Вы находитесь на странице: 1из 47

BAB I PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kronik pada anak dan dewasa. Diabetes mellitus adalah sindrom homeostasis gangguan energi yang disebabkan oleh defisiensi insulin atau oleh defek kerjanya dan mengakibatkan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak tidak normal. Kelainan ini merupakan gangguan metabolik endokrin masa anak dan remaja yang paling lazim dengan konsekuensi penting pada perkembangan fisik dan emosi.1 Kurang lebih 151.000 penderita diabetes berusia < 20 tahun. Ketika diabetes terjadi pada usia anak-anak, jenis diabetes tersebut adalah diabetes tipe 1 atau diabetes mellitus juvenil. Studi di Eropa juga menunjukkan adanya peningkatan frekuensi diabetes tipe 1 terutama pada anak-anak. Namun pada dua dekade terakhir, terjadi peningkatan frekuensi diabetes melitus tipe 2 pada anak dan dewasa. Menurut Centers for Disease Control (CDC), anak-anak di Amerika yang lahir pada tahun 2000 akan mengalami peningkatan risiko menderita diabetes tipe 2, sebelumnya disebut diabetes dewasa.2 Morbiditas dan mortalitas yang berasal dari gangguan metabolik dan dari komplikasi jangka panjang yang mempengauhi pembuluh darah kecil maupun besar serta menyebabkan retinopati, nefropati, penyakit jantung iskemik, dan obstruksi arteri dengan ulkus diabetik. Manifestasi klinis akut dapat sepenuhnya

dimengerti dalam lingkup ilmu pengetahuan sekarang ini mengenai sekresi dan kerja insulin; perkembangan genetik dan etiologi lain yang mengarah pada mekanisme autoimun sebagai faktor pada kejadian diabetes tipe 1 dan faktor keturunan penderita DM tipe 2 serta obesitas yang menjadi faktor pada diabetes tipe 2. pertimbangan-pertimbangan ini membentuk dasar pendekatan terapeutis terhadap penyakit ini.1

B. 1.

TUJUAN Tujuan Umum Referat ini diajukan sebagai syarat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

2.

Tujuan Khusus Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai diabetes mellitus terutama pada anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia kronik akibat adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) terjadi akibat kerudakan sel -pankreas sehingga terjadi defisiensi insulin secara absolut yang dapat disebabkan oleh adanya proses autoimun meupun penyebab lain yang belum diketahui (idiopatik). Diabetes melitus tipe 2 banyak disebabkan faktor aktivitas, nutrisi, dan keturunan yang menyebabkan adanya resistensi insulin disertai defsiensi insulin relatif.3

B. EPIDEMIOLOGI Insidensi DM tipe 1 maupun tipe 2 bervariasi baik antar negara maupun dalam suatu negara. Dari data epidemiologis puncak usia terjadinya DM pada anak adalah usia 5-7 tahun dan pada saat menjelang remaja. Insiden penderita diabetes mellitus tipe 1 pada anak meningkat secara signifikan di Negara Barat. Survey di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi diabetes pada anak umur sekolah adalah sekitar 1,9 dalam 1.000. namun frekuensinya sangat berkorelasi

dengan meningkatnya usia. Data yang ada menunjukkan kisaran 1 dalam 1.430 pada anak usia 5 tahun sampai 1 dalam 360 pada anak usia 16 tahun.1 Dahulu DM tipe 2 lebih sering terjadi pada pasien berusia di atas 40 tahun dan sampai tahun 1990 lebih dari 95% anak yang menderita DM adalah DM tipe 1. Namun dengan meningkatnya insidensi obesitas di Negara barat dan onsetnya yang semakin dini, saat ini terjadi peningkatan frekuensi diabetes tipe 2 pada orang dewasa muda dan anak-anak. Saat ini 10-50% penderita DM pada anakanak adalah DM tipe 2.4

C. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI5 1. Diabetes tipe 1 (destruksi sel, biasanya akibat defisiensi insulin

absolut) a. Diperantarai imun b. Idiopatik 2. Diabetes tipe 2 (bervariasi dari dominan resistensi insulin disertai

defisiensi insulin relatif atau dominan defek sekretori dengan resistensi insulin) 3. Tipe spesifik yang lain

a. Defek genetik fungsi sel 1) Kromosom 12, HNF-1 (MODY3) 2) Kromosom 7, glukokinase (MODY2) 3) Kromosom 20, HNF-4 (MODY1) 4) Kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY4)

5) Kromosom 17, HNF-1 (MODY5) 6) Kromosom 2, NeuroD1 (MODY6) 7) Mitochondrial DNA 8) Lain-lain b. Defek genetik kerja insulin 1) 2) 3) 4) 5) Resistensi insulin tipe A Leprechaunism Rabson-Mendenhall syndrome Lipoatrofi diabetes Lain-lain c. Penyakit eksokrin pankreas 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Pankreatitis Trauma/pankreatektomi Neoplasia Fibrosis kistik Hemokromatosis Fibrokalkulosa pankreatopati Lain-lain d. Endokrinopati 1) 2) 3) 4) Akromegali Cushings syndrome Glukagonoma Feokromositoma

5) 6) 7) 8)

Hipertiroidisme Somatostatinoma Aldosteronoma Lainnya e. Induksi obat atau kimia

1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11)

Vacor Pentamidin Asam nikotinat Glukokortikoid Hormon tiroid Diazoxide adrenergic agonists Thiazides Dilantin Interferon Lainnya f. Infeksi 1) Rubella kongenital 2) Cytomegalovirus 3) Lainnya g. Bentuk tidak lazim dari diabetes yang diperantarai imun 1) Stiff-man syndrome 2) Anti-insulin receptor antibodies

