Вы находитесь на странице: 1из 27

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Perilaku atau tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai fakta sosial bukanlah perkara baru dari perspektif sosiologis masyarakat Indonesia. Persoalan ini sudah terjadi sejak lama dan masih berlanjut hingga kini. Kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksudkan dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tersebut, Bab 1 Tentang ketentuan Umum Pasal 2 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaa, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga. 2 Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat universal karena dapat terjadi dalam sebuah rumah tangga tanpa pembedaan budaya, agama, suku bangsa, dan umur pelaku maupun korbannya. Karena itu, ia dapat terjadi dalam rumah tangga keluarga sederhana, miskin dan terkebelakangan maupun rumah tangga keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang. Tindak kekerasan ini dapat dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangan masing-masing atau terhadap anak-anak, anggota keluarga yang lain, dan terhadap pembantu mereka secara berlainan maupun bersamaan.
2

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada awal tahun 2004 menunjukkan peningkatan serius dalam jumlah kasus kekerasan berbasis gender yang menimpa perempuan. Pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus yang dilaporkan ke lembaga pengada layanan tersebut. Pada tahun 2002 angka itu meningkat menjadi 5.163 kasus dan tahun 2003 terdapat 5.934 kasus. Sedangkan tahun 2006, catatan dari Ketua Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kamala Chandrakirana, menunjukkan kekerasan terhadap

perempuan (KTP) sepanjang tahun 2006, mencapai 22.512 kasus, dan kasus terbanyak adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga sebanyak 16.709 kasus atau 76%. 1 Data yang diperoleh dari Jurnal Perempuan edisi ke 45, menunjukkan bahwa dari tahun 2001 terjadi 258 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Tahun 2002 terjadi sebanyak 226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272 kasus, tahun 2004 terjadi 328 kasus dan pada tahun 2005 terjadi 455 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jurnal Perempuan edisi 45). Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus yang tak pernah habis dibahas karena meskipun berbagai instrumen hukum, mulai dari Internasional sampai pada tingkat nasional belum mampu menekan angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi. 1

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi dari keluarga? 1.2.2 Apa definisi dari kekerasan? 1.2.3 Apa yang dimaksudkan dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? 1.2.4 Apa penyebab terjadinya tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1.2.5 Apa saja pemeriksaan forensic yang akan dilakukan? 1.2.6 Bagaimanakah dampak dari tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? 1.2.7 Bagaimanakah tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dipandang dari aspek hukum? 1.3 Tujuan Tujuan makalah ini dibuat adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk KDRT dan hal-hal apa saja yang dapat menjadi penyebab umum timbulnya KDRT. Selain itu, agar dokter muda dapat memahami dan melakukan pemerikasaan fisik dan visum yang terkait dengan tindak pidana KDRT dan mengetahui sanksi pidana dari tindakan KDRT.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi 2.1.1 Definisi Keluarga Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga "kulawarga" yang berarti "anggota" "kelompok kerabat". Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah, bersatu. Keluarga inti (nuclear family) terdiri dari ayah,ibu, dan anak-anak mereka. Lazim pula dijumpai dalam masyarakat sebuah rumah tangga terdiri dari anggota-anggota keluarga yang lain seperti mertua, ipar dan sanak-saudara atas dasar pertalian darah maupun perkawinan dengan suami istri bersangkutan. 1 Pengertian Keluarga, menurut pasal 1 angka 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. 1 Definsi keluarga menurut Burgess dkk dalam Friedman (1998), yang berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas : 1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan dengan ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi 2. Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama -sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. 3. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peranperan sosial keluarga seperti suami istri, ayah dan ibu, anak laki - laki dan anak perempuan, saudara dan sauari. 4. Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri. 1 Menurut Friedman dalam Suprajitno (2004), mendefinisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. 1

