Вы находитесь на странице: 1из 28

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Di susun oleh : Ihsan Muhammad R 1106546 Faiz azzam

ABSTRAK Masalah kemiskinan telah menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan bagi semua negara termasuk di Indonesia. Secara signifikan jumlah keluarga miskin juga semakin meningkat, yang salah satunya memberi dampak dalam peningkatan jumlah pekerja anak. Timbulnya pekerja anak antara laindipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kondisi anak, keluarga dan budaya masyarakat. Mempekerjakan anak tidak juga selalu berdampak negatif, karena dengan anak bekerja dapat melatih kemampuan fisik, mental, sosial serta intelektualitas anak. Meskipun dalam prakteknya tidak dapat dihindari banyak terjadinya diskriminasi ataupun eksploitasi yang dialami oleh pekerja anak. Pekerja anak tidak selalu bekerja dalam sektor formal, namun pekerja anak justru lebih banyak yang berkecimpung di luar sektor formal (informal) sehingga tidak adanya hubungan kerja yang jelas. Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah telah mengeluarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai pekerja anak diatur dalam Pasal 68-75. berdasar atas latar belakang tersebut, penulis melakukan penelitianyang menitikberatkan dari aspek normatif yaitu bagaimana Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak. Undang ini memberikan ketentuan bagi pemberi kerjayang mempekerjakan anak untuk memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 (2), antara lain: izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian tertulis anatara orang tua/wali dengan pengusaha, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, ada hubungan kerjayang jelas, serta menerima ketentuan upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun ketentuan mengenai pekerja anak yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini belum memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi anak yang bekerja di luar sektor formal (informal), hal ini disebabkan karena ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pemerintah untuk menanggulangi anak yang bekerja di luar sektor formal, hingga kini belum dikeluarkan peraturan pelaksanaannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam. Dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhannya itu manusia dituntut untuk bekerja, karena dengan bekerja dapat diperoleh suatu penghasilan. Pekerjaan tersebut dapat diusahakan secara sendiri maupun dengan bekerja padaorang lain. Pekerjaan yang diusahakan sendiri maksudnya adalah bekerja atas modal dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan bekerja pada orang lain bergantung pada orang lain yang memberi perintah dan mengutusnya dan harus tunduk dan patut pada orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut. Bekerja pada orang lain inilah yang berkaitan dengan Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan adalah sebagian dari hukum yang berlaku (segala peraturanperaturan) yang menjadi dasar dalam mengatur hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan atau perusahaannya, mengenai tata kehidupan dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut. Pada dasarnya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Namun di era perkembangan teknologi yang semakin pesat seperti saat ini, persaingan tidak lagi dapat di hindari. Jurang perbedaan antara kaya dan miskin semakin jelas terlihat di Indonesia. Masalah kemiskinan telah menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan bagi semua negara termasuk di Indonesia. Secara signifikan jumlah keluarga miskin juga semakin meningkat, yang salah satunya memberi dampak dalam peningkatan jumlah pekerja anak. Pekerja anak merupakan masalah yang cukup kompleks. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kondisi anak, keluarga dan budaya masyarakat. Namun demikian, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan ternyata berhubungan positif dengan kecenderungan anak untuk bekerja. Selainfaktor kemiskinan, faktor budaya juga tampaknya turut berpengaruh terhadap kecenderungan anak untuk bekerja. Banyak orangtua yang berpendapat bahwa bekerja merupakan proses belajar yang akan berguna bagi perkembangan anak di kemudian hari. Anak yang bekerja merupakan salah satu bentuk strategi kelangsungan hidup rumah tangga (Household Survival Strategy). Hal ini terjadi dalam masyarakat yang mengalami transisi ekonomi atau kelompok miskin di perkotaan. Bila kondisi keluarga dalam kemiskinan, mereka akan memanfaatkan sumberyang tersedia. Salah satu upaya untuk beradaptasi dengan kemiskinan adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Akibatnya banyak orang tua harus rela melepaskan anaknya untuk bekerja demi membantu meningkatkan perekonomian keluarga. Problematika pekerja anak dalam skala dunia merupakan masalah sosialyang cukup pelik bagi semua negara. Bagi yang bersangkutan, di usia mereka yang semestinya dipergunakan untuk menuntut ilmu dan menambah keterampilan di sekolah, bahkan untuk bermain dengan anak seusianya, justru digunakan untuk bekerja. Anak yang bekerja merupakan salah satu gambaran betapa rumit dan kompleksnya permasalahan anak. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah bentuk penelantaran hak anak, karena pada saat bersamaan akan terjadi pengabaian hak yang harus diterima mereka. Seperti hak

