Вы находитесь на странице: 1из 2

KLASIFIKASI POLA GIGITAN MANUSIA : 1. Kelas I : polanya menyebar. Tidak ada tanda-tanda gigi individu diidentifikasi.

Mungkin ada tanda salah satu atau kedua lengkung rahang. Mungkin ada sedikit atau tidak ada nilai pembuktian untuk pencocokan pada tersangka. Bahkan, mungkin gigitan kelas I tidak dapat diidentifikasi sebagai pola gigitan manusia, hanya luka berbentuk bulat. Bagaimanapun, yang mungkin menjadi nilai besar dalam hal ini yaitu seperti saliva, DNA, bentuk lengkung, dan sebagainya. 2. Kelas II : luka gigitan ini memiliki karakteristik kedua kelas dan karakteristik individual. Lengkung rahang atas (maksila) dan rahang bawah (mandibula) dapat diidentifikasi. Gigi yang spesifik mungkin diidentifikasi. Gigitan kelas II mungkin lebih digunakan untuk eksklusi daripada inklusi pada tersangka. 3. Kelas III : gigitan ini akan memperlihatkan morfologi gigi yang sangat baik paling sedikit pada satu rahang. Bentuk gigi spesifik dan posisinya pada lengkung geligi dapat diidentifikasi. Pola gigitan kelas ini dapat menghasilkan profil geligi dari si penggigit dan akan digunakan baik pada inklusi maupun eksklusi. Dimensi ketiga lekukan-lekukan ini mungkin tampak dan dapat membantu memperkirakan waktu gigitan diberikan dalam hubungannya dengan waktu kematian 4. Kelas IV : gigitan ini akan menjadi eksisi atau insisi pada jaringan. Darah tampak pada permukaan dan DNA mungkin terkontaminasi. Gigitan kelas ini sulit jika tidak memungkinkan untuk mendapatkan profil gigi yang menyebabkannya. Bagaimanapun, gigitan kelas IV akan hampir selalu menghasilkan luka permanen atau cacat : hilangnya jari atau telinga. Atau bekas luka permanen Identifikasi dalam kedokteran gigi forensik ada beberapa macam, yaitu (Lukman, 2006): 1) Identifikasi ras korban maupun pelaku melalui gigigeligi dan antropologi ragawi. 2) Identifikasi seks atau jenis kelamin korban melalui gigi-geligi, tulang rahang, dan antropologi ragawi. 3) Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi. 4) Identifikasi umur korban melalui gigi susu (decidui). 5) Identifikasi umur korban melalui gigi campuran. 6) Identifikasi umur korban melalui gigi tetap. 7) Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan gigi.

14) Identifikasi melalui wajah korban. 15) Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku. 16) Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban bencana massal. 17) Identifikasi melalui radiologi kedokteran gigi forensik. 18) Identifikasi melalui fotografi kedokteran gigi forensik, misalnya teknik fotografi superimposisi yang dilakukan dengan menumpang-tindihkan foto postmortem dan foto wajah antemortem, teknik ini dilakukan apabila identifikasi dengan teknik lain seperti rekam medik gigi, sidik jari, dan DNA tidak dapat dilakukan, selain itu harus tersedia fotoantemortem yang fokus pada wajah (dibahas lebih lanjut dalam BAB III). 19) Identifikasi melalui formulir identifikasi korban. Walaupun identifikasi dengan menggunakan gigi-geligi sudah banyak terbukti keakuratannya namun tetap saja ada berbagai syarat yang harus terdapat pada data-data untuk identifikasi kedokteran gigi forensik agar data tersebut bisa dikatakan valid. Ada beberapa kriteria yang merupakan syarat untuk validitas identifikasi dengan gigi-geligi, yaitu ( Sopher, 1976): 1) Data yang tersedia harus bersifat multipel, permanen, dapat diukur atau diteliti, sehingga menjamin individualitas dari data yang tersedia. 2) Terdapat registrasi yang akurat mengenai karakteristik individu (data antemortem) yang memungkinkan untuk dibandingkan dengan data postmortem. 3) Data dilengkapi dengan gambaran spesifik yang tahan terhadap gaya destruktif, sehingga dapat tetap menjadi jaminan untuk keindividualitasan data walaupun tidak tersedia gambaran identifikasi lainnya.

Prosedur Identifikasi Korban Tidak Dikenal dalam Bidang Kedokteran Gigi. Tim kedokteran gigi forensik terdiri dari tiga bagian dan seorang komandan. Ketiga bagian tersebut adalah bagianpostmortem, bagian antemortem, dan bagian perbandingan. Bagian postmortem bertugas untuk mengumpulkan data-data gigi postmortem ditempat kejadian. Bagian antemortem bertugas untuk mengkondisikan rekam medik gigi agar dapat diinterpretasikan. Bagian perbandingan bertugas untuk membandingkan dan menyesuaikan data, serta menyelesaikan proses identifikasi. Komandan harus selalu siap dan dapat mengatur pergerakan tim dengan cepat (Eckert, 1992).

