Вы находитесь на странице: 1из 10

KETUBAN PECAH DINI

BAB I
PENDAHULUAN

Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan korion yang
sangat erat ikatannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel seperti sel epitel, sel mesenkim, dan
sel trofoblas yang terikat erat dalam matrik kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air
ketuban dan melindungi janin terhadap infeksi.
Dalam keaadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban Pecah
Dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila KPD terjadi
sebelum usia 37 minggu disebut KPD pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-10%
perempuan hamil aterm akan mengalami KPD.
Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi
dalam kolagen matrik ekstraseluler amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran
janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban
dengan memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang
merangsang aktivitas “matrix degrading enzym” (Prawirohardjo, 2008).
Pengelolaan KPD merupakan masalah yang masih kontroversial dalam kebidanan.
Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada, selalu berubah. KPD sering kali
menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun
bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi (Smith, 2001; Bruce, 2002).
Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif terutama
pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan,
sehingga masa tunggu akan memanjang, berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
infeksi. Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan
dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup. (Bruce, 2002;
Yancey, 1999; Bari, 2002).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ada bermacam-macam batasan, teori dan definisi mengenai KPD. Beberapa
penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban pecah spontan dan tidak diikuti tanda-
tanda persalinan (Smith, 2001), ada teori yang menghitung beberapa jam sebelum
inpartu, misalnya 1 jam (Prawirohardjo, 2008; Vorapong, 2003; Manuaba, 2001) atau 6
jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan dalam ukuran pembukaan servik pada
kala I, misalnya ketuban pecah sebelum pembukaan servik pada primigravida 3 cm dan
pada multigravida kurang dari 5 cm. (Mochtar, 1998).
KPD dapat diartikan sebagai pecahnya ketuban pada saat fase laten sebelum
adanya his. Pada persalinan yang normal, ketuban pecah pada fase aktif. Pada KPD
kantung ketuban pecah sebelum fase aktif. (Hariadi, 2004).

B. Insidensi
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang
bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 - 10 % dari semua kehamilan (Cunningham
dkk, 1997). Hal yang menguntungkan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa
lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu
sekitar 95 % (Yancey, 1999), sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD
pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur (Smith, 2001).

C. Etiologi dan Patogenesis


Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus
dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi
perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena
seluruh selaput ketuban rapuh.
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler matriks.
Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen
berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP) yang dihambat
oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease.
Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah
pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler dan membran janin. Aktivitas
degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan. Pada penyakit periodontitis di
mana terdapat peningkatan MMP , cenderung terjadi ketuban pecah dini.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga, selaput
ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi
perubahan biokoimia pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm
merupakan hal fisiologis. KPD pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-
faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. KPD prematur sering terjadi
pada polihidramnion, inkompeten servik, solutio plasenta (Prawirohardjo, 2008).
Faktor predisposisi untuk terjadinya KPD antara lain (Manuaba, 2007) :
1. Faktor umum
a. Infeksi STD
b. Faktor sosial : perokok, peminum, keadaan sosial ekonomi rendah.
2. Faktor keturunan
a. Kelainan genetik
b. Faktor rendahnya vitamin C dan ion Cu dalam serum
3. Faktor obstetrik
a. Overdistensi uterus (kehamilan kembar dan hidramnion)
b. Servik inkompeten
c. Servik konisasi / menjadi pendek
d. Terdapat disproporsi sefalopelvik
- Kepala janin belum masuk PAP
- Kelainan letak janin, sehingga ketuban bagian terendah langsung
menerima tekanan intrauteri yang dominan
- Pendular abdomen
- Grandemultipara
4. Tidak diketahui sebabnya

D. Diagnosis
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang
positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau
melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang
negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan
mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa
yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :
1. Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak
secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok (Prawirohardjo, 2002). Cairan berbau
khas, dan perlu juga diperhatikan warna, keluarnya cairan tersebut tersebut his belum
teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih
jelas (Anonim, 2001).
3. Pemeriksaan dengan spekulum.
Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari
orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri
ditekan, penderita diminta batuk, mengejan atau mengadakan manuvover valsava,
atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan
terkumpul pada fornik anterior (Prawirohardjo, 2002).
4. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi.
Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada
kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan
pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal.
Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam
vagina hanya dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan
induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
5. Pemeriksaan Penunjang
5.1. Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau
dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga
urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin
tidak berubah warna, tetap kuning.
5.1.a. Tes Lakmus (tes Nitrazin),
Jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air
ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat
menghasilkan tes yang positif palsu (Smith, 2001).

