Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
KONFLIK-KONFLIK LOKAL DI MELANESIA
I. Papua Nugini
Papua Nugini adalah satuan politik yang rumit. Sampai tahun 1942 Papua Nugini terdiri dari dua
wilayah: Papua (sebelumnya New Guinea Inggris) dan New Guinea (sebelumnya New Guinea
Jerman), keduanya ditata usaha oleh Australia. Sebelum tahun 1930an, wilayah dataran di
pedalaman yang berpenduduk padat boleh dikatakan tidak dikenal oleh orang luar dan sampai
awal tahun 1960an banyak dari bagian-bagian negeri itu yang belum tersentuh oleh pemerintahan
kolonial. Ketika kemerdekaan datang pada tahun 1975, bagi banyak orang Papua Nugini
pengalaman di bawah pemerintahan kolonial merupakan pengalaman yang sangat singkat. Selain
itu, pada waktu kemerdekaan banyak pelayanan masyarakat dan sektor swasta yang masih
berada dalam tangan orang asing. Memiliki sekitar 850 bahasa, dan sejarah panjang konflik
endemik antara kelompok-kelompok kecil bermacam suku yang sebagian besar tidak memiliki
kepala suku (acephalous), tidak mengherankan bila pada saat kemerdekaan perasaan sebagai satu
bangsa belum berkembang dengan baik bahwa kesetiaan lokal masih cenderung lebih besar dari
pada kesetiaan pada negara.
Pada 1975 masa depan negara merdeka itu terancam oleh pernyataan kemerdekaan yang
dikumandangkan oleh sebuah gerakan separatis Papua, Papua Besena, dan oleh sebuah
kelompok di Bougainville, tempat sebuah pertambangan emas dan tembaga yang besar
beroperasi, meski ditentang oleh kelompok setempat, pada awal tahun 1970an . Namun para
pemimpin Papua Nugini menghindari konfrontasi dengan kedua kelompok itu, dan membentuk
sistim pemerintahan provinsi untuk memenuhi sebagian tuntutan warga bougainville, dan para
pemimpin kedua kelompok itu menjadi anggota parlemen nasional.
Pada tahun 1988 sebuah generasi muda warga Bougainville menghidupkan kembali oposisi lokal
atas pertambangan Bougainville itu, dan ketika konfrontasi antara pemilik tanah dan pemerintah
meningkat, Papua New Guinea Defence Force (PNGDF), Angkatan Pertahanan Papua Nugini ,
dikerahkan untuk membantu polisi. Dalam waktu dua tahun, ‘krisis Bougainville’ telah
berkembang menjadi pemberontakan besar, yang dipimpin oleh Bougainville Revolutionary
Army (BRA), Pasukan Revolusioner Bougainville, dan warga Bougainville mengemukakan
tuntutan untuk memisahkan diri (May dan Spriggs 1990; Regan 1998; Carl dan Garasau 2002).
Hubungan antara PNGDF dengan politisi nasional juga memburuk, sementara pihak militer
ternyata tidak mampu membendung konflik, dan elemen-elemen di dalam militer menilai bahwa
upaya-upaya pemerintah untuk mencari jalan keluar melalui perundingan bagi konflik itu
melemahkan upaya-upaya PNGDF untuk mencari jalan keluar melalui kekuatan militer. Untuk
sementara, pasukan pemerintah mundur dari Bougainville dan boleh dikatakan memblokade
pulau itu, tetapi keadaan yang makin kacau di seluruh pulau itu tidak membantu mengurangi
konflik. Oposisi lokal terhadap kegiatan-kegiatan BRA menimbulkan sebuah Perlawanan, yang
mendukung kembalinya pasukan pemerintah. Pasukan pemerintah kembali ke Bougainville pada
tahun 1990 tetapi sejumlah upaya untuk mewujudkan perdamaian tidak membuahkan hasil.
