Вы находитесь на странице: 1из 8

Al Junayd Al Baghdadi : Ittihad Sufi moderat dari Baghdad Bagikan Kamis pukul 17:57 Dan carilah pada apa

yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al Quran, surah AI-Qashash : 77) Pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tak terlalu peduli. Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Sufi terpercaya, Al-Junayd (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Masa orang tidak peduli pada keadaan sekitarnya. Masa orang tidak perlu mencari nafkah bagi diri dan keluarga. Masa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri pun mengharap uluran tangan orang lain. Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka dan tidak terikat terhadapnya. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup, ia suka memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya. Berdasarkan pernahaman dan penghayatan Al-Junayd tentang zuhud ini, maka tak berlebihan kalau kemudian Al-Junayd disebut sebagai Sufi yang moderat. Selain itu, meski ia seorang sufi, ia tak melulu membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junayd agak beda dengan para sufi pada umumnya. Misalnya Al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa (moral) ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti kepribadian dan moral manusia. Sedangkan jika moral seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka. (Al-Qushairy, Al-Risalah Al-Qushairiyah Dar Al-Kutub Al-Arabiyah Al-Kubra. Kairo. 1912, hlm. 10)

Siapa Al-Junayd? Al-Junayd, nama lengkapnya, Abu Al-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AlKhazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd, memang seorang pedagang barang pecah belah. Makanya, orang menjulukinya Al-Qawariri, yang artinya barang pecah belah. Al-Junayd sendiri belakangan mendapat julukan Al-Khazzaz, yang artinya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang sutera di kota Baghdad. Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan AlJunayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Menginjak usia 20 tahun Al-Junayd belajar ilmu hadis dan fiqih kepada Abu Thawr (wafat 240 H). Abu Thawr adalah seorang faqih terkenal di Baghdad kala itu. Banyak muridnya yang kemudian menjadi ahli hukum terkemuka. Di bawah bimbingan guru ini Al-Junayd tumbuh menjadi seorang faqih yang handal. Tanda-tandanya memang sudah kelihatan sejak ia masih belajar. la sering mengemukakan pendapat tentang suatu hukum tertentu dan pendapatnya itu sangat tepat untuk berbagai persoalan fiqih (al-masalah al-fiqhiyah). Kehandalan Al Junayd juga diakui oleh temannya, Ibnu Durayj (wafat 306 H), seorang faqih terkenal. Ketika ia sedang mengajar pernah ditanya oleh muridnya: Dari mana pendapat yang demikian itu diperoleh? Secara jujur Ibnu Duraij menjawab, Ini merupakan hasil yang saya dapatkan ketika berdiskusi dengan Al-Junayd. Bila saja pertanyaan ini diajukan kepada saya sebelum itu, niscaya saya tidak akan dapat menjawabnya, Menguasai ilmu fiqih, bagi Al Junayd, mempunyai arti penting dalam upaya selanjutnya untuk menguasai ilmu tasawuf. la merasa, dengan menguasai ilmu fiqih yang luas lebih dulu, maka praktek ajaran sufisme akan tetap dapat dikontrolnya, sehingga tidak keluar dari koridor Al-Ouran dan As-Sunnah (Hadist). Seperti pernah dikatakan oleh Al-Makki, setiap orang harus menguasai lebih dulu ilmu hadist dan fiqih bila ingin mendalami dan mempraktekkan ajaran tasawuf, itu akan menghindarkan sufi dari kemungkinan tersesat, karena belum memiliki pengetahuan dasar yang kuat. Lebih tegas lagi, Al-Junayd mengungkapkan syarat yang harus dipenuhi bila orang ingin mengajarkan tasawuf. Saya belajar hukum pada ulama yang dikenal luas ilmunya tentang hadist, seperti Abu Ubayd dan Abu Tsaur. Kemudian saya belajar pada AlMuhasibi dan Sari Ibn Mughallas. Itulah kunci keberhasilanku. Lantaran ilmu yang kita miliki harus terus dikontrol dan disesuaikan dengan Al-Ouran dan Sunnah, oleh sebab itu,

