Вы находитесь на странице: 1из 7

Gita Cinta di Kereta

Cerpen Ngarto Februana

Stasiun Kebayoran, Jakarta Selatan, menjelang malam. Peluit melengking panjang, seperti terdengar merintih, ditingkah deru mesin lokomotif dan derak roda-roda kereta yang beradu dengan rel. Sesekali suara parau petugas stasiun turut mengisi suasana malam di stasiun yang sumpek dan kumuh itu. Musik dangdut mengalun keras dari kios VCD bajakan. Sementara itu, dari masjid di kampung dekat stasiun terdengar lantunan ayat suci Alquran. Orang-orang keluar masuk stasiun. Antrean calon penumpang tampak memanjang di depan loket. Pedagang sibuk dengan aktivitasnya: menjajakan dagangan, melayani

pembeli. Sekelompok remaja tanggung, berpakaian hitam-hitam dekil, rambut punk, duduk-duduk di lantai peron. Seorang perempuan berpostur kecil langsing, berkulit putih cantik, berkerudung biru, duduk di bangku besi, di peron dua di stasiun itu. Sudah hampir satu jam ia tak beringsut dari tempat duduknya. Ia tak sekadar menanti kereta rel listrik (KRL) jurusan Serpong Tanahabang. Tapi, ia tengah menanti lelaki yang dicintailelaki yang bukan suaminya, lelaki yang sudah beristri. Sesekali ia menoleh ke arah pintu masuk stasiun, mengamati orang-orang yang sedang berjalan ke peron dua. Juga melihat-lihat calon penumpang yang tengah menunggu di peron seberang. Tapi lelaki yang dinanti tak tampak di antara mereka. Perempuan berusia 33 tahun itu mengeluarkan telepon genggamnya. Berkirim pesan pendek ke nomor handphone pria yang sedang diharap segera datang. Satu menit berlalu, bahkan sudah lima menit, pesan tak berbalas. Ia kecewa. Lantas ia mencoba menelepon lelaki itu. Ah, tak juga tersambung. Ia pun putus asa. Malam terus beranjak makin jauh. Perempuan berjilbab biru itu masih setia dalam penantiannya. Kereta ekonomi Rangkasbitung datang dari arah utara, mengangkut penumpang di delapan gerbong. Tak cuma gerbong-gerbong yang penuh sesak penumpang yang berdesak-desakan. Di atap gerbong pun hampir tak tersisa tempat untuk duduk penumpang yang rata-rata anak muda. Kereta berhenti di peron satu. Penumpang naik, menambah sesak gerbong. Beberapa anak muda memanjat gerbong, naik di atas atap. Tak lama kemudian kereta itu berlari meninggalkan Stasiun Kebayoran, melanjutkan perjalanan menuju stasiun akhir Rangkasbitung. Kereta commuter line tujuan Tanahabang masuk Stasiun Sudimara, terdengar suara parau petugas stasiun melalui pengeras suara. Inna, perempuan berjilbab biru dan berbaju biru bergaris-garis putih itu, kian gelisah. Ia melirik jam tangannya. Mas Ito belum juga datang, gumamnya, lirih. Ah, kenapa aku kangen banget sama dia, padahal baru tiga hari nggak ketemu. Di stasiun ini, Inna mulai mengenal lelaki berusia 40 tahun itu sekitar tiga bulan lalu. Ito bekerja di sebuah majalah bulanan, yang kantornya sekitar 300 meter dari stasiun. Adapun Inna berkantor di Kebayoran Center, sekitar 500 meter dari stasiun. Baru tiga bulan ia berkantor di sana, setelah pindah dari kantornya yang lama di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Tak ada yang istimewa saat perjumpaan pertama. Kebetulan saat itu Inna dan Ito tengah sama-sama menanti KRL jurusan Tanahabang Manggarai Bogor. Mereka duduk berdekatan di bangku besi di peron dua. Inna, yang saat itu belum mengenal medan, banyak bertanya tentang rute Kebayoran - Bogor, kota tempatnya tinggal. Kebetulan keduanya menempuh jalur yang sama dan jam pulang yang sama pula, dengan kereta yang sama. Tak ada kesan istimewa pada perkenalan pertama. Tapi, sejak itu, setiap kali berjalan menuju stasiun, Inna melewati depan kantor Ito, dan Ito sudah menunggu di depan gerbang kantornya. Mereka pun berjalan bersama menuju stasiun, membeli tiket, menunggu KRL di peron dua sambil berbincang-bincang apa saja. Keakraban pun berlanjut di kereta sepanjang perjalanan. Dan itu terjadi lima hari dalam seminggu,

duapuluh hari dalam sebulan--keakraban yang menebarkan benih-benih cinta di hati mereka berdua. Kereta commuter line segera masuk di jalur dua, kembali terdengar suara parau petugas stasiun. Hati-hati menyeberangi jalur dua. Priittt! Priiit! Tuittt tuitttt! Inna tersadar dari lamunannya. Tak lama kemudian terdengar deru mesin lokomotif dan derak roda-roda kereta. Inna pun beranjak dari bangku besi yang dingin itu. Entahlah, mungkin dia sudah menunggu di Tanahabang, bisiknya dalam hati, atau tak pernah datang lagi. Atau dia tidak masuk kerja. Mungkin dia sedang cuti untuk berlibur dengan istri dan anak-anaknya. Ah, kenapa aku jadi cemburu begini? Kereta berhenti. Pintu terbuka. Ia hendak naik, tapi tiba-tiba dia urungkan niat itu. Dibiarkan kereta itu pergi. Inna kembali ke tempat duduknya, bangku besi dari bekas rel. Ia kembali pada penantiannya, pada lamunannya. Telepon genggamnya berdering. Cepat-cepat ia mengambilnya dari dalam tas dan berharap Ito meneleponnya. Tapi. Halo. Mama, mama, kok belum pulang, sih? Mama masih di jalan, sayang. Dedek tidur aja, ya. Nggak usah nungguin mama. Nggak mau! Mama cepetan pulang! Sekarang! Papa sudah pulang belum? Belum. Dedek sudah makan belum? Nunggu mama! Pulang, mama. Astaga! Kok begini jadinya, ya, pekik Inna dalam hati. Kenapa aku biarkan anakanakku gelisah menanti emaknya. Apa yang kucari? Cinta laki-laki yang bukan suamiku itu? Laki-laki yang sudah beristri itu? Inna tercenung dan termenung. Aku istri yang tidak setia? Semua sudah kudapat. Suami yang mencintai keluarga. Suami yang setia, bekerja keras demi istri dan anak-anak. Dua anak yang cakep-cakep. Kebahagiaan itu sudah kudapat. Apa lagi yang kucari? Suara petugas lewat pengeras suara membuyarkan lamunannya. Kereta commuter line tujuan Tanahabang segera masuk di jalur dua. Ini kereta terakhir, gumam Inna. Aku harus pulang. Ia naik kereta yang membawanya ke Stasiun Tanahabang. Dari sana, ia akan berpindah ke commuter line terakhir tujuan Bogor. Anak-anak dan suami sudah menanti. Malam merangkak makin jauh. Kian larut. *** Lelaki gundah di tengah malam. Sendiri ia duduk di bangku besi di ujung peron di Stasiun Tanahabang, Jakarta Pusat. Suasana stasiun sudah sepi. Satu dua orang menanti

kereta terakhir tujuan Bogor. Seorang gembel tidur meringkuk di bawah tangga, di lantai peron tanpa alas apa pun. Seorang petugas kebersihan mengumpulkan sampah. Beberapa pedagang sedang mengemasi barang dagangannya sambil membayangkan keuntungan yang didapat hari itu. Berjam-jam ia hanya duduk termenung di sana ditemani asap rokok yang mengepul seperti tak pernah henti dari mulutnya. Sesekali mulutnya menggumam spontan, mengucap kata-kata yang tak jelas. Kadang dengan lirih dan parau ia menyenandungkan lagu yang pernah dipopulerkan Katon Bagaswara, Dinda di Mana, tapi liriknya sedikit diubah. Inna, di manakah kau berada, rindu aku ingin jumpa, meski lewat nada. Berkhayal tentang dirimu, Telahkah berubah, Sekian waktu jauh dariku. Mereka-reka rencana, Apa kan kita buat, Bila ada perjumpaan. Lelaki 40 tahun itu sedang merenungi dirinya, yang tengah dilanda gejolak cinta terlarang. Aku mencintainya, bisik Ito, nama pria itu, dalam hati. Aku sangat merindukan Inna setiap saat. Tapi, pantaskah? Beberapa hari terakhir ini ia mencari cara menyadarkan dirinya sendiri, ingin terlepas dari belenggu perselingkuhan terlarang ini. Cinta yang bersemi di hatinya memang terasa indah. Ia pun terbuai dan terlena. Suara lembut wanita berkulit putih nan cantik itu; tatapan dan lirikan matanya, dan sikap manjanya itu semua membuai dirinya. Sangat indah tapi sungguh menyiksa jiwa bila ia ingat bahwa itu bisa menuai badai bagi keluarganya. Kasihan istriku, gumam Ito, sangat lirih, hampir tak terdengar. Istriku wanita terbaik yang pernah kukenal, bisiknya dalam hati. Dari rahimnya telah lahir tiga anakku yang cakep-cakep dan lucu-lucu. Ya, Allah, pantaskah aku menyakiti mereka? Seorang petugas keamanan stasiun lewat di depannya sambil sepintas melihat ke arah Ito. Kereta ke Bogor masih ada nggak, Pak? tanya Ito. Tinggal satu, kereta terakhir, jawab si petugas sambil ngeluyur pergi. Ito kembali tenggelam dalam ketermenungannya. Larut dalam kegundahan hatinya. Pantaskah aku mengkhianatinya? Ito menggelengkan kepala, seakan ingin mengibaskah segala gundah di kepalanya. Istriku yang cantik, wanita terbaik, istri yang sangat setia. Seorang wanita yang sangat mencintai suami dan anak-anak. Perempuan paling sabar yang pernah kukenal. Walau gaji suaminya sebagai wartawan pas-pasan, bahkan kekurangan tiap tengah bulan, ia tetap bersabar. Ia coba mencari tambahan penghasilan dengan membuka warung di rumah. Pantaskah aku selingkuh? Sungguh tidak bermoral! Gaji pas-pasan, uang belanja kurang, banyak utang, masak sih selingkuh. Apa kata mertua? Tapi. aku begitu dalam jatuh cinta pada Inna. Haruskah aku menghindarinya? Dengan cara apa? Pindah kerja di kantor yang jauh dari sini? Ke mana? Karawaci? Deru mesin lokomotif bercampur dengan derak roda-roda kereta membuyarkan lamunannya. Segera masuk di jalur enam, kereta commuter line yang akan mengakhiri perjalanan di Tanahabang, untuk selanjutnya pulang ke depo Bukitduri. Suara petugas stasiun terdengar letih. Ito melihat ke peron seberang, kereta commuter line terakhir dari Serpong berhenti. Ia mengamati penumpang yang sedang turun dari gerbong kereta. Ia terpana begitu melihat

wanita berpostur mungil, berjilbab biru, berbaju biru bergaris-garis putih, menggendong tas cokelat, turun terburu-buru dari gerbong. Inna? Tampak wanita cantik berkulit putih mulus itu naik tangga untuk menyeberang ke peron tiga. Ito segera beranjak dari tempat duduknya, melangkah menuju bawah tangga di peron tiga, menanti dia. Di atas sana, di ujung tangga peron tiga, wanita itu menapaki anak tangga demi anak tangga. Ketika sudah dekat, hanya berjarak dua meter, Inna berdiri terpana di depan Ito. Keduanya saling bertatapan dalam diam. Hanya mata yang bicara, lebih dari kata-kata. Dan dalam diam pula, mereka duduk berdampingan di bangku besi. Tak ada satu kata pun terucap dari mulut mereka. Keduanya tenggelam dalam lamunan dan khayalan serta kegelisahan masing-masing. Kereta commuter line terakhir tujuan Bogor sudah berangkat Stasiun Duri menuju Tanahabang. Ito dan Inna tetap pada tempatnya. Duduk berdampingan dalam diam, pada larut malam, dalam suasana stasiun yang sudah sepi. Kereta datang di jalur tiga. Inna dan Ito berdiri. Keduanya saling pandang sejenak tanpa terucap sepatah kata pun. Inna mengulurkan tangan kirinya dan Ito menggandengnya. Dalam kebisuan yang syahdu, mereka melangkah bergandengan menuju gerbong dua. Kereta commuter line tujuan akhir Bogor siap diberangkatkan dari jalur tiga. Tuiiitttt. Sesaat kemudian kereta terakhir itu pun melaju kencang, membelah malam. *** Pagi itu, Inna kembali pada rutinitas kesehariannya. Berangkat kerja setelah menyiapkan sarapan buat suami tercinta, memandikan dua anaknya dan mengantar si sulung ke taman kanak-kanak. Lalu bersama suami, ia menuju Stasiun Bogor, memburu commuter line jurusan Tanahabang, yang berangkat pukul 08.01. Sang suami akan turun di Stasiun Cawang, untuk selanjutnya naik busway menuju kantornya di daerah Mampang. Inna sendiri akan turun di Stasiun Tanahabang, untuk selanjutnya berpindah kereta jurusan Serpong. Sesuai jadwal, kereta meninggalkan Stasiun Bogor. Inna dan suami kebagian tempat duduk di gerbong dua. Penumpang bertambah memenuhi delapan gerbong ketika kereta masuk Stasiun Bojong Gede. Lima belas menit kemudian, KRL sampai di Stasiun Citayam. Inna melongok ke luar lewat jendela di belakangnya, berharap melihat Ito di stasiun itu. Lelaki yang sudah beristri dan punya anak tiga itu tak ditemukan di antara deretan calon penumpang di peron kiri. Mungkin naik di gerbong belakang, batin Inna. Setiap pagi, dalam tiga bulan ini, sudah menjadi kebiasaan, Ito naik kereta yang sama dengan Inna: jurusan Bogor Tanahabang pada pemberangkatan 08.01. Inna naik dari Stasiun Bogor, sedangkan Ito naik dari Stasiun Citayam pada pukul 08.17. Dengan begitu, ada kemungkinan mereka akan bertemu paling tidak di Stasiun Tanahabang. Ah, kenapa aku berharap ketemu Mas Ito di gerbong ini sementara suamiku ada di sampingku? bisik Inna dalam hati. Semalam sudah ketemu, kok pagi ini kangen banget.

Kereta kembali berlari. Beberapa stasiun telah terlewati. Saat KRL tiba di Stasiun Duren Kalibata, ketika sebagian penumpang turun dan gerbong mulai longgar, Inna melihat Ito berdiri di dekat pintu di gerbong yang sama. Bersamaan Ito pun menoleh ke arah Inna. Siapa? tanya Joko, suami Inna. Teman. Aku kenalin, ya. Inna melambaikan tangan ke arah Ito, memberi isyarat agar mendekat. Ito merangsek, mendekati Inna dan berdiri di depan pasangan suami-istri itu. Mas Ito, kenalin, ini suamiku. Inna memperkenalkan Ito kepada suaminya. Kerja di mana? tanya Joko, basa-basi. Basa-basi pula Ito menjawab bahwa dia bekerja di majalah ekonomi yang terbit bulanan. Sama-sama kerja di media, ya, kata Joko. Kerja di mana? tanya Ito. Wartawan televisi. Basa-basi tak berlanjut. Mereka lebih banyak diam. Kereta akan masuk Stasiun Cawang, Joko siap-siap turun dan tempat duduk diberikan kepada Ito. Setelah suaminya turun dan kereta kembali berlari, tanpa rasa sungkan Inna menyandarkan kepalanya di bahu Ito. Lelaki itu membalasnya dengan menggenggam tangan kanan Inna. Beberapa penumpang menahan geli melihat adegan di depannya. Dua orang berbisikbisik. Seorang ibu tampak geram. Busyet! Suaminya turun, eh, digantiin selingkuhannya, bisik seorang perempuan kepada teman di sampingnya. Inna dan Ito tak peduli. Cinta memang penuh misteri. Kereta terus berlari. *** Depok, Desember 2011

Cerita ini hanya rekaan semata. Jika ada kesamaan atau kemiripan nama dan kejadian dengan seseorang, hal itu hanya kebetulan. Ngarto Februana kelahiran Batu, Jawa Timur, 4 Februari 1967. Lulusan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada ini adalah wartawan TEMPO, novelis, dan videografer. Ia telah menerbitkan empat novel: Lorong Tanpa Cahaya (1999), Menolak Panggilan Pulang (2000), Tapol (2002), dan Harga Seorang Wanita (2007). Ia juga menulis buku non-fiksi antara lain Manual Sumber Daya Masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah (YBUL-USAID, 2009). Sebagai videografer, yang menjadi hobinya, ia telah mempublikasikan ratusan footage dan sejumlah video pendek ke berbagai situs web antara lain:
www.pond5.com/artist/NgartoF

http://www.fotolia.com/p/201762482
http://www.canstockphoto.com/ajriya

http://www.clipcanvas.com/ngarto-februana-stock-footage.html

Вам также может понравиться