Вы находитесь на странице: 1из 39

Tanah Batak

by Ahmad Ribuan Siregar Dongoran (Mahasiswa University Of Riau ) Tanah Batak adalah sebuah daerah yang terdapat di Sumatera bagian Utara, tempat kediaman salah satu suku-bangsa Indonesia bernama: etnik Batak. Pada awalnya yang disebut suku bangsa Batak maupun tempat mereka berdiam masih belum jelas diketahui orang, karena kebanyakan suku-suku bangsa di Indonesia saat itu, sebelum datangannya bangsa Eropa ke Asia Tenggara, belum menaruh perhatian pada penulisan catatan tentang: penduduk, keadaan alam, keberagaman etnik, budaya, adat-istiadat, dan lainnnya dalam perjalanan waktu. Penulisan catatan tentang keluarga dan keturunan mereka juga masih belum mendapat perhatian pendahulu mereka untuk dicatat, begitu juga tentang lingkungan hidup tempat berdiam. Kebanyakan informasi dimiliki hanyalah yang terekam dalam ingatan warga, yang dapat diperoleh secara lisan lewat bahasa setempat, pementasan budaya, dan hasil kerajinan. Begitu juga tentang tempat kediaman mereka di bumi ini. Istilah yang kerap digunakan untuk menyatakan tempat mereka berdiam hanyalah: di hitaan, yang artinya di kita sana; yang tidak banyak gunanya bagi mereka yang memerlukan koordinat keberadaan suatu tempat di permukaan planet biru ini. Nama Tanah Batak lalu berganti menjadi Tapanuli, setelah ditemukannya sebuah pemandian yang bernama: Tapian Na Uli (Pantai Yang Indah) oleh para pedagang yang sering berkunjung ke daerah pesisir bagian barat pulau Sumatera tidak jauh dari Sibolga untuk mendapatkan hasil bumi yang laku diperdagangkan. Istilah Tanah Batak lalu berubah menjadi Tapanuli sejak saat bersejarah itu. Sebelum datangnya bangsa Belanda ke Nusantara dari Eropa, di Tanah Batak telah terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil dipimpin Raja Panusunan Bulung (RPB) yang menempati beragam kawasan yang dinamakan luhat. Setiap huta atau kampung yang terdapat dalam luhat dipimpin oleh seorang Raja dengan gelar Raja Pamusuk (RP) yang langsung dipimpin RPB luhat bersangkutan. Setiap kerajaan kecil ini mempunyai pemerintahan berdiri sendiri yang bersifat otonom. Mereka belum mengenal pemerintah pusat yang mengatur dan mempengaruhi kerajaan dari luar, dan kehidupan dalam masyarakat masih berjalan menurut adat istiadat setempat. Pemerintahan menurut Adat Batak di Tapanuli telah berlangsung dalam bilangan abad yang diwariskan secara turun-temurun. Diantara berbagai luhat yang terdapat di Tapanuli Selatan ketika itu dan masih dapat dikenali kini, dapat dikemukakan: Luhat Sipirok, Luhat Angkola, Luhat Marancar, Luhat Padang Bolak, Luhat Barumun, Luhat Mandailing, Luhat Batang Natal, Luhat Natal, Luhat Sipiongot dan Luhat Pakantan. Luhat, mereka namakan juga Banua, kala itu masih merupakan tempat kediaman kelompok kekerabatan berlatar belakang kahanggi (genealogi); yakni tempat pemukiman

kelompok-kelompok masyarakat yang boleh dikatakan masih seketurunan yang menghuni kawasan amat luas. Pemerintahan luhat dijalankan menurut adat Batak masih berjalan sesuai ajaran kekerabatan Dalihan Na Tolu (DNT), atau Tungku Yang Tiga (TYT), yang masih berlaku di tengah kehidupan masyarakat Batak, yang dipimpin Raja Panusunan Bulung, yang artinya sang penyusun daun. RPB dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat, khususnya dari kalangan mereka turunan Sisuan Haruaya (Sipenanam Beringin) dalam Luhat dibicarakan, kemudian dinobatkan menjadi RPB pemimpin Luhat. Dalam melaksanakan tugasnya, RPB dibantu Raja Pangondian, yang juga dipilih dari antara para Raja yang terdapat dalam luhat tadi. Selain sebagai Kepala Pemerintahan, RPB juga sekaligus menjadi Kepala Adat atau Raja Adat dalam luhat dibicarakan dan memimpin berbagai upacara, mulai keagamaan menurut adat Batak setempat, hingga berjenis perhelatan para warga dalam daerah kekuasaannya. RPB lalu mendapat gelar: Haruaya Parsilaungan (Beringin Tempat Bernaung); di Angkola disebut Banir Parkolipkolipan, sedangkan di Mandailing dinamakan Banir Parondingondingan, yang maknanya tempat berlindung/bernaung warga yang berdiam dalam wilayah kekuasaannya. Meski pemerintahan luhat bercorak oligaki, artinya dilakukan hanya oleh segelintir orang, akan tetapi warna demokrasi juga ditunjukkan dengan adanya Lembaga Hatobangon (Lembaga Para Tetua) yang mendampingi RPB, sehingga berbagai golongan yang ada dalam masyarakat memiliki wakil untuk menyampaikan kepentingan masingmasing kelompoknya. Selain berdiri sendiri, luhat yang besar bilangannya, beragam luasnya, dan berjauhan letaknya pada ketika itu, masih saling menghargai satu dengan lainnya karena sederajat. Tidak ada kekuasaan apapun yang lebih tinggi berada di atas mereka ketika itu yang dapat mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. RPB di Tanah Batak awalnya datang dari keluarga-keluarga Sisuan Haruaya luhat bersangkutan. Luhat lalu berkembang menjadi tempat berhimpun huta-huta (kampungkampung) yang telah berdiri, dan yang disebut terdahulu bertugas menaungi yang terakhir. Sebuah huta yang telah mampu memenuhi kebutuhan sendiri hingga dapat berdiri sendiri, boleh diresmikan menjadi Bona Bulu (Rumpun Bambu). Dahulu sebuah huta akan diresmikan menjadi Bona Bulu, manakala telah memenuhi sedikitnya syarat berikut: 1. Terdapat penduduk sekurang-kurangnya tiga keluarga Dalihan Na Tolu, yakni: Kahanggi, Anakboru, dan Mora. 2. Terdapat lahan untuk bercocok tanam termasuk sawah berpengairan tempat menanam padi. 3. Ada pemerintahan yang mampu menyelenggarakan tertib umum dan dapat mendatangkan kemajuan serta kesejahteraan hidup terhadap warga masyarakatnya. 4. Dan, yang tidak kalah penting keberadaannya diakui oleh seluruh kampung yang ada disekitarnya. Kampung-kampung yang dipungka dalam luhat, lalu satu per satu berkembang menjadi Bona Bulu manakala telah mampu menyediakan keperluan masing-masing sebagaimana yang telah diatur Adat Batak. Untuk meresmikan sebuah huta menjadi Bona Bulu, perlu dilangsungkan sebuah horja godang (pesta besar) dengan menyembelih hewan adat

