Вы находитесь на странице: 1из 6

Posisi strategis sumberdaya hutan dalam konteks pembangunan nasional, memiliki dua peran utama yaitu peran dalam

pembangunan ekonomi dan peran dalam pembangunan lingkungan. Peran hutan dalam pembangunan ekonomi terutama adalah dalam penyediaan barang dan jasa yang memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan perekonomian nasional, daerah dan masyarakat. Peran hutan dalam pelestarian lingkungan hidup adalah dalam menjaga keseimbangan tata air, pengawetan tanah dan kualitas udara, sebagai unsur utama daya dukung lingkungan dalam sistem penyangga kehidupan. Dari sisi pembangunan sosial-ekonomi, sektor kehutanan diharapkan masih memegang peranan penting dalam pertumbuhan nasional (pro-growth) melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, peningkatan pemanfaatan hasil hutan untuk mendukung perolehan devisa, penerimaan negara lainnya dan pemenuhan kebutuhan domestik akan hasil hutan, penyerapan tenaga kerja (pro-job) serta pengurangan angka kemiskinan (pro-poor). Disisi pembangunan lingkungan (pro-environment), jasa-jasa lingkungan yang dihasilkan dari hutan, seperti keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, stabilitasi lingkungan dan perlindungan tata air, keindahan alam dan udara bersih merupakan komponen sistem penyangga kehidupan serta menjadi kondisi pemungkin (enabling condition) bagi terselenggaranya pembangunan sektor non-kehutanan. Melalui pengelolaan hutan secara berkelanjutan, termasuk didalamnya pemanfaatan yang rasional, efisien dan bertanggung-jawab, peran ganda sumberdaya hutan seharusnya dapat berjalan secara harmonis dan seimbang. Namun demikian, pengelolaan hutan yang berlangsung selama ini cenderung masih mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian sehingga potensi dan daya dukungnya semakin menurun. Kondisi sumberdaya hutan saat ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan, akibat rendahnya kualitas pengelolaan, merebaknya praktik-praktik yang merusak hutan, kurangnya kepedulian dalam penanganan dampak negatif kegiatan pembangunan serta tumpang-tindihnya penataan ruang.

Selain kerusakan yang disebabkan ulah manusia, hutan juga akan semakin rentan karena adanya pemanasan global dan perubahan iklim akibat peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir. Dampak dari perubahan iklim seperti kekeringan, kejadian iklim ekstrim dan pergeseran musim, dan peningkatan genangan air pasang akan menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas kebakaran hutan, perubahan periode pembungaan dan pembuahan, pergeseran distribusi spesies, merebaknya hama dan penyakit, penurunan populasi satwa dan kematian vegetasi hutan. Untuk itu, upaya adaptasi terhadap perubahan iklim mutlak dilakukan untuk meningkatkan daya adaptabilitas dan kelentingan (resiliensi) bio-ekologis, kehidupan masyarakat (livelihood) maupun usaha kehutanan.

Rencana Tata Ruang Rencana tata ruang seharusnya digunakan sebagai acuan kebijakan spasial bagi pembangunan di setiap sektor maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat terselenggara secara sinergis, serasi dan berkelanjutan. Pada kenyataannya, masih banyak terjadi tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang karena rencana tata ruang belum dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan dan pemberian ijin pemanfaatannya, serta rendahnya kualitas pemanfaatan tata ruang dan pengendaliannya akibat rendahnya kualitas informasi untuk penyusunan rencana tata ruang. Kondisi ini selain menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor, juga dapat mengakibatkan terjadinya fragmentasi ekosistem hutan.

Good Governance

Pemecahan berbagai permasalahan dan peningkatan kinerja sektor kehutanan akan sulit diwujudkan apabila tidak dilakukan penguatan kondisi pemungkinnya (enabling condition) yaitu tata kepemerintahan yang baik (good governance). Keterlibatan dan sinergi tiga unsur utama yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat mutlak diperlukan untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik pada lembaga penyelenggara negara (good public governance), dunia usaha (good corporate governance) dan masyarakat (good community practices).

Sejumlah skema pendanaan telah dikembangkan untuk rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia. Selain upaya restorasi yang wajib dilakukan oleh pemegang konsesi setelah kegiatan logging, sebagian besar upaya rehabilitasi dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah melalui dana rebosasi. Skema dan organisasi kehutanan tersebut dibahas secara ringkas di bawah ini. Beberapa bidang masalah yang penting telah diidentifikasi selama penyusunan Rencana Tindak ini. Implikasi masalah dianalisis dan diberikan rekomendasinya.

