Вы находитесь на странице: 1из 7

ArtikelMasalahPendidikandi IndonesiaOleh:Rony Samuel(0911230073)PendidikanMinusNalarEtik BELUM hilang dari ingatan kita kasus tawuran siswi-siswi SMP di Pati (Geng Nero),Jawa

Tengah, baru-baru ini kembali muncul kasus serupa di Kupang, Nusa TenggaraTimur.Tawuran antarsiswi SMA 1 Kupangyang terekam lewat kamera handphonemenambah deretan kasus kekerasan didunia pendidikan yang dilakukan kaumterpelajar. Ada apa sebenarnya di balik kasus-kasus kekerasan di dunia pendidikan yang terus marak diIndonesia?Selama beberapa tahun terakhir ini,serangkaian kasus kekerasan yang terjadidalam dunia pendidikan di Indonesiamendapat perhatian yang cukup serius. Apabila dicermati secara saksama, kasus kekerasansudah merata. Kesannya, kekerasan dalam dunia pendidikan seakan-akan sudah menjadi budaya.Di Indonesia, serangkaian kasus kekerasan merata mulai dari tingkat SD, SMP, SMA,hingga perguruan tinggi. Pelakunya bukan hanya para siswa dan siswi, tetapi beberapaguru juga turut andil dalam mencoreng citra dunia pendidikan. Kita masih ingat beberapatahun yang lalu, sewaktu acara "Smack Down" ditayangkan bebas di televisi, anak-anak usia SD banyak yang menjadi korban. Puluhan kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak usia SD disebabkan mereka terinspirasi untuk meniru adegan-adegan keras ditelevisi. Akibatnya, banyak korban yang mengalami luka parah, bahkan sampai meninggaldunia.Kasus perkelahian siswi-siswi SMP di Pati masih belum hilang dari ingatan kita. UlahGeng Nero langsung menyadarkan masyarakat bahwa aksi kekerasan di sekolah ternyatatidak hanya dilakukan oleh anak laki-laki. Jika selama ini kasus tawuran dilakukan oleh para pelajar putra, kasus kekerasan di Pati justru dilakukan oleh para pelajar putri. Dalamrekaman kamera handphone yang beredar di masyarakat, kekerasan yang dilakukan olehGeng Nero sungguh sangat memprihatinkan.Sementara itu, kasus terbaru melibatkan para siswi SMA di Kupang. Beberapa pelajar putri terlibat saling ejek, baku hantam, bahkan sampai bergulat. Konon, menurutketerangan Kepala SMA 1 Kupang, kasus ini bermula dari perbedaan selera dan minatlagu di antara mereka. Sepintas, penyebab perkelahian massal ini sangat sepele.Tahun lalu beberapa kasus tawuran antarmahasiswa sempat menghiasi media massa. Citramahasiswa telah tercoreng lewat tawuran tersebut yang terjadi di Jakarta, Medan, Kupang,