dinamakan: nabontar (kerbau) dan lainnya. Puncak acara peresmian ketika RPB luhat bersangkutan manabalkon (mengukuhkan) nama keluarga Sipungka Huta (Sipendiri Kampung) menjadi Raja Pamusuk di kampung yang baru berdiri dan menyebutkan gelarnya. Dalam meresmikan Bona Bulu baru RPB didampingi pula oleh para petinggi kampung, dan pada saat yang sama ia juga mengumumkan susunan pemerintahan. Peresmian Bona Bulu baru disaksikan juga oleh utusan dari huta torbing balok (kampung yang ada di sekitarnya) yang mendapat undangan. Acara lalu dilanjutkan dengan pidato Raja Sipungka Huta yang mengumumkan bahwa kampung yang baru berdiri menjadi kampung asal Marga H yang mendirikannya. Raja Pamusuk lalu menanam bambu duri yang diiringi istrinya menanam pandan, anakborunya menanam biji jagung ber- banjarbanjar, dan disusul moranya menanam butiran padi. Huta yang baru berdiri dinamakan Bona Bulu, artinya Rumpun Bambu, karena pada zaman dahulu huta tempat berdiam memang dipagari dengan pohon bambu duri untuk melindunginya dari musuh yang datang dari luar. Selain pohon bambu yang ditanam mengitari, masih ada pula pagar-pagar bambu anyam yang disusun rapat agar kampung itu tidak dapat dimasuki orang dari luar, kecuali lewat pintu gerbang yang dikawal perajurit hundangan podang (bersenjatakan pedang). Kampung-kampung yang belum berkedudukan Bona Bulu, dan keperluannya masih tergantung dari bantuan huta lain, dinamakan pagaran, atau anak kampung. Terdapat banyak pagaran yang berdiri dan bernaung dibawah Bona Bulu di berbagai luhat sebelum bangsa Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan, yang lalu bersiap mengembangkan diri menjadi Bona Bulu. Huta selain tempat bermukim, juga wilayah tempat mencari nafkah dan keperluan hidup warga masyarakat lainnya. Huta dengan demikian tidak semata-mata sebagai tempat tinggal, tetapi juga lahan tempat warga berusaha mencari nafkah, mulai belukar, ladang, sawah, hingga perairan (telaga, sungai, dan laut) sekitarnya. Hutan, lembah, dan gunung dimana berbagai kebutuhan lainnya dapat ditemukan, diatur penggunaannya oleh warga luhat bersama RPB. Pucuk pimpinan huta ialah Raja Pamusuk (RP), awalnya datang dari keluarga-keluarga Sisuan Bulu (Sipenanam Bambu) kampung tempat berdiam. Huta yang banyak penduduknya karena subur tanahnya dan kaya lingkungan alamnya, juga dipimpin RP. Ia dibantu Kepala Ripe (KR) dalam menjalankan pemerintahan huta untuk menegakkan tertib umum dalam bermasyarakat demi meraih kesejahteraan hidup. Seorang Raja, baik RPB maupun RP, yang terdapat dalam masyarakat Batak sebelum kedatangan bangsa Belanda dari Eropa, bukanlah manusia ternama sebagaimana yang ditemukan dalam buku-buku sejarah Eropa di zaman feodal yang dipelajari para siswa sekolah menengah pertama akan tetapi seorang bijak dituakan diantara para tetua luhat, atau huta, tepatnya seorang yang terbaik diantara mereka (primus interpares) datang dari keluarga-keluarga pendiri huta atau luhat yang dikenal benar-benar bijaksana oleh masyarakat.

Kedatangan bangsa Eropa ke Tanah Batak, berawal dari berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnis (VOC), atau Kompeni Hindia Timur (KHT), di negeri Belanda tahun 1602. KHT lalu berlayar mencari rempah-rempah untuk diperdagangkan hingga tiba di nusantara. Dalam perjalanan waktu KHT berhasil mendapatkan tanah pijakan di Tanah Air untuk berdagang. Dari memperoleh tanah pijakan KHT lalu mendapatkan tanah jajahan, dan yang disebut terakhir kemudian meluas, sehingga Pemerintah Belanda di Den Haag perlu mengangkat Pieter Booth menjadi wakil pemerintah bernama: Gouverneur-Generaal van Oost Indie (Gubernur-Jenderal dari Hindia Timur) pertama pada tahun 1610, untuk mewakili kepentingan Kerajaan Belanda di seberang lautan yang terletak di Asia Tenggara. Awalnya KHT singgah di berbagai tempat di pesisir Barat pulau Sumatera mendiami di kota-kota: Singkil, Sibolga, Poncan, Barus, Singkuang, Natal, dan lainnya. Pada tahun 1808, Negeri Belanda diduduki Perancis dipimpin Napoleon Bonaparte (1769-1821). Sebagai akibatnya, Negeri Belanda serta seluruh tanah jajahan seberang lautan di Hindia Timur diserahkan Kaisar pada adiknya Lodewijk Napoleon. Setelah Napoleon Bonaparte ditaklukkan di Waterloo Belgia tahun 1811, pemerintah baru di Perancis lalu memerdekakan kembali Negeri Belanda, dan mengembalikan kepada Belanda tanah jajahan Hindia Timur. Akan tetapi, pada tahun yang sama Inggris merampas tanah jajahan itu dari tangan Belanda. Pada tahun 1812 Inggris dan Belanda melaksanakan kesepakatan pertukaran sebagian tanah jajahan yang mereka miliki di Hindia Timur. Pulau Singapura yang saat itu dimilik KHT diserahkan Belanda pada Inggris untuk ditukar dengan Natal dan Bengkulu. Inggris lalu menjajah sebagian Tanah Batak sampai tahun 1825, kemudian sesuai perjanjian London, harus mengembalikan bagian Tanah Batak tadi kepada Belanda, termasuk yang telah dibagi dua, masing-masing bernama: Padang Hilir dan Padang Darat. Selama masa penjajahan Inggris 14 tahun lamanya itu, tidak terdengar kabar apapun tentang Tanah Batak, kecuali usaha penyebaran agama Nasrani aliran Anglikan oleh pendeta Burton dari Inggris pada tahun 1824 di Sibolga yang tidak memperlihatkan banyak kemajuan. Sebelum menjadi bagian tanah jajahan Belanda di Hindia Timur, Inggris sejak tahun 1808 berdiam di Natal, kala itu masih meduduki Bengkulu yang terdapat di selatan pulau Sumatera. Meski Natal ialah sebuah nama yang diberikan Inggris, namun pelabuhan Samudera Hindia yang terdapat di pantai barat pulau Sumatera itu telah sejak lama disinggahi kapal-kapal dagang Internasional. Adapun peninggalan zaman penjajahan Inggris yang masih dapat dijumpai di Natal kini ialah benteng, meriam, dan tempat pemakaman orang-orang kulit putih. Kemudian sebagai hasil Muktamar Wina yang berlangsung di Switzerland tahun 1839, lahir pula kesepakatan yang mengharuskan Belanda dan Belgia tergabung dalam sebuah perserikatan berbentuk uni. Sebagai akibatnya, pimpinan tanah jajahan Belanda di Hindia Timur harus dibagi dua, sesuai corak agama yang dianut masing-masing negara yang tergabung dalam perserikatan. Itulah sebabnya mengapa sejak saat itu terdapat dua orang Gubernur-Jenderal yang memerintah di Kompeni Hindia Timur ketika itu, masing-