siapa saja yang tidak menguasi ilmu Al Quran, tidak secara formal belajar hadist, dan tidak mendalami hukum sebelum menekuni tasawuf, tidaklah berhak mengajarkan tasawuf. Nyatanya, Al-Junayd sudah diakui sebagai seorang ahli fiqh, bahkan juga ahli tauhid (teolog). Kalau saja ia tidak mempelajari tasawuf maka ia sudah menjadi seorang faqih yang lebih terkenal. Tetapi karena kemudian ia mendalami tasawuf, akhirnya ia lebih dikenal sebagai seorang sufi. Ketika penguasa Abbasiyah melakukan mihnah (penyelidikan) terhadap setiap sufi soal kesetiaan mereka kepada pemerintah, Al-Junayd mengatakan bahwa dirinya lebih merupakan seorang faqih ketimbang sufi. Dan itu membuatnya terhindar dari mihnah tersebut. Tak urung, ada beberapa sufi yang menjadi korban mihnah, ditangkap dan disiksa oleh penguasa, dengan tuduhan ajarannya dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan juga melawan pemerintah. Salah seorang sufi yang terkena jeratan mihnah adalah Al-Hallaj, yang pernah juga berguru pada Al-Junayd. Seperti diketahui, Al-Hallaj mengajarkan tasawuf Wihdatul Wujud (Ana Al-Haqq), yang dianggap menyesatkan umat. Al-Hallaj harus menerima hukuman mati. Tapi disinyalir hukuman itu lebih bernuansa politik, karena Al-Hallaj mendukung perjuangan kaum Qaramitah yang menuntut dihapuskannya kesewenang-wenangan pemerintah. Al-Junayd sendiri juga menentang kesewenang-wenangan itu. Tapi penentangannya tidak lewat gerakan politik seperti muridnya (Al-Hallaj). la hanya bersikap mengambil jarak dengan pemerintahan, misalnya menolak keterlibatan para sufi menduduki jabatan di kepemerintahan. Karena hal itu, menurut dia, hanya akan menjadi penghalang mujahadah dan ketekunan sufi dalam beribadah. Makanya. ketika dua temannya. Uthman Al-Makki dan Ruwayn bin Ahmad, menerima jabatan sebagai qadhi, Al-Junayd lalu memutuskan hubungan dengan mereka. Kendati begitu, Al-Junayd tetap dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. Apalagi yang ada kaitannya dengan persoalan pemerintahan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Sunnah. Mengenai keluasan pengetahuan Al-Junayd, diakui oleh Al-Khuldi, Sebelum ini kami belum pernah menemukan seorang Syekh yang mampu menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pengalaman mistiknya. Banyak syekh memang memiliki ilmu yang luas. Tapi biasanya tidak mempunyai pengalaman mistik yang mendalam. Di sisi lain, ada yang mempunyai pengalaman mistik yang mendalam, tapi hanya menguasai ilmu pengetahuan ala kadarnya. Al-Junayd memiliki keduanya. Pengalamannya mendalam di bidang sufisme dan ilmu pengetahuannya sangat luas. Bahkan ilmu pengetahuannya, nyaris melebihi pengalaman mistiknya. Guru dan Murid Al-Junayd

