0,2073,
α=0,109) dan berpengaruh tidak signifikan terhadap laba per rupiah kredit (rs=0,0276,
α=0,780), berarti bahwa suku bunga pinjaman sudah ada di batas atas, apabila dinaikkan
akan menurunkan jumlah peminjam dan mengakibatkan meningkatnya jumlah
penunggak, mengingat banyaknya kredit murah serta persaingan berat dari BRI Unit
Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 51
dan BPR yang memperoleh fasilitas kredit dari pemerintah. Akan tetapi dilihat dari
kuat dan signifikannya korelasi, jarak mempunyai dampak yang lebih kuat terhadap
berkurangnya jumlah peminjam dan bertambahnya jumlah penunggak dibandingkan
suku bunga pinjaman. Hal sederhana ini kiranya dapat dimaklumi, karena jauhnya
jarak lokasi LKM akan menyebabkan nasabah malas untuk berhubungan karena
besarnya “biaya transaksi” yang harus ditanggungnya, yaitu biaya angkutan dan
hilangnya waktu meninggalkan pekerjaan.
Tabel 2
Korelasi antara Penghasilan Rata-rata Nasabah dengan Faktor Kinerja
untuk Seluruh LKM dan Per Jenis LKM
4. Dari analisis mengenai pengaruh penghasilan nasabah dan jumlah tabungan rata-rata
terhadap kinerja, dapat diungkapkan beberapa temuan yang menarik.
(a) Dilihat LKM sebagai keseluruhan, pengaruh penghasilan nasabah terhadap kinerja
tidak begitu signifikan. Akan tetapi apabila dianalisis per jenis LKM, terlihat bahwa
penghasilan nasabah paling berpengaruh terhadap kinerja BKK, terutama kepada
jumlah penabung (rs=0,5500, α=0,027), jumlah peminjam (rs=0,3412, α=0,196), dan
jumlah penunggak (rs=-0,2912, α=0,274), sedangkan pengaruhnya pada BKD kurang
signifikan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada BKK, nasabah yang
penghasilannya relatif lebih tinggi mempunyai akses kepada pelayanan tabungan
dan pinjaman yang lebih besar dibanding dengan nasabah yang 98.169 di tahun
1992 dan melonjak menjadi Rp 132.594 di tahun 1993 (DAI, 1993).
(b) Dilihat per segmen nasabah terdapat perbedaan perilaku apabila penghasilannya
meningkat: nasabah BKD yang relatif kurang mampu lebih suka menabung dan
tidak meminjam, nasabah BKK yang relatif lebih mampu meningkatkan tabungan
tetapi terus memanfaatkan kredit, sama dengan perilaku pengusaha besar nasabah
bank umum.
(c) Walaupun begitu terlihat masih adanya sifat jujur dan mandiri pada pengusaha
mikro nasabah BKK dibanding pengusaha besar nasabah bank umum saat ini,
yaitu apabila penghasilan pengusaha mikro nasabah BKK meningkat, mereka
52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Implikasi Kebijakan
1. Mengingat jarak merupakan variabel yang paling mempengaruhi kinerja, LKM
diharapkan membuka sebanyak mungkin pos pelayanan dan/atau mengintensifkan
kunjungan lapangan. Otoritas perbankan hendaknya tidak melarang pembukaan pos
pelayanan ataupun memberi sanksi berupa penutupan pos pelayanan (“kantor di bawah
kantor cabang”) kepada LKM yang sudah menjadi BPR karena alasan tingkat kesehatan
yang tidak baik, oleh karena
(a) kriteria CAMEL tidak menampung aspirasi dan misi LKM (tersurat ataupun tersirat
dalam Undang-undang) sebagai pelayan keuangan bagi masyarakat papan bawah,
(b) pelarangan pembukaan kantor di bawah kantor cabang kiranya dapat dihapuskan,
karena pengertian “kantor di bawah kantor cabang” bagi LKM umumnya bukan
merupakan gedung atau kantor seperti bank umum, tetapi mungkin hanya sekedar
meja dan kursi tempat petugas lapangan menemui nasabahnya,
(c) pelarangan/penutupan pos pelayanan justru akan lebih memperparah kinerja LKM,
karena menghambat akses kepada masyarakat yang merupakan sumber dana dan
penghasilannya.
2. Mengingat pula bahwa lamanya waktu pemrosesan kredit juga berpengaruh cukup
kuat kepada kinerja, maka keputusan pemberian kredit kepada peminjam baru
hendaknya dilakukan sesegera mungkin, sedangkan pemrosesan kredit ulangan
hendaknya dapat diselesaikan pada hari yang sama.
3. Pengawas BPR hendaknya tidak melihat pemberian kredit dalam jumlah kecil-kecil
pada LKM sebagai suatu hal yang “tidak efisien” atau “tidak maju”, karena hal itu
justru sesuai dengan misi LKM membantu pengentasan kemiskinan. Mendorong LKM
untuk memberikan kredit dalam jumlah yang semakin besar berarti menjauhkan LKM
dari nasabahnya yang miskin, seperti terlihat pada gejala pemberian kredit BKK di atas.
4. BKD telah beroperasi selama satu abad dan BKK selama hampir tiga dasawarsa dengan
pendekatan pasar yang telah membuat mereka lestari (sustainable) dan mandiri,
keadaannya justru dibuat seperti “telor di ujung tanduk” karena banyaknya program-
program kredit murah bersubsidi di perdesaan. Adanya kredit dari pemerintah untuk
BPR condong menguntungkan BPR Gaya Baru yang dimiliki para pemodal berdasi,
Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 53
Daftar Pustaka
Badan Pembina BKK Propinsi Jawa Tengah, Perkembangan BKK dan BPR-BKK, 31 Maret
1994
Christen, Robert Peck, dkk, Maximizing the Outreach of Microenterprise Finance, USAID
Program and Operations Assessment Report No. 10, July 1995
Dibyo Prabowo dan Sayogyo: The Green Revolution: Sidoarjo, East Java, and Subang, West
Java, dalam Hansen, Gary E.(ed), Agricultural and Rural Development in Indonesia, Westview
Press, Boulder, 1981
Saidi, Zaim, Secangkir Kopi Max Havelaar. LSM dan Kebangkitan Masyarakat, PT Gramedia
Pustaka Utama-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta, 1995
Suharto, Pandu, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat, LPPI, Jakarta, 1988
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 55
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengan tahun 1997 telah berdampak luas terhadap
segala aspek perekonomian, khususnya sektor perbankan yang berakibat terhentinya aliran kredit
perbankan. Dalam kondisi krisis tersebut, Perum Pegadaian (PP) merupakan salah satu lembaga
keuangan yang masih mampu bertahan, bahkan menunjukkan peningkatan kinerja baik operasional
maupun keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan peer-groupnya
(BPR dan BRI Udes) secara umum kinerja PP relatif lebih baik. Porsi kredit yang diberikan oleh PP
semakin meningkat walaupun secara nominal relatif lebih kecil dibandingkan dua lembaga tersebut.
Dalam masa krisis ini, Perum Pegadaian menghadapi permasalahan temporer berupa lonjakan
nasabah (puncaknya terjadi pada Juni 1998) yang mendorong Perum Pegadaian melakukan overdraft
sangat besar atas fasilitas kredit yang diperoleh dari BRI, serta kekurangan likuiditas juga disebabkan
karena obligasi yang diterbitkan untuk membayar obligasi yang jatuh tempo, kurang diminati
masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut Perum Pegadaian telah menerima bantuan dalam
bentuk RDI dari pemerintah dan KLBI. Permasalahan lain yang bersifat struktural antara lain rentang
kendali yang terlalu luas namun tidak ditunjang sistem pengawasan yang memadai, sistem manajemen
yang sentralistik sehingga berpotensi menghambat kinerja, beberapa kelemahan prosedur yang
berpotensi menimbulkan penyimpangan, serta tidak adanya sistem yang mampu mengantisipasi
resiko fluktuasi harga barang jaminan khususnya emas.
Potensi Perum Pegadaian untuk lebih berperan dalam pemberdayaan ekonomi rakyat dapat
dilihat dari keberpihakan terhadap masyarakat berpendapatan rendah (mayoritas nasabah), relatif
kecilnya skala kredit yang diberikan (Rp 5.000 s.d. Rp 20 juta), suku bunga yang dikenakan relatif
rendah, serta mudahnya prosedur gadai. Untuk mewujudkan potensi tersebut terlebih dahulu harus
dibenahi berbagai kelemahan khususnya kelemahan struktural yang ada. Sedangkan untuk
meningkatkan efisiensi pembiayaan usaha kecil perlu dikaji kemungkinan pemberian izin bagi
perusahaan/lembaga lain untuk bergerak dalam usaha pegadaian.
I. Pendahuluan
1
Badan Pusat Statistik, ” Perhitungan Jumlah Penduduk Miskin 1998”.
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 57
pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi. Upaya-upaya tersebut juga diimbangi
dengan upaya lain di sektor riil, antara lain dengan melaksanakan program Jaring Pengaman
Sosial (JPS) untuk memberdayakan masyarakat (khususnya yang terkena dampak langsung
dari krisis ekonomi), serta dengan melakukan reformasi struktural untuk meningkatkan
efisiensi perekonomian.
Sektor keuangan khususnya perbankan yang selama ini sangat berperan dalam
menggerakkan roda perekonomian, tentunya sangat diperlukan untuk membantu pemulihan
perekonomian nasional. Namun, sejak terjadinya krisis ekonomi perbankan nasional juga
menghadapi permasalahan yang cukup berat. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya
jumlah non performing loan, memburuknya net interest margin dan kondisi permodalan, serta
ancaman kesulitan likuiditas yang masih berlangsung hingga awal tahun 1999 ini. Kinerja
perbankan yang memburuk tersebut mengakibatkan terhambatnya penyaluran kredit.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diperlukan
peran lembaga keuangan lain yang dapat berperan sebagai complementary institutions dari perbankan.
Salah satu lembaga keuangan selain bank yang telah lama dikenal masyarakat adalah
Perum Pegadaian. Pada masa krisis, terganggunya fungsi intermediasi perbankan tersebut
memberi peluang bagi Perum Pegadaian untuk semakin berperan dalam pembiayaan,
khususnya usaha kecil dan dalam masa krisis ini juga telah menjadi salah satu alternatif
pemenuhan kebutuhan pembiayaan bagi sebagian masyarakat yang terkena dampaknya.
Peran dalam pembiayaan nasabah kecil tersebut, sesuai dengan tujuan Perum Pegadaian
yang tidak hanya semata-mata mencari untung tetapi juga sebagai penunjang kebijakan
dan program Pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional melalui penyaluran
pinjaman atas dasar hukum gadai. Disamping itu, jaringan kantor dan wilayah kerja yang
menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia serta prosedur yang sederhana, mudah,
cepat, dan aman merupakan suatu potensi keunggulan Perum Pegadaian dibandingkan
dengan lembaga keuangan lainnya.
1.2. Hipotesa
Kegiatan usaha Perum Pegadaian dapat dikembangkan untuk mendukung
perkembangan usaha kecil khususnya sektor informal. Hal tersebut didukung oleh
karakteristik Perum Pegadaian, terutama prosedurnya yang sederhana, mudah dan cepat,
sumber daya manusia yang memadai serta jaringan usaha yang luas.
Sesuai dengan karakteristik usaha dan mayoritas nasabah Perum Pegadaian yang
merupakan masyarakat berpendapatan rendah, maka Perum Pegadaian berpotensi untuk
berperan serta dalam program JPS. Disamping itu, penelitian juga dimaksudkan untuk
mempelajari peran dan potensi Perum Pegadaian dalam mendukung pemberdayaan usaha
kecil, khususnya sektor informal.
Sampel kantor daerah dipilih dengan sistem purposive sampling yang mewakili wilayah
Indonesia Bagian Barat, Tengah dan Timur. Wilayah barat diwakili oleh 3 kantor daerah di
Pulau Jawa dan 2 kantor daerah di Pulau Sumatera. Wilayah tengah diwakili oleh 1 kantor
daerah di Pulau Bali dan 1 kantor daerah di Pulau Kalimantan. Sedangkan wilayah timur
diwakili oleh 1 kantor daerah di Pulau Sulawesi. Survey tersebut dilaksanakan pada tanggal
23 November - 10 Desember 1998.
bagian dari visi Perum Pegadaian yang dirumuskan dengan mengindentifikasi kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman (analisis SWOT) yang dihadapi dalam Pembangunan
Jangka Panjang Tahap II (PJPT II). Visi Perum Pegadaian dalam PJPT II ini adalah :
a. Menjadi lembaga keuangan yang modern dan dinamis.
b. Memiliki SDM yang handal dan profesional.
c. Memiliki kinerja sehat sekali (SS) dengan rating minimal “A” 1 .
Arah pengusahaan dalam periode ini adalah : 1) menjadi persero pada tahun 19982 ;
2) melaksanakan go public; dan 3) memiliki kinerja dan citra yang meningkat.
1 Yang dimaksud dengan rating “A” sesuai dengan definisi PT. Pefindo merupakan perusahaan atau efek hutang
yang berisiko investasi rendah dan berkemampuan baik untuk membayar bunga dan pokok hutang sesuai dengan
yang diperjanjikan dan hanya sedikit dipengaruhi oleh perubahan keadaan yang merugikan.
2 Menurut Perum Pegadian, target menjadi Persero terutama bertujuan untuk mengatasi kelemahan pendanaan
dengan menjual saham di bursa, serta membuka anak perusahaan. Namun target tersebut tidak tercapai pada tahun
1998 karena tidak memperoleh ijin dari Menkeu dengan pertimbangan (i) masih besarnya misi sosial yang harus
dilaksanakan oleh Perum Pegadaian, (ii) kekhawatiran bahwa dengan status persero Perum Pegadaian akan
meninggalkan segmen nasabah kecil dengan tujuan untuk memperoleh laba maksimal.
