Вы находитесь на странице: 1из 21

Optimasi Diversifikasi Pangan Saya teringat akan perkataan seorang senior saya, Meinila Sari.

Saat itu kami angkatan 2005 membuat suatu proyek angkatan yang bernama Banyugiru. Saya sendiri lupa apa kepanjangannya, tetapi yang jelas kegiatan tersebut adalah suatu penyuluhan untuk memberantas gizi buruk masyarakat suatu daerah di Bandung. Saya juga lupa nama daerahnya, yang jelas diawali dengan kata Bojong... Di Jawa Barat sepertinya semua daerah dinamakan dengan Bojong.., anyway.. Haha.. Singkat cerita, kala itu sedang terjadi evaluasi akan acara penyuluhan yang telah diberikan kepada ibu-ibu PKK di daerah tersebut. Sebagai sang ketua panitia ospek jurusan, Teh Mei pun mengkritisi semua kekurangan acara. Sampailah kepada bagian di mana ia mengomentari booklet penyuluhan yang berlampiran variasi menu masakan murah dan bergizi, beserta resepnya. Tidak pernah terpikirkan oleh kami, ia akan berkata, Menurut saya kualitas booklet yang kalian berikan masih kurang, menu-menu yang kalian cantumkan itu masih di luar jangkauan ekonomi masyarakat daerah ini. Tidak setiap hari mereka dapat makan daging ayam, dsb. Tadinya saya kira di booklet itu akan tercantum pangan yang sudah awam mereka konsumsi, namun tidak mereka sadari nilai gizinya. Taruhlah contohnya ikan asin. Ia adalah sumber mineral yang cukup baik, karena kadar airnya yang rendah menyebabkan mineralnya terkonsentrasi. Wham! Mengapa hal itu tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya? Itu gumam saya waktu itu.. Betapa besar kemungkinan banyak bahan pangan bergizi lainnya yang tidak populer dan tidak diteliti pasti nilai gizinya, sehingga definisi makanan bergizi bagi masyarakat miskin masih saja mengacu pada makanan kaum parlente. Diversifikasi pangan untuk mencapai ketahanan pangan Indonesia adalah salah satu agenda rencana strategis Ristek RI. Suatu tanda tanya besar, 3 tahun

setelahnya, apakah yang telah dapat diberikan kepada masyarakat Indonesia, timbal balik dari bermilyar dana pemerintah yang digelontorkan untuk penelitian pangan. Suatu tawa satir pernah saya rasakan ketika membaca blog seorang teman, dimana ia memaki kutipan seorang pejabat di suatu media, yang menyatakan bahwa nasi aking adalah suatu bentuk diversifikasi pangan. Frase diversifikasi pangan ini telah dilekatkan pada otak kita semenjak SD. Bahwa selain beras, sagu pun menjadi makanan pokok penduduk Indonesia di wilayah bagian Timur. Beras dan sagu, rasanya sepadan. Tapi beras dan nasi aking? Beras dan roti jelas bukan pilihan pangan alternatif yang terjangkau bagi masyarakat miskin Indonesia. Itulah yang memberikan saya kesimpulan, bahkan untuk diversifikasi pangan sendiri diperlukan optimasi. Siapa yang bertugas mencari tahu bahan pangan alternatif yang telah teroptimasi secara ekonomi tersebut? Wah, saya calon sarjana farmasi.. http://astriddita.com/?p=20 KRISIS PANGAN DUNIA Kamis, 17 April 2008 Ketahanan pangan (food security) telah lama dikenal luas sebagai alat evaluasi kebijakan pangan. Konsep ketahanan pangan mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada tahun 1970-an ketersediaan pangan nasional dan regional menjadi inti konsep ketahan?an pangan. Mulai 1980-an intinya beralih kepada akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Pada tahun 1990-an aspek kelestarian lingkungan masuk dalam konsep ini. Pada awalnya ketahanan pangan masih sekitar pertanyaan "dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup?" International Food Policy Research Institute (IFPRI) kemudian mempertajamnya menjadi "dapatkah dunia memproduksi

pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin?" Tahun 1990-an pertanyaan tersebut telah jauh lebih lengkap dan kompleks yaitu "dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan?"

Konferensi Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) 1984, mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang menjamin ketersediaan pangan bagi umat manusia dan terjaminnya setiap individu untuk memperolehnya. Definisi ketahanan pangan ini selanjutnya mengalami penyempurnaan. International Congress of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992, misalnya mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga sebagai kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari.

Sidang Committee on Work Food Security tahun 1995 menambahkan persyaratan "harus diterima oleh budaya setempat". Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia dan Rencana Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia tahun 1996 kemudian mempertegas definisinya. Ketahanan pangan terwujud apabila semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. World Food Summit yang dilaksanakan oleh FAO tahun 1996 tersebut menghasilkan deklarasi dan rencana aksi (plan of action) untuk mengurangi jumlah penduduk rawan pangan (food insecurity) menjadi setengahnya pada tahun 2015.

