Вы находитесь на странице: 1из 9

Masalah pertanahan ini dari semula tidak lepas dari perhatian para pendiri Republik ini untuk mendapatkan

prioritas penangannya dengan segera, sehingga pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dapat memberikan sebesarbesarnya kemakmuran bagi seluruh rakyat. Beranjak dari pemikiran tersebut diatas, maka untuk mewujudkannya perlu dirumuskan dalam bentuk berbagai peraturan salah satunya adalah dalam bentuk UndangUndang. Pembentukan Undang-Undang yang membahas persoalan Agraria di Indonesia memakan waktu yang sangat panjang. Dimulai tahun 1948 akhirnya tanggal 24 September 1960 baru berhasil dirumuskan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dari Tahun 1960 hingga tahun 2009 ini, UU No 5 Tahun 1960 masih tetap berlaku. Didiskusikan: Apakah secara normatif rumusan-rumusan yang terdapat dalam UU No 5 Tahun 1960 ini sesuai dengan keadaan sekarang?

Masalah SDM Lahirnya UUPA pada saat itu dimaksudkan untuk mengeliminir penanaman modal asing ke Indonesia, ujar Erman Rajagukguk SH, LL.M, Phd, Wakil Sekretaris Kabinet RI yang juga pakar hukum pertanahan. Tetapi dalam praktek bertatanegara kita sangat banyak putusan-putusan hakim yang mengabulkan kepemilikan tanah berada ditangan warga Negara asing dengan cara membuat kontrak hutang piutang dengan jaminan tanah dengan jaminannya. Disini UUPA sudah tidak bisa membendung permasalahan yang semakin kompleks.

Masalah Keadilan Dalam usianya yang mencapai 38 tahun, ada lima masalah di bidang pertanahan yang sering mencuat ke permukaan, yaitu fungsi sosial tanah (pasal 6), batas maksimum pemilikan tanah (pasal 7), pemilikan tanah guntai (pasal 10), monopoli pemilikan tanah (pasal 13), dan penetapan ganti rugi tanah (pasal 18). Kelima hal ini baik secara langsung maupun tidak memicu munculnya berbagai bentuk konflik pertanahan, yang tidak mudah diselesaikan. Masalah menjadi semakin rumit, karena gencarnya aktivitas pembangunan menyebabkan terlupakannya unsur keadilan di bidang pertanahan. Penerapan pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah, misalnya, masih sering bias dalam praktek di lapangan. Contohnya dalam praktek kontraktor perumahan, si developer tidak menyediakan tanah untuk keperluan sosial seperti pura, masjid dan tempat umum di sekitar area pembangunan perumahan dengan dalih hal ini belum tegas memberikan fungsi social seperti apa.

Komoditas Masalah lain yang mengganjal adalah berkembangnya nilai komoditas tanah, sehingga di-perebutkan banyak orang untuk mengejar keuntungan ekonomi. Orientasi kerakyatan yang menjadi semangat UUPA paling tidak jika ditilik pada beberapa pasal yang berpihak pada rakyat, serta ditetapkannya UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (Tanah Pertanian) dan UU No. 56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian-sedikit demi sedikit terkikis oleh sifat kapitalistik.

http://fotografi.tokobagus.com/kamera-digitalcanon/super-murah-canon-eos-1100d-kit-ef-s18-55mm-hrg-1-7jt-hbg-sms-0819-6762-417395869.html#!prettyPhoto

Komisi II DPR mulai membahas revisi Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA). Sejumlah pakar mulai dihadirkan untuk berpendapat sebaiknya bagaimana revisi UU Pokok Agraria kedepan. Pembahasan memang belum berbicara materi secara detil, melainkan konsep besar mau dibawa kemana wacana revisi UU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR periode 2009-2014 ini. Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM) Maria Sumardjono menceritakan kisah salah arah pembahasan UU Pokok Agraria yang disahkan pada 1960 lalu. Kala itu, sejumlah pakar salah satunya Prof. Boedi Harsono- berpendapat bahwa seharusnya nama UU itu bukan UU Pokok Agraria. Melainkan UU Pertanahan. Namun, akhirnya perdebatan berakhir setelah Menteri Agraria tetap lebih sreg menggunakan istilah UU Pokok Agraria. Bayangkan, UU ini terdiri 67 pasal. Diantaranya, ada 53 pasal yang mengatur mengenai tanah. Jadi, ada contradictio in terminis. Seharusnya namanya UU Pertanahan, jelasnya di ruang rapat Komisi II DPR, Rabu (12/10). Lebih lanjut, Maria menjelaskan terminologi agraria secara hukum tak hanya berarti tanah, melainkan juga

air dan ruang udara. Itu pengertian secara luas. Bila awalnya UU ini diniatkan untuk mengatur Ketentuan Pokok Agraria, seharusnya bukan hanya persoalan tanah saja yang diatur secara lengkap, tetapi juga persoalan air dan ruang udara. Itu bila kita mengingingkan UU ini sebagai UU Pokok yang menjadi sebuah sistem, yang kemudian membawahi sub-sistem (uu sektoral), ujar Maria. Artinya, UU Pertanahan ini akan sejajar kedudukannya dengan UU sektoral yang lain seperti UU Kehutanan, UU Kelautan dan lain sebagainya. Karenanya, Maria menyerahkan sepenuhnya kepada para anggota dewan untuk meluruskan salah arah ini. Ada dua pilihan yang ditawarkan. Pertama, cukup mempertahankan isi UU Pokok Agraria yang hanya mencakup hukum tanah saja, dengan konsekuensi mengubah namanya menjadi UU Pertanahan. Atau, kedua, mengembalikan ruh awal UU Agraria yang isinya tak hanya mencakup tanah, tapi juga air dan ruang udara. Saya hanya memberikan pilihan. Silakan bapak-bapak dan ibu-ibu memilih pilihan itu. Dua pilihan itu tentu ada untung ruginya, jelas Maria. Maria menjelaskan bila DPR memilih opsi pertama maka konsekuensinya adalah mengubah UU Pokok