60 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Sebagai implementasi dari salah satu strategi pokok perusahaan, Perum Pegadaian
telah merencanakan untuk melakukan ekspansi jenis produk perusahaan dengan
mengembangkan usaha baru. Produk-produk baru tersebut meliputi :
a. Produk baru yang masih dalam lingkup usaha gadai seperti jasa titipan, jasa taksiran,
franchisor usaha gadai, jasa sertifikasi kadar emas, kredit dengan jaminan surat berharga
dan sertifikat tanah dan kredit dengan sistem pinjam pakai. Dua diantaranya yaitu jasa
titipan dan taksiran sudah dilaksanakan.
b. Produk baru di luar lingkup usaha gadai tetapi masih dalam lingkup lembaga
pembiayaan seperti BPR, modal ventura, factoring, guarantee fund, pedagang valuta asing
dan leasing.3
c. Produk usaha baru yang sama sekali di luar usaha gadai dan lembaga keuangan seperti
toko emas, properti (gedung perkantoran, hotel/penginapan dan ruko) dan toko barang-
barang perhiasan/asesoris dan arloji. Sampai dengan 30 September 1998, usaha toko
emas sudah dilaksanakan di 28 kantor cabang Perum Pegadaian. Usaha ini juga
mempunyai misi sosial untuk mendidik masyarakat untuk berinvestasi dalam bentuk
emas serta meningkatkan image masyarakat terhadap Perum Pegadaian
3 Menurut Perum Pegadaian, leasing yang akan dilaksanakan merupakan leasing menurut format Perum Pegadaian
dimana barang jaminan yang digadaikan tidak disimpan oleh Perum Pegadaian namun tetap dapat digunakan oleh
nasabah untuk menjalankan usahanya (diestimasikan akan dilaksanakan pada tahun 2000).
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 61
kantor pusat, direksi dibantu oleh 9 subdirektorat (subdit) yang masing-masing memiliki
rincian tugas sesuai bidangnya (Lampiran 1). Untuk meningkatkan profesionalitas pegawai
Perum Pegadaian memiliki Balai Diklat yang langsung berada di bawah direksi. Selain itu,
Perum Pegadaian juga memiliki Satuan Pengawasan Intern (SPI) yang bertanggung jawab
langsung kepada direksi.4 Struktur organisasi Perum Pegadaian ditunjukkan bagan 1.
Direksi
Direktur
Utama
Kantor Cabang
Keterangan :
OPP = Operasi dan Pengembangan AP = Anggaran dan Permodalan
KP = Kepegawaian
LB = Penelitian dan Pengembangan Operasi AK = Akuntansi
BG = Bangunan
SP = Kesekretariatan Perusahaan P = Perbendaharaan
TURT = Tata Usaha dan Rumah Tangga
4 Tanggal 25 November 1998, Perum Pegadaian membentuk Subdit Teknologi Informasi berdasarkan Keputusan
Direksi No. Kp.2/41/10 sebagai upaya untuk meningkatkan sistem dan sarana pengawasan yang memadai.
62 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Kanda Perum Pegadaian terdiri dari dua tipe yaitu tipe A dan B. Kanda tipe A memiliki
struktur organisasi yang lebih lengkap dibandingkan Kanda tipe B karena besarnya jumlah
Kanca yang dibawahinya. Perbandingan Kanda tipe A dan B dapat dilihat dalam tabel 2.1 5 .
Ka Kanda 1 1
Inspektur Daerah 1 0
Kepala Seksi 4 2
Pemeriksa 2 1
Ka Sub Seksi 12 8
Pemeriksa Pembantu 3 3
Staf Pemeriksa 2 0
Kanca Perum Pegadaian digolongkan menjadi 3 kelas, yaitu kelas I, II, dan III.
Pembagian kelas masing-masing Kanca dilakukan berdasarkan tingkat efisiensi dan
produktivitas yang diukur dari 4 faktor yaitu :
a. Omzet usaha (bobot nilai 40), yang mencerminkan tingkat kemampuan penjualan produk
(produktivitas).
b. Barang jaminan (bobot nilai 10), yang mencerminkan tingkat tanggung jawab
penanganan/pengelolaan, perawatan dan faktor risiko.
c. Formasi dan adanya pegawai Kanca (bobot nilai 20), yang mencerminkan tingkat
efektivitas dan kemampuan pegawai sebagai sumber daya dalam menjalankan
perusahaan.
d. Efisiensi (bobot nilai 40), yang diukur dari besarnya surplus (laba-rugi) cabang dalam
satu periode akuntansi.
Berdasarkan keempat kriteria di atas, jumlah Kanca untuk masing-masing kelas per
Juni 1998 adalah : kelas I sebanyak 54; kelas II sebanyak 78 dan kelas III sebanyak 491.
Seluruh kantor yang berstatus Ancab diklasifikasikan sebagai cabang kelas III. Ditinjau dari
kuantitasnya, per Juni 1998 jumlah Kanca Pegadaian di Pulau Jawa merupakan yang
terbanyak yaitu 401 buah atau 64,4%.
5 Jumlah total pemeriksa per Kanda sejak 1 Februari 1999 telah diperbanyak menjadi 6-7 orang.
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 63
Jumlah karyawan Perum Pegadaian hingga Oktober 1998 mencapai 6.233 orang, yang
terdiri dari 4.817 pegawai tetap dan 1.426 pegawai tidak tetap. Jumlah karyawan tetap ini
lebih rendah dari jumlah pada akhir 1996 (5.541 orang). Hal ini berkaitan dengan salah satu
upaya Perum Pegadaian untuk meningkatkan efisiensi. Selain terjadi pengurangan jumlah,
Perum Pegadaian juga melakukan peningkatan kualitas karyawan yang terlihat dari
meningkatnya jumlah karyawan yang berpendidikan S1 dan S2 dan berkurangnya karyawan
yang berpendidikan SD sampai dengan D3. Komposisi karyawan tetap menurut jenjang
karir dan pendidikan dapat dilihat dalam lampiran 3.
Tidak semua Kanca menyediakan keempat jenis produk tersebut. Hal ini terkait dengan
fasilitas, ketersediaan sumber daya manusia dan dana. Misalnya, pembukaan toko emas
yang hingga September 1998 baru berjumlah 28 buah.
Dana yang telah dihimpun ini kemudian didistribusikan dari kantor pusat ke Kanca
melalui masing-masing Kandanya. Besarnya jumlah dana yang diterima oleh masing-masing
Kanda tersebut ditentukan berdasarkan hasil evaluasi perkembangan omzet selama 6 bulan
terakhir dan dievaluasi setiap 3 bulan.
Penghimpunan dana hanya dapat dilakukan oleh kantor pusat, sehingga Kanda dan
Kanca hanya melaksanakan penanaman dana berdasarkan alokasi dana yang diberikan.
Bila terjadi kekurangan dana, maka Kanca harus meminta tambahan dana kepada Kandanya
masing-masing dan tidak diperkenankan untuk melakukan transfer langsung antarcabang.
Dengan demikian Kanda dapat mengontrol secara langsung kebutuhan dana masing-masing
Kancanya.
Sementara, sisa dari keseluruhan penggunaan laba bersih di atas disetorkan sebagai
Dana Pembangunan Semesta (DPS). DPS yang menjadi hak negara wajib segera disetorkan
ke Bendahara Umum Negara setelah Laporan Tahunan disahkan.
membawa menerima
Nasabah barang jaminan Penaksir Kasir kredit Nasabah
oleh penaksir maupun KPK telah disepakati oleh nasabah, maka diterbitkan Surat Bukti
Kredit (SBK) sesuai dengan golongannya. Pada SBK tersebut dimuat nama dan alamat
nasabah, keterangan barang jaminan, besarnya taksiran dan UP. Setelah ditandatangani
nasabah dan penaksir/KPK, SBK diserahkan kepada nasabah. Nasabah mengambil UP
pada kasir seperti yang tertera pada SBK, dengan terlebih dahulu membayar biaya
penyimpanan dan asuransi (PA) yang telah ditetapkan sesuai dengan besarnya UP dan
jenis barang yang diagunkan.
Barang emas, perhiasan atau barang-barang kecil lainnya yang masuk di dalam
kantong disebut barang kantong dengan rubrik K. Barang kantong ini disimpan dalam
kamar emas (kluis/khasanah). Sedangkan barang jaminan yang tidak masuk di dalam
kantong disebut dengan barang gudang dengan rubrik G. Barang jenis ini disimpan di
dalam gudang. Tempat penyimpanan barang tersebut harus selalu dalam keadaan tertutup
dan terkunci apabila tidak ada keperluan. Untuk barang-barang tertentu seperti kamera dan
mobil mendapat perlakuan khusus. Kamera harus disimpan dalam tempat tertutup (lemari
kaca atau peti kayu yang tidak lembab) yang diberi penerangan cukup. Mobil disimpan
dalam tempat tertutup, tidak kena hujan dan panas. Di samping itu, mobil juga harus dalam
keadaan terkunci dan bila ada tutupnya (cover) digunakan dengan baik agar tidak kotor.
Apabila di kemudian hari ternyata lelang tidak dapat dijalankan pada tanggal yang
telah ditetapkan maka pelaksanaan lelang itu harus diundur pada hari berikutnya.
Penundaan hari lelang ini harus diumumkan kepada masyarakat dan diberitahukan kepada
Ka Kanda dan Inspektur Daerah. Media yang digunakan untuk mengumumkan tanggal
lelang adalah melalui papan pengumuman di Kanca setempat, media cetak dan elektronik,
pemberitahuan langsung oleh pegawai di loket dan pemberitahuan tertulis kepada pemilik
barang dan Dinas Penerangan setempat (minimum 15 hari sebelum pelaksanaan).
Untuk barang-barang jaminan yang telah ditaksir dengan wajar tetapi tidak laku
dilelang disebut sebagai Barang Sisa Lelang (BSL). BSL ini ditetapkan menjadi aset
perusahaan yang diakui dan dicatat sebagai transaksi mutasi aset dari Pinjaman Yang
Diberikan (aktiva lancar) menjadi Aktiva Lainnya (aktiva tidak lancar). BSL dinilai
berdasarkan harga pembeliannya yaitu sebesar harga jual minimal lelang tanpa tambahan
biaya lelang (9,7%). Perlakuan administrasi dan pembukuan terhadap BSL dapat dilihat
dalam lampiran 8. Cara penyelesaian BSL ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dijual
di bawah tangan dan dimutasikan antarcabang. Penjualan di bawah tangan merupakan
penjualan yang terbuka bagi siapa saja yang berminat dengan suatu patokan harga minimum
tertentu. Sedangkan mutasi antarcabang merupakan upaya penjualan di kantor cabang
yang berada di daerah lain yang diyakini dapat terjual lebih cepat (Lampiran 9).
68 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Jenis-jenis laporan operasional yang dibuat oleh Kanca yang harus dikirimkan ke
Kanda adalah berbentuk :
a. Laporan mingguan, yang berisi perkembangan penyaluran kredit dan barang jaminan
yang tercantum dalam laporan mingguan keuangan yang dikirimkan ke Kanda
b. Laporan bulanan, yang berisi laporan tentang : perkembangan usaha, penerimaan sewa
modal dan biaya PA, rincian data nasabah dan kredit menurut profesi, rincian sisa
uang pinjaman, ikhtisar barang sisa lelang, sisa uang kelebihan, barang jaminan yang
tidak ditebus/dilelang/barang polisi, mutasi aktiva yang disisihkan, dan perhitungan
surplus operasi.
c. Laporan semester, yang berisi laporan rincian sisa uang pinjaman dan perhitungan
sewa modal.
d. Laporan tahunan, yang berisi rekapitulasi dari laporan bulanan ditambah laporan
mutasi aktiva serta laporan surplus usaha.
Aspek-aspek yang dilihat dalam melakukan pemeriksaan oleh SPI mencakup tiga hal
yaitu sistem dan prosedur yang menyangkut kendali, kewajiban atasan untuk mengawasi
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 69
bawahan (waskat) dan aparat pengawasan fungsional. Tolok ukur yang dipakai dalam
melakukan pemeriksaan adalah membandingkan antara kondisi sebenarnya (fakta) dengan
yang seharusnya (kriteria). Kondisi yang seharusnya merupakan sesuatu yang ditetapkan
oleh peraturan/ketentuan pemerintah, sesuatu yang diatur secara umum yang diakui dan
sesuatu yang diatur oleh ketentuan perusahaan. Dalam melakukan pemeriksaan seorang
pemeriksa harus bersifat objektif dan independen karena pertanggungjawabannya langsung
kepada direksi.
Dalam melaksanakan tugasnya SPI dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung
jawab langsung kepada Direktur Utama. SPI tersebut dibagi menjadi 3 Inspektorat Wilayah
(Irwil), yaitu : (i) Irwil I mengawasi kanda I – V; (ii) Irwil II mengawasi kanda VI – X; dan (iii)
Irwil III mengawasi kanda XI – XIV. Tenaga pemeriksa di masing-masing Irwil rata-rata
sejumlah 4 orang yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap setiap kanda dengan
frekwensi 1 - 2 kali setahun. Di setiap Kanda terdapat Inspektorat Daerah (Irda) yang
dipimpin oleh orang kedua di kanda yang bersangkutan dengan tenaga pemeriksa berjumlah
4-5 orang. Tugas Irda adalah mengawasi kanca-kanca di bawahnya dengan frekwensi 1– 4
kali pemeriksaan dalam satu tahun.
