Вы находитесь на странице: 1из 6

Badan Diklat Prov.

Kaltim

NASIB KEDAULATAN EKONOMI INDONESIA*)


Oleh: Ery Arifullah, ST, MT Widyaiswara Muda Bandiklat Prov. Kaltim

ABSTRAK

Sejarah pada dasarnya dibuat bukan terjadi begitu saja. Masa lalu adalah kunci masa sekarang dan masa sekarang adalah kunci masa depan. Kedaulatan ekonomi Indonesia dan bahkan negara-negara berkembang saat ini tidaklah seideal seperti banyak anggapan orang. Semua bermula dari berakhirnya Perang Dunia II. Mulai dari terbentuknya IMF dan Bank Dunia hingga kebijakan Presiden Nixon di tahun 1971. Seluruh kebijakan itu berdampak luar biasa bagi negera-negara berkembang. Atas nama globalisasi sebagian besar negara-negara di dunia masuk dalam IMF dan Bank Dunia termasuk Indonesia. Globalisasi sudah menjadi mantra yang menghipnotis. Ketika Indonesia mengalami krisis tahun 1997 secara terpaksa Indonesia menandatangai kesepakatan dengan IMF pada tahun 1998. Sejak saat itu permainan pun dimulai. Apa yang terjadi selanjutnya? Ekonomi kita tidak kunjung pulih. Sebagian besar kebijakan-kebijakan ekonomi tidaklah berpihak masyarakat dan lebih cendrung berpihak kepada pihak asing. Kedaulatan ekonomi kitapun lepas dari tangan kita. Tulisan ini mungkin sebagian menganggap sudah tidak relevan atau tidak up to date dalam kondisi kekinian. Namun saya percaya bukan masalah relevan atau tidak relevan, up to date atau tidak up to date. Permasalahan utamanya adalah menganggap angin lalu masalah ini, walaupun mungkin sudah banyak mendengar dan membaca topik ini. Tapi apakah kita sudah melihat maknanya? Melalui tulisan saya ingin mengajak pembaca untuk kembali melihat kondisi bangsa dan negara ini secara holistik agar kita bisa belajar dari masa lalu. ______________________________________________________________________________________________ Kata kunci: IMF, Bank Dunia, Kebijakan Nixon, globalisasi, kedaulatan ekonomi. *) Disajikan pada Sharing Knowledge di Bandiklat Kaltim, 4 Mei 2010

Badan Diklat Prov. Kaltim

Sejarah dimulai
Bretton Wood Agreement. Pada tahun 1944, saat Perang Dunia II akan berakhir, pertemuan para bankir internasional digelar di sebuah resor di Bretton Woods, New Hampshire United Nations Monetary and Financial Conference. Konferensi ini membawa hasil diciptakannya International Monetary Fund (IMF) Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia. Walaupun persepsi populer yang berkembang adalah kedua agen ini diciptakan untuk kebaikan dunia, sebenarnya keduanya membawa banyak kerusakan yang terbesar adalah menyebarnya sistem keuangan fiat ke seluruh dunia. Uang fiat adalah uang yang hanya didukung oleh kepercayaan baik oleh pemerintah maupun kredit. Kebijakan Presiden Richard Nixon. Pada tahun 1971 masa pemerintahan Presiden Nixon, dolar dipisahkan dari emas, IMF dan Bank Dunia menuntut seluruh dunia memisahkan mata uang dari standar emas atau dikeluarkan dari klub mereka. Krisis global dewasa ini menyebar karena perekonomian dunia menyandarkan diri pada uang yang tidak didukung oleh sesuatu apapun. IMF dan Bank Dunia adalah perpanjangan tangan Federal Reserves dan bank-bank sentral Eropa lainnya (Kiyosaki, 2009). Mereka meminta bank-bank sentral seluruh dunia (termasuk Bank Indonesia) untuk mengganti uang mereka menjadi mata uang fiat, mata uang yang tidak didukung oleh emas dan perak, serupa dengan mata uang Jerman pra-Perang Dunia II. Dengan kata lain, Amerika Serikat, IMF dan Bank Dunia mulai mengekspor sistem moneter jenis Jerman ke dunia. Tidak dapat dipungkiri lagi ketika IMF dan Bank Dunia meminta bank-bank sentral di seluruh dunia untuk mengganti uang mereka menjadi mata uang fiat (Kiyosaki, 2009) maka Indonesiapun mengikutinya. Bank sentral mencetak uang fiat tanpa didasari oleh adanya cadangan emas yang seharusnya, Kemudian uang ini digandakan oleh dunia perbankan melalui konsep fractional reserve banking melalui proses yang disebut penciptaan uang atau money creation (Kiyosaki, 2009). Kesepakatan 50 butir RI - IMF. Masih segar di ingatan kita, bagaimana pada tanggal 15 Januari 1998, Presiden Republik ini harus mengikuti kemauan IMF dengan menanda tangani 50 butir kesepakatan. Di butir-butir tersebut-lah Indonesia kehilangan kedaulatan ekonominya sejak 15 Januari 1998 . Berikut adalah sebagian kecil dari 50 butir-butir kesepakatan dengan IMF (International Monetary Fund) yang menunjukkan bahwa kedaulatan ekonomi dari tangan kita:

1.

Pemerintah diharuskan membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan akhirnya pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud, maka lahirlah Undang-undang no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

Article V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota. Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar. Article IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF. Article VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, export import emas, neraca perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya.

Badan Diklat Prov. Kaltim

Pengaruh IMF terhadap kebijakan-kebijakan Bank Indonesia tersebut tentu memiliki dampak yang sangat luas terhadap Perbankan Indonesia karena seluruh perbankan di Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia. Dampak lebih jauh lagi karena perbankan juga menjadi tulang punggung perekonomian, maka perekonomian Indonesiapun tidak bisa lepas dari pengaruh kendali IMF.

2.

Pemerintah harus membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang sudah go public. Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.

3. 4.

IMF pula yang mendorong merger empat bank pemerintah menjadi satu dan mendorong satu lagi bank pemerintah untuk go publik. Pemerintah Indonesia harus secara bertahap menurunkan tarif pajak untuk produk pertanian non-pangan dari luar sampai akhirnya tercapai maksimum pajak 10 %. Ini tentu akan membuat produk pertanian non-pangan asing menjadi sangat kompetitif di pasar ini dan dapat menyingkirkan produk local sejenis.

5.

Pemerintah harus menurunkan tarif bahan kimia, baja, metal dan alat-alat perikanan sampai dikisaran 5%-10%. Mirip dengan no 4, produsen lokal pelan-pelan bisa tersingkir oleh pemain asing.

6.

Pemerintah harus menurunkan pajak ekspor untuk kayu gelondongan, kayu gergajian, rotan dan mineral maksimum pada angka 30%. Dampak dari hal ini adalah berpindahnya proses yang memberi nilai tambah dari dalam negeri ke luar negeri. Indonesia dikeruk hasil hutan dan mineralnya dengan nilai tambah yang minimal, nilai tambah yang lebih besar dinikmati oleh para pemain asing.

7.

Pemerintah harus mencabut larangan ekspor minyak sawit dan boleh menggantinya dengan pajak ekspor maksimum 40 %. Minyak goreng yang sangat dibutuhkan oleh penduduk negeri ini, yang waktu itu sempat langka justru harus di ekspor lagi-lagi untuk kepentingan pihak asing dimana lagi mereka bisa memperoleh minyak sawit yang masih murah ?

8.

Pemerintah harus menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi domestik maupun internasional. Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat.

9.

Pemerintah harus mencabut larangan investor asing masuk dalam bisnis ritel dan penjualan skala besar.

Kebijakan pemerintah Indonesia paska perjanjian dengan IMF:


1. UU No. 10/1998 tentang Perbankan.

Badan Diklat Prov. Kaltim

2. 3.

Kepres No. 99/1998 & Keputusan Menteri Penanaman Modal No. 23/SK/1998 tentang investasi asing. UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia. Pertanyaannya adalah, seandainya Indonesia masih berdaulat mengapa untuk membuat Undang-Undang yang begitu penting harus dipaksakan oleh pihak asing? Kalau Undang-Undangnya dipaksakan oleh pihak asing yang diwakili oleh IMF waktu itu, terus untuk kepentingan siapa Undang-Undang ini dibuat?. Dalam salah satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota, lahirnya UndangUndang no 23 tersebut tentu sejalan dengan kemauan IMF. Lantas hal ini menyisakan pertanyaan besar siapa yang mengendalikan uang di negeri ini?. Dengan Undang-undang ini Bank Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia. Tetapi ironisnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF.