Pada 1997 sebuah upaya oleh perdana menteri Papua Nugini pada waktu itu untuk
mendatangkan ‘konsultan militer’ asing-Sandline International untuk menhalau pimpinan BRA
dan merebut kembali wilayah di sekitar pertambangan itu menghasilkan sebaliknya dari apa yang
diharapkan ketika komandan PNGDF berontak dan secara terbuka mengutuk kontrak Sandline,
menahan, dan mengusir orang-orang Sandline, dan menyerukan agar perdana menteri
mengundurkan diri (Dinnen, May, dan Regan 1997). Perdana menteri memecat jenderal yang
berontak itu dari jabatannya tetapi di bawah tekanan dari arus bawah sepakat untuk
mengundurkan diri untuk sementara, sementara menunggu pemeriksaan atas peristiwa Sandline.
Meski ia menyatakan bahwa pemeriksaan telah membebaskan dia dari tuduhan berbuat
kesalahan, perdana menteri kehilangan kursinya di parlemen dalam pemilihan umum nasional
yang diadakan tidak lama kemudian. Ironisnya, rangkaian peristiwa ini membuka momentum
baru bagi proses perdamaian, dan selama 5 tahun berikut BRA, pasukan perlawanan dan
pemerintah nasional terlibat dalam serangkaian perundingan, yang berpuncak pada Perjanjian
Perdamaian Bougainville pada tahun 2001. Penyelenggaraan perundingan perdamaian itu
didukung oleh pemerintah Selandia Baru dan pemerintah Australia dan di dukung pula oleh
kehadiran Peace Monitoring Group (PMG), Kelompok Pemantau Perdamaian, kawasan di
Bougainville, yang terdiri dari orang-orang tidak bersenjata dari kalangan militer dan sipil dari
Australia, Selandia Baru, Fiji, dan Vanuatu.
Perjanjian itu memberikan otonomi yang luas kepada Bougainville, dengan syarat harus ada
program yang berhasil mengenai penghapusan persenjataan. Juga ada ketentuan mengenai
referendum mengenai Bougainville pada masa depan, termasuk kemerdekaan, yang akan
diadakan dalam waktu 10 hingga15 tahun. Hasil referendum akan menjadi bahan konsultasi
antara pemerintah otonomi Bougainville dengan pemerintah nasional, dengan kekuasaan
tertinggi untuk membuat keputusan berada di tangan parlemen nasional (Regan 2003:9-26).
Masih ada elemen yang rapuh dalam proses perdamain Bougainville-terutama sejauh pemimpin
garis keras BRA, Francis Ona, tetap berada di luar proses-tetapi perubahan-perubahan konstitusi
yang diperlukan untuk melaksanakan perjanjian itu telah diadakan, rincian tata laksana otonomi
sedang dirumuskan, sebuah konstitusi baru untuk propinsi sedang dibuat, dan proses rekonsiliasi
dan rekonstruksi sedang berjalan. Bahkan sebenarnya, proses perdamaian Bougainville adalah
contoh cara mengatasi konflik yang paling sukses, di mana pun di dunia, dalam tahun-tahun
terakher ini.
Tetapi sementara proses perdamaian Bougainville berhasil, ada peningkatan pertarungan (suku)
di tingkat lokal, terutama di dataran tinggi yang berpenduduk padat, tempat upaya-upaya
pemerintah kolonial untuk menciptakan suasana damai, dari sisi sejarah, tidak jelas ujung
pangkalnya. Menurut perkiraan, di propinsi dataran tinggi selatan dan propinsi Enga saja, jumlah
orang tewas karena konflik antar kelompok selama 5 tahun terakhir mencapai ratusan mungkin
tidak tinggi barangkali menurut standar internasional, namun demikian cukup besar. Penyebab
konflik macam-macam, campuran permusuhan tradisonal antar suku, sengketa tanah, persaingan
untuk memperoleh sumberdaya negara, dan siklus pembayaran kembali dan kompensasi.