Berdasarkan perbandingan antara jumlah Kanca (633 kantor), Kanda (14 kantor),
frekwensi pemeriksaan serta jumlah tenaga pemeriksa di masing-masing Kanda,
menunjukkan terlalu luasnya rentang kendali Kanda terhadap kanca-kanca yang ada di
bawah koordinasinya. Sebagai gambaran setiap kanda di pulau Jawa rata-rata membawahi
lebih dari 50 Kanca. Sementara itu, Kanda-kanda lainnya di luar Jawa harus membawahi
kanca-kanca yang secara geografis terlalu jauh. Rentang kendali yang terlalu luas yang
belum ditunjang dengan saluran komunikasi yang memadai (canggih) sangat tidak
menunjang efektivitas pemantauan kinerja kantor-kantor cabang, serta bisa menyebabkan
timbulnya berbagai penyimpangan seperti yang tercantum dalam lampiran 10.
mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah yang sulit untuk akses ke perbankan serta
jaringan kerja hingga ke daerah-daerah, maka perlu dilakukan analisis tterhadap posisi
dan keterkaitan Perum Pegadaian dengan lembaga lainnya. Beberapa pendekatan yang
dapat digunakan untuk analisis tersebut antara lain Teori Rural Financial Intermediation
(RFI), teori Farm Finance (FF) dan Teori Rural Financial Market (RFM).
Teori RFI menjelaskan keterkaitan antara lembaga keuangan formal dan informal
dalam pasar keuangan pedesaan. Dalam teori ini dijelaskan karakteristik lembaga keuangan
formal seperti Bank Perkreditan Rakyat, BRI Unit Desa, koperasi dan pegadaian serta pasar
kredit informal di pedesaan (rentenir atau pelepas uang komersial). Kredit pedesaan pada
dasarnya dapat diperoleh dari sumber informal dan formal. Sementara itu, untuk
penghimpunan dana di pedesaan lebih banyak melalui lembaga formal.6
Sedangkan untuk melihat sumber dana untuk kredit pedesaan dikenal dua teori, yaitu
Farm Finance dan teori Rural Financial Market yang dikembangkan oleh Department of
Agricultural Economics and Rural Sociology, Ohio State University, USA. Teori RFM yang
bertumpu pada mekanisme pasar berpendapat bahwa pembiayaan/kredit pedesaan
merupakan proses intermediasi dimana financial assets dan debts di relokasi diantara
pelaku-pelaku ekonomi di pedesaan. Dengan kata lain, teori RFM berpendapat bahwa
pedesaan memiliki kemampuan/resources untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif
yang berlangsung di pedesaan, sedangkan teori FF berpendapat perlu adanya external funds
(dana pihak luar) untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif di pedesaan.
Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut, lembaga kredit formal dan informal serta
struktur pasar kredit pedesaan untuk masing-masing lembaga keuangan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Suku bunga kredit dalam pasar informal sangat bervariasi. Menurut penelitian
Robinson, suku bunga berkisar antara 2 sampai 10 kali dari tingkat bunga bank. Tingginya
suku bunga tersebut disebabkan adanya quasi-monopolistic many-lender credit market.7 Kreditur
cenderung tidak tertarik untuk meningkatkan market share. Alasan utamanya adalah terlalu
berisiko untuk melakukan ekspansi ke luar pasar tradisonalnya. Hal ini terjadi karena antara
satu kreditur dengan kreditur lainnya dalam satu wilayah umumnya punya ikatan yang
erat. Mereka tidak mau bersaing karena justru akan menurunkan keuntungan masing-masing.
Selain itu, bagi kreditur yang sudah lebih kaya dan memiliki status sosial yang tinggi
melakukan diversifikasi investasi dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan
hasil yang diperoleh dari kredit dalam skala kecil. Terdapat pula kecenderungan para kreditur
untuk memberikan kredit yang lebih besar kepada pejabat lokal serta rekan bisnis dengan
tujuan menjaga hubungan baik agar diberi kesempatan memperoleh akses yang lebih luas
bagi kepentingan politik dan/atau bisnisnya. Sebaliknya, terdapat kecenderungan debitur
untuk hanya setia kepada satu debitur karena khawatir akan memperoleh kesulitan di
kemudian hari. Kreditur pada umumnya berkeberatan apabila nasabahnya meminjam
kepada kreditur informal lainnya karena khawatir ikatan bisnis lainnya juga akan berpindah
sehingga dapat melakukan pembalasan di kemudian hari. Fenomena ini terjadi di beberapa
negara berkembang, seperti India dan Philipina sebagaimana dikemukakan oleh Germidis,
Kessler, and Meghir bahwa 8 :
“Informal commercial credit forms parts of the local political economy; financial channels and
market shares of lenders are inextricably related to local distribution of wealth and power, market
interlinkages, political alliances, information flows, etc “.
Dengan kondisi tersebut, suku bunga dapat dipertahankan tinggi lebih-lebih jika di
wilayah tersebut tidak terdapat lembaga perkreditan formal.
Kemudahan bagi lembaga formal dalam memasuki pasar tersebut selain dilindungi
hukum, lembaga formal tidak dianggap sebagai pesaing oleh kreditur informal. Bahkan di
beberapa tempat dianggap sebagai rekan kerja. Sebagai contoh, seseorang yang tidak memiliki
agunan dapat datang ke kreditur informal untuk meminjam uang. Kreditur informal yang
kekurangan dana dapat meminjam dari bank dan lembaga kredit formal lainnya untuk
kemudian disalurkan ke nasabahnya. Di samping itu, karena berspesialisasi pada kegiatan
perkreditan, lembaga formal tidak dicurigai akan merebut kekuasaan para kreditur informal
yang pada umumnya juga memiliki kaitan usaha di sektor riil atas nasabahnya. Tidak
tertutup kemungkinan, seorang kreditur informal akan mendorong nasabahnya untuk
meminta kredit ke lembaga formal jika memerlukan dana yang relatif besar.
Suku bunga pada lembaga kredit formal pada umumnya lebih rendah dibandingkan
dengan suku bunga kreditur informal. Hal ini terjadi karena lembaga kredit formal dapat
memanfaatkan ‘economies of scale’ sehingga dapat menjalankan kegiatannya dengan biaya
yang relatif murah. Disamping itu, lembaga formal pada umumnya dapat mempelajari
karakteristik pasar keuangan pedesaan dan memperoleh informasi terpercaya mengenai
nasabah potensial melalui stafnya yang profesional. Dengan biaya yang murah tersebut
maka lembaga formal dapat menawarkan suku bunga rendah untuk menarik nasabah. Suku
bunga yang lebih rendah tersebut akan meningkatkan permintaan kredit yang akan
menyebabkan biaya operasi per unit menjadi lebih murah. Perlu dikemukakan bahwa jika
lembaga kredit formal dapat memberikan pelayanan yang baik dengan beban bunga yang
lebih rendah maka sebagian masyarakat desa yang sebelumnya bergantung kepada kreditur
informal akan beralih ke lembaga formal, meskipun ada kemungkinan mereka masih
memerlukan dana dari kredit informal sebagai tambahan. Sementara itu, bagi mereka yang
tidak memenuhi syarat untuk memperoleh dana dari lembaga formal disebabkan tidak
memiliki agunan ataupun sebab lainnya akan tetap bergantung pada kreditur informal.
Bagi kreditur informal, hal tersebut tidak terlalu mengganggu karena mereka masih tetap
memiliki pangsa pasar yang aman.
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 73
Lembaga lain yang juga mempunyai potensi besar untuk menjadi pesaing Perum
Pegadaian adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BRI Unit Desa (BRI UDes).10 Dalam
9 Data akurat mengenai potensi lembaga informal pemberi pinjaman sulit untuk diperoleh. Informasi yang diperoleh
dari hasil studi lapangan hanyalah mengenai besarnya suku bunga yang dikenakan rentenir dan toko emas pada
umumnya sangat tinggi berkisar 10% – 20% per bulan. Sementara itu dari temuan penelitian CPIS (pada periode
1982-1990) koperasi simpan pinjam mengenakan suku bunga antara 20% - 40% per bulan. Di daerah-daerah di
mana terdapat kantor Perum Pegadaian, pangsa pasar kredit pedesaan yang dapat dikuasai oleh Perum Pegadaian
diperkirakan berkisar 40% - 60% dibandingkan dengan rentenir, toko emas dan pegadaian gelap.
1 0 Sampai dengan September 1998 di seluruh Indonesia terdapat sebanyak 1.558 BPR non BKD dengan total aset
sebesar Rp 2,4 triliun dan kredit yang diberikan sebesar Rp 1,7 triliun. Sebagian besar BPR (1.142 buah) berada di
pulau Jawa (persebaran jumlah BPR terbanyak berada di wilayah Jawa Timur sebanyak 362 BPR, kemudian
Jabotabek sebanyak 345 BPR) dan yang paling sedikit berada di wilayah Kalimantan (22 BPR). Sedangkan jumlah
BRI UDes sebanyak 3.706 kantor.
74 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
analisis selanjutnya, kinerja Perum Pegadaian akan dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes
(untuk beberapa rasio keuangan) untuk memperoleh gambaran mengenai peranan Perum
Pegadaian dalam pemberdayaan ekonomi rakyat dibandingkan dengan institusi kredit
lainnya. Pemilihan ini berdasarkan ketersediaan data BPR dan BRI Unit Desa (BRI UDes),
sementara untuk institusi lain dan lembaga kredit informal tidak diperoleh data akurat.
Omset 11
Untuk masing-masing wilayah, lonjakan omset terutama dialami oleh Kantor Daerah
Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, sementara beberapa Kantor Daerah (Padang, Medan,
Ujung Pandang, dan Balikpapan) mencatat perkembangan yang kurang memuaskan. Namun
lonjakan omset yang terjadi pada Juni 1998 selanjutnya untuk bulan Agustus dan September
mengalami penurunan terutama sebagai dampak dihentikannya fasilitas overdraft di BRI
pada pertengahan Agustus.
Rp miliar
2500
2000
1500
1000
500
0
1994 1995 1996 1997 Triw - Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept
III/
1998 1998
1 1 Omset : adalah jumlah/nilai pinjaman yang diberikan dalam suatu periode tertentu (konsep flow).
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 75
Lonjakan kenaikan omset tersebut ternyata tidak diikuti dengan meningkatnya aspek
pemerataan. Alokasi pinjaman untuk golongan D12 melonjak sehingga porsinya meningkat
dari 35,4% (tahun 1997) menjadi 50,3% (tahun 1998 s.d September). Sementara itu, porsi
golongan A, B dan C semakin berkurang (Tabel 4.1). Kecenderungan pergeseran orientasi
pembiayaan Perum Pegadaian ke arah nasabah besar juga terlihat pada menurunnya porsi
nasabah golongan A dan B masing-masing dari 43,9% dan 27,6% (1997) menjadi 41,4% dan
24,3% (1998). Fenomena dominasi pinjaman oleh golongan D juga terlihat di setiap kantor
daerah yang diteliti kecuali untuk Kantor Daerah Bandung dimana pinjaman didominasi
oleh golongan C. Pergeseran dari nasabah mikro ke nasabah besar tersebut terutama
merupakan dampak dari :
(i) Kebijakan Perum Pegadaian untuk meningkatkan laba, melalui peningkatan kualitas
barang jaminan serta meningkatkan porsi nasabah golongan D (proyeksi tahun 1998),
dengan alasan bahwa selama ini Perum Pegadaian telah memberikan subsidi kepada
golongan nasabah mikro.
(ii) Kenaikan harga barang jaminan sejalan dengan kenaikan harga barang jaminan
khususnya emas, sehingga dengan barang jaminan yang sama nasabah golongan A
dan B bisa mendapatkan pinjaman yang lebih besar. Dengan demikian kebijakan
pembiayaan Perum Pegadaian telah bergeser ke arah nasabah dengan nilai pinjaman
yang lebih besar.
A 184,3 10,7 183,1 8,8 256,5 8,8 80,0 5,7 115,4 5,0
B 437,4 25,4 475,9 22,8 666,6 22,8 226,4 16,2 317,9 13,7
C 545,9 31,7 679,5 32,5 951,8 32,5 439,4 31,4 709,0 30,6
D 547,0 31,7 739,0 35,4 1.035,2 35,4 645,0 46,2 1.166,9 50,3
E 8,9 0,5 10,7 0,5 14,9 0,5 6,5 0,5 8,7 0,4
1.723,5 100,0 2.088,2 100,0 2.925,0 100,0 1.397,3 100,0 2.317,9 100,0
Sumber : Perum Pegadaian, diolah.
Keterangan :
A = Rp 5.000 - Rp 40.000 C = Rp 151.000 - 500.000 E = pinjaman kepada pegawai
B = Rp 40.000 - Rp 150.00, D = Rp 510.000 - 20.000.000 Perum Pegadaian
1 2 Perum Pegadaian menetapkan 5 macam golongan nasabah berdasarkan besarnya plafon pinjaman sebagai berikut:
Gol. A = Rp 5.000 – Rp 40.000; Gol. B = Rp 40.000 – Rp 150.000; Gol. C = Rp 151.000 – 500.000; Gol. D
= Rp 510.000 – 20.000.000; dan Gol. E = pegawai Perum Pegadaian.
76 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Jangka waktu peminjaman rata-rata dalam tahun 1998 adalah 89 hari yang berarti
lebih singkat dibandingkan dengan tahun 1997. Golongan D meminjam dalam jangka waktu
paling lama, yaitu 95,7 hari, sementara itu golongan B meminjam dalam jangka waktu paling
singkat, yaitu 68 hari.