untuk memperoleh pendidikan, bermain, akses kesehatan dan lain-lain. Keadaan ini menjadikan pekerja anak masuk kategori yang memerlukan Perlindungan Khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntut penanganan serius dari orangtua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Peran pemerintah, masyarakat dan lembaga terkait akan semakin signifikan dalam menangani permasalahan pekerja anak ketika orangtua dalam kemiskinan akut. Perlindungan Khusus menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anakyang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anakyang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Menurut Pasal 1 Angka 2 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaanserta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dariorang tua, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Perlindungan anak tersebut berkaitan erat untuk mendapatkan hak asasi mutlak dan mendasar yang tidak boleh dikurangi satupun atau mengorbankan hak mutlak lainnya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia seutuhnya bila ia menginjak dewasa, dengan demikian bila anak telah menjadi dewasa, maka anak tersebut akan mengetahui dan memahami mengenai apayang menjadi dan kewajiban baik terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hak asasi anak adalah hak asasi manusia plus dalam arti kata harus mendapatkan perhatian khusus dalam memberikan perlindungan, agar anakyang baru lahir, tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh. Hak asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia seutuhnya dan hukum positif mendukung pranata sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan seutuhnya tersebut. Pekerja anak butuh perlindungan lebih, mengingat keadaan anak yang masih lemah baik secara fisik, mental, sosial maupun intelektualitas. Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa bukan saja menjadi kewajiban orang tua untuk melindungi anak, tetapi juga masyarakat dan negara. Karena pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi manusia seutuhnya sangat bergantung pada sistem moral meliputi nilai-nilai normatif yang sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Semakin meningkatnya jumlah pekerja anak yang digunakan oleh perusahaan, berdampak semakin berkurangnya kesempatan kerja bagi pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena akibat dari hasil produktifitas pekerja anak ternyata tidak jauh berbeda dengan produktifitas pekerja dewasa. Dari aspek ekonomi, pihak pengusaha sangat diuntungkan dengan banyaknya pekerja anak, yaitu

dengan pembayaran upah yang rata-rata lebih rendah, mereka juga tidak banyak menuntut bahkan tidak mengetahui apa yang sebenarnya menjadi haknya sebagai pekerja. Dampak lain dari semakin meningkatnya jumlah pekerja anak adalah dapat memicu hambatan dinamika proses pembangunan Sumber Daya Manusia di masa mendatang. Dampak yang sangat besar terkait dengan Sosial Cost yang diderita pekerja anak dan hilangnya kesempatan untuk memasuki dunia sekolah. Eksploitasi anak juga semakin sering dijumpai karena banyak dari mereka yang tidak mengetahui hak-haknya sebagai pekerja yang sebenarnya dapat memberikan peningkatan kesejahteraan mereka. Pemerintah bersama legislatif telah mengeluarkan sebuah peraturan tentang Ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja dan pemberi kerja. Terkait dengan pekerja anak, Undang-Undang ini memberikan pengertian dalam Pasal 1 Angka 26 menyebutkan bahwa Anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Maka dapat diartikan bahwa pekerja anak adalah mereka yang bekerja dalam usia di bawah 18 tahun. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 1999, yang dalam Lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Mengenai pekerja anak Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini telah memberikan ketentuan larangan bagi siapapun untuk mempekerjakan atau melibatkan anakanak dalam bentuk pekerjaan terburuk. Namun mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dianggap pekerjaan terburuk tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam suatu Undang-Undang melainkan ditetapkan melalui sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2003. Pasal 3 dalam KEPMEN tersebut menetapkan usia 15 (lima belas) tahun atau lebih sebagai usia kerja anak, dan melarang anak usia dibawah 18 (delapan belas) tahun untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, atau moral mereka. Undang-Undang ini juga hanya memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh yang bekerja pada sektor formal dan hanya mewajibkan pengusaha atau pengguna jasa pekerja formal untuk mematuhi UndangUndang mengenai perjanjian kerja, upah minimum, lembur, jam kerja, istirahat, dan hari libur. Sedangkan pekerja anak yang bekerja di luar hubungan kerja (sektor informal) tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, melainkan masih menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai peraturan guna menciptakan ketertiban dan keamanan di masyarakat. Namun dalam implementasinya tidak semua peraturan tersebut

dapat dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya oleh para pelaksana undang-undang yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Berkaitan di bidang ketenagakerjaan seharusnya pembangunan ketenagakerjaan dibangun sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi pekerja/buruh sehingga pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Upaya penanggulangan terhadap pekerja anak dapat dilakukan secara terpadu antar sektor di pusat dan daerah. Penanggulangan pekerja anak merupakan dilema pemerintah, di satu sisi pemerintah ingin melarang pekerja anak dan mengharapkan semua anak usia sekolah dapat mengembangkan intelektualitasnya di sekolah untuk mendapatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu di masa depan, sementara di sisi lain pemerintah pun tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa masih banyak keluarga miskin sehingga mengijinkan anak-anak yang terpaksa harus bekerja. B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu : Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan? 1. Kegunaan praktis untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka menetapkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan dan untuk memberikan informasi dan menambah pemahaman serta kesadaran masyarakat terutama bagi pemberi kerja (pengusaha) khususnya terkait dengan perlindungan hukum pekerja anak. 2. Kegunaan teoritis untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan guna memberikan penambahan pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan terutama berkaitan dengan masalah yang diteliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Perlindungan Hukum Anak Pada Umumnya Perlindungan hukum selalu diartikan dengan konsep Rechtstaat atau konsep Rule Of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep Rechtstaat muncul pada abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule Of Law) yang dipelopori oleh A.V Dicey, yang lahir dalam ruangan sistem hukum Anglo Saxon, Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule Of Law sebagai berikut : a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy Of law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of Arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality Before The law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang (di negara lain) oleh undang-undang dasar serta keputusan-keputusan pengadilan. Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah di landasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum. Perlindungan hukum bagi rakyat, menurut Philipus M. Hadjon dibedakan atas 2 macam : a. Perlindungan hukum yang preventif Perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. b. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum represif dilakukan antara lain melalui peradilan hukum dan peradilan administrasi negara. Kedua macam perlindungan hukum di atas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia serta berlandaskan prinsip negara hukum. Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan bagi tiap-tiap warga negaranya, hal ini juga termasuk perlindungan terhadap hak anak yang juga merupakan hak asasi manusia. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, hak anak telah diatur. Menyebutkan setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 52 ayat (1)). Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan (ayat (2)). Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya (Pasal 53 ayat (1)). Setiap anak berhak untuk mendapatkan untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama

dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak tersebut (Pasal 58 ayat (1)). Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman (ayat 2)). Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya, mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti (Pasal 60 ayat (1)). Setiap anak berhak mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan niali-nilai kesusilaan dan kepatuhan (ayat (2)). Setiap anak berhak beristirahat, bergaul dengan anak yang sebayanya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan bakat, minat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya (Pasal 61). Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya (Pasal 61). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya (Pasal 64). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari bnerbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Dengan penjelasan, berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produktif, peredaran dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan (Pasal 65). Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 66 ayat (1)). Hukum mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak (ayat 2). Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum (ayat 3). Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya boleh dilaksanakan sebagai upaya terakhir (ayat 4). Setiap anak yang dirampas kebebasannya barhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan diri dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya (ayat 5). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum (ayat 7). Perlindungan anak juga telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Peraturan ini dikeluarkan dengan dasar pertimbangan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peranan yang strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bagsa dan negara di masa depan, anak jga kelak akan memikul tanggungjawab, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mensejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap

pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan dalam Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (angka 1). Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (angka 2). Pasal 2 menyatakan penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi : a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Perhargaan terhadap pendapat anak. Pasal 3 menyatakan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk mejamin terpenuhinya hakhak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Hak dan kewajiban anak juga diatur dalam Undang-Undang ini, diantaranya dalam Pasal 4 menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 6 menyatakan anak juga berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penemantaran; d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana di atas maka dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang terbuka untuk umum. d. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17).

Kewajiban dan tanggungjawab baik untuk pemerintah, masyarakat maupun keluarga dan orangtua juga diatur dalam Undang-undang ini. Bahwa Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan anak (Pasal 20). Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suatu agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/ atau mental.(Pasal 21). Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22). Negara dan Pemerintah menjamin perlindungan., pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23). Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25). Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua adalah : 1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. 2. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. 3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26). Penyelenggaraan perlindungan anak dapat dilaksanakan baik dalam sektor agama, kesehatan, pendidikan, sosial yang juga diatur dalam undang-undang ini. Perlindungan khusus dalam Pasal 59 menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 66 menyatakan perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang tereksploitasi tersebut dapat dilakukan melalui : a. Penyebarluasan dan/ atau sosialisasi ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual b. Pemantauan, pelaporan, pemberian sangsi dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak. Peran masyarakat adalah masyarakat dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. Peran masyarakat tersebut dilakukan oleh orang-perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa (Pasal 72). Pasal 77 mengatur mengenai ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tindakan :

a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami krugian, baik secara materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya atau b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, anak korban perdagangan dan anak korban kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 78). Pasal 80 memberikan ketentuan yaitu bagi setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (Tiga) tahun 6 (Enam) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (Tujuh Puluh Dua Juta Rupiah). a. Pekerja Anak 1. Pengertian Anak dan Pekerja Anak Menurut KUH Perdata bahwa orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali jikalau ia sudah kawin. Jka ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun. Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 (1973) pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Pekerja anak merupakan istilah yang lebih santun dari buruh anak. Namun sapaan yang lebih santun ini ternyata tidak mengurangi beban masalah yang dihadapi mereka, anak-anak yang terpaksa bekerja. Kondisi pekerja anak ini pun semakin terpuruk, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang menerpa negeri ini pada tahun 1997. Siapa yang disebut dengan pekerja anak masih menjadi perdebatan. Haryadi dan Tjandraningsih (1995) mengutip definisi pekerja anak dari Departemen tenaga Kerja dan Biro Pusat Statistik. Departemen Tenaga Kerja (sekarang menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi)

menggunakan istilah anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai pengganti istilah buruh anak. Sementara Biro Pusat statistik (sekarang badan Pusat statistik) memakai istilah anak-anak yang aktif secara ekonomi. Sedangkan ILO/IPEC (Organisasi Buruh Internasional/Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak) menyebutkan bahwa anak adalah anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu fisik, mental, intelektual, dan moral. Sementara itu, menurut Soetarso (1996) mengungkapkan pengertian pekerja anak yang lebih luas. Ia berpendapat bahwa pekerja anak adalah : 1. Anak yang dipaksa atau terpaksa bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau untuk keluarganya di sektor ketenagakerjaan formal yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga anak terhenti sekolahnya dan mengalami permasalahan fisik, mental, maupun sosial. Dalam profesi pekerjaan sosial, anak ini disebut mengalami perlakuan salah (abuse), dieksploitasi (exploited), dan di telantarkan (neglected). 2. Anak yang dipaksa, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau keluarganya di sektor ketenagakerjaan informal, di jalanan atau di tempat-tempat lain, baik yang melanggar peraturan peraturan perundang-undangan (khususnya di bidang ketertiban), atau yang tidak, baik yang masih sekolah maupun yang tidak lagi bersekolah. Anak ini ada yang mengalami perlakuan salah dan/atau dieksploitasi, ada pula yang tidak. Lebih lanjut, Soetarso (1996) menegaskan bahwa tidak dikategorikan sebagai pekerja anak adalah anak yang dibimbing oleh orang tua atau sanak keluarganya atau atas kesadaran sendiri membantu pekerjaan orang tua atau orang lain yang tidak diarahkan untuk mencari atau membantu mencari nafkah, tetapi untuk menanamkan atau memperoleh pengetahuan, keterlampilan, dan/atau sikap kewirausahaan sejak dini, anak tersebut masih bersekolah dan kegiatan tersebut tidak mengganggu prosos belajar di sekolahnya. b. Perkembangan Pekerja Anak Permasalahan anak dianggap sesuatu yang penting hingga membutuhkan perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh, tetapi di sisi lain, dalam realitasnya permasalahan anak, tindakan kekerasan dan penelantaraan anak masih belum dapat tertangani dengan baik. Masih terjadi kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein) yang dihadapi oleh anak Indonesia. Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya (Pasal 1 Convention On The Rights Of The Child). Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang buruk di Indonesia, tetapi keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh pemerintah Belanda. Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak zaman pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur sosial pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundangundangan lebih menitik beratkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus

ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda tersebut antara lain : a. Staatsblad Nomor 647 tahun 1925 yang intinya melarang anak dibawah umur 12 tahun untuk melakukan pekerjaan : a. Di pabrik pada ruangan tertutup dimana biasanya dipergunakan tenaga mesin ; b. Di tempat ruangan tertutup yang biasanya dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau lebih secara bersama-sama ; c. Pembuatan, pemeliharaan, perbaikan, dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan, dan bangunan serta jalan-jalan ; d. Pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran dan pemindahan barang baik di pelabuhan, dermaga dan golongan kapal maupun di stasiun tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan, ditempat penyimpanan dan gudang-gudang kecuali jika membawa dengan tangan. e. Larangan bagi anak untuk memindahkan barang berat di dalam atau untuk keperluan perusahaan. b. Staatsblad Nomor 87 (Ordonansi tahun 1926), melarang mempekerjakan anak di bawah umur 12 tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila ia bekerja dibawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai derjat ketiga. c. Staatsblad Nomor 341 (Regeringsverordering tahun 1930), melarang anak usia di bawah enam belas tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan di atas tanah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan diterbitkannya Ordonansi Nomor 9 tahun 1949 yang melarang anak bekerja pada malam hari, dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya undang-Undang Nomor 12 tahun 1948, yang melarang orang laki-laki maupun perempuan berumur 14 tahun ke bawah melaukukan pekerjaan. Ketentuan dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja yang melarang dengan tegas anak untuk menjalankan pekerjaan apa pun dan di tempat mana pun; kecuali yang tidak dalam rangka hubungan kerja. Penjelasan Pasal ini menerangkan, bahwa badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan. Anak yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Kerja ini adalah anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah. Dengan demikian maka anak-anak yang berusia 14 tahun kebawah tentunya harus sedang giat-giatnya belajar, bukan bekerja. Tugas para orang tuanya yang harus bekerja mencari nafkah dan biaya demi kelancaran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraannya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek pada saat itu dalam pelaksanaan perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja diatur dalam peraturan perundangundangan lainnya diantaranya adalah Undang-Undang nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Pada tahun 1987, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan peraturan menteri tnomor PER01/MEN/1987 tentang perlindungan bagi anak yang terpaksa bekerja yang menyatakan anak yang terpaksa bekerja adalah anak yang berumur di bawah 14 tahun karena alasan sosial ekonomi terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan baik untuk keluarga maupun memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak yang terpaksa bekerja boleh dipekerjakan kecuali sebagai berikut :

1. Di dalam tambang, lobang di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah; 2. Pekerjaan di kapal sebagai tukang api, atau tukang batu bara; 3. Pekerjaan di atas kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ayahnya atau sampai keuarga derajat ketiga; 4. Pekerjaan mengangkat barang-barang berat; 5. Pekerjaan yang berhubungan dengan alat produksi dan bahan-bahan berbahaya. Setelah itu, pada tahun 1994 pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan wajib belajar Pendidikan Dasar dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang pelaksanaan wajib belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 tahun sampai dengan 15 tahun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh Pendidikan Dasar. Dengan kebijakan wajib belajar belajar Pendidikan dasar secara tidak langsung diharapkan dapat mengurangi jumlah pekerja anak. Bahkan telah disahkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlinduingan Anak, dalam Pasal 48 Undang-Undang tersebut mengharuskan pemerintah untuk wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini anak-anak semakin terlantar dan menjamur serta tersebar pada perempatan jalan, tempat-tempat umum, terminal untuk menjadi pengemis, pengamen, pengedar koran, penjaja makanan bahkan sampai menjadi pengedar narkoba, tetapi pemerintah belum melakukan tindakan dan langkah-langkah untuk memberi perlindungan terhadap anak yang dalam keadaan terburuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang baik sebagai Hukum nasional maupun Hukum Internasional. Sejalan dengan diratifikasinya konvensi ILO Nomor 182 tentang usia minimum diperbolehkannya anak untuk bekerja, pemerintah menyusun rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan melibatkan berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional. Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2001. Rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan program aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) adalah : a. Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan penghambatan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pergerakan anak secara paksa atau wajib untuk di manfaatkan dalam konflik bersenjata. b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno. c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam bentuk : a. Anak-anak yang dilacurkan; b. Anak-anak yang bekerja di pertambangan; c. Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; d. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi; e. Anak-anak yang bekerja di jermal; f. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; g. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak; h. Anak yang bekerja di jalan; i. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga; j. Anak yang bekerja di industri rumah tangga; k. Anak yang bekerja di perkebunan; l. Anak yang bekerja pada penerbangan, pengolahan, dan pengangkutan kayu; m. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya. c. Pengaturan Pekerja Anak Pemerintah bersama legislatif telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal 1 Angka 26 memberikan pengertian bahwa anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun.. Batasan ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (saat ini sudah tidak berlaku lagi) yang memberikan pengertian anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun. Batas umur bekerja ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, menyebutkan usia minimum tidak boleh kurang dari usia wajib belajar yakni 15 tahun. Dengan demikian mengenai batas usia kerja ini terjadi kontradiktif dengan konsep anak dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menggunakan umur lebih tinggi yakni 18 tahun. Secara khusus pengaturan mengenai batasan umur pekerja anak diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, yang dalam Lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undangundang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan ketentuan larangan bagi siapapun untuk mempekerjakan atau melibatkan anak-anak dalam bentuk pekerjaan

terburuk. Namun mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dianggap pekerjaan terburuk tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam suatu Undang-Undang melainkan ditetapkan melalui sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (KEPMEN) Nomor 235/MEN/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 74 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2003, yang dalam Pasal 3 menetapkan usia 15 (lima belas) tahun atau lebih sebagai usia kerja anak, dan melarang anak usia dibawah 18 (delapan belas) tahun untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, atau moral mereka Perlindungan Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 angka 1 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pasal 64 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental sosialnya. Jadi pada dasarnya anak dibolehkan untuk bekerja karena dengan bekerja dapat melatih kemampuannya baik secara fisik, mental, maupun intelektualitasnya terkait dalam proses pengembangan diri menuju tahap kedewasaan. Namun hal tersebut perlu diberikan pembatasan bagi segala jenis pekerjaan yang boleh dilakukan oleh pekerja anak. Artinya ada pengaturan dan persyaratan bagi pemberi kerja atau pengusaha yang mempekerjakan pekerja anak. Pengaturan terhadap tenaga kerja anak diatur dalam Pasal 68-75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 68 UU No.13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi bangsa. Namun demikian ketentuan tersebut dikecualikan dalam Pasal 69 ayat (1) bahwa bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pasal 69 ayat (2) memberikan ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali ; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ; e. Keselamatan dan kesehatan kerja ; f. Adanya hubungan kerja yang jelas ; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.(pasal 70 ayat 1). Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 tahun (ayat 2). Pekerjaan

sebagaimana dimaksud dilakukan dengan syarat : a. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (ayat 3) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71 ayat 1). Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Dibawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapa pun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintsh berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. 2. Sejarah Pengaturan Pekerja Anak Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang buruk di Indonesia, tetapi keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh pemerintah Belanda. Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak zaman pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur sosial pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih menitik beratkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pada waktu pemerintahan Belanda antara lain : 1. Staatsblad Nomor 647 tahun 1925 yang intinya melarang anak dibawah umur 12 tahun untuk melakukan pekerjaan : a. Di pabrik pada ruangan tertutup dimana biasanya dipergunakan tenaga mesin ; b. Di tempat ruangan tertutup yang biasanya dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau

lebih secara bersama-sama ; c. Pembuatan, pemeliharaan, perbaikan, dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan, dan bangunan serta jalan-jalan ; d. Pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran dan pemindahan barang baik di pelabuhan, dermaga dan golongan kapal maupun di stasiun tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan, ditempat penyimpanan dan gudang-gudang kecuali jika membawa dengan tangan. e. Larangan bagi anak untuk memindahkan barang berat di dalam atau untuk keperluan perusahaan. d. Staatsblad Nomor 87 (Ordonansi tahun 1926), melarang mempekerjakan anak di bawah umur 12 tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila ia bekerja dibawah pengawasa ahlinya atau seorang keluarga sampai derajat ketiga. e. Staatsblad Nomor 341 (Regeringsverordering tahun 1930), melarang anak usia di bawah enam belas tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan di atas tanah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan diterbitkannya Ordonansi Nomor 9 tahun 1949 yang melarang anak bekerja pada malam hari, dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948, yang melarang orang laki-laki maupun perempuan berumur 14 tahun ke bawah melakukan pekerjaan. Ketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja yang melarang dengan tegas anak untuk menjalankan pekerjaan apa pun dan di tempat mana pun, kecuali yang tidak dalam rangka hubungan kerja. Penjelasan Pasal ini menerangkan, bahwa badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan. Anak yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Kerja ini adalah anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah. Dengan demikian maka anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah tentunya harus sedang giat-giatnya belajar, bukan bekerja. Tugas para orang tuanya yang harus bekerja mencari nafkah dan biaya demi kelancaran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraannya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek pada saat itu dalam pelaksanaan perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dalam Pasal 1 menyatakan bahwa yang disebut dengan kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah suatu usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Anak menurut Undang-Undang ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pada tahun 1987, menteri tanaga kerja mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor PER01/MEN/1987 tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Terpaksa Bekerja yang menyatakan anak yang terpaksa bekerja adalah anak yang berumur di bawah 14 tahun karena alasan sosial ekonomi terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan baik untuk keluarga maupun memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak yang terpaksa bekerja boleh dipekerjakan kecuali sebagai berikut : 1. Di dalam tambang, lobang di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah;

2. Pekerjaan di kapal sebagai tukang api, atau tukang batu bara; 3. Pekerjaan di atas kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ayahnya atau sampai keluarga derajat ketiga; 4. Pekerjaan mengangkat barang-barang berat; 5. Pekerjaan yang berhubungan dengan alat produksi dan bahan-bahan berbahaya. Pada tanggal 20 November 1989 disahkannya Konvensi Tentang Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB mengakui akan konvensi tersebut dan wajib menuangkan ketentuan yang ada dalam konvensi ke dalam peraturan nasional. Pemerintah Indonesia menuangkannya dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi ini mengakui bahwa anak untuk perkembangan keperibadiannya sepenuhnya yang penuh dan serasi, harus tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian. Mempertimbangkan bahwa anak harus dipersiapkan seutuhnya untuk hidup dalam suatu kehidupan individu dan masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan, persamaan dan solidaritas. Mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam deklarasi mengenai hak-hak anak, anak karena ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum maupun juga sesudah kelahirannya. Konvensi ini menyatakan dalam Pasal 1 bahwa anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Pasal 2 menegaskan bahwa negara-negara pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apapun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak. Kemudian pada tahun 1994 pemerintah mengeluarkan kebijakan wajib belajar Pendidikan Dasar dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 tahun sampai dengan 15 tahun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh Pendidikan Dasar. Dengan kebijakan wajib belajar pendidikan dasar secara tidak langsung diharapkan dapat mengurangi jumlah pekerja anak. Pada tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Hal ini karena Indonesia sebagai anggota PBB dan organisasi ketenagakerjaan internasional atau international labour organization (ILO) menghargai, menjunjung tinggi dan berupaya menerapkan keputusan-keputusan lembaga internasional dimaksud. Berbicara mengenai ILO, bahwa organisasi ini merupakan organisasi perburuhan internasional yang merupakan organisasi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang didirikan pada tanggal 11 April 1919, bersamaan dengan dibuatnya perjanjian perdamaian yang disebut dengan Perjanjian Versailles. Kantor ILO berpusat di Geneva, Swiss. Pada tahun 1946 setelah perang dunia II berakhir, ILO berubah menjadi salah satu badan khusus perserikatan bangsa-bangsa, yakni menjadi bagian dari dewan ekonomi dan sosial (economic and social council), yang diakui secara internasional sebagai salah satu organisasi yang bergerak di

bidang sosial dan perburuhan. Prinsip dan tujuan berdirinya ILO adalah bahwa ILO berdiri atas prinsip filosofi bahwa perdamaian menyeluruh dan abadi hanya dapat dicapai bila didasarkan pada keadilan sosial. Unsur penting dalam keadilan sosial antara lain penghargaan atas hak asasi manusia, standar hidup yang layak, kondisi kerja yang manusiawi, kesempatan kerja dan keamanan ekonomi. Tujuan berdirinya ILO adalah untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat, khususnya kaum pekerja/buruh. Hal ini sesuai dengan mukadimah konstitusi international labour organiszation (ILO) yang menyebutkan bahwa : a. Pekerja/buruh bukan barang dagangan; b. Kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat; c. Semua manusia berhak mengenyam kehidupan yang layak, baik spiritual maupun material dalam suasana kebebasan. d. Wakil-wakil pekerja, pengusaha, dan pemerintah memiliki standar yang sama untuk mengambil keputusan dalam meningkatkan kemakmuran. Adapun fungsi ILO disamping sebagai pembuat standar perburuhan internasional, juga melaksanakan program operasional dan pelatihan-pelatihan perburuhan. Sasaran kegiatan ILO diarahkan untuk terciptanya keadilan dan hak asasi manusia pekerja/buruh, perbaikan kondisi kehidupan dan pekerjaan serta peningkatan kesempatan kerja. Untuk itu tugas utama ILO adalah : 1. Terciptanya perlindungan hak-hak pekerja/buruh; 2. Memperluas lapangan pekerjaan; 3. Meningkatkan taraf kehidupan para pekerja/buruh. Adapun manfaat menjadi anggota ILO adalah : a. Meningkatkan wawasan di bidang ketenagakerjaan b. Memperluas akses kerja sama bilateral sesama anggota ILO c. Mendapat bantuan kerjasama teknis d. Memperoleh pedoman standar ketenagakerjaan internasional e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Telah disebutkan diatas bahwa fungsi ILO adalah merumuskan standar perburuhan/ketenagakerjaan internasional. Standar tersebut berupa konvensi dan rekomendasi yang menetapkan standar minimum. Konvensi ILO adalah perjanjian internasional yang dibuat untuk diratifikasi oleh negara-negara anggota untuk menjadi hukum positif. Jadi makna ratifikasi disini adalah menjadikan hukum internasional sebagai hukum nasional, sehingga setiap negara yang sudah meratifikasi suatu konvensi harus mempersiapkan perangkat hukum sesuai dengan ketentuan konvensi. Sedangkan rekomendasi ILO adalah instrumen ketenagakerjaan yang bersifat tidak mengikat, yang menetapkan pedoman sebagai informasi kebijakan nasional. Biasanya membahas subjek yang sama dengan konvensi, rekomendasi ini tidak untuk diratifikasi. Indonesia telah meratifikasi 15 (lima belas) buah konvensi, 8 (delapan) buah diantaranya menyangkut hak asasi manusia (HAM). Kelima belas konvensi termasuk konvensi ILO Nomor 138 tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 dan konvensi Nomor 182 tahun 1999 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.yang diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2000.

Dalam konvensi ILO Nomor 138 tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang disetujui pada konfrensi ketenagakerjaan internasional kelima puluh delapan tanggal 26 juni tahun 1973 di Jenewa merupakan salah satu konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah merativikasi untuk menetapkan batas usia minimum untuk diperbolehkannya bekerja seorang anak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) konvensi, Indonesia melampirkan pernyataan (declaration) yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah republik Indonesia adalah usia 15 (lima belas) tahun. Adapun alasan Indonesia mengesahkan konvensi ini bahwa Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu Indonesia bertekad melindungi hak dasar anak sesuai dengan konvensi ini, maka dalam hal ini Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak. Hal ini juga didorong dengan alasan bahwa dalam pengamalan pancasila dan penerapan peraturan perundang-undangan yang masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan hak anak. Oleh karena itu pengesahan konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan anak, mengganggu pendidikan serta mengganggu perkembangan fisik dan mental anak. Secara khusus pengaturan mengenai batasan umur pekerja anak yang telah diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, yang dalam Lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO Nomor 182. Sejalan dengan diratifikasinya konvensi ILO Nomor 138 tentang usia minimum diperbolehkannya anak untuk bekerja tersebut, pemerintah menyusun rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan melibatkan berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional. Rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan program aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kesulitan yang mendasar dalam merencanakan kegiatan atau program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah tidak adanya data yang meyakinkan semua pihak tentang jumlah dan besaran masalah pekerja anak pada pekerjaan

terburuk. Hal ini tentunya dapat dimengerti, mengingat kondisi geografis, jenis pekerjaan maupun bentuk pekerjaan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) adalah : a. Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan penghambatan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pergerakan anak secara paksa atau wajib untuk di manfaatkan dalam konflik bersenjata. b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno. c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi dalam bentuk : a. Anak-anak yang dilacurkan; b. Anak-anak yang bekerja di pertambangan; c. Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; d. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi; e. Anak-anak yang bekerja di jermal; f. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; g. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak; h. Anak yang bekerja di jalan; i. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga; j. Anak yang bekerja di industri rumah tangga; k. Anak yang bekerja di perkebunan; l. Anak yang bekerja pada penerbangan, pengolahan, dan pengangkutan kayu; m. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya. Tantangan dalam program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu : 1. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat, dan terkini tentang pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan dampaknya bagi anak. 2. Belum tersedianya informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 3. Terbatasnya kapasitas dan pengalaman Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai pihak lainnya dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 4. Lemahnya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan

terburuk untuk anak baik di tingkat Pusat maupun Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota). 5. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat dalam penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 6. Belum memadainya perangkat hukum dan penegakannya yang diperlukan dalam aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 7. Belum adanya kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak.. Konvensi juga mewajibkan kepada negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini untuk menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dalam rangka melaksanakan program aksi yang ditujukan untuk menghapus pekerjaan terburuk untuk anak, pada tahun 2002 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak yang ditujukan sebagai pedoman bagi pelaksanaan Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. a. Program Aksi Kebijakan nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bertujuan untuk mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk utnuk anak yang ada di Indonesia. Adapun kebijakan ini memiliki visi dan misi yaitu: b. Visi : Anak sebagai generasi penerus bangsa terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sehingga dapat tumbuh kembang secara dan optimal baik fisik, mental, sosial maupun intelektualnya. c. Misi : a. Mencegah dan menghapus segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondange), dan perhambaan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; b. Mencegah dan menghapus permanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, produksi pornografi, atau untuk pertunjukan porno; c. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram atau terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional; d. Mencegah dan menghapus perlibatan anak dalam produksi atau penjualan bahan peledak, penyelaman air dalam, pekerjaan-pekerjaan di anjungan lepas pantai, di dalam tanah, pertambangan serta penghapusan pekerjaan lain yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. d. Kelompok sasaran: a. Semua anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk; b. Semua pihak yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk melakukan bentuk pekerjaan terburuk. e. Kebijakan nasional: Mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara bertahap. f. Strategi: Kebijakan nasional dilaksanakan dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh dengan strategi :

1) Penemuan prioritas penghapusan bentuk pekerjaan terburuk secara bertahap Penentuan prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan besaran dan kompleksitas masalah pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk serta berbagai sumber yang tersedia untuk melaksanakan program penghapusannya. 2) Melibatkan semua pihak di semua tingkatan Persoalan pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk merupakan masalah bansa. Tidak ada satu pihakpun yang merasa mampu menyelesaikan masalah pekerja anak secara sendirian. Oleh karena itu perlibatan semua pihak dalam program penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan kunci keberhasilan. 3) Mengembangkan dan memanfaatkan secara cermat potensi dalam negeri Mengingat besarnya sumber daya yang diperlukan dalam penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka penggalian, pengembangan, dan pemanfaatan secara cermat berbagai sumber yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan daerah meupun potensi masyarakat perlu dilakukan secara maksimal 4) Kerjasama dan bantuan teknis dengan berbagai negara dan lembaga internasional Memperhatikan berbagai keterbatasan sumber dan pengalaman dalam pelaksanaan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka kerjasama dan batuan teknis dari berbagai negara dan lembaga internasional diperlukan. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran rencana aksi nasional yaitu penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak maka diadakan program aksi. Untuk lebih menunjang pencapaian program-program aksi tersebut, rencana aksi dibagi menjadi beberapa bagian : 1. Tahap pertama, sasaran yang ingin dituju setelah 5 (lima) tahun yang pertama; 2. Tahap kedua, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun; 3. Tahap ketiga, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (dua puluh) tahun. 1. Tahapan program a. Tahap pertama Sasaran yang ingin dicapai setelah 5 tahun adalah : a. Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Terpetakannya permasalahan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan upaya penghapusannya; c. Terlaksananya program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan prioritas pekerja anak di anjungan lepas pantai dan penyelaman air dalam, pekerja ank yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak di pertambangan, pekerja anak di industri alat kaki, pekerja anak di industri peredaran narkotika, psikotropika prekursor, dan zat adiktif lainnya. Anak merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Karena itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus segera dihentikan tanpa kecuali. Namun dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan tega memperlakukan anak untuk kepentingan bisnis yaitu dengan melakukan trafiking. Trafking merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko kematian. Gejala

ini berkembang dan berubah dalam bentuk kompleksitasnya namun tetap merupakan perbudakan dan perhambaan. Di Indonesia, korban-korban trafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran serta bekerja di tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah. Secara umum dapat diidentifikasi bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya trafficking anak/perempuan antara lain karena : b. Kemiskinan, menurut data dari BPS adanya kecenderungan jumlah penduduk miskin terus meningkat. c. Ketenagakerjaan, sejak krisis ekonomi tahun 1998 angka partisipasi anak bekerja cenderung pula terus meningkat. d. Pendidikan, survei sosial ekonomi menyatakan bahwa semakin meningkatnya anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya. e. Migrasi, menurut KOPBUMI ( Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia)semakin meningkatnya buruh migran ke luar negeri yang sebagian besar menjadi korban trafiking. f. Kondisi keluarga, karena pendidikan rendah dan keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif antara lain merupakan titik lemah ketahanan keluarga. g. Sosial budaya, anak sekolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tuanya, ketidak adilan gender atau posisi perempuan dan anak yang dianggap lebih rendah yang masih tumbuh di tengah kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. h. Media massa, masih belum memberikan perhatian penuh terhadap berita dan informasi yang utuh dan lengkap tentang trafiking dan belum memberikan kontribusi yang optimal pula dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. 3. Perlindungan Hukum Pekerja Anak Perlindungan hukum selalu diartikan dengan konsep Rechtstaat atau konsep Rule Of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep Rechtstaat muncul pada abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule Of Law) yang dipelopori oleh A.V Dicey, yang lahir dalam ruangan sistem hukum Anglo Saxon, Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule Of Law sebagai berikut : a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy Of law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of Arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality Before The law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang (di negara lain) oleh Undang-Undang Dasar serta keputusan-keputusan pengadilan. Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.

Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Ketentuan ini ditujukan untuk perlindungan keselamatan pekerja anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan dari adanya alat produksi atau pekerjaan yang cenderung kurang bisa dikendalikan anak-anak atau juga harus dihindari dari sentuhan anak-anak. Tentunya hal ini ditujukan untuk meminimalisir adanya bahaya yang ditimbulkan dari ketidakcakapan pekerja anak terhadap alat-alat produksi atau pekerjaan yang ada di tempat pekerja dewasa. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan Pasal 72 tersebut ialah faktor mental dan sosial anak, saat pekerja anak bergabung dengan komunitas pekerja dewasa secara mendasar pola komunikasi dan sosialisasi pekerja dewasa berbeda dengan anak dan berpotensi memberikan dampak buruk terhadap anak melalui pola kehidupan sosial yang belum seharusnya diperoleh oleh anak. Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja

DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur : Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak. Penerbit Restu Agung, Jakarta, 2007 Asikin, Zainal, dkk.. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002 Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994 Harahap, Zairin. Huikum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Handayaningrat,Soewarno. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Management, Gunung Agung, Jakarta. 1980 H.R, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. UII Press. Yogyakarta. 2003 Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Penerbit Nuansa. Yogyakarta, 2006 Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003 Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Banyumedia Publishing, Yogyakarta. 2006 J.S, Payaman, dalam Lalu Husni, SH, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (edisi revisi), PT. Raja Grafindo, Jakarta. 2003 Manulang, Sendjun. Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 2001 Marbun, S.F. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. Liberty. Yogyakarta. 2001 Rusli, Hardijan. Hukum Ketenagakerjaan 2003. Ghalia Indonesia., Jakarta, 2003 Soemitro Hanitijo, Ronny. Metode Penelitian Hukum. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta. 1992 Soepomo, Imam. Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1987 Stefanus, Kotan Y. Mengenai Peradilan Kepegawaian di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Penerbit PT. Intermasa. Jakarta, 2003 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjajaran, Bandung, 1960 Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 Tentang Usia Minimum Diperbolehkan Untuk Bekerja Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafiking) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/Men/2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 115/Men/VII/2004 Tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat dan Minat Data Internet : Indomedia.24 Juli 2006. Http.www.Indomedia.com/Menguak Tabir Permasalahan Pekerja Anak. Indonesian Reports. 1 Juni 2005. Http//hrw.Indonesian Reports.org/Ringkasan Pekerja Rumah Tangga Anak Nakertrans. 14 Januari 2007. Http.www.Nakertrans.Go.Id/Kondisi Tenaga Kerja Pemuda Wikipedia. 5 Januari 2007 /http://id.wikipedia.org/ Pekerja Anak Sumber-Sumber Lain : Kunarti, Siti. Materi Kuliah Hukum Perburuhan. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. 2004 Kupita, Weda. Materi Kuliah Hukum Administrasi Negara. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. 2003 Pamudji, Kadar. Materi Kuliah Hukum Administrasi Negara. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. 2003 http://blog.unsri.ac.id

Вам также может понравиться