masing: van der Canpellen dari negeri Belanda beragama Protestan, dan de Kock dari negeri Belgia beragama Katholik Romawi. Adapun agama yang dianut kebanyakan suku bangsa Batak saat itu masih berupa kepercayaan asli setempat. Mereka mempercayai segala benda, baik hidup maupun mati, mempunyai ruh-baik dan ruh-buruk, yang oleh ilmuan Barat disebut animisme. Dari animisme, menurut ilmuan tadi, kepercayaan suku bangsa Batak lalu berkembang menjadi dinamisme, yakni yang mempecayai bahwa segala benda, baik hidup maupun mati, memiliki sifat luar biasa karena amal perbuatan hidupnya. Sebuah amal perbuatan dikatakan suci dan baik apabila baik sifatnya, dan dinamakan Manna. Orang-orang yang pandai Manna disebut Datu (Dukun), karena menguasai berbagai ilmu ghaib yang dapat dipindahkan pada orang lain, dan menjadikan seseorang mudah disayangi oleh orang yang belum dikenal, kebal pedang, pandai meramal nasib, menguasai ilmu kesaktian tolak bala, dan lain sebagainya. Agama Hindu datang ke Tanah Batak diperkirakan pada sekitar abad ke-11 Masehi menyebabkan aliran kepercayaan animisme dan dinamisme beralih ke pedalaman. Para penyebar agama Hindu lalu mendirikan Vihara yang menjadi tempat peribadatan sekaligus pusat pengajaran agama. Para pendeta Hindu kemudian menjadi guru di Vihara-vihara yang mereka bangun dan mengajarkan agama dan mantera serta ilmu ghaib kesaktian kepada warga masyarakat di Tanah Batak. Gelombang pertama agama Islam datang ke Nusantara dibawa para pedagang Arab yang berkunjung ke Tanah Aceh, diperkirakan bermula abad ke-13. Sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan ke berbagai tempat di pesisir Barat pulau Sumatera hingga Natal. Ada lagi yang meneruskan lawatan mereka hingga ke Sumatera Barat jauh ke Selatan. Para penyebar agama ini kemudian mendirikan Mesjid, Langgar, dan Surau, untuk tempat beribadah sekaligus menjadikan tempat-tempat itu pusat pengajaran agama Islam dan syiarnya. Para ulama Islam tadi mengajarkan monotheisme, yakni ajaran tentang Keesaan Tuhan bernama Allah, yang menurunkan kitab suci AlQuran ul Karim lewat seorang Rasul bernama Muhammad SAW. Gelombang kedua agama Islam lalu menyusul dari Selatan bersama kaum Padri menyerbu masuk ke Tanah Batak dari Sumatera Barat pada tahun 1825. Ini merupakan momen bersejarah bagi suku bangsa Batak, semula percaya kepada para Dewa yang banyak, lalu beriman kepada Allah yang tunggal. Agama Nasrani lalu menyusul masuk ke Tanah Batak bersama pemerintah kolonial Hindia Belanda dan kaum missionaris Eropa. Gereja-gereja pun mereka dirikan sebagai tempat beribadah sekaligus pusat pengajaran agama Nasrani, diawali Pakantan di Mandailing lalu Parau Sorat di Angkola Sipirok dilanjutkan hingga seputar danau Toba. Pada tahun 1937 Sekolah Zending didirikan di Pakantan sebagai tempat pengajaran agama Nasrani aliran Protestan pertama di Tanah Batak. Sekolah-sekolah Zending lainnya kemudian didirikan pula di Sipirok dan berbagai tempat lain. Kaum Paderi yang masuk ke Tanah Batak dari benteng mereka di Bonjol antara tahun 1825 hingga 1829, bermaksud untuk memaksa penduduk di kawasan itu memeluk agama Islam. Pada tahun 1830, datang pula gelombang kedua serangan kaum Paderi yang

dipimpin Tongku Rao dan Tongku Tambusai untuk mengislamkan masyarakat di Tanah Batak hingga mencapai tepian danau Toba. Serdadu-serdadu Belanda kemudian didatangkan dari Padang untuk memerangi Kaum Paderi, yang kemudian menaklukkan mereka di Batusangkar. Belanda lalu mendirikan benteng Fort van der Capellen di kota itu guna memperlihatkan keberhasilan pasukannya. Baru pada tahun 1833 Belanda masuk ke Tanah Batak untuk pertama kalinya dari Sumatera Barat lewat Rao di Mandailing, masih dalam suasana berkecamuknya Perang Paderi. Belanda menemukan Raja-raja Batak berikut rakyatnya yang tidak menyukai tatacara kaum Paderi mengislamkan Mandailing dan Angkola menggunakan kekerasan. Setelah tiba di Mandailaing, Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan untuk memperlihatkan keberadaannya di Tanah Batak. Dalam suasana Perang Paderi yang masih kacau balau, serdadu-serdadu Belanda memperoleh sedikit hambatan masuk ke Tanah Batak bagian selatan, bahkan mendapat bantuan dari sejumlah Raja setempat untuk menghalau kaum Padri keluar dari tanah Mandailing dan Angkola. Di daerah Mandailing Belanda memperoleh bantuan dari Raja Gadombang menghalau pasukan Tuongku Tambusai dari Huta Nagodang, menyebabkan hubungan Raja dengan rakyatnya kembali pulih. Perlawanan terhadap Kaum Paderi pimpinan Tongku Tambusai juga muncul di Barumun, Sosa, Padang Bolak, Angkola Dolok, hingga ke Bangkara. Raja Podang dari Sunggam, Raja Bange, Raja Horlang dan Raja Buaton, semuanya memperlihatkan perlawanan sengit terhadap sisa-sisa kaum Paderi, sehingga dalam kurun waktu 8 tahun, para pendatang dari Selatan yang tidak disukai masyarakat itu berhasil dihalau keluar meninggalkan Tanah Batak. Pada tahun 1834, Belanda memulai pemerintahan sipil di Tanah Batak, diawali dari selatan dengan didirikannya Onderafdeeling Mandailing dipimpin Controleur Doues Dekker, lebih dikenal dengan Multatuli, berkedudukan di Natal. Pemerintahan sipil ini kemudian dipindahkan ke Panyabungan, lalu ditingkatkan menjadi Afdeeling Mandailing dan Angkola yang dipimpin Asistent Resident T.J. Willer, dalam koordinasi Generaal Michiels, Gouverneur van Sumatra Westkust (Gubernur Pantaibarat Sumatera) berkedudukan di Sibolga. Asistent Resident T. J. Willer lalu digantikan Alexander Philippus Godon dan yang disebut akhir ini berhasil melaksanakan kerja sama 9 tahun (1847-1856) bersama Sutan Kumala, gelar Yang Dipertuan Hutasiantar, marga Nasution dari Mandailing, membangun jalan-raya dan jembatan serta prasarana ekonomi lainnya hingga mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat Batak daerah selatan. Awalnya pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi nama Afdeeling Batak Landen terhadap kawasan seputar danau Toba, dan menjadikan Tarutung sebagai ibukotanya. Yang lain dinamakannya Afdeeling Padang Sidempuan untuk Tapanuli Selatan, dan Afdeeling Sibolga untuk Tapanuli Tangah. Penggabungan ketiga Afdeeling ini menjadi sebuah Keresidenan Tapanuli dalam lingkungan pemerintahan kolonial Hindia Belanda berlangsung setelah Ethnoloog (Ethnologist), yakni ahli bangsa dan suku-sukunya, bangsa Belanda menemukan adanya kesatuan bahasa (logat), adat-istiadat yang menonjol, begitu pula kepercayaan dianut, perilaku hidup sehari-hari yang terdapat dalam masyarakat ketiga daerah yang luas itu. Keadaan alam yang memudahkan perhubungan

