Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB V SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL

A. PENDAHULUAN
Keberadaan hukum internasional dalam tata pergaulan internasional, sesungguhnya merupakan konsekuensi dari adanya hubungan internasional yang telah dipraktikan oleh negaranegara selama ini. Hubungan internasional yang merupakan hubungan antar negara, pada dasarnya adalah hubungan hukum. Ini berarti dalam hubungan internasional telah melahirkan hak dan kewajiban antar subyek hukum (negara) yang saling berhubungan baik dalam bentuk hubungan bilateral, regional maupun multilateral. Hukum internasional mutlak diperlukan dalam rangka menjamin kelancaran tata pergaulan internasional. Hukum internasional menjadi pedoman dalam menciptakan suasana kerukunan dan kerjasama yang saling menguntungkan. Hukum internasional bertujuan untuk mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subjek-subjek hukum internasional. Perkembangan dunia global yang sudah melintasi batas-batas wilayah teritorial negara lain, sangat membutuhkan aturan yang jelas dan tegas. Aturan tersebut, bertujuan agar tercipta suasana kerukunan dan kerja sama yang saling menguntungkan. Kerja sama dalam hubungan antar bangsa, memerlukan aturan hukum yang bersifat internasional. Sumber hukum internatsional berupa perjanjian internasional, kebiasaan internasional dan sebagainya, mempunyai peranan penting dalam mengatur masalah-masalah bersama antara subyek-subyek hukum internasional. Istilah lain untuk hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa. Munculnya sengketa-sengketa internasional yang banyak terjadi, lebih sering disebabkan oleh ulah segelintir negara (terutama yang memiliki kekuatan tertentu) yang mengabaikan aturan-aturan internasional yang telah disepakati bersama. Oleh sebab itu, dihormati atau tidaknya hukum internasional sangat tergantung dari komitmen setiap negara dalam memandang dan menghargai bangsa atau negara-negara lain. Dan tidak kalah pentingnya adalah bagaimana peranan Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Dewan Keamanan yang sesuai tugasnya adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional di atas kepentingan negara-negara tertentu. Karena sampai dengan sekarang masalah-masalah sengketa internasional masih sulit untuk diselesaikan melalui Pengadilan Internasional, manakala sudah melibatkan negara-negara adikuasa.

B. SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL 1. Sistem Hukum Internasional


Dalam berbagai kesempatan kita sering mendengar kata sistem. Ketika berbicara hukum, maka orang akan bertanya pentingnya sistem hukum, demikian juga ketika orang berbicara tentang hukum internasional, orang akan bertanya bagaimana sistem hukum internasionalnya dan sebagainya. Kata sistem dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengandung arti susunan kesatuan-kesatuan yang masing-masing tidak berdiri sendirisendiri, tetapi berfungsi membentuk kesatuan secara keseluruhan. Pengertian sistem dalam penerapannya, tidak seluruhnya berasal dari suatu disiplin ilmu yang mandiri, karena dapat pula hanya berasal dari pengetahuan, seni maupun kebiasaan : seperti sistem mata pencaharian, sistem tarian, sistem perkawinan, sistem pemerintahan, sistem hukum dan sebagainya. Bertolak dari pengertian sistem yang telah dikemukakan di atas, maka sistem hukum internasional dimaksudkan adalah satu kesatuan hukum yang berlaku untuk komunitas internasional (semua negara-negara di dunia) yang harus dipatuhi dan diataati oleh setiap negara. Sistem hukum internasional juga merupakan aturan-aturan yang telah diciptakan bersama oleh negara-negara anggota yang melintasi batas-batas negara. Kepatuhan terhadap

sistem hukum internasional tersebut, adakalanya karena negara tersebut terlibat langsung dalam proses pembuatan dan tidak sedikit juga yang tinggal meratifikasinya.

2. Pengertian Hukum Internasional


Hugo de Groot (Grotius) dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan Damai) mengemukakan, bahwa hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya. Sedangkan Sam Suhaedi berpendapat bahwa hukum internasional merupakan himpunan aturan-aturan, norma-norma dan asas yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat Internasional. Dalam pengertian umum, Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Beberapa sarjana lain menyatakan pendapatnya tentang hukum internasional adalah sebagai berikut : a. J.G. Starke Hukum internasional, adalah sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antar negara. b. Wirjono Prodjodikoro Hukum internasional, adalah hukum yang mengatur perhubungan hukum antara berbagai bangsa di berbagai negara. c. Mochtar Kusumaatmadja Hukum internasional, adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara :  negara dan negara  negara dan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.