dan Makassar. Kasus tawuran mahasiswa yang terjadi di beberapa kota itu ternyatadisebabkan masalah yang sangat sepele pula. Adapun kasus kekerasan yang dilakukan oleh para guru sudah tidak terhitung lagi. Tahun lalu kasus kekerasan yang dilakukan oleh gurumeliputi pelecehan seksual, pemukulan ringan, pemukulan sampai mengakibatkan luka-luka, dan ancaman. Kenyataan ini telah membuka mata kita bahwa kekerasan telahmenjadi bagian dari problem pendidikan di Indonesia. Tindak kekerasan dalam mengatasimasalah seakan-akan sudah menjadi budaya dalam dunia pendidikan kita.Berbagai fenomena kekerasan yang terjadi menunjukkan bahwa terdapat sesuatu yangkurang dalam dunia pendidikan kita. Kasus kekerasan yang sering terjadi mengisyaratkan bahwa pendidikan kita minus nalar etik.Sesungguhnya, berbagai kasus kekerasan di kalangan pelajar disebabkan karena pendidikan minus nalar etik, yaitu nalar kearifan bisa mengantarkan seseorang menjadi bijak manakala menghadapi suatu masalah.Selama ini pendidikan nasional di Indonesia telah terjebak pada orientasi mengedepankanaspek kecerdasan atau intelektual semata, sementara aspek etika dan moralitas cenderungterabaikan. Pendidikan nasional tidak pernah diorientasikan untuk membentuk karakter mental peserta didik. Kurikulum digagas hanya berorientasi pada aspek kognitif dan psikomotorik, tetapi minus pengayaan nilainilai kearifan. Sewaktu dihadapkan padasebuah masalah, peserta didik tidak mampu memecahkannya dengan nalar etik. Pesertadidik tidak bisa menghadapi suatu masalah atas dasar nilai-nilai etik, tetapi cenderungmemilih jalan konfrontatif yang cenderung mengarah pada kekerasan fisik.Pada kasus kekerasan "Smack Down", murid-murid SD tidak mengenal nalar etik yang bisa membedakan mana tindakan yang terpuji dan mana yang tercela. Pendidikan moralyang selama ini terkandung dalam pelajaran agama tidak mampu membentuk karakter mental peserta didik sejak usia SD. Padahal, usia anak-anak sangat rentan terhadap segalahal yang dianggap baru. Lemahnya pendidikan moral menjadikan anak-anak usia SD tidak mampu bersikap atau menghadapi masalah secara etik manakala acara "Smack Down"ditayangkan secara bebas di televisi.Pada kasus perkelahian siswi-siswi SMP dan SMA, kita kembali menemukan sebuahindikasi bahwa pendidikan kita masih minus nalar etik. Para peserta didik tidak bisamembedakan mana tindakan terpuji dan mana yang tercela. Dalam menghadapi suatumasalah, para peserta didik tidak ditopang dengan norma-norma etik yang seharusnya bisamenuntun mereka untuk menimbang masalah, mengambil sikap, dan menyelesaikannyasecara bermoral. Jika nilai-nilai etik telah tertanam, peserta didik tidak akan gegabahdalam menimbang suatu masalah. Mereka juga akan lebih dewasa bersikap.

Dengandilandasi nilai-nilai etik, mereka bisa menyelesaikan suatu masalah secara bijaksana tanpaharus menggunakan jalan kekerasan.Demikian pula pada kasus kekerasan yang dilakukan para mahasiswa dan guru. Lemahnyakarakter mental para mahasiswa dan guru dapat diukur sewaktu mereka menghadapi suatumasalah. Bagaimana seorang mahasiswa atau guru melihat suatu masalah, mengambilsikap, dan menyelesaikannya, di situlah karakter mental sedang diuji. Apakah norma-norma etik telah membentuk karakter mental seorang mahasiswa atau guru dapat diketahuimanakala dia melihat suatu masalah, mengambil sikap, dan menyelesaikannya. Kasus tawuran antarmahasiswa atau para guru yang melakukan tindak kekerasan di sekolahmerupakan cermin karakter mental mereka yang minus nalar etik.Berbagai kasus kekerasan di sekolah yang sempat terekspose di media massa sudah cukupmemprihatinkan. Penulis yakin jika kasus-kasus kekerasan di sekolah laksana gunung es dilautan. Puluhan kasus yang sempat terendus oleh media massa hanyalah secuil dari budayakekerasan yang sudah merata di semua tingkat satuan pendidikan di Indonesia. Fenomenamemiriskan semacam ini bisa menjadi sebuah indikasi bahwa pendidikan moral yangterkandung dalam mata pelajaran agama sudah tidak efektif lagi. Mungkin saat ini pendidikan budi pekerti layak dipertimbangkan kembali.***Oleh Mu'arif (Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan. Seperti dimuat dalam Suara Karya Online)--------------------------------------------------------------------------------------------------------------J udul: Masalah Pendidikan di IndonesiaBahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN /EDUCATION.Nama & E-mail (Penulis): Rena Istri WangiSaya Mahasiswi di Universitas Negeri MalangTopik: Masalah PendidikanTanggal: 6 J uni 2007 MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA Kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan (yg sebenarnya sudah cukup baik) diIndonesia yang disebabkan sulitnya menyediakan guru-guru berkompetensi untuk mengajar di daerahdaerah.Sebenarnya kurikulum Indonesia tidak kalah dari kurikulum dinegara maju, tetapi pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal. Kurang sadarnyamasyarakat mengenai betapa pentingnya pendidik dalam membentuk generasi mendatangsehingga profesi ini tidak begitu

