Вы находитесь на странице: 1из 6

1

A.PENDAHULUAN
1. Latar belakang Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan (daerah) merupakan salah satu syarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh kasus, dari sekian banyak program pembangunan bidang hukum di Kabupaten Bogor yang menyangkut isu sentral: penyusunan produk-produk hukum daerah, sosialisasi produk-produk hukum daerah, serta penegakkan produk-produk hukum daerah ternyata implementasinya di lapangan dianggap gagal (Pakuan, 2002). Sedikit sekali keberhasilan yang dinikmati warga masyarakat, kecuali hanya sebatas dalam bentuk fisik produk-produk hukum daerah belaka. Pembangunan hukum daerah dalam implementasinya ternyata telah dilakukan tanpa mengubah secara signifikan hal-hal substansial peningkatan derajat penghargaan masyarakat terhadap produk-produk hukum daerah, dalam hal ini peraturan-peraturan daerah. Terlihat sangat ironis, dan contoh kasus ini sekaligus menunjukkan sangat dominannya top-down policy pemerintah (daerah) dalam pembangunan di bidang hukum. Jika saja partisipasi masyarakat dioptimalkan keterlibatannya sejak awal perencanaan dan pelaksanaan program, serta institusi pemerintah daerah terkait dilibatkan secara benar, maka hampir dapat dipastikan upaya-upaya tersebut akan membuahkan hasil yang lebih baik serta mendekati sasaran yang diharapkan. Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi program pembangunan (hukum) di tingkat daerah (local), terbukti telah berhasil membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesadaran (hukum) masyarakat (Clark,1995: 595; Friedmann, 1992: 161). Pembangunan hukum yang lebih berorientasi kepada masyarakat, yang tercermin melalui pengoptimalan keterlibatan masyarakat dalam rangkaian penyusunan peraturan daerah tertentu, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat untuk menggalang militansi kesadaran masyarakat terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum. Pada gilirannya nanti, strategi ini mampu berperan secara nyata dalam meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan daerah. Keyakinan itu perlu terus ditanamkan, terutama dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani proses-proses penyusunan peraturan-peraturan daerah pada pemerintah kabupaten/kota. Selanjutnya, hal terpenting dan menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-usaha yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tentu tidak secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang memiliki integritas dan hati nurani yang jernih. Karena dalam pelaksanaannya di masyarakat, aparatur akan sangat banyak dituntut menggunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda.

Di masa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam perencanaan hingga pengimplementasian program pembangunan hukum didaerahnya, sedangkan kelompok luar yaitu NGO hanya akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator, serta peran pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan dasar permainannya (Friedmann,1992:161). Bagi aparatur pemerintah, NGO maupun masyarakat, implementasi program-program pembangunan harus dianggap sebagai suatu proses pembelajaran (hukum) (Clark,1995: 595), melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai dalam implementasi peraturan-peraturan daerah, serta mempelajari berbagai kendala yang dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat perlu dilakukan disini, oleh karena keadaan nyata (existing condition) yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah daerah, seperti peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator penyusunan konsep-konsep dan ide-ide pembangunan seperti yang kerap kita baca pada media-massa, seringkali dominan berada pada pemerintah (daerah). Proses pembelajaran yang seyogyanya terjadi pada implementasi program pembangunan hukum daerah tidak pernah terjadi, bahkan yang terjadi adalah secara tidak sadar pemerintah telah melakukan hal-hal sebaliknya, yaitu upaya-upaya sistematis pembodohan masyarakat yang dilakukan melalui peraturan-peraturan daerah yang telah disusun bersama-sama dengan legislatif daerah. Jika diperhatikan dengan seksama, prosedur penyusunan program pembangunan bidang hukum yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat. Proses tersebut dilakukan melalui tahapan-tahapan logik yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan yaitu kegiatan musyawarah pembangunan desa/kelurahan, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah kerja pembangunan, demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mekanisme yang cukup baik tersebut tetap dinilai kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan masyarakat. Seperti yang telah dikemukakan di atas, kesalahan utama tentu akan dialamatkan kepada tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh metode-metode partisipatif oleh aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program pembangunan hukum kepada masyarakat. Jika dilakukan secara benar, penerapan mekanisme tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh dan mendalam hingga ke tingkat akar rumput (grassroots) terhadap produk-produk hukum yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat, walaupun upaya ini harus dilakukan setelah terlebih dulu melalui proses-proses yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Lebih jauh, Korten (1988: 64) mengidentifikasikan banyaknya faktor yang ditemukan dan turut memperburuk citra kinerja penyusunan program pembangunan (dalam hal ini bidang hukum) antara lain yang dianggap dominan adalah faktor kekurang-keterbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap masyarakat dalam proses tersebut. Akumulasi kondisi seperti ini selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan perasaan apriori masyarakat menumpuk, sehingga seperti yang sering kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kepada kurangnya intensitas partisipasi masyarakat dalam program pembangunan.

