Вы находитесь на странице: 1из 13

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI ENZIM PROTEASE BIDURI (Calotropis gigantea) SECARA MASAL Martha Aulia Rahmi1), Yuli Witono2),

Setiadji2). Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UNEJ Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP, UNEJ E-mail: marthaaulia88@gmail.com Abstract Protease enzyme is an enzyme protein that is widely used in industry field. The availability of protease enzyme in the world has yet to make ends meet, while the use of protease enzymes for the food industry tends to increase, therefore it is necessary to find sources other protease enzyme that can meet the need for this enzyme. This study focused on the production of protease enzyme from plants biduri en masse. The production of protease enzyme biduri the most appropriate mass destruction is for 6 minutes, drying, and the use of cornstarch as a filler. Degree of whiteness (W) obtained from such treatment is 79.488, enzyme activity 5.467 x 10-4 units, the yield of 18.295%, and total activity of 10.002 x 10-4. Abstrak Enzim protease merupakan enzim penghidrolisa protein yang banyak digunakan dalam bidang industry. Ketersediaan enzim protease di dunia belum mencukupi kebutuhan, sementara pemakaian enzim protease bagi industri pangan cenderung meningkat, oleh karena itu perlu dicari sumber-sumber enzim protease lain yang dapat mencukupi kebutuhan akan enzim tersebut. Penelitian ini difokuskan pada produksi enzim protease dari tanaman biduri secara massal. Produksi enzim protease biduri secara masal yang paling tepat adalah dengan penghancuran selama 6 menit, penjemuran, dan penggunaan maizena sebagai filler. Derajat keputihan (W) yang diperoleh dari perlakuan tersebut adalah 79,488, aktivitas enzim 5,467 x 104 unit, rendemen sebesar 18,295%, dan total aktivitas sebesar 10,002 x 104. Kata kunci : enzim protease, biduri, filler, ekstraksi, aktivitas enzim

PENDAHULUAN Enzim protease sejauh ini merupakan enzim yang paling penting peranannya dalam industri pengolahan pangan dibandingkan golongan enzim yang lainnya (Whittaker, 1994).

Ketersediaan enzim protease di dunia belum mencukupi kebutuhan, sementara pemakaian enzim protease bagi industri pangan cenderung meningkat, oleh karena itu perlu dicari sumber-sumber enzim protease lain

yang dapat mencukupi kebutuhan akan enzim tersebut (Steins, 1992). Biduri (Calotropis gigantea) yang mengandung enzim protease merupakan jenis tumbuhan semak liar di daerah tropis termasuk Indonesia. Tanaman ini banyak tumbuh pada lahan kering dan sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya aktivitas enzim protease dari hasil ekstraksi getah tanaman biduri (Witono, 2000). Penelitian ini difokuskan pada produksi enzim protease dari tanaman biduri secara massal menggunakan mesin yang dirancang sesuai dengan fungsinya. Dikatakan secara masal karena dalam proses produksinya dilakukan dengan mesin yang dapat memproduksi enzim protease biduri dalam jumlah yang besar. Bahan utama yang digunakan adalah tanaman biduri (Calotropis gigantea). Bagian tanaman biduri yang digunakan adalah daun dan batang. Selama proses produksi enzim protease biduri secara masal ditemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya aktivitas enzim seperti suhu dan waktu selama pemblenderan, adanya penjemuran, serta jenis filler yang ditambahkan. Dengan mengetahui faktor-faktor selama proses produksi enzim protease biduri (lama pemblenderan, adanya penjemuran, dan jenis filler), dapat digunakan sebagai dasar atau acuan untuk tahap pengaplikasian produksi enzim protease secara masal dengan aktivitas enzim yang tinggi sesuai dengan permintaan pasar. Permasalahan pada penelitian kali ini adalah belum diketahiunya pengaruh faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi aktivitas enzim protease biduri selama proses produksi adalah lama pemblenderan, adanya penjemuran, dan jenis filler secara masal, serta teknik produksi enzim protease dari tanaman buduri yang tepat secara masal sehingga menghasilkan enzim biduri dengan aktivitas yang tinggi sesuai dengan permintaan pasar. METODOLOGI Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : alat perajang, alat penghancur (blender), alat penyaring (saringan), centrifuge Medifriger dan tabungnya, centrifuge Yenaco model YC-1180 dan tabungnya, spectronic 21D Melton Roy dan kuvetnya, waterbath GFL 1083, oven, neraca analitik Ohaus, ayakan, dan alat-alat lain yang terkait. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun dan batang tanaman biduri (Calotropis gigantean). Bahan kimia yang digunakan adalah maizena, dekstrin dan tapioka, akuades. Metode Penelitian Dalam pelaksanaannya, daun dan batang biduri diblender dengan ditambah akuades dengan perbandingan 1:2 (berat/volume). Bubur daun disaring dan diambil filtratnya. Filtrat ditambah tepung maizena sebagai filler sebanyak 22,5% dari berat bahan olah. Selanjutnya dilakukan hidrolisis menggunakan waterbath dengan suhu 50C selama 30 menit kemudian disentrifuge. Proses sentrifuge menghasilkan