2.1.2 Definisi Kekerasan

Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban. Kekerasan dapat berupa tindakan kekerasan fisik atau kekerasan psikologi. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau biasa juga disebut sebagai domestic violence merupakan suatu masalah yang sangat khas karena kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. 1 Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak perempuan dan pelakunya biasanya ialah suami (walaupu ada juga korban justru sebaliknya) atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan

pembedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempaun secara fisik, seksual, psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. 1 Macam kekerasan dapat berupa tindakan kekerasan fisik atau kekerasan psikologi. Definisi kekerasan fisik (WHO): Tindakan fisik yang dilakukan terhadap orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual dan psikologi. Tindakan itu antara lain berupa memukul, menendang, menampar, menikam, menembak, mendorong (paksa),menjepit. Definisi kekerasan psikologi (WHO): Penggunaan kekuasaan secara sengaja termasuk memaksa secara fisik terhadap orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, mental, spiritual, moral dan pertumbuhan sosial. Tindakan kekerasan ini antara lain berupa kekerasan verbal, memarahi/penghinaan, pelecehan dan ancaman. 1

2.1.3 Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada tanggal 22 September 2004 mengesahkan UU No. 23 tahun 2004, Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan, meminimalisasi, menindak pelaku kekerasan, bahkan

merehabilitasi korban yang mengalami kekerasan rumah tangga. Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 1 Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi : a. Suami, isteri, dan anak b.Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c.Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. 1

2.2 Epidemiologi Kekerasan dalam rumah tangga memiliki tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data yang diperoleh dari Jurnal Perempuan edisi ke 45, menunjukkan bahwa dari tahun 2001 terjadi 258 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tahun 2002 terjadi sebanyak 226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272 kasus, tahun 2004 terjadi 328 kasus dan pada tahun 2005 terjadi 455 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jurnal Perempuan edisi 45). Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus yang tak pernah habis dibahas karena meskipun berbagai instrumen hukum, mulai dari Internasional sampai pada tingkat nasional belum mampu menekan angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi. 1 Dari data di atas dapat kita ketahui bahwa dari tahun ke tahun Kekerasan Dalam Rumah Tangga cenderung meningkat karena kekerasan yang dihadapai perempuan juga meningkat. Sedangkan dari sumber yang sama didapati bahwa jenis kekerasan yang paling sering dihadapi oleh perempuan adalah kekerasan psikis (45,83 %). 1 Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada awal tahun 2004 menunjukkan peningkatan serius dalam jumlah kasus kekerasan berbasis gender yang menimpa perempuan. Pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus yang

dilaporkan ke lembaga pengada layanan tersebut. Pada tahun 2002 angka itu meningkat menjadi 5.163 kasus dan tahun 2003 terdapat 5.934 kasus. Sedangkan tahun 2006, catatan dari Ketua Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kamala Chandrakirana, menunjukkan kekerasan terhadap

perempuan (KTP) sepanjang tahun 2006, mencapai 22.512 kasus, dan kasus terbanyak adalah Kekerasan dalam Ruah Tangga sebanyak 16.709 kasus atau 76%. 1

2.3 Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :1 1. Kekerasan Fisik 2. Kekerasan Psikis 3. Kekerasan Seksual 4. Penelantaran rumah tangga

1. Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6 Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang), membenturkan kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau dengan kayu yang bara apinya masih ada, menendang, mencekik leher. 2. Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7 Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah, hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di luar rumah . 3. Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 8 Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan seksual walaupun isteri

dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain.

4. Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 9 Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Penelantaran seperti meninggalkan isteri dan anak tanpa memberikan nafkah, tidak memberikan isteri uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.1 2.4 Etiologi Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :1

1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.

2. Ketergantungan ekonomi. Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadanya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.

3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik. Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari

ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan tangganya. fisiknya dalam menyelesaikan masalah rumah

4. Persaingan Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.

5. Frustasi Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang : a) Belum siap kawin (Syarat-syarat perkawinan dijelaskan dalam Undangundang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab II Pasal 6 hingga Pasal 12). b) Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga. c) Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua. Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan

memarahinya, semacamnya.

memukulnya,

membentaknya

dan

tindakan

lain

yang

6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami 2.5 Pemeriksaan Fisik Pada Korban KDRT 2.5.1 Tujuan pemeriksaan fisik pada korban KDRT Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 21 yang menyatakan bahwa:

1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus: a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau

suratketerangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. 2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan disarana kesehatan
5

milik

pemerintah,

pemerintah

daerah,

atau

masyarakat.

Tujuan pemeriksaan fisik pada kasus KDRT adalah untuk memberikan keterangan tentang kondisi korban sebagai salah satu bagian dari pembuatan visum et repertum yang akan digunakan sebagai bukti yang sah yang termasuk dalam keterangan ahli,sehingga proses hukum bisa dijalankan.