3) Lainnya h. Sindrom genetik lain yang kadang berhubungan dengan diabetes 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 4. Down syndrome Klinefelter syndrome Turner syndrome Wolfram syndrome Friedreich ataxia Huntington chorea Laurence-Moon-Biedl syndrome Myotonic dystrophy Porphyria Prader-Willi syndrome Lainnya

Diabetes mellitus gestasional

D. SEKRESI DAN KERJA INSULIN Gen pengkode insulin terletak di lengan pendek kromosom 11. Insulin disekresi oleh sel pulau Langerhans. Insulin merupakan protein yang terdiri dari dua rantai yaitu rantai A (21 asam amino) dan rantai B (30 asam amino) dan terhubung oleh 2 jembatan disulfida.6 Insulin merupakan hasil pembelahan proinsulin yang merupakan turunan dari prekursor yang lebih besar yaitu prepoinsulin yang disintesis di reticulum

endoplasma kasar. Proinsulin merupakan rantai kontinu yang berawal dari ujung terminal N rantai B dan berakhir di ujung terminal C rantai A. peptide penghubung (peptide C) berinterposisi di antara ujung terminal C rantai B dan ujung terminal N rantai A. pada apparatus golgi dan granula penyimpanan, suatu enzim pengkonversi membelah proinsulin menjadi insulin.6 Sintesis dan sekresi insulin distimulasi oleh glukosa yang menstimulasi ambilan kalsium (Ca2+) ekstraseluler pada sel B. Kation ini memicu mekanisme kontraktil di mana mikrotubulus berperan dalam pergerakan granula yang mengandung insulin menuju membran sel, di mana granula berfusi dan isi granula dilepaskan ke ruang ektraseluler melalui eksositosis. Glukagon yang disintesis oleh sel pancreas menstimulasi pelepasan insulin melaui efek langsung pada sel . Pelepasan insulin juga dipengaruhi sistem saraf dan neurotransmitter.6 Insulin bersirkulasi sebagai monomer dan tidak terikat pada protein plasma. Insulin difiltrasi oleh glomerulus namun hampir seluruhnya direabsorbsi pada tubulus proksimal dan didegradasi oleh ginjal. Hati membuang separuh insulin portal hepatik yang melewatinya.7

Gambar 2.1 Mekanisme sekresi insulin. Dikutip dari Ben Greenstein dan Diana FW. At a Glance Sistem Endokrin. 2007 Reseptor insulin terdapat beberapa subunit yaitu dua subunit alfa dan dua subunit beta yang saling berikatan kovalen melalui jembatan disulfide. Ketika insulin berikatan dengan lokasi reseptor subunit alfa, interaksi ini ditransmisikan ke domain intraseluler pada subunit beta. Subunit ini akan melakukan autofosforilasi yang akan mengaktifkan protein kinasenya sendiri, menghasilkan kaskade reaksi fosforilasi dan defosforilasi intraseluler untuk mengekspresikan kerja insulin.6 Kaitan antara resepror insulin dengan kaskade fosforilasi lainnya dapat berupa suatu famili protein yang disebut substrat reseptor insulin (insulin resptor substrate, IRS). Dua protein IRS yaitu IRS-1 dan IRS-2 bersifat esensial untuk ekspresi kerja insulin yang komplet. Autofosforilasi reseptor insulin

menyebabkan fosforilasi tirosin pada protein IRS sehingga mampu berikatan dengan kelompok protein sinyal sehingga menimbulkan efek insulin pada

transport glukosa, sintesis glikogen, sintesis protein, dan mitogenesis. Glukosa diambil oleh transporter glukosa melalui proses difusi terfasilitasi.8

Gambar 2.2 Mekanisme kerja insulin. Dikutip dari Fauci AS, Kasper DL, Braunvald EH, Longe DL, In Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th Edition Setelah reseptor mengikat insulin, kompleks hormone reseptor

meninggalkan membran melalui proses endositosis dan masuk ke dalam sel. Setelah berikatan dengan reseptor, kompleks tersebut terselubungi dalam suatu celah berlapis yang dibentuk melalui invaginasi dan fusi permukaan. Begitu berada di dalam sel, celah tersebut menjadi tidak terlapisi dan membentuk suatu endosom,. Endosom melepaskan reseptor dan insulin kemudian didaur ulang ke membran dan insulin didegradasi. Proses internalisasi reseptor dapat merupakan suatu regulasi efek insulin dengan membatasi jumlah reseptor yang dapat berikatan dengan hormon. Proses ini merupakan mekanisme down regulation reseptor insulin.8

10

Setelah makan, insulin memindahkan glukosa dari sirkulasi dan memacu konversinya menjadi glikogen dan lipid. Insulin memacu konversi asam lemak menjadi lipid, serta ambilan asam amino ke dalam hati dan otot skelet tempat keduanya dikembangkan menjadi protein. Oleh karena itu insulin merupakan suatu hormon anabolik.8

E. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI 1. Diabetes Melitus Tipe 1 Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada terjadinya DM tipe 1 walaupun 80% penderita DM tipe 1 tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit serupa. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan. Kerentanan yang meningkat terhadap sejumlah penyakit telah dikaitkan dengan satu atau lebih antigen HLA yang dikenali. Pewarisan antigen HLA halotipe DR-3 arau DR-4 menyebabkan peningkatan risiko dua atau tiga kali terhadap perkembangan DM tipe 1. Bila DR3 maupun DR4 diwariskan, risiko relatif untuk perkembangan diabetes meningkat 7-10 kali lipat.9 Faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin, dll) diperlukan untuk menimbulkan gejala-gejala klinis DM tipe 1 pada seseorang yang rentan. Proses ini akan berlangsung dalam beberapa bulan sampai tahun sebelum manifestasi klinisnya timbul. Infeksi enterovirus berhubungan berhubungan dengan timbulnya autoantibodi pada populasi dan enterovirus