supernatan dan bubur enzim biduri. Supernatan dibuang dan bubur enzim biduri diletakkan pada loyang dan selanjutnya dioven dengan suhu 50C sampai kering. Setelah kering lalu diblender kemudian diayak dengan ayakan 80 mesh sehingga dihasilkan bubuk enzim biduri protease. Analisa Data Pengolahan data penelitian menggunakan metode deskriptif. Data hasil pengamatan ditampilkan dalam bentuk tabel, dan untuk mempermudah intepratasi data, maka dibuat grafik atau histogram. Parameter Penelitian Paramater yang diamati pada penelitian ini adalah : 1. Warna bubuk enzim biduri protease 2. Rendemen 3. Aktivitas enzim protease biduri (pengujian aktivitas protease dan metode lowry). 4. Total aktivitas enzim protease biduri. Prosedur Analisa 1) Warna Bubuk Enzim Protease Biduri Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan alat pengukur warna (color reader) (Winarno, 1995). Pengujian dilakukan dengan menempelkan permukaan alat sensor atau alat pendeteksi yang terdapat pada color reader pada bubuk enzim protease biduri. Dari alat tersebut akan didapat nilai dL, da dan db. Data yang diperoleh diolah dengan rumus : L = standar dL a* = standar + da

b* = standar + db W = 100 {(100 L) + (a* + b* ) Dimana : L = kecerahan warna, nilai berkisar antara 0 sampai dengan 100 yang menunjukkan warna hitam hingga putih a* = nilai berkisar antara -80 sampai dengan (100) menunjukkan warna hijau hingga merah b* = nilai berkisar antara -80 sampai dengan (70) menunjukkan warna biru hingga kuning W = derajat keputihan (W = 100% putih dan W = 100% hitam). 2) Rendemen Rendemen adalah perbandingan antara bubuk enzim protease yang dihasilkan dengan bahan olah (daun dan batang biduri). Besarnya rendemen yang dihasilkan antara jenis filler yang digunakan berbeda dengan yang lainnya (Vogel, 1996). Besarnya rendemen dapat dihitung dengan rumus: rendemen = massa sampel yang didapat massa bahan baku

Sedangkan persen rendemen dapat dihitung dengan menggunakan rumus:


% rendemen = massa sampel yang didapat massa bahan baku x 100%

3) Pengujian

Aktivitas Enzim Protease dengan Metode Lowry Pengujian aktivitas enzim protease menggunakan substrat soluble casein pada pH optimal, dilakukan

dengan menimbang 0,01 g soluble casein dalam tabung sentrifuse lalu dicampur dengan 3 ml buffer phospat pH 7. Pada suhu 37oC kemudian dilakukan pra inkubasi selama 4 menit. Menambahkan sampel sebesar 0,250 ml untuk filtrat getah atau 0,005 g untuk sampel crude protease ke dalam campuran, kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 37oC selama 20 menit. Pada akhir inkubasi reaksi hidrolisis dihentikan dengan larutan TCA 15% yang ditambahkan sebanyak 1 ml. Sebagai kontrol tidak dilakukan inkubasi dan reaksi hidrolisis dilakukan pada waktu 0 menit, dimana penambahan larutan TCA 15% dilakukan sebelum penambahan supernatan protease. Sentrifuse pada kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Filtrat yang diperoleh diambil 1 ml lalu di tambahkan 2,5 ml mix- lowry dan dibiarkan 10 menit. Menambahkan 0,250 ml reagen follin dan dibiarkan selama 30 menit. Tera dengan aquadest sampai volume 5 ml dan baca absorbannya dengan spektrometer pada panjang gelombang 750 nm. Data absorbansi diplotkan pada kurva standar tirosin untuk dihitung aktivitas hidrolisisnya. Aktivitas protease dinyatakan dalam unit aktivitas, dimana satu unit berarti peningkatan konsentrasi protein terlarut sejumlah satu mol pada setiap menit waktu inkubasi. Aktivitas spesifik enzim dinyatakan dalam unit aktivitas per miligram protein enzim. Perhitungan aktivitas spesifik enzim dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