2.5.2 Karakteristik kasus dan korban KDRT Banyak wanita menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu hal yang tabu. Itulah mengapa mereka cenderung menutupi penderitaan fisik dan psikologis yang dilakukan pasangannya. Adanya sikap posesif terhadap korban ataupun perilaku mengisolasi korban dari dunia luar dapat dilihat sebagai tanda awal KDRT. Korban biasanya tampak depresi, sangat takut pada

pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya, termasuk pegawai rumah sakit. Perhatikan perubahan sikap korban. Mereka akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka umumnya tak ingin orang sekitarnya melihat tanda-tanda kekerasan pada diri mereka. Kontak mata biasanya buruk. Korban menjadi pendiam. Korban harus diperiksa secara menyeluruh untuk memeriksa dengan teliti tanda-tanda kekerasan yang pada umumnya tersembunyi. Sebagai contoh, kulit kepala dapat menunjukkan tanda tanda kekerasan. Korban juga akan mencoba untuk menyembunyikan atau menutupi luka-lukanya dengan memakai riasan wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau perhiasan.4 2.5.3 Karakteristik Luka Pada Korban KDRT Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya tak jarang mengalami cedera. Hanya saja mereka cenderung menutupinya dengan mengatakan bahwa luka tersebut akibat terjatuh, atau kecelakaan umum. Untuk membedakannya, perlu diketahui ciri-ciri khusus luka akibat kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga.Karakteristik luka yang disebabkan oleh adanya KDRT, biasanya menunjukkan gambaran sebagai berikut:4 1) Luka bilateral, terutama pada ekstremitas. 2) Luka pada banyak tempat. 3) Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali yang terbakar. 4) Luka lecet, luka gores minimal, bilur. 5) Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya pukulan pada bagian mata sehingga melukai struktur dalam mata, bisa juga terjadi jika berlaku perlawanan yang kuat antara korban dengan pelaku sehingga secara tidak sengaja melukai korban.

10

2.5.4 Bentuk-Bentuk Luka

Adanya bentukan luka memberi kesan adanya kekerasan. Bentukan luka merupakan tanda, cetakan atau pola yang timbul dengan segera di bawah epitel oleh senjata penyebab luka. Bentuk luka dapat karena benda tumpul, benda tajam (goresan atau tikaman) atau karena panas. 4

1) Kekerasan Tumpul Kekerasan tumpul yang melukai kulit merupakan luka yang paling sering terjadi, berupa luka memar, lecet dan luka goresan. Adanya luka memar yang sirkuler ataupun yang linier memberi kesan adanya penganiayaan. Luka memar parallel dengan sentral yang bersih memberi kesan adanya penganiayaan dari objek linear. Adanya bekas tamparan dengan bentukan jari juga harus dicatat. Luka memar sirkuler dengan diameter 1 1,5 cm dengan tekanan ujung jari mungkin terlihat sama dengan bentuk penjambretan. Bentukan-bentukan tersebut sering tampak pada lengan atas bagian dalam dan area-area yang tidak terlihat waktu pemeriksaan fisik. Penganiayaan dengan menggunakan ikat pinggang atau kawat menyebabkan luka memar yang datar,dan penganiayaan dengan sol atau hak sepatu akan menyebabkan luka memar pada korban yang ditendang.

2) Memar Beberapa faktor mempengaruhi perkembangan luka memar, meliputi kekuatan kekerasan tumpul yang diterima oleh kulit, kepadatan vaskularisasi jaringan, kerapuhan pembuluh darah, dan jumlah darah yang keluar ke dalam jaringan sekitar. Luka memar yang digunakan untuk identifikasi umur dan penyebab luka, tidak selalu menunjukkan kesamaan warna pada tiap orang dan tidak dapat berubah dalam waktu yang sama antara satu orang dengan orang lain. Beberapa petunjuk dasar tentang penampakan luka memar sebagai berikut: a) Waktu merah, biru, ungu, atau hitam dapat terjadi kapan saja dalam waktu 1 jam setelah trauma sebagai resolusi dari memar. Gambaran warna merah tidak dapat digunakan untuk memperkirakan umur memar. b) Memar dengan gradasi warna kuning umurnya lebih dari 18 jam. c) Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau merupakan indikasi luka yang lama, tetapi untuk mendapatkan waktu yang spesifik sulit.