darat, kekerabatan, dan tatacara adat perkawinan dilakukan turut menyumbang pada penemuan mereka untuk penarikan kesimpulan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda lalu mengelompokka suku bangsa Batak yang mendiami daratan pulau Sumatera menurut logat dalam berbagai puak, masing-masing Karo, Simalungun, Pakpak dan Dairi, Toba, Angkola, dan Mandailing. Dari hasil penelitian ethnoloog Belanda itulah kemudian suku bangsa Batak khususnya, bangsa Indonesia pada umumnya, lalu mengetahui akan adanya keberagaman etnik (suku) yang mendiami Tanah Batak, yang sebelumya tidak mereka sadari. Puak-puak tersebut lalu menjadi bagian dari Ethnologi Batak, yaitu pengetahuan tentang keberagaman penduduk yang terdapat dalam lingkungan suku bangsa Batak. Menurut keterangan Prof. Dr. Guntur Tarigan, terdapat 3 (tiga) macam Rumpun Bahasa Batak (RBB) yang digunakan masyarakat di Tanah Batak dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: 1. Rumpun Utara : Bahasa Karo, Bahasa Dairi, dan Bahasa Alas. 2. Rumpun Tengah : Bahasa Simalungun. 3. Rumpun Selatan : Bahasa Toba, Bahasa Angkola, dan Bahasa Mandailing. Pada tahun 1867 seluruh Tanah Batak masih menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berpusat di Padang, Sumatera Barat, dengan Residen yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Sejak tahun 1906, Tanah Batak lalu dipisahkan dari Sumatera Barat, dan membentuk Keresidenan berdiri sendiri dengan Residen yang berkedudukan di Sibolga. Keputusan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini menjadi awal diperkenalkannya pemerintahan dari pusat atau sentralistik pertama di seluruh Tanah Batak oleh Belanda yang belum pernah dikenal masyarakat sebelumnya, termasuk sebelum kedatangan orang-orang Barat. Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa, lalu membagi Tanah Batak, yang kemudian berganti nama menjadi Tapanuli, kedalam 7 (tujuh) jenjang atau tingkat pemerintahan : Pada tingkat pertama, yang tertinggi dari semuanya, ialah Resident (Residen), pejabat tertinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memimpin Keresidenan Tapanuli. Pada tingkat kedua, Keresidenan Tapanuli oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dibagi menjadi dua Afdeeling, masing-masing : Afdeeling Tapanuli Utara dan Afdeeling Tapanuli Selatan, dan setiap darinya seorang Asistent Resident. Sebuah Afdeeling dalam zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda adalah wilayah setingkat kabupaten di Jawa Tengah sekarang, dan dipimpin seorang Bupati. Afdeeling Tapanuli Utara dipimpin Asistent Resident berkedudukan di Tarutung, sedangkan Afdeeling Tapanuli Selatan dipimpin Asistent Resident berkedudukan di Padang Sidempuan. Pada tingkat ketiga, Afdeeling lalu dibagi menjadi 8 (delapan) Onderafdeeling (setara Kecamatan) dan dipimpin seorang Controleur (setingkat Camat). Di seluruh Tapanuli

Selatan ketika itu Controleur terdapat di daerah-daerah Batang Toru, Angkola, Sipirok, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Ulu dan Pakantan, dan Natal. Pada tingkat keempat, dibawah Onderafdeeling, dimulai dari tahun 1916, pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan District (setingkat Kewedanaan), yang dipimpin seorang Demang. Pada tingkat kelima, dibawah District pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan Onderdistrict (Asisten Kewedanaan) yang dipimpin seorang Asistent Demang. Pada tingkat keenam, dibawah Onderdistrict, pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah Hakuriaan dipimpin seorang Kepala Kuria untuk menaungi sekelompok huta, atau Bona Bulu. Kata Hakuriaan berasal dari lembaga negara bernama Curia Roma yang terdapat di Vatican, Roma, Italia yang bertugas membantu Sri Paus menangani urusan Gereja Katholik di seluruh dunia. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan kata ini di Tanah Batak. Dari Curia lahir Kuria, lalu istilah berawalan berakhiran Hakuriaan yang kemudian menjadi perbendaharaan bahasa Batak. Sebelum munculnya kata Hakuriaan buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini, masyarakat di Tanah Batak telah menggunakan kata Luhat, atau Banua, untuk menyatakan sebuah wilayah yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung menurut Adat Batak. Istilah Luhat atau Banua yang dipimpin Raja Panusunan Bulung ini rupanya ingin dilenyapkan pemerintah kolonial Hindia Belanda dari perbendaharaan pengetahuan anak bangsa, untuk diganti dengan Hakuriaan yang dipimpin seorang Kepala Kuria, guna memperkenalkan yang baru dengan melenyapkan yang lama kebanggaan anak bangsa Batak warisan nenek moyang menjadi bagian dari upaya pemerintah kolonial Hindia Belanda bidang budaya melakukakan cuci otak (brain washing) pada ingatan anak bangsa. Pada tingkat ketujuh, dan yang terakhir dibawah Hakuriaan, pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah Kampong untuk menggantikan Huta atau Bona Bulu untuk tempat bermukim berikut sawah ladang yang mengitari dipimpin seorang Kampong Hoofd. Istilah Raja Pamusuk yang memimpin sebuah Huta atau Bona Bulu kebanggaan anak bangsa di Tanah Batak dengan sengaja ingin dilenyapkan. Kata Kampong lalu berubah menjadi Kampung dan Kampong Hoofd pun beralih menjadi Kepala Kampung. Selanjutnya jabatan tinggi pada pemerintahan, seperti Resident, Asistent Resident, dan Controleur hanya diberikan kepada orang-orang Belanda, sedangkan jabatan pemerintaha rendah, seperti Demang, Asistent Demang, Kepala Kuria, dan Kepala Kampung, diserahkan pada anak pribumi putra daerah di Tanah Batak untuk diperebutkan dalam pemilihan berkala. Pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan sengaja tidak membuat aturan yang jelas tentang jumlah Onderdistrict yang terdapat dalam sebuah District; begitu juga ketentuan yang mengatur masalah ini dan lain sebagainya. Demikian pula jumlah Hakuriaan yang

