Вы находитесь на странице: 1из 21

BAB I PENDAHULUAN

Cedera kepala atau Traumatic Brain Injury (cedera otak traumatik) umumnya didefinisikan sebagai kelainan non-degeratif dan non-kongenital yang terjadi pada otak sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar yang berisiko menyebabkan gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif, fisik dan fungsi psikososial dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran. Dari berbagai sumber hampir selalu menunjukkan bahwa cedera merupakan penyebab utama kematian pada pasien berusia kurang dari 45 tahun. Dari beberapa kasus cedera ini, hampir 50% nya merupakan kasus cedera kepala atau cedera bagian tubuh lainnya yang disertai pula oleh cedera kepala. Cedera kepala adalah suatu kejadian yang sampai saat ini merupakan pembunuh nomor satu didunia, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Angka kematian yang tinggi ini adalah merupakan akumulasi kematian oleh sebab cedera primer (dampak langsung dari cedera kepala) atau oleh sebab cedera skunder (dampak runtutan mekanisme perburukan karena cedera primer). Sekitar 40% dari angka kematian tersebut adalah angka yang avoidable atau yang seharusnya kematian dapat dicegah bila tindakan pertolongan yang cepat dan tepat dengan sarana yang memadai. Berdasarkan kelompok umur, beberapa sumber menunjukkan bahwa usia yang paling banyak mengalami cedera kepala adalah 15-24 tahun. Cedera kepala pada kelompok usia ini umumnya karena kecelakaan lalu lintas. Sedangkan untuk

kelompok usia diatas 65 tahun, penyebab utama terjadinya cedera adalah jatuh. Untuk anak usia kurang dari 2 tahun, cedera terutama disebabkan karena jatuh dari kursi, meja dan sebagainya. Cedera pada kelompok ini umumnya tidak sampai mengakibatkan cedera otak yang berat. Anak usia 10-15 tahun umumnya mengalami cedera kepala akibat kecelakaan olahraga atau kegiatan permainan sehari-hari. Pada cedera kepala dapat terjadi perlukaan dan perdarahan ekstrakranial maupun perdarahan intrakranial. Termasuk dalam perlukaan dan perdarahan ekstrakranial yaitu laserasi kulit kepala, subgaleal hematom, sefalhematoma, dan cedera pada wajah. Pada perdarahan intrakranial meliputi hematoma epidural, hematoma subdural, hematoma subaraknoid, hematoma intraserebri, higroma, dan hematoma intraventrikuler.
Di Negara-negara berkembang berkisar antara 200-300/100.000 populasi per tahun2,3,4. Data dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB) didapatkan bahwa kematian akibat cedera kepala lebih kurang 17 per 100.000 orang pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit, dan lebih kurang 6 per 100.000 orang pada pasien yang dirawat di rumah sakit 2. Cedera primer otak berupa Intracranial Space Occupying Lession yaitu hematoma, baik hematoma epidural (EDH) maupun hematoma subdural sekitar 20-40%.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Cedera Kepala Dalam mengklasifikasikan cedera kepala dapat dibagi berdasarkan keadaan klinis dan kelainan patologis. Klasifikasi keadaan klinis yaitu kesadaran pasien yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS), yaitu : 1. 2. 3. Cedera kepala ringan (CKR) jumlah score 14-15 Cedera kepala sedang (CKS) jumlah score 9-14 Cedera kepala berat (CKB) jumlah score 3-8 Pengklasifikasian kedua yaitu berdasarkan kelainan atau kerusakan patologis yang terbagi dalam kerusakan primer dan kerusakan skunder. 1. Cedera kepala primer Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan dapat mengenai jaringan kulit sampai otak, dalam bentuk laserasi kulit kepala, perdarahan, fraktur, dan kerusakan jaringan otak. Kerusakan primer ini dapat bersifat lokal maupun difus. Kerusakan Fokal : yaitu kerusakan jaringan yang bersifat fokal, yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian lainya relatif tidak terganggu. Kelainan ini umumnya bersifat makroskopis. Kerusakan yang terjadi dapat berupa : Perlukaan dan perdarahan ekstrakranial

Fraktur tulang kepala Perdarahan intrakranial Kontusio dan laserasi serebri Kerusakan difus : yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi

menyeluruh dari otak, dan umumnya bersifat mikroskopis. 2. Cedera aksonal difusa (diffuse axonal injury) Diffuse vascular injury