Tindakan pertama yang dilakukan oleh dokter gigi forensik saat tiba di Tempat Kejadian Peristiwa (TKP) adalah menyelamatkan bahan bukti penting yang dibutuhkan untuk analisa kedokteran gigi forensik (misalnya gigi-geligi yang berserakan). Tindakan yang perlu dilakukan langsung di TKP misalnya adalah pengambilan sampel liur pada bite mark, pemotretan keadaan korban, dan sebagainya (Lukman, 2006). Tindakan pertama yang bersifat umum di TKP, yaitu pada awalnya menutup TKP sebatas areal yang aman agar buktibukti tidak hilang atau rusak. Selanjutnya jika ada korban periksa tanda-tanda kehidupannya. Apabila korban masih hidup, segera selamatkan dengan mengirim ke rumah sakit terdekat. Jika sempat buat foto posisi atau kondisi korban saat ditemukan, kemudian buat foto dan sketsa TKP seteliti mungkin. Koordinasikan dengan unsur lain (Dokter umum, Labkrim, dsb) agar tidak saling menghambat pekerjaan masing-masing. Terakhir lakukan tindakan yang spesifik sesuai dengan kasusnya (Lukman, 2006). Tindakan selanjutnya setelah tindakan pertama yang bersifat umum adalah identifikasi jenazah. Tujuan identifikasi jenazah adalah untuk mengumpulkan bukti atau petunjuk mengenai identifikasi korban atau jenazah. Tindakan ini dilakukan dengan mencatat secara teliti keadaan korban khususnya keadaan kepala, mulut, dan gigi-geligi. Perhatian khusus diberikan terhadap hal-hal yang mungkin berubah pada saat transportasi korban ke ruang otopsi. Apabila kerangka yang ditemukan telah rusak atau dalam keadaan membusuk karena terendam air, cari gigi dengan teliti karena gigi cenderung lepas dari tempatnya. Apabila gigi-geligi yang lepas telah ditemukan, masukkan dalam kantong plastik khusus terpisah, jangan dibersihkan atau direkonstruksi di TKP, rekonstruksi dilakukan di ruang otopsi. Pada kasus terbakar parah, jenazah atau gigi menjadi sangat rapuh, transportasi harus dilakukan dengan hati-hati. Bagian gigi yang rapuh dan mudah rusak akibat transportasi dapat direkatkan dulu dengan lem cair misalnya power glue,alteco, dan super glue agar tetap utuh saat transportasi. Jika terpaksa, pemeriksaan dapat langsung dilakukan di TKP. Pada kasus mutilasi buat foto dari sisa jenazah, catat dengan teliti, dan buat sketsa yang rinci tentang posisi tiap bagian tubuh yang terpisah (Lukman, 2006). Setelah jenazah berada di ruang otopsi pemeriksaan intraoral mulai dilakukan, berikan kesempatan pada dokter forensik untuk mengambil sampel cairan atau bahan dalam mulut jika diperlukan untuk pemeriksaan lab. Setelah bersih, periksa adanya kemungkinan luka atau tanda-tanda yang tidak wajar dalam rongga mulut. Jika ada gigi-geligi yang lepas, masukkan kembali gigi-geligi ke dalam

soketnya. Buat pemeriksaan postmortem kedokteran gigi forensik sesuai juknis atau formulir standar. Setelah itu, buat foto-foto detail wajah dan keadaan mulut dalam keadaan selengkap mungkin. Jika dirasakan perlu dapat dibuat cetakan gigi dan panoramic x-ray. Setelah pembuatan x-ray, dapat dilakukan penentuan golongan darah dengan sampel sepertiga apikal salah satu gigi. Jika diperlukan dapat dilakukan isolasi DNA, untuk ini harus dikorbankan satu gigi yang utuh agar dapat memperoleh jaringan pulpa yang cukup (Lukman, 2006). Pada waktu proses perbandingan, kasus-kasus yang banyak masalah sebaiknya dikerjakan terakhir (Ardan, 1999). Semua data-data yang diperoleh dalam identifikasi dituangkan dalam formulir baku mutu nasional, yaitu ke dalam formulir korban tindak pidana yang berwarna merah atau disebut dengan data postmortem, pada korban hidup tetap pula ditulis ke dalam formulir yang sama, sedangkan data-data semasa hidup ditulis ke dalam formulir antemortemyang berwarna kuning. Hal ini berlaku pula pada pelaku, ia mempunyai kedua penulisan data pula, antemortem dan postmortem pada kertas yang berwarna kuning dan merah (Lukman, 2006). Setelah jenazah teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan jenazah, antara lain perbaikan tubuh jenazah, pengawetan jenazah, perawatan sesuai agama korban, dan memasukkan korban dalam peti jenazah. Kemudian jenazah diserahkan pada keluarga oleh petugas khusus dari tim identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan. Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas terkait dibantu oleh keluarga korban (Depkes RI, 2006).

Вам также может понравиться