Jika kita tidak mau belajar dan tidak mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin, maka setelah mencapai titik jenuh, pada saatnya keadaan ini berpotensi menjadi gerakan yang destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan dari pemerintah (daerah), serta dianggap merupakan pemaksaan program-program pembangunan kepada masyarakat. Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya mengakomodasikan keinginan masyarakat yang begitu banyak jika dilakukan transparansi seluas mungkin kepada masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi logis dan buah dari kekurangtepatan orientasi program pembangunan yang dilakukan selama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari keseluruhan proses pembelajaran. Proses partisipasi masyarakat dalam rangkaian penyusunan program pembangunan hukum, secara implisit mengandung makna terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah hanya bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal ini aparatur pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta kemampuan untuk dapat memberi respon terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari tingkat bawah, daripada menonjolkan kepentingan mereka sendiri atau berdalih demi menjaga kewibawaan pemerintah (daerah). Dalam kenyataan, inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan untuk memperoleh perhatian dan tanggapan, mereka terpaksa mengambil jalan pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, misalnya dengan melakukan pengrusakan ataupun pembakaran. Pada hakikatnya partisipasi masyarakat di bidang pembangunan hukum mengandung makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan penyusunan program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini dipertegas oleh Eldridge (1995:17) participation means a shift in decision making power from more powerful to poor, disadvantages, and less influential groups. Keberdayaan rakyat merupakan kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan, baik yang menyangkut penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas dasar kekuatan sendiri sebagai faktor penentu.

2. Rumusan Masalah A. Apa saja bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di bidang hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah? B. Apa saja indikator-indikator ideal yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dan upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah? 3. Tujuan Penelitian A. Untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di bidang hukum khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah. B. Untuk mengetahui indikator ideal yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dan upaya peningkatan partisipasi masyarakat dealam program pembangunan hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah.

B.Metode Penelitian

4. Lokasi Penelitian Lokasi yang hendak diteliti digunakan peneliti untuk mengadakan penelitian dilakukan di palipi kabupaten toba samosir

5. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan atau ciri individu yang diteliti,paling sedikit mempunyai satu sifat atau atau ciri yang sama dengan kenyataan subjek dan akan digenerasasikan. Maksudnya digenerasasikan adalah menyangkut kesimpulan penelitian sebagai sesuatau yang berlaku bagi populasi (Hadi,2000). Dimana populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat setempat.

Sampel adalah sebagian individu dari populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi. Penelitian inin tidak semua populasi dijadikan sampel tetapi hanya mengambil dari sebagian populasi representatif yaitu sampel yang benarbenar mencerminkan karakteristik dari populasi. Sampel yang dipergunakan dalam drap proposal ini adalah masyarakat setempat yang tidak terhitung jumlah masyarakatnya.

6. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam drap proposaal ini adalah : Observasi Dokumentasi Wawancara

7. Tehnik Analisisa Data

Data yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini ada dua variabel yaitu masyarakat dan badan perwakilan desa. Dalam analisis data, pengolahan data dalam penelitian ini dapat menggunakan kolerasi Sperman Rho menggunakan SPSS 11 For Windows Release yang diikuti dengan uji coba angket guna mengetahui vadilitas dan realibilitas angket yang digunakan ,sehingga ahasil yang di dapat peneliti dapat benar-benar dipertanggungjawabkan kepada semua pihak. Uji Validitas Istrumen adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevadilitasan atau keaslihan suatau instrumen (Suharsimi Arikunto, 1988 : 160 ). Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang variabel yang dimaksud.

8. Daftar Pustaka Suharsimi Arikunto 1988 http://rendy.blogspot.com

Вам также может понравиться