11

telah ditemukan di dalam sel islet anak diabetes. Awalnya kerusakan sel pankreas dispicu melalui mekanisme makrofag yang teraktivasi, limfosit T sitotoksik dan supresor, dan limfosit B yang menimbulkan insulitis destrukstif yang sangat selektif terhadap populasi sel . Sekitar 70-90% sel hancur sebelum timbul gejala klinis. 85-90% anak dengan hiperglikemia puasa akan ditemukan petanda autoantibodi terhadap sel beta pankreas seperti sel islet, GAD (Glutamic Acid Decarboxylase), IA-2, IA-2B, atau autoantibodi insulin.9 Susceptibilit y Environment Imunological Priming Genetic

Autoimune Disease Islet Cell Destruction Insulin Deficiency Cilinical Diabetes Gambar 2.3 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 1. dikutip dari William HL. Pediatric Type 1 Diabetes Mellitus. Available at:http//emedicine.medscape.com

12

Pada DM tipe 1, makin menurunnya insulin pasca makan akan mempercepat proses katabolisme. Insulopenia menyebabkan penggunaan glukosa oleh otot dan lemak berkurang mengakibatkan hiperglikemia postprandial. Bila insulin makin menurun maka tubuh akan berusaha memproduksi lebih banyak glukosa melalui glikogenolisis dan

glukoneogenesis. Akan tetapi karena kadar glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel maka hepar akan berusaha lebih keras lagi, sebagai aibatnya adalah timbulnya hiperglikemia puasa, menimbulkan diuresis osmotik disertai glukosuria bila ambang ginjal sudah terlampaui (180 mg/dl). Akibatnya tubuh kehilangan kalori, elektrolit, dan cairan, terjadi rehidrasi yang selanjutnya menimbulkan stres fisiologis dengan hipersekresi hormon stres dan maikn menurunnya kadar insulin yang menyebabkan peningkatan glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis, dan ketogenesis serta ketoasidosis diabetik.8 2. Diabetes Melitus Tipe 2 Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu 1. Resistensi insulin 2. Disfungsi sel pancreas Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin dan sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel

13

hepar. Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel pancreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah ,sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi

peningkatan asam lemak bebas dalam darah.10 Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia)

mengakibatkan sel pankreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2. Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pankreas yang menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan puasa.10 Diabetes tipe 2 merupakan keadaan yang ditandai oleh resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif. Hal tersebut akibat adanya hiperinsulinemia yang berkepanjangan hingga menyebabkan terjadinya defisiensi insulin. Faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya respon jaringan terhadap insulin yaitu:8 1. 2. Inhibitor prareseptor: antibodi terhadap insulin Inhibitor reseptor: down regulation primer reseptor sel akibat alfa),

hiperinsulinisme,

hiperinsulinisme

(adenoma

14

hiperinsulinisme sekunder terhadap defek pasca reseptor (obesitas, sindrom Cushing, akromegali, kehamilan), dan hiperglikemia yang lama (diabetes melitus dan pasca uji toleransi glukosa) 3. Kelainan pasca reseptor: respon yang jelek terhadap organ sasaran

akibat obesitas, penyakit hepatik, dan inaktivitas otot. 4. Kelebihan hormon: glukokortikoid, hormon pertumbuhan,

kontrasepsi oral, progesteron, katekolamin, tirosin.

F. DIAGNOSIS 1. Anamnesis Gejala klasik DM meliputi poliuri, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan. Untuk mendiagnosis DM tipe 1 dari anamnesis sering dijumpai anak sering ngompol (poliuria), anak sering menangis minta makan atau minum lebih banyak (polidipsi dan polifagi), adanya penurunan berat badan, badan yang lemah, daya tahan tubuh menurun, sehingga dari anamnesis diketahui anak mudah terinfeksi beberapa jenis penyakit seperti penyakit kulit, dan infeksi saluran kemih. Pada anamnesis juga ditanyakan riwayat diabetes melitus dalam keluarga.3,5 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada diabetes melitus biasanya tidak ditemukan tanda-tanda yang spesifik dari DM. Jika terdapat tanda-tanda spesifik maka hal tersebut terjadi akibat komplikasi yang telah terjadi.5 3. Pemeriksaan Penunjang3,5,7

15

a.

Kadar glukosa darah sewaktu: 200 mg/dl (11,1 mmol/L). Pada

penderita asimtomatis ditentukan kadar gula darah puasa lebih tinggi dari normal dan uji toleransi glukosa terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan. b. Kadar gula darah puasa 126 mg/dl (yang dimaksud puasa adalah

tidak ada asupan kalori selama 8 jam) c. Kadar gula darah 2 jam pasca toleransi glukosa 200 mg/dl (11,1

mmol/L) d. Kadar C-peptida: untuk melihat fungsi sel residu yaitu sel

yang masih memproduksi insulin dan dapat digunakan apabila sulit membedakan diabetes tipe 1 dan 2. e. Pemeriksaan HbA1c dilakuka rutin tiap 3 bulan. Pemeriksaan

kadar HbA1c berguna untuk mengukur kadar gula darah selama 120 hari yang lalu (sesuai usia eritrosit), menilai perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya, dan menilai pengendalian penyakit DM dengan tujuan mencegah terjadinya komplikasi diabetes f. Glukosuria tidak spesifik untuk DM dan perlu dikonfirmasi dengan

pemeriksaan glukosa darah g. Penanda autoantibodi: hanya sekitar 70-80% dari penderita DM

tipe 1 memberikan hasil pemeriksaan autoantibodi (ICA, IAA) yang positif, sehingga pemeriksaan ini bukan merupakan syarat mutlak diagnosis.