1 unit aktivitas =

[C] t
keterangan [C]: kenaikan konsentrasi protein terlarut (mol tirosin) t : waktu hidrolisis (menit) 1unit = 1 mol tirosin yang di bebaskan dari substrat oleh setiap mg enzim pada suhu 37oC per menit. Total aktivitas dinyatakan sebagai jumlah unit aktivitas enzim yang terdapat dalam total berat sampel. Total Aktivitas:

Aktivitas

Berat CrudeProtease BeratSampel

Aktivitas spesifik dinyatakan sebagai total aktivitas protease per 1 gram total proteinnya. Total Protein:

( mg protein BSA)

BeratCrudeEnzim BeratSampel Total Aktivitas Total Pr otein

Aktivitas Spesifik =

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Warna Bubuk Enzim Protease Biduri Pengukuran parameter warna bubuk enzim protease biduri dilakukan dengan menggunakan color reader. Dari pengukuran tersebut didapatkan nilai derajat keputihan (W) dan tingkat kecerahan (L). Nilai derajat keputihan

(W) berkisar antara 0-100, menunjukkan warna hitam sampai putih (W = 0% hitam dan W = 100% putih). Sedangkan untuk tingkat kecerahan (L) juga ditunjukkan dengan nilai berkisar antara 0-100. Semakin besar nilai L, warna yang dihasilkan semakin putih. Pengukuran warna bubuk enzim protease biduri dibagi berdasarkan beberapa perlakuan sebagai berikut: a. Pengukuran Warna Bubuk Enzim Protease Biduri dengan Variasi Lama Pemblenderan Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan color reader untuk mengetahui nilai derajat keputihan (W) pada lama pemblenderan yaitu 2, 4 dan 6 menit. Histogram warna bubuk enzim protease biduri berdasarkan variasi lama pemblenderan dapat dilihat pada Gambar 1.

biduri memudar yang semula berwarna hijau menjadi kecoklatan. Perubahan warna hijau daun yang terjadi menyebabkan bubuk enzim protease biduri yang dihasilkan lebih cerah atau lebih putih dibandingkan dengan bubuk enzim protease biduri dengan perlakuan pemblenderan 2 dan 4 menit. b. Pengukuran Warna Bubuk Enzim Protease Biduri dengan Perlakuan Penjemuran (P) dan Tanpa Penjemuran (TP) Sama halnya dengan pengukuran warna pada sampel dengan variasi waktu pemblenderan, pada sampel bubuk enzim protease biduri dengan penjemuran (P) dan tanpa penjemuran (TP) dibawh sinar matahari adalah untuk menentukan nilai derajat keputihan (W). Histogram nilai derajat keputihan (W) bubuk enzim protease biduri dengan penjemuran (P) dan tanpa penjemuran (TP) ditunjukkan pada Gambar 2

Gambar 1 Warna Bubuk Enzim Protease Berdasarkan Variasi Lama Pemblenderan Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai derajat keputihan (W) bubuk enzim dengan lama pemblenderan 2, 4, dan 6 menit berturut-turut adalah 81,779; 81,695; dan 84,642. Bubuk enzim protease biduri dengan perlakuan pemblenderan 6 menit memiliki nilai derajat keputihan (W) paling tinggi karena disebabkan oleh tingginya suhu yang dihasilkan saat pemblenderan. Tingginya suhu yang terjadi menyebabkan kerusakan klorofil daun biduri sehingga warna bubur daun