Jumlah Nasabah
Sejalan dengan lonjakan omset, jumlah nasabah Perum Pegadaian juga mengalami
lonjakan tajam khususnya pada bulan Juni 1998 sehingga sampai dengan 30 September
1998 jumlah nasabah yang dapat diraih mencapai 6,6 juta orang. Jumlah nasabah yang
mampu diraih Perum Pegadaian tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
nasabah yang mampu diraih BPR (4,2 juta nasabah). Dari segi persebaran nasabah, terdapat
kesamaan antara Perum Pegadaian dengan BPR dimana baik untuk Perum Pegadaian dan
BPR sebagian besar nasabah terkonsentrasi di wilayah Jawa (masing-masing 70% dan 57%),
sedangkan jumlah nasabah yang paling sedikit terdapat di wilayah Kalimantan masing-
masing 2,8% dan 2,3%.
Lonjakan nasabah Perum Pegadaian yang sangat besar terjadi sejak bulan Juni 1998
dengan rata-rata per bulan di atas 1 juta nasabah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya
(Januari s.d Mei 1998) sekitar 400 ribu nasabah. Lonjakan nasabah sepanjang tahun 1998
tersebut sangat signifikan jika dibandingkan dengan perkembangan nasabah pada bulan
yang sama tahun 1997 (Grafik 2). Lonjakan jumlah nasabah dari posisi Mei ke Juni 1998
tersebut diduga merupakan dampak krisis ekonomi sehingga akses masyarakat untuk dapat
memperoleh kredit dari perbankan semakin sulit, mulai banyaknya perusahaan yang
melakukan PHK terhadap karyawan dan meningkatnya harga emas. Faktor lain yang
menyebabkan lonjakan jumlah nasabah tersebut menurut Perum Pegadaian adalah “peak
season” tahun ajaran baru serta meningkatnya gangguan keamanan. Berdasarkan Kandanya,
peningkatan jumlah nasabah terbesar terjadi pada Kanda Surabaya (243,7%) dan terendah
pada Kanda Malang (2,3%).
(ribu) 1997
1,400
1998
1,200
1,000
800
600
400
200
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des
*) *)
1997 1998 1997 1998
Gol. Nasabah Jml. Nsb. Jml. Nsb. Profesi Jml. Nsb. Jml. Nsb.
(ribu) % (ribu) % (ribu) % (ribu) %
A 2.331,5 43,9 2.682,7 40,5 Petani 1.638,2 30,9 2.032,9 30,7
B 1.463,2 27,6 1.612,8 24,4 Nelayan 405,7 7,6 430,4 6,5
C 871,1 16,4 1.458,9 22,0 Industri 325,6 6,1 331,1 5,0
D 635,4 12,0 864,1 13,0 Pedagang 1.221,3 23,0 1.410,4 21,3
E 3,9 0,1 3,3 0,05 Karyawan 449,0 8,5 682,0 10,3
Lain-lain 1.265,3 23,9 1.734,9 26,2
Jumlah 5.305,1 6.621,7 100,0 5.305,1 100,0 6.621,7 100,0
Sumber : Perum Pegadaian, diolah.
Keterangan :
*) : s.d September
A = Rp 5.000 - Rp 40.000 C = Rp 151.000 - 500.000 E = pinjaman kepada
B = Rp 40.000 - Rp 150.000 D = Rp 510.000 - 20.000.000 pegawai Perum Pegadaian
78 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Penggunaan dana pinjaman oleh nasabah sangat bervariasi baik untuk tujuan
konsumtif maupun produktif. Kebutuhan konsumtif yang dapat dipenuhi dari pegadaian
antara lain pemenuhan kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah, biaya pengobatan, dan
keperluan keluarga lainnya. Penggunaan yang bersifat produktif antara lain modal kerja
bagi petani dan pedagang, usaha yang bersifat pesanan seperti kontraktor skala kecil, perajin
mebel, usaha catering, pembayaran upah karyawan, dan lain-lain. Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa nasabah diperoleh informasi bahwa sebagian besar dana
pinjaman pegadaian dipergunakan untuk tujuan produktif (profil nasabah dikemukakan
pada “persepsi masyarakat”).
Lelang 13
Barang jaminan yang dilelang sampai dengan 30 September 1998 adalah sebanyak
261.810 potong (1,7% omset) atau senilai Rp 11,3 miliar (0.5% dari omset atau 1,5% dari sisa
uang pinjaman), rasio tersebut menurun jika dibandingkan dengan tahun 1997 (1,0% dari
omset dan 4,1% dari sisa uang pinjaman). Jika dibandingkan dengan volume dan nilai
lelang sampai sebelum krisis (1997), maka telah terjadi penurunan jumlah dan nilai barang
yang dilelang masing-masing sebesar 36,7% dan 47,8%. Menurut masing-masing golongan
nasabah, rasio nilai lelang terhadap total kredit untuk golongan A meningkat dari 2,2%
(1997) menjadi 2,3% (1998) tertinggi dibandingkan dengan golongan lain. Sedangkan rasio
terendah adalah golongan D yaitu sebesar 0,1%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
krisis ekonomi sangat dirasakan dampaknya khususnya oleh nasabah mikro dengan semakin
meningkatnya nilai pinjaman yang tidak dilunasi oleh golongan tersebut.
Sementara itu, pinjaman yang digolongkan sebagai kredit macet di BPR (per 30 Juni
1998) mencapai Rp 253 miliar (15 % dari total kredit yang diberikan), sedangkan kredit
macet di BRI UDes (per 30 September 1998) mencapai Rp 22,1 miliar (0,5% dari total kredit
yang diberikan). Perbandingan kualitas pinjaman yang diberikan tersebut menunjukkan
persentase kredit macet di Perum Pegadaian lebih besar dibandingkan dengan BRI UDes
(0,5%), namun jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kredit macet di BPR.
1 3 Lelang merupakan upaya pengembalian uang pinjaman beserta sewa modal yang tidak dilunasi atau pinjamannya
tidak diperpanjang (roll over) oleh nasabah sampai batas waktu yang ditentukan, dengan menjual barang jaminan
kepada masyarakat umum pada waktu yang telah ditentukan.
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 79
A 285.914 3,9 183,2 48,5 2,2 8,1 197.010 2,7 115,3 34,9 2,3 7,7
B 98.813 7,7 475,9 118,1 1,6 6,5 50.801 3,9 317,9 78,8 1,2 4,9
C 25.047 6,2 679,5 172,2 0,9 3,6 12.403 3,0 709,0 227,9 0,4 1,3
D 3.504 3,7 739,0 182,9 0,5 2,0 1.596 1,7 1.166,8 408,9 0,1 0,4
TOTAL 413.278 21,6 2.077,6 521,7 1,0 4,1 261.810 11,3 2.309,0 750,5 0,5 1,5
Keterangan : *) potong a) : rasio lelang thd omset
**) : nilai barang yang dilelang (miliar rupiah) b) : rasio lelangthd sisauang pinjaman
***) : omset pinjaman (miliar rupiah)
Sumber : PerumPegadaian, diolah.
Pada periode Januari s.d September 1998, lelang terbanyak dilakukan oleh Kanda
Yogyakarta (38,8 ribu potong) sedangkan yang paling sedikit dilakukan oleh Kanda
Balikpapan (3 ribu potong). Sementara nilai lelang terbesar terdapat di Kanda Jakarta (Rp 2
miliar) dan yang paling sedikit di Kanda Balikpapan (Rp 289,7 juta).
Sementara itu, kredit macet BPR sebagian besar terdapat di wilayah Jawa yang
mencapai 58% total kredit macet, khususnya di Jabotabek sebesar Rp 73,4 miliar (4,3% total
kredit atau 29% total kredit macet). Sedangkan volume kredit macet paling kecil terdapat di
wilayah Sulawesi (termasuk Maluku, Irian Jaya dan Timor Timur) sebesar 0,1% total kredit
atau 0,9% dari total kredit macet.
Sedangkan kredit macet di BRI UDes baik sebelum maupun sesudah krisis, sebagian
besar terdapat di wilayah Jawa dan paling sedikit di wilayah Bali (termasuk NTT dan NTB).
Untuk tahun 1998, kredit macet di wilayah Jawa sebesar Rp 12,6 miliar (0,27% total kredit
atau 56,81% total kredit macet), khususnya DKI & Jawa Barat sebesar Rp 6,5 miliar (0,14%
total kredit atau 29,6% total kredit macet). Untuk wilayah Bali (termasuk NTT dan NTB)
kredit macet sebesar Rp 794 juta (0,02% total kredit atau 3,6% total kredit macet).
1 4 Sebagai contoh turunnya harga barang jaminan adalah turunnya harga emas secara drastis di bulan November
hingga mencapai 60% dari harga bulan Juni 1998, sehingga banyak nasabah dengan barang jaminan emas yang
meminjam pada bulan Juni 1998 dan jatuh tempo pada November 1998 tidak melunasi pinjamannnya.
80 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Aset
Aset Perum Pegadaian menunjukkan kecenderungan meningkat. Jumlah aset per 30
September 1998 tercatat sebesar Rp 1,1 triliun, melampaui target yang ditetapkan untuk
tahun 1998 sebesar Rp 1 triliun (Tabel 4.4). Realisasi aset pada tahun 1998 tersebut meningkat
sebesar 51,6% dibandingkan periode yang sama tahun 1997. Total aset Perum Pegadaian
tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan total aset BPR (per Juni 1998) yang telah
mencapai Rp 2,4 triliun. Total aset terbesar dimiliki oleh Perum Pegadaian di wilayah Kanda
Jakarta (Rp 183 miliar), sedangkan yang terkecil adalah Kanda Kupang (Rp 34 miliar). Ditinjau
berdasarkan wilayah, total aset Perum Pegadaian sebagian besar terkonsentrasi di wilayah
Jawa (Rp 573 miliar atau 50,3% total aset Perum Pegadaian) dan yang paling kecil adalah
wilayah Kalimantan (Rp 44 miliar atau 3,9% total aset Perum Pegadaian). Sementara itu,
total aset BPR sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Jawa (Rp 1,7 triliun atau 70,8% dari
total aset BPR) sedangkan yang paling kecil terdapat di wilayah Kalimantan sebesar Rp 63,9
miliar (2,7% total aset BPR). Perbandingan total aset berdasarkan wilayah tersebut
menunjukkan adanya kesamaan antara Perum Pegadaian dengan BPR yaitu konsentrasi
aset berada di wilayah Jawa dan aset terkecil di wilayah Kalimantan.
yang dicadangkan hanya sebesar Rp 8,5 miliar). Menurut Perum Pegadaian, sinking fund
tersebut tidak dihimpun karena tidak diperoleh ijin dari Menkeu untuk membentuk
cadangan sebesar obligasi yang akan jatuh tempo, alokasi dana tersebut lebih diutamakan
untuk penambahan modal kerja.
Selain dari penerbitan obligasi, Perum Pegadaian juga memperoleh pinjaman berbunga
rendah dalam bentuk RDI pemerintah sebesar Rp 100 miliar (sejak tanggal 4 September
1998), khususnya untuk memenuhi kebutuhan dana akibat lonjakan nasabah dan bantuan
KLBI sejumlah Rp 50 miliar (per 31 Desember 1998). Dana dengan suku bunga murah yang
diperoleh Perum Pegadaian tersebut di satu sisi sangat membantu dalam mengatasi kesulitan
likuiditas yang dialami, namun dari sisi makro berdampak pada timbulnya distorsi suku
bunga pasar pinjaman berskala kecil. Mengacu pada temuan Robinson yang menggunakan
pendekatan RFI, bahwa suku bunga bersubsidi dapat menimbulkan inefisiensi dalam
penyaluran dana di pedesaan. Dengan demikian, kebijakan subsidi bunga hanya akan
efektif apabila diterapkan dalam jangka pendek.
Kewajiban Jangka Pendek 163,6 151,6 240,1 275 282,8 412 45,7
Hutang bank 140,6 119,4 167,4 201,5 321 59,3
Kewajiban lainnya 22,9 32,2 72,7 81,3 91 11,9
Hutang Obligasi 175 275 225 390 225 264,6 17,6
Hutang Sewa Guna Usaha 0,487 0,5 - - -
Hutang jangka panjang lainnya - - - - 100
Ekuitas 307,9 325 333 363,3 356,3 363 1,9
Penanaman dana oleh Perum Pegadaian dalam bentuk aktiva lancar (dikelompokkan
dalam kas dan setara kas, pinjaman yang diberikan dan lainnya) serta aktiva lain. Aktiva
dalam bentuk kas dan setara kas per 30 September 1998 tercatat sebesar Rp 119 miliar
meningkat 240,9% dari periode yang sama tahun 1997, terutama diakibatkan oleh
meningkatnya nilai deposito sebesar 605%.
Perlu dikemukakan bahwa lonjakan deposito tersebut terjadi karena adanya pencairan
bantuan modal kerja dari Pemerintah dalam bentuk RDI sebesar Rp 100 miliar pada tanggal
4 September 1998, dimana sampai dengan 30 September 1998 telah disalurkan ke nasabah
sejumlah Rp 35 miliar, dan sisanya sebesar Rp 65 miliar untuk sementara disimpan dalam
82 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
bentuk deposito. Dari jumlah tersebut, Rp 50 miliar dalam deposit on-call dan Rp 15 miliar
untuk cadangan investasi.
Pinjaman yang diberikan per tanggal 30 September 1998 sebesar Rp 756,8 miliar,
meningkat 58,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1997. Sementara aktiva
lain hanya meningkat sebesar 2,9%. Penanaman dana dalam bentuk pinjaman yang diberikan
mempunyai porsi yang paling besar (86,5%) dibandingkan aktiva produktif lainnya.