16

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis DM menurut WHO3 Kriteria Diabetes melitus: Puasa Atau 2 jam PP atau keduanya Impaired glucose tolerance (IGT): Puasa (jika diukur) dan 2 jam PP Impaired Fasting Glycaemia (IFG): Puasa dan 2 jam PP (jika diukur) Kadar Glukosa (mg/dl) Darah vena Kapiler >100 >180 >110 >200 Plasma >126 >200

<110 >120 dan <180

<110 >140 dan <200

<126 >140 dan <200

>100dan <110 <120

>100 dan <110 <140

>110 dan <126 <140

Ket: Puasa: tidak ada asupan kalori selama 8 jam 2 jam PP: 2 jam setelah pemberian larutan glukosa 75 gr atau 1,75 g/kgBB dosis maksimum 75 gr

17

Obesitas Ya Tidak

Kadar CPeptide / insulin Puasa

autoantibodi

Tidak Tinggi Rendah Kadar C-peptide/ insulin puasa

Ya DM tipe 1

DM Tipe 2

Autoantibodi

Ya

Tidak

Rendah

Tinggi

DM tipe 1

DM tipe 2 atau MODY

DM tipe 2

Gambar 2.4 Algoritma Diagnosis DM pada anak3

G. PENATALAKSANAAN Hal yang harus dipahami adalah bahwa DM tidak dapat disembuhkan tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan seoptimal mungkin dengan mengusahakan kontrol metabolik yang baik. Kontrol metabolik yang baik adalah

18

mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal tanpa menyebabkan hipoglikemia. Walaupun dianggap masih ada kelemahan, parameter HbA1c merupakan parameter kontrol metabolik standar pada DM. Nilai HbA1c <7% berarti kontrol metabolik baik, HbA1c<8% cukup dan HbA1c >8% dianggap buruk. Pilar utama penataksanaan DM adalah edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani atau olahraga dan intervensi farmakologis.3,7 Bagi penderita DM tipe 1, insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup berbeda dengan penderita DM tipe 2. menurut ADA (2005), prinsip terapi penderita DM tipe 2 adalah:12,13 Mencapai dan mempertahankan kadar mendekati

normoglikemia (A1C <7%). metformin Bila target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat Terapi dimulai dengan intervensi pola hidup dan

dipertahankan maka ditambahkan obat-obat baru dan diubah jadi regimen baru. Pada pasien yang tidak mencapai target glikemik maka

diberikan terapi insulin secara lebih dini. 1. Insulin Awita, puncak kerja, dan lama kerja insulin merupakan faktor yang menentukan dalam pengobatan penderita DM. Respon klinis terhadap insulin tergantung pada faktor:14

19

Umur individu Tebal jaringan lemak Status pubertas Dosis insulin Tempat injeksi Latihan (exercise) Kepekatan, jenis, dan campuran insulin Suhu ruangan dan suhu tubuh Berikut ini digambarkan jenis sediaan insulin dan profil kerjanya Jenis insulin Kerja cepat (rapid acting) (aspart, glulisine, dan lispro) Kerja pendek (regular/soluble) Kerja menengah Semilente NPH IZS lente type Insulin basal Glargine Detemir Kerja panjang Ultralente type Insulin campuran Cepat menengah Pendek menengah Awitan (jam) 0,15-0,35 Puncak kerja (jam) 1-3 Lama kerja (jam) 3-5

0,5-1

2-4

5-8

1-2 2-4 3-4 2-4 1-2 4-8 0,5 0,5

4-10 4-12 6-15 Tidak ada 6-12 12-24 1-12 1-12

8-16 12-24 18-24 24 20-24 20-30 16-24 16-24

20

Tabel 2.2 Jenis sediaan insulin dan profil farmakokinetiknya14

Gambar 2.5 Profil farmakokinetik insulin.Dikutip dari Hirsch IB, N England J Med 2005; 352: 174-183 Para ahli sepakat bahwa jenis kerja panjang kurang sesuai digunakan pada anak, kecuali pada regimen basal bolus. Jenis insulin yang digunakan harus sesuai dengan usia anak (proses tumbuh kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan finansial), sosiokultural (sikap muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi obat.3 Dalam pemberian insulin penting dikenali adanya efek adanya kompensasi terhadap hipoglikemia yang terjadi sebelumnya akibat pemberian insulin yang berlebihan pada malam hari (jam 02.00-03.00) dan sebaliknya yaitu efek akibat kerja hormon-hormon kontra insulin pada malam hari. Efek kompensasi terhadap hipoglikemia sebelumnya memerlukan penambahan makanan kecil sebelum tidur atau pengurangan dosis insulin malam hari dan