Mobilitas orang yang meningkat dan dampak dari proyek-proyek sumber daya yang besar-besar,
terutama di Dataran tinggi selatan, semakin memperparah ketegangan, dan impor persenjataan
modern-senjata otomatis yang menggantikan panah dan tombak-telah mengubah sifat perang dan
terjadi kerusakan-kerusakan yang besar dalam infrastruktur milik umum. Pada pemilihan umum
nasional tahun 2002, jajak pendapat di 6 dari 9 daerah pemilihan di Dataran tinggi Selatan harus
dibatalkan; satuan brigade mobil yang dikirimkan untuk mengembalikan ketertiban mengeluh
bahwa mereka kalah jumlah dan kalah senjata.
II. Fiji
Sampai tahun 1987 masyarakat multisuku Fiji merupakan contoh yang baik bagi peralihan yang
sukses dari koloni menjadi negara merdeka yang demokratis.
Pada 1874 kepulauan Fiji diserahkan kepada Inggris. Di bawah perjanjian penyerahan Inggris
berkewajiban melindungi penduduk Fiji dari kepentingan-kepentingan niaga Eropa dan untuk
memelihara cara hidup orang Fiji. Penduduk Fiji diperintah secara tidak langsung melalui Native
Fijian Administration, Administrasi Fiji Asli, yang menganut struktur kepemimpinan menurut
adat-istiadat Fiji. Untuk menyediakan tenaga buruh di perkebunan-perkebunan Eropa di Fiji,
sampai tahun 1916 buruh kontrak dibawa dari India. Pada tahun 1945, jumlah orang India
melebihi jumlah penduduk asli Fiji. Namun, pemerintah kolonial, mengakui kedudukan utama
penduduk asli Fiji, memelihara hak tanah Fiji, mengakui Dewan Agung Kepala-Kepala Suku
(Great Council of Chiefs), dan menggunakan sistem pemilihan yang dirancang untuk memelihara
perimbangan kepentingan-kepentingan kelompok suku.
Selama 17 tahun antara kemerdekaan tahun 1970 dan tahun 1987, pemerintahan berada di tangan
Fijian Alliance Party, Partai Aliansi Fiji, yang terdiri sebagian besar dar orang asli, diketuai oleh
kepala suku Ratu Sir Kamisese Mara. Namun pada tahun 1987, kemenangan Fiji Labour Party
(FLP), Partai Buruh Fiji, yang baru saja berdiri dan terdiri dari anggota-anggota multiras, dalam
pemilihan umum, mengalahkah Alliance Party mencetuskan, krisis politik yang berpuncak pada
kudeta militer pertama (Lawson 1990).
Berbagai macam penjelasan dikemukakan untuk kudeta bulan Mei 1987 itu, tetapi pada intinya,
kemenangan FLP, yang dipimpin oleh orang asli Fiji, Timoci Bavadra, tetapi didominasi oleh
orang Indo-Fiji, dilihat oleh banyak orang asli Fiji sebagai ancaman bagi prinsip kedudukan
utama kepentingan orang asli Fiji. Kudeta itu, yang dipimpin oleh orang orang ketiga dalam
komando Fiji Military Forces (FMF), Angkatan Bersenjata Fiji, yang sebagian besar terdiri dari
orang asli Fiji, Letnan Kolonel Sitiveni Rabuka, mengakibatkan penahanan pemerintah terpilih
dan pembentukan segera sebuah Dewan Menteri beranggotakan 16 orang, yang terdiri dari 9
anggota parlemen dari Alliace (termasuk bekas perdana menteri Ratu Mara), 4 anggota gerakan
populis nasionalis Fiji, Taukei, dan Rabuka. TindakanRabuka didukung oleh Dewan Agung
Kepala-kepala Suku, badan tertinggi kepala-kepala suku yang mewakili orang asli Fiji (meski
Rabuka sendiri bukan kepala suku).