Secara makro, pinjaman yang diberikan oleh Perum Pegadaian baik dibandingkan
dengan total kredit yang diberikan maupun dalam peer-groupnya relatif kecil. Porsi kredit
yang diberikan Perum Pegadaian terhadap total kredit pada September 1998 sebesar 0,1%
total kredit atau 6,6% total kredit peer-group. Meskipun porsi Perum Pegadaian saat ini
masih kecil dan secara makro tidak terlalu besar dampak moneternya, namun peran Perum
Pegadaian dalam memberikan pinjaman cenderung tidak mengalami penurunan dalam
masa krisis ini, porsi BPR dan BRI UDes justru mengalami penurunan. Perbandingan dalam
peer-groupnya menunjukkan peningkatan porsi Perum Pegadaian yang lebih besar
dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes, yaitu dari 7,3% (1997) menjadi 10,7% (1998),
sementara porsi BPR menunjukkan penurunan, sedangkan porsi BRI UDes meskipun
meningkat namun tidak sebesar peningkatan Perum Pegadaian (Tabel 4.5). Dalam kondisi
perkembangan perbankan saat ini yang tidak menentu maka tidak tertutup kemungkinan
pangsa pegadaian akan mampu melampaui pangsa BPR.
Pegadaian 414,3 6,6 0,1 526,2 7,3 0,1 756,8 10,7 0,1
BPR 1.795,0 28,6 0,6 1.976,3 27,5 0,5 1.696,9 24,0 0,3
BRI Unit Desa 4.077,0 64,9 1,4 4.688,0 65,2 1,2 4.621,0 65,3 0,7
Sub-Total 6.286,3 2,1 7.190,5 1,9 7.074,7 1,1
Pinjaman yang diberikan oleh Perum Pegadaian, BPR dan BRI UDes menurut wilayah
adalah sebagai berikut :
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 83
• Pinjaman terbesar diberikan oleh Perum Pegadaian di wilayah Jawa, yaitu sebesar Rp
441,1 miliar (58,3% total pinjaman), sedangkan yang terkecil diberikan oleh Perum
Pegadaian di wilayah Kalimantan sebesar Rp 36,6 miliar (4,8% total pinjaman).
• Kredit yang diberikan oleh BPR sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Jawa, yaitu
sebesar Rp 1,2 triliun (74% dari total kredit BPR), sedangkan yang paling kecil diberikan
oleh BPR di wilayah Sulawesi (termasuk Maluku, Irian dan Tim-Tim) sebesar Rp 36,5
miliar (2% dari total kredit).
• Sedangkan untuk BRI UDes, kredit yang diberikan per 30 September 1998 terkonsentrasi
di pulau Jawa, yaitu sebesar Rp 2,8 triliun (64% dari total kredit) dan yang paling sedikit
di wilayah Bali (termasuk NTB dan NTT) sebesar Rp 293 miliar (6,3% dari total kredit).
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pinjaman yang diberikan oleh ketiga lembaga
formal tersebut selama ini terkonsentrasi di pulau Jawa.
provisi yang sudah mencapai 112,6% dari target tahun 1998, sementara realisasi pendapatan
sewa modal baru mencapai 82,4%. Meskipun demikian, Perum Pegadaian masih mencatat
tingkat efisiensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan BPR (95,7%) dan BRI UDes
(84,1%). Salah satu aspek yang mendorong tingginya efisiensi yang mampu diraih Perum
Pegadaian dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes adalah karena Perum Pegadaian tidak
memperhitungkan cadangan kredit macet dalam komponen biaya operasionalnya. Cadangan
tersebut tidak dihimpun oleh Perum Pegadaian karena nilai pinjaman yang diberikan sudah
didiskonto dari nilai pasar/taksiran barang jaminan (Lampiran 13). Disamping itu, Perum
Pegadaian memiliki struktur modal yang lebih kuat dan juga memperoleh pinjaman dengan
suku bunga relatif murah.
Profitabilitas
Dengan menggunakan indikator ROA dan ROE, untuk periode 1997 dan 1998
diperoleh koefisien ROA sebesar 6,5% (1997) dan 4,4% (1998), dan koefisien ROE sebesar
10,7% (1997) dan 9,3% (1998). Koefisien tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1998
terjadi penurunan kemampuan Perum Pegadaian dalam meraih keuntungan. Sementara
ROA yang mampu diraih BPR sebesar 1,3% dan 1,1% dengan ROE sebesar 4,7% dan 3,3%,
sedangkan ROA BRI UDes sebesar 4,8% dan 3,3%. Dengan membandingkan besarnya rasio
profitabilitas Perum Pegadaian dan BPR untuk masing-masing periode tersebut terlihat
bahwa kemampuan Perum Pegadaian dalam meraih keuntungan relatif lebih baik jika
dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes (Lampiran 13). Profitabilitas yang tinggi tersebut
mampu diraih Perum Pegadaian karena besarnya sewa modal hampir sama dengan suku
bunga perbankan, khususnya pada masa krisis ekonomi, di sisi lain sumber dana bersubsidi
yang diperoleh serta modal Perum Pegadaian cukup besar.
Likuiditas
Rasio antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar Perum Pegadaian rata-rata tahun
1997 sebesar 2,4 kali dan untuk tahun 1998 tidak berubah yaitu sebesar 2,4 kali. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1997 dan 1998 Perum Pegadaian mempunyai
kemampuan untuk memenuhi kewajiban lancarnya sebesar 2,4 kali. Pencapaian rasio
tersebut berarti telah sesuai dengan target yang ditetapkan. Jika dibandingkan dengan rasio
BPR sebesar 1,2 kali menunjukkan bahwa Perum Pegadaian mempunyai kemampuan yang
lebih baik dalam memenuhi kewajiban lancarnya (Lampiran 13).
Solvabilitas
Kemampuan Perum Pegadaian untuk memenuhi semua kewajibannya berdasarkan
rasio antara total hutang dengan total aktiva rata-rata tahun 1997 dan tahun 1998 adalah
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 85
sebesar 64,1%, lebih baik jika dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes dengan rasio masing-
masing sebesar sebesar 76,8% dan 89%. Rasio tersebut menunjukkan bahwa Perum Pegadaian
mempunyai kemampuan lebih besar dalam memenuhi seluruh kewajibannya dibandingkan
dengan BPR dan BRI UDes (Lampiran 13).
Defisit pada golongan A yang ditandai oleh marjin negatif, sejalan dengan komitmen
Perum Pegadaian untuk membantu nasabah mikro dengan menerapkan subsidi silang pada
sewa modal. Turunnya marjin pada golongan A, B dan C tersebut ternyata tidak menyebabkan
penurunan laba, yang terlihat dari meningkatnya marjin tertimbang (weighted profit/loss) dari
7,34% (1997) menjadi 10,26% (1998) (Lampiran 15-A). Marjin yang diperoleh Perum Pegadaian
tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan perbankan (Lampiran 16). Pada periode 1996
s.d 1998 perbankan mencatat marjin negatif dengan kecenderungan semakin besar pada tahun
1998. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa secara umum harga kredit di Perum
Pegadaian lebih mahal dibandingkan perbankan. Namun karena prosedurnya mudah, maka
masyarakat masih tertarik untuk meminjam dari Perum Pegadaian.
Pada bagian kedua (Lampiran 15-B), dilakukan penurunan marjin keuntungan pada
nasabah golongan B, C, dan D secara bertahap sebesar 1%. Pada bagian ini, marjin untuk
nasabah golongan A dibiarkan tetap dan distribusi omzet untuk tiap golongan nasabah
sama dengan kondisi pada tahun 1998. Berdasarkan hasil simulasi terlihat bahwa setiap
penurunan marjin keuntungan sebesar 1 % pada golongan B, C dan D akan menurunkan
keuntungan +Rp 22 miliar. Pegadaian masih memiliki keuntungan Rp 17,6 miliar pada saat
marjin untuk tiap golongan nasabah sebagai berikut : A = -7,24%; B = -1,74%; C = -
1,74%; dan D = 3,76%.
Berdasarkan kedua simulasi tersebut di atas, Perum Pegadaian masih memiliki ruang
untuk meningkatkan porsi pemberian kredit kepada nasabah golongan A dan menurunkan
sewa modal pada golongan B, C, dan D 15 .
Produktivitas Omset
Realisasi omset sampai dengan 30 September 1998 adalah sebesar Rp 2.318 miliar
dengan jumlah pegawai sebanyak 6.243 orang. Produktivitas omset yang diukur dengan
rasio antara realisasi omset dengan jumlah pegawai selama Januari - September 1998 yaitu
sebesar Rp 371,3 juta, atau rata-rata Rp 41,3 juta per bulan.
Target Realisasi
Berdasarkan realisasi tersebut terlihat bahwa produktivitas omset yang mampu dicapai
Perum Pegadaian sampai dengan September 1998 sudah mencapai 79,2% dari target yang
ditetapkan untuk tahun 1998. Rasio yang dicapai pada tahun 1998 tersebut masih lebih
besar dibandingkan tahun 1996 (Rp 311 juta) dan 1997 (Rp 340 juta). Sedangkan berdasarkan
analisis untuk masing-masing wilayah kerja Perum Pegadaian menunjukkan bahwa
pegadaian di wilayah Ujungpandang mempunyai produktivitas omset terbesar (Rp 682,9
1 5 Berdasarkan informasi, Perum Pegadaian telah menetapkan keputusan (SK. No. 16/UT/II/1999) untuk menurunkan
besarnya sewa modal (golongan B,C dan D) yang berlaku mulai tanggal 1 Maret 1999.
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 87
juta) baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi, sedangkan produktivitas omset terendah
terdapat di wilayah Sumatera (Rp 336,1 juta), sedangkan yang terendah pada 1997 adalah
Perum Pegadaian di wilayah Jawa.
Rasio antara jumlah nasabah dengan jumlah Pegawai tahun 1998 adalah sebagai
berikut :
Target Realisasi
Rasio tersebut menunjukkan bahwa realisasi rasio jumlah nasabah dengan jumlah
pegawai yang dicapai Perum Pegadaian sampai 30 September 1998 telah melampaui target
yang ditetapkan. Rasio tersebut meningkat jika dibandingkan dengan rasio tahun 1996
(907,8 orang) dan tahun 1997 (862,6 orang). Untuk masing-masing wilayah kerja, rasio
nasabah dengan pegawai tertinggi baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi terdapat
di wilayah Ujungpandang dengan rasio sebesar 1.400,9 (1998) dan 1.379 orang (1997); 1.582
orang (1996) nasabah untuk satu orang pegawai, sedangkan produktivitas terendah adalah
wilayah Sumatera dengan rasio sebesar 806,3 (1998); 480 orang (1997) dan 448 nasabah
(1996) untuk satu orang pegawai.
Masalah Temporer
Lonjakan nasabah yang sangat besar terutama sejak Juni 1998 telah menyebabkan
Perum Pegadaian melakukan overdraft yang besar atas pinjaman rekening koran di BRI,
yang mengakibatkan BRI menghentikan pemberian kredit lebih lanjut ke Perum Pegadaian
88 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
sejak pertengahan Agustus 1998. Saldo pinjaman rekening koran di BRI tersebut pada akhir
September 1998 sebesar Rp 284,3 miliar (plafond Rp 181,7 miliar).
Kesulitan likuiditas tersebut semakin dalam karena Perum Pegadaian harus membayar
pokok dan bunga obligasi yang jatuh tempo, sementara penerbitan obligasi baru kurang
laku. Untuk mengatasi hal tersebut Perum Pegadaian telah memperoleh RDI Pemerintah
sebesar Rp 100 miliar (4 September 1998) serta KLBI sebesar Rp 50 miliar pada bulan Desember
1998. Sebelumnya, sejak November 1998 setiap kantor daerah wajib melakukan setoran ke
kantor pusat secara proporsional berdasarkan modal kerja yang dimanfaatkan. Dampak
dari kesulitan likuiditas tersebut adalah semakin terbatasnya kemampuan Perum Pegadaian
dalam memberikan kredit kepada masyarakat.
Kesulitan likuiditas yang dialami Perum Pegadaian juga terlihat dari perbandingan
antara realisasi pinjaman yang diterima nasabah dengan nilai taksiran yang ditetapkan.
Sampai dengan 30 September 1998, perbandingan tersebut relatif rendah dengan persentase
secara nasional sebesar 73,5%. Nilai realisasi uang pinjaman dengan persentase tertinggi
diberikan oleh Kantor Daerah Jember (81,8%), sedangkan yang terendah diberikan oleh
Kantor Daerah Balikpapan (65,2%). Jika mengacu pada ketentuan yang menetapkan realisasi
uang pinjaman untuk nasabah golongan A sebesar 90%, B dan C sebesar 85%, D (dibawah
2,5 juta) sebesar 81% dan D (diatas 2,5 juta) sebesar 81%, maka nilai rata-rata realisasi uang
pinjaman terhadap nilai taksiran untuk golongan A sebesar 85,3%, B sebesar 71,9%, C sebesar
73,4% dan D 73,1% masih lebih kecil dari ketentuan yang berlaku (Tabel 4.8). Kondisi tersebut
tentunya kurang menguntungkan bagi nasabah yang membutuhkan dana lebih besar karena
pinjaman yang diterima jauh lebih kecil dari nilai taksiran maupun nilai pasar barang yang
diagunkan.
A 90 85,3
B 85 71,9
C 85 73,4
D 81 73,1
*) SE No. 37-OPP-1/1/23 tgl. 30 Juli 1998
Kebijakan yang telah ditempuh agar tetap mampu melayani sebanyak mungkin
nasabah dalam kondisi keterbatasan dana, maka berdasarkan SE No. 28/OPP.1/1/117
tanggal 17 Juni 1998, Perum Pegadaian menurunkan plafon maksimum pinjaman yang
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 89
dapat diperoleh nasabah dari Rp 20 juta (golongan D) menjadi maksimum Rp 5 juta per SBK.