21

sebaliknya efek hormon kontra insulin memerlukan penambahan dosis insulin malam hari untuk menghindari hiperglikemia pagi hari.3 Pedoman dosis insulin yaitu:14 - Selama periode honeymoon total dosis insulin harian U/kgBB/hari - Anak sebelum pubertas (di luar periode honeymoon) dalam kisaran dosis 0,7-1,0 U/kgBB/hari - Selama pubertas kebutuhan akan meningkat di atas 1 U samapai 2 U/kgBB/hari. Distribusi dosis insulin pada anak dengan dua kali regimen suntikan, pada pagi hari diberikan lebih banyak (2/3) dari total dosis harian dan dosis lebih sedikit (1/3) pada sore hari. Pada regimen ini kandungan insulinnya terdiri dari 1/3 dosis insulin kerja pendek dan kurang lebih 2/3 insulin kerja menengah.14 Pada regimen basal bolus insulin kerja menengah sebagai sebagai insulin basal diberikan malam hari sebesar 30% (jika bolus menggunakan insulin kerja pendek) dan 50% (jika bolus menggunakan insulin kerja cepat) dari dosis total harian. Kebutuhan insulin bolus kurang lebih 50% (jika menggunakan insulin kerja cepat) sampai 70% (jika menggunakan insulin kerja pendek) yang diberikan secara terbagi antara 3-4 kali.14 <0,5

22

Periode honeymoon berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu atau bulan setelah terapi insulin. Kriteria periode honeymoon bila kebutuhan insulin <0,5 U/kgBB/hari dengan HbA1c <7%.7 a. Insulin kerja cepat (rapid acting)7,14 Insulin mempunyai kecenderungan membentuk agregat dalam bentuk dimmer dan heksamer yang akan memperlambat absorbsi dan lama awitan kerjanya. Insulin Lispro, Aspart, dan Glulisine tidak membentuk agregat dimmer maupun heksamer sehingga dapat dipergunakan sebagai insulin kerja cepat. Ketiganya merupakan analog insulin kerja pendek (regular) yang dibuat secara biosintetik. Insulin monomer ini berupa larutan yang jernih, mempunyai awitan kerja yang cepat (5-15 menit), puncak kerja 30-90 menit dan lama kerja berkisar 3-5 jam. Potensi dan efek hipoglikemia sama dengan insulin regular. Dengan sifat tersebut maka insulin kerja cepat direkomendasikan untuk digunakan pada jam makan atau penatalaksanaan insulin saat sakit. Insulin jenis ini dapat diberikan dalam regimen 2 kali sehari atau regimen basal bolus. Anak-anak dan orang muda dengan diabetes tipe 1 menggunakan beberapa regimen insulin setiap hari harus diberi tahu bahwa injeksi analog insulin kerja cepat sebelum makan mengurangi tingkat glukosa darah postprandial dan dengan demikian membantu untuk

mengoptimalkan kontrol glukosa darah.

23

Anak-anak prasekolah dengan DM tipe 1 mungkin saja cocok dengan menggunakan analog insulin kerja cepat setelah makan karena asupan makanan yang tidak bisa diprediksi. b. Insulin kerja pendek (short acting)7,14 Insulin ini biasanya digunakan untuk mengatasi kedaan akut seperti ketoasidosis, penderita baru dan tindakan bedah. Insulin jenis ini kadang-kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada 2 regimen 2 kali sehari. DM tipe 1 yang berusia balita sebaiknya menggunakan insulin jenis ini untuk menghindari efek hipoglikemia akibat pola hidup dan pola makan yang seringkali tidak teratur. Fleksibilitas penatalaksanaan pada usia balita menuntut pemakaian insulin kerja pendek atau digabung dengan insulin kerja menengah. Insulin kerja pendek pilihan terbaik untuk intravena dan KAD dan prosedur operasi. Insulin kerja cepat juga dapat digunakan sebagai terapi intra vena tetapi efeknya tidak lebih baik dibandingkan insulin kerja pendek dan harganya lebih mahal. c. Insulin kerja menengah (intermediate acting)14 Sesuai dengan lama kerjanya insulin ini digunakan dalam regimen dua kali dan sebelum tidur pada regimen basal bolus. Jenis insulin ini lebih sering digunakan untuk penderita yang telah mempunyai pola hidup yang lebih teratur. Keteraturan ini sangat penting terutama untuk menghindari terjadinya episode hipoglikemia.

24

d. Insulin kerja panjang (long acting)14 Insulin kerja panjang mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam sehingga dapat digunakan dalam regimen basal bolus. Profil kerja pada penderita diabetes anak sangat bervariasi dengan efek akumulasi dosis. e. Insulin kerja campuran14 Di Indonesia terdapat beberapa sediaan insulin yang mempunyai pola kerja bifasik. Terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan menengah atau kerja pendek dan menengah yang sudah dikemas oleh pabrik. Sediaan insulin campuran kerja pendek atau kerja cepat dengan insulin kerja menengah tersedia dalam beberapa rasio perbandingan antara lain 10:90, 15:85, 20:80, 25:75, 30:70, 40:60, 50:50. sediaan yang ada di Indonesia adalah dengan kombinasi 30:70 artinya terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek dan 70% insulin kerja menengah. Sediaan insulin kerja campuran bermanfaat pada keadaan-keadaan sebagai berikut: Penderita diabetes usia muda dengan pendidikan orang tua

yang rendah Penderita dengan problem psikososial pada individu

maupun keluarganya Pada remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis

insulin campuran yang rumit

25

yang stabil

Pada penderita dengan penggunaan insulin dengan rasio

f. Insulin basal analog14 Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang mempunyai kerja panjang sampai dengan 24 jam. Di Indonesia saat ini sudah tersedia insulin glargine dan detemir yang keduanya mempunyai profil kerja yang lebih terduga dengan variasi harian yang lebih stabil dibandingkan insulin NPH. Insulin ini tidak direkomendasikan untuk anak usia <6 tahun tetapi tercatat insulin glargine dapat diberikan pada anak usia 1-5 tahun. Insulin glargine dan detemir dapat dicampur dengan insulin jenis lainnya. 2. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 yaitu:15 a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Dari segi efikasinya, sulfonilurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan

sulfonilurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan

26

penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal, dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari. Obat golongan sulfonilurea merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.15 Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Glinid menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinid dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinid menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil.7 b. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu

27

reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.3

c.