Namun dalam pekan-pekan berikut, politisi sipil yang dipimpin oleh Ratu Mara, mengadakan
pembahasan yang berpuncak pada kesepakatan untuk membentuk pemerintah sementara, yang
terdiri dari Anggota Parlemen dari Alliance dan pemerintah yang digulingkan, di bawah
gubernur jenderal, Ratu Sir Penaia Ganilau. Dampak dari langkah ini adalah Rabuka dan para
pemimpin Taukei menjadi agak tersingkir. Namun sebelum pemerintah sementara itu dapat
diumumkan, Rabuka mengadakan kudeta kedua, mencabut undang-undang dasar tahun 1970 dan
menyatakan dirinya kepala pemerintah republik. Setelah itu, menghormati para elit kepala suku
itu, Rabuka mengundurkan diri dari FMF dan menjadi deputi perdana menteri dalam pemerintah
sementara yang dikepalai oleh Mara (sebagai perdana menteri) dan Ganilau (presiden). Pada
tahun 1992 diadakan pemilihan umum dibawah undang-undang dasar yang baru, dan Rabuka
terpilih sebagai perdana menteri.
Kudeta-kudeta pada tahun 1987 itu tidak banyak menggunakan kekerasan, tetapi memang ada
gangguan fisik dan penjarahan, sebagian besar terhadap orang Indo-Fiji. Sejumlah Indo-Fiji
meninggalkan negeri itu, banyak yang bermigrasi ke Australia dan Selandia Baru.
Setelah situasi politik reda kembali, pemerintah Rabuka memberi izin untuk pembentukan
undang-undang dasar yang baru. Komisi Peninjau Undang- undang Dasar terdiri dari seorang
hakim Selandia Baru, seorang pemuka agama Fiji dan seorang akademisi Indo-Fiji yang
bermukim di Australia. Setelah proses konsultasi yang panjang, undang-undang dasar yang baru
itu disahkan pada tahun 1997. Undang-undang dasar yang baru itu dilihat banyak pihak sebagai
upaya untuk mewujudkan rekonsiliasi antara kelompok-kelompok suku yang dominan,
sementara mengakui kedudukan utama kepentingan-kepentingan orang asli Fiji dalam hal-hal
seperti tanah.
Pemilihan umum pertama di bawah undang-undang dasar baru itu diadakan pada tahun 1997.
dalam pemilihan umum itu, rabuka tidak terpilih untuk parlemen dan pemenang pemilihan
umum adalah FLP, yang dipimpin pada tahun 1997 oleh seorang Indo-Fiji, Mahendra Chaudhry.
Dalam 3 tahun, pemerintah Chaudhry dijatuhkan, kali ini oleh kudeta sipil, dipimpin oleh
pengusaha Fiji George Speight. Speight didukung oleh elit Fiji dan elemen-elemen dalam
angkatan darat dan polisi. Seperti kudeta sebelumnya, faktor-faktor dibalik kudeta ini juga rumit,
tetapi pada tahun 2000 tampaknya tidak terlalu banyak kaitannya dengan perpecahan antara
orang asli Fiji dengan orang Indo-Fiji, dibandingkan dengan kudeta tahun 1987 (Lal dan Prestes
2001; Lal 2000; dan Robertson dan Sutherland 2001).