Cedera kepala skunder Cedera kepala skunder adalah kelainan atau kerusakan yang terjadi setelah terjadinya trauma/benturan dan merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi pada kerusakan primer. Penyebab terjadinya cedera kepala skunder ini dapat bersifat intrakranial atau bisa juga sistemik. Kelainan ini dapat muncul dalam hitungan menit namun dapat pula baru muncul dalam beberapa hari kemudian. Beberapa literatur memasukkan kelainan yang terjadi sebagai rangkian dari kelainan patologis yang terjadi, sedangkan beberapa literatur lain menyebutnya sebagai komplikasi. Kelainan yang terjadi anatara lain : Gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi Edema serebral Herniasi jaringan otak Peningkatan tekanan intrakranial/ hipertensi intrakranial Infeksi Emboli lemak Hidrosefalus

Fistula cairan serebrospinalis

B. Subgaleal Hematoma Pada cedera yang tidak merobek lapisan kulit, namun menyebabkan pembuluh darah pada lapisan jaringan ikat longgar di bawah kulit kepala pecah akan menyebabkan terkumpulnya darah, yang disebut sebagai subgaleal hematoma. Dalam keadaan ini darah terkumpul diantara lapisan galea dan tulang tengkorak, dan menyebabkan adanya penonjolan keluar pada kepala. Keadaan ini merupakan hematoma yang paling sering dijumpai pada kasus cedera kepala sehari-harinya. Perlu diwaspadai terhadap kemungkinan terjadinya fraktur depressed yang tertutup, yang kadang tidak mudah dibedakan tanpa pemeriksaan penunjang. Dalam penanganan kasus subgaleal hematoma, dianjurkan untuk segera memberikan kompres dingin pada lokasi benjolan. Hal ini dilakukan dengan asumsi tindakan tersebut dapat membantu terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang pecah, sehingga perdarahan akan berhenti. Selain itu, untuk subgaleal hematoma yang relatif kecil, tidak dianjurkan untuk melakukan intervensi apa-apa secara invansif, karena kelainan akan hilang sendiri dalam beberapa hari. Untuk hematoma yang besar, ada pendapat yang menganjurkan untuk dilakukan insisi atau aspirasi untuk mengeluarkan cairan darah dan selanjutnya dipasang pembalut yang menekan untuk mencegah penumpukan darah kembali. Namun banyak juga ahli yang tidak menganjurkan cara ini, dengan pertimbangan tindakan tersebut justru akan memberika resiko terjadinya resiko infeksi.

C. Hematoma Epidural Epidural hematom atau dapat disebut juga ekstradural hematom adalah keadaan dimana terjadi penumpukkan darah diantara durameter dan tabula interna tulang tengkorak. Keadaan ini dapat terjadi karena trauma tumpul pada kepala yang mengakibatkan terjadinya fraktur linier. Lokasi yang paling sering adalah di bagian temporal atau temporoparietal (70%) dan sisanya di bagian frontal, oksipital dan fossa serebri posterior. Sumber perdarahan yang paling lazim adalah dari cabang arteri meningea media akibat fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun kadangkala dapat pula dari arteri atau vena lain, atau bahkan keduanya. Hematoma yang sumber perdarahannya dari vena, umumnya tidak besar sebab tekanan yang ditimbulkan tidak besar. Hal ini berbeda dengan sumber perdarahan dari arteri yang bertekanan kuat, yang bahkan mampu mendesak perlekatan durameter pada tulang tengkorak. Walaupun umumnya tulang tengkorak mangalami fraktur (80%), namun dapat pula kasus dimana tidak didapatkan fraktur, terutama pada kelompok penderita anak-anak. Pada keadaan ini benturan yang terjadi tidak cukup kuat unutk menyebabkan robeknya pembuluh darah di permukaan dalam saat tulang melekuk ke dalam. Hematoma epidural yang tidak disertai fraktur tulang tengkorak akan memiliki kecenderungan lebih berat, karena peningkatan tekanan intrakranial akan lebih cepat terjadi. Perdarahan ini jarang pada pasien usia diatas 60 tahun, kemungkinan karena duramater melekat lebih kuat ke tabula interna. Hal ini pula menerangkan

mengapa kebanyakan hematoma epidural terjadi di bagian temporal karena pada lokasi tersebut perlekatan duramater pada tulang tengkorak lebih lemah dibanding pada lokasi lainnya. Sedangkan pada anak dan bayi lebih sering terjadi hematoma epidural bifrontal yang berasal dari vena. Beberapa literatur mengatakan hematoma epidural relatif jarang terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan tampaknya hal ini disebabkan karena pada usia tersebut tulang tengkorak relatif lebih lentur dari orang dewasa. Secara klinis, bisa terjadi beberapa macam perjalanan manifestasi klinis. Pasien dapat saja tetap sadar; atau tetap tidak sadar; atau sadar lalu menjadi tidak sadar; atau tidak sadar lalu menjadi sadar; atau tidak sadar beberapa waktu (periode lucid interval) tetapi kemudian tidak sadar lagi. Gangguan kesadaran yang terjadi langsung setelah cedera umumnya bukan karena terjadinya hematoma epidural melainkan karena teregangnya serat-serat formatio retikularis didalam batang otak. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang sama terjadi pada hilangnya kesadaran saat terjadi komosio cerebri. Setelah beberapa saat, dimana hematoma yang terjadi telah mencapai sekitar 50cc barulah gejala neurologis akibat hematoma bermanifestasi. Gejala neurologis ini muncul tgerutama karena efek penekanan massa terhadap jaringan otak bukan efek terjadinya iskemik jaringan otak. Penekanan hematoma menyebabkan

pendorongan otak dan menimbulkan herniasi yang menekan batang otak. Hematoma yang terjadi didaerah temporal akan menyebabkan gejala neurologis yang cukup progresif. Pasien akan semakin menurun kesadarannya, seperti hendak tidur terus tetapi tidak dapat dibangunkan. Hematoma yang

semakin besar akan mendorong jaringan otak ke bawah, ke arah insisura tentotii sehingga terjadi herniasi jaringan otak yang menekan nervus okulomotorius pada sisi yang sama. Sebagai dampaknya, akan terjadi penyempitan pupil beberapa saatm yang kemudian pelebaran pupil, pada mata yang ipsilateral dengan hematoma yang tidak lagi berespon terhadap cahaya, dan terjadilah anisokoria. Defisit neurologis lainnya yang dapat dijumpai dapat berupa hemiparesis, kejang muntah, dan pada pemeriksaan fisik dapat pula dijumpai refleks babinsky kontralateral yang positif. Hematoma yang terjadi di daerah frontal selain menimbulkan keluhan nyeri, juga kerap disertai gangguan mental. Jika hematoma terjadi pada fossa posterior, manifestasi sakit kepala dan kaku kuduk akan dijumpai. Selain itu, dapat pula terjadi gangguan fungsi serebelum. Pada benturan yang mengenai bagian oksipital, perlu diwaspadai terjadinya hematoma epidural infratentorial akibat robeknya sinus vena pada dura. Dalam keadaan ini tanda fokal dapat tidak dijumpai, namun pasien akan mengalami penurunan kesadaran. Diagnosa hematoma epidural didasarkan pada tanda klinis dan hasil CTScan kepala, yang merupakan pemeriksaan terpilih untuk memastikan diagnosa. Pada pemeriksaan dengan CT Scan kepala, hematoma epidural akan tampak gambaran massa hiperdensa dengan bentuk bikonveks (double convex sign) atau adapula yang menyebutnya gambaran foorball shaped yang secara tipikal terletak dibagian temporal tengkorak. Hematoma epidural yang progresif membesar perlu penanganan operatif untuk mengeluarkan hematoma dan menghentikan perdarahan secepatnya. Bila

tidak dilakukan, dapat berakibat fatal karena tekanan intrakranial yang semakin tiunggi, yang dapat menyebabkan herniasi jaringan otak dan aliran darah ke otak terhenti. Bila tindakan operatif dapat dilakukan segera, sebelum berbagai defisit neurologis terjadi, maka kesembuhan total dapat diharapkan untuk diperoleh. Namun bila volume hematoma kurang dari 30cc dan tidak bertambah besar, operasi tidak mutlak dilakukan. Bekuan darah yang ada dapat diharapakan mencair dan sedikit demi sedikit diserap. Sel-sel makrofag akan memfagositosis dan membawanya masuk ke dalam pembuluh darah. Namun tentunya dalam melakukan perawatan konservatif ini harus dilakukan pemantauan secara ketat, termasuk dengan menggunakan pemeriksaan ulang CT scan kepala.

BAB III LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS

Nama Agama Bangsa Pekerjaan MRS Tanggal Ruangan Umur Suku Status Alamat

: : : : : : : : : :

Ny. Imelda Kristen Indonesia Ibu rumah tangga 29-06-2011 Nusa Indah 29 tahun Ambon Menikah Jl. Kembang Sepatu Komp. PT. BHL Sampit

10

III. KELUHAN UTAMA : Penurunan Kesadaran

ANAMNESIS

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien tidak sadarkan diri sejak jumat ( 24 Juni 2011). Pasien mengalami kecelakan lalu lintas darat dan kepala terbentur ke tanah. Pasien langsung tidak sadarkan diri, muntah darah/cairan (-/-), keluar darah dari hidung (-), keluar darah dari telinga (-), kejang (-). RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Hipertensi (-), diabetes mellitus (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK Primary Survey Airway Breathing Circulation : Clear : Clear : Clear

Secondary survey Keadaan sakit Kesadaran Tanda vital : : : Tampak sakit berat Soporocoma, GCS TD Nadi Respirasi Suhu Kepala/ Leher Kepala : Vulnus laseratum (-), temporal dextra. Leher Mata : : peningkatan JVP (-) pembesaran KGB (-). konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), palpebrae tidak edem kanan dan kiri, refleks hematom et regio : : : : : 1-1-4 110/ 60 mmHg 60 kali/ menit(reguler) 24 kali/ menit 36,7oC

11

cahaya (+/+), pupil anisokor, diameter pupil (3mm/1mm) Telinga : simetris, serumen minimal, sekret tidak ada, perdarahan (-) Hidung Mulut : : simetris, sekret tidak ada, perdarahan (-) mukosa bibir kering, tidak anemis, tidak sianosis, perdarahan (-) Toraks Paru-paru Inspeksi : bentuk normal simetris, gerak napas

normal, retraksi tidak ada, jejas (-) Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : : : iktus kordis tidak terlihat Thrill tidak teraba batas jantung kanan terdesak ke kiri dan kiri normal Auskultasi : S1 S2 tunggal, bising (-) : : : fremitus vokal sulit dievalusi, krepitasi (-) sonor suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen Inspeksi Palpasi : : cembung, distensi (-), jejas (-) turgor cepat kembali, hepar/lien/massa tidak teraba Perkusi Auskultasi : : timpani (+), bising usus (+) normal. tidak ada kelainan

Inguinal, genital, anus :

Ekstremitas Atas : edem (-/-), refleks fisiologis (+), refleks patologis (-), parese (-/-), hangat

12

Bawah

edem (-/-), parese (-/-), refleks fisiologis (+), refleks patologis (-), hangat

Tulang Belakang Tidak ada deformitas, kifosis, lordosis, dan skoliosis

RESUME Nama Subjektif Keluhan Utama Uraian : Penurunan Kesadaran : Pasien tidak sadarkan diri sejak jumat ( 24 Juni 2011). Pasien mengalami kecelakan lalu lintas darat dan kepala terbentur ke tanah. Pasien langsung tidak sadarkan diri, muntah darah/cairan (-/-), keluar darah dari hidung (-), keluar darah dari telinga (-), kejang (-). Objektif Kepala Mata Thorax Abdomen Ekstremitas Atas Bawah : Pitting edem (-/-), hangat : Pitting edem (-/-), hangat : Hematom et regio temporal dextra. : Anemis (+/+), pupil anisokor (3mm/1mm) : Dalam batas normal : Dalam batas normal : Ny. I

Pemeriksaan Penunjang : 1. Laboratorium


Pemeriksaan HEMATOLOGI Hemoglobin (g/dl) Lekosit (/ul) Eritrosit (juta/ul) 11.0 5,500 3.99 10.6 8,300 3.88 8.6 6,900 3.38 28 Juni 2011 30 Juni 2011 01 Juli 2011

13

Hematokrit (vol%) Trombosit (/ul) RDW-CV (%) MCV,MCH,MCHC MCV (fl) MCH (pg) MCHC (%) HITUNG JENIS Neutrofil (%) Limfosit (%) MID (%) Neutrofil # (ribu/ul) Limfosit # (ribu/ul) MID # (ribu/ul) PT/APTT PT (detik) APTT (detik) INR KIMIA DARAH BSS (mg/dL) SGOT (U/I) SGPT (U/I) Ureum (mg/dL) Creatinin (mg/dL) Natrium (mmol/I) Kalium (mmol/I) Clorida (mmol/I)

29 214,000 12,6

30 190,000 11.7

26 210,000 11.5

73.4 27.6 37.5

76.7 27.3 35.6

76.1 26.3 34.6

76.2 18.2 5.6 4.20 1.00 0.30

82.0 11.5 6.5 6.80 0.90 0.50

83.8 13.0 3.2 5.70 0.90 0.20

14.1 25.6 1.06

96 40 45 19 0.8 128 3.5 112

2. CT Scan

14

DIAGNOSIS KERJA CKB + EDH et regio temporal dekstra PROGNOSIS Dubia ad bonam PENATALAKSANAAN SEMENTARA IVFD NaCl 0,9% 1500 cc/24jam Trixone 2x1 gr IV Lactor 3x30 mg IV Ranitidin 2x1 amp IV Kalnex 3x1 amp

15

Follow up
Pemeriksaan I II III Post Op Day (POD) IV V VI VII VIII

Subyektif Nyeri mata kanan & kiri Nyeri kepala Mual/Muntah + +/+ -/+ -/+ +/+ + +/< +/< -/-/+ + < -

Obyektif TD (mmHg) N (x/menit) RR (x/menit) T (Celcius) GCS Pupil Drain NGT DC 120/80 84 23 36,8 4-5-6 Isokor + + + 120/70 78 22 36,9 4-5-6 isokor + + + 120/80 84 24 36,8 4-5-6 isokor + + Assesment Post op craniotomy evakuasi a/I Epidural hematom temporal dekstra Planning O2 5 lpm sungkup IVFD NaCl 0,9% 1500 cc/24 jam Inj.Trixone 2x1 gr Inj.Lactor 3x30mg Inj.Ranitidin 2x1 amp Inj.Kalnex 3x1 amp Consporin 3x100g Antrilox 3x7,5mg Revolan3x500mg + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + 120/80 78 18 36,6 4-5-6 isokor 120/80 80 20 36,5 4-5-6 isokor 120/70 80 20 36,7 4-5-6 isokor 110/80 80 20 36,6 4-5-6 isokor 110/60 82 20 36,7 4-5-6 isokor -

16

BAB IV PEMBAHASAN

Pada pasien ini saat datang ke rumah sakit dengan kesadaran GCS 6 maka dapat diklasifikasikan cedera kepala berat dan kerusakan terjadi setelah trauma atau masa akut sehingga masuk dalam klasifikasi cedera kepala primer. Tindakan yang dilakukan pada pasien diatas yaitu primery survey yaitu ABCD, Airway (jalan nafas), Breating (pernafasan), Circulation (sirkulasi darah) dan Disability (status neurologis). Pada pasien ini airway, breathing, dan circulation clear. Pada hasil pemeriksaan fisik ditemukan subgaleal hematom di daerah temporal, dan pupil yang anisokor, kemungkinan pada pasien ini adanya hematoma temporal yang menekan nervus okulomotorius. Hematoma yang terjadi didaerah temporal akan menyebabkan gejala neurologis yang cukup progresif. Pasien akan semakin menurun kesadarannya, seperti hendak tidur terus tetapi tidak dapat dibangunkan. Hematoma yang semakin besar akan mendorong jaringan otak ke bawah, ke arah insisura tentotii sehingga terjadi herniasi jaringan otak yang menekan nervus okulomotorius pada sisi yang sama. Sebagai dampaknya, akan terjadi penyempitan pupil beberapa saat yang kemudian pelebaran pupil, pada mata yang ipsilateral dengan hematoma yang tidak lagi berespon terhadap cahaya, dan terjadilah anisokoria. Pada hasil pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi hiperdens di epidural diregio temporal kanan dan bentuk bikonveks sehingga diinterptretasikan 17