Beberapa kantor cabang yang diamati bahkan telah melakukan pembatasan plafon pinjaman
maksimum untuk seorang nasabah rata-rata kurang dari Rp 5 juta. Kebijakan tersebut tetap
dipertahankan sampai saat ini meskipun sudah ada tambahan dana RDI dan KLBI yang
sebagian justru ditanamkan dalam bentuk deposito.16
Kenaikan suku bunga pasar juga menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Perum
Pegadaian karena biaya dana yang sebagian besar diperoleh dari kredit bank semakin besar.
Untuk memperkecil dampak naiknya suku bunga pasar, maka Perum Pegadaian sejak 30
Juni 1998 menempuh kebijakan dengan menaikkan suku bunga pinjaman untuk golongan
D dengan nilai pinjaman di atas Rp 500 ribu (Lampiran 5). Namun di sisi nasabah, kebijakan
tersebut dianggap memberatkan bagi beberapa nasabah meskipun bagi nasabah lainnya
tidak terlalu memperdulikan kenaikan suku bunga tersebut.
Permasalahan Struktural
Perum Pegadaian sebagai satu-satunya lembaga keuangan yang memberikan
pinjaman dengan sistem gadai mempunyai jaringan kantor cabang yang sangat banyak
dengan wilayah operasional yang sangat luas. Luasnya jaringan kerja tersebut di satu sisi
sangat mendukung usaha Perum Pegadaian dalam membantu masyarakat, namun di sisi
lain menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Perum Pegadaian. Permasalahan yang
timbul terutama adalah terlalu luasnya rentang kendali masing-masing kantor daerah
terhadap kantor cabang-kantor cabang yang ada di wilayah koordinasinya. Dengan jumlah
tenaga pemeriksa hanya 4 orang, setiap kantor daerah rata-rata membawahi lebih dari 50
Kanca dengan frekuensi pemeriksaan untuk masing-masing kantor cabang rata-rata 3 – 4
kali dalam satu tahun. Sementara itu, kanda di luar Jawa harus membawahi kanca yang
secara geografis terlalu jauh. Luasnya rentang kendali tersebut belum diimbangi dengan
1 6 Menurut Perum Pegadaian, dana sebesar Rp 50 milyar yang disimpan dalam bentuk deposito (on call) dengan
jangka waktu kurang dari 1 bulan dimaksudkan untuk cadangan pelunasan pinjaman BRI yang jatuh tempo.
90 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
sarana komunikasi yang memadai sehingga belum dapat menunjang pemantauan kinerja
kanca-kanca secara efektif.
Sistem manajemen yang diterapkan oleh Perum Pegadaian saat ini cenderung
menekankan pada besarnya peranan kantor pusat. Sistem manajemen sentralistik tersebut
di satu sisi dapat menunjang sistem internal control yang handal, namun di sisi lain berpotensi
menghambat kinerja Perum Pegadaian. Sistem manajemen tersebut dalam jangka panjang
akan menimbulkan permasalahan tersendiri khususnya jika kebijakan pemberian otonomi
yang lebih besar untuk masing-masing propinsi di Indonesia akan dilaksanakan oleh
Pemerintah.
(i) Penetapan besarnya sewa modal. Kantor daerah dan kantor cabang tidak diperbolehkan
untuk menetapkan besarnya tingkat sewa modal (suku bunga) meskipun terhadap
nasabah-nasabah potensial.
(ii) Penetapan harga patokan emas. Harga patokan emas ditetapkan oleh kantor pusat
dengan berdasarkan harga emas di Jakarta. Sistem ini berdampak pada lambatnya
antisipasi kantor cabang dalam merespon perkembangan harga emas di daerah.
1 7 Menurut Perum Pegadaian, dwilipat kunci disimpan oleh Kepala Cabang karena dalam setiap pemeriksan intern
dwilipat kunci tersebut diperiksa sampai sejauh mana penyalahgunaan pemakaiannya, serta sewaktu-waktu dapat
digunakan apabila pemegang kunci utama (pemegang gudang) berhalangan untuk masuk kerja.
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 91
praktek transfer dana antarcabang 18, pelanggaran kriteria barang jaminan yang dapat
diterima Perum Pegadaian 19 , penyimpanan barang jaminan pada tempat yang tidak sesuai
dengan prosedur, serta tidak dilaksanakannya prosedur internal control kluis dan gudang.
Sementara itu, Perum Pegadaian juga akan terus menghadapi risiko fluktuasi harga
barang jaminan akibat fluktuasi nilai tukar mengingat besarnya jumlah agunan di Perum
Pegadaian berupa emas/perhiasan yang harganya mengikuti pergerakan harga pasar
internasional. Nilai barang jaminan dalam bentuk emas/perhiasan pada tahun 1998 dan
1997 masing-masing sebesar 75% dari total pinjaman meningkat dibandingkan tahun 1996
(72%). Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah barang jaminan dalam bentuk
emas/perhiasan semenjak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
Persepsi Masyarakat
Berdasarkan hasil penelitian lapangan ke beberapa kantor cabang, ditemukan berbagai
persepsi masyarakat terhadap Perum Pegadaian. Pada umumnya masyarakat, khususnya
yang berpendapatan rendah, merasa sangat terbantu oleh Perum Pegadaian. Penggunaan
dana oleh nasabah sangat beragam baik untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat produktif
(misalnya untuk modal kerja dan bridging financing) sampai untuk memenuhi kebutuhan
yang bersifat konsumtif (misalnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah
dan kebutuhan mendesak lainnya). Dari 90 nasabah yang dipilih secara acak dan berhasil
diwawancarai, mayoritas berpenghasilan antara Rp 150 ribu s.d Rp 500 ribu per bulan.
Sebagian besar nasabah tersebut tidak mempunyai akses ke perbankan atau tidak mau
berhubungan dengan perbankan karena prosedur yang rumit. Berdasarkan penggunaannya,
mayoritas nasabah (± 59%) mempergunakan pinjaman yang diperoleh dari Perum Pegadaian
untuk tujuan produktif seperti modal kerja (56%) dan bridging financing (3%), sedangkan
sisanya mempergunakan untuk tujuan konsumtif seperti biaya sekolah (17%), kebutuhan
sehari-hari (16%), emergency (5%), dan lain-lain (3%). (Grafik 3).
1 8 Menurut Perum Pegadaian, praktek transfer antarcabang masih diijinkan sepanjang BRI yang terdapat di wilayah
kantor cabang tersebut tidak menyediakan fasilitas rekening giro. Namun dalam prakteknya dijumpai beberapa
kantor cabang yang berlokasi di wilayah kota besar masih melakukan praktek transfer antarcabang, meskipun di
wilayah tersebut terdapat kantor BRI yang cukup besar.
1 9 Menurut Perum Pegadaian, barang jaminan yang tidak memenuhi ketentuan yang sudah ditetapkan masih bisa
diterima asalkan secara ekonomis tidak menimbulkan kerugian bagi Perum Pegadaian.
92 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Lain-lain
Em ergency 3%
5% Biaya Sekolah
17%
Brid. Financing
3%
Keb. Sehari-hari
16%
Modal Kerja
56%
Disamping persepsi positif nasabah tersebut, dari penelitian lapangan juga ditemukan
bahwa beberapa nasabah merasakan tingginya suku bunga Perum Pegadaian saat ini serta
sistem penghitungan bunga dengan acuan minimal 15 hari dirasakan cenderung merugikan
nasabah. Kesulitan likuiditas yang dialami sejak Agustus 1998 berdampak pada
berkurangnya kemampuan Perum Pegadaian dalam melayani nasabah, sehingga nasabah
khususnya nasabah besar mulai merasakan bahwa Perum Pegadaian tidak selalu dapat
memberikan pinjaman sesuai permintaan mereka. Kondisi tersebut mendorong beberapa
nasabah besar untuk beralih ke pemberi pinjaman lainnya seperti pelepas uang, pegadaian
gelap atau toko emas.
dengan Perum Pegadaian. Namun tidak semua masyarakat merasa malu berhubungan dengan
Perum Pegadaian, terlihat pada beberapa wilayah seperti Ujung Pandang (mencakup Sulawesi,
Maluku, dan Irian Jaya) serta Kodya Yogyakarta, sedangkan pada beberapa wilayah kantor
Perum Pegadaian lainnya yang diamati sebagian nasabah masih merasa malu untuk
berhubungan langsung dengan pegadaian dan lebih suka menggunakan jasa perantara (calo).
Potensi Perum Pegadaian tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
a. Kesiapan jaringan kerja dan sumber daya manusia
Perum Pegadaian mempunyai jaringan kerja yang sangat luas (633 kantor cabang) yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain jaringan kerja yang sangat luas, Perum
Pegadaian juga didukung oleh jumlah dan kualitas pegawai yang cukup memadai.
b. Keberpihakan pada masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah
Keberpihakan Perum Pegadaian kepada masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah
terlihat dari relatif kecilnya skala kredit yang diberikan dibandingkan dengan lembaga
formal lainnya, dengan plafon terendah Rp 5.000 dan tertinggi Rp 20 juta. Disamping itu,
Perum Pegadaian juga masih memberikan peluang bagi permintaan pinjaman dalam
skala yang lebih besar (diatas Rp 20 juta). Prosedur pengajuan dan pelunasan pinjaman
relatif mudah dan cepat. Suku bunga pinjaman yang dikenakan Perum Pegadaian pada
umumnya juga relatif rendah. Nasabah pegadaian sebagian besar merupakan nasabah
mikro dan mayoritas berprofesi sebagai petani. Keberpihakan tersebut juga tercermin
dalam misi yang ditetapkan dalam periode RJP II untuk ikut meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana
berdasarkan hukum gadai secara inovatif dan melakukan usaha lain yang menunjang.
c. Meningkatnya jumlah pinjaman yang diberikan.
Pinjaman yang diberikan pegadaian kepada masyarakat semakin meningkat seiring
dengan lonjakan permintaan khususnya sejak krisis ekonomi. Lonjakan tersebut
merupakan dampak semakin sulitnya akses masyarakat ke perbankan.
d. Kinerja yang semakin meningkat
Perum Pegadaian merupakan salah satu usaha di sektor keuangan yang masih dapat
bertahan di masa krisis ekonomi dewasa ini bahkan menunjukkan kinerja yang semakin
meningkat, khususnya jika dibandingkan dengan BPR. Kinerja efisiensi, profitabilitas,
likuiditas maupun solvabilitas Perum Pegadaian pada umumnya juga relatif lebih baik
jika dibandingkan dengan lembaga lain khususnya BPR dan BRI UDes.
e. Keunggulan Perum Pegadaian
Keunggulan utama Perum Pegadaian dibandingkan lembaga lain adalah prosedur yang
mudah, murah dan cepat. Disamping itu pemberian pinjaman dengan sistem gadai dapat
memperkecil moral hazard khususnya dalam penyaluran kredit-kredit bersubsidi, karena
dengan sistem gadai nasabah dididik untuk berupaya mengembalikan pinjaman yang
diterima.
prosedur dan persyaratan yang mudah dan murah. Nasabah mikro pada Perum pegadaian
tersebut terutama adalah golongan A (dengan nilai pinjaman antara Rp 5.000 – Rp 40.000)
pada tahun 1998 mencapai 41,4% total nasabah. Namun porsi dan nilai pinjaman yang
diperoleh golongan ini relatif sangat kecil (rata-rata sebesar Rp 18.000) dibandingkan
golongan B,C dan D. Kecilnya skala pinjaman golongan A tersebut juga terlihat dari jenis-
jenis barang yang banyak dijadikan agunan seperti : kain, alat rumah tangga (misal : kuali/
panci, piring, sendok, lampu tekan, dll), sepeda dan lain-lain. Fenomena tersebut nampak
jelas di kantor-kantor Perum Pegadaian di wilayah Jawa, khususnya di wilayah pantai
utara. Total nilai pinjaman untuk golongan A pada tahun 1998 sebesar Rp 115,4 miliar atau
hanya sebesar 5% dari total omset Perum Pegadaian. Namun perkembangan terakhir
menunjukkan kecenderungan pergeseran orientasi pemberian pinjaman ke nasabah besar
(golongan D) meskipun Perum Pegadaian masih mempunyai peluang untuk meningkatkan
porsi pinjaman untuk nasabah mikro (golongan A).
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Perkembangan Perum Pegadaian dalam tiga tahun terakhir cukup pesat, khususnya
tahun 1998 (setahun terakhir) terjadi pelonjakan kinerja terutama karena beralihnya
sebagian nasabah perbankan ke Perum Pegadaian.
96 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
2. Perum Pegadaian telah ikut berperan dalam kegiatan pembiayaan usaha kecil. Jaringan
Perum pegadaian yang didukung oleh 633 kantor menjangkau seluruh wilayah Indonesia
sampai ke pedesaan. Kredit yang diberikan terutama kepada nasabah menengah ke bawah
yang pada umumnya bergerak di sektor informal dan tidak memiliki akses ke perbankan.
Peran Perum Pegadaian dalam mendukung pemberdayaan ekonomi rakyat cukup besar
terlihat dari jumlah nasabah mencapai 6,6 juta (September 1998) dengan mayoritas
merupakan nasabah mikro (40,5%).
3. Secara makro dan jika dibandingkan dengan BPR dan BRI UDes yang memiliki pasar
yang hampir sama, sumbangan Perum Pegadaian dalam pemberian kredit masih lebih
rendah. Meskipun demikian, Perum Pegadaian memiliki keunggulan dalam kualitas
pinjaman yang diberikan, profitabilitas dan efisiensi. Keunggulan dalam profitabilitas
dan efisiensi tersebut terutama disebabkan oleh tingginya sewa modal yang dikenakan
(hampir sama dengan suku bunga perbankan), sementara dana yang diperoleh sebagian
besar bersuku bunga rendah.
