Вы находитесь на странице: 1из 22

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan

temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect)
yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana
(CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer
bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia –
yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik
(seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan
hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama
penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a)
gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi
prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap
permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan
resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi
terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan
banjir.

Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-
geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a)
meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya
kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-
ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau
kecil.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang
acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim).
Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat.
Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade
mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara
(termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan
volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka
air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang
bersamaan.

 Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah
pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja
kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus
mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha
(1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun
(1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula.
Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai
akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai
ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya
aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
 Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut
juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara
berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070,
maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
 Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya
adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan
Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-
kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur,
Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di
Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan
mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini
bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra
produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional,
dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS
Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada
pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena
dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
 Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau
kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan
muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter,
pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
 Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan
pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun
akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International
Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 –
1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan
akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar,
yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil
langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi
lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan
resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air
bersih pada jangka panjang.

Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional

Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi
waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara
garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai
penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur
wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.

Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria
pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan
gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan
budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb).
Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan
pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana
wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.
Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka
dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP
47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah
nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini
Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan
perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :

 globalisasi ekonomi dan implikasinya,


 otonomi daerah dan implikasinya,
 penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
 pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
 pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
 daur ulang hidrologi,
 penanganan land subsidence,
 pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
 pemanasan global dan berbagai dampaknya.

Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi
salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah
nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir
mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya
pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c)
pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara
kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas
sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan
hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut
dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah
seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian
Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua

Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota
pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan
kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan
tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut
diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta,
Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai.
(Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).

Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan


muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan
tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).
Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria
pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian
nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir,
seperti :

 sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar
Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta
hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari
Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
 beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok
(Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta
pelabuhan Makassar.
 Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian
Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
 Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar,
dan Semarang.

Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan
kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan
perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat
mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.

Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak
kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka
pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai
berikut :

 Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan


akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya
perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu
dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki
kerentanan sangat tinggi.
 Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko
dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan
agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi
tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi
keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
 Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard
structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir
(seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau
penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap
perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap
mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with
nature”.

Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan
pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar
alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki
kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-
pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi
khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan
hankam, dan sebagainya.

Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat


diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis -
perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat
dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang
berada di kawasan hilir.

Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi


Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen
kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula
kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.

Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-
tujuan berikut :

 Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota


pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga
fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat
tetap berlangsung.
 Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya
(inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam
(natural hazards) lainnya.
 Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung
kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang
dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir
(integrated coastal zone management).
 Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata
ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan
Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi
bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan
sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber
daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang,
(c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public
awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database
pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan
peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan
kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
 Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan
efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan
semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
 Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks
pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan
pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
 Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory
planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan
dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi
seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
 Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara
kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga
tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif,
potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
 Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda -
untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang
‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.

http://geo.ugm.ac.id/archives/28

Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata
atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F)
selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan
abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah
kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah
dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains
nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak
setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global
akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1]
Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda
mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim
yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100,
pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari
seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan
besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain


seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem,[2]
serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah
terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan
yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-
perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga
saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan
yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau
untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan
negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang
mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Penyebab pemanasan global


o 1.1 Efek rumah kaca

o 1.2 Efek umpan balik

o 1.3 Variasi Matahari

 2 Mengukur pemanasan global

 3 Model iklim

 4 Dampak pemanasan global

o 4.1 Iklim Mulai Tidak Stabil

o 4.2 Peningkatan permukaan laut

o 4.3 Suhu global cenderung meningkat

o 4.4 Gangguan ekologis

o 4.5 Dampak sosial dan politik

 5 Perdebatan tentang pemanasan global

 6 Pengendalian pemanasan global

o 6.1 Menghilangkan karbon

o 6.2 Persetujuan internasional

 7 Lihat pula

 8 Referensi

 9 Pranala luar

[sunting] Penyebab pemanasan global


[sunting] Efek rumah kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi
tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba
permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi.
Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya.
Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas
rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi
perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi
gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di
permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata
tahunan bumi terus meningkat.

Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin
meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap
di bawahnya.

Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena
tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C (59 °F),
bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek
rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi.
Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.