Gambar 2 Warna Bubuk Enzim Protease Biduri dengan Penjemuran dan Tanpa Penjemuran Gambar 2 menyatakan bahwa besarnya nilai derajat keputihan (W) pada bubuk enzim protease biduri dengan perlakuan penjemuran (P) dan tanpa penjemuran (TP) dibawah sinar matahari adalah 79,542 dan 79.468. Hasil nilai (W) menunjukkan bubuk enzim protease biduri tanpa penjemuran (TP) lebih kecil

dibandingkan dengan bubuk enzim protease biduri dengan penjemuran (P) dan dapat dikatakan bubuk enzim protease (P) lebih putih dibandingkan dengan bubuk enzim protease (TP). Perbedaan nilai derajat keputihan (W) pada keduanya disebabkan karena pada bubuk enzim protease (P) terjadi oksidasi oleh panas pada ekstrak biduri sebelum dilakukan penambahan filler sehingga terjadi kerusakan klorofil pada ekstrak daun biduri yang menyebabkan warna hijau daun memudar dan agak berwarna kecoklatan sehingga bubuk enzim protease biduri setelah dioven lebih putih dibandingkan dengan bubuk enzim protease (TP) yang memiliki warna lebih gelap atau kehijauan karena pada ekstraknya tidak terjadi oksidasi dan tidak adanya kerusakan klorofil pada ekstrak daun biduri sehingga warna ekstrak tetap hijau dan setelah diovenpun warna bubuk enzim protease biduri pada bubuk enzim protease (TP) lebih gelap atau kehijauan. c. Pengukuran Warna Bubuk Enzim Protease Biduri dengan Variasi Filler Pada proses penambahan filler dalam proses pembuatan enzim protease biduri digunakan tiga jenis filler yaitu maizena, dekstrin, dan tapioka. Filler yang digunakan adalah filler yang memiliki daya serap serta daya ikat yang kuat sehingga ekstrak biduri dapat terserap dengan baik. Semakin baik atau semakin besar daya ikat filler terhadap ekstrak biduri maka semakin besar aktivitas enzim protease tersebut. Ketiga jenis filler tersebut

(maizena, dekstrin, dan tapioka) dapat dilihat pada Gambar 3

Maizena

Dekstrin

Tapioka

Gambar 3 Jenis Filler yang Digunakan dalam Proses Pembuatan Enzim Protease Biduri Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa maizena dan tapioka hampir memiliki kesamaan warna yaitu lebih putih dibandingkan warna dekstrin yang cenderung lebih gelap. Jika dilihat dari teksturnya, maizena dan tapioka memiliki tekstur yang lebih lembut dan lebih ringan dibandingkan dengan tekstur dekstrin yang lebih berat dan lebih kasar. Pati jagung mempunyai ukuran granula 15 m. Granula besar berbentuk oval polyhedral dengan diameter 6-30 m. Sedangkan granula pati tapioka berbentuk bulat dan bulat seperti terpotong pada salah satu sisi membentuk seperti drum ketel. Ukuran granula pati tapioka sekitar 20 m. Penggunaan berbagai jenis filler yang digunakan dalam produksi enzim protease biduri dapat berpengaruh terhadap nilai derajat keputihan (W) yang dihasilkan. Perbedaan nilai (W) bubuk enzim protease yang diproduksi dengan menggunakan berbagai jenis filler dapat dilihat pada Gambar 4.

Tapioka

Gambar 4 Warna Bubuk Enzim Protease Biduri dengan Variasi Jenis Filler Gambar 4 menunjukkan bahwa besar nilai derajat keputihan (W) pada bubuk enzim protease biduri dengan filler maizena, dekstrin, dan tapioka berturut-turut adalah 71,103; 62,264; dan 78,645. Perbedaan nilai (W) yang dihasilkan bubuk enzim protease denagn berbedaan jenis filler disebabkan karena perbedaan ukuran granula dari ketiga jenis filler tersebut. Semakin kecil ukuran granula yang dimiliki maka luas permukaan akan semakin besar sehingga daya serap yang dihasilkan juga semakin besar. Filler tapioka memiliki ukuran granula yang paling besar diantar ukuran granula maizena dan dekstrin, itulah yang menyebabkan tapioka susah larut dalam air sehingga daya serap dan daya ikat terhadap ekstrak daun biduri lebih kecil dibandingkan kedua filler yang lain. Hal inilah yang menyebabkan warna bubuk enzim protease biduri dengan filler tapioka yang dihasilkan lebih putih dibandingkan dengan bubuk enzim protease biduri dengan filler maizena dan dekstrin. d. Pengukuran Warna Bubuk Enzim Protease Biduri Kontrol, Maizena (6PM), dan Dekstrin (6PD) Nilai derajat keputihan (W) pada bubuk enzim protease biduri kontrol, bubuk enzim protease biduri dengan dengan perlakuan

pemblenderan 6 menit, dengan penjemuran, serta penggunaan maizena sebagai filler (6PM), bubuk enzim protease biduri dengan perlakuan pemblenderan 6 menit, penjemuran dan dekstrin sebagai filler (6PD) dapat dilihat pada Gambar 5