4. Dalam tiga tahun terakhir telah terjadi pergeseran pemberian kredit dari nasabah kecil ke
nasabah besar. Hal ini terutama disebabkan oleh perubahan orientasi kebijakan Perum
Pegadaian untuk meningkatkan laba serta kenaikan golongan pinjaman karena adanya
kenaikan harga barang jaminan.
5. Pada periode Agustus s.d September 1998, Perum Pegadaian mengalami kesulitan
likuiditas akibat lonjakan permintaan nasabah dan kurangnya peminat obligasi yang
diterbitkan, sementara dana pelunasan obligasi yang dihimpun (sinking fund) kurang
memadai. Untuk memenuhi lonjakan tersebut, Perum Pegadaian melakukan penarikan
overdraft sangat besar sehingga mengakibatkan penghentian pemberian fasilitas overdraft
BRI. Untuk menutupi kekurangan dana tersebut (khususnya modal kerja), Perum
Pegadaian telah memperoleh fasilitas RDI dari Pemerintah dan KLBI.
6. Suku bunga (sewa modal) yang dikenakan Perum Pegadaian kepada nasabah saat ini
relatif tinggi. Namun masih terdapat peluang (room) bagi Perum Pegadaian untuk
menurunkan sewa modal khususnya untuk golongan B, C dan D dengan tetap memberikan
subsidi bagi golongan A, serta meningkatkan porsi pemberian kredit bagi golongan A
tanpa menimbulkan kerugian bagi Perum Pegadaian.
5.1 Saran
1. Berdasarkan kinerjanya Perum Pegadaian memiliki potensi untuk berperan dalam
channeling pemberdayaan ekonomi rakyat. Namun untuk mewujudkan potensi tersebut
Perum Pegadaian harus terlebih dahulu membenahi kelemahan-kelemahan struktural
yang ada.
2. Mengingat masih besarnya potensi pasar yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga
keuangan yang memberikan pinjaman berdasarkan sistem gadai, maka Pemerintah perlu
mengkaji kemungkinan pemberian izin bagi perusahaan lain untuk bergerak dalam
usaha pegadaian. Hal ini sekaligus dapat mendorong kompetisi untuk meningkatkan
efisiensi.
4. Masalah kesulitan likuiditas dapat diminimalkan apabila sampai batas tertentu kantor
daerah diberi kewenangan untuk mencari dana sendiri dengan memanfaatkan potensi
daerah setempat (sesuai dengan teori RFM).
5. Sesuai dengan misi Perum Pegadaian yang didukung oleh sumber dana yang mayoritas
bersubsidi, tersedianya room yang cukup luas, rentabilitas yang lebih baik dibandingkan
lembaga formal lainnya, serta kecenderungan penurunan suku bunga pasar, maka sudah
saatnya besarnya sewa modal diturunkan. Di samping itu, untuk menjaga konsistensi
pelaksanaan misi Perum Pegadaian, pemerintah hendaknya menetapkan ketentuan yang
mengatur batas minimum porsi kredit untuk nasabah kecil (golongan A dan B), misalnya
sebesar 30% - 40%.
7. Perum Pegadaian perlu melakukan evaluasi secara lebih intens terhadap kantor-kantor
cabang yang merugikan, untuk mengkaji apakah akan melakukan pemindahan kantor-
kantor cabang tersebut ke lokasi yang lebih strategis atau melakukan penutupan,
khususnya bagi Kanca defisit yang sudah lama didirikan dengan tetap
mempertimbangkan pelaksanaan misi sosial yang diemban.
98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
8. Untuk memperoleh penilaian efisiensi yang lebih riil, maka Perum Pegadaian perlu
memperhitungkan biaya dana untuk masing-masing Kanca.
9. Untuk menghindarkan terjadinya distorsi suku bunga pasar, maka kebijakan pemberian
bantuan likuiditas dengan subsidi bunga kepada lembaga pembiayaan yang berorientasi
pada masyarakat menengah ke bawah hendaknya hanya dilakukan dalam jangka pendek
atau dalam bentuk sekuritisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Egaitsu, Fumio (1986). Rural Financial Markets : Two School of Thoughts, dalam Farm Finance
and Agricultural Development. Tokyo : Asian Productivity Organization.
Husnan, Suad (1985). Manajemen Keuangan : Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Pendek)
Jilid 2. Penerbit BPFE Yogyakarta.
Robinson, Marguerite S (1992). Rural Financial Intermediation : Lessons From Indonesia Part One
The Bank Rakyat Indonesia : Rural Banking, 1970-91. Development Discussion Paper
No. 434. Harvard Institute for International Development. Harvard University.
Tim Analisis Jabatan Perum Pegadaian (1990). Uraian Tugas dan Kegiatan : Direktorat Operasi
dan Pengembangan, Direktorat Keuangan, dan Direktorat Umum.
Weston, J. Fred dan Brigham, Eugene F (1981). Manajemen Keuangan Edisi ke-7 Jilid I (Terjemahan
dari Managerial Finance 7th edition). Penerbit Erlangga Jakarta.
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 99
LAMPIRAN
Lampiran 1
Tugas masing-masing Kepala Sub Direktorat
1. Subdit Operasi dan Pengembangan (OPP), bertugas untuk membina penyaluran kredit
gadai, jasa dan mengembangkan kegiatan pemasaran serta mengkoordinasikan
pengolahan dan dan penyajian statistik perusahaan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku sebagai bahan pertimbangan pimpinan dalam rangka meningkatkan
pendapatan perusahaan.
9. Subdit Tata Usaha dan Rumah Tangga (TURT), bertugas untuk mengkordinasikan
pengurusan ketatausahaan, urusan rumah tangga dan perlengkapan kantor agar
pelaksanaan tugas berjalan lancar dan terpadu.
Lampiran 2
Jumlah Cabang yang Dibawahi oleh Setiap Kanda
I. Medan 35 7 42
II. Padang 36 3 39
III. Jakarta 44 11 55
IV. Bandung 49 2 51
V. U. Pandang 49 6 55
VI. Semarang 45 2 47
VII. Yogyakarta 56 0 56
VIII. Surakarta 53 0 53
IX. Surabaya 50 2 52
X. Malang 51 0 51
XI. Jember 37 0 37
XII. Denpasar 31 10 41
XIII. Balikpapan 22 9 31
XIV. Kupang 17 6 23
Lampiran 3
Manajemen Puncak 4 4 4 4
Manajemen Menengah 34 34 45 45
Manajemen Pelaksana 742 780 794 794
Staf Administrasi 4.349 4.365 4.050 3.974
Tingkat Pendidikan
SD 982 954 885 829
SLTP 465 437 404 377
SLTA 2.303 2.442 2.171 2.118
D3 897 814 811 803
S1 468 511 591 655
S2 14 25 31 35
Lampiran 4
Penanaman Dana Perum Pegadaian
(Juta rupiah)
Jenis Penanaman 1997 1998
Per-31 Des Per-30 Sep.
Lampiran 5
Tabel Sewa Modal dan Biaya PA masing-masing Golongan
Lampiran 6
Jenis-jenis Harga Pasar
Untuk menentukan nilai barang jaminan yang akan digadaikan oleh masyarakat,
Perum Pegadaian mengacu kepada harga pasar. Dalam hal ini Perum Pegadaian membuat
tiga kriteria harga pasar yaitu harga pasar pusat (HPP), harga pasar daerah (HPD) dan
harga pasar setempat (HPS).
1. Harga Pasar Pusat
HPP adalah harga pasar emas/perak/permata yang ditetapkan oleh Kanpus sebagai
patokan umum baik bagi Kanda maupun Kanca berdasarkan perkembangan harga
pasaran umum dengan memperhitungkan kecenderungan perkembangan harga di masa
mendatang.
2. Harga Pasar Daerah
HPD adalah harga pasar yang ditentukan oleh Kanda dengan memperhatikan toleransi
maksimum 4% di atas HPP dan 2% di bawah HPP.
3. Harga Pasar Setempat. HPS adalah harga pasar barang-barang gudang yang didasarkan
pada harga pasar barang baru (toko) di daerah setempat, yang direvisi minimum tiga
104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Lampiran 7
Kegiatan pemeriksaan barang jaminan di gudang
1. Pemeriksaan buku gudang yang dilakukan setiap hari.
2. Menghitung barang jaminan, yaitu dengan mencocokkan jumlah barang yang ada di
gudang dengan saldo menurut buku gudang. Penghitungan barang jaminan ini dilakukan
minimal sepuluh kali dalam satu bulan. Meskipun demikian dalam jangka waktu 2 bulan
tiap-tiap rubrik/golongan/ribuan harus sudah pernah dihitung sebanyak dua kali, dan
minimal 60% dari tiap rubrik/golongan/ribuan telah dihitung untuk ketiga kalinya.
3. Pemeriksaan isi barang jaminan, yaitu dengan mencocokkan fisik barang jaminan dengan
keterangan pada SBK dwilipatnya (lembar II/kopinya). Pemeriksaan ini dilakukan setelah
penghitungan barang jaminan selesai dilaksanakan.
4. Meronda gudang, yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara langsung ke dalam gudang
tentang kebersihan, kerapihan dan keamanan gudang berserta isinya. Kegiatan ini
dilakukan minimal 3 kali sebulan untuk cabang kelas III, sedangkan cabang kelas I dan II
minimal satu kali sebulan oleh Kacab.
Lampiran 8
Administrasi dan Pembukuan Barang Sisa Lelang (BSL)
1. Karena BSL diakui dan dicatat sebagai mutasi aset, maka adanya BSL pada setiap lelang
tidak perlu dicatat pada Berita Acara Lelang (BAL). Dengan demikian BAL hanya berisi
data barang jaminan yang laku dilelang saja.
2. Barang jaminan yang sudah ditetapkan sebagai BSL pada buku Redister Barang Sisa
Lelang (RBSL). Kemudian berdasarkan RBSL tersebut dibukukan pada :
a. Buku Kredit yang bersangkutan pada nomor yang menjadi BSL sebagai penghapusan
b. Buku Ikhtisar Kredit dan Pelunasan bulan kredit yang bersangkutan dikredit sebesar
uang pinjaman BSL.
c. Buku Kas didebet sebagai pelunasan dan dikredit pembelian BSL.
d. Laporan Bulanan Operasionalatas penambahan BSL.
e. Buku Uang Kelebihan eks BSL.
f. Buku Gudang dikreditkan sejumlah BSL.
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 105
Lampiran 9
Penyelesaian Barang Sisa Lelang (BSL)
1. Dijual di bawah tangan
Pedoman harga penjualan BSL ditetapkan sebagai berikut :
a) BSL Perhiasan Emas
· Penjualan BSL jangka waktu kurang dari 30 (tiga puluh) hari, dijual sebesar Harga
Pembelian x 109,7%
· Penjualan BSL jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh hari s/d 60 (enam puluh hari)
dijual sebesar Harga Pembelian x 105%, atau kebijakan lain dari Kakanda atas usul
penurunan harga jual yang telah diajukan sebelumnya. Selisih lebih atau kurang
atas penjualan ini dibukukan sebagai laba/rugi perusahaan.
b) BSL Non-Emas
Diusahakan BSL harus sudah terjual dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) namun
demikian apabila dalam jangka waktu tersebut belum laku terjual, Kacab dapat
mengusulkan penurunan harga jual kepada Kakanda. Sebelum mendapat keputusan
penurunan harga jual dari Kakanda, tidak diijinkan untuk menjualnya. Pedoman
penurunan harga jual secara bertahap sesuai kebijakan Kakanda.
2 Dimutasikan Antarcabang
BSL emas atau non-emas sebelum diusulkan penurunan harga jualnya dapat juga
diupayakan penjualannya di kantor cabang yang berada di daerah lain yang diyakini
dapat terjual lebih cepat. Pengiriman BSL ini dibukukan sebagai Rekening Antar Kantor
(RAK), mutasi aktiva dan harus mendapat izin dari Kakanda dan penjualannya di
tempat yang baru harus memperhitungkan biaya pengirimannya. BSL yang diminta
oleh Hakim/Jaksa/Polisi harus diselesaikan menurut peraturan yang berlaku.
Kesulitan likuiditas yang dialami Perum Pegadaian antara lain akibat dihentikannya
fasilitas kredit dari BRI. Sebelumnya, Perum Pegadaian diberikan fasilitas kredit oleh
BRI sebesar Rp 181,75 miliar (suku bunga 36 %) yang secara langsung dapat ditarik oleh
cabang-cabang Perum Pegadaian melalui kantor-kantor cabang BRI setempat yang
telah ditentukan. Sejak terjadinya krisis ekonomi, permintaan terhadap jasa Pegadaian
meningkat pesat sehingga masing-masing cabang Pegadaian melakukan penarikan
dana dari BRI dalam jumlah cukup besar. Hal ini menyebabkan kredit yang ditarik
secara keseluruhan melebihi plafon yang ditentukan (overdraft) sehingga BRI
menghentikan fasilitas tersebut pada bulan Agustus 1998. Kelebihan kredit yang ditarik
tersebut dikenakan suku bunga pasar sebesar 71% per tahun. Beban suku bunga
pendanaan yang tinggi menyebabkan Perum Pegadaian menaikkan sewa modalnya
seperti terlihat dalam tabel di atas. Di samping itu, makin sedikitnya sumber pendanaan
yang ada menyebabkan Perum Pegadaian mengurangi batas nilai kredit maksimum.
106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 107
108 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 109
110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 111
112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 113
114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Kegiatan Usaha Perum Pegadaian dan Peranannya dalam Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat 115
116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 117
Perkembangan teknologi perbankan internasional dalam dekade terakhir ini telah memberikan
jalan bagi tumbuhnya jaringan-jaringan perbankan yang semula lokal/regional menjadi suatu lembaga
keuangan yang global. Kecenderungan tersebut ternyata juga memberikan kesempatan bagi para
pelaku money laundering untuk turut memanfaatkan kecanggihan jaringan layanan perbankan.