Sebelum seseorang menjadi tokoh sufi, tentulah memiliki guru dan setelah menjadi tokoh sufi, memiliki pula murid-murid. Hanya saja, guru yang mengajari Al-Junayd tentang ilmu tasawuf tidak terlalu banyak. Mereka itu adalah Sari Al-Saqati, Al-Muhasibi, Muhammad Al-Qassab, Ibn Al-Qaranbi, dan Al-Qantari. Mengenai Al-Saqati ini, nama lengkapnya Abul al-Hasan Sari Ibn al-Mughallis al-Saqati, punya kisah menarik. Selain sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai pedagang yang saleh. Suatu ketika, terjadi kebakaran di pasar Baghdad. Seseorang mengabarkan padanya bahwa tokonya ikut terbakar. Apa katanya? Biarlah. Sekarang saya justru menjadi bebas dan tidak perlu lagi mengurus barangbarang tersebut. Setelah api dapat dipadamkan, ternyata tokonya tidak terbakar. Sementara toko-toko di sekelilingnya ludes dilalap api. Al Saqati lalu membagi-bagikan semua barang dagangannya kepada para fakir miskin. la sendiri kemudian meninggalkan usahanya untuk selanjutnya sibuk menekuni dunia tasawuf. Pamannya Al-Junayd ini belajar tasawuf kepada Abu Mahfuz Maruf Ibn AlFairuz Al-Karkhi (wafat tahun 200 H). seorang sufi kenamaan dari Persia. Kalau Al-Saqati, paman dan guru Al-Junayd adalah orang Persia, maka Al-Muhasibi merupakan guru tasawuf Al-Junayd yang berasal dari keturunan Arab, namun lahir di Basrah. Sementara Muhammad Al-Qassab Abu Jafar Muhammad ibn Ali Al-Qassab (wafat 275 H), menurut Al-Junayd adalah guru sufi yang paling utama baginya. Selain itu, Al-Junayd juga berguru tasawuf pada Ibn Al-Karanbi dan Al-Qantari. Yang mengesankan dari dua guru ini, hubungannya dengan Al-Junyad sangat akrab, tak tampak sebagai hubungan antara murid dan guru, Padahal, keduanya merupakan tokoh sufi terkemuka di kota Baghdad, bahkan Al-Qantari adalah teman Maruf Al-Karkhi, gurunya Sari Al-Saqati. Murid-murid Al-Junayd cukup banyak. Namun ada tiga muridnya yang paling kesohor, yakni Al-Jurayri, As-Shibli, dan Al-Hallaj. Yang disebut terakhir ini mengembangkan sendiri faham ittihad yang berbeda dengan faham gurunya. Bila Al-Junayd masih memberi batasan yang jelas antara Allah yang qadim dengan makhluk yang hadis, maka Al-Hallaj mencampur keduanya. Menurut Al-Hallaj, persatuan makhluk dengan Tuhan bisa terjadi secara total. Dan justru di situlah dia dipandang oleh para ulama (syariat) telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sehingga la kemudian diadukan kepada Khalifah Al-Muqtadir yang berkuasa saat itu. la pun lalu ditangkap, diadili, dan akhirnya dihukum mati. Pemikiran Al-Junayd Dalam pemikiran tasawuf Al-Junayd, Allah itu Maha Suci. KesucianNya adalah azali dan abadi. Allah itu suci sejak keberadaanNya yang tanpa awal dan akan terus demikian tanpa akhir. Sementara manusia yang terdiri dari ruh dan jasad, berbeda dari Tuhan. Bedanya, pada mulanya ruh manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih (fitrah). Dia

tidak mempunyai keinginan apa-apa selain kepada Tuhan. Namun setelah ruh itu dimasukkan ke dalam tubuh manusia, ia rnenjadi terikat dengan unsur ciptaan (makhluk) dan nafsu yang ada dalam tubuh manusia, bahkan terkadang berada di bawah pengaruh nafsu yang berusaha untuk menariknya pada berbagai kesenangan duniawi. Pada gilirannya, ruh terpesona dengan dorongan nafsu atas kemewahan dunia. Karena keinginan dan terpengaruhnya ruh pada benda-benda dunia inilah yang kemudian menyebabkan ruh tak lagi suci seperti semula. la tercemar karena dilumuri hasrat dan kenikmatan dunia yang menipu. Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa dekat bahkan bersatu (Ittihad) dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya terlebih dahulu (fana), termasuk ke'aku'annya (ego/super ego). Sehingga Ittihadnya terhadap Dzatullah adalah tauhid yang tidak tercemar oleh unsur-unsur kemakhlukan (material), dan ego manusia. Semua unsur-unsur yang bersifat makhluk haruslah musnah terlebih dahulu. Sehingga makna syahadah dalam Wahdatusy Syuhud (penyatuan penyaksian) dan Wahdatul Wujud (penyatuan pemurnian) sungguh-sungguh di capai. "Tidak ada Tuhan selain Allah" adalah musnahnya segalanya, "Tidak ada segalanya selain Allah", termasuk kedirian dan ke'aku'an, "Tiada Aku selain Allah". Perhatikan kesucian Ittihadnya yang terpelihara berbeda dengan ketergelinciran muridnya Al-Hallaj, yang masih menyisakan ke'aku'an sebagai hijab Tuhan dengan pernyataannya "Akulah Tuhan (kebenaran)" yang sekali lagi harus dibantu dengan kematian untuk mensucikan DzatNya dari unsur-unsur kemakhlukan, yang diinginkan sendiri oleh AlHallaj dan telah di ramalkan oleh Al-Junayd. Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia. Di sini Al-Junayd ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan. Dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan. Pada tingkat yang demikian, seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi manusia lenyap, ke'aku'anya telah lenyap digantikan dengan kehendakNya. Dalam kondisi seperti ini, puncak pemberhentian seorang sufi adalah 'Waqfah' atau Mawaqif jamak dari Mauqif, menjadi seorang Waqif atau Wuquf (diam) yang lebur dan menyerahkan totalitasnya kepada Allah semata. Seperti dipaparkan oleh Al-Hujwiri soal tasawuf Al-Junayd ini. bahwa dalam persatuan yang sesungguhnya (Tauhid) tidak akan ada lagi sifat manusia yang tertinggal. Lantaran, sifat-sifat itu tidak tetap, sehingga hanya berbentuk gambar saja. Oleh sebab itu,

Tuhanlah sesungguhnya yang berbuat. Semua itu sebenarnya kehendak dan perbuatan dari sifat-sifat Tuhan. Karenanya, Tuhan misalnya kemudian menyuruh manusia untuk berpuasa. Bila dilaksanakan, maka Dia memberi nama Shaim pada mereka. Sehingga sekalipun secara lahir puasa itu milik manusia, tapi sesungguhnya puasa adalah kepunyaan Tuhan. Juga untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junayd. manusia harus menyucikan ruh dan jiwanya, mengendalikan nafsu, dan membersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Setelah itu terlaksana, kebersatuan dengan Tuhan baru dapat tercapai, seorang sufi kemudian mengakui kealpaan dan kefanaan dirinya, dan menyadari bahwa dirinya bagian dari titah Tuhan . Dan selanjutnya harus mengajak umat dan membimbingnya ke jalan yang lurus dan benar. Dari situ, dimaklumi, bahwa pemikiran sufisme Al-Junayd berpangkal pada ajaran tauhid atau persatuan dengan Tuhan (Ittihad). Paham persatuan dengan Tuhan dalam pemikiran Al-Junayd ini banyak diikuti oleh para sufi lain di masanya dan sesudahnya. Kemoderatan Al-Junayd dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuhud misalnya. Karena zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid. Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kepada duniawi, bagi para sufi diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan. Namun dalam pemikiran Al-Junayd, zuhud adalah kosongnya tangan dari kepemilikan dan hati dari hal yang mengikuti (ketamakan). Menurut Muhammad Amin Al-Nawai, pengertian zuhud Al-Junayd itu diartikan sebagai suatu sifat yang tidak memberatkan diri pada duniawi yang dimiliki. Sehingga tidak akan merasa berat untuk menyedekahkan dan mendermakan hartanya pada yang lebih membutuhkannya. Jadi, zuhud dalam pikiran Al-Junayd tidak berarti harus meninggalkan dunia sama sekali. Zuhud ala Al-Junayd ini lebih merupakan sikap seorang sufi yang tidak begitu terikat pada urusan dunia. Namun bukan berarti harus menjauhi dunia. Bahkan pemahaman itu akan melahirkan sikap kedermawanan dan suka bersedekah pada orang yang membutuhkannya. Jadi seorang zahid boleh mencari rezeki yang halal sesuai ajaran Tuhan. Tapi setelah rnendapatkannya ia mesti menggunakannya di jalan yang benar, sesuai petunjuk Allah Azza wa Jalla. Makanya, fenomena itu terlihat dari penampilan sufi Al-Junayd sehari-hari. la tidak anti dunia. la malah berdagang di pasar Baghdad untuk memenuhi kebutuhannya, Kehidupan sehari-harinya pun dijalaninya secara wajar bahkan ia memiliki rumah yang cukup layak dan mengenakan pakaian yang pantas, tak seperti Kebanyakan pakaian yang digunakan

oleh para sufi umumnya. Menurut Al-Junyad, setiap muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas, tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis. Kata Al-Junyad, Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Dimana jika sudah mendapat nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah. Al-Junayd tetap melaksanakan ibadah sebagaimana layaknya yang dijalani oleh para sufi. Berzikir, Mujahadah, membaca Al Quran dan lain sebagainya. Sehingga dalam pemikiran Al-Junayd keharusan mencari nafkah tidak menjadi penghalang untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Karena, dunia tidak dibuatnya menjadi suatu kesenangan. Melainkan hanyalah sebuah sarana dan pelengkap. Itulah makanya meski ia seorang pedagang ia tetap menomorsatukan pengabdiannya kepada Allah SWT. Di saat-saat pembeli sedang sepi, ia pun memanfaatkan waktunya untuk shalat sunah. Juga baginya tiada hari tanpa membaca Al Quran. Al-Baghdadi mengatakan, saat-saat akan meninggal Al-Junayd membaca Al Quran sampai tamat. Lalu, ketika ia memulai lagi dari surat Al-Baqarah sampai ayat ke-70, barulah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Al-Junayd meninggal pada tahun 298 H dan dimakamkan tepat di sebelah makam pamannya. Sari Al-Saqati. Karya-Karya Al-Junayd Al-Junayd sendiri sebenarnya termasuk seorang sufi yang tawadhu. Saking tawadhunya ia malah pernah bilang kalau ajaran-ajaran sufinya tak perlu disebarluaskan. la khawatlr pikiran-pikirannya itu membuat orang lupa pada ajaran Rasulullah. Kendati begitu, menurut Al-Sarraj, Al-Junaiyd pernah menulis kitab yang berjudul Al-Munajat dan Shar Shathiyat Abi Yazid Al-Bishtami. Juga ada bukunya yang berjudul Tashih Al-lradhah dan Al Rasail. Al-Rasail selain berisi surat-surat Al-Junayd yang dikirimkannya kepada para sahabatnya, juga memuat ajaran-ajaran Al-Junayd sendiri berupa tulisan para muridnya ketika menerima pelajaran dari dia. Selain itu ada satu lagi karya tulisnya. berjudul Dawa Al-Tafit. Buku itu konon kini tersimpan di Birmingham, Inggris. Tetapi yang jelas, ajaran-ajaran tasawuf Al-Junayd tersebar di beberapa karya para sufi lainnya, lewat berbagai kutipan-kutipan. Imam Al-Ghazali sendiri tampaknya mengetahui ajaran Al-Junayd melalui berbagai kutipan yang terdapat dalam buku-buku tasawuf. Di dalam biografinya, Al-Ghazali mengakui bahwa ajaran-ajaran sufi yang terdapat dalam

bukunya merupakan kumpulan dari ucapan Al-Junayd, As-Shibly, dan Abu Yazid yang tersebar di beberapa buku. Demikian sufi Al-Junayd telah memberikan pemikiran-pemikiran sufistiknya yang kokoh dan beda dengan para sufi kebanyakan. Baik dalam pola penampilan hidup sehari-harinya maupun dalam pandangannya soal zuhud. la memang seorang sufi yang lebih bersifat moderat. Karena itulah banyak kalangan yang mengikuti ajaran-ajarannya. Bahkan hingga kini, nama sufi Al-Junayd dan ajarannya masih tetap melambung di deretan para sufi terkemuka. Salamun qaulam mirabbir rahiim... (oleh : Junayd Eka Perdana)

Вам также может понравиться