Agraria menjadi UU Pertanahan, lalu tinggal menyempurnakan hukum tanah nasional saja. UU ini menjadi setara kedudukannya dengan UU Sektoral yang lain. Pertimbangannya politisnya, tarik ulur antar sektor relatif sedikit. Karena tinggal menyerahkan pengurusannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) saja, ujarnya. Bila DPR memilih opsi kedua, maka cukup mengatur prinsip-prinsip agraria (mencakup tanah, air dan ruang udara) di dalam UU Pokok Agraria itu. Namun, pilihan ini akan menimbulkan tarik ulur yang kuat antar sektor. Misalnya, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelauatan, Kementerian ESDM dan BPN sendiri. Terserah bapak dan ibu mau pilih yang enteng-enteng saja yang sedikit berkelahinya atau pilih yang agak idealis tapi akan banyak berkelahi, ujarnya. Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia (UI) Arie Sukanti Sumantri (Hutagalung) berpendapat senada. Namun, ia lebih memilih bila UU Pokok Agraria tetap menjadi UU induk. Sehingga, UU yang bersifat sektoral yang lain kelak harus menyesuaikan isinya dengan UU Pokok Agraria itu. Saya usulkan ada Menteri Koordinator yang kelak mengurus persoalan agraria ini, jelasnya.

Pimpinan Rapat Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja menyambut baik masukan-masukan dari para profesor itu. Ia mengatakan revisi UU Pokok Agraria memang masih tahap awal. Sehingga, yang dibicarakan baru sebatas konsep global, bukan isinya secara detil. Kami masih menggali prinsip-prinsipnya, pungkas Hakam.

Mencermari pandangan pakar hukum agraria atas revisi UUPA tersebut, setidaknya memperlihatkan akan peliknya pembahasan revisi UUPA yang telah mewarnai kebijakan dan politik agraria di Indonesia selama puluhan tahun. Di samping sejumlah regulasi dibidang agraria yang ada di Indonesia juga dibangun atau dipayungi UU No.5 Tahun 1960. Namun hal ini tidak berarti pembahaan revisi UUPA harus ditundatunda lagi, karena yang diperlukan adalah keseriusan DPR mengingat arti penting dari revisi UUPA. (***)

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi TwitterBerbagi ke Facebook Label: Artikel Hukum Agraria
Related Posts

ke

Merefleksikan Reforma Agraria, sekali lagi....... "Dunia ini mencukupi untuk semua manusia. Tapi ia tidak akan pernah memuaskan satu orang serakah (Mahatma Gandhi)" Oleh: Sabiq carebest Sejak di undangkan di hadapan Sidang DPR-GR 12 Septemb ... readmore Pengadaan Tanah Selain Untuk Kepentingan Umum Pasca Diundangkannya UndangUndang (UU) No 2 Tahun 2012. Oleh: Boy Yendra Tamin Dunia hukum---Pasca diundangkannya UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, maka bagaimanakah nasib pengadaan tanah selain untuk kepentingan ... readmore

2 comments:

sandro fernando says: 15 Oktober 2011 14:04

dalam rencana revisi yang dilakukan terhadap uupa no tahun 1960 apa yang di katakan oleh goru besar fakultas UGM maria sumardjono adalah benar,,dari 67 pasal dari uupa tersebut 53 diantaranya adalah masalah pertanahan,, klw diteliti lebih lanjut uu agraria bukan uu pokok tetapi seharusnya uu pertanahan,,lain kisah nya apabila di dalam uupa no.5 tahun 1960 didalam nya di isi dengan ruang udara,air dan pertanahan karena di sini uupa bukan hanya membahas tentang pertanahan saja tetapi seluruh alam semesta yang ada di indonesia ini,,semoga rencana revisi yang akan dilakukan oleh DPR bukan untuk menjadi ajang perkelahioan dan ajang mencari uang, tetaoi benar-benar untuk kepentingan semua rakyat indonesi tercinta ini.

mayasrinovita says: 17 Oktober 2011 20:44

undang-undang pokok agraria no 5 th 1960,berpangkal pada pendirian.,dimana bgsa indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah.yg dapat kita lihat arti ketentuan dlam pasal 2 ayat 1,yg menyatakan bumi,air,dan ruang angkasa,termasuk kekayaan alam yg terkandung didalmmya,seperti yg dikatakan guru besar fakultas UGM maria sumardjono itu merupakan ketentuan pokok agraria dalam arti luas.sekaligus menjadi prinsip-prinsip dasar undang-undang agrarian. maka dengan demikian dalam rencana revisi uupa harus secepatnya dilakukan sehingga masalah-msalah yg dihadapi

mengenai keagrarian demi kepentingan n kemakmuran rakyat Indonesia.

dapat

diselesaikan

Вам также может понравиться