Uang hasil transaksi ilegal (obat bius/ narkotika, senjata gelap, suap/korupsi/ manipulasi serta fraud
perbankan) telah menjadi “legal” dalam dunia bisnis di pasar keuangan internasional. Dalam posisi
ini, perbankan internasional khususnya International Offshore Banking Centres (IOBC) dengan segala
aspek perlindungan data serta keleluasaan pajaknya telah menjadi lembaga intermediasi yang sangat
diminati oleh para money launderer. Namun pada sisi yang lain, juga merupakan lembaga yang
sangat rentan terhadap proses placement, layering ataupun integration.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal tentang kegiatan money laundering;
batasan, teknik-teknik, sumber-sumber regulasi, serta implikasi yang timbul sehubungan dengan
peranan bank sebagai lembaga intermediasi. Kajian ini diharapkan akan mampu memberikan gambaran
serta perbaikan-perbaikan yang memadai dan perlu dilakukan oleh masyarakat keuangan internasional
dalam upaya pencegahan maupun penindakan terhadap kegiatan money laundering, yang dari tahun
ke tahun semakin canggih, terorganisasi rapi dan profesional. Ketidakberhasilan dalam menggalang
kerjasama internasional dalam memerangi money laundering akan menimbulkan risiko perubahan
variabel permintaan uang yang tak terduga, risiko pada kesehatan perbankan, efek kontaminasi pada
transaksi keuangan yang legal, volatilitas yang sangat besar pada modal internasional dari transfer
asset antar negara yang tidak terantisipasi.
*)
Haryadi Ramelan : Dealer pada Dealing Room, Urusan Devisa, Bank Indonesia
Delfianto Ras : Dealer Yunior pada Dealing Room, Urusan Devisa, Bank Indonesia
118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
I. Pendahuluan
he war against money launderer is not over . Kalimat tersebut nampaknya bukan sekedar
T slogan kosong bagi Pemerintah Amerika Serikat dalam memberantas kegiatan money
laundering. Hal tersebut paling tidak terbukti pada hasil “Operation Cassablanca”
yang berlangsung akhir bulan Maret 1999. Dua bank besar Mexico, yakni Bancomer dan
Banco Serfin dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Federal (Fed Court) Los Angeles, dalam
kasus money laundering. Dua bank besar tersebut diharuskan membayar denda masing-
masing USD 9,9 juta dan USD 4,7 juta. Kedua bank juga terbukti bersalah dan mengaku
bertanggung jawab penuh bahwa karyawan-karyawan banknya telah melakukan money
laundering atas hasil-hasil ilegal narkotik. Pada saat yang bersamaan di London, Dinas
Pajak Dalam Negeri Inggris melakukan razia terhadap 2 kantor akuntan besar dan juga
rumah pengacara serta akuntan yang terbukti berupaya menghindari objek pajak yang
diperoleh dari money laundering. Contoh-contoh tersebut hanya menggambarkan situasi mikro
dari satu konsekuensi bercampurnya “uang halal” yang secara resmi masuk dalam hitungan
otoritas moneter dengan uang haram yang merupakan hasil kegiatan melawan hukum
dalam bisnis keuangan internasional.
Pada situasi global, kegiatan money laundering dalam konsep akuntansi internasional
ternyata mampu menjelaskan adanya defisit neraca transaksi berjalan dunia. Secara teoritis
dan teknis, penjumlahan total nilai import dan pembayaran bunga seharusnya sama dengan
total nilai ekspor dan penerimaan bunga. Secara lebih rinci, bila sebuah komoditas diimpor
dan dibayar, namun tidak ada catatan bahwa seseorang telah menerima pembayaran tersebut.
Lantas kemanakah uangnya? Beberapa sebab dapat dikemukakan seperti statistical error
atau (bukan mustahil) adanya secret money. Hal kedua tersebut diakui sebagai masalah
yang pelik namun realitasnya memang terdapat permintaan pasar yang cukup kuat untuk
secret money, tidak hanya dari para kriminal namun juga dari perusahaan-perusahaan dan
bahkan pemerintahan. Dalam kasus black hole di atas, 1) uang yang dibayarkan untuk barang
atau jasa-jasa tersebut tidak pernah tercatat oleh perusahaan/ individu yang umumnya
dengan berbagai alasan antara lain untuk menghindari pajak ataupun karena transaksi
tersebut ilegal (manipulasi oleh perusahaan swasta, suap kepada pejabat pemerintahan,
dll).
Sejalan dengan praktek money laundering tersebut, saat ini perkembangan pasar
keuangan internasional telah memungkinkan terbukanya peluang untuk menampung
rekening secret money. Hal ini antara lain ditandai dengan semakin maraknya International
Offshore Banking Centers (IOBC) di berbagai belahan dunia seperti Gambar 1.
1. Samuel, J.M et al. 1996. Management of Company Finance, 6th Ed. pp.22-23. Chapman & Hall, London.
Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 119
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain memberikan gambaran yang
menyeluruh berkaitan dengan kegiatan money laundering, batasan, trend dan teknik umum
yang digunakan, serta implikasinya bagi pelaku-pelaku transaksi-transaksi perbankan
internasional seperti bankir, regulator atau lembaga lain yang berwenang (bank sentral)
serta pelaku-pelaku pasar finansial lainnya.
Secara rinci, bagian kedua tulisan ini akan memaparkan batasan, proses kegiatan
dan pelanggaran money laundering. Bagian Ketiga, mengupas beberapa implikasi yang
sifatnya represif dan antisipatif terhadap kegiatan money laundering dan Bagian Keempat
berisi Kesimpulan akhir.
2. _____________, 1997. The Finacial Action Task Force on Money Laundering, Annual Report.
120 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 121
Secara kronologis, kegiatan money laundering biasanya terdiri atas 3 proses yang
berkelanjutan yakni:
1. Cara tradisional.
Cara tradisional dalam money laundering adalah dengan cara menyelundupkan secara
fisik uang tunai hasil transaksi ilegal ke luar negeri (perbatasan nasional suatu negara).
Cara lain yang juga relatif konvensional adalah menggunakan pedagang valuta asing,
lawyers maupun akuntan pribadi. Penggerebekan yang terjadi di London pada contoh
2. Cara-cara Modern.
Berkembangnya teknologi baru dibidang perbankan antara lain elektronic money (e–
money) telah memberikan ancaman baru dalam teknik money laundering yang lebih
canggih. Tiga cara yang mungkin dilakukan adalah melalui : Stored value cards, internet/
network based systems dan hybrid systems. Namun demikian, aplikasi ke tiga cara ini
dalam sistem pembayaran masih relatif belum termanfaatkan. Hal yang sulit untuk
dilacak justru hasil-hasil ilegal yang ditransfer melalui International Electronic Fund
Transfer. Berdasarkan pengalaman di Inggris, ciri-ciri yang sering dilakukan oleh money
launderer antara lain menggunakan institusi yang terkait (perbankan) serta Pedagang
Valuta Asing (PVA), lawyer, serta accountant.
dan pemegang saham dari colapse-nya BCCI sudah tak terhingga dan pengawas
bank dalam hal ini Bank of England sulit disalahkan atas kelambanan menuntaskan
skandal tersebut. Setahun setelah BCCI colapse, the Basle Committee baru
mengumumkan dan menyetujui standarisasi dari peraturan bank internasional.
Berkaitan dengan upaya untuk mencegah dan memerangi kegiatan money laundering
tersebut, perlu adanya aturan hukum yang mengikat secara internasional dan berkekuatan
hukum yang tetap. Rezim yang dapat dijadikan contoh untuk pencegahan kegiatan money
laundering adalah Inggris. Mengapa demikian, karena London sebagai salah satu pusat
pasar keuangan terbesar dunia, merupakan target yang menarik bagi para pencuci uang.
Pasar finansial London yang terkenal dengan kemajuan dan transparannya sangat memberi
peluang untuk memuluskan tahapan-tahapan kegiatan money laundering, apakah itu
placement, layering dan integrasi. Kondisi ini lebih membuka peluang setelah diperkenalkan
Euro sebagai mata uang tunggal Eropa yang secara tidak langsung telah menurunkan
kontrol dan hambatan-hambatan dalam rangka pasar tunggal Eropa, khususnya untuk
mobilitas barang-barang, jasa, orang dan modal secara leluasa di seluruh Eropa.
dalam upaya peningkatan kualitas pemahaman terhadap pekerjaan yang dijalani serta
kontribusinya terhadap pengawasan internal.
g) Tindakan hukum.
Prosedur ini merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan dan biasanya berupa
investigasi oleh National Criminal Inteligent Service (NCIS).
d) Menggagalkan usaha penyingkapan atau kecurigaan dari praktek money laundering. CJA
mensyaratkan siapapun sehubungan dengan transaksi yang dilakukan, profesi, bisnis,
atau pegawai yang mengetahui atau mencurigai orang lain melakukan money laundering
128 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
harus melaporkan informasi tersebut pada polisi sesegera mungkin. CJA hanya mentolerir
kesalahan atas kecurigaan yang dilaporkan dengan alasan yang dapat diterima.
e) Tipping off (Peringatan). Suatu pemaksaan terhadap keterbukaan konsumen atau pihak
ketiga untuk menyampaikan informasi pada pihak yang berwenang bahwa telah terjadi
praktek money laundering atau adanya rencana money laundering. Hal ini berarti bahwa
seseorang dianggap melanggar hukum apabila tidak melaporkan kepada pihak
berwenang apabila mengetahui adanya praktek money laundering.
Kondisi ini memberikan suatu implikasi yang sangat luas dan kompleks dalam upaya
menciptakan kestabilan masyarakat global di pasar finansial. Implikasi tersebut menuntut
adanya suatu langkah kerjasama preventif dan represif yang berskala internasional terhadap
kegiatan money laundering. Satu upaya upaya penting yang telah dilakukan oleh masyarakat
internasional adalah dibentuknya FATF yang salah satu rekomendasinya menyatakan
bahwa “countries should monitor the physical cross border transportation of cash and bearer
instruments without impeding in any way the freedom at capital movement”. Rekomendasi ini
merupakan kunci utama dalam pemahaman konsep “know your customer” approach.
Sejalan dengan hal tersebut, BIS melalui Basle Committee pada bulan September 1997
juga menetapkan prinsip utama dalam supervisi perbankan yang efektif yang berbunyi “
Banking supervisor must determine that banks have adequate policies, practices and procedures in
place, including strict “know your customer” rules, that promote high ethical and professional standards
in the financial sector and prevent the bank being used, intentionally or unintentionally, by criminal
elements”.
IV. Penutup
Dari pokok-pokok rekomendasi yang diberikan oleh FATF di atas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
2. Berkaitan dengan butir (1), para anggota kelompok kerja FATF ataupun masyarakat
keuangan internasional sudah selayaknya menerapkan aturan-aturan standar minimum
dalam upaya memerangi kegiatan money laundering misalnya keseragaman penggunaan
sistem SAR, CTR maupun Gateway Intelligence System. Hal ini berarti, bahwa apabila
terdapat negara-negara yang tidak mematuhi kesepakatan bersama tersebut akan
mendapatkan pinalti yang dapat berupa punitive taxes atas transaksi-transaksi yang
terbukti berkaitan dengan money laundering di pasar finansial di negara yang
bersangkutan, ataupun tidak diakuinya transaksi keuangan yang terjadi di negara
tersebut secara internasional (default).
4. Secara taktis, tindakan yang paling efektif dalam menangkal kegiatan money laundering
pada lembaga perbankan adalah mendeteksi sedini mungkin aktivitas kriminal tersebut
pada titik paling crucial yakni pada saat hasil-hasil ilegal tersebut masuk ke dalam
sistem perbankan/keuangan (placement process). Dalam konteks ini maka pendekatan
“know your customer rule” menjadi acuan yang sangat mendasar dalam menggali informasi
calon nasabah bank. Jika langkah preventif ini diterapkan secara universal terhadap
semua lembaga keuangan/ jaringan perbankan internasional, maka kecil kemungkinan
Kajian Awal Tentang Money Laundering serta Implikasinya dalam Pasar Keuangan Internasional 131
money launderer akan mampu menembusnya. Sebaliknya bila langkah tersebut tidak
berhasil, maka money launderer akan selalu mencari titik terlemah dari sistem jaringan
keuangan internasional, baik melalui International offshore Banking Centre (IOBS) yang
memiliki insentif pembebasan pajak dan longgarnya peraturan ataupun memanfaatkan
negara-negara/ lokasi yang relatif tidak/ belum terjangkau oleh hukum internasional.
Daftar Pustaka
1) Abrahamson, Jeffrey.1996. Money Laundering: Butterworths. Journal of International Banking
and Financial Law, July – August.
2) Camdesus, Michael.1998. Money Laundering: The Importance of International
Countermeasures, Paris (Feb 10).
3) Hayaes, Andrew.1996. Payable Through Accounts and Money Laundering. Legal Analysis.
Pp 29-31.
4) Morris, Allan.1995. Money Laundering: The Regim in the United Kingdom, pp 350.
5) Parlour, Richard.1995. International Guide to Money Laundering and Practice, Butterworths.
6) Reuters News.1999 (March 31). Bancomer and Banca serfin Plead Guilty to Money Laundering.
7) Richard, Barry, et al.1998. Guide to Financial Services Regulation, 3rd Edition, CCH Inc.
Illinois, USA.
8) Robinson, Jeffrey.1998. Laundrymen, Pocket Books, London.
9) The Banker, 1998 (Feb). Money Laundering: The Sky’s the Limit, pp 52-53.
10) _________. 1997. The Financial Action Task Force on Money Laundering, Annual Report.