11

3) Bekas Gigitan Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestic violence. Beberapa bentukan gigitan ini sulit untuk dikenali, misalnya penampakan memar semisirkuler yang non spesifik, luka lecet, atau luka lecet memar, dan masih banyak lagi gambaran yang dapat dikenali karena lokasi anatomi dari gigitan dan pergerakan tidak tetap pada kulit.

4) Bekas Kuku Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal atau kombinasi, yaitu sebagai berikut:4 a) Impression marks Bentukan ini merupakan akibat patahnya kuku pada kulit. Bentuknya seperti koma atau setengah lingkaran. b) Scratch marks Bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya sama dengan kedalaman kuku. Bentukan ini terjadi karena wanita yang menjadi korban berkuku panjang. c) Claw marks Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih menyeramkan.

5) Strangulasi Hanging, ligature, atau manual adalah 3 tipe dari strangulasi (penjeratan). Dua tipe terakhir mungkin berhubungan dengan domestic violence. a) Ligature strangulation (garroting) dan Manual strangulation (throttling). Ligature strangulation (garroting) merupakan bentuk strangulasi dengan menggunakan tali, seperti kabel telepon atau tali jemuran. Sedangkan Manual strangulation (throttling) biasanya menggunakan tangan,

dilakukan dengan tangan depan sambil berdiri atau berlutut di depan tenggorokan korban. b) Strack dan McLane melakukan penelitian pada 100 wanita yang dilaporkan mengalami pencekikan oleh pasangan mereka dengan tangan kosong, lengan ataupun menggunakan alat (kabel listrik, ikat pinggang, tali, peralatan mandi). Petugas kepolisian melaporkan luka tidak tampak pada 62% wanita, luka tampak minimal pada 22% dan luka yang signifikan seperti warna merah, memar ataupun bekas tali yang terbakar

12

pada 16% sisanya. Hampir 50% dari para korban mengalami perubahan suara dari disfonia sampai afonia. c) Disfagia, odinofagia, hiperventilasi, dispneu, dan apneu dilaporkan atau ditemukan. Dengan catatan, laporan menunjukkan bahwa beberapa korban dengan keadaan awal ringan, dapat meninggal dalam waktu 36 jam setelah strangulasi. d) Pada ligature strangulation sering tampak petechiae. Petechiae pada konjungtiva terlihat sama banyaknya dengan petechiae pada daerah jeratan, seperti wajah dan daerah periorbita. e) Pada leher mungkin ditemukan goresan dan luka lecet dari kuku korban atau kombinasi dari luka yang dibuat oleh pelaku dan korban. Lokasi dan luas bervariasi dengan posisi pelaku (depan atau belakang) dan apakah korban atau pelaku menggunakan satu atau dua tangan. Pada Manual strangulation korban sering merendahkan dagunya dalam upaya melindungi leher, hal ini akan mengaakibatkan luka lecet pada dagu korban dan tangan pelaku. f) Luka memar tunggal atau area eritematous sering terlihat pada ibu jari pelaku. Area dari luka memar dan eritema sering terlihat bersama, berkelompok pada bagian samping leher, sepanjang mandibula, bagian atas dagu, dan di bawah area supraklavikula. g) Ligature mark terlihat dari halus sampai keras. Menyerupai lipatan kulit. Tanda (misalnya pola seperti gelombang kabel telepon, seperti jalinan pita dari tali) dapat memberi kesan korban telah dicekik. Sifat dan sudut pola ini diperlukan untuk membedakan penggantungan dengan Ligature strangulation. Pada Ligature strangulation, penekanan dari penjeratan biasanya horizontal pada level yang sama dengan leher, dan tanda penjeratan biasanya di bawah kartilago thyroid dan sering tulang hyoid patah. Pada penggantungan, penekanan cenderung vertical dan berbentuk seperti air mata, di atas kartilago thyroid, dengan simpul pada daerah tengkuk, di bawah dagu, atau langsung di depan telinga. Tulang hyoid biasanya masih utuh. h) Keluhan lainnya termasuk kehilangan kesadaran, defekasi, muntah yang tidak terkontrol, mual dan kehilangan ingatan.

13

2.5.5 Distribusi Luka

Luka-luka pada KDRT biasanya mempunyai distribusi tertentu, sebagai berikut:4 1) Luka pada domestic violence biasanya sentral. 2) Tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian (misalnya dada, payudara dan perut). 3) Wajah, leher, tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering mengalami perlukaan. 4) Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan leher. Pelaku laki-laki menghindari untuk menyerang wajah, tetapi kemudian memukul kepala bagian belakang. 5) Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence. 6) Trauma pada maxillofacial termasuk luka pada mata dan telinga, luka pada jaringan lunak, kehilangan pendengaran, dan patah pada mandibula, patah tulang hidung, orbita dan zygomaticomaxillary complex.

Luka karena perlawanan, misalnya patah tulang, dislokasi sendi, keseleo, dan atau luka memar dari pergelangan tangan atau lengan bawah dapat mendukung adanya tanda dari korban untuk menangkis pukulan pada wajah atau dada. Termasuk luka pada bagian ulnar dari tangan dan telapak tangan (yang mungkin digunakan untuk menahan serangan). Luka lain yang umum ada termasuk luka memar pada punggung, tungkai bawah, bokong, dan kepala bagian belakang (yang disebabkan karena korban membungkuk untuk melindungi diri). Luka lecet yang banyak atau luka memar pada tempat yang berbeda sering terjadi memperkuat kecurigaan adanya domestic violence. Peta tubuh dapat membantu penemuan fisik adanya kekerasan termasuk dengan memperhatikan kemungkinan tanda-tanda kekerasan pada daerah-daerah yang tersembunyi. Terdapatnya luka yang banyak dengan tahap penyembuhan yang bervariasi memperkuat dugaan adanya KDRT yang berulang. 4

2.5.6 Kekerasan Selama Kehamilan Kekerasan umumnya meningkat selama kehamilan. Luka-luka kekerasan yang terjadi selama kehamilan biasanya terdapat pada bagian payudara atau perut. Pasien juga dapat memperlihatkan trauma pada genitalia, nyeri yang tidak

14

dapat dijelaskan, serta kekurangan gizi. Kekerasan selama kehamilan dapat membawa dampak yang fatal bagi ibu maupun janin, seperti aborsi spontan yang tidak dapat dijelaskan, keguguran, atau kelahiran prematur. 4 2.5.7 Penganiayaan Seksual Penganiayaan seksual merupakan salah satu bentuk KDRT yang kerap terjadi. Penganiayaan seksual dilaporkan oleh 33% - 46% wanita yang mengalami kekerasan fisik. Bagi korban penganiayaan seksual perlu dilakukan pemeriksaan untuk menemukan bukti penganiayaan seksual jika diindikasikan oleh gambaran klinik. Beberapa bukti dari luka genital seperti hematom vagina, luka lecet kecil pada vagina, atau benda asing pada rectovagina, dapat diajukan untuk menentukan kekerasan seksual. Adanya darah yang mengering dan semen juga harus dicatat. Perlu diindentifikasi pula adanya penyakit menular seksual yang dapat diduga akibat kekerasan seksual. 4 2.5.8 Prosedur Pemeriksaan Korban KDRT Bila mengalami maupun menemukan kasus kekerasan dalam rumah tangga, sebaiknya segera laporkan kejadian ke Polisi. Korban hendaknya segera melapor dan segera melakukan Visum agar bekas luka masih jelas sesuai keadaan awal. Mengingat korban tentunya berada dalam suasana perasaan yang panic, bingung, ketakutan maupun depresi, korban perlu diberikan penguatan dan pendampingan agar korban kuat menghadapi masalah. Untuk memperkuat pembuktian dalam kasus KDT ini, perlu segera dikumpulkan buktibukti dan data saksi.

Korban perlu disosialisasikan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan pada waktu mengajukan permintaan visum et repertum untuk korban hidup. Bahwa permintaan harus diajukan secara tertulis, tidak dibenarkan minta secara lisan, melalui titipan atau melalui pos. Surat permintaan visum et repertum harus dibawa sendiri oleh pihak pengusut bersama-sama korban ke rumah sakit.19-21 Umumnya korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik/pejabat kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa serta surat permintaan visum et repertum. Sedangkan pada korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik. Untuk kasus kekerasan seksual, untuk dapat memeriksa korban, selain

15

adanya

surat

permintaan

visum

et

repertum,

dokter

sebaiknya

juga

mempersiapkan si korban atau orang tuanya bila ia masih belum cukup umur, agar dapat dilakukan pemeriksaan serta saksi atau pendamping perawat wanita dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup yang tenang.4

Jika dokter menemukan kasus yang diduga sebagai KDRT,dokter haruslah memotivasi pasien untuk melaporkan kasus tersebut kepada pihak

kepolisian,agar kasus tersebut boleh diproses sesuai hukum, serta pemeriksaan forensic bisa dilakukan sesuai dengan surat permintaan visum.

2.6 Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. 1 Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah: 1) Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut. 2) Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks. 3) Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam. 4) Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya. 1 Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya. 1

16

Menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyakit seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang. Ketika bermain sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai. Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga.
1

Pemahaman

seperti

ini

mengakibatkan anak berpendirian bahwa: 1.

Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan

2. 3.

Tidak perlu menghormati perempuan Menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan adalah baik dan wajar

4.

Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja.

Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:1 1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan. 2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil. 3. Merasa disia-siakan oleh orang tua

Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak

17

dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.1 2.7 Aspek Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan telah disahkan Undang-Undang No.23 tahun tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, diharapkan adanya perlindungan hukum bagi anggota keluarga khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan dalam rumah tangga. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga, sebagai berikut:4 1) Pasal 351 356 KUHP mengatur penganiayaan, yang berarti hanya terbatas pada kekerasan fisik. Pasal-pasal ini hanya mengatur sanksi pidana penjara atau denda dan sanksi lebih ditujukan untuk penjeraan (punishment). Padahal bentuk kekerasan dalam rumah tangga memiliki tingkat kekerasan yang beragam, terutama bila dilihat dari dampak kekerasan terhadap korban yang semestinya dikenakan penerapan sanksi yang berbeda. 2) Pasal 285 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul, belum sepenuhnya mengakomodir segala bentuk kekerasan seksual. KUHP tidak mengenal lingkup rumah tangga. KUHP tidak mengatur alternatif hukuman kecuali hanya pidana penjara, yang mana membuat dilema tersendiri bagi korban. KUHP tidak mengatur hak-hak korban, layanan-layanan darurat bagi korban serta kompensasi.

3) Pasal 90 KUHP, luka berat berarti: a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya mati. b. Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian. c. Kehilangan salah satu panca indera. d. Mendapat cacat berat. e. Menderita sakit lumpuh. f. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.

g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

18

Derajat luka harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yaitu: a. Penganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, didalam ilmu kedokteran forensik, pengertiannya menjadi luka yang tidak berakibat penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. Luka ini

dinamakan luka derajat pertama b. Bila sebagai akibat penganiayaan seseorang itu mendapat luka atau menimbuilkan penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan jabatan atau pencaharian akan tetapi hanya untuk sementara waktu sahaja maka luka ini dinamakan luka derajat kedua. c. Apabila penganiyaan tersebut mengakibatkan luka berat seperit yang dimaksudkan dalam pasal 90 KUHP, luka tersebut dinamakan luka derajat ketiga. 2.8 Pembuktian Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat yang sah lainnya. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yang diatur dalam pasal 184 adalah sebagai berikut:4

1) Keterangan saksi Menurut pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan pengertian umum keterangan saksi, dicantumkan dalam pasal 1 butir 27 KUHAP yang menyatakan: Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu 2) Keterangan ahli Pengertian umum dari keterangan ahli ini dicantumkan dalam pasal 1 butir 28 KUHAP, yang menyebutkan Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

19

3) Surat Surat sebagaimana dimaksud pada pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. Sebagai syarat mutlak dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. 4) Petunjuk Alat bukti petunjuk dalam KUHAP ditentukan dalam pasal 188, disebutkan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 5) Keterangan terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa didapatkan pada urutan terakhir dari alat alat bukti yang ada dan uraiannya terdapat dalam pasal 189 KUHAP. Dinyatakan bahwa keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di siding tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah yang termasuk ke dalam keterangan ahli sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang dalam bagian kesimpulan.4

20

BAB 3 CONTOH KASUS

Diduga KDRT, Oknum Jaksa Dipolisikan


JUMAT, 13 APRIL 2012 | 09:04 WIB BANDARLAMPUNG Nama baik kejaksaan tercoreng kembali. Sebelumnya, Tesar Esandra, salah satu oknum jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Gunungsugih, Lampung Tengah, tersandung kasus narkotika. Kali ini Aris Kurniawan, salah satu oknum jaksa di Kejari Bandarlampung tersangkut kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus itu telah selesai diselidiki Polda Lampung dan kini berkas serta pelakunya dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung. Pantauan Radar Lampung, dua penyidik polda telah melimpahkan berkas perkara KDRT ke Kejati. Sayang, saat ditanya mengenai perkara tersebut, pihaknya tidak mau berkomentar karena merasa bukan kewajibannya mengeluarkan pernyataan pers. Kasi Penkum Kejati Lampung M. Serry membenarkan, pihaknya telah menerima pelimpahan kasus KDRT dari Polda Lampung yang menimpa jaksa Kejari Bandarlampung. Benar, kami sudah menerima pelimpahan itu. Berkasnya sudah P21 (lengkap). Secepatnya akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Tanjungkarang untuk disidangkan, ungkap Serry saat ditemui di Kejati Lampung kemarin. Sementara, Kajari Bandarlampung Priyanto mengatakan, perkara

tersebut akan diteruskan hingga masuk ke meja hijau. Hari ini (kemarin, Red) sudah P21. Kita akan melalui jalur PP 53, kasus ini kan merupakan delik aduan. Kalau korbannya mencabut aduannya, perkara ini tidak akan dilanjutkan. Tapi kalau korbannya tidak mencabut pengaduannya, dalam waktu seminggu ini akan dilimpahkan ke pengadilan, tegas Priyanto saat ditemui di Kejati Lampung kemarin. Diketahui, Aris diduga menganiaya istrinya, Agus Laila Yusmanita (25). Ita menerima kekerasan pada 11 November 2011 di kediaman suaminya, di bilangan Sukarame, Bandarlampung. Akibatnya, korban mengalami beberapa

21

luka memar di bagian mata sebelah kiri, bagian belakang kepala, tangan kiri, dan lutut sebelah kanan. Waktu itu, saya janjian sama suami saya untuk yasinan niga hari tante. Tetapi mendadak saya diajak untuk mendatangi sebuah pesta pernikahan. Ketika saya bilang sudah janji mau yasinan, dia tiba-tiba marah dan memukul saya, ungkap Ita beberapa waktu lalu. Penganiayaan yang menimpa dirinya bukan hanya itu, tapi juga sejak setahun sebelumnya. Oleh karenanya, korban mengadukan hal tersebut ke Polda Lampung yang tertuang dalam nomor laporan TBL/408/XI/2011/SPKT tertanggal 21 November 2011 tentang KDRT Saya sudah capek dipukulin terus, Mas. Bahkan, saya pernah diancam dan mau dibunuh segala karena alasan yang nggak masuk akal, bebernya. Berdasarkan pemeriksaan kondisi psikologis oleh pihak Rumah Sakit Jiwa Lampung, akibat kekerasan yang menimpa korban, dirinya mengalami gangguan traumatik. (yud/c3/dna)

22

BAB 4 PEMBAHASAN Pada kasus ini, korban seorang wanita berusia 25 tahun diduga dianiaya oleh suami. Korban pada kasus ini memiliki resiko untuk menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Korban mengalami beberapa luka memar di bagian mata sebelah kiri, bagian belakang kepala, tangan kiri, dan lutut sebelah kanan serta ancaman untuk dibunuh. Antara etiologi yang mungkin dalam kasus ini adalah hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Dalam hal ini,sang suami meminta istrinya agar mengikuti beliau ke pesta pernikahan padahal istrinya sudah berjanji untuk mengikuti acara yasinan. Sang suami mungkin merasa perintahnya tidak dituruti. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruksi sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.

Selain itu, kekerasan juga dianggap sebagai alat untuk menyelesaikan konflik dalam rumah tangga. Dalam kasus ini,suami mungkin menganggap istri akan menuruti beliau jika kekerasan digunakan. Akibat tersinggung atau kecewa karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan masalah rumah tangganya.