Gambar 5 Warna Bubuk Enzim Protease Biduri Kontrol, Maizena (6PM), dan Dekstrin (6PD) Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai derajat keputihan (W) kontrol, (6PM) dan (6PD) berturutturut adalah 74,998; 9,448; dan 64,037. Pengukuran (W) menunjukkan (6PD) memiliki derajat keputihan (W) paling kecil diantara keduanya. Hal ini disebabkan karena filler dekstrin memiliki sifat mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi, tidak kental serta lebih stabil daripada pati. Dikatakan mudah larut dalam air karena dekstrin memiliki ukuran granula yang lebih kecil dibandingkan maizena sehingga luas permukaannya lebih luas. Filler yang mudah larut dalam air memiliki daya serap yang tinggi sehingga daya ikat terhadap ekstrak juga tinggi. Namun pada dasarnya perbedaan derajat keputihan (W) dengan perlakuan dan bahan yang digunakan sama pada proses produksi bubuk enzim protease biduri tidak berpengaruh terhadap besarnya aktivitas enzim protease biduri. Walaupun begitu peranan warna juga akan mempengaruhi tampilan produk

saat dipasarkan dan dapat menambah minat konsumen 1. Rendemen Rendemen bubuk enzim protease biduri dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara berat bubuk enzim biduri yang dihasilkan dengan berat bahan olah awal (b/b). Tujuan dari penentuan rendemen bubuk enzim protease biduri adalah untuk menentukan tingkat kelayakan produksi bubuk enzim protease biduri dan menentukan filler yang tetap untuk digunakan dalam produksi skala massal. Perbedaan filler yang digunakan dalam produksi bubuk enzim protease biduri dapat menyebabkan besarnya rendemen yang dihasilkan. Rendemen produksi bubuk enzim protease dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Rendemen Bubuk Enzim Protease Biduri
Perlakuan Pemblenderan 2 menit Pemblenderan 4 menit Pemblenderan 6 menit Penjemuran Tanpa Penjemuran Filler Maizena Filler Dekstrin Filler Tapioka Kontrol 6PM 6PD 6PT Bahan Olah (gram) 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 Bubuk Enzim Kering (gram) 146,50 154,06 152,10 198,68 195,19 152,10 7,76 144,65 83,33 182,95 48,02 156,63 Rendemen (%) 14,650 15,406 15,210 19,868 19,519 15,210 0,776 14,465 8,333 18,295 4,802 15,663

pemblenderan 6 menit dan dengan penjemuran matahari 6PT = bubuk protease biduri dengan filler tapioka pada perlakuan pemblenderan 6 menit dan dengan penjemuran matahari

Keterangan: 6PM =

bubuk protease biduri dengan filler maizena pada perlakuan pemblenderan 6 menit dan dengan penjemuran matahari 6PD = bubuk protease biduri dengan filler dekstrin pada perlakuan

Tabel 1 menyatakan bahwa besarnya rendemen bubuk enzim protease biduri yang dihasilkan pada tiap-tiap perlakuan. Perbedaan besarnya rendemen yang dihasilkan disebabkan karena perbedaan filler yang digunakan, yaitu maizena, dekstrin, dan tapioka dimana pada perlakuan pemblenderan 2, 4, dan 6 menit, perlakuan dengan penjemuran dan tanpa penjemuran, penggunaan filler maizena dan perlakuan kontrol serta (6PM) menggunakan maizena sebagai filler. Sedangkan pada perlakuan penggunaan filler dekstrin dan perlakuan (6PD) menggunakan dekstrin sebagai filler serta pada perlakuan penggunaan filler tapioka dan perlakuan (6PT) menggunakan tapioka sebagai filler. Hal ini disebabkan karena ukuran granula yang dimiliki tiap-tiap filler berbeda yang menyebabkan daya larut dalam air juga berbeda dimana semakin besar ukuran granula maka daya absorbsi terhadap air semakin kecil dan mengakibatkan pati susah larut dalam air. Sebaliknya, semakin kecil ukuran granula maka daya absorbsi terhadap air semakin besar dan mengakibatkan pati mudah larut dalam air. Absorbsi air sangat berpengaruh terhadap viskositas. Walaupun pada kontrol dan (6PM) menggunakan filler yang sama yaitu maizena namun rendemen yang dihasilkan berbeda jauh. Hal ini disebabkan karena besarnya filler yang ditambahkan tidak sama sehingga