5.1.b. Mikroskopik (tes pakis)


Dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis (Smith,
2001).
5.2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam cavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit.
Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidromnion (Manuaba,
2001).
Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya,
namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan
pemeriksaan sedehana.

E. Komplikasi
1. Komplikasi pada ibu
Infeksi korioamniotik sering terjadi pada pasien dengan KPD. Diagnosis
korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara lain demam (>37,8 0C), dan
sedikitnya dua gejala berikut yaitu takikardi baik pada ibu maupun pada janin, uterus
yang melembek, air ketuban yang berbau busuk, maupun leukositosis (Hariadi, 2004;
Prawirohardjo, 2008).

2. Komplikasi pada janin


a. Prematuritas
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode
laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24
jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
terjadi dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu, persalinan terjadi
dalam 1 minngu (Prawirohardjo, 2008).

b. Infeksi
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi, tetapi janin
mungkin sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi
(amnionitis, vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan. Jadi akan meninggikan
mortalitas dan morbiditas prenatal (Mochtar, 1998).
c. Sindrom deformitas janin
KPD yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi
pulmonar (Prawirohardjo, 2008).
d. Hipoksia dan asfiksia
Pecahnya ketuban menyebabkan terjadi oligohidramnion yang menekan
tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara
terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban,
janin semakin gawat (Prawirohardjo, 2008).
e. Prolaps tali pusat
Kejadian ini sering terjadi pada bayi-bayi prematur (Oxorn, 2003)
f. Malpresentasi
Keadaan ini sering dijumpai, khususnya presentasi bokong (Oxorn, 2003).

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan
tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk
mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan
janin kurang bulan adalah Respiratory Distress Syndrom (RDS) dibandingkan dengan
sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk
menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau
lebih biasanya paru-paru sudah matang. Korioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada
janin merupakan sebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan
cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban
atau lamanya perode laten (Bruce, 2002).
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan
dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan dan
ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu.
1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)
Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya
mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan
komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari
persalinan disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan
makin memanjang L.P-nya (Mochtar, 1998).
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan
dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam
waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah, bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban
pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan (Smith,
2001) dan bila gagal dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun
antibiotik tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap
chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik
profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera
setelah diagnosis KPD ditegakkan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari
6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih
dari 6 jam (Bruce, 2002).
Beberapa penulis menyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera
diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu
dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat
diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat
dikurangi (Komite medik, 1999).
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap
keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya.
Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan
ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his
kurang kuat). Induksi dilakukan dengan memperhatikan bishop score jika > 5 induksi
dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil
akhiri persalinan dengan seksio sesaria (Prawirohardjo, 2002).

2. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)


Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak
dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat konservatif disertai pemberian
antibiotik yang adekuat sebagai profilaksis (Mochtar, 1998).
Penderita perlu dirawat di rumah sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg,
tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan
kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uterorelaksan atau agen
tokolitik diberikan juga dengan tujuan untuk menunda proses persalinan. (Smith, 2001)
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada
penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika
selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-
tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur
kehamilan.
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan
jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi
yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat
janin sampai mati, tetani uteri, ruptur uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin
terjadi intoksikasi.
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedan
sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tindakan bedah sesar
hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya
ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju,
dll.
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata
pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka
perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatakan pengolahan konservatif
adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi
intrauterin.
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leukosit darah tepi setiap hari,
pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut
jantung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya
setiap 6 jam.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara
pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health (NIH) telah
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-
32 minggu yang tidak ada infeksi intramnion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis
masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg
tiap 12 jam (Vorapong, 2003).

G. Prognosis
Ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasi yang mungkin
timbul serta umur dari kehamilan (Mochtar, 1998). Semakin lama kehamilan berlangsung
dengan ketuban yang pecah, semakin tinggi insidensi infeksi. Infeksi intrauterin
meningkatkan mortalitas janin. Bayi yang beratnya < 2500 gram mempunyai prognosis
yang lebih jelek dibanding bayi yang lebih besar. Presentasi bokong menunjukkan
prognosis yang jelek, khususnya kalau bayinya prematur (Oxorn, 2003).

Вам также может понравиться