Lima tahun sejak World Food Summit tahun 1996, pengurangan angka kelaparan

hanya mencapai 8 juta orang dari target yang seharusnya 22 juta orang per tahun. Karena itu FAO menyelenggarakan Word Food Summit : five years later (Konferensi Tingkat Tinggi Pangan Dunia : lima tahun kemudian) di Roma pada tanggal 10-13 Juni 2002. Konferensi ini me-ngesahkan Deklarasi mengenai Aliansi Internasional untuk Mengikis Kelaparan (International Alliance Against Hunger).KTT ini mempertegas kembali komitmen dunia untuk menjamin keamanan pangan dan mengikis kemiskinan. Target pun direvisi: jumlah penduduk kelaparan dan kurang gizi harus dapat dikurangi sebanyak 24 juta setiap tahunnya sampai tahun 2015.

Sementara itu, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan pangan dunia pun terus meningkat. Untuk beras, situasinya malah lebih mencekam. Kebutuhan beras secara global pada 2025 diperkirakan mencapai 800 juta ton, sedangkan kemampuan produksinya kurang dari 600 juta ton per tahun. Lebih besarnya kebutuhan ketimbang kemampuan produksi pangan dunia mengakibatkan harga-harga bahan pangan terus melambung. Contoh spektakuler adalah gandum, yang pada awal 2007 harganya US$180/ton, kini menjadi US$350/ton.Krisis pangan global seperti di atas sejatinya sedang berlangsung di tanah air. Harga sembako seperti beras, gula, dan minyak goreng semakin hari semakin tidak terjangkau oleh daya beli rakyat kita. Akibatnya, prahara kekurangan pangan dan gizi buruk merebak di berbagai daerah.

Meski tidak sedigdaya dan seadidaya dulu, Amerika Serikat yang menyumbang sekitar 30 persen dari produk domestik bruto dunia harus diakui masih merupakan perekonomian terbesar. AS sekaligus juga pusat keuangan dunia. Kekhawatiran akan terjadinya resesi pada perekonomian terbesar itu kembali mengguncang seluruh pasar saham global pekan ini.

Sejak menyeruaknya kasus kredit macet perumahan (subprime mortgage) di AS, Agustus 2007, kekhawatiran akan terjadinya resesi di AS?yang berisiko menyeret seluruh perekonomian dunia dan kemungkinan dibarengi dengan kejatuhan dollar AS?memicu gejolak liar pasar uang seperti roller coaster di berbagai belahan dunia. Beberapa indeks saham mengalami pemangkasan dan terpuruk ke titik terendah dalam sejarah. Para pakar menggambarkan krisis yang sekarang ini sebagai yang ?terburuk sejak krisis finansial Asia 1997?, ?lebih buruk dari krisis LTCM? (Long Term Capital Management, raksasa hedge fund AS yang kolaps September 1998), bahkan ?terburuk sejak Perang Dunia II?. Sejauh ini belum ada konsensus di kalangan pakar mengenai seberapa besar probabilitas untuk terjadinya resesi. Namun, dengan dampak krisis subprime yang semakin melebar ke mana-mana dan adanya data terbaru yang semakin memperkuat indikasi terpuruknya ekonomi AS, pertanyaan yang muncul kini bukan lagi apakah AS akan mengalami soft landing (perlambatan ekonomi) atau hard landing (perlambatan ekonomi secara mendadak sehingga mengakibatkan guncangan). Namun, seberapa keras hard landing akan terjadi dan seberapa dalam serta berapa lama resesi akan berlangsung. Per definisi, resesi adalah penurunan pertumbuhan PDB selama dua kuartal berturut-turut. Indikator lainnya adalah pendapatan riil masyarakat, lapangan kerja, tingkat produksi industri, perdagangan skala besar, dan penjualan eceran. Dari definisi ini, beberapa pakar mengatakan, resesi sebenarnya sudah terjadi.

Berbeda dengan soft landing, IMF yakin tidak akan ada decoupling jika yang terjadi adalah hard landing. Artinya, semua negara akan merasakan imbasnya kendati dalam skala berbeda. Beberapa analis mengidentikkan krisis subprime di AS ini dengan krisis utang. Bedanya, kali ini dialami oleh negara maju dan perekonomian terbesar pula. Selain perekonomian terbesar, AS juga negara pengutang terbesar. Dengan total utang 43 triliun dollar AS, setiap warga negara

memikul beban utang 145.000 dollar AS dan setiap pekerja yang bekerja penuh menanggung 350.000 dollar AS. Ini belum termasuk utang pribadi, seperti utang kartu kredit.

Selama ini Pemerintah AS membiayai utang tersebut dengan memelihara defisit perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan yang angkanya terus membengkak. Tak berlebihan mengatakan, menggelembungnya ekonomi AS banyak ditopang oleh utang dan konsumtivisme masyarakatnya.

Perekonomian AS bergerak dari bubble (gelembung satu) ke bubble (gelembung lainnya), dan setiap kali bubble itu semakin besar. Jadi, ibarat bom waktu, hanya menunggu meledak. Bagi AS sendiri, ini resesi kedua dalam tujuh tahun terakhir atau selama pemerintahan George W Bush. Banyak yang menuding kebijakan penurunan suku bunga secara agresif oleh Fed sebagai pemicu terciptanya bubble di sektor perumahan dan kredit yang meledak sekarang ini. Namun, beberapa analis lain, seperti ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, menuding kapitalisme pasar bebas ala wild west di AS sebagai biang kerok.

Mereka melihat, tiga resesi terakhir (tahun 1990, 2001, dan sekarang ini) tak bisa dilepaskan dari tidak adanya regulasi dan pengawasan pemerintah terhadap lembaga finansial. Salah satu contohnya adalah maraknya praktik pemberian kredit yang ugal-ugalan, melanggar aturan kehati-hatian, dan penuh jebakan bagi konsumen (abusive, fraud and predatory lending) yang kemudian macet, seperti terjadi dalam kasus subprime mortgage. Sementara intervensi preventif Fed dan pemerintah hampir tidak ada.

Sejauh mana paket stimulus fiskal senilai sekitar 145 miliar dollar AS (setara sekitar 1 persen dari PDB AS) yang disiapkan Bush akan mampu membendung resesi? Pasar menanggapi dingin karena kalaupun mulus dalam pembahasan di Kongres, dampak paket diperkirakan marjinal. Pengalaman sebelumnya, ada time lag 1-2 tahun sebelum efek terlihat di lapangan.

Banyak yang meyakini resesi kali ini akan lebih dalam dan lebih lama dari krisis sebelumnya karena magnitude yang sedemikian luas menyeret sistem perbankan dan lembaga keuangan dalam spiral kebangkrutan yang tak tahu kapan berhenti. Perkembangan terakhir, krisis subprime sudah merembet ke segmen pasar mortgage dan kredit konsumen lain, bahkan ke segmen kredit dengan kualitas lebih baik.

Pencapaian hak atas pangan harus disandingkan dengan masalah kemiskinan karena faktanya begitu menyentuh. Erna Witoelar lewat kapasitasnya sebagai Duta Besar PBB untuk Millennium Development Goals (MDGs) di Kawasan Asia Pasifik mengingatkan Indonesia mengalami kemunduran dalam pencapaian MDGs. Target waktu tahun 2015 yang ditentukan untuk mencapai delapan Tujuan Pembangunan Milenium sudah separuh terlewati. Namun, isu prioritas untuk mengurangi 50 persen angka kemiskinan dan kelaparan masih jauh dari harapan. Mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan tetap menjadi utopia jika pemerintah tidak serius mencurahkan perhatian untuk mewujudkan revitalisasi pertanian yang dicanangkan sejak 2005. Pemenuhan hak atas pangan harus dimulai dari kebijakan umum pertanahan dan tata ruang pertanian, pembangunan infrastruktur pedesaan, ketahanan pangan, dan perdagangan produk pertanian.

Karena itu, kita memerlukan lahan pertanian pangan abadi guna memproduksi pangan guna mencukupi kebutuhan penduduk yang terus bertambah. Masalah besar bangsa ini tahun 2015 adalah bagaimana meningkatkan ketersediaan pangan di tengah pesatnya alih fungsi lahan, diversifikasi pangan yang gagal, dan produktivitas padi melandai. Redistribusi lahan melalui program reforma agraria menjadi kata kunci. Redistribusi lahan bagi petani miskin seluas 8,15 juta hektar patut menjadi perhatian serius pemerintah sebagai langkah awal pemenuhan hak atas pangan di masa datang dan pencapaian MDGs di Tanah Air pada 2015. http://indonesiafile.com/index.php? option=com_content&task=view&id=114&Itemid=38

KEBERHASILAN DIVERSIFIKASI PANGAN TANGGUNG JAWAB BERSAMA Oleh Mewa Ariani Peneliti Utama Ketahanan Pangan dan Sosial Ekonomi Pertanian Kepala BPTP Banten Badak Pos - Banten ( 16 22 Juni 2008, Hal. 2 ) Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing dalam percaturan globalisasi. Upaya diversifikasi pangan sebetulnya sudah dilakukan oleh pemerintah sejak awal tahuan 50-an. Namun sampai sekarang upaya tersebut masih sulit terwujud. Belajar dari pengalaman, Kebijakan diversifikasi pangan kedepan harus mengacu pada aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tentang Ketahanan Pangan, yaitu dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal serta ditetapkan oleh Menteri atau kepala Lembaga pemerintah Non Departemen yang bertanggung

jawab sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing. Ini berarti keberhasilan diversifikasi pangan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah. Kenaikan harga beberapa pangan yang termasuk kelompok sembako akhir-akhir ini mengusik semua orang terutama kaum miskin yang sebagian besar pendapatannya dibelanjakan untuk pangan. Pangan merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan setiap hari dan pemenuhannya menjadi hak asasi setiap orang. Sering terjadi gejolak politik karena dipicu oleh kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pangan bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga menjadi komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar (215 juta orang), masalah pangan selalu merupakan masalah yang sensitif. Apalagi pertumbuhan penduduk di Indonesia masih besar (1,3 %/tahun) akan berdampak tidak hanya pada aspek pendidikan, pekerjaan tetapi juga pangan. Dalam Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Diversifikasi atau keanekaragaman pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing dalam percaturan globalisasi. Dari segi fisiologis, manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat memerlukan lebih 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan. Tidak ada satupun jenis pangan yang lengkap gizinya kecuali ASI. Program Diversifikasi Pangan Upaya diversifikasi pangan sebetulnya sudah dilakukan oleh pemerintah

sejak awal tahuan 50-an. Tahun 1952, Presiden Soekarno pada peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian UI di Bogor resah soal kecenderungan meningkatnya konsumsi beras. Ia berkata : tiap tahun zonder kecuali zonder pause. Zonder ampun soal beras ini akan datang, cressendo makin hebat, makin lama makin sengit. Tambahnya penduduk makin cepat, itu tidak diimbangi dengan bertambahnya persediaan makanan yang cepat pula. Pada tahun 60-an, dilaksanakan berbagai program diantaranya Applied Nutrition Programme (ANP) dan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang merupakan bantuan dari badan pangan dunia. Pada era orde baru, mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR), dengan menggalakan produksi Telo, Kacang dan Jagung yang dikenal dengan Tekad. Pada tahun 1979, pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan diversifikasi pangan melalui Inpres No.20

penekanan pendayagunaan tanaman sagu dan pengembangan industri sagu khususnya di KTI. Karena pengembangan diversifikasi dari pangan seperti sagu, jagung, garut dan lainnya terasa lamban, pemerintah menugaskan perusahaan swasta untuk mengembangkan industri mie instan. Banyak sekali kebijakan atau program yang terkait dengan diversifikasi pangan yang digulirkan oleh pemerintah orde baru. Gerakan Sadar Pangan dan Gizi yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, Program Diversifikasi Pangan dan Gizi yang dikenal dengan DPG oleh Departemen Pertanian (19931998) dan lain-lain. Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada Kabinet Pembangunan VI juga dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan slogan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI). Dan yang terakhir, lahirlah Undang-undang no. 7 tentang Pangan pada tahun 1996. Pada era Kabinet Gotong Royong dibentuk Dewan Ketahanan Pangan yang dipimpin langsung oleh Presiden dan selanjutnya muncul Kepres No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Dalam kepres tersebut , pasal 9 disebutkan bahwa

diversifikasi pangan diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Diversifikasi pangan dilakukan dengan meningkatkan keanekaragaman pangan, mengembangkan teknologi pengolahan dan produk pangan serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Pemerintahan mewujudkan Kabinet Indonesia Bersatu tetap konsisten untuk

diversifikasi pangan melalui kebijakan ketahanan pangan yang

dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 dan pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005. Perkembangan terakhir, pemerintah akan mengeluarkan Inpres tentang percepatan diversifikasi pangan 100. yang diharapkan mencapai hasil pada tahun 2015 dengan indikasi tercapainya skor Pola Pangan Harapan (PPH) mencapai

Sudahkan Sesuai Harapan Diversifikasi konsumsi pangan pada dasarnya memperluas pilihan

masyarakat dalam kegiatan konsumsi sesuai dengan cita rasa yang diinginkan, menghindari kebosanan untuk mendapatkan pangan dan gizi agar dapat hidup sehat dan aktif. Secara implisit, upaya diversifikasi konsumsi pangan dapat diidentikkan dengan upaya perbaikan gizi untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsi, kualitas pangan akan semakin baik. Oleh karena itu dimensi diversifikasi pangan tidak hanya terbatas pada pada diversifikasi konsumsi pangan pokok saja untuk mengurangi ketergantungan pada beras, tetapi juga makanan pendamping. Memang dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, pengetahuan, ketersediaan, dukungan kebijakan dan faktor sosial budaya. Indonesia sebagai negara kepulauan, mempunyai potensi pangan yang

beragam antar daerah. Ekologi sawah dan tegalan/ladang akan menghasilkan beras, jagung dan umbi-umbian. Seperti di Pulau Jawa dan Sumatera yang mempunyai ekologi tersebut, masyarakatnya juga mengkonsumsi pangan yang dihasilkan. Di KTI, seperti di Papua dan Maluku terdapat ekologi sagu, yang juga berdampak pada pola pangan penduduknya yang dominan sagu. Demikian pula di NTT, masyarakatnya mengkonsumsi jagung sebagai pangan pokok karena yang dihasilkan juga jagung. Pola pangan pokok ditentukan berdasarkan sumbangan energi dari setiap jenis pangan pokok terhadap total energi pangan pokok. Pola pangan pokok beras apabila sumbangan energi dari beras lebih dari 90 % dan pola pangan pokok beras+jenis pangan lain, bila jenis pangan lain menyumbang lebih dari 5 %. Hasil analisis dengan menggunakan series data Susenas yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian serta Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, menunjukkan: 1) Semua propinsi di Indonesia pada tahun 1979 mempunyai pola pangan pokok utama beras dan pada tahun 2005 posisi tersebut masih tetap, kalaupun berubah hanya terjadi pada pangan kedua, antara jagung dan umbi-umbian; 2) Di KTI, pola pangan tunggal berupa beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu propinsi (Kalsel), namun pada tahun 1996 sudah menjadi 8 propinsi(Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng); 3) Pada tahun 1993, sebagian besar propinsi mempunyai pola pangan pokok yang sudah mengarah ke pola tunggal yaitu beras. Kecenderungan ini terjadi pada masyarakat kaya dan miskin, dan 4). Pada tahun 2002, pangan pokok kedua masyarakat sudah tidak dari umbi-umbian atau jagung tetapi dari mie. Perubahan ini semakin signifikan pada tahun 2005, semua masyarakat di kota atau desa dan kaya atau miskin hanya mempunyai satu pola pangan pokok yaitu beras+mie. Tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai 100 persen, ini berarti semua masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras. Tingginya partisipasi ini juga terlihat dari tingginya konsumsi beras. Konsumsi beras memang menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun (Tabel 1). Namun demikian dibandingkan dengan jenis pangan

lainnya, beras masih merupakan pangan pokok utama. Ini berarti diversifikasi pangan yang diharapkan dapat menurunkan ketergantungan terhadap beras menunjukkan keberhasilan. Namun menjadi salah arah, karena harapannya masyarakat beralih ke pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu dan jagung tetapi justru beralih ke pangan global yaitu mie instan dan sejenisnya. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Pangan Pokok (Kg/kap) Tahun Beras Jagung Terigu Ubikayu Ubijalar Sagu Umbi lainnya 2002 2003 2004 2005 2006 115,5 109,7 107,0 105,2 104,0 3,4 2,8 3,2 3,3 3,0 8,5 7,2 7,7 8,4 8,2 12,8 12,0 15,1 15,0 12,6 2,8 3,3 5,4 4,0 3,2 0,3 0,3 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7 0,6 0,6

Sumber : Susenas,BPS, diolah Badan Ketahanan Pangan Pendekatan lain yang banyak digunakan oleh pakar pertanian dan gizi dalam mengukur diversifikasi pangan adalah dengan pendekatan konsumsi energi penduduk melalui rumusan Pola Pangan Harapan (PPH) yang diperkenalkan oleh FAO-RAPA (1989). PPH merupakan komposisi dari kelompok pangan untuk dapat dikonsumsi agar kebutuhan energi dan semua zat gizi tercukupi yang dinyatakan dalam skor. Semakin tinggi skor PPH berarti pangan yang dikonsumsi semakin beragam dan nilai skor tertinggi adalah 100. Hasil analisis menunjukkan pangan yang dikonsumsi masyarakat masih bias pada kelompok padi-padian terutama beras. Seharusnya konsumsi energi dari kelompok ini berdasarkan PPH sebesar 50% dari total konsumsi energi, namun kenyataannya masih diatas 60%. Sebaliknya konsumsi pangan yang lain masih lebih rendah dari yang dianjurkan. Kondisi pada tahun 2006, konsumsi umbiumbian seharusnya 6%, baru 3,1%. Konsumsi pangan hewani baru 50% dari

anjuran. Seharusnya kacang-kacangan dan sayur+buah masing-masing 5% dan 6%, namun yang dikonsumsi masyarakat baru 3,3% dan 4,2%. Kondisi pada tahun 2007, konsumsi umbi-umbian umbi-umbian seharusnya 6%, baru 3,1%. Konsumsi pangan hewani baru 65% dari anjuran. Seharusnya kacang-kacangan dan sayur+buah yang dikonsumsi oleh masyarakat 5% dan 6%, namun tahun 2007 baru 3,6% dan 5 %. Walaupun belum sempurna, keragaman konsumsi pangan masyarakat semakin baik. Pada waktu krisis ekonomi, skor PPH hanya 66,3, namun pada tahun 2004 dan 2005 mencapai 76,8 dan 79,1. Kenaikan harga BBM dua kali pada akhir tahun 2005 berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat pada tahun beriikutnya, skor PPH menjadi 74,9. Dan tahun 2007, skor PPH meningkat menjadi 82,8.

Lambatnya Pencapaian Walaupun upaya mewujudkan diversifikasi pangan sudah dilakukan sejak 50 tahun yang lalu, namun masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Diversifikasi pangan yang ditunjukkan oleh skor PPH memang menuju perbaikan. Namun, pangan pokok lokal telah ditinggalkan oleh masyarakat. Mereka beralih ke pola pangan pokok beras dan mie. Sepertinya diversifikasi pangan berjalan lambat karena dalam konsep dan implementasinya banyak menghadapi berbagai kendala. Pertama. konsep makan dan persepsi terhadap beras yang salah. Masih banyak masyarakat yang mempunyai konsep makan merasa belum makan kalau belum makan nasi, walaupun sudah mengkonsumsi macam-macam makanan termasuk lontong dan sebaliknya merasa sudah makan, walaupun hanya makan nasi dan lauk pauk yang sederhana. Beras dipandang sebagai komoditas superior atau prestisius, sehingga bagi siapa saja yang mengkonsumsi beras akan memiliki status sosial lebih tinggi. Jagung dan ubikayu sebagai barang inferior yang hanya

layak dimakan orang miskin. Kedua, ketersediaan beras melimpah dan harga beras murah. Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan perberasan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir. Sehingga pertumbuhan produksi beras terus meningkat, dapat diperoleh dengan mudah dengan harga yang terjangkau masyarakat. Ketiga, terbatasnya pendapatan masyarakat, sehingga pilihan jenis dan jumlah pangan juga menjadi terbatas. Telah banyak kajian yang menunjukkan kenaikan pendapatan akan menaikkan kuantitas, kualitas dan keragaman pangan bahkan pada pemilihan jenis pangan baru. Keempat, teknologi pengolahan pangan non beras dan promosinya masih terbatas. Pengembangan teknologi pengolahan diperlukan untuk mempercepat tercapainya diversifikasi pangan. Dengan sentuhan teknologi pengolahan, diharapkan dapat menghasilkan pangan yang lebih bermutu, menarik, disukai dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Mengolah beras menjadi nasi hanya diperlukan waktu beberapa menit dan bisa menggunakan rice cooker yang sangat praktis. Dapat dibandingkan, misalnya dengan membuat nasi jagung seperti di NTT, memerlukan waktu sampai 2,5 jam. Pengalaman beberapa industri yang mengembangkan pangan alternatif menghadapi kendala utama yaitu biaya pengembangan produk alternatif lebih mahal dibandingkan dengan beras. Promosi pangan lokal juga masih kurang, tidak seperti mie instan. Kelima, kebijakan pemerintah yang tumpang tindih dan tidak konsisten antara program yang satu dengan yang lain. Seperti program diversifikasi pangan telah ditetapkan sejak dulu, yang salah satu tujuannya untuk menurunkan konsumsi beras. Namun pemerintah menetapkan harga beras murah dan pemberian beras miskin di semua wilayah tanpa memperhatikan faktor sosial dan budaya makan setempat. Kemudahan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri dan subsidi harga terigu oleh pemerintah yang dulu turut mendorong peningkatan konsumsi produk gandum seperti mie. Keenam, program diversifikasi pangan selama ini di dominasi oleh

pemerintah, kurang partisipasi dari pihak swasta, LSM dan masyarakat.

Implementasi program juga lemah, terjebak dalam proyek-proyek yang parsial, tidak berkesinambungan dan tidak sesuai dengan budaya setempat serta perencanaan program/proyek sering bersifat top down. Dan ketujuh, lemahnya Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) terkait diversifikasi pangan. Belum banyak masyarakat yang mengenal Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang merupakan operasional dari konsep diversifikasi pangan dan sebagai pengganti slogan 4 Sehat 5 Sempurna. Langkah Kedepan Belajar dari pengalaman, Kebijakan diversifikasi pangan kedepan harus mengacu pada aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tentang Ketahanan Pangan. Dalam peraturan secara eksplisit menyebutkan diversifikasi pangan diselenggarakan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal serta ditetapkan oleh Menteri atau kepala Lembaga pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab di bidang pertanian, pangan, kelautan dan perikanan, kehutanan, industri dan perdagangan, koperasi, serta riset dan teknologi sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing. Ini berarti keberhasilan diversifikasi pangan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah. Dominasi pemerintah dalam pengambilan keputusan selama ini akan semakin terbatasi oleh kemampuan pemerintah sendiri dalam menjalankan keputusannya yang salah satunya akibat keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah. Oleh sebab itu dalam konteks diversifikasi pangan, pemerintah melibatkan pemerintah daerah, swasta/industri pangan, LSM dan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan pada tataran operasional ditentukan oleh kemampuan dan kemauan pemerintah daerah. Oleh karena itu perlu pula dikembangkan pemahaman bahwa keberhasilan diversifikasi pangan di daerah adalah tanggung jawab mereka. Implementasinya, membuat kesepakatan bersama dituangkan dalam road map, yang dimotori oleh Dewan Ketahanan Pangan. Dalam road map tersebut

memuat

strategi, program, langkah-langkah sumber dana, siapa mengerjakan

apa, dan lainnya secara lengkap. Kemudian dijabarkan dan diimplementasikan secara bertahap, terpadu, konsisten dan berkelanjutan. Program peningkatan produksi pangan diperluas jenis pangannya dengan memasukkan pangan lokal yang telah berkembang di setiap daerah seperti keladi, sagu, garut dan lainnya. Pemanfaatan teknologi pertanian spesifik lokasi akan mampu meningkatkan produktivitas pangan lokal dan memberi insentif pendapatan kepada petani. Selain itu, perlu dilakukan pencatatan secara rutin sehingga perkembangan produksi pangan lokal dapat dimonitor dengan baik. Pengembangan riset dan pendayagunaan teknologi pangan yang

menghasilkan aneka produk olahan pangan akan menjadi faktor menentukan keberhasilan proses diversifikasi pangan. Dan hal ini merupakan tanggung jawab para industriawan yang bergerak dibidang pangan dengan melibatkan petani sebagai penyedia bahan baku. Peran pemerintah hanya memberi dukungan dalam bentuk fasilitas peraturan misalnya. Setiap daerah mempunyai makanan tradisional yang khas yang yang bahan bakunya diperoleh dari daerahnya. Ini potensi besar yang harus dikembangkan dengan sentuhan teknologi agar produk yang dihasilkan mempunyai cita rasa sesuai selera masyarakat, dikemas dengan baik dan harga yang terjangkau. Dan yang terakhir, dilakukan penyadaran masyarakat akan pentingnya pangan yang bergizi, beragam, berimbang melalui model Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE). Dukungan program komunikasi bersifat terpadu, sistematis, efektif dan terus-menerus perlu dilakukan dengan melibatkan media elektronik, koran dan lainnya serta semua elemen masyarakat. Proses pengenalan dan menumbuhkan kecintaan pada pangan lokal dan beragam jenis pangan dilakukan sejak dini, anak usia sekolah dapat melalui kantin, kurikulum. Pengenalan juga dapat dilakukan pada pertemuan-pertemuan seperti rapat dan hajatan. Terakhir Diperbaharui ( 26 June 2008 ) http://banten.litbang.deptan.go.id/index.php? option=com_content&task=view&id=100&Itemid=63

Diversifikasi Pangan Olahan Memperkuat Ketahanan Pangan

Rabu, 30 Januari 2008 20:11 BERI KOMENTAR CETAK BERITA INI KIRIM KE TEMAN Ikuti Kuis Berhadiah, King Vs Queen of Pop

Kapanlagi.com - Menperin Fahmi Idris mengajak masyarakat terutama di daerah mengembangkan diversifikasi pangan olahan berbasis komoditas pertanian di daerah tersebut guna memperkuat ketahanan pangan nasional di tengah krisis pangan dunia. "Para pelaku industri khususnya bahan makanan sudah harus kreatif mengembangkan bahan pangan alternatif bagi masyarakat," katanya pada pembukaan Pemeran Produk Industri dan Teknologi yang mendukung pengolahan pangan di Jakarta, Rabu. Menurut dia, diversifikasi pangan olahan perlu dilakukan agar konsumsi pangan utama tidak hanya mengandalkan beras, tapi juga komoditas lainnya yang gizinya tidak kalah dengan beras, seperti jagung, singkong, ubi jalar, dan sagu. Ia menantang kalangan produsen pangan olahan, mulai dari skala kecil, menengah dan besar untuk lebih berkreasi membuat pangan berbasis kekayaan alam di daerahnya. Fahmi yang berasal dari Sumatera Barat (Sumbar), misalnya mengharapkan agar kalangan produsen pangan olahan di provinsi tersebut tidak hanya

mengembangkan keripik sanjai sebagai makanan olahan khas Sumbar, tapi juga mengembangkan pangan berbasis cokelat, mengingat provinsi itu juga produsen kakao yang besar. Hal yang sama ia harapkan juga dilakukan para pelaku usaha industri pangan olahan di daerah lain, mengelola komoditas pertanian yang dihasilkannya menjadi komoditas pangan olahan unggulan. "Dengan demikian kita tidak hanya mengandalkan beras sebagai bahan baku utama, tapi juga komoditas lainnya yang tidak kalah baik gizinya," ujar Fahmi yang mencoba tiwul instan di salah satu stand pameran. Lebih jauh ia juga mengimbau agar masyarakat kembali menggunakan bahan makanan pokok sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing, seperti Madura kembali mengkonsumsi jagung sebagai sumber karbohidrat utama, Maluku dengan sagunya, Papua dengan ubi jalarnya, dan lain-lain. "Bagaimana sekarang kita bersama-sama mengembalikan masyarakat yang dahulu menggunakan bahan makanan pokok non beras, kembali ke makanan tersebut," ujar Fahmi. Bahkan, lanjut dia, kalau perlu daerah-daerah tertentu menggunakan jagung sebagai bahan pokoknya, seperti Gorontalo. "Misalnya Gubernur Fadel Muhammad mulai makan jagung sebagai pengganti beras, itu bagus sekali," katanya. Fahmi juga mengatakan pemerintah sebenarnya telah menyiapkan insentif sesuai Peraturan Presiden (PP) Nomor 1 Tahun 2007 yang memberi insentif penghapusan (PPH) pajak penghasilan dalam kurun waktu tertentu untuk perusahaan yang menanamkan investasi di daerah tertentu dan komoditas tertentu, salah satunya pangan. Sementara itu Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Depperin Fauzi Azis mengatakan pameran di plasa Depperin yang berlangsung sejak 31 Januari - 1

Pebruari 2007 berupaya menunjukkan dukungan industri dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Pameran itu diikuti 40 perusahaan dari tujuh provinsi antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Barat, yang menampilkan pangan olahan alternatif seperti tiwul instan, ubi jalar, jagung, ikat, dan coklat, di samping mesin dan peralatan pendukung pengolahan pangan. (*/rsd) http://www.kapanlagi.com/h/0000211122.html Oleh ARDA DINATA

PERMASALAHAN serius yang masih menjadi perhatian Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia, FAO (Food and Agriculture Organitation) adalah di banyak negeri masih dihadapkan pada masalah kurang gizi, rendah gizi, rawan pangan dan bahkan kelaparan.

Kondisi seperti itulah, yang saat ini mengintai (baca: melanda) sebagaian masyarakat Indonesia. Sehingga, seperti diberitakan Kompas (23/01/02), untuk mengatasi krisis pangan saat ini, Kementerian Negara Riset dan Teknologi telah menyusun program diversifikasi pangan. Langkah tersebut dilakukan sebagai alternatif untuk mengantisipasi harga beras yang semakin tinggi serta untuk mengurangi impor pangan yang telah menghabiskan devisa negara dalam jumlah besar Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidupnya, sehingga tidak aneh kalau adanya ketergantungan manusia terhadap pangan yang dikonsumsi.

Menyangkut masalah ketahanan pangan ini, sebetulnya jauh-jauh hari telah

diwanti-wanti oleh Prof Tumari Jatileksono (1996) bahwa keadaan pangan negara kita menghadapi ancaman yang serius. Buktinya, proporsi penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi kalori kurang dari 2.150 kilo kalori (kkal) mencapai 56%, proporsi penduduk dengan konsumsi protein kurang dari 45 gram mencapai 38 %, indeks Gini food gap konsumsi energi dan protein tercatat 0,36 dan 0,39, dan koefesien variasi konsumsi energi dan protein mencapai 28 dan 34 %. Dalam studinya, Jatileksono menyimpulkan bahwa tingkat kecukupan energi 2.150 kkal, tidak terdapat perbedaan indeks ketahanan pangan pada tingkat pedesaan dan perkotaan. Sedangkan pada tingkat kecukupan protein 45 gram, indeks ketahanan pangan perkotaan lebih besar dibandingkan dengan ketahanan pangan di pedesaan.

Secara demikian, apa sebenarnya dasar dari program diversifikasi pangan tersebut? Apa yang menjadi kendala dari program ini. Dan apa saja kriteria yang bisa dijadikan pegangan untuk menentukan suatu negara itu memiliki ketahanan Dasar diversifikasi pangan? pangan

Diversifikasi pangan berarti dipergunakannya berbagai jenis bahan pangan, baik nabati maupun hewani dalam pola konsumsi manusia seharihari. Dalam arti lain, pangan yang dikonsumsi manusia tidak cuma tergantung pada satu atau dua jenis bahan pangan. Sehingga perilaku demikian, diharapkan nilai-nilai gizi dalam tubuh manusia menjadi lebih lengkap. http://miqraopini.blogspot.com/2007/08/diversifikasi-dan-ketahanan-pangan.html

Вам также может понравиться