Penghambat glukoneogenesis (metformin) Efek utama metformin adalah menurunkan hepatic glucose output dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada

prediabetes. Efek non glikemik yang penting dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktat; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal.3 d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

28

Penghambat -glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakarida di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan penghambat -glukosidase tidak

mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal. Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini karena efek samping tersebut.15

Gambar 2.6 Mekanisme kerja obat hipoglikemik oral15

Algoritme pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2 menurut ADA (2005)15 Algoritme dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi individual, sinergisme dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan

29

mempertahankan A1C < 7% dan mengubah intervensi secepat mungkin bila target glikekemik tidak tercapai. Tier 1 : well validated core therapy Intervensi ini merupakan cara yang terbaik dan paling efektif, serta merupakan strategi terapi yang cost-effective untuk mencapai target glikemik. Algoritme tier 1 ini merupakan pilihan utama terapi pasien diabetes tipe 2.

Langkah pertama : Intervensi pola hidup dan metformin. Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka panjang bila berat badan turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan dapat tercapai dan dipertahankan serta cost effectiveness bila berhasil, maka konsensus ini menyatakan bahwa intervensi pola hidup harus dilaksanakan sebagai langkah pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang baru. Intervensi pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan menurunkan berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu mendasari pengelolaan pasien diabetes tipe 2., bahkan bila telah diberi obat-obatan. Untuk pasien yang tidak obes ataupun berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan tingkat aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan. Para ahli membuktikan bahwa intervensi pola hidup saja sering gagal mencapai atau mempertahankan target metabolik karena kegagaalan menurunkan berat badan atau berat badan naik kembali dan sifat penyakit ini

30

yang progresif atau kombinasi faktor- faktor tersebut. Oleh sebab itu pada konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus dimulai bersamaan dengan intervensi pola hidup pada saat diagnosis. Metformin

direkomendasikan sebagai terapi farmakologik awal, pada keadaan tidak ada kontraindikasi spesifik, karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa penambahan berat badan dan hipoglikemia pada umumnya, efek samping yang sedikit, dapat diterima oleh pasien dan harga yang relatif murah. Penambahan obat penurun glukosa darah yang lain harus dipertimbangkan bila terdapat hiperglikemia simtomatik persisten. Langkah kedua : menambah obat kedua Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang dapat ditolerir target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan sebaiknya ditambah obat lain setelah 2-3 bulan memulai pengobatan atau setiap saat bila target A1C tidak tercapai. Bila terdapat kontraindikasi terhadap metformin atau pasien tidak dapat mentolerir metformin maka perlu diberikan obat lain. Konsensus menganjurkan penambahan insulin atau sulfonilurea. Yang menentukan obat mana yang dipilih adalah nilai A1C. Pasien dengan A1C > 8,5% atau dengan gejala klinik hiperglikemia sebaiknya diberi insulin; dimulai dengan insulin basal (intermediate-acting atau long acting). Tetapi banyak juga pasien DM tipe 2 yang baru masih memberi respons terhadap obat oral. Langkah ketiga : penyesuaian lebih lajut

31

Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin basal tidak menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah mengintesifkan terapi insulin. Intensifikasi terapi insulin biasanya berupa berupa suntikan short acting atau rapid acting yang diberikan sebelum makan. Bila suntikan-suntikan insulin dimulai maka sekretagog insulin harus dihentikan.

Tier 2 : less well-validated therapies Pada kondisi-kondisi klinik tertentu algoritme tingkatan kedua ini dapat dipertimbangkan. Secara spesifik bila hipoglikemia sangat ditakuti (misalnya pada mereka yang melakukan pekerjaan yang berbahaya), maka penambahan exenatide atau pioglitazone dapat dipertimbangkan. Bila penurunan berat badan merupakan pertimbangan penting dan A1C mendekati target (<8%), exenatide merupakan pilihan. Bila inervensi ini tidak efektif dalam mencapai target A1C, atau pengobatan tersebut tidak dapat ditolerir oleh pasien, maka penambahan dengan sulfonilurea dapat dipertimbangkan. Alternatif lain adalah bahwa tier 2 intervention dihentikan dan dimulai pemberian insulin basal.

32

Gambar 2.7 Alur Penatalaksanaan DM tipe 2 pada Anak menurut Medscape Monoterapi DM tipe 2 pada anak dapat dimulai dengan menggunakan metformin 500 mg 2 kali sehari bersama saat makan. Jika dosis belum sesuai dosis dapat dinaikkan 500 mg per minggu sampai maksimum 2000 mg/hari. Untuk agen antidiabetik selain metformin belum mendapat persetujuan FDA mengenai dosis untuk penggunaan pada populasi pediatrik.