terdapat dalam sebuah Onderdistrict. Seterusnya banyak kampung dalam sebuah Hakuriaan. Seluruhnya terpulang pada kebijakan Asisten Residen dan Controleur yang memainkan percaturan politik Divide et Impera sistim pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang mengemban kekuasaan saat itu. Kepala Kuria yang diangkat pemerintah kolonial Hindia Belanda, oleh masyarakat di Mandailing dinamakan: Raja Undang, sedangkan yang diangkat masyarakat menurut Adat Batak mereka namakan: Raja Adat. Pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak segan-segan mengusulkan kepada masyarakat agar Raja Undang juga diterima sebagai Raja Adat, akan tetapi permohonan tersebut ditolak masyarakat. Dalam perubahan cepat yang dilakukannya di Tanah Batak, pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan sengaja mengacaukan penyelenggaraan Adat Batak yang sudah berjalan turun-temurun untuk memperlihatkankan kekuasaannya. Ada Raja Pamusuk sebuah Huta yang begitu saja diangkat menjadi Kepala Kuria, dan ada pula Raja Panusunan di Mandailing memimpin sebuah Luat dengan semenamena diturunkan pangkatnya menjadi Kampong Hoofd. Batas-batas Luhat dan Huta yang tradisionil juga tidak luput dari campur tangan permainan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengacaukan yang telah ada, berjalan sejak lama, untuk mempamerkan kekuasaan. Begitulah, pada tahun 1921 pemerintah kolonial Hindia Belanda menggabungkan Hakuriaan Singengu dengan Hakuriaan Sayurmaincat yang dipimpin Kepala Kuria Singengu, tanpa menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat saat itu. Sepintas lalu tampaknya ada kesan pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak ingin mencampuri pemerintahan Huta/Bona Bulu, saat itu masih berjalan sesuai Adat Batak setempat. Akan tetapi dalam kenyataannya Belanda tidak segan-segan mencampuri pemilihan Raja Pamusuk sebuah Huta, atau Kampung. Pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak jarang terlibat mencipakan iklim perebutan jabatan diantara anak-anak pribumi kalangan para keturunan Raja-raja Tanah Batak, sebagai pelaksanaan politik pecah belah dan kuasai aroma demokrasi yang tepat untuk mengamankan singgasana. Dalam menyelenggarakan pemerintahan menyangkut tertib umum, pemerintahan kolonial Hindia Belanda memperkenalkan polisi di Onderdistrict (Kewedanaan) yang dibantu Pengadilan tingkat district yang saat itu dinamakan Magistraat. Pada tingkat Hakuriaan (Luhat) ketertiban umum diserahkan kepada seorang Hulubalang. Untuk menekan anggaran belanja pemerintah di tanah jajahan yang pendapatannya semakin berkurang menjelang berkobarnya Perang Asia Timur Raya, pemerintah kolonial Hindia Belanda lalu menyusutkan jumlah onderafdeling yang terdapat Tapanuli Selatan saat itu lewat penggabungan onderafdeling berdekatan, hingga akhirnya tinggal 4 (empat) onderafdeeling, yakni: 1. Onderafdeeling Angkola en Sipirok (Angkola dan Sipirok). 2. Onderafdeeling Padang Lawas 3. Onderafdeeling Groot en Klein Mandailing, Oeloe en Pakantan (Mandailing Besar dan Kecil, Ulu dan Pakantan), dan 4. Onderafdeeling Natal en Batang Natal (Natal dan Batang Natal).

Dan menjelang bertekuk lututnya Belanda kepada serdadu-serdadu Fascist Jepang yang menyerang ke Tanah Batak, pemerintah kolonial Hindia Belanda lalu menciutkan lagi keempat Onderafdeeling menjadi tinggal 3 (tiga) onderafdeeling, yakni: 1. Onderafdeeling Angkola en Sipirok (Angkola dan Sipirok), 2. Onderafdeeling Padang Lawas, dan 3. Onderafdeeling Mandailing en Natal (Mandailing dan Natal). Pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Tapanuli ialah bagian dari pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menguasai Nusantara, ketika itu masih beribukota Batavia, yang dipimpin seorang Gouverneur-Generaal (Gubernur-Jenderal) berkebangsaan Belanda. Gubernur-Jenderal Belanda di Batavia ini adalah wakil Raja Belanda di Den Haag, Negeri Belanda, yang bertugas mengurus tanah jajahan seberang lautan bernama Oost Nederlands Indie (ONI), atau Hindia Belanda Timur (HBT). Raja Belanda masih mempunyai lagi tanah jajahan seberang lautan lain bernama West Neerlands Indie (WNI), atau Hindia Belanda Barat (HBB) yang terdapat di Amerika Selatan dan dikenal dengan nama Suriname. Belanda lalu melaksanakan penyelidikan peta bumi (geografi) terhadap tempat kediaman berbagai puak suku bangsa Batak yang terdapat dalam kekuasaan: Gouvernement van Sumatra Westkust; yakni wilayah yang kini ditempati: 1. Kab. Karo, 2. Kab. Simalungun, 3. Kab. Dairi, 4. Kab. Tapanuli Utara, 5. Kab. Tapanuli Tengah, 6. Kab. Tapanuli Selatan, dan 7. Kab. Pulau Nias, dengan ibukotanya Sibolga. Di permukaan bumi, kawasan ini termasuk pulau Nias terletak pada: 00 14- 03 28 Lintang Utara dan 97 4-100 10 Bujur Timur. Dengan demikian Tanah Batak yang selama ini dinyatakan orang-orang Batak dengan sebutan: di hitaan, lalu jelas diketahui keberadaannya di sebuah peta permukaan bumi. Dari peta pemerintah kolonial Hindia Belanda itulah orang lalu mengetahui tempat keberadaan suku bangsa Batak, yang awalnya disebut Tano Batak oleh suku bangsa Batak, lalu berubah menjadi Tapanuli; terdapat di bagian Utara pulau Sumatera: di Utara berbatasan dengan Aceh, di Timur berbatasan dengan Tanah Melayu, di Selatan berbatasan dengan Tanah Minang dan Tanah Riau, serta di Barat berbatasan dengan Samudra Hindia, sebagaimana tampat di peta. Adapun Tanah Melayu yang terdapat di sebelah Timur Tapanuli, ditempati: 1. Kab. Langkat, 2. Kab. Deli Serdang, 3. Kab. Asahan, dan 4. Kab. Labuhan Batu, yang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu dinamakan: Gouvernement van Sumatra Oostkust dengan ibukotanya Medan. Setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda bertekuk lutut pada Jepang, dan yang akhir ini menyerah pada Sekutu di penghujung Perang Dunia ke-II silam, Gouvernement van Sumatra Westkust lalu berubah menjadi Keresidenan Tapanuli, dan Gouvernement van Sumatra Oostkust berubah jadi Keresidenan Sumatera Timur. Kedua keresidenan ini setelah kemerdeka lalu bergabung membentuk Propinsi Sumatera Utara, disingkat Sumut, hingga dengan saat ini.

Kehidupan dalam masyarakat di Tanah Batak menjalani perubahan menelusuri waktu menempuh zaman. Awalnya perubahan berjalan perlahan (evolusioner), muncul di huta atau luhat dipicu dinamika kehidupan dalam masyarakat sifat alami, muncul karena kekuatan-kekuatan pemersatu (asosiasi) dan kekuatan-kekuatan pemecah (dissosiasi). Kekuatan yang disebut terakhir dapat melanda warga yang mendiami sebuah huta/luhat yang menyebabkan sebagian mereka berhijrah, atau bermigrasi, ke luhat/luhat lain yang bersedia menerima. Namun tidak jarang pula perselisihan imbul diantara penguasa huta/luhat beserta pengikut setia yang menampakkan corak fikiran yang tidak sejalan. Sopo godang ialah satu-satunya pusat kajian ilmu pengetahuan dan teknologi huta/luhat pada masa itu, tempat seluruh cendekiawan Bona Bulu berhimpun, dimana mereka secara teratur menguji akal lewat kecerdasan memecahkan permasalahan hidup di kampung, sekaligus perekat komunitas yang hidup dalam kelompok. Apa yang dipelajari anak-anak, kaum remaja, lalu dikaji orang-orang muda, serta para orang tua saat itu, ialah: Adat Batak, adat pergaulan, ketangkasan, dan bahasa. Juga kehidupan budaya meliputi: seni suara, musik, marende, maralong-along, marsordam, martulila, mararbad (sejenis biola), margondang, maruyup-uyup dan lainnya. Mereka juga melakukan kegiatan: belajar, mengajar, baca, tulis dalam aksara Batak. Tinta digunakan kebanyakan: getah kayu karumunting hitam, sedangkan kertas digunakan bambu dan kulit torop. Pustaka (literaur) yang ada ketika itu hanyalah Buluh Bersurat muatan 7 ruas. Seluruh informasi perolehan cendekiawan desa dan masukan masyarakat huta/luhat lalu disimpan di langit-langit sopo godang untuk pertinggal (arsip), yang akan disimak kembali manakala kelak diperlukan lagi. Apabila perekat-perekat sosial dikemukakan di atas tidak lagi mampu menyatukan semuanya kedalam hidup bersama di Bona Bulu, perubahan pun akan timbul dipicu keputusan politik. Di tingkat huta/luhat keretakan dapat ditimbulkan tidak lagi sejalannya fikiran keluarga pemegang tampuk kekuasaan; sementara di tingkat warga lahan tempat bermukim yang tidak mampu lagi menopang kehidupan oleh penduduk yang telah padat. Terhadap yang akhir ini, sebahagian penduduk terpaksa meninggalkan kampung halaman

untuk mencari tempat pemukiman baru. Mamungka huta (mendirikan kampung) merupakn sebuah jalan keluar pada masa itu. Lainnya hijrah menuju kampung lain yang bersedia menerima merupakan jalan lain. Ada pula diantara mereka yang memilih merantau meninggalkan kampung halaman samasekali. Porang marugup-ugup antara Sutan Parampuan dari Padang Garugur dengan Mangaraja Enda dari Panyabungan merupakan sebuah keputusan politik yang pernah diambil pemegang kekuasaan ketika itu, menyebabkan banyak warga Luhat terpaksa bermigrasi meningalkan kampung halaman mereka menyeberangi Tor Sibuang Anak lewat punggung Bukit Barisan di daerah Mandailing. Perubahan cepat (revolusioner) diawali kaum Paderi saat mereka menyerbu masuk ke Tanah Batak untuk mengislamkan masyarakat di Mandailing dan Angkola menggunakan cara kekerasan. Para Raja Batak dan rakyat mereka ketika itu menunjukkan perlawanan, karena mereka ingin mempertahankan budaya dan adat-istiadat yang mereka warisi dari leluhur. Bangsa Belanda yang datang menggantikan kaum Paderi, melanjutkan perubahan cepat dalam masyarakat Batak dengan memperkenalkan kerja rodi (kerja paksa), mewajibkan rakyat membayar belasting (pajak), dan memberlakukan pemerintahan sentralistik di Tanah Batak yang dipimpin seorang Residen bangsa Belanda. Meski kaum Paderi akhirnya harus terusir dari Tanah Batak, tetapi agama Islam yang mereka sebarkan bertahan di Mandailing, meluas ke Angkola, bahkan hingga Toba di Utara. Di fihak yang lain, pemerintah kolonial Hindia Belanda yang beragama Nasrani tetap bertahan, bahkan terus meluaskan kekuasaannya hingga meliputi seluruh Tanah Batak, meski akhirnya terpaksa harus bertekuk lutut kepada Facist Jepang. Dibekali berbagai pengetahuan dari zaman Napoleon Bonaparte di Eropa, antara lain: administrasi, manaagement, strategi perang, pengalaman menghadapi berbagai suku bangsa di Nusantara, dan senjata api ketika itu, serdadu-serdadu Belanda memang bukan tandingan bagi para Raja di Tanah Batak dan rakyatnya ketika itu. Pemerintahan kolonial Hindia Belanda memang telah mendatangkan banyak penderitaan dan kesengsaraan kepada rakyat di Tanah Batak termasuk para Raja mereka dengan kewajiban melakukan kerja rodi, membayar belasing, dan lainnya; sehingga pada pertengahan abad ke-19, banyak ditemukan anak-anak bangsa yang merasa tertekan, menghilang dari kampung halaman dan pergi merantau meninggalkan Mandailing pindah ke daerah lain, seperti: Sumatera Barat, Tanah Deli, hingga ke Semenanjung Malaya. Tidak hanya rakyat dan para Raja Adat yang mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda ketika itu; juga para Demang dan Kepala Kuria yang menjadi ujung tombak pemerintahan kolonial Hindia Belanda itu sendiri, tidak luput dari tekanan dengan kewajiban memenuhi sasaran (target) belasting dalam jumlah yang ditetapkan. Di lain fihak, ada pula langkah yang diambil pemerintah kolonial Hindia Belanda yang kemudian terbukti mendatangkan kemajuan terhadap kehidupan anak negeri dalam masyarakatnya di Tanah Batak, yakni: Pendidikan Barat. Pada tahun 1850 pemerintah

kolonial Hindia Belanda mendirikan Sekolah Gubernemen (Gouvernement School) pertama di Panyabungan, Mandailing. Sekolah itu dinamakan Sekolah Melajoe, karena menggunakan bahasa pengantar bahasa Melajoe dan bahasa Batak setempat; dan juga memperoleh gelar Sekolah Rodi. Langkah yang diambil pemerintah kolonial Hindia Belanda ini berhasil membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat di Bona Bula, khususnya terhadap hari depan kehidupan anak negeri mulai dari Selatan hingga ke Utara, bahkan hingga melampaui perbatasan Keresidenan Tapanuli. Persahabatan Asisten Residen Alexander Philippus Godon dengan Sutan Kumala Nasution, gelar Yang Dipertuan Hutasiantar, mengantarkan cucunya: Sati Nasution, juga bernama kecil Ja Sikondar Nasution, gelar Sutan Iskandar, dikirim bersekolah ke Negeri Belanda. Si Sati Nasution ini adalah anak bungsu Tinating Nasution, Raja dari Pidoli Lombang, Mandailing. Adapun Tinating Nasution ini ialah putra Yang Diperuan Hutasiantar dari istrinya yang kedua Boru Lubis dari Singengu. Si Sati Nasution dilahirkan bulan Maret tahun 1840 di Pidoli, Mandailing. Setelah menyelesaikan Sekolah Melajoe di Panyabungan, pada tahun 1855 Sati Nasution bekerja sebagai pegawai pemerintah di Kotanopan. Lalu pada tahun 1857 ia bersama keluarga Residen Godon berangkat ke Negeri Belanda untuk mengikuti pelajaran ke Kweekschool (Sekolah Goeroe) di Amsterdam. Ia menjadi putra Sumatera dari Mandailing pertama yang bersekolah di Negeri Belanda, Eropa, kala itu yang belajar dari tahun 1857 hingga 1861. Setelah mendapat ijazah Hulpacte (Akta Goeroe Bantoe), ia lalu kembali ke Tapanuli di Mandailing. Pada tahun 1858 Raja Belanda Koning Willem III menganugerahkan padanya Willem Iskandar sebagai gelar untuk Sati Nasution (1840-1876). Ia kemudian mendirikan Sekolah Normal di Tanobato pada tahun 1862 untuk mendidik anak-anak pribumi. Ia berhasil menulis prosa dan puisi yang menarik dalam Bahasa Batak logat Mandailing untuk bacaan anak-anak di Mandailing, berjudul: Siboeloes-Boeloes Si RoemboekRoemboek diterbitkan di Batavia pada tahun 1872. Adapun buku bacaan lainnya: Taringot Di Ragam-Ragam Ni Parbinotoan Ni Alak Eropa; dan anek-dot: Barita Na Marragam. Pada tahun 1874, ia kembali melanjutkan pelajaran ke Negeri Belanda untuk mendapatkan Hoofdacte (Akta Kepala). Kepergian Willem Iskandar kedua ke Negeri Kincir Angin untuk melanjutkan pelajaran, membuat Sekolah Normal di Tanobato terpaksa harus ditutup oleh ketiadaan guru. Ia kemudian dikhabarkan wafat di Negeri Belanda pada tanggal 8 Mei 1876 dan dimakamkan disana. Selang 102 tahun kemudian, dengan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 01/M/Tahun 1978, tanggal 2 Mei 1978, Sati Nasution gelar Willem Iskandar lalu dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional: Perintis Pendidikan, Pujangga Besar, Sastrawan, dan Seniman Nasional, atas pengbdiannya bertahun-tahun berjuang membangun bangsanya. Pada tahun 1883 pemerintah kolonial Hindia Belanda lalu membuka Kweekschool (Sekolah Goeroe) di Padang Sidempuan yang dipimpin: Ch van Ophuijsen, seorang pendidik berkebangsaan Belanda. Pimpinan Sekolah Kweekschool Padang Sidempuan

ini menjadi cepat terkenal di sluruh tanah air ketika itu oleh kegiatannya mengembangkan bahasa Melayu beraksara Latin, yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya bahasa Indonesia. Buku- buku yang ditulisnya kemudian digunakan di sekolah-sekolah Melayu seluruh Nusantara hinggan semenanjung Tanah Melayu. Lulusan Sekolah Guru dari Padang Sidempuan ini banyak yang menjadi guru-guru utama di sekolah-sekolah Melayoe lainnya di Tanah Batak, yang akhirnya menjadi para kepala sekolah. Pemerintah kolonial Hindia Belanda terpaksa menutup sekolah guru ini pada tahun 1891 oleh kekurangan anggaran belanja. Pada tahun 1920 pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan Hollands Inlandsche School (HIS), atau Sekolah Dasar berbahasa Belanda yang pertama di Padang Sidempuan, ibukota Tanah Angkola, untuk mendidik putra dan putri berpengetahuan yang lancar berbahasa Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda kemudian secara teratur mendirikan sekolah untuk anak-anak negeri di sejumlah tempat di Tapanuli Selatan, seperti: Kotanopan, Panyabungan, Huta Nagodang, Maga, Tanobato, Natal, Gunungtua, Siabu, Sibuhuan, Sipirok, Bunga Bondar, Baringin, Sibolga, Batang Toru dan lainnya. Anak-anak pribumi dari berbagai huta/luhat lalu berbondong-bondong berdatangan memasuki sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Tanah Batak ketika itu untuk mendapatkan pendidikan Barat. Beragam bidang pengetahuan digeluti anak-anak pribumi dari Tapanuli, diawali menjadi murid di sekolahsekolah Gubernemen kelas III dan V, bernama Sekolah Melajoe , Hollands Inlandsche School (HIS), dan Europeesche Lagere School (ELS), menekuni berbagai macam pelajaran yang disajikan dalam kurikulum ramuan pemerinah kolonial Hindia Belanda. Kemudian dilanjutkan menjadi pelajar : Sekolah Menengah Tingkat Pertama: Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) berbahasa Belanda, setara SMP (Sekolah Menengah Pertama). Ada lagi Nijverheidsschool berbahasa Belanda, setara STP (Sekolah Teknik Pertama). Selanjutnya menjadi siswa: Sekolah Menengah Tingkat Atas: Kewekeling (Kursus Guru Sekolah Dasar), Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Hindia Belanda berbahasa Belanda; terbagi dalam: Onderbouw (Bagian Bawah): untuk menjadi Guru Sekolah Melayu, dan Bovenbouw (Bagian Atas): untuk menjadi Guru HIS. Lainnya (Algemene Middelbare School (AMS), dan HBS, yakni Sekolah-sekolah Menengah tingkat Atas berbahasa Belanda. Ada pula yang hanya terdapat di Pulau Jawa, seperti: Middelbare Landbouw School (MLS), atau Sekolah Pertanian Menengah berbahasa Belanda di Bogor; KWS (Koninklijke Wilhelmina School, atau Sekolah Teknik Menengah) berbahasa Belanda di Batavia; STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen, atau Sekolah Dokter Jawa, juga di Batavia; NIAS (Nederlandse Indische Artsen School, juga Sekolah Dokter Jawa di Surabaya, Middelbare Handels School (MHS), atau Sekolah Menengah Dagang) berbahasa Belanda. Akhirnya menjadi mahasiswa berbagai Perguruan Tinggi di Pulau Jawa, antara lain: RHS (Rechts Hoge School, atau Sekolah Tinggi Hukum), GHS (Geneschekundige Hoge School, atau Sekolah Tinggi Kedokteran) di Batavia, THS (Technische Hoge School), atau Sekolah Tinggi Teknik) Bandung (ITB sekarang). Selain bersekolah di Pulau Jawa, ada pula anak pribumi yang melanjutkan pelajaran ke negeri Belanda atau negara Eropa lainnya.

Selain pendidikan anak-anak pribumi yang diusahakan pemerintah kolonial Hindia Belanda, ada pula saat itu pendidikan yang diselenggarakan yayasan dikelola anak-anak negeri di Tapanuli Selatan, baik berlatarbelakang agama Islam, seperti madrasah dan sekolah lainnya, maupun yang diusahakan agama Keristen aliran Protestan (Rheinische Missiongeselschaft) dari Bremen, Jerman, dan lainnya. Hasil Sensus berlangsung di Tapanuli Selatan memasuki alam kemerdekaan memperlihatkan keberhasilan diraih anak bangsa bidang pendidikan berikut: DATA STATISTIK Tahun A. Jumlah Penduduk (orang) B. Kepadatan (orang per km2 ) C. Agama Islam % Nasrani/Protestan % Katholik % Lainnya % D. Pendidikan Belum Sekolah % Tidak Tammat SD % Tammat SD % Tammat SMP % Tammat SMA % Perguruan Tinggi %(Tammat/Tidak Tammat) 1980 754.961 42 92,50 6,90 2,90 . 0,18 1990 954.245 50 92,57 6,90 0,35 0,08 18,0 15,0 44,8 14,4 7,6 0,2 2000 2010 -

Perlu dicatat, bahwa perolehan sensus di atas berlaku untuk suku bangsa Batak yang berdiam di Tapanuli, belum termasuk keturunan mereka telah berdiam di perantauan, dalam negeri maupun mancanegara.

Serdadu-serdadu pemerintah kolonial Hindia Belanda masuk ke Tanah Batak tahun 1833, dan terpaksa hengkang meninggalkan Tanah Batak pada awal Perang Dunia ke-II. Pada tanggal 28 Maret 1942 Generaal-Majoor (Mayor Jenderal) Overtrakker dan rekannya Gozenson menyerah kepada serdadu-serdadu Fascist Jepang di perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara tidak jauh dari Kotacane. Keperkasaan pasukan-pasukan Fascist Jepang berhasil menghalau pemerintah kolonial Hindia Belanda yang lemah di Tapanuli ketika itu, menyebabkan penjajahannya di Tanah Batak berlangsung seluruhnya 109 tahun. Setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda runtuh, Jepang yang datang menggantikan di Tanah Batak lalu melakukan kampanye mendirikan: Greater East Asia Co-Prosperity (Per-Semakmuran Asia Timur Raya) meliputi: Korea, Cina, Indocina (Vietnam, Laos, dan Kamboja), Semenanjung Melayu, Myanmar (Birma), Filipina, dan tanah jajahan Hindia Belanda. Pemerintah Fascist Jepang yang menggantikan Belanda lalu melanjutkan perubahan cepat di Tanah Batak, kini dengan kekerasan senjata, perilaku kasar, dan kekejaman senjata. Jepang lalu memindahkan kantor Residen Tapanuli dari Sibolga ke Tarutung untuk menghindarkan serangan dari laut. Saudara Tua dari Negeri Matahari Terbit ini tak ayal lagi memperkenalkan istilah baru untuk jabatan dalam pemerintahannya yang setahun jagung di Tanah Batak, dan tidak pula kalah sentralistiknya dari pemerintah kolonial Hindia Belanda silam. Tanah Batak dan Nusantara yang berhasil ditaklukkannya langsung dijadikan bagian Kerajaan Jepang yang berkedudukan di Tokyo. Tanah Batak dan rakyatnya, yang awalnya berorientasi ke Barat akibat penjajahan Belanda, dipaksa keri (menyembah) ke Timur berorientasi ke Negara Matahari Terbit oleh pemerintahan Fascist Japang yang berkuasa. Istilah Resident peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda, oleh Jepang ditukar jadi Cokan. Begitu pula Asistent Resident yang memimpin Afdeeling diganti jadi Gunseibu. Controleur yang mengepalai Onderafdeeling dilenyapkan samasekali, akan tetapi Demang yang memimpin District ditingkatkan menjadi memimpin Onderafdeeling dan disebut Gunco. Asisten Demang yang mengepalai Onderdistrict ditukar menjadi Huku Gunco. Kepala Kampung diganti menjadi Kuco, sedangkan Kepala Polisi disebut Keibi. Dalam masa pemerintahan Fascist Jepang, sistim administrasi warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda masih dijalankan, hanya segala upaya ditujukan guna memenangkan Perang Asia Timur Raya di Pasifik. Itulah sebabnya mengapa di Tanah Batak perlu segera dibentuk barisan-barisan Zikedan dan Bogodan di hampir setiap desa untuk merekrut orang-orang muda yang akan dijadikan Heho (pembantu prajurit Jepang) dan romusha (pekerja barisan belakang Jepang). Selama keberadaannya yang singkat di Tanah Batak, serdadu-serdadu Jepang melakukan perbuatan kriminal dengan menyita milik warga pribumi dan merampas hasil pertanian rakyat. Sebagaimana pemerintah kolonial Hindia Belanda, maka pemerintah Fascist Jepang akhirnya juga terpaksa terusir meninggalkan Tanah Batak, setelah dua bom atom dijatuhkan Sekutu pimpinan Amerika Serikat di dua kota: Hiroshima dan Nagasaki, yang menyebabkan seluruh perlawanan pasukan Jepang dalam perang Asia Timur Raya di Pasifik tahun 1945 terpaksa harus dihentikan. Meski pemerintah Fascist Jepang telah lenyap dari Tanah Batak, akan tetapi masyarakat di kawasan itu masih terus menjalani perubahan cepat, tetapi kini oleh desakan para

pemimpin NRI (Negara Republik Indonesia) yang sedang melacarkan revolusi untuk menentang kembalinya Belanda menjajah di Tanah Batak. Banyak janji yang dilotarkan para pemimpin pergerakan kepada masyarakat ketika itu: mulai dari tidak akan berhasilnya Belanda melaksanakan penjajahan di Tanah Batak babak kedua, lenyapnya kemiskinan hidup dari kampung-kampung di seluruh Tapanuli, hingga kepada kesejahteraan hidup masyarakat di Tanah Batak di alam kemerdekaan. Selama perjuangan kemerdekaan berlangsung, kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan Belanda dan Jepang, lalu diambil alih oleh kaum pergerakan. Di wilayah Tapanuli Selatan ketika itu masih terdapat daerah-daerah yang belum jatuh ke tangan Belanda dalam agresi militernya yang ke-II. Daerah-daerah ini dengan sendirinya menjadi bagian dari NRI ketika itu, dan kemudian dijadikan tiga Kabupaten, sebagai berikut: 1. Kabupaten Angkola Sipirok dengan ibukotanya Padang Sidempuan. 2. Kabupaten Padang Lawas dengan ibukotanya Gunung Tua. 3. Kabupaten Mandailing Natal dengan ibukotanya Panyabungan. Pembagian ini dilakukan dengan tujuan untuk selalu menghadirkan pemerintahan NRI di Tanah Batak. Manakala sebuah kabupaten jatuh ke tangan Belanda dalam agresi militer ke-II yang masih berjalan, maka salah satu kabupaten lain yang belum jatuh akan dengan sendirinya menjadi pusat pemerintahan NRI yang tetap setia mempertahankan kemerdekaan. Memasuki alam kemerdekaan, proklamasi lalu dikumandangkan di Jakarta tanggal 17 Agustus 1945, dan kejadian ini baru dapat dirayakan di Tarutung tanggal 15 September 1945, karena berita yang datang terlambat. Ini disebabkan langkanya sarana transportasi, begitu juga tidak adanya alat telekomunikasi untuk menyampaikan khabar ketika itu. Untuk menghindarkan revolusi sosial yang berkecamuk di Tanah Deli, Sumatera Timur, agar tidak menjalar ke Tanah Batak dan berkembang di tempat akhir ini, Dr. Ferdinand Lumban Tobing, selaku Residen NRI pertama di Tapanuli, lalu mengeluakan 2 (dua) surat keputusan penting ketika itu, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR setempat, masing-masing: 1. Pertama: No: 274 tertanggal 14 Maret 1946, dan 2. Kedua : No.: 1/ D. P.T tertanggal 11 Januari 1947. Adapun ringkasan isi dari kedua surat keputusan Resident NRI Tapanuli itu ialah untuk segera memberlakukan keputusan berikut ini: 1. Seluruh Raja Batak di Tapanuli, apapun tugas dan jabatan diemban, dengan surat keputusan ini diberhentikan dengan hormat. 2. Para pejabat yang akan menggantikan mereka, akan dipilih secara demokratis. 3. Adat Batak tidak lagi berlaku untuk mengatur segala hal dalam pemerintahan yang terdapat di wilayah publik di Tapanuli, dan harus meninggalkan wilayah publik (pemerintahan) untuk beralih ke pergaulan hidup masyarakat wilayah peradatan semata.

Para Raja di Tanah Batak berikut rakyat mereka, awalnya berharap kemerdekaan bangsa Indonesia akan memulihkan kembali berbagai hak adat wilayah publik yang mereka warisi selama ini, sebagaimana yang diatur Adat Batak dan berjalan turun-temurun. Akan tetapi dengan turunnya keputusan Residen Tapanuli pertama diatas, hak-hak para pengemban kekuasaan wilayah publik silam lenyap dalam seketika, dan menjadi demisioner. Karena tidak ada lagi yang dapat diperbuat, para Raja dan rakyat mereka terpaksa menerima ketetapan yang telah diberlakukan dengan keputusan Residen NRI Tapanuli pertama di Tanah Batak itu. Kemudian di alam kemerdekaan, berdasarkan surat keputusan Residen Tapanuli no.1413 tertanggal 30 Agustus 1947, setelah terlebih dahulu dibahas dalam Badan Pekerja DPR Tapanuli bersidang tanggal 15 Juli 1947 sebelumnya, Keresidean Tapanuli selanjutnya dibagi kedalam 4 (empat) Kabupaten, sebagaimana di Jawa Tengah, yang dipimpin oleh seorang Bupati, masing-masing: 1. 2. 3. 4. Kabupaten Sibolga Kabupaten Tarutung (atau Kabupaten Tanah Batak) Kabupaten Padang Sidempuan, dan Kabupaten Nias.

Pembagian di atas ternyata belum dapat dilaksanakan oleh kehadiran agresi militer Belanda yang kedua. Dengan demikian NRI di Tapanuli menjadi bagian dari NRI yang beribukota di Jakarta. Demikian pula pemerintahan di Tanah Batak yang kemudian bernama Tapanuli, adalah pula bagian dari pemerintahan NRI. Hal ini tidak asing bagi masyarakat Batak, karena pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan pemerintah Fasist Jepang yang digantikan telah lebih dahulu memperkenalