Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dahulu hubungan dokter dengan pasienya lebih bersifat Paternalistik, dimana pasien taat dan menurut saja kepada dokter tanpa bertanya lagi. Pada masa kini hubungan seperti itu sudah tidak mendapat tempat lagi karena masyarakat sudah semakin sadar atas hak-haknya untuk menentukan nasibnya sendiri (the right of self determination). Di satu pihak informasi kesehatan menjadi hak asasi seorang pasien dan di lain pihak memberikan informasi secara benar kepada pasien merupakan kewajiban pokok seorang dokter yang sedang menjalankan profesinya. Dari hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pasien maupun dokter sering berkaitan dengan masalah hukum, etika, moral, serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang sering kali menjadi masalah besar bagi profesi dokter dimtambah dengan turut campurnya pihak ketiga yang belum tentu tau dan mengerti mengenai permasalahan yang terjadi antara dokter dan pasien. Masalah itu antara lain adalah malpraktek medik dan kelalaian medic, yang sampai saat ini masih belum banyak dimengerti oleh masyarakat, media, pihak hukum, maupun kalangan profesi dokter itu sendiri.1

1.2 Perumusan Masalah Pembahasan referat ini dibatasi pada perbedaan antara malpraktek medik dan kelalaian medik berdasarkan cara pembuktiannya.

1.3 Tujuan Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca tentang perbedaan antara malpraktek medic dan kelalaian medic berdasarkan cara pembuktiannya.

1.4 Metode Penulisan Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan Penulisan referat ini diharapkan akan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman bagi penulis dan pembaca tentang perbedaan antara malpraktek medic dan kelalaian medic berdasarkan cara pembuktiannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

Hubungan dokter dan pasien Permulaan sejarah peradaban umat manusia, sudah dikenal hubungan

kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan transaksi terapeutik2. Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Sedangkan objek dari perjanjian ini adalah upaya atau terapi untuk menyembuhkan pasien. Bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka pihak lain dapat menuntut atau menggugat pihak lainnya. 2,3,4,5 Dalam hubungan terapeutik, berlaku asas-asas hubungan terapeutik yang mencakup, yaitu:4 a. Asas konsensual Berdasarkan azas ini maka masing-masing pihak harus menyatakan

persetujuannya. Dengan kata lain, dokter atau rumah sakit juga harus menyatakan persetujuannya, baik secara eksplisit (misalnya secara lisan menyatakan sanggup) maupun secara emplisit (misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menjual karcis). Pernyataan kesanggupan itu tidak harus disampaikan sendiri oleh dokter tetapi dapat disampaikan oleh pegawainya. b. Azas itikad baik Itikad baik (utmost of good faith) merupakan azas yang paling utama dalam hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Tanpa disertai adanya itikad baik maka hubungan terapeutik juga tidak sah menurut hukum. c. Azas bebas Para pihak yang mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual bebas menentukan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing, sepanjang hal ini menjadi kesepakatan semua pihak, termasuk bentuk perikatannya. Hanya saja perlu disadari dalam hubungan terapeutik adalah bahwa upaya medik itu penuh dengan uncertainty

dan hasilnya tidak dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu perlu dipikirkan secara masak-masak sebelum memberikan garansi kepada pasien. d. Azas tidak melanggar hukum Meskipun para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, namun tidak boleh melanggar hukum. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis dan dokter pun setuju, maka hal ini tidak boleh dianggap sebagai hubungan terapeutik. Kesepakatan seperti itu harus dipandang sebagai pemufakatan jahat yang justru dapat menyeret dokter serta pasien ke meja hijau. Karena bukan merupakan hubungan kontraktual makan dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian yang terjadi atas dasar wanprestasi jika seandainya timbul kerugian pada pasien akibat kelalaian dokter ketika melakukan aborsi. e. Azas kepatutan dan kebiasaan Dalam hukum perdata dinyatakan bahwa para pihak yang telah mengadakan perikatan, selain harus tunduk pada apa yang telah disepakati, juga pada apa yang sudah menjadi kebiasaan dan kepatutan. Kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran akan sedikit membedakan hubungan terapeutik dengan hubungan kontraktual lainnya, seperti misalnya dalam hal pemutusan hubungan secara sepihak oleh pihak pasien mengingat hubungan tersebut merupakan hubungan kepercayaan sehingga sudah sepatutnya jika pasien dapat memutuskan kapan saja jika kepercayaannya kepada dokter hilang.