Setelah sebuah periode yang kacau, Speight ditahan bersama beberapa anggota FMF dan dijatuhi
hukuman dengan tuduhan memberontak melawan pemerintah yang sah. Pemilihan umum baru
diadakan pada tahun 2001, kali ini mengembalikan pemerintah ke bawah pimpinan orang asli
Fiji, Laisenia Qarase. Sesuai dengan kesepakatan pembagian kekuasaan yang diperkenalkan
dalam undang-undang dasar tahun 1997 dalam upaya mengurangi perselisihan antar suku,
Perdana Menteri Qarase mau tidak mau harus menawarkan jabatan-jabatan kabinet kepada FLP
yang kalah (yang memenangkan 28 kursi dalam parlemen yang beranggotakan 70 orang)
menurut Qarase, tawaran dikemukakan, tetapi ditarik kembali ketika FLP mengemukakan syarat-
syarat yang tidak dapat diterima berkaitan dengan kebijakan. Pada awal tahun 2003, Pengadilan
Tinggi Fiji mengeluarkan putusan bahwa pemerintah Qarase harus mengajak FLP masuk ke
dalam kabinet.
Fiji tampaknya sudah kembali ke suasana politik yang tenang dan ada pergantian pejabat tinggi
dalam FMF. Namun, peta politik mengalami perubahan yang cukup besar dan kehidupan
harmonis antar ras (meski dangkal) yang pernah dinikmati negeri itu tahun 1987 sebagian
terbesar sudah luntur.
IV. Vanuatu
Dari negara kecil-kecil di Melanesia, Vanuatu barangkali adalah negara yang paling berhasil
baik menegakkan pemerintahan demokratis sejak kemerdekaan pada tahun 1980, walau sejarah
kolonialnya adalah sebagai kondominium Inggris-Prancis, yang memecah penduduk menjadi
Anglophone dan Francophone dan turut mencetuskan pemberontakan Santo untuk memisahkan
diri yang dilakukan Francophone di Vanuatu tidak lama menjelang kemerdekaan. Namun,
sejarah politiknya yang relatif singkat bukannya tanpa insiden. Pada tahun 1988 Presiden Ati
George Sokomanu membubarkan parlemen yang terpecah-pecah karena banyaknya fraksi dan
mengambil sumpah kemenakannya Barak Sope sebagai perdana menteri ad interim. Sokomanu
dan Sope kemudian dituntut didepan pengadilan dengan tuduhan melakukan pemberontakan dan
bersekongkol mengadakan perlawanan terhadap pemerintah yang sah, tetapi tuduhan-tuduhan
kemudian dibatalkan. Tujuh tahun kemudian, perdana menteri Fr. Walter Lini, dan pemimpin
partai koalisinya, Serge Vohor, melakukan apa yang disebut ‘kudeta administrasi’ dalam upaya
yang sia-sia untuk mempertahankan jabatannya (Ambrose 1996). Tahun berikutnya, para
anggota Vanuatu Mobile Force (VMF), pasukan paramiliter kepolisian, menculik presiden walau
tidak lama, untuk menekankan tuntutan mereka agar menggaji mereka yang belum dibayar.
Pada bulan Mei 2001 Vanuatu kembali dilanda krisis pemerintahan, sehingga sejumlah pengamat
sampai mengatakan ada aliran arus kekacauan politik dari Fiji ke Kepulauan Solomon. Dalam
hal ini, peristiwa yang memicu krisis itu adalah upaya parlemen untuk mengadakan pemungutan
suara mosi tidak percaya pada Perdana Menteri Barak Sope, dalam kaitan dengan krisis
keuangan yang telah diambang pintu (Morgan 2003). Diberitakan bahwa Sope telah meminta
pejabat komisioner polisi untuk menyatakan negara dalam keadaan darurat dan mengingat kaitan
antara partai Sope, Melanesian Progressive Party (MPP), Partai Progresif Melanesia, dengan
VMF (wakil pemimpin MPP waktu itu adalah bekas komandan VMF), ada kekhawatiran
mengenai kemungkinan terjadinya kudeta. Namun dalam hal ini, keamanan dan ketertiban
berhasil dijaga dan Sope harus turun dari jabatan. Kemudian ia dinyatakan bersalah karena
melakukan penipuan dan dijatuhi hukumana penjara 3 tahun.