4.

UU No. 19/2003 tentang Privatisasi BUMN. Sejak UU ini dikeluarkan maka ada 44 BUMN yang akan dijual (Gatra, 14 20 Februari 2008). Nasionalisme kita mengajarkan bagaimana kita mengolah sendiri kekayaan alam yang diberikan Tuhan demi kemakmuran rakyat. Bukan sebaliknya dengan alasan globalisasi kita justru mengobral aset bangsa dengan nilai yang tidak wajar hanya untuk memperoleh pujian asing dan keuntungan segelintir orang (Bawazier, 2006).

5.

UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Kesepakatan RI dengan IMF diatas, baru 9 dari 50 butir kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF. Namun dari contoh-contoh ini, dengan gamblang kita bisa membaca begitu kentalnya kepentingan korporasi asing besar, pemerintah asing dan institusi asing atau sering disebut dengan Korporatorkrasi (Perkins, 2009) yang mendiktekan kepentingan mereka ketika kita dalam posisi yang sangat lemah, yang diawali oleh kehancuran atau penghancuran nilai mata uang Rupiah kita.

Sejarah Kembali Berulang


Penjajahan ekonomi ala IMF ini mirip dengan catatan sejarah kita 400 tahun lalu, berikut model penjajahan VOC. Menurut Suryanegara, (2009), pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta. Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda

Badan Diklat Prov. Kaltim

terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantupembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa itu, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.

Tujuan Akhir
Sebenarnya apa tujuan dari ini semua? Jawabannya ada di dalam buku The Confessions of an Economic Hitman. Menurut Newsweek terbitan terakhir, buku ini tercantum dalam daftarbestseller dari New York Times selama tujuh minggu. Berikut beberapa halaman terjemahannya di halaman 15-16:

1.

Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan utang yang sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsutan di mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halli burton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya se telah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pengutang (baca: Indonesia) menjadi target yang empuk kalau kami membutuhkan dukungan, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.

2.

Selanjutnya: Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negaranegara penerima utang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima utang. Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan. Saat ini hutang Indonesia sudah mendekati angka Rp. 2000 Trilliyun. Beberapa pertanyaan penting yang menjadi PR kita bersama adalah: 1. Berada dimanakah nasib kedaulatan ekonomi Indonesia sekarang? Seandainya Indonesia masih berdaulat mengapa untuk membuat Undang-Undang yang begitu penting harus dipaksakan oleh pihak asing?

2. 3. 4.
5.

Kalau Undang-Undangnya dipaksakan oleh pihak asing yang diwakili oleh IMF waktu itu, terus untuk kepentingan siapa Undang-Undang ini dibuat?. Siapa yang mengendalikan uang di negeri ini? Siapakah yang paling bertanggungjawab terhadap keadaan nasib bangsa Indonesia? Apa yang bisa kita lakukan sekarang?

6.

Badan Diklat Prov. Kaltim

Kesimpulan
1. Sejarah kembali berulang namun dalam bentuk yang berbeda namun motifnya tetap sama. Isi kesepakatan RI IMF sangat kental dengan kepentingan korporasi-korporasi besar dan telah memberi pengaruh luar biasa pada kebijakan pemerintah RI.

2. 3.
4.

IMF berperan banyak dalam proses penjualan banyak perusahaan negara ke pihak asing. Indonesia pada hakekatnya belumlah merdeka. Karena Neokolonialisme benar-benar memang ada.

Referensi:
Fuller, Buckminster., (1984). Grunch of Giant, St Martins Pr New York . Fuad Bawazier., (2006). Kepemilikan asing di Indonesia. Republika Online Kiyosaki, Robert., (2009). Rich Dads Conspiracy of the Rich 8 aturan baru uang, Gramedia Jakarta, 300 p. Perkins, John., (2006). Confession of an Economic Hitman, Penguin Books, Ltd London. Rais, MA., (2008). Selamatkan Indonesia, PPSK Press Yogyakarta. Suryanegara, A.M., (2009). Api Sejarah, Salamadani Pustaka Semesta Bandung.

Вам также может понравиться