3. Asal Mula Hukum Internasional


Bangsa Romawi sudah mengenal hukum internasional sejak tahun 89 SM. Hukum tersebut lebih dikenal dengan Ius Civile (hukum sipil) dan Ius Gentium (hukum antar bangsa). Ius Civile merupakan hukum nasional yang berlaku bagi warga Romawi di manapun mereka berada. Ius Gentium yang kemudian berkembang menjadi Ius Inter Gentium ialah hukum yang merupakan bagian dari hukum Romawi dan diterapkan bagi kaula negara (orang asing) yang bukan orang Romawi, yaitu orang-orang jajahan atau orang-orang asing. Hukum ini kemudian berkembang menjadi Volkernrecht (bahasa Jerman), Droit des Gens (bahasa Prancis) dan Law of Nations atau International Law (Bahasa Inggis). Pengertian Volkernrecht dan Ius Gentium sebenarnya tidak sama karena dalam hukum Romawi, istilah Ius Gentum mempunyai pengertian berikut ini. a. Hukum yang mengatur hubungan antara dua orang warga kota Roma dan orang asing (orang yang bukan warga kota Roma). b. Hukum yang diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat segala bangsa, yaitu hukum alam (natuurecht). Menjadi dasar perkembangan hukum internasional di Eropa pada abad ke-15 sampai abad ke-19. Dalam perkembangan berikutnya, pemahaman tentang hukum internasional dapat dibedakan dalam 2 (dua) hal, yaitu: a. Hukum perdata Internasional, yaitu hukum internasional yang mengatur hubungan hukum antar warga negara suatu negara dan warga negara dari negara lain (antar bangsa). b. Hukum Publik Internasional, yaitu hukum internasional yang mengatur negara yang satu dan negara yang lain dalam hubungan internasional (hukum antar negara).

Tentang persamaan dan perbedaan antara hukum perdata internasional dan hukum publik internasional, dapat dilihat berikut ini. Persamaan Kedua-duanya mengatur hubunganhubungan antar persoalanpersoalan yang melintasi Hukum Perdata Internasio nal dan Hukum Publik Perbedaan Dalam hukum perdata internasional, persoalan berkaitan dengan hukum perdata, sedangkan dalam hukum publik

4. Hukum Internasional Dalam Arti Modern


Terwujudnya Hukum Internasional yang kita kenal sekarang merupakan hasil kerja keras para pakar hukum dunia yang mengadakan konferensi di Wina tahun 1969 atas prakarsa PBB. Hasil konferensi tersebut menyepakati sebuah naskah hukum internasional, baik yang menyangkut lapangan Hukum Perdata Internasional maupun Hukum Publik Internasional. Secara garis besar, Hukum Internasional dapat dibagi dua, yaitu Hukum Internasional Tertulis dan Hukum Internasional Tidak Tertulis, yang terwujud dalam bentuk Perjanjian Internasional. KONVENSI WINA 1969

HUKUM TERTULIS
 Bahwa ruang lingkup hukum internasional hanya berlaku untuk perjanjianperjanjian antar negara. Menghasilkan suatu perjanjian tertulis yang dikenal dengan nama Vienna Convention on the Law of Treaties. Perjanjian Internasional tertulis tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional dan yurisprudensi atau prinsipprinsip hukum umum. Contoh: Pada tahun 1990, Pemerintah RI dan Australia telah menandatangani suatu traktat tertulis tentang batas landas kontinen dan eksplorasi di Celah Timor 

HUKUM TIDAK TERTULIS


Masih terdapat hukum kebiasaan internasional (hukum tidak tertulis) yang ruang lingkupnya hanya untuk perjanjian antar negara. Perjanjian-perjanjian antar negara dengan subjek hukum lain, ada pengaturan tersendiri seperti perjanjian antar negara dan organisasi-organisasi internasional. Dalam perjanjian tidak tertulis (International Agreement Not in Written Form), contohnya adalah Prancis (1973) mengadakan percobaan nuklir di Atol Aruboa (percobaan bom nuklir pertama di Lautan Pasifik), banyak menuai protes dari negara lain bahkan, masalahnya diajukan kepada Mahkamah Internasional di Den Haag. Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan agar Prancis membatalkan percobaannya. Akan tetapi, Prancis tetap melakukannya. Setelah Prancis menyadari kesalahannya, Presiden Prancis George Pompidow mengeluarkan pernyataan bahwa peledakan ini untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Dengan pernyataan tersebut, Prancis tidak lagi