Tidak lama setelah ini, pada bulan Agustus 2002, sekelompok anggota RSIP, termasuk
komandan VMF, menangkap komisioner polisi yang baru saja diangkat dan 15 anggota Public
Service Commission (PSC), Komisi Pelayanan Masyarakat, (termasuk jaksa agung, sekretaris
presiden, dan ombudsman), dengan tuduhan bahwa mereka bersekongkol melawan negara dalam
pengangkatan komisioner polisi itu. Meski pengadilan membatalkan pengangkatan komisioner
polisi itu, sejumlah perwira senior polisi dituduh memberontak dan menghasut untuk
memberontak dalam kaitan dengan peran mereka menahan PSC.
Demokrasi parlemen Vanuatu dengan demikian tetap berjalan baik. Namun, ironisnya,
penjelasan mengenai bagaimana demokrasi parlemen itu mampu bertahan berkisar di sekitar ciri-
ciri non demokratis dari masyarakat dan kehidupan politik Vanuatu, yakni tetap pentingnya
peran kepala-kepala suku dalam menegakkan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.
V. Kaledonia Baru
Kaledonia Baru, yang menjadi milik Prancis pada tahun 1853, tetap merupakan salah satu dari
sejumlah wilayah yang tidak merdeka di Pasifik.
Pada awal tahun 1980-an, merasa kecewa karena pemerintah Prancis tidak menjawab tuntutan
kemerdekaan dari pihak penduduk asli Kanak, dan ditariknya secara efektif langkah-langkah
otonomi daerah yang diberikan pada pertengahan tahun 1950-an, aktivis Kanak melancarkan
serangkaian aksi protes sebelum pemilihan umum nasional. Aksi-aksi ini dihadapi dengan
penindasan brutal oleh gendarmes (polisi) Prancis dan pemukim Prancis anti kemerdekaan, dan
pada tahun 1985 pemimpin Kanak Eloi Machoro dibunuh oleh lawan-lawannya. Sebagai
balasan, aktivis Kanak menyandera 27 gendarmes di pulau Ouvéa, yang memicu serangan militer
yang meminta korban jiwa sejumlah orang Kanak yang tewas.
Setelah episode kekerasan ini, dimulai perundingan perdamaian, yang berpuncak pada Matignon
Accords, Perjanjian Matignon, pada tahun 1988, antara Front de Libération Nationale Kanak et
Socialiste (FLNKS), Front Pembebasan Nasional Kanak dan Sosialis, yang pro-kemerdekaan
dengan Rassemblement pour la Calédonie dans République (RPCR), Perhimpunan untuk
Caledonia dalam Republik, yang antikemerdekaan dengan pemerintah Prancis.
Perjanjian Matignon dan perundang-undang terkait berusaha ‘memulihkan keseimbangan’ antara
masyarakat Kanak, yang terpusat di provinsi Utara dan provinsi Kepulauan Loyalty, dan
penduduk non Kanak, yang terpusat di Provinsi Selatan dan ibukota, Noumea. Ini menyangkut
pembentukan struktur politik federal berdasarkan tiga provinsi, pembagian pendapatan yang
lebih menguntungkan bagi provinsi Utara dan provinsi Kepulauan Loyalty, serangkaian langkah-
langkah untuk meningkatkan pembangunan dalam kalangan penduduk Kanak, dan pembentukan
Customary Advisory Council (Kanak), Dewan Penasihat Adat (Kanak), dan sebuah Agency for
the Development of Kanak Culture, Badan Pengembangan Budaya Kanak. Perjanjian ini juga
membuka pintu bagi referendum mengenai penentuan nasib sendiri yang akan diadakan pada
tahun 1998, dan pemerintah Prancis setuju untuk membatasi hak suara kaum pendatang yang
baru saja datang dari Prancis. Undang-undang pelaksanaan ditandatangani oleh semua pemilih
Prancis, meski di Kaledonia Baru jumlah pemilih yang tidak ikut besar sekali, dan di Selatan
sebagian besar pemilih menentang ketentuan itu. Banyak orang Kanak yang melihat Perjanjian
Matignon sebagai pengkhiatan atas tuntutan-tuntutan mereka, dan pada tahun 1989 pemimpin
FINKS Jean Marie Tjiebaou dibunuh oleh seorang Kanak indépendatiste, pejuang kemerdekaan
Kanak, yang menganut garis keras.
