Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pada bagian ini akan diperkenalkan tipe konfigurasi lup kontrol yang ada pada aplikasi-aplikasi industri dan kestabilan sistem. Karakteristik paling dasar dalam penentuan kualitas lup kontrol adalah bahwa lup kontrol ini dapat memberikan regulasi yang stabil terhadap variabel dinamis. Sistem kontrol berada pada ranah (domain) waktu, sehingga logikanya segala perhitungan analisis maupun perancangan berada pada ranah waktu pula. Untuk hal-hal tertentu yang terbatas, analisis dan perancangan pada ranah waktu sangat dimungkinkan. Tetapi secara umum, dengan memakai ranah waktu maka perhitungan matematikanya menjadi lebih rumit. Untunglah, beberapa tokoh pionir rekayasa kontrol telah mengembangkan teknik-teknik yang memungkinkan untuk menghindari perhitungan matematik yang rumit tersebut. Teknik tersebut dikenal sebagai teknik transformasi. Dasar matematik dari teknik tersebut telah diketemukan pada abad ke-19 oleh Laplace dan beberapa matematikawan lainnya. Teknik ini utamanya dikembangkan oleh Nyquist dan Bode, teknik yang akan dibahas pada bagian ini. Setelah pembahasan bagian ini, diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan beberapa tipe konfigurasi lup kontrol, dan penentuan kestabilan sistem.
15
Gambar 2.1. Lup kontrol proses dua variabel dengan interaksi b. Variabel Tunggal Interaktif Lup kontrol variabel tunggal kedua yang diperlihatkan pada Gambar 2.1, meregulasi suhu cairan dalam tangki dengan cara menyetel masukan panasnya. Lup ini juga merupakan lup variabel tunggal yang menjaga suhu cairan pada harga setpoint. Pada kondisi nominal, aliran ke tangki dijaga konstan dan suhunya juga dijaga konstan pada harga setpoint. Ingat bahwa perubahan setpoint sistem kontrol aliran muncul sebagai perubahan beban bagi sistem kontrol suhu karena ketinggian fluida di dalam tangki atau laju aliran yang melewati tangki harus berubah. Sekarang sistem suhu memberikan tanggapan dengan cara mengatur kembali fluks panas ke beban baru dan membawa suhu kembali ke setpoint. Selanjutnya dikatakan bahwa kedua lup ini berinteraksi. c. Variabel Gabungan Pada beberapa kasus, dipakai sebuah lup kontrol proses tunggal guna memberikan kontrol hubungan antara dua variabel atau lebih. Hal ini dicapai dengan menggunakan pengukuran, misalnya dua buah transduser sebagai masukan alat kontrol proses. Di sini, sebuah sistem pengkondisian sinyal harus menskalakan dua pengukuran, dan menambahkan mereka terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke alat kontrol untuk dievaluasi dan dilakukan evaluasi. Salah satu contoh sistem di atas adalah kontrol perbandingan dua reaktan. Dalam kasus ini, salah satu laju aliran diukur tetapi dibolehkan mengambang (tidak diregulasi), dan keduanya diukur serta disetel guna memberikan perbandingan konstan yang ditentukan. Contoh dari sistem ini diperlihatkan pada Gambar 2.2. Di sini, laju aliran 16
reaktan A diukur dan ditambahkan dengan penskalaan yang tepat ke pengukuran laju aliran B. Alat kontrol bereaksi terhadap sinyal masukan yang dihasilkan dengan penyetelan katup kontrol di jalur masukan reaktan B.
Gambar 2.2. Contoh sistem gabungan di mana perbandingan dari dua laju aliran yang dikontrol Contoh 1. Pada sebuah sistem gabungan, perbandingan antara dua variabel dijaga pada 3,5 : 1. Jika masing-masing variabel dikonversikan ke sinyal yang mempunyai daerah pengukuran 0 5 V. Buatlah sebuah sistem pengkondisian sinyal nol ke alat kontrol pada waktu perbandingan itu tepat. Penyelesaian: Pada kasus ini, kita dapat menggunakan sebuah amplifier penjumlahan. Hubungan antara keluaran dan masukan adalah:
Vo = -
Rf R1
V1 -
Rf R2
V2
Jika Vo dibuat sama dengan nol, maka perbandingan tegangan adalah: V1/V2 = -R1/R2. Ini berarti bahwa salah satu dari tegangan masukan ke amplifier penjumlah harus negatif, dan perbandingan resistansi 3,5 : 1. Rangkaiannya diperlihatkan pada Gambar 2.3.
17
R1 = 3,5 R2. Dengan memilih Rf = R1 = 3,5 k, R2 = 1 k, R = 1 k, diperoleh: Vo = V1 3,5 V2. 2.1.2 Kontrol Kaskade Intekasi inheren yang muncul antara dua sistem kontrol pada sejumlah aplikasi untuk memberikan kontrol keseluruhan yang lebih baik. Salah satu metode untuk mencapai hal ini adalah setpoint lup kontrol yang satu ditentukan oleh pengukuran sebuah variabel yang berbeda, di mana ada interaksi. Diagram kotak sistem seperti ini ditunjukkan pada Gambar 2.4. Perhatikan bahwa ada dua pengukuran yang diambil dari sistem, dan masing-masing dipakai pada masing-masing lup kontrolnya. Pada lup bagian keluaran, keluaran alat kontrol merupakan setpoint lup bagian dalam.
Elemen kontrol akhir
Setpoint dalam
Proses
Setpoint luar
Gambar 2.4. Gambaran umum dari sebuah sistem kontrol proses kaskade Jadi, jika variabel yang dikontrol lup luar berubah, sinyal eror yang merupakan masukan ke alat kontrol mempengaruhi suatu perubahan setpoint lup dalam. Walaupun harga terukur dari lup dalam tidak berubah, lup dalam mengalami sebuah sinyal eror, dan 18
dengan demikian akan terjadi sebuah keluaran baru sebagi akibat perubahan setpoint. Umumnya kontrol kaskade memberikan kontrol yang lebih baik dari variabel tunggal. Sebagai contoh, perhatikan kontrol ketinggian cairan pada Gambar 2.5. Sistem variabel tunggal diperlihatkan pada Gambar 2.5.a. Pada sistem ini, pengukuran ketinggian cairan dipakai untuk menyetel sebuah katup kontrol aliran yang bertindak sebagai elemen kontrol akhir. Setpoint ke alat kontrol menentukan ketinggian cairan yang diinginkan. Pada sistem ini, perubahan beban ke atas mengakibatkan perubahan laju aliran yang mengakibatkan perubahan ketinggian cairan. Perubahan ketinggian cairan ini merupakan efek tingkat kedua. Sebagai konsekuensinya, sistem tidak bias memberikan tanggapan sampai ketinggian cairan tersebut telah benar-benar diubah oleh perubahan aliran. Gambar 2.5.b memperlihatkan masalah kontrol yang sama, yang diselesaikan dengan sistem kaskade. Pada sistem ini, lup aliran merupakan sistem variabel tunggal, tetapi setpoint ditentukan oleh pengukuran ketinggian cairan. Perhatikan bahwa perubahan beban dalam arah ke atas sekarang tidak pernah terlihat pada ketinggian cairan di dalam tangki karena sistem kontrol aliran meregulasi perubahan-perubahan seperti ini sebelum perubahan-perubahan ini muncul sebagai perubahan yang subtansial dalam ketinggian cairan.
Gambar 2.5. Sistem kaskade sering kali memberikan kontrol yang lebih baik dibanding dengan metode langsung 19
20
menentukan operasi berikutnya. Komputer bias melakukan pengurutan operasi melalui beribu-ribu penyetelan mikro dari setpoint guna mencari penyetelan yang optimum. Contoh : Suatu proses membutuhkan penyetelan setpoint guna menaikkan produksi. Suatu urutan tertentu harus diikuti guna memberikan kenaikan produksi tersebut. SP1, SP2, dan SP3 adalah setpoint. P adalah tekanan dan PCB adalah tekanan kritis, sedangkan T adalah suhu dan TCR adalah suhu kritis. Buatlah sebuah diagram alir yang menaikkan setpoint-setpoint sebagai berikut: 1. Naikkan SP1 sebesar 1%. 2. Tunggu selama 10 detik, test untuk tekanan dibandingkan dengan tekanan kritis. 3. Jika tekanan lebih kecil dari tekanan kritis, maka: a. Turunkan SP2 sebesar 0,5%. b. Naikkan SP3 sebesar 0,75% c. Tunggu untuk T < TCR d. Naikkan SP2 sebesar 1% e. Kembali ke step 1. 4. Jika tekanan ada di atas tekanan kritis, a. Turunkan SP1 sebesar 0,5% b. Turunkan SP2 sebesar 0,25% c. Ulangi langkah 2. Penyelesaian : Untuk mengimplementasikan hal ini baik DDC ataupun sistem pengawasan membutuhkan sebuah diagram alir dari mana instruksiinstruksi program dibuat, seperti pada Gambar 2.6. Komputer akan melakukan pengurutan sesuai dengan langkah-langkah ini dalam suatu cara yang optimal sesuai dengan stipulasi/ketentuan masalah. Jika urutan dilakukan secara manual, akan dibutuhkan sejumlah operasi guna memantau perlengkapan dan membuat penyetelan-penyetelan yang perlu.
21
START
SP1
SP1*1.01
OUTPUT SP1
10*DELAY
INPUT P
P<PCR
NO
OUTPUT SP2,SP3
OUTPUT SP1,SP2
INPUT T
T<TCR
NO
SP2
SP2*1.01
OUTPUT SP2
22
Gambar 2.7.
Pada sistem-1, polenya: -2. Pada sistem-2, polenya: 2. Pada sistem-3, polenya: 0 + 2.0000i dan 0 - 2.0000i Pada sistem-3, polenya: 2 dan -2 Dari contoh-contoh yang telah dibahas di atas maka kestabilan dapat dikatakan sebagai: Sistem adalah stabil bila akar-akar karakteristik (pole sistem) fungsi alih keseluruhan mempunyai bagian nyata yang negatif. Jadi teknik yang mendasar untuk menentukan kestabilan sistem adalah dengan memperhatikan persamaan karakteristik dan akar-akarnya. Misalnya, sistem kontrol umpan-balik mempunyai persamaan karakteristik dalam bentuk: 1 + G(s) H(s) = 1 + Go(s) = 0 (2-1) di mana Go(s) adalah fungsi alih ikal terbukanya. Akar-akar persamaan karakteristik dalam bentuk tersebut biasanya sukar dicari, sehingga perlu dicari metode yang dapat memudahkan persoalan tersebut. Penentuan kestabilan suatu sistem berdasarkan persamaan karakteristik akan mengakibatkan kesulitan bagi persamaan yang tingkatannya (orde) yang lebih tinggi, yaitu dalam menentukan akar-akar persamaan karakteristik tersebut. Kriteria Routh (Pakpahan, 1988: 118), merupakan salah satu cara untuk menentukan kestabilan suatu sistem tanpa menghitung akar-akar persamaan karakteristiknya. Kriteria ini merupakan metode aljabar untuk menentukan kestabilan dalam wawasan s (Laplace). Cara ini akan menunjukkan adanya akar-akar yang tidak stabil beserta jumlahnya, tetapi tidak menentukan nilai atau kemungkinan cara untuk mencegah ketidakstabilan. Prosedur penentuan stabilitas berdasarkan kriteria Routh adalah sebagai berikut: Persamaan karakteristik sistem ditulis dalam bentuk polinomial seperti pada persaman (2-2): a0sn + a1sn-1 + ... + an-1s + an = 0 di mana: a0, a1, ..., adalah koefisien dari persamaan karakteristik. Koefisien-koefisien persamaan tersebut disusun dalam suatu barisan (array) yang menyerupai matriks sebagai berikut: a0 a1 b1 c1 ... a2 a3 b3 c3 a4 a5 b5 c5 a6 a7 b7 c7 ... ... ... ... (2-2)
24
Cara penyusunannya adalah sebagai berikut: - baris pertama adalah koefisien-koefisien yang berindeks genap (0, 2, 4, 6, ...). - baris kedua adalah koefisien-koefisien yang berindeks ganjil (1, 3, 5, 7, ...). - baris ketiga (b1, b3 , b5, ...) ditentukan dari nilai-nilai baris pertama dan kedua, dengan menggunakan persamaan: a0 a1 a1 a2 a3 a0 a1 a1 a4 a5
b1 = -
a 1a 2 - a 0 a 3 ; b3 =a1
a 1a 4 - a 0 a 5 ; dst. a1
(2-3)
- baris keempat (c1, c3, c5, ...) ditentukan dari baris kedua dan ketiga dengan menggunakan persamaan: a1 b1 b1 a3 b3 b1a 3 - a 1 b 3 ; c3 =b1 a1 b1 b1 a5 b5 b1a 5 - a 1 b 5 ; dst. b1 (2-4)
c1 = -
- demikian seterusnya. Jumlah barisan ini bergantung pada orde persamaan karakteristik tersebut. Misalnya untuk persamaan orde-dua, jumlah barisnya adalah tiga. Susunan barisan ini disebut barisan Routh (Routh array).
Contoh: Suatu sistem yang mempunyai fungsi alih loop/ikal tertutup:
G(s) = 2/(s2-4s+4), sehingga persaman karakteristiknya: s2-4s+4 = 0. Barisan Routh-nya: s2: s1: s0: 1 -4 -4 -4. Ini berarti bahwa ada satu akar persamaan 4 0
Dari susunan tersebut di atas, terlihat bahwa ada satu perubahan tanda pada kolom pertama, yaitu dari 1 karakteristik yang bagian nyatanya positif, sehingga sistem tidak stabil. Pada bagian berikut ini akan dibahas beberapa metode untuk menganalisis stabilitas sistem kontrol dengan cara yang lebih mudah tersebut. Metode Nyquist, dan Bode menentukan stabilitas sistem ikal tertutup dengan hanya menguji fungsi alih ikal
terbukanya. Ini merupakan penyederhanaan yang luar biasa, karena biasanya persamaan
karakteristik sistem ikal terbuka seringkali dalam bentuk faktor-faktornya, sedangkan untuk sistem ikal tetrtutupnya tidak dalam bentuk faktornya. Persamaan dalam bentuk
25
faktornya lebih mudah ditangani, sehingga hal tersebut merupakan sebagian alasan kenapa kedua metode ini sangat populer.
(2-5)
di mana Go(s) adalah fungsi alih ikal terbuka. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa sistem tersebut memiliki m buah zero dan n buah pole (biasanya m = n). Menurut Hartanto (2003), kriteria Nyquist dinyatakan sebagai berikut: P = jumlah kutub dari G(s)H(s) di sebelah kanan sumbu khayal bidang s, N = banyaknya pengelilingan titik -1 diagram Nyquist searah jarum jam, Pengelilingan searah jarum jam dari titik -1 sebagai pengelilingan positif, Pengelilingan tidak searah jarum jam dari titk -1 sebagai pengelilingan negatif, Z = banyaknya pole (positif, real) di sebelah kanan bidang sistem loop tertutup, Kriteria dapat dinyatakan sebagai: Z=P+N (2-6) Mengetahui banyaknya kutub di bidang sebelah kanan (tak stabil) loop terbuka (=P) dan banyaknya pengelilingan titik -1 yang dibuat diagram Nyquist (=N), kita dapat menentukan stabilitas loop tertutup dari sistem tersebut. Jika Z = P + N, positif tanpa nol, sistem loop tertutup tidak stabil. Kita dapat menggunakan diagram Nyquist untuk mencari jangkauan penguatan dari sistem loop tertutup umpan-balik terpadu yang stabil.
Contoh: Suatu sistem loop tertutup seperti pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Diagram kotak sistem loop tertutup di mana G(s) = s 2 + 10s + 24 s 2 - 8s + 15
26
Tentukan jangkauan penguatan yang akan membuat sistem loop tertutup stabil!
Penyelesaian:
Hal pertama yang kita perlukan adalah mencari banyaknya kutub positif pada fungsi transfer loop terbuka.
>> a=roots([1 -8 15]) a = 5 3
Berarti ada 2 kutub positif. Oleh karena itu dibutuhkan dua pengelilingan tak searah jarum jam (N = -2) pada diagram Nyquist untuk mendapatkan sistem loop tertutup yang stabil (Z = P + N). Jika banyaknya pengelilingan kurang dari dua atau pengelilingannya searah jarum jam, sistem tidak akan stabil. Kita coba dengan variasi K (= 1, 10, 0.5, 0.75). Dengan menggunakan program Matlab diperoleh diagram Nyquist seperti pada Gambar 2.9.
K1=1; K2=10; K3=0.5; K4=0.7; num=[1 10 24]; den=[1 -8 15]; subplot(221);nyquist(K1*num,den);title('Nyquist subplot(222);nyquist(K2*num,den);title('Nyquist subplot(223);nyquist(K3*num,den);title('Nyquist subplot(224);nyquist(K4*num,den);title('Nyquist
Gambar II-9. Digram Nyquist untuk sistem pada Gambar II-8 dengan variasi nilai K 27
Untuk menguji kebenaran kriteria Nyquist tersebut, kita lihat respon step sistem loop tertutup untuk keempat kondisi tersebut di atas. Dengan menggunakan program Matlab diperoleh respon seperti pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10. Respon step untuk sistem pada Gambar 2.8 dengan variasi nilai K Berdasarkan Gambar 2.9 dan 2.10, diperoleh bahwa sistem dengan K = 1, dan 10 (dan yang lebih besar) akan stabil, sedangkan untuk K = 0,5, dan 0,7 (dan yang lebih kecil) tidak stabil.
28
Berikut ini akan diperkenalkan dengan kriteria kestabilan Bode yang didasarkan pengetahuan dari teknik Nyquist. Gambar 2.11 menunjukkan contoh tiga Nyquist plot dari fungsi alih ikal terbuka Go(s). Sesuai dengan kriteria Nyquist, kita dapat menyimpulkan: Sistem umpan-balik Go(s) tipe (a) adalah stabil. Sistem umpan-balik Go(s) tipe (b) berada pada batas kestabilan. Sistem umpan-balik Go(s) tipe (c) adalah tidak stabil.
Gambar 2.11. Contoh tiga Nyquist plot dari fungsi alih ikal terbuka Go(s) Berdasarkan Gambar 2.11 dapat didefenisikan gain cross-over dan phase gain-over sebagai berikut: a. Gain cross-over adalah titik potong antara Nyquist plot dengan lingkaran berjarijari satu (titik A, B, C pada Gambar 2.11). b. Phase cross-over adalah titik potong antara Nyquist plot dengan sumbu nyata negatif (titik D, B, E pada Gambar 2.11). Hubungan antara stabilitas sistem umpan-balik dengan fase Go(jw D) pada gain crossover adalah sebagai berikut: Sistem stabil: Go(jw D) < p (180o). Sistem berada pada batas kestabilan: Go(jw D) = p. Sistem tidak stabil: Go(jw D) > p.
di mana w D adalah frekwensi gain cross-over. Dan hubungan antara stabilitas sistem umpan-balik dengan gain | o(jw p)|pada phase G cross-over adalah sebagai berikut: Sistem stabil: | o(jw p)|< 1. G 29
Sistem berada pada batas kestabilan: | o(jw p)|= 1. G Sistem tidak stabil: | o(jw p)|> 1. G Pada Bode plot hubungan tersebut di atas secara skematik dapat digambarkan
di mana w p adalah frekwensi phase cross-over. seperti pada Gambar 2.12 dan 2.13. Phase cross-over adalah titik potong kurva fase dengan garis -180o, dan gain cross-over adalah titik potong kurva gain dengan 0 dB. Karena itu, kriteria kestabilan Bode menjadi sebagai berikut: a. Pada frekwensi gain cross-over (w D) : sistem stabil Go(jw D) < 180o o : sistem berada pada batas kestabilan Go(jw D) = 180 : sistem tidak stabil Go(jw D) > 180o
Gain plot
g[dB]
0
w
(dalam skala log)
wD
0
w
A B C Batas kestabilan
Go [deg]
-180
Phase plot
Gambar 2.12. Kriteria kestabilan dengan diagram Bode (a). b. Pada frekwensi phase cross-over (w p) gain 20 log | o(jw D)|< 0 G gain 20 log | o(jw D)|= 0 G gain 20 log | o(jw D)|> 0 G : sistem stabil : sistem berada pada batas kestabilan : sistem tidak stabil.
30
Gain plot
g[dB]
0
.B
D
w
(dalam skala log)
Sistem tak stabil Batas kestabilan Sistem stabil
wp
0
w
(dalam skala log)
Go [deg]
-180
Phase plot
G (s) =
K s(s + 1) H (s) = 1
H(s)
Gambar 2-14. b. Hitunglah gain margin dan phase margin untuk K = 3. c. Verifikasi hasil yang diperoleh dengan program Matlab!
31
3.
G (s) =
dapatkan daerah K sehingga sistem stabil, dengan menggunakan teknik Nyquist. 4. Untuk fungsi alih berikut ini 10 G(s) = (1 + 0.25s ) Hitunglah g [dB] dan f [derajat] untuk w = 16, 8, 4, 2, 1 dan gambarlah asimtot dan Bode plot-nya. 5. Gambar Bode plot dari sistem: 1 G (s) = (0.25s + 1)(0.25s 2 + 0.4s + 1) Tentukan: a. Gain margin dan phase margin, b. Gain, sehingga gain marginnya menjadi 100 [dB], c. Gain, sehingga phase marginnya menjadi 45o.
32