Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
berputar seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa. Peristiwa ini dikenal sebagai medan putar pada mesin asinkron.
1.1
c c1
0 - 180 -135 - 90 -45 0 45 90 135 180
b1 b a).
a1
a b).
- 1.1
ia t1
ib t2 t3
ic t4
ic ib b c ia
ic ib ia ib
ic ia
ic ib c ia
tot b
a c tot
a tot b tot t3 c
a b
t1
t2
t4
Gb.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berputar. Arus positif menuju titik netral, arus negatif meninggalkan titk netral. Fluksi total tot tetap dan berputar.
Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi antara jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran sinkron sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu
f1 =
(1)
dengan f1 adalah frekuensi tegangan stator, ns adalah kecepatan perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator seperti pada contoh konstruksi mesin pada Gb.1. jumlah kutub adalah 2, sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran sinkron adalah 3000 rpm. Untuk mempuat jumlah kutub menjadi 4, belitan stator disusun seperti pada stator mesin sinkron pada Gb.1. Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator akan mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena konduktor rotor merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir arus yang kemudian berinteraksi dengan medan magnetik yang berputar dan timbullah gaya sesuai dengan hukum Ampere. Dengan gaya inilah terbangun torka yang akan membuat rotor berputar 2 Sudaryatno Sudirham, Motor Asinkron
dengan kecepatan perutaran n. Perhatikanlah bahwa untuk terjadi torka, harus ada arus mengalir di konduktor rotor dan untuk itu harus ada tegangan imbas pada konduktor rotor. Agar terjadi tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n harus lebih kecil dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu kecepatan perputaran sinkron ns) sebab jika kecepatannya sama tidak akan ada fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus terjadi beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip yang besarnya adalah :
s=
Nilai s terletak antara 0 dan 1.
ns n ns
(2)
Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron, kita melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan rotor sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan stator E1 E2 maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal belitan rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar belitan stator belitan rotor bersama rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada Gb.3. Hubungan belitan stator dan rotor resistor untuk keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan belitan stator dan rotor diperlihatkan pada Gb.3; pada waktu operasi normal belitan rotor dihubung singkat. Hubungan seperti ini mirip dengan transformator. Medan putar akan mengimbaskan tegangan baik pada belitan stator maupun rotor. Tegangan imbas pada stator adalah :
E1 = 4,44 f
dengan Kw1 adalah faktor belitan stator,
1 K w1 m
(3)
p ns = frekuensi tegangan stator, m adalah 120 fluksi maksimum di celah udara, 1 adalah jumlah lilitan belitan stator. f =
Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan imbas pada belitan rotor adalah
E 2 = 4,44 f
dengan Kw2 adalah faktor belitan rotor, f =
2 K w2 m
(4)
p ns = frekuensi tegangan stator (karena rotor 120 tidak berputar), m adalah fluksi maksimum di celah udara sama dengan fluksi yang mengibaskan tegangan pada belitan stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.
Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (2). Frekuensi tegangan imbas pada rotor menjadi
f2 =
p ( n s n) p s n s = = s f Hz 120 120
(5)
Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan frekuensi stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut frekuensi slip. Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan berputar menjadi
E 22 = sE 2
Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (5) dan (6) kita peroleh
(6)
E1 = E2
Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban.
1 K w1 2 K w2
=a
(7)
CO TOH-1 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan kepada motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor melayani beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah 0,05. Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif terhadap stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan perputaran medan rotor relatif terhadap rotor; (d) kecepatan perputaran medan rotor relatif terhadap stator; (e) kecepatan perputaran medan rotor relatif terhadap medan rotor. Penyelesaian: (a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator (kecepatan sinkron) p ns . Jadi kecepatan perputaran dengan frekuensi dan jumlah kutub adalah f = 120 medan putar adalah
ns =
(b) Frekuensi arus rotor adalah f 2 = sf1 = 0,05 50 = 2,5 Hz. (c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga fasa dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor akan menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus belitan stator menimbulkan medan putar. Kecepatan perputaran medan putar rotor relatif terhadap rotor adalah
n2 =
(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor harus sama dengan kecepatan perputaran medan stator, yaitu kecepatan sinkron 1500 rpm. (e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran relatifnya adalah 0.
2. Rangkaian Ekivalen Rangkaian ekivalen yang akan kita pelajari adalah rangkaian ekivalen per fasa. Rangkaian Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa adalah R1 dan reaktansinya adalah X1, sedangkan rugi-rugi inti dinyatakan dengan rangkaian paralel suatu resistansi Rc dan reaktansi X seperti halnya pada transformator. Jika V1 adalah tegangan masuk per fasa pada belitan stator motor dan E1 adalah tegangan imbas pada belitan stator oleh medan putar seperti diberikan oleh (3), maka kita akan mendapatkan hubungan fasor
V1 = I1 (R1 + jX 1 ) + E1
(8)
Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan (8) ini adalah pada frekuensi sinkron s = 2 f1. Rangkaian ekivalen stator menjadi seperti pada Gb.4. yang mirip yang pada rangkaian primer transformator. Perbedaan terletak pada besarnya If transformator berkisar antara 2 5 persen dari arus nominal, sedangkan pada motor asinkron arus ini antara 25 40 persen arus nominal, tergantung dari besarnya motor. I1 R1 V1 jX1 Ic Rc If A I E 1 jXc B
Gb.4. Rangkaian ekivalen stator. Selain itu reaktansi bocor X1 pada motor jauh lebih besar karena adanya celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan dalam stator sedangkan pada transformator belitan terpusat pada intinya. Tegangan E1 pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini haruslah merefleksikan peristiwa yang terjadi di rotor. Rangkaian Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar maka tegangan imbas pada rotor adalah E22 . Jika resistansi rotor adalah R22 dan reaktansinya adalah X22 maka arus rotor adalah :
I 22 =
E 22 (R22 + jX 22 )
(9)
Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai reaktansi pada persamaan (9) ini adalah pada frekuensi rotor 2 = 2 f2 , berbeda dengan persamaan fasor (8). Kita gambarkan rangkaian untuk persamaan (9) ini seperti pada Gb.5.a.
I22 A E22 B a) I2 A E2 B c)
R2 s
R2
jsX2
X 22 = 2 L2 = s1 L2 = sX 2
(10)
Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron X 2 = 1L2 . Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita nyatakan resistansi rotor sebagai R2 = R22. Dengan demikian maka arus rotor menjadi
I2 =
sE 2 R2 + jsX 2
(11)
Persamaan fasor tegangan dan arus rotor (11) sekarang ini adalah pada frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang terlihat pada Gb.5.b. Tegangan pada terminal rotor AB adalah tegangan karena ada slip yang besarnya adalah sE2. Dari rangkaian ini kita dapat menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor per fasa, yaitu
2 Pcr = I 2 R2
(12)
Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (11) kita bagi dengan s kita akan mendapatkan
I2 =
E2 R2 + jX 2 s
(13)
Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I2 dan rangkaian dari persamaan ini adalah seperti pada Gb.5.c. Walaupun demikian ada perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada terminal rotor AB sekarang adalah tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan rotor tidak berputar dengan nilai seperti diberikan oleh (14) dan bukan tegangan karena ada slip. Jika pada Gb.5.b. kita mempunyai rangkaian riil rotor dengan resistansi konstan R dan tegangan terminal rotor yang tergantung dari slip, maka pada Gb.5.c. kita mempunyai rangkaian ekivalen rotor dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi yang tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya yang diserap rotor kita sebut daya celah 6 Sudaryatno Sudirham, Motor Asinkron
udara, yaitu :
2 Pg = I 2
R2 s
(14)
Daya ini jauh lebih besar dari Pcr pada (12). Pada mesin besar nilai s adalah sekitar 0,02 sehingga Pg sekitar 50 kali Pcr. Perbedaan antara (14) dan (12) terjadi karena kita beralih dari tegangan rotor riil yang berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan frekuensi sinkron. Daya nyata Pg tidak hanya mencakup daya hilang pada resistansi belitan saja tetapi mencakup daya mekanis dari motor. Daya mekanis dari rotor ini sendiri mencakup daya keluaran dari poros motor untuk memutar beban ditambah daya untuk mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat adanya gesekan dan angin. Oleh karena itu daya Pg kita sebut daya celah udara artinya daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara yang meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika kita menuliskan
R2 1 s = R2 + R2 s s
(15)
2 Suku pertama (15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor (per fasa) Pcr = I 2 R2 dan suku kedua memberikan daya keluaran mekanik ekivalen
1 s 2 Pm = I 2 R2 s
Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor seperti pada Gb.5.d.
(16)
Rangkaian Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar dapat menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita harus melihat tegangan rotor E2 dari sisi stator dengan memanfaatkan (16) yang memberikan E1 = aE 2 . Jika E2 pada Gb.5.d. kita ganti dengan E1 = aE 2 , yaitu tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor dan semua parameter rotor harus pula
' ' dilihat dari sisi stator menjadi I '2 , R2 dan X 2 . Dengan demikian kita dapat menghubungkan terminal rotor AB ke terminal AB dari rangkaian stator pada Gb.4. dan mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat pada Gb.6.
I1 R1 V1 jX1 Rc If
I '2
' R2 ' jX 2 ' R2
jXc B
1 s s
untuk
' ' mengatasi rugi-rugi tembaga rotor : Pcr = ( I 2 ) 2 R2 ' ' 1 s memberikan daya mekanis rotor Pm = ( I 2 ) 2 R2 , yang terdiri dari : s daya untuk mengatasi rugi rotasi (gesekan dan angin) : Protasi daya keluaran di poros rotor : Po.
Po = Pm Protasi
Pm = Pg Pcr
Rangkaian Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan yang lebih sederhana seperti pada Gb.7. Dalam
' rangkaian ini rugi-rugi tembaga stator dan rotor disatukan menjadi ( I 2 ) 2 Re . Bagaimana Re dan Xe ditentukan akan kita bahas berikut ini.
I1 If V1 R c
jXc
' R2
1 s s
Perhatikan bahwa kita mengambil tegangan fasa-netral dalam rangkaian ekivalen ini. I0
' jX e = jX1 + jX 2 ' Re = R1 + R2
Vfn
Gb.8. Rangkaian ekivalen motor asikron pada uji rotor diam. Jika Pd adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, Id adalah arus saluran dan Vd adalah tegangan fasa-fasa yang terukur dalam uji ini, maka P ' Re = X 1 + jX 2 = d 2 3I d
Ze =
Vd Id 3
(17)
2 2 ' X e == Z e Re = X 1 + X 2
Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan antara X1 dan X2 tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan Xe. CO TOH-2 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga fasa 50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugi-rugi inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah 2700 W. Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A.. Hitunglah efisiensi motor jika diketahui slip s = 3,75%. Penyelesaian: Dari rangkaian ekivalen, daya mekanik ekivalen adalah ' ' 1 s Pm = ( I 2 ) 2 R2 . s Pm dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor dan rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah daya keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui 900 W sehingga Pm = 75000 + 900 = 75900 W dan rugi-rugi tembaga rotor adalah
' ' Pcr = ( I 2 ) 2 R2 =
Pkeluaran 75000 100% = 100% Pkeluaran + rugi rugi 75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957
= 87,45%
CO TOH-3 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga fasa rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data berikut: daya masuk Pd = 10 kW, arus saluran Id = 250 A, Vd = 65 Vdan pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R1 = 0,02 per fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator. Penyelesaian : Menurut (17) kita dapat menghitung
Re =
Pd
2 3I d
10000 3 (250) 2
CO TOH-4 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4 kutub, 220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan uji rotor diam. Beban nol : V0 = 220 V; I0 = 9,2 A; P0 = 670 W Rotor diam : Vd = 57 V; Id = 30 A; Pd = 950 W. Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 per fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung: (a) parameter-parameter yang diperlukan untuk menggambarkan rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus eksitasi dan rugi-rugi inti. Penyelesaian : a). Karena terhubung Y, tegangan per I1 fasa adalah 220 V1 = = 127 V . 1270o R 3 c V Uji rotor diam memberikan :
jX e = j 3,14
If
Re = 0,35
jXc
0,2
1 s s
Re =
Pd 3( I d )
Vd 3 Id
2
950 3 (30) 2
= 0,35 ;
Ze =
57 3 30
b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan; jadi arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap arus eksitasi If . Daya pada uji beban nol P0 = 670 = V0 I f cos 3 cos =
= 0,19 lagging.
10
CO TOH-5 : Motor pada Contoh-3. dikopel dengan suatu beban mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan data : daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah : (a) arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip yang terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika diketahui rugi rotasi 500 W. Penyelesaian : a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu: I1 = 28 35 o . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah :
Pm = Pin Pinti Pcs Pcr = 9150 632 3 28 2 0,15 3 22,3 2 0,2 = 7867 W
c). Slip dapat dicari dari formulasi Pg = Pin Pinti Pcs =
' ' 3 ( I 2 ) 2 R2 . s
s=
' ' 3( I 2 ) 2 R2 3 22,3 2 0,2 = = 0,0365 atau 3,65 % Pg 9150 632 3 28 2 0,15
e). Rugi rotasi = 500 W. Daya keluaran sumbu rotor : Po = Pm Protasi = 7867 500 = 7367 W P 7367 100% = 80% Efisiensi motor : = o 100% = Pin 9150 4. Torka Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya elektrik di stator menjadi daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga rotor, alih daya tersebut adalah sebesar daya celah udara Pg dan ini memberikan torka yang kita sebut torka elektromagnetik dengan perputaran sinkron. Jadi jika T adalah torka elektromagnetik maka Pg Pg = T s atau T = (18) s Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang dibangkitkan pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol. Besarnya arus rotor ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen Gb.7. dengan s = 1 adalah
' I2 =
(R
' 2 R2
) + (X
V1
' 2 X2
(19)
Ta =
Pg s
1 ' 3 I2 s
( )
' R2 1 = s s
(R
' 1 + R2
) + (X
2
(20)
11
Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi besar. Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi dengan menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus. Sudah barang tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka asut. Persamaan (20) menunjukkan bahwa jika tegangan dturunkan setengahnya, torka asut akan turun menjadi seperempatnya. Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka ini biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan motor melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa saat saja. Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan secara kontinyu sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak isolasi. Karena torka sebanding dengan daya celah udara Pg , maka torka maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum. Dari rangkaian ekivalen pendekatan Gb.9., teorema alih daya maksimum mensyaratkan bahwa alih daya ke maksimum jika
' R2 2 ' = R1 + X 1 + X 2 sm ' R2 akan s
I1 If V1 R c jXc
R1
' j ( X1 + X 2 )
' R2 s
atau s m =
2 R1
+ X1 +
' R2
' 2 X2
(21)
' Persamaan (21) memperlihatkan bahwa sm dapat diperbesar dengan memperbesar R2 . Suatu motor dapat dirancang agar torka asut mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai resistansi rotor.
V1 2 ' R1 + R1 + X1 + X 2
) + (X
2
1+
' X2
(22)
2 2 ' 2 R1 + 2 R1 R1 + X1 + X 2
) + 2(X
2
1+
' X2
Torka maksimum adalah (23) 2 ' 2 2 R1 + R1 + X 1 + X 2 Persamaan (23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (21) slip maksimum sm berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi mengubah resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan memberikan torka maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya torka maksimum itu sendiri.
Tm =
' 1 1 ' 2 R2 3 I2 = sm s s
( )
3 V12
12
Karakteristik Torka Perputaran. Gb.10. memperlihatkan bagaimana torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip. Pada gambar ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor terhadap karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan rotor, makin besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum.
torka dalam % nominal 300 200 100 0 1 0 resistansi rotor tinggi resistansi rotor rendah
sm1
sm
0 ns
slip perputaran
Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut karakteristik spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam penggunaannya. Berikut ini data motor yang secara umum digunakan, untuk keperluan memutar beban dengan kecepatan konstan dimana tidak diperlukan torka asut yang terlalu tinggi. Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas angin, blower, alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan jenis motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan karena akan terjadi pemanasan. Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut dan menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung pada sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan dalam pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut (agar beban tidak rusak); (b) pembatasan arus asut; (c) proteksi terhadap pembebanan lebih; (d) proteksi terhadap penurunan tegangan; (e) proteksi terhadap terputusnya salah satu fasa (yang dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan sampai di sini pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan lebih lanjut akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin listrik. Tabel-1. Motor Dalam Aplikasi HP 0,5 sampai 200 jumlah kutub 2 4 6 8 10 12 14 16 torka asut % 150 150 135 125 120 115 110 105 torka maks sampai 250 % tidak kurang dari 200 % arus asut 500 % sampai 1000 % slip 3% sampai 5% faktor daya 0,87 sampai 0,89 efisiensi 87 % sampai 89 %
13