mempengaruhi besarnya rendemen yang diperoleh. Sampel (6PM) dan (6PT) memiliki besar rendemen yang hampir sama, hal ini disebabkan karena maizena dan tapioka memiliki bentuk dan tekstur serta ukuran granula yang hampir sama. Sedangkan rendemen pada (6PM) dan (6PD) sangat berbeda jauh, hal ini disebabkan karena maizena memiliki kadar amilosa 42,6 sampai dengan 67,8%, daya absorbsi dan daya larut berturutturut 6,3 (g/g) dan 12,4% kelarutan sedangkan dekstrin bersifat sangat larut dalam air panas atau dingin, dengan viskositas yang relatif rendah. Sifat tersebut mempermudah penggunaan dekstrin apabila digunakan dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Dekstrin lebih cocok digunakan sebagai filler produksi enzim protease biduri dengan menggunakan metode freez dry dan bukan pengovenan. Metode pengovenan pada produksi bubuk enzim protease biduri dapat menyebabkan warna gelap pada bubuk dan rendemen yang dihasilkan sangat sedikit. 2. Aktivitas Enzim Seperti halnya katalisator, enzim dapat mempercepat reaksi kimia dengan menurunkan energi aktivasinya. Enzim tersebut akan bergabung sementara dengan reaktan sehingga mencapai keadaan transisi dengan energi aktivasi yang lebih rendah daripada energi aktivasi yang diperlukan untuk mencapai keadaan transisi tanpa bantuan katalisator atau enzim. Enzim protease adalah enzim yang menguraikan golongan protein.

Aktivitas enzim protease biduri dihitung berdasarkan beberapa perlakuan yang berbeda dalam proses pembuatannya antara lain: perbedaan lama pemblenderan yaitu 2, 4, dan 6 menit, dengan penjemuran dan tanpa penjemuran dibawah sinar matahari, serta penggunaan filler yang berbeda yaitu maizena, dekstrin, dan taioka. Pengujian aktivitas enzim protease menggunakan substrat soluble casein pada pH optimal. Aktivitas protease dinyatakan dalam unit aktivitas, dimana satu unit berarti peningkatan konsentrasi protein terlarut sejumlah satu mol pada setiap menit waktu inkubasi. a. Aktivitas Enzim Berdasarkan Lama Pemblenderan Terdapat perlakuan pemblenderan atau penghancuran dalam proses pembuatan enzim protease biduri. Tujuan dari pemblenderan adalah untuk menghancurkan daun biduri sehingga menjadi bubur daun biduri dan memudahkan proses ekstraksi. Menurut Apriyanto (1989), salah satu cara ekstraksi adalah dengan menghancurkan bahan. Pada perlakuan ini, terdapat tiga variasi lama pemblenderan yaitu 2, 4, dan 6 menit. Lamanya waktu pemblenderan mempengaruhi tingkat kehancuran daun. Semakin lama waktu pemblenderan maka bubur yang dihasilkan akan semakin halus dan luas permukaan akan semakin luas. Disamping tingkat kelembutan teksturnya yang berbeda, lamanya pemblenderan juga mempengaruhi suhu bubur daun biduri, semakin lama waktu pemblenderan maka semakin tinggi suhu bubur daun biduri tersebut.

Perbedaan suhu pada proses pemblenderan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perbedaan Suhu Bubur Biduri dengan Variasi Lama Pemblenderan Rata-rata Suhu Lama Bubur Pemblenderan (C) 2 menit 4 menit 6 menit 33,67 37,00 40,33

Semakin lembut bubur daun yang dihasilkan, maka semakin luas permukaan daun sehingga ekstrak yang dihasilkan akan semakin banyak dan aktivitas enzim protease yang dihasilkan juga akan semakin tinggi. b. Aktivitas Enzim Protease Biduri dengan Penjemuran (P) dan Tanpa Penjemuran (TP) Aktivitas enzim protease dengan penjemuran (P) dan tanpa penjemuran (TP) dibawah sinar matahari dapat dilihat pada Gambar 7.