[sunting] Efek umpan balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang
dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat
bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan
lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah
kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai
tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya
lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini
meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau
bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya
berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat
dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga
akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan
memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek
pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung
pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini
sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila
dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125
hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat).
Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan
umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang
digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo)
oleh es.[4] Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan
kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air
di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan
cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak
radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es
yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku
(permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu,
es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini
diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi
pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]

[sunting] Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi Matahari

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan
diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6]
Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah
meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca
akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati
sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama
pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan
tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi
Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek
pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun
1950.[8][9]

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah
diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University memperkirakan bahwa
Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global
selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan
rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat
perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh
Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan
aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan
bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari
sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini
disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan
bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari
pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar
0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk
berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich
menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari
sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar
kosmis.[14]

[sunting] Mengukur pemanasan global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa

Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan
mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini
dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global
yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung
Mauna Loa di Hawai.

Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di


atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang
dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas
rumah kaca di atmosfer.

Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi
mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu terus bervariasi dari waktu ke
waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim
untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas.
Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan
tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.

Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran
suhu akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga
panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari
stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini
memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang
tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan
menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20,
tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun
1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling
panas.

Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate


Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius
(1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama
disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC
memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga
11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.

IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak
bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat
emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer
selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]

Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi
karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila
dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara
dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali
sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang
sangat besar.

[sunting] Model iklim

Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario
SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Model iklim global

Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer


berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya,
dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-
model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang
lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas
rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang
tertentu.

Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan
pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F
hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk
menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan
membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai
penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.

Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu global
hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari
iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi
antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan
tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-
gas yang dihasilkan manusia.

Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan
berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap
Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang
dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang
biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti
(untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2).
Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[18][19][20]

Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian
terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam
menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut
mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak
langsung dari variasi Matahari.

[sunting] Dampak pemanasan global

Para ilmuan menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer
untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah
membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi
permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

[sunting] Iklim Mulai Tidak Stabil

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari
belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di
Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih
sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya
mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah
subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair.
Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari
akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan.
Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau
menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan
gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer.
Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak,
sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan
menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan
curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan.
(Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir
ini)[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah.
Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup
lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang
memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan
pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola
cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.

[sunting] Peningkatan permukaan laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara
geologi.

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga
volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan
mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak
volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10
inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 –
88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan
100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah
Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan
meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan
meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk
melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat
melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai.
Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika
Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang
sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida
Everglades.

[sunting] Suhu global cenderung meningkat

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak
makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian
Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya
curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering
di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang
menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair
sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami
serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

[sunting] Gangguan ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini
karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan
cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan
mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu
hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-
spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan
pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat
berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

[sunting] Dampak sosial dan politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang


berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat
menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca
yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat
menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan
kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan
perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit,
seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-
lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air
(Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases).
Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru
untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa
spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten
terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan
bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan
perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim
(Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti
ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan
polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi
terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis,
penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

[sunting] Perdebatan tentang pemanasan global

Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa
pengamat masih mempertanyakan apakah suhu benar-benar meningkat. Yang lainnya
mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini
untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat
membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global
dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan suhu. Mereka juga
menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa
daerah.

Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga


perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan
perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama
tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik
kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya
separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak
memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin
dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.

Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang
menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal
sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan
berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap
polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.

Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan
penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi
tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic
and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang suhu air
yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran
tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: suhu laut dunia pada tahun 1998
lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada suhu rata-rata 50 tahun
terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.[22]

Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di


troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer
tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya.
Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences
untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat
diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model
tidak dapat dijelaskan secara jelas.
[sunting] Pengendalian pemanasan global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-
langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah
pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang
timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di
masa depan.

Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi
dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah
dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa
negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap
menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan
ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk
menuju ke habitat yang lebih dingin.

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau
komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan
karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

[sunting] Menghilangkan karbon

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan
memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda
dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya
melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat
perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman
yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah
untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal.
Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam
mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.

Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan
(menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi
keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk
mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau
aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia,
dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan
diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.

Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil.
Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18.
Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh
minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa
digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini
sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke
udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak
apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi
terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi
nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya,
tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali.

[sunting] Persetujuan internasional


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Protokol Kyoto

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca.


Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk
menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam
suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan
persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.

Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri


yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk
memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini
harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan
diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi
hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih
keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar
negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.

Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush
mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya
yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara
berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto
Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab
menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya.
Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin
meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16
Februari 2005.

Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini
dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena
negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh
dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat
kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh
industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya
tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang
diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS,
terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya
bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi
serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan,
kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.

Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh
walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon
dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang
juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk
memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara
reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan
pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca.
Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan
yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan
ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit
meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang
dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh
keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan
emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya
lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi
ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.

[sunting] Lihat pula


 Gas rumah kaca
 Protokol Kyoto

 Globalisasi

[sunting] Referensi
1. ^ a b c d "Summary for Policymakers" (PDF). Climate Change 2007: The Physical
Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. 5
Februari 2007. http://www.ipcc.ch/SPM2feb07.pdf. Diakses pada 2 Februari 2007.
2. ^ NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News,
August 31, 2007.

3. ^ a b Soden, Brian J. (01-11-2005). "An Assessment of Climate Feedbacks in Coupled


Ocean-Atmosphere Models" (PDF). Journal of Climate 19 (14): 3354-3360.
http://www.gfdl.noaa.gov/reference/bibliography/2006/bjs0601.pdf. Diakses pada 21 April
2007. "Interestingly, the true feedback is consistently weaker than the constant relative
humidity value, implying a small but robust reduction in relative humidity in all models on
average" "clouds appear to provide a positive feedback in all models".

4. ^ Stocker, Thomas F. (20-01-2001). "7.5.2 Sea Ice". Climate Change 2001: The
Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change.
http://www.grida.no/climate/ipcc_tar/wg1/295.htm. Diakses pada 11 Februari 2007.

5. ^ Buesseler, K.O., C.H. Lamborg, P.W. Boyd, P.J. Lam, T.W. Trull, R.R. Bidigare, J.K.B.
Bishop, K.L. Casciotti, F. Dehairs, M. Elskens, M. Honda, D.M. Karl, D.A. Siegel, M.W. Silver,
D.K. Steinberg, J. Valdes, B. Van Mooy, S. Wilson. (2007) "Revisiting carbon flux through the
ocean's twilight zone." Science 316: 567-570.

6. ^ Marsh, Nigel (November 2000). "Cosmic Rays, Clouds, and Climate" (PDF). Space
Science Reviews 94 (1-2): 215-230. doi:10.1023/A:1026723423896.
http://www.dsri.dk/~hsv/SSR_Paper.pdf. Diakses pada 17 April 2007.

7. ^ "Climate Change 2001:Working Group I: The Scientific Basis (Fig. 2.12)". 1 Juni
2001. http://www.grida.no/climate/ipcc_tar/wg1/fig2-12.htm. Diakses pada 8 Mei 2007.
8. ^ Hegerl, Gabriele C. (07-05-2007). "Understanding and Attributing Climate Change"
(PDF). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to
the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Intergovernmental Panel on Climate Change. pp. 690. http://www.ipcc.ch/pdf/assessment-
report/ar4/wg1/ar4-wg1-chapter9.pdf. Diakses pada 20 Mei 2007. "Recent estimates (Figure
9.9) indicate a relatively small combined effect of natural forcings on the global mean
temperature evolution of the seconds half of the 20th century, with a small net cooling from
the combined effects of solar and volcanic forcings"

9. ^ Ammann, Caspar (06-04-2007). "Solar influence on climate during the past


millennium: Results from ransient simulations with the NCAR Climate Simulation Model".
Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 104 (10):
3713-3718. http://www.pnas.org/cgi/reprint/104/10/3713. "However, because of a lack of
interactive ozone, the model cannot fully simulate features discussed in (44)." "While the NH
temperatures of the high-scaled experiment are often colder than the lower bound from
proxy data, the modeled decadal-scale NH surface temperature for the medium-scaled case
falls within the uncertainty range of the available temperature reconstructions. The
medium-scaled simulation also broadly reproduces the main features seen in the proxy
records." "Without anthropogenic forcing, the 20th century warming is small. The
simulations with only natural forcing components included yield an early 20th century peak
warming of ≈0.2 °C (≈1950 AD), which is reduced to about half by the end of the century
because of increased volcanism.".

10. ^ Scafetta, Nicola (09-03-2006). "Phenomenological solar contribution to the 1900-


2000 global surface warming" (PDF). Geophysical Research Letters 33 (5).
doi:10.1029/2005GL025539. L05708.
http://www.fel.duke.edu/~scafetta/pdf/2005GL025539.pdf. Diakses pada 8 Mei 2007.

11. ^ Stott, Peter A. (03-12-2003). "Do Models Underestimate the Solar Contribution to
Recent Climate Change?". Journal of Climate 16 (24): 4079-4093. doi:10.1175/1520-
0442(2003)016%3C4079:DMUTSC%3E2.0.CO;2.
http://climate.envsci.rutgers.edu/pdf/StottEtAl.pdf. Diakses pada 16 April 2007.