Menjelang tahun 1998 semakin jelas tampak bahwa menentukan nasib diri sendiri tidak akan
memecahkan tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dari kelompok-kelompok pro
kemerdekaan dan anti kemerdekaan: bahkan dengan pembatasan bagi pemilih non Kanak
sekalipun, referendum boleh dikatakan akan pasti menolak kemerdekaan bagi Kaledonia Baru
dan kemungkinan besar akan menimbulkan konflik kekerasan yang baru. Perundingan karena itu
dimulai pada tahun 1995 antara FLKNS dan RPCR dan berakhir pada tahun 1998 dengan
perjanjian Noumea, yang menghindari referendum yang diusulkan tersebut. Perubahan-
perubahan yang diperlukan atas undang-undang dasar Prancis disetujui pada tahun 1998 dan
Perjanjian itu dimasukkan ke dalam hukum organik pada tahun berikutnya.
Pembukaan Perjanjian Noumea mengakui ‘efek menggoncangkan jiwa yang berjangka waktu
panjang’ dari penjajahan atas penduduk asli dan sumbangan para pendatang pada abad 19 dan 20
(beberapa di antara mereka dikirim ke Kaledonia Baru sebagai kesatuan politik. Sebuah
Customary Senate, Senat Adat, dibentuk mewakili delapan wilayah bahasa asli, yang harus
diminta pendapatnya dalam semua hal yang menyangkut identitas Kanak, kewarganegaraan
Kaledonia baru diberikan kepada semua orang yang telah bermukim di situ selama setidak-
tidaknya 10 tahun. Inti perjanjian itu adalah memberikan pelimpahan wewenang yang progresif
kepada Kongres Kaledonia Baru yang baru selama jangka waktu 15-20 tahun (dengan bantuan
dana dari Prancis). Kekuasaan eksekutif diserahkan dari komisioner tinggi Prancis kepada
pemerintahbersama yang dipilih oleh Kongres. Pada tahun 2000 bekas wilayah seberang lautan
itu mendapat status sebagai ‘Negeri Seberang Laut,’ dengan kontrol atas fungsi-fungsi seperti
imigrasi, pemanfaatan sumberdaya alam, dan perdagangan luar negeri. Kekuasaan-kekuasaan
selanjutnya akan dilimpahkan dalam periode sampai tahun 2019, Prancis akan memegang hanya
kekuasaan minimal. Pada tahun itu (atau lebih awal jika Kongrs menghendaki) akan diadakan
referendum mengenai masa depan negeri itu, termasuk pilihan untuk ‘emansipasi penuh’.
Perjanjian Matignon memberikan sumbangan yang sangat besar pada redanya konflik yang
pecah pada tahun 1980-an, dan Pperjanjian Noumea pada tahun 1998 membantu memelihara
perdamaian antara kelompok pro kemerdekaan dengan kelompok anti kemerdekaan. Namun
demikian, jurang yang dalam antara indépendantistes, kelompok pro kemerdekaan, yang
sebagian besar terdiri dari orang Kanak itu, dengan kelompok pendukung ikatan abadi dengan
Prancis yang terdiri sebagian besar dari orang non Kanak tetap ada, dan bahkan di dalam FLNKS
dan RPCR sendiri ada perbedaan pendapat yang tajam mengenai masa depan Kaledonia Baru.
Pada tahun-tahun terakhir ini timbul ketegangan antara orang Kanak dengan kaum imigran yang
datang dari pulau Wallis dan Futuna di Polinesia milik Prancis.