33

Tabel 2.3 Dosis dan Cara pemberian Obat Hipoglikemik Oral pada Dewasa

34

3. Diet Pengaturan makan atau diet pada penderita DM tipe 1 bertujuan mencapai kontrol metabolik yang baik, tanpa mengabaikan kalori yang dibutuuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, ataupun untuk aktivitas. Dengan ini anak diharapkan tidak menjadi obes dan dapat dicegah timbulnya hipoglikemia. Sedangkan pada DM tipe 2 bertujuan mengurangi asupan kalori, penurunan berat badan, serta mencegah, memperlambat, dan menurunkan risiko mikro-makrovaskuler.16 Pengaturan makan dilakukan segera setelah diagnosis. Kebutuhan kalori per hari dapat dihitung dengan rumus: bila berusia 0-12 tahun menggunakan rumus 1000 + {usia (tahun) x 100} = kal/hari dan jika berusia lebih dari 12 tahun = 2000 kal/m2.3 Makanan yang dimakan sehari-hari mengandung karbohidrat, protein, lemak serta vitamin dan mineral. Karbohidrat merupakan nutrien yang paling berpengaruh terhadap kadar glukosa darah. 90-100% karbohidrat akan diubah menjadi glukosa dalam waktu 15-90 menit setelah makan. Protein 58% akan dirubah menjadi glukosa dalam waktu 3-4 jam setelah makan, sedangkan lemak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengubah 10% lemak menjadi glukosa. Komposisi makanan yang disarankan per hari adalah:16 a. b. Karbohidrat 50-55%, sukrosa sedang (sampai dengan 10% total kalori) Lemak 30-35% <10% lemak jenuh + asam lemak trans <10% lemak tak jenuh rantai ganda

35

>10% lemak tak jenuh rantai tunggal (sampai dengan 20% total kalori) c. Protein 10-15%

4. Latihan Jasmani atau Olahraga1,3,7 Pada penderita DM berolahraga dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah, menimbulkan perasaan sehat atau well being dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin sehingga mengurangi kebutuhan akan insulin. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung dan mengurangi terjadinya komplikasi DM jangka panjang. Yang perlu diperhatikan dalam berolahraga adalah pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia saat atau pasca olahraga sehingga mungkin memerlukan penyesuian dosis insulin. Jenis olahraga disesuaikan dengan minat anak. Pada umumnya terdiri dari pemanasan selama 10 menit, dilanjutkan 20 menit untuk latihan aerobic seperti berjalan atau bersepeda. Olahraga harus dilakukan paling sedikit 3 kali seminggu dan sebaiknya dilakukan pada waktu yang sama untuk memudahkan pemberian insulin dan pengaturan makan. Lama dan intensitas olahraga disesuaikan dengan toleransi anak. Asupan cairan perlu ditingkatkan sebelu, setelah dan saat olahraga. Pada anak sehat, olahraga akan menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan hormon kontraregulator glukosa yang akan meningkatkan produksi glukosa di hati. Glukosa akan digunakan oleh otot selama olahraga

36

dan akan menjaga kadar glukosa darah tetap stabil selama olahraga. Sedangkan pada penderita DM tipe 1 terkontrol, pankreas tidak dapat mengatur kadar insulin sebagai respon dari olahraga dan juga mungkin disertai gangguan hormon kontraregulasi glukosa sehingga terjadi

hipoglikemia selama olahraga. Bagi penderita DM terutama yang tidak terkontrol dengan baik, olah raga dapat menyebabkan keadaan yang tidak diinginkan seperti keadaan hiperglikemia sampai dengan KAD, makin beratnya komplikasi diabetik yang sudah dialami, dan hipoglikemia. Sekitar 40% hipoglikemia dicetuskan oleh olahraga. H. KOMPLIKASI 1. a. Komplikasi Akut Hipoglikemia7 Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak.

37

Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat dialami 1 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggris diperkirakan 2 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin. Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita: a. atau malam) b. Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang

disarankan oleh dokter atau ahli gizi c. d. Berolah raga terlalu berat Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih

besar dari pada seharusnya e. f. Stress Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat

meningkatkan risiko hipoglikemia Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah: a. b. Dosis insulin yang berlebihan Saat pemberian yang tidak tepat

38

c.

Penggunaan glukosa yang berlebihan, sebagai contoh

yaitu olahraga anaerobik berlebihan d. Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan

individu terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis b. Ketoasidosis diabetik (KAD)9,17 Ketoasidosis diabetik (KAD) disefinisikan sebagai kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif dalam tubuh atau berkaitan dengan resistensi insulin dan disertai produksi hormone-hormon kontra regulator yaitu glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone. Diagnosis KAD didasarkan atas trias biokimia yaitu hiperglikemia (glukosa darah > 200mg/dl), ketonemia, dan asidosis (pH darah <7,3), kadar bikarbonat <15 mmol/l. Beberapa faktor yang sering menjadi pencetus KAD adalah infeksi, trauma/stres, penghentian atau tidak adekuatnya terapi insulin, serta gangguan psikologis yang berat. Gejala klinis KAD biasanya berlangsung cepat kurang dari 24 jam. Poliuri, polidipsi, serta penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi beberapa hari menjelang KAD dan seringkali disertai gejala mual, muntah, dan nyeri perut yang sering disalah artikan sebagai akut abdomen. Walaupun penyebabnya belum diketahui dengan pasti, asidosis metabolik diduga menjadi penyebab utama gejala nyeri abdomen, gejala tersebut akan menghilang sendirinya setelah asidosisnya teratasi.

39

Pemeriksaan klinis yang ditemukan pada KAD dapat berupa penurunan kesadaran, dan bahkan koma (10% kasus), tanda-tanda dehidrasi dan syok hipovolemia (kulit/mukosa kering, penurunan turgor, hipotensi, takikardi). Tanda klinis lain adalah nafas cepat dan dalam (Kussmaul) yang merupakan kompensasi hiperventilasi akibat asidosis metabolik, disertai nafas bau aseton.