hematoma epidural et regio temporal kanan. Dan perhitungan jumlah perdarahan yaitu 42 cc, sehingga harus dilakukan craniotomi evakuasi. Hematoma epidural paling banyak ditemukan didaerah temporal dibandingkan dengan daerah yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena pada lokasi tersebut, perlekatan durameter pada tulang tengkorak lebih lemah dibanding pada lokasi lainnya.
Prognosis hematoma epidural ini sangat baik bila ditangani dengan segera Lucid Interval ditemukan pada 20-50% pasien dengan EDH. Hal ini berarti bahwa kondisi otak sebelumnya adalah baik dan bila terjadi EDH berlanjut akan mengakibatkan peningkatan TIK, penurunan kesadaran, kerusakan otak menetap sampai herniasi otak. Penelitian prospektif yang dilakukan Servadei dkk, pada 158 pasien hematoma epidural dengan GCS 14-15 yang dianalisa dengan Mancova bahwa koovariat tebal dan midline shift merupakan faktor yang sangat bermakna dihubungkan dengan timbulnya indikasi untuk tindakan operasi yaitu penurunan kesadaran atau pusing yang menetap, tetapi lokasi dan adanya kelainan lain tidak mencapai nilai yang signifikan. Pada kasus tekanan intrakranial yang meningkat yang disebabkan oleh hematoma epidural besarnya volume sangat mempengaruhi outcome dari pasien-pasien hematoma epidural setelah dilakukan evakuasi hematom. Volume hematom 56 30 mL mempunyai outcome yang baik, tetapi pada volume 77 63 mL, outcomenya tidak memuaskan. Dari Brain Trauma Foundation New York mengeluarkan guideline yang menggolongkan volume hematoma epidural dalam dua kategori yaitu Low Volume Lession yaitu kurang dari 25 mL, dan High Volume Lession yaitu lebih dari 50 mL

Pada Post Op Day (POD) hari pertama sampai kedelapan dilakukan pemantauan dan didapat kemajuan pada pasien tersebut antara lain kesadaran

18

yang meningkat (4-5-6). Secara klinis dapat terjadi beberapa macam manifestasi klinis misalnya pasien tetap saja sadar, tetap tidak sadar, tidak sadar lalu menjadi sadar atau tidak sadar lalu sadar beberapa waktu (periode lucid interval) tetapi kemudian tidak sadar lagi. Gangguan kesadaran yang terjadi langsung setelah cedera umumnya bukan karena terjadinya hematom epidural, melainkan karena teregangnya serat formation retikularis didalam batang otak. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang sama yang terjadi pada hilangnya kesadaran saat terjadi komosio serebri. Setelah beberapa saat, dimana hematom yang terjadi telah mencapai sekitar 50cc barulah gejala neurologis ini muncul terutama karena efek penekanan massa terhadap jaringan otak, bukan efek terjadinya iskemia jaringan otak. Penekanan hematoma menyebabkan pendorongan otak dan menimbulkan herniasi yang menekan batang otak.

19

BAB V PENUTUP

Telah dilaporkan pasien atas nama Ny.I yang datang ke IGD pada tanggal 28 Juni 2011 dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang ditentukan diagnosisnya CKB + EDH et regio temporal dextra dengan indikasi untuk dilakukan craniotomi evakuasi. Pasien membaik dan diperbolehkan pulang pada hari perawatan ke 8 setelah operasi dengan diagnosis post op craniotomy evakuasi a/i Epidural hematom temporal dekstra.

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Wahjoepramono EJ. Cedera Kepala. 2005. Jakarta : FKUI 2. Salinas P. Closed head trauma. In: Penar PL, Talavera F editors. Traumatic
brain injury. May 2006. Available from:URL:

http://www.emedicine.com/med/topic3403.htm

3. Raymond HA, Herbert JP. Advanced trauma life support program for
physician. Chicago: American College of Surgon; 1993. p. 172-3.

4. American College of Surgon Committee on Trauma. ATLS for doctor.


Jakarta: Komisi Trauma IKABI; 1997. p. 48 89.

5. Valadka AB, Narayan RK. Injury to the cranium. In: Feliciano DV, Moore
EE, Mattox KL. editors. Trauma. 3rd ed. Connecticut : Appleton and Lange; 1999. p. 267-70, 273-5.

21

Вам также может понравиться