dihargai.Sistem pendidikan yang sering berganti-ganti, bukanlah masalah utama, yang menjadimasalah utama adalah pelaksanaan di lapangan, kurang optimal. Terbatasnya fasilitasuntuk pembelajaran baik bagi pengajar dan yang belajar. Hal ini terkait terbatasnya dana pendidikan yang disediakan pemerintah.Banyak sekali kegiatan yang dilakukan depdiknas untuk meningkatkan kompetensi guru,tetapi tindak lanjut yang tidak membuahkan hasil dari kegiatan semacam penataran,sosialisasi. Jadi terkesan yang penting kegiatan itu terlaksana selanjutnya, tanpamemperhatikan manfaat yang dapat diperoleh.Jika kondisi semacam itu tidak diubah untuk dibenahi kecil harapan pendidikan bisa lebihmaju/baik. Maka pendidikan Indonesia sulit untuk maju. Selama ini kesan kuat bahwa pendidikan yg berkualitas mesti bermodal/berbiaya besar. Tapi oleh pemerintah itu tidak ditanggapi, kita lihat saja anggaran pendidikan dalam APBN itu. Padahal semua tahu HENDRA A. SETYAWAN/HARIANKOMPASIlustrasi: SBY mengatakan (26/5), siapapun pemimpin Indonesia lima tahun ke depan,lima agenda utama pembangunan RI harustetap dijalankan, dan salah satu pilar utamamenjalankan agenda tersebut ialah pendidikan."Masalah itu jangan hanya diserahkan padadepartemen pendidikan, yang kemudiandiserahkan kepada eselon satu," kata Komarudin. Dengan demikian, katanya, alokasianggaran pendidikan harus ditingkatkan, yaitu dengan membagun pusat-pusat pendidikanyang bertaraf internasional sehingga orang-orang Indonesia tidak perlu ke luar negeriuntuk mencari ilmu.Berkaitan dengan hal itu, Komarudin menegaskan pendidikan merupakan dasar untuk membangun kebudayaan nasional yang menghasilkan suatu produk yaitu peradaban."Tanpa pendidikan budaya sebagai modal, tidak akan lahir suatu produk peradaban sepertiteknologi, seni, standar pendidikan serta hasil riset," kata Komarudin.Pembangunan di bidang politik dan ekonomi, menurut dia, juga harus melahirkankebudayaan yang unggul. "Politik dan ekonomi hanyalah instrumen atau alat saja, bukanlah tujuan utama suatu negara," ujar Komarudin.Komarudin menyimpulkan, hanya dengan membangun peradaban dan karakter yang baik,melalui keuletan, optimisme, kerja keras, kerukunan antar masyarakat, akan lahir Indonesia yang mempunyai budaya unggul.Sumber: Kompas Masalah Pendidikan di Indonesia Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwaindeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan diIndonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesiamemiliki daya saing yang rendah Dan masih menurut survai darilembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalammutupendidikan. Baik pendidikan formal maupuninformal. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalammeningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia

Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negaralain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkanrendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yangmempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan diIndonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:(1). Rendahnya sarana fisik,(2). Rendahnya kualitas guru,(3). Rendahnya kesejahteraan guru,(4). Rendahnya prestasi siswa,(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,(6). Mahalnya biaya pendidikan.* Rendahnya Kualitas Sarana Fisik Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yanggedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaantidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedungsendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.* Rendahnya Kualitas Guru Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasny. Bukan itu saja, sebagian gurudi Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998)menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diplomaD2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8%yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah,

dari337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikantinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentukeberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dankualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar padakualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.* Rendahnya Kesejahteraan Guru Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 jutarupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantuRp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel. * Rendahnya Prestasi Siswa Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dankesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagaimisal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasionalsangat rendah.Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yangmemerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal danmengerjakan soal pilihan ganda.* Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaandalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusiasecara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.* Mahalnya Biaya Pendidikan Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT)membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orangmiskin tidak boleh sekolah. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atautepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnyamembayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiapwarganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagiPemerintah untuk cuci tangan.

Вам также может понравиться