Gambar 2.7 Patofisiologi KAD17

Penatalaksanaan KAD:12,13, 17 Tujuan dari terapi KAD dan SHH, yaitu: 1. Restorasi volume sirkulasi dan perfusi jaringan 2. Penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas plasma

40

3. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit 4. Perbaikan keadaan ketoasidosis pada KAD 5. Mengatasi faktor pencetus Terapi Cairan Apabila terjadi syok atasi syok terlebih dahulu dengan

memberikan cairan NaCl 0,9% 20 ml/kg dalam 1 jam sampai syok teratasi. Resusitasi cairan selanjutnya diberikan secara perlahan dalam 3648 jam berikutnya. Selama keadaan belum stabil secara metabolik (stabil bila kadar bikarbonat natrium >15 mE/q/L, gula darah <200 mg/dL, pH >7,3) maka pasien dipuasakan. Perhitungan kebutuhan cairan resusitasi total sudah termasuk cairan untuk mengatasi syok. Apabila ditemukan hipernatremia maka lama resusitasi cairan diberikan selama 72 jam. Jenis cairan resusitasi awal yang digunakan adalah NaCl 0,9%. Apabila kadar gula darah sudah turun mencapai <250 mg/dl cairan diganti dengan dekstrose 5% dalam NaCl 0,45%. Terapi Insulin Pemberian insulin dengan dosis yang kecil dapat mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia dan hipokalemia. Fungsi insulin adalah untuk meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer,

menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah. Selain itu, insulin juga berguna untuk

41

menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan mengurangi ketogenesis. Terapi insulin diberikan setelah syok teratasi dan resusitasi cairan dimulai. Gunaan rapid atau regular insulin secara intra vena dengan dosis insulin antara 0,05-0,1 U/kgBB/jam. Bolus insulin tidak perlu siberikan. Penurunan kadar glukosa darah secara bertahap tidak lebih cepat dari 75100 mg/dl/jam. Insulin intravena dihentikan dan asupan per oral dimulai apabila secara metabolik sudah stabil (kadar biknat >15 mEq/L, gula darah <200 mg/dL pH>7,3). Selanjutnya insulin reguler diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5-1 U/kgBB/hari dibagi 4 dosis atau untuk pasien lama dapat digunakan dosis sebelumnya. Koreksi elektrolit Tentukan kadar natrium dengan menggunakan rumus kadar Na terkoreksi = Na + (1,6 (kadar gula darah-100))/100 (nilai gula darah dalam satuan mg/dl). Pada hipernatremia gunakan cairan NaCl 0,45%. Kalium digunakan sejak awal resusitasi kecuali pada anuria. Dosis kalium adalah 5 mEq/kgBB per hari diberikan dengan kekuatan larutan 20-40 mEq/L dengan kecepatan tidak lebih dari 0,5 mEq/kg/jam. Terapi Bikarbonat Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Asidosis metabolik berat dapat mengakibatkan kerusakan kontraktilitas jantung, vasodilatasi serebri dan koma, serta komplikasi gastrointestinal. Akan tetapi, alkalinisasi darah yang agresif juga dapat mengakibatkan

42

hipokalemia, asidosis SSP paradoks, dan asidosis intraseluler karena peningkatan produksi CO2. Beberapa studi gagal memperlihatkan perbaikan keadaan dengan pemberian bikarbonat pada pasien KAD dengan pH darah arteri antara 6,9-7,1. Pemberian bikarbonat dapat diberikan secara bolus atau intravena dalam cairan isotonik dengan dosis 1-2 mEq/kgBB.

2.

Komplikasi Kronis4,7,12,13 Komplikasi kronis pada DM meliputi komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi mikrovaskuler yang terjadi meliputi retinopati, nefropati, dan neuropati. Komplikasi makrovarkuler yang terjadi yaitu penyakit kardiovaskuler, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit vaskuler perifer.

43

Gambar 2.8 Patofisiologi komplikasi kronis DM7

44

I. PEMANTAUAN (MONITORING)7 Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun kronis, baik dilakukan selama perawatan di rumah sakit maupun secara mandiri di rumah, meliputi : 1. 2. 3. Keadaan umum, tanda vital. Kemungkinan infeksi. Kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan

menggunakan glukometer) setiap sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari. 4. 5. 6. 7. 8. Kadar HbA1C (setiap 3 bulan). Pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl). Mikroalbuminuria (setiap 1 tahun). Fungsi ginjal. Tanda endokrinopati yang lain dievaluasi setiap tahunnya seperti

pembesaran kelenjar tiroid dengan memeriksa kadar TSH 9. 10. Kontrol kolesterol darah setiap tahunnya Funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi

setelah 3-5 tahun menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas). 11. Tumbuh kembang.

45

BAB III KESIMPULAN

1.

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik

yang ditandai dengan hiperglikemia kronik akibat adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. 2. 3. Pada anak dapat terjadi DM tipe 1 maupun tipe 2. DM tipe 1 terjadi akibat kerudakan sel -pankreas

sehingga terjadi defisiensi insulin secara absolut akibat proses autoimun maupun idiopatik, sedangkan DM tipe 2 banyak disebabkan faktor aktivitas, nutrisi, dan keturunan yang menyebabkan adanya resistensi insulin disertai defsiensi insulin relatif. 4. Tujuan terapi DM adalah untuk meningkatkan kualitas

hidup dan mengusahakan kontrol metabolik yang baik 5. Pilar utama terapi DM adalah edukasi, diet, olahraga,

dan intervensi farmakologis. 6. Monitoring penting bagi penderita DM untuk

mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun kronis. 7. Komplikasi akut pada penderita DM meliputi

hipoglikemia dan KAD atau HHS dan komplikasi kronis meliputi komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler.

46

47

Вам также может понравиться