Catatan : Bahwa yang termasuk ke dalam perjanjian tidak tertulis adalah perjanjian-perjanjian yang dilakukan secara lisan disertati catatan-catatan tertulis atau nota resmi, nota pribadi dari pejabat Negara yang bersangkutan.

5. Asas-Asas Hukum Internasional


Dalam menjalin hubungan antar bangsa, setiap negara harus memperhatikan asas-asas hukum internasional, yaitu: b Asas Teritorial Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya. Jadi terhadap semua barang atau orang yang berada di luar wilayah tersebut, berlaku hukum asing (internasional) sepenuhnya.
b Asas Kebangsaan Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya. Menurut asas ini, setiap negara di manapun dia berada, tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya. Asas ini mempunyai kekuatan exteritorial. Artinya hukum di negara tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya, walaupun berada di negara asing. b Asas Kepentingan Umum Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara.

Apabila ketiga asas ini tidak diperhatikan, akan timbul kekacauan hukum dalam hubungan antar bangsa. Oleh sebab itu, antara satu negara dan negara lain perlu ada hubungan yang teratur dan tertib dalam bentuk hukum internasional.

Bonus Info Kewarganegaraan


Dalam rangka pelaksanaan hukum internasional sebagai bagian dari hubungan internasional, dikenal beberapa asas lain sebagai berikut : 1. PACTA SUNT SERVANDA Setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh pihak-pihak yang mengadakan. 2. EGALITY RIGHTS Pihak yang saling mengadakan hubungan itu berkedudukan sama. 3. RECIPROSITAS Tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif maupun positif. 4. COURTESY Asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan negara. 5. RIGHT SIG STANTIBUS Asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu.

6. Sumber Hukum Internasional


Sumber-sumber hukum internasional, adalah sumber-sumber yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional, menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam buku Hukum Internasional Humaniter, dapat dibedakan antara sumber hukum dalam arti material dan sumber hukum dalam arti formal.

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

DALAM ARTI MATERIAL : Adalah sumber hukum yang membahas dasar berlakunya hukum

DALAM ARTI FORMAL : Adalah sumber dari mana kita mendapatkan atau menemukan

Dalam arti material bahwa, hukum internasional tidak dapat dipaksakan seperti hukum nasional, karena masyarakat internasional bukanlah suatu negara dunia yang memiliki badan kekuasaan atau pemerintahan tertentu seperti halnya sebuah negara. Masyarakat internasional adalah masyarakat negara-negara atau bangsa-bangsa yang anggotanya didasarkan atas kesukarelaan dan kesadaran, sedangkan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi tetap berada di negara masing-masing. Meskipun demikian, dalam kenyataannya kaidah-kaidah hukum internasional juga ditaati oleh sebagian besar negara-negara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang berarti juga mengikat. Mengenai hal ini, ada dua aliran yang memiliki pendapat yang berbeda. Kedua aliran itu adalah sebagai berikut : a. Aliran Naturalis Aliran ini bersandar pada hak asasi atau hak-hak alamiah. Aliran ini berpendapat bahwa kekuatan mengikat dari hukum internasional didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan. Menurut teori ini dasar mengikatnya hukum internasional, karena hukum internasional adalah hukum alam, sehingga kedudukannya dianggap lebih tinggi daripada hukum nasional. Pencetus teori ini adalah Grotius (Hugo de Groot) yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh Emmerich Vattel, ahli hukum dan diplomat Swiss. b. Aliran Positivisme Aliran ini mendasarkan berlakunya hukum internasional pada persetujuan bersama dari negara-negara ditambah dengan asas pacta sunt servanda yang dianut oleh madzhab Wina dengan pellopornya Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen pacta sunt servanda merupakan kaidah dasar pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (Viena Convention of The Law of Treaties) tahun 1969. Dalam arti formal, merupakan sumber hukum yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Menurut Brierly, sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber hukum paling utama dan memiliki otoritas tertinggi dan otentik yang dapat dipergunakan oleh Mahkamah Internasional di dalam memutuskan suatu sengketa internasional adalah Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tertanggal 16 Desember 1920. Sumber-sumber hukum internasional sesuai dengan yang tercantum di dalam Piagam Mahkamah Internasional Pasal 38, adalah sebagai berikut : a. Perjanjian Internasional (Traktat = Treaty), b. Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum, c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, d. Keputusan-keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum, dan e. Pendapat-pendapat para ahli hukum yang terkemuka.

7. Subjek Hukum Internasional


Subjek hukum internasional adalah orang, negara, badan/organisasi-organisasi tertentu yang dapat melakukan tindakan-tindakan untuk dan atas nama sendiri atau pihak lain yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional. Pihak-pihak yang dapat disebut sebagai subjek hukum internasional adalah Negara, Tahta Suci, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional, Orang Perorangan (Individu), Pemberontak dan pihak dalam sengketa.

No 1.

Subjek Negara

Uraian

Keterangan

Merupakan subjek hukum internasional Dalam istilah lain, hudalam arti yang klasik, artinya bahwa kum internasional adalah negara semenjak lahirnya hukum hukum antar negara. internasional negara sudah diakui sebagai subjek hukum internasional. Tahta Suci (Vatikan) merupakan suatu Tahta Suci mewakili contoh dari subjek hukum internasional perwakilan diplomatik di selain negara. Hal ini merupakan banyak ibukota negara. peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya merupakan kepala gereja Roma tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Palang Merah Internasional berkedudukan di Jenewa dan merupakan salah satu subjek hukum internasional. Hal ini diperkuat dengan adanya perjanjian, kemudian oleh beberapa konvensi Palang Merah (Konvensi Jenewa) tentang perlindungan korban perang. Merupakan subjek hukum yang mempunyai hak-hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan anggaran dasarnya atau merupakan subjek hukum internasional menurut hukum internasional, khususnya yang bersumber pada konvensi-konvensi internasional tadi. Saat ini Palang Merah Internasional dikenal dengan organisasi internasional.

2.

Tahta Suci

3.

Palang Merah Internasional

4.

Organisasi Internasional

Organisasi internasional seperti PBB, ILO,WHO dan FAO memiliki hak dan kewajiban seperti telah ditetapkan dalam konvensi-konvesi internasional sebagai anggaran dasarnya. Dalam perkembangan lebih lanjut, selain individu para perwakilan suatu negara dapat juga para turis, para pelajar, para musisi yang sedang muhibah ke negara lain, para wakil olahraga, dan sebagainya.

5.

Orang Dalam arti yang terbatas orang Perseorangan perseorangan dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional. Perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Ingris dan Prancis, dengan masing-masing sekutunya, telah menetapkan pasal-pasal yang memungkinkan orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrasi Internasional. Misalnya ada penuntutan terhadap bekas para pemimpin perang Jerman dan Jepang, yang dituntut untuk orang perseorangan (individu) dalam perbuatan yang dikualifikasikan sebagai : kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap manusia, penjahat perang oleh Mahkamah Internasional. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa Menurut hukum perang; pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa hal tertentu.

6.

Para pemberontak dianggap sebagai salah satu subjek hukum internasional yang memiliki

beberapa alasan, misalnya merekapun memiliki hak yang sama untuk:   Menentukan nasibnya sendiri ; Hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik, sosial sendiri; dan Hak menguasai sumber kekayaan alam di wilayah dari wilayah yang didudukinya.

8. Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional


Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, praktik-praktik penyelenggaraan negara pada suatu negara antara hukum internasional dengan hukum nasional tidak dapat dipisahkan. Hal ini, karena hukum nasional menjadi dasar pembentukkan hukum internasional. Adanya hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional ternyata menarik para ahli hukum untuk menganalisis lebih jauh. Terdapat 2 (dua) aliran yang mencoba memberikan gambaran bagaimana keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu sebagai berikut :
( Aliran Monoisme Dengan tokohnya Hanz Kelsen dan Georges Scelle. Menurut aliran ini semua hukum merupakan satu sistem kesatuan hukum yang mengikat individu-individu dalam suatu negara ataupun terhadap negara-negara dalam masyarakat internasional. Menurut aliran monoisme antara hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan. Hal ini disebabkan: a. Walaupun kedua sistem hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, tetapi subjek hukumnya tetap sama, yaitu individu-individu yang terdapat dalam suatu negara.

b. Sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hukum tidak mungkin untuk dibantah. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan mengikat apakah terhadap individu-individu maupun negara.  Aliran Dualisme Dengan tokohnya Triepel dan Anzilotti, Aliran ini beranggapan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem terpisah yang berbeda satu sama lain. Menurut aliran dualisme perbedaan kedua hukum tersebut disebabkan pada : a. Perbedaan Sumber Hukum Hukum nasional bersumber pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara, sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional. b. Perbedaan Mengenai Subjek Subjek hukum nasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara, sedangkan subjek hukum hukum internasional adalah negara-negara anggota masyarakat internasional c. Perbedaan Mengenai Kekuatan Hukum

Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna jika dibandingkan dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara secara horizontal.

9. Proses Ratifikasi Hukum Internasional menjadi Hukum Nasional


 Proses Ratifikasi Hukum Internasional menurut UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Dalam UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional harus didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan, saling menguntungkan dan memperhatikan hukum nasional atau hukum internasional yang berlaku. Lebih lanjut pada pasal 5, disebutkan bahwa pembuatan perjanjian harus didahului dengan konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri dan posisi pemerintah harus dituangkan dalam suatu pedoman delegasi.

Terdapat tahap-tahap dalam pembuatan perjanjian, yaitu sebagai berikut :

Negara A

Penjajakan

Negara B,C,D dst.

Perundingan

Penandatanganan

Perumusan naskah

Penerimaan

Penandatanganan suatu perjanjian internasional dapat merupakan persetujuan atas naskah yang dihasilkan dan merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif.

Pembuatan perjanjian dapat dilakukan dengan surat kuasa penuh. Surat kuasa diperlukan bagi seseorang yang mewakili pemerintah untuk menerima atau menandatangani suatu naskah, sedangkan presiden dan menteri tidak memerlukan dokumen tersebut. Surat kuasa dikeluarkan oleh menteri luar negeri sesuai dengan praktik internasional yang telah dikukuhkan dalam konvensi Wina tahun 1969. Di samping itu, ada pula dokumen lain, yaitu surat kepercayaan yang dikeluarkan menteri luar negeri untuk menghadiri, merundingkan, atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional. Surat kuasa tidak diperlukan jika penandatanganan suatu perjanjian internasional hanya bersifat kerjasama teknis sebagai pelaksanaan perjanjian yang sudah berlaku. Selain itu, undang-undang tentang perjanjian internasional pun berisi ketentuan mengenai persyaratan atau pernyataan terhadap suatu perjanjian internasional yang dapat dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian, kemudian ditugaskan pada waktu dilakukannya pengesahan. Persyaratan dan pengesahan dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis. Pengesahan perjanjian internasional merupakan tahap yang sangat penting dalam proses pembuatan perjanjian internasional karena pada tahap tersebut suatu negara menyatakan diri untuk terikat secara definitif. Tentang pengesahan perjanjian internasional, dapat dibedakan

antara pengesahan dengan undang-undang dan pengesahan dengan keputusan presiden. Untuk lebih jelasnya perhatikan bagan berikut ini. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

DENGAN UNDANGUNDANG

DENGAN KEPUTUSAN PRESIDEN

Apabila berkenaan dengan hal-hal berikut : 1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah; 3. Kedaulatan negara; 4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5. Pembentukkan kaidah hukum baru; 6. Pinjaman atau hibah luar negeri.
Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk atau nama (nomenclature) perjanjian.

Jenis-jenis perjanjian yang pengesahannya melalui keputusan presiden pada umumnya memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional, di antaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, kerjasama penghindaran pajak berganda, dan kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis lainnya

Catatan :
Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang -undang. Sebaliknya, pengesahan perjanjian-perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori perjanjian internasional, dilakukan dengan keputusan presiden (pasal 11) dan salinannya disampaikan kepada DPR untuk dievaluasi.

Selanjutnya, setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pemberlakuan perjanjian internasional yang tidak disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden, langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik ataupun melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak terkait. Adapun yang termasuk kategori perjanjian yang langsung berlaku ini antara lain adalah perjanjian yang secara teknis mengatur kerjasama di bidang pendidikan, sosial budaya, pariwisata, penerangan, kesehatan dan keluarga berencana, lingkungan hidup, pertanian, kehutanan, serta kerjasama persaudaraan antara provinsi dan kota. Selanjutnya juga terdapat

kemungkinan bagi Indonesia untuk melakukan perubahan atas ketentuan suatu perjanjian Internasional berdasarkan kesepakatan para pihak terkait melalui tata cara yang ditetapkan dalam perjanjian dan disahkan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat. Penyimpanan perjanjian internasional merujuk pada tanggung jawab menteri luar negri untuk menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional, serta menyampaikan salinan naskah resmi dari setiap perjanjian internasional kepada lembaga negara, lembaga pemerintah, dan kepada sekretariat organisasi nasional. Suatu perjanjian internasional dapat berakhir apabila: a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; b. Tujuan perjanjian tersebut telah dicapai; c. Terdapat perubahan dasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; d. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan dalam perjanjian; e. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama; f. Munculnya norma-norma baru dalam dalam hukum internasional; g. Hilangnya objek perjanjian h. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional. Selanjutnya, pasal 19 menegaskan pula bahwa perjanjian internasional yang berakhir sebelum waktunya berdasarkan kesepakatan para pihak terkait, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya perjanjian tersebut. b. Proses Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Pasal 11 UUD 1945.  Pengertian Ratifikasi

Dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum (perjanjian) internasional, disebutkan bahwa dalam pembuatan hukum (perjanjian) baik bilateral maupun multilateral dapat dilakukan melalui tahap-tahap : Perundingan (Negotiation), Penandatanganan (Signature), dan Pengesahan (Ratification). Ratifikasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan hukum (perjanjian) internasional. Hal ini menumbuhkan keyakinan pada lembaga-lembaga perwakilan rakyat bahwa wakil yang menandatangani suatu perjanjian tidak melakukan halhal yang bertentangan dengan kepentingan umum. Ratifikasi dapat dibedakan sebagai berikut : a. Ratifikasi oleh badan eksekutif. Sistem ini biasa dilakukan oleh raja -raja absolut dan pemerintah otoriter. b. Ratifikasi oleh badan legislatif. Sistem ini jarang digunakan. c. Ratifikasi campuran (DPR dan Pemerintah). Sistem ini paling banyak digunakan karena peranan legislatif dan eksekutif sama-sama menentukan dalam proses ratifikasi suatu perjanjian.  Proses Ratifikasi Suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian dengan syarat apabila telah disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Penandatanganan atas perjanjian hanya bersifat sementara dan masih harus dikuatkan dengan pengesahan atau penguatan. Persetujuan untuk meratifikasi (mengikatkan diri) tersebut, dapat diberikan dengan berbagai cara, tergantung pada persetujuan mereka. Misalnya, dengan penandatanganan, ratifikasi, pernyataan turut serta (accession), ataupun pernyataan menerima (acceptance) dan dapat juga dengan cara pertukaran naskah yang sudah ditandatangani. Berikut ini ada beberapa contoh proses ratifikasi dari hukum (perjanjian) internasional menjadi hukum nasional.

a. Persetujuan Indonesia Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (Papua) yang ditandatangani di New York (15 Januari 1962), disebut Agreement. Akan tetapi, karena pentingnya materi yang diatur di dalam agreement tersebut maka dianggap sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya, presiden memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk pernyataan pendapat. b. Perjanjian antara Indonesia Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua New Guinea yang ditandatangani di Jakarta, 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun, karerna pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut, maka pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangkan ke dalam bentuk Undang-undang, yaitu UU No. 6 Tahun 1973. c. Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Singapura tentang selat Singapura (25 Mei 1973). Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting, namun dalam pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden. Proses Ratifikasi Menurut UUD 1945

Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Untuk menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerjasama antara Eksekutif (Presiden) dengan Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), harus memperhatikan hal-hal berikut. 1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. 2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Berdasarkan hal tersebut, hanya perjanjian-perjanjian yang penting (treaty) yang disampaikan kepada DPR, sedangkan perjanjian lain (agreement) akan disampaikan kepada DPR hanya untuk diketahui. Pasal 11 UUD 1945 tidak menentukan bentuk yuridis dari persetujuan DPR. Oleh karena itu, tidak ada keharusan bagi DPR untuk memberikan persetujuannya dalam bentuk undang-undang. Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, pemerintah dapat berpendapat bahwa perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan oleh presiden ialah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty dan mengandung materi sebagai berikut. 1) Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik negara, seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian perubahan wilayah, atau penetapan tapal batas. 2) Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik negara, perjanjian kerjasma ekonomi, atau pinjaman uang. 3) Soal-soal yang menurut UUD atau menurut sistem perundangan harus diatur dengan undang-undang, seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal-soal kehakiman.

10. Peradilan Internasional


Peradilan Internanasional, dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu organ perlengkapan PBB yang berkedudukan di Den Haag (Belanda). Para anggotanya terdiri terdiri atas ahli hukum terkemuka, yakni 15 orang hakim yang dipilih dari 15 negara berdasarkan kecakapannya dalam hukum. Masa jabatan mereka 9 (sembilan) tahun, sedangkan tugasnya antara lain selain memberi nasihat tentang persoalan hukum kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan, juga memeriksa perselisihan atau sengketa antara negara-negara anggota PBB yang diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara, berpedoman pada perjanjianperjanjian internasional (traktat-traktat dan kebiasaan-kebiasaan internasional) sebagai sumber-sumber hukum. Keputusan Mahkamah Internasional, merupakan keputusan terakhir walaupun dapat diminta banding. Di samping pengadilan Mahkamah Internasional, terdapat juga pengadilan arbitrasi internasional. Arbitrasi internasional hanya untuk perselisihan hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan peraturan hukum. Dalam hukum internasional dikenal juga istilah Adjudication, yaitu suatu teknik hukum untuk menyelesaikan persengkataan internasional dengan menyerahkan putusan kepada lembaga peradilan. Adjudikasi berbeda dari arbitrasi, karena adjudikasi mencakup proses kelembagaan yang dilakukan oleh lembaga peradilan tetap, sementara arbitra dilakukan si melalui prosedur ad hoc. Lembaga peradilan internasional pertama yang berkaitan dengan adjudikasi adalah permanen Court of International Justice (PCJI) yang berfungsi sebagai bagian dari sistem LBB mulai tahun 1920 hingga 1946. PCJI dilanjutkan dengan kehadiran International Court of Justice (ICJ), suatu organ pokok PBB.

KESIMPULAN
1. Hukum internasional, disebut juga sebagai hukum bangsa-bangsa yang dilakukan oleh suatu negara atau bangsa dalam mengadakan hubungan dengan negara lain agar terjalin kerja sama yang baik dan saling menguntungkan. 2. Menurut para ahli, bahwa penekanan tentang hukum internasional adalah terletak pada kaidahkaidah yang mengatur hubungan atau yang melintasi batas-batas negara lain. Dengan demikian dalam hukum internasional dapat dibedakan antara hukum perdata internasional dan hukum publik internasional. Asas-asas yang digunakan dalam membina hubungan dengan negara lain adalah asas teritorial, asas kebangsaan, dan asas kepentingan umum. 3. Sumber hukum internasional dapat dibedakan menjadi sumber yang bersifat material dan formal. Sedangkan sumber-sumbernya berasal dari traktat, kebiasaan-kebiasaan internasional, asas-asas umum yang diakui bangsa beradab, keputusan-keputusan hakim, dan pendapatpendapat para ahli hukum terkemuka. 4. Bahwa dalam praktik penyelenggaraan negara, penerapan antara hukum nasional dan hukum internasional tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena hukum nasional menjadi dasar pembentukan hukum internasional. Untuk lebih memahami tentang hubungan tersebut, terdapat aliran monoisme dan aliran dualisme. 5. Ratifikasi merupakan proses penandatanganan yang dilakukan oleh pemerintah dengan lembaga perwakilan rakyat. Dalam prakteknya, ratifikasi dapat dibedakan antara lain ; ratifkasi oleh badan eksekutif, ratifikasi oleh badan legislatif, dan ratifikasi campuran (pemerintah dan parlemen). Ratifkasi campuran, merupakan ratifkasi yang paling banyak diterapkan.

Вам также может понравиться