Untuk kepentingan rencana tindak ini, lahan kabupaten dibagi ke dalam dua kategori utama: kawasan hutan, dan lahan pertanian dan lainnya. Gambar 3-1 menyajikan prinsip-prinsip tipe lahan kritis yang perlu direhabilitasi. Pembahasan yang lebih rinci dari kategori-kategori tersebut serta luas lahan kritis sebenarnya dapat dilihat pada Forest Rehabilitation Baseline Study (Studi Dasar Rehabilitasi Hutan), Oktober 2001. Kotak seluruh lahan kritis adalah lahan yang karena berbagai alasan telah menjadi lahan nganggur atau tidak produktif. Areal tersebut sebaiknya dikaji secara teliti dan dihitung kelayakannya mengingat saat ini potensi produktifitasnya belum sepenuhnya dimanfaatkan. Potensi rehabilitasi suatu areal tergantung pada sejumlah faktor. Kepemilikan lahan, populasi di dalam dan sekitar areal, aksesibilitas, kualitas tapak dan luas areal adalah beberapa faktor penting. Kemungkinan keberhasilan dan kegagalan tergantung pada kesesuaian faktorfaktor tersebut dengan tujuan rehabilitasi. Sebagai contoh, perlindungan hutan hanya dapat berhasil jika mayoritas masyarakat mendukungnya. Jika masyarakat tidak melihat adanya manfaat perlindungan, mereka tidak akan bersedia mendukungnya. Kondisi sebagian besar hutan lindung yang memprihatinkan menunjukan bahwa perlindungan belum menjadi prioritas tinggi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar areal.

Penyusunan Proposal Rencana Tindak


Aspek-aspek multidisiplin seperti pasokan dan kebutuhan kayu, pasar dan transportasi, pertimbangan hukum dan ekonomi dll. harus dimasukkan ke dalam proses. Model-model dasar memberi ide tentang tentang kelayakan ekonomi dari berbagai peluang rehabilitasi dan bisnis. Model-model tersebut dapat digunakan pada tahap awal untuk menyaring tindakan-tindakan apa saja yang sesuai untuk merehabilitasi suatu areal. Seringkali peluang rehabilitasi lahan hutan yang kritis melalui cara-cara yang lestari terhambat oleh masalah kepemilikan lahan, yang menyebabkan tidak berjalannya kegiatan secara efisien dan lestari. Lihat Bab 3. Penyelesaian yang memuaskan atas masalah hak lahan menjadi prasyarat kegiatan rehabilitasi yang mendatangkan keuntungan dan berjangka lama. Rencana tindak

dimaksud mencakup suatu kegiatan yang menyoroti aspek kepemilikan lahan oleh instansi terkait. Beberapa contoh tentang bagaimana langkah proses perencanaan selanjutnya dapat dilakukan tercantum di dalam laporan.

Keputusan yang Berwenang


Keberhasilan implementasi rencana tindak rehabilitasi hutan lahan kritis sangat tergantung pada bagaimana aspek kepemilikan lahan dapat ditangani dalam jangka panjang. Pengalaman internasional jelas-jelas menunjukkan bahwa tanpa adanya suatu solusi yang memberi keuntungan jangka panjang dan wajar dari suatu kegiatan rehabilitasi kepada para pengelola (perusahaan, masyarakat dan pengusaha skala kecil), mereka tidak akan mau terlibat di dalamnya. Sebaliknya, mereka mungkin akan melakukan sabotase atas upaya rehabilitasi melalui peladangan berpindah yang terus menerus dan bahkan mungkin lebih buruk dan/atau mengabaikan tindakan-tindakan pemeliharaan dan perlindungan. Dengan demikian, sepanjang masalah kepemilikan lahan belum terselesaikan dengan memuaskan, upaya dan dana rehabilitasi akan terbuang sia-sia

Penyusunan Rencana Rehabilitasi Hutan


Pelaku utama dalam proses perencanaan adalah instansi tingkat Propinsi dan Kabupaten bersama dengan stakeholder lainnya yang terlibat langsung seperti desa, kecamatan dan perusahaan-perusahaan. Dalam fase kedua, SCKPFP dapat bertindak sebagai fasilitator dan konsultan untuk mendorong proses perencanaan. Contoh-contoh proses perencanaan yang pertama dan lengkap dimaksudkan untuk menunjukkan perkembangan dan penyempurnaan praktis proses tersebut. SCKPFP dapat memantau proses ini dan terus menyempurnakan dan mengembangkan kegiatan perencanaan berdasarkan pengalaman-pengalaman praktis termasuk partisipasi dan interaksi stakeholder. Beberapa komponen proyek sebaiknya dilibatkan secara aktif di dalam kegiatan tersebut. Komponen pelatihan dan komunikasi secara khusus dapat memainkan peranan penting di dalam menggerakkan stakeholder. Output dari laporan ini adalah informasi dasar yang sistematis mengenai kondisi dan kemungkinan yang

ada di daerah bersangkutan.

Perencanaan Kegiatan Rehabilitasi


Kegiatan perencanaan sebenarnya harus melibatkan secara aktif stakeholder sejak awal. Penyuluhan diupayakan untuk dilaksanakan dalam rangka mendorong keterlibatan stakeholder di dalam kegiatan perencanaan praktis. Dengan dukungan fasilitator khusus, perlu diselenggarakan pelatihan tentang bagaimana melaksanakan partisipasi. Proses perencanaan praktis akan membutuhkan waktu guna menjamin bahwa para peserta sepenuhnya memahami cara-cara mempengaruhi proses dan hasil perencanaan. Untuk menyelesaikan konflik diperlukan juga waktu. Kondisi di propinsi dan kabupaten juga dapat mensyaratkan perlunya mengundang pihak pengusaha dari luar areal perencaaan untuk turut serta di dalam proses perencanaan. Perhatian secara khusus harus diberikan pada peluang pemasaran dan ekonomi produk dari kegiatan rehabilitasi. Dukungan stakeholder yang kuat terhadap usulan tindakan untuk diimplementasikan yang diajukan kepada instansi yang lebih tinggi serta pendanaan tentunya merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan.

Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RPRHL adalah rencana manajemen (management plan) dalam rangka penyelenggaraan RHL sesuai dengan kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. DAS = daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungai yang bersifat menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dengan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. 6.

Daerah Tangkapan Air (DTA) atau Catchment Area adalah suatu wilayah daratan yang menerima air hujan, menampung, dan mengalirkannya melalui satu outlet atau tempat atau peruntukan tertentu. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 9. Hutan Kota adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohonan yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. 10. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang khas, tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, terutama di laguna, muara sungai, dan pantai yang terlindung dari substrat lumpur atau lumpur berpasir dan dicirikan oleh keberadaan jenis-jenis Avicenia spp. (Api-api), Soneratia spp. (Pedada), Rhizopora spp. (bakau), Bruguiera spp. (Tanjang) Lumnitzera excoecaria (Tarumtum), Xylocarpus spp (Nyirih), Anisoptera dan Nypa fructicans (Nipah). Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 %. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 18. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembanguan berkelanjutan. 19. Konservasi tanah adalah upaya penempatan setiap bidang lahan pada penggunaan (secara vegetatif dan/atau civil technic) yang sesuai dengan kemampuan lahan tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga dapat mendukung kehidupan secara lestari Lahan Kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan.

Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan terhadap tanaman dan lingkungannya dalam luasan dan kurun waktu tertentu agar tanaman tumbuh sehat dan berkualitas sesuai dengan standar hasil yang ditentukan. 23. Penanaman pengkayaan reboisasi adalah kegiatan penambahan anakan pohon pada areal hutan rawang yang memiliki tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon 200-400 batang/ha, dengan maksud untuk meningkatkan nilai tegakan hutan baik kualitas maupun kuantitas sesuai fungsinya. 24. Penanaman pengkayaan hutan rakyat adalah kegiatan penambahan anakan pohon pada lahan yang memiliki tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan poles 200-250 batang/ha, dengan maksud untuk meningkatkan nilai tegakannya baik kualitas maupun kuantitas sesuai fungsinya. 25. Penghijauan adalah kegiatan RHL yang dilaksanakan di luar kawasan hutan. 26. Penghijauan lingkungan adalah usaha untuk menghijaukan lahan dengan melaksanakan penanaman di taman, jalur hijau, halaman tempat ibadah, perkantoran, sekolah, pemukiman, sempadan sungai. 27. Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sisterm penyangga kehidupan tetap terjaga. 28. Reboisasi adalah upaya pembuatan tananam jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong/terbuka, alang-alang atau semak belukar dan hutan rawang untuk mengembalikan fungsi hutan. 29. Rehabilitasi hutan mangrove dan sempadan pantai adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove dan hutan pantai yang mengalami degradasi, kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Вам также может понравиться