12. ^ Foukal, Peter (14-09-2006). "Variations in solar luminosity and their effect on the
Earth's climate.". Nature.
http://www.nature.com/nature/journal/v443/n7108/abs/nature05072.html. Diakses pada
16 April 2007.

13. ^ "Changes in Solar Brightness Too Weak to Explain Global Warming". National
Center for Atmospheric Research. 14 September 2006.
http://www.ucar.edu/news/releases/2006/brightness.shtml#. Diakses pada 13 Juli 2007.

14. ^ Lockwood, Mike. "Recent oppositely directed trends in solar climate forcings and
the global mean surface air temperature". Proceedings of the Royal Society A.
doi:10.1098/rspa.2007.1880.
http://www.pubs.royalsoc.ac.uk/media/proceedings_a/rspa20071880.pdf. Diakses pada 21
Juli 2007. "Our results show that the observed rapid rise in global mean temperatures seen
after 1985 cannot be ascribed to solar variability, whichever of the mechanisms is invoked
and no matter how much the solar variation is amplified.".

15. ^ http://www.ipcc.ch/ipccreports/ar4-syr.htm
16. ^ Hansen, James (2000). "Climatic Change: Understanding Global Warming". One
World: The Health & Survival of the Human Species in the 21st Century. Health Press.
http://books.google.com/books?
id=sx6DFr8rbpIC&dq=robert+lanza&printsec=frontcover&source=web&ots=S7MXYzoDqR&si
g=jfUo33FtVZ3PSUS2fcc_EtawEnQ. Diakses pada 18 Agustus 2007.

17. ^ "Summary for Policymakers". Climate Change 2001: The Scientific Basis.
Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Kesalahan: waktu
tidak valid. http://www.grida.no/climate/ipcc_tar/wg1/007.htm. Diakses pada 28 April
2007.

18. ^ Torn, Margaret (26-05-2006). "Missing feedbacks, asymmetric uncertainties, and


the underestimation of future warming". Geophysical Research Letters 33 (10). L10703.
http://www.agu.org/pubs/crossref/2006/2005GL025540.shtml. Diakses pada 4 Maret 2007.

19. ^ Harte, John (30-10-2006). "Shifts in plant dominance control carbon-cycle


responses to experimental warming and widespread drought". Environmental Research
Letters 1 (1). 014001. http://www.iop.org/EJ/article/1748-
9326/1/1/014001/erl6_1_014001.html. Diakses pada 2 Mei 2007.

20. ^ Scheffer, Marten (26-05-2006]]). "Positive feedback between global warming and
atmospheric CO2 concentration inferred from past climate change.". Geophysical Research
Letters 33. doi:10.1029/2005gl025044. http://www.pik-
potsdam.de/~victor/recent/scheffer_etal_T_CO2_GRL_in_press.pdf. Diakses pada 4 Mei
2007.

21. ^ Stocker, Thomas F. (20-01-2001). "7.2.2 Cloud Processes and Feedbacks". Climate
Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on
Climate Change. http://www.grida.no/climate/ipcc_tar/wg1/271.htm. Diakses pada 4 Maret
2007.

22. ^ a b Hart, John. "Global Warming." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA:
Microsoft Corporation, 2005.

[sunting] Pranala luar


 Global Warming Information from the Ocean & Climate Change Institute , Woods Hole
Oceanographic Institution
 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

o [1] Draft of 4th IPCC Report 2007 (news story)

o IPCC Third Assessment Report dipublikasikan 2001

o Climate Change 2001: Working Group II: Impacts, Adaptation and Vulnerability

o A summary of the above IPCC report - oleh GreenFacts

 NASA's Global Hydrology and Climate Center

 Mauna Loa Observatory, Hawaii - Hasil pengukuran terakhir CO 2

 Peta dan grafik pemanasan global dari Program Lingkunag PBB GRID-Arendal
 NOAA's Global Warming FAQ

 RealClimate - Blog para ilmuan tentang iklim

 National Center for Atmospheric Research - Penelitian NCAR tentang perubahan iklim

 Potsdam Institute for Climate Impact Research

 Pew Center on Global Climate Change — ilmu dasar

 NOAA ESRL Global Monitoring Division

 Global Warming Site, U.S. Environmental Protection Agency

 Final Report of U.S. Climate Change Science Program

 Melting lakes in Siberia emit greenhouse gas

 Danish National Space Centre: SKY Experiment

 Climate Change: Discovery of Global Warming

 IPCC report Climate Change 2007: The Physical Science Basis, Feb 2007

 Apa Kata PBB & Tokoh PBB Tentang Pemanasan Global: Solusi Terbaik Pemanasan Global

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global

Вам также может понравиться