Konsekuensi hukum yang timbul akibat disepakatinya hubungan terapeutik antara dokter dan pasien adalah timbulnya hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Hak dan kewajiban masing-masing adalah sebagai berikut: a. Hak pasien (1) Hak primer Hak memperoleh pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya. (2) Hak sekunder Hak memperoleh informasi medik tentang penyakitnya Hak memperoleh informasi tentang tindakan medik yang akan dilakukan

oleh dokter Hak memutuskan hubungan kontraktual setiap saat (sesuai azas kepatutan dan kebiasaan) Hak atas rahasia kedokteran Hak atas surat keterangan dokter bagi kepentingan pasien yang bersifat non yustisial Hak atas second opinion

b. Hak dokter (1) Hak untuk memperoleh imbalan yang layak (2) Hak untuk memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujurjujurnya demi kepentingan diagnosis.

c. Kewajiban pasien (1) Kewajiban memberi informasi yang sejujur-jujurnya dan selengkaplengkapnya bagi kepentingan diagnosis dari terapi (2) Kewajiban mematuhi semua nasihat dokter (3) Kewajiban memberikan imbalan yang layak

d. Kewajiban dokter (1) Kewajiban primer Memberikan pelayanan medik yang benar dan layak, berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya. (2) Kewajiban sekunder Memberikan informasi medik tentang penyakit pasien Memberikan informasi tentang tindakan medik yang akan dilakukan Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memutuskan apakah ia akan menerima atau menolak tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter Memberikan kepada pasien untuk mendapatkan second opinion Menyimpan rahasia kedokteran

Memberikan surat keterangan dokter

Pada awalnya hubungan hukum antara dokter dan pasiennya ini bersifat hubungan vertikal atau hubungan paternalistik, dimana dokter dianggap paling superior (father know best). Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.3 Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada pasien.3 Sebaliknya, dokter berdasarkan prinsip father knows best dalam hubungan paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai bapak yang baik, yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.3 Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.3

Hubungan ini melahirkan aspek hukum horisontal kontraktual yang bersifat inspanningsverbintenis yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.3 Suatu tindakan medik yang dilakukan dapat mendatangkan dua akibat :13 1. Akibat positif, dimana tindakan yang dilakukan berhasil mencapai tujuan yang diharapkan dan pasien pulang dalam keadaan sembuh. 2. Akibat negative, yang sama sekali tidak diharapkan ataupun tidak terduga terjadinya.

Secara umum, akibat negative dari tindakan medis dapat timbul karena dua hal : 1. Karena kelalaian/kesalahan dokter Akibat yang disebabkan oleh kelalaian/kesalahan dokter dapat diperinci sebagai berikut : a. Karena suatu tindakan sengaja yang dilarang oleh undang-undang. Perbuatan ini menurut hukum termasuk pada golongan dolus karena ada kesengajaan terhadap perbuatan itu (delicta commissionis). Contohnya adalah melakukan tindakan abortus tanpa indikasi medik ataupun mengeluarkan surat keterangan sakit yang tidak benar. b. Karena kelalaian. Perbuatan ini disebut sebagai delicta ommissionis atau melanggar suatu peraturan pidana karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sehingga menimbulkan kerugian bagi pasien. Kelompok ini paling banyak terjadi. 2. Bukan kesalahan dokter Peristiwa atau akibat merugikan pasien yang terjadi bisa dikarenakan sebab-sebab lain. Jenis penyakit, beratnya penyakit, ada tidaknya komplikasi, usia pasien dan daya tahan tubuh pun berbeda-beda. Demikian pula tingkat kecerdasan pasien untuk segera pergi memeriksakan diri ke dokter jika dirasakan sesuatu.

Adapun penyebabnya misalnya bisa terjadi karena : a. Tingkat penyakit yang sudah berat (terlambat dibawa ke dokter atau rumah sakit). Hal ini bisa terjadi, karena masyarakat serng menunda-nunda pemeriksaan. Bisa karena rasa takut atau bisa juga jarena alasan lain, misalnya factor keuangan. b. Reaksi yang berlebihan dari tubuh pasien itu sendiri yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Misalnya timbulnya syok anafilaktik pada waktu diberikan suntikan anaestesi. Jika timbul dan sudah diberikan antinya tetapi tidak berhasil, dokter tida dapat dipersalahkan karena tidak ada unsur kelalaian. Akibatnya timbul karena pasien hipersensitif terhadap obat suntikan tersebut. c. Ketidakterusterangan pasien atau kurang menceritakan seluruhnya apa yang dirasakan olehnya, sehingga diagnosis dan terapi yang diberikan meleset. d. Pasien tidak menuruti apa yang dinasehati oleh dokter sehingga bisa menimbulkan akibat yang buruk dan fatal (contributory negligence). Misalnya dilarang meminum obat-obat ramuan yang keras berbarengan dengan obat yang diberika dokter.

Dalam melakukan profesi medik, seorang dokter harus memenuhi dua tanggung jawab utama yaitu :12 a. Informed Consent atau Persetujuan/Izin Tindakan Medik (Pertindik) b. Standar Profesi Medik (SPM) Menurut Leenen, SPM dan informed consent merupakan dua hal pokok yang dapat menghilangkan suatu sifat bertentangan dengan hukum terhadap suatu tindakan ataupun perbuatan medik. Pelanggaran kedua hal tersebut dapat berujung tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata. Sebagai contoh, apabila A melukai B maka tergolong sebagai penganiayaan merut pasal 351 KUHP, demikian pula apabila dokter A melukai B, hal tersebut tetap tergolong penganiayaan. Hal ini tidak berlaku lagi apabila : 1. Orang yang dilukai memberikan persetujuan 2. Tindakan tersebut berdasrkan indikasi medik tertentu dan ditujukan untuk sasaran atau tujuan tertentu 3. Tindakan tersebut dilakukan menurut kaidah ilmu kedokteran.

Dengan pemenuhan ketiga unsur tersebut maka tindakan penganiayaan pada pasal 351 KUHP tadi dapat dinetralkan dan tindakan medik (diagnostic maupun terapeutik) tidak dikategorikan sebagai penganiayaan. Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah lege artis, yang pada hakikatnya mengacu pada tidakan sesuai SPM termasuk dalam aspek hukumnya. Menurut Leenen, SPM minimal meliputi : 1. Bekerja secara teliti, cermat dan hati-hati 2. Sesuai ukuran medis 3. Sesuai kemampuan rata-rata dibanding dokter dari kategori keahlian medis yang sama 4. Dalam situasi yang sebanding 5. Dengan sarana dan upaya yang memenuhi perbandingan wajar dibanding dengan tujuan konkret tindak medik tersebut.

II.

Aspek Hukum Hubungan Dokter dan Pasien Dokter dan pasien merupakan 2 subjek hukum yang keduanya membentuk hubungan medis dan hubungan hukum. Pelaksanaan keduanya diatur dalam peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya.6 Hubungan hukum antara dokter dan pasien ada 2 macam, yaitu:6 a. Hubungan karena kontrak (transaksi terapeutik) b. Hubungan karena Undang-Undang

Pada dasarnya hubungan hukum antara dokter dan pasien ini bertumpu pada dua macam hak asasi manusia yang dijamin dalam dokumen maupun konvensi internasional. Kedua macam hak tersebut adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak atas informasi (the right to information). Kedua hak dasar tersebut bertolak dari hak atas keperawatan kesehatan (the right to

health care) yang merupakan hak asasi individu (individual human rights). Dokumen internasional yang menjamin kedua hak tersebut adalah The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, dan The United Nations International Covenant on Civil and Political right tahun 1966.2 Selain itu, dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

756/MENKES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan Jasa di

Bidang Kesehatan, berarti UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dapat diberlakukan pada bidang kesehatan.6 UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mempunyai 2 sasaran pokok, yaitu :6 1. Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha (publik atau privat) barang dan atau jasa; 2. Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab

Untuk mengetahui apakah pasien dapat disebut sebagai konsumen dan pemberi pelayanan kesehatan (dokter) sebagai pelaku usaha, kita harus mengetahui pengertian konsumen dan pelaku usaha berdasarkan UUPK. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di sini yaitu konsumen akhir, sedangkan produk berupa barang, mis : obat-obatan, suplemen makanan, alat kesehatan, dan produk berupa jasa, mis.: jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter, dokter gigi, jasa asuransi kesehatan.6 Untuk mengetahui, apakah profesi pemberi pelayanan kesehatan (dokter) merupakan pelaku usaha atau bukan maka kita harus melihat UU No. 2 /1992 tentang Kesehatan, Black Law Dictionary, dan WTO / GATS bidang kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan. Sedangkan dalam Black Law Dictionary dinyatakan : Business (kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi) meliputi: employment, occupation, profession, atau commercial activity engaged in / or gain or livelihood (segala kegiatan untuk mendapatkan keuntungan / mata pencaharian). Selain itu, posisi bidang kesehatan menurut WTO / GATS menyatakan antara lain bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini termasuk dalam sector jasa bisnis, seperti tampak berikut :6 SEKTOR KESEHATAN : hospital services

other human health services social services other

Sektor jasa bisnis : Profesional services: Medical and dental services Physiotherapis nurse and midwife

Dengan berlakunya UUPK diharapkan posisi konsumen sejajar dengan pelaku usaha, dengan demikian anggapan bahwa konsumen merupakan raja tidak berlaku lagi mengingat antara konsumen dan pelaku usaha tidak hanya mempunyai hak namun juga kewajiban, sebagai berikut:6 a. Hak konsumen kesehatan (1) Berdasarkan UU No.8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan Memilih informasi yang benar, jelas, dan jujur Didengar pendapat dan keluhannya Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian

(2) Berdasarkan UU No.23/1992 tentang Kesehatan Informasi Memberikan persetujuan Rahasia kedokteran Pendapat kedua (second opinion)

b. Kewajiban konsumen

Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur Beritikad baik Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati Mengikuti upaya penyelesaian hukun sengketa perlindungan konsumen secara patut.

c. Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan Berdasarkan UU NO. 23/1992 tentang kesehatan (1) Hak: Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya (2) Kewajiban Mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien

2.3 Malpraktek Medis 2.3.1 Definisi Malpraktek Malpraktek berasal dari kata mal yang artinya salah dan praktek yang artinya tindakan. Jadi secara harfiah malpraktek berarti tindakan yang salah. Dengan langsung digunakan ungkapan malpraktek (medis) oleh pengacara, LSM, dan pers pada setiap kasus klinik dengan hasil yang tidak sesuai harapan, opini publik serta secara apriori diarahkan, bahwa penyebab kasus tertentu adalah kesalahan dokter dan dokter serta rumah sakit harus dituntut.8 Malpraktek sebenarnya adalah istilah umum yang tidak hanya ditujukan untuk dunia medis. Dewasa ini belum ada keseragaman mengenai istilah malpractice. Didalam bahasa Inggris malpraktek disebut malpractice yang berarti wrong doing atau neglect of duty. Sedangkan dalam bahasa Belanda malpraktek dikenal dengan istilah Kunstfout, yang berarti tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja akan tetapi ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli dalam dunia medis yang mengakibatkan sesuatu yang fatal. 8 Di Indonesia berbagai pihak ada yang menggunakan istilah malapraktek, malpraktek, malapraktik, malpraktik, marapraktek, perkara tindak pidana, dan

sebagainya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua terbitan Balai Pustaka, dirumuskan bahwa malapraktek adalah praktek kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat, menyalahi Undang-Undang atau Kode Etik.8 Menurut Presiden World Medical Association (WMA) periode 2006-2007, Dr. Nachiappan Arumugam, MBBS, FAMM, FRCP, malpraktik medis merupakan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan, termasuk dokter, perawat serta mahasiswa kedokteran.7 Istilah malpraktek juga terdapat pada Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia Oleh J. S. Badudu yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, dimana didalamnya dirumuskan bahwa malpraktek, ialah praktek dokter yang salah dan menyalahi undang-undang serta kode etik kedokteran. 8 Malpraktek medis adalah isu medico-legal, tentang kerugian atau cidera yang dialami pasien dan disebabkan oleh atau terkait dengan sistem pelayanan kesehatan ditempat ia mendapat asuhan klinis. Malpraktek juga dapat dikatakan suatu tindakan dokter yang tidak sesuai dengan standard perawatan, kurang mampu atau kurang terampil, kelalaian, sehingga secara langsung menimbulkan kerugian.8 Blacks Law Dictionary, memberikan perumusan sebagai berikut:8 Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practise, or illegal or immoral conduct. Malpraktek adalah setiap sikap-tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap-tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan

tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan kepada mereka itu. Termasuk didalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk, atau ilegal atau sikap imoral. Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran atau ketidak kompetenan yang tidak beralasan. 8 Dalam tata hukum Indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada UndangUndang Kesehatan yang lama No. 23 tahun 1992 yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter.9 Stedmans Medical Dictionary memberikan perumusan sebagai berikut:8 Malpractice is mistreatment of a disease or injury through ignorance, carelessness of criminal intent. Malpraktek adalah salah cara mengobati suatu penyakit atau luka, karena disebabkan sikap-tindak yang acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi kriminal. Coughlins Dictionary of Law:8 Professional misconduct on the part of a professional person, such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian.Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrongdoing; or unethical practice. Malpraktek adalah sikap-tindak profesioanal yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek bisa diakibatkan karena sikap-tindak yang bersifat tak pedulian, kelalaian. Atau kekurangan ketrampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya; tindakan yang salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis. The Oxford Illustrated Dictionary, 2nd edition, 1975: Malpractice = wrongdoing; (law) improper treatment of patient by medical attendant; illegal action for ones own benefit while in position of trust.8

Malpraktek = sikap-tindak yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.8 Malpraktek menurut Ninik Mariyanti, SH, Definisi malpraktek mempunyai arti yang luas, yang dapat diuraikan sebagai berikut :8 a) Dalam arti umum, malpraktek merupakan suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk dan tidak memenuhi standar yang telah dilakukan oleh profesi. b) Dalam arti khusus, dilihat dari pasien malapraktek dapat terjadi dalam: 1) Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag tapi ternyata pasien sakit lever. 2) Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah kanan tetapi yang dilakukan pada mata kiri. 3) Selama menjalankan perawatan. 4) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan. Malpraktek menurut Dr. Kartono Mohammad merupakan kelalaian tindakan dokter yang berakibat kerusakan fisik, mental, atau finansial pada pasien. 8 Selain definisi-definisi dari para pakar diatas, DR. Veronica Komalawati,SH.MH juga memberikan pengertian mengenai malpraktek yang berasal dari malpractice yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Beliau juga memberikan pengertian bahwa medical malpractice atau kesalahan profesional dokter adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar profesi medis dalam menjalankan profesinya. 8 Menurut Antonius P.S. Wibowo, SH Medical Malpractice diartikan sebagai kesalahan dalam melaksanakan profesi medis berdasarkan standar profesi medis. Dengan banyaknya kasus malpraktek yang terjadi, barangkali menandakan bahwa aparat kesehatan masih kurang profesional. Atau merupakan bukti bahwa pelayanan kesehatan masih belum memadai. 8

2.3.2 Jenis-jenis Malpraktek Medis Malpraktek dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, malpraktek etika dan malpraktek yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum :8 a) Malpraktek Etik Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan Etika Kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktek ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi, yang bertujuan memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan cepat, lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Contoh konkritnya adalah di bidang diagnostik, misalnya pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan hadiah kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut. Dan di bidang terapi, seperti kita ketahui berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau mengunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus selalu digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni menentukan indikasi medisnya, mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati, mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu kehidupan pasien. Yang terakhir adalah, mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi pasien, misalnya, aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya.

b) Malpraktek Yuridik Dalam malpraktek yuridik ini Soedjatmiko membedakannya menjadi tiga bentuk, yaitu :8 1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Pada civil malpractice, tanggung gugat bersifat individual atau korporasi. Selain itu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle of vicarious liability. Dengan prinsip ini, maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan dokternya, asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.10 Dasar hukum civil malpractice adalah transaksi dokter dengan pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, dimana dokter bersedia memberikan pelayanan medis kepada pasien dan pasien bersedia membayar honor kepada dokter tersebut. Pasien yang merasa dirugikan berhak menggugat ganti rugi kepada dokter yang tidak melaksanakan kewajiban kontraknya dengan melaksanakan kesalahan professional.8 Untuk perbuatan atau tindakan yang melawan hukum haruslah memenuhi beberapa syarat, seperti harus adanya suatu perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat), perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis atau tidak tertulis), adanya suatu kerugian, ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita. Sedangkan untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya 4 (empat) unsur, yaitu: a. Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien b. Dokter telah melanggar standard pelayanan medik yang lazim dipergunakan c. Pengugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya

d. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standard Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi Res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter, terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien. Akibat tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut, timbul komplikasi paska bedah, sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian dokterlah yang harus membuktikan tidak ada kelalaian pada dirinya. 2) Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice) Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. 8 Malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya, pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis (pasal 299 KUHP), euthanasia (pasal 344 KUHP), membocorkan rahasia kedokteran (pasal 332 KUHP), tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar (pasal 263 KUHP).8,9 Malpraktek pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standard profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.8 Malpraktek pidana karena kealpaan, misalnya, terjadi cacat atau kematian terhadap pasien sebagai akibat tidakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi didalam rongga tubuh pasien.8

3) Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice) Malpraktek administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa izin praktek, melakukan tindakan

yang tidak sesuai dengan izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.8

2.4

Kelalaian Medik Kelalaian medik, atau yang biasa dikenal dengan istilah medical negligence, merupakan suatu istilah yang sering digunakan dalam menunjukkan kegagalan melakukan pelayanan yang adekuat oleh dokter, rumah sakit ataupun penyedia layanan kesehatan lainnya. Istilah ini sering disalahartikan dengan malpraktik medik.11 Menurut Blacks Law Dictionary, kelalaian didefenisikan sebagai berikut : Negligence is the omission to do something which the reasonable man, guided by those ordinary consideration which ordinarily regulated human affair, would do or the doing of something which a reasonable and prudent man would not do. Negligence is a failure to use such care as a reasonably prudent and careful person would use under the similar circumstances; it is the doing of some act which a person of ordinary prudence would not have done under the similar circumstances or failure to do what a person of ordinary prudence would have done under the similar circumstances.12 Selain itu kelalaian juga didefenisikan sebagai Negligence is the lack of ordinary care. It is a failure to do what a reasonable careful and prudent person would done on the occasion in question (Yurisprudensi Keputusan Pengadilan Boston Tahun 1979).12 Secara umum, seseorang dikatakan sudah berbuat kelalaian apabila ia melakukan suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan, atau sebaliknya, tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan menurut ukuran seseorang yang biasa, wajar dan hati-hati (reasonable man). Yang dimaksud dengan reasonable man adalah seorang yang wajar, yang biasa dan bertindak secara hati-hati dengan ukuran layak. Bukan seorang yang terpandai atau yang paling hati-hati.13 Pendefinisian orang wajar masih harus melihat berbagai factor seperti usia, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengetahuan, keterampilan dan kapasitas mental. Factor lain yang sangat menenukan adalah kondisi pasien, tingkat penyakitnya, usia, komplikasi serta berbagai factor lain yang dapat mempengaruhi dokter dalam membuat keputusan. Walaupun tolak ukur ini masih bersifat umum dan harus ditafsirkan lagi, tapi setidaktidaknya sudah ada sesuatu yang dapat dipakai sebagai pedoman. Tanpa adanya pedoman

ini maka penilaian salah dan benarnya akan sangat tergantung pada pendapat subjektif setiap hakim secara pribadi.13 Di dalam arti kelalaian sudah tersirat suatu sifat sembrono atau sembarangan (heedlessness or carelessness) yang merupakan tindakan yang menyimpang dari tolak ukur yang secara umum biasanya dapat diharapkan dilakukan terhadap setiap anggota masyarakat. Anggota masyarakat yang wajar dalam melakukan suatu tindakan akan selalu menjaga agar jangan sampai mencelakakan sesama manusia.13 Dalam dunia kedokteran, kelalaian medis digolongkan sebagai Professional Negligence. Medical Injury Compensation Reform Act merumuskan professional negligence is a negligence act or omission to act by a healthcare provider in the rendering of professional services, which is the proximate cause of personal injury or wrongful death, provided that the service are within the scope of service for which the provider is licensed and which are not within any restriction imposed by the licensing agency or licensed hospital.14 Kelalaian juga bisa terjadi walaupun seorang dokter sudah memperhitungkan akibat dari tindakannya dan juga telah mempertimbangkan sebaik-baiknya, namun ia lalai atau tidak menyiapkan upaya pencegahan terhadap suatu risiko yang bisa menimbulkan bahaya terhadap pasiennya.13 Di Indonesia, hukum kedokteran belum dapat dirumuskan secara mandiri sampai saat ini, sehingga defenisi tentang kelalaian dan malpraktik belum dapat dirumuskan pula. Rumusan yang digunakan oleh negara lain dapat menjadi acuan. Hal ini menyebabkan sering kacaunya batasan antara kelalaian dan malpraktik, yang sebenarnya berbeda. Bahasa Inggris lebih kaya dalam peristilahan tentang berbagai macam kelalaian.12,13 Bentuk-bentuk kelalaian di dalam bahasa Inggris adalah :13 1. Malfeasance Apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum atau melakukan perbuatan yang tidak patut (execution of an unlawful or improper act). 2. Misfeasance Pelaksanaan suatu tindakan tidak secara benar (the improper performance of an act). 3. Nonfeasance

Tidak melakukan suatu tindakan yang sebenarnya ada kewajiban untuk melakukan (the failure to act when there is a duty to act) 4. Malpractice Kelalaian atau tidak berhati-hati dari seorang yang memegang suatu profesi, seperti misalnya dokter, perawat, bidan, akuntan, dan profess lainnya sebagainya dalam menjalankan kewajibannya (negligence or carelessness of professional person, such as nurse, pharmacist, physician, accountant, etc). 5. Maltreatment Cara penanganan sembarangan, misalnya suatu operasi yang dilakukan tidak secera benar atau terampil (improper or unskillful treatement). Hal ini bisa disebabkan karena ketidaktahuan, kelalaian, atau secara acuh (ignorance, neglect, or willfulness). 6. Criminal negligence Sifat acuh, dengan sengaja atau sikap yang tidak peduli terhadap keselamatan orang lain, walaupun ia mengetahui bahwa tindakannya itu bisa mengakibatkan cedera/merugikan kepada orang lain (reckless disregard for the safety of another. It is the willful indifference to an injury which could follow an act). Secara jelas dikatakan bahwa, malpraktik memiliki pengertian yang lebih luas daripada kelalaian, karena malpraktik mencakup pula tindakan yang sengaja (intentional, dolus) dan melanggar undang-undang yang akibat dari tindakan itu memang merupakan tujuan. Sedangkan kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tidak peduli dan akibat yang timbul sebenarnya bukan merupakan tujuan dari tindakan tersebut.12 Oleh hukum kelalaian hanya dibedakan 2 (dua) ukuran tingkat yaitu :13 1. Yang bersifat ringan, biasa (slight, simple, ordinary) (Culpa levis), yaitu apabila seorang tidak melakukan apa yang seorang biasa, wajar dan berhati-hati akan melakukan, atau justru melakukan apa yang orang lain wajar tidak akan melakukan didalam situasi yang meliputi keadaan tersebut. 2. Yang bersifat kasar, berat (gross, serious) (Culpa lata), yaitu apabila seorang dengan sadar dan dengan sengaja tidak melakukan atau melakukan sesuatu yang sepatutnya tidak dilakukannya (the intentional or wanton omission of care which wold be proper to prived or the doing of that which would be improper to do).

Penilaian atas kelalaian sangat penting untuk dilakukan, karena merupakan salah satu unsur utama dari malpraktek. Seorang penulis merumuskan bahwa ukuran untuk seorang dokter yaitu that he should show a fair, reasonable and competent degree of skill. Jika norma ini tidak dapat dicapai maka pada dasarnya dokter harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul akibat tindakannya (the carrying out of treatment can be contra legem artis, if it done without a proper and reasonable standard of skill, care and competence of the medical profession).12 Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tindakan sesuai standar pelayanan medik (SPM) sangatlah penting bagi dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam sebuah studi kepustakaan Anglo-Saxon dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum atas suatu kelalaian apabila memenuhi 4 (empat) unsur yang dikenal dengan nama Formula 4-D, yaitu :12,13 1. Duty to use due care Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standard pelayanan medik agar penderita jangan sampai menderita cedera karenanya. Adagium Primum non nocere terutama harus ditaati. Hubungan pasien dokter/perawat rumah sakit itu sudah harus ada pada saat peristiwa itu terjadi. Timbulnya hubungan ini bahkan juga dapat terjadi dari suatu pembicaraan per telpon.13 2. Dereliction (breach of duty) Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter/perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standard profesi yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan dari standard tersebut, maka ia dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya.13 Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa Loquitur. Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.13 3. Damage (Injury)

Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medic adalah Cedera atau Kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter di rumah sakit dituduh lalai, tetapi apabila tidak menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dalam bentuk fisik, namum juga termasuk gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap hak privacy orang lain.13 4. Direct Causation (Proximate cause) Untuk berhasilnya gugatan ganti rugi, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus berupa penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belum cukup untuk mengajukan tuntutan gantikerugian.kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien sudah diperiksa oleh dokter secara adekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggung jawaban hukumnya.13 Perlu ditekankan bahwa unsur-unsur tersebut berlaku secara kumulatif, yang artinya harus terpenuhi seluruhnya karena satu dan lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi. Ukuran yang digunakan untuk culpa (kelalaian) ini bukanlah orang/dokter yang paling hati-hati, melainkan culpa lata itu sendiri. Hal ini mengharuskan kita untuk kembali mengacu pada SPM. Culpa lata tidaklah tergolong pada tindakan perdata, tetapi tergolong pidana. Perkara yang hanya memenuhi culpa levis dan tidak dikenai hukuman pidana, akan ditampung dalam hukum perdata dan hukum disiplin tenaga kesehatan.12 Secara yuridis penilaian atas tindakan dokter bukanlah berdasarkan hasil (resultaatverbitenis), melainkan berdasarkan usaha ataupun upaya yang sebaik-baiknya (inspanningverbintenis). Jadi, jika dokter telah bekerja sebaik-baiknya berdasarkan standar profesinya dan mendapatkan informed consent dari pasien maka secara umum tidak ada tindak pelanggaran hukum maupun hak asasi manusia. Dengan kata lain, dokter tersebut bebas dari hukuman baik pidana maupun perdata, tetapi semuanya itu tentu saja harus melewati proses peradilan terlebih dahulu. Sehingga, dari sebuah kepustakaan dinyatakan bahwa hanya beberapa kasus saja yang dapat digolongkan pada malpraktik,

lainnya dapat berupa kelalaian ataupun berupa kecelakaan medik (ataupun memang risiko dari proses pembedahan).12

DAFTAR PUSTAKA
1. Achadiat CM. Hukum Kedokteran. Dalam Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. h.33-35 2. Yunanto,dr.H. 2009. Tesis: Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik. Semarang 3. Astuti, Endang Kusuma. 2003. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya pelayanan medis 4. Wahyono, Bambang. 2006. Malpraktek medik yang masih (selalu) aman. 5. Hubungan dokter dan pasien. Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/22006032/HUBUNGAN-DOKTER-PASIEN, pada tanggal 12 November 2011. 6. Perlindungan konsumen kesehatan berkaitan dengan malpraktek medik. Diakses dari: luk.staff.ugm.ac.id/atur/.../Perlindungan-Konsumen-Kesehatan1.pdf 7. Olga, Laurentya. Mengatasi Malpraktik Medis : Saatnya Dokter Untuk Berubah, JIMKI, Vol I No. 01, Januari-Juni 2010. 8. Nugraha, Caesario Indra. 2011. Skripsi : Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Malpraktek Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 9. Lusiana Khajjani, Irma. 2010. Skripsi : Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Medis. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 10. Adi, Priharto, S.H. 2010. Tesis : Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran. Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. 11. Flynn M. Medical Malpractice : Negligence Duty of Care. Dalam Encyclopedia of Forensic Medicine Volume 4. Florida: Elsevier Ltd Nova South Eastern University; 2005. h. 324-5. 12. Achadiat CM. Hukum Kedokteran. Dalam Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. h.1-59.

13. Guwandi. Berbagai Macam Kelalaian. Dalam Dugaan Malpraktek Medik dan Draft RPP : Perjanjian Terapetik Antara Dokter dan Pasien. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. h. 94-112. 14. Aiken TD. Imaging Liability and Litigation : Negligence. Dalam Legal and Ethical Issues in Health Occupations. Pennsylvania: WB Saunders Company; 2002. h.131-4.

Вам также может понравиться