Perbedaan suhu yang disebabkan oleh lamanya waktu pemblenderan juga dapat mempengaruhi aktivitas enzim protease. Aktivitas enzim protease biduri dengan pemblenderan selama2, 4, dan 6 menit berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 7

Gambar 6 Aktivitas Enzim dengan Variasi Lama Pemblenderan Gambar 6 menunjukkan bahwa pada lama pemblenderan 2, 4, dan 6 menit enzim protease berturutturut sebesar 2,822 x 10-4, 2,507 x 10-4, dan 3,296 x 10-4 unit. Lamanya waktu pemblenderan berpengaruh terhadap besarnya aktivitas enzim yang dihasilkan. Aktivitas enzim pada perlakuan 6 menit paling tinggi diantara yang lainnya. Hal ini disebabkan karena proses pemblenderan yang lebih lama dibandingkan yang lainnya dan hasil bubur yang dihasilkan paling lembut.

Aktivitas Enzim Protease Biduri dengan Perlakuan Penjemuran (P) dan Tanpa Penjemuran (TP) Gambar 7 menyatakan bahwa aktivitas enzim protease dengan perlakuan penjemuran (P) dan tanpa penjemuran (TP) memiliki aktivitas enzim sebesar 2,858 x 10-4 dan 1,712 x 10-4 unit. Aktivitas enzim protease (P) lebih besar dibandingkan dengan aktivitas enzim protease (TP) disebabkan karena peningkatan suhu yang terjadi saat proses penjemuran dibawah sinar matahari dapat meningkatkan aktivitas enzim protease. Menurut Poedjiadi (1994), kegiatan enzim protease akan meningkat bila suhu dinaikkan hingga 50C, selanjutnya diatas suhu tersebut kegiatan enzim akan menurun sehingga akhirnya berhenti bekerja. Selain itu, aktivitas enzim protease (P) dipengaruhi oleh reaksi oksidasi saat dilakukan penjemuran dibawah sinar matahari yang dapat meningkatkan aktivitas enzim.

c. Aktivitas Enzim Protease Biduri dengan Variasi Jenis Filler (Maizena, Dekstrin, dan Tapioka) Penggunaan berbagai jenis filler (maizena, dekstrin, dan tapioka) dalam pembuatan bubuk enzim protease biduri berpengaruh terhadap besarnya aktivitas enzim protease yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh besarnya granula dan, daya serap (absorbsi) masing-masing filler. Besarnya aktivitas enzim protease biduri dengan variasi jenis filler dapat dilihat pada Gambar 8 Gambar 8 Aktivitas Enzim Protease Biduri pada Berbagai Jenis Filler Gambar 8 menunjukkan aktivitas enzim dengan variasi filler maizena, dekstrin, dan tapioka berturut-turut adalah 2,276 x 10-4, 3,729 x 10-4 dan 2,029 x 10-4 unit. Aktivitas enzim protease biduri yang menggunakan filler dekstrin paling besar diantara keduanya karena filler dekstrin memiliki sifat mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi, tidak kental serta lebih stabil daripada pati. Sifat dekstrin yang mudah larut dalam air menunjukkan besarnya daya serap dekstrin terhadap air. Hal ini mengakibatkan ekstrak daun biduri yang diserap oleh dekstrin semakin banyak sehingga aktivitas yang dihasilkanpun lebih besar diantara aktivitas enzim dengan filler lainnya. Walaupun penggunaan filler dekstrin dalam produksi enzim protease biduri menghasilkan aktivitas yang paling tinggi diantara keduanya, namun

maizena lebih diminati untuk digunakan sebagai filler dalam produksi enzim protease biduri. Hai ini dikarenakan hasil bubuk enzim protease biduri yang menggunakan filler dekstrin sangat gelap dan hasil yang diperoleh sangat sedikit. Selain itu harga dekstrin jauh lebih mahal dan susah diperoleh. Sedangkan hasil bubuk enzim protease biduri yang menggunakan filler maizena lebih terang dan hasilnya juga lebih banyak. Selain itu harga maizena jauh lebih murah dan mudah diperoleh. d. Aktivitas Enzim Protease Biduri Kontrol, Perlakuan Pemblenderan 6 Menit dengan Penjemuran, Menggunakan Filler Maizena (6PM) dan Dekstrin (6PD) Hasil perhitungan dan analisa dari perlakuan sebelumnya dalam proses produksi enzim protease biduri telah diketahui bahwa yang memiliki aktivitas paling tinggi dari tiap tahapnnya adalah pemblenderan selama 6 menit, dengan penjemuran dibawah sinar matahari, dan penggunaan maizena dan dekstrin sebagai filer. Perolehan hasil yang didapat sebelumnya dijadikan acuan untuk memproduksi enzim protease biduri dengan aktivitas enzim yang lebih tinggi dari kontrol. Kontrol adalah bubuk enzim protease yang diproduksi secara masal sebelum perlakuan. Perbandingan besarnya aktivitas enzim protease biduri kontrol, 6PM dan 6PD dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Perbandingan Aktivitas Enzim Protease Biduri antara Kontrol, 6PM, dan 6PD Gambar 9 diketahui aktivitas enzim protease biduri kontrol, 6PM, dan 6PD berturut-turut adalah 3,179 x 10-4, 5,467 x 10-4 , dan 5,920 x 10-4 unit. Perolehan data menunjukkan bahwa aktivitas enzim dapat ditingkatkan dengan perlakuan pemblenderan selama 6 menit, dengan penjemuran, dan penggunaan maizena maupun dekstrin sebagai filler. Namun untuk produksi enzim protease biduri secara masal, penggunan filler maizena lebih diutamakan karena lebih ekonomis dan mudah diperoleh sehingga biaya yang dikeluarkan juga tidak terlalu besar walaupun aktivitas enzim yang dihasilkan lebih kecil. 1. Total Aktivitas Total aktivitas dinyatakan sebagai jumlah unit aktivitas enzim yang terdapat dalam total berat sampel. Besarnya total aktivitas produksi enzim protease biduri dengan perlakuan pemblenderan 6 menit, penjemuran dan penggunaan (maizena, dekstrin, dan tapioka) sebagai filler dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Total Aktivitas Enzim Protease Biduri dengan Berbagai Perlakuan
Sampel Kontrol 6PM 6PD 6PT Bahan Olah (gram) 1000 1000 1000 1000 Aktivitas Enzim (unit) 3,179 x 10-4 5,467 x 10-4 5,92 x 10-4 2,029 x 10-4 Rendemen (%) 8.333 18.295 4.802 15.663 Total aktivitas (unit) 2,649x10-2 10,002 x10-2 2,843 x10-2 3,178 x10-2

6PM = 6PD = 6PT =

bubuk protease biduri dengan filler maizena pada perlakuan pemblenderan 6 menit dan dengan penjemuran matahari bubuk protease biduri dengan filler dekstrin pada perlakuan pemblenderan 6 menit dan dengan penjemuran matahari bubuk protease biduri dengan filler tapioka pada perlakuan pemblenderan 6 menit dan dengan penjemuran matahari

Tabel 3 menunjukkan enzim protease yang memiliki total aktivitas terbesar adalah enzim protease yang diproduksi secara masal dengan pemblenderan 6 menit, penjemuran dibawah sinar matahari, dan penggunaan maizena sebagai filler. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa metode yang paling tepat digunakan untuk produksi enzim protease biduri secara masal adalah dengan pemblenderan 6 menit, penjemuran dan penggunaan maizena sebagai filler. Dikatakan paling tepat karena selain total aktivitas yang diperoleh paling tinggi dibandingkan yang lainnya, harga maizena lebih terjangkau dan mudah diperoleh sehingga sangat cocok digunakan dalam produksi enzim protease biduri skala massal. Selain itu, warna bubuk enzim protease yang dihasilkan cukup baik yaitu berwarna putih.

KESIMPULAN Produksi enzim protease biduri secara masal yang tepat dilakukan dengan pemblenderan bahan baku biduri selama 6 menit, suspensi biduri dijemur dibawah sinar matahari, dan penggunaan maizena sebagai filler agent sebagai alternatif pertama. Penggunaan dekstrin sebagai filler

Keterangan:

agent dapat dijadikan sebagai alternatif kedua. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini di danai oleh : IMHERE (IBRD Loan No 4789-IND & IDA Loan No 4077-IND DAFTAR PUSTAKA Apriyanto. 1989. Pemanfaatan Teknologi Pangan. Buletin Pusbangtepa, 7: 18. IPB. Poedjiadi. 1994. Teknologi, Produk, Nutrisi, dan Keamanan Pangan. Semarang: Unika Soegijapranata.

Steins,

T. 1992. Flora. Jakarta: Pradnya Paramita. Vogel, A.I. 1996. Vogel's Textbook of Practical Organic Chemistry, 5th Edition. Prentice Hall. Whittaker, Jr. Principle of Enzymology for The Food Science. Second Edition. New York: Mascel Decker, 1994. Witono, Y. (2000): Ekstraksi dan Karakterisasi Ensim Protease Dari Tanaman Biduri (Calotropis gigantea Dryan). Tesis Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang.

Вам также может понравиться