23

Terdapat dua bentuk kekerasan yang diterima oleh korban. Kekerasan pertama adalah kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6 di mana kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Dalam kasus ini, kekerasan fisik yang diterima oleh korban adalah luka memar di bagian mata sebelah kiri, bagian belakang kepala, tangan kiri, dan lutut sebelah kanan. Selain itu, bentuk kekerasan kedua yang dialami korban adalah kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7 di mana kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah, hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di luar rumah. Korban diancam untuk dibunuh oleh suami sehingga pada pemeriksaan kondisi psikologis oleh pihak Rumah Sakit Jiwa Lampung, akibat kekerasan yang menimpa korban, dirinya mengalami gangguan traumatik. Bentuk luka yang ditemukan pada korban adalah luka memar di bagian mata sebelah kiri, bagian belakang kepala, tangan kiri, dan lutut sebelah kanan. Luka memar sering terjadi akibat kekerasan benda tumpul. Namun tidak dinyatakan dengan jelas warna luka memar sehingga kejadian sebenar tidak dapat diperkirakan kapan terjadi. Distribusi luka memar pada korban adalah sesuai dengan karakteristik luka pada kasus KDRT yaitu luka pada domestic violence biasanya sentral, tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian(misalnya dada, payudara dan perut) dengan wajah mengalami perlukaan. Berdasarkan penelitian, lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan leher. Pelaku laki-laki menghindari untuk menyerang wajah, tetapi kemudian memukul kepala bagian belakang. Pada korban terdapat luka memar pada bagian belakang kepala. Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence sebagaimana didapatkan luka memar pada wajah korban.

Pada korban juga didapatkan luka memar pada tangan kiri. Pada luka karena perlawanan, misalnya luka memar dari pergelangan tangan atau lengan bawah dapat mendukung adanya tanda dari korban untuk menangkis pukulan pada wajah atau dada. Termasuk luka pada bagian ulnar dari tangan dan

telapak tangan (yang mungkin digunakan untuk menahan serangan). Pada

24

korban ini juga didapatkan luka memar pada lutut sebelah kanan yang mana kika korban membongkok untuk melindungi dirinya dari penganiayaan, luka lain yang umum ada termasuk luka memar pada punggung, tungkai bawah, bokong, dan kepala bagian belakang. Distribusi luka memar yang multiple pada tempat yang berbeda juga bisa memperkuat kecurigaan adanya kecurigaan domestic violence.

Derajat luka yang dialami oleh korban pada kasus ini boleh diklasifikasikan sebagai luka derajat pertama yang berarti, luka yang tidak berakibat penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. Di dalam aspek hukum,dikenal sebagai penganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. Penentuan derajat luka ini adalah penting bagi menentukan undang-undang dan pasal yang terkait dengan penganiayaan dan KDRT.

Dalam kasus ini, tugas dokter adalah menyediakan visum et repertum sebagai salah satu alat bukti yang sah yang termasuk ke dalam keterangan ahli sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum merupakan bahan bukti yang sah untuk pembuktian kasus kekerasan dalam rumah tangga berupa keterangan ahli. Sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 1 butir 28 KUHAP, yang menyebutkan Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang dalam bagian kesimpulan.

25

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.Kekerasan dalam rumah tangga boleh wujud dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga.

Dalam contoh kasus yang dikemukan,kekerasan dilakukan oleh suami terhadap isteri,di mana istri mendapat kekerasan fisik dan psikis. Berdasarkan contoh kasus, kekerasan fisik yang diterima oleh istri bentuk dan distribusi luka yang terdapat pada korban bersesuaian dengan pola luka dalam kekerasan rumah tangga. Peran dokter adalah sebagai ahli yang menyediakan keterangan sebagai bentuk pembuktian dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.

5.2 Saran 1. Dokter muda diharapkan mampu menguasai prosedur

pemeriksaan forensic pada kasus kekerasan dalam rumah tangga 2. Pemeriksaan pada korban kekerasan rumah tangga haruslah dilakukan dengan seksama agar tanda-tanda kekerasan dapat dinilai dengan baik. 3. Oleh karena dampak dari kekerasan rumah tangga sangat berpengaruh terhadap korban, hendaknya korban mendapat penguatan dan pendampingan baik dari keluarga dan sahabat agar korban kuat menghadapi masalah.

26

DAFTAR PUSTAKA 1. Fiely dkk, 2010, Referat Aspek Medikolegal Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2. Rina P, 2010, Makalah Pengantar Ilmu Sosiologi Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Administrasi Negara, Universitas Lampung. 3. 2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Sosiologi. 4. 2011, Laporan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga RSUP Sanglah. 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

http://www.scribd.com/doc/24279456/UU-No-23-Th-2004-TentangPenghapusan-KDRT diakses tanggal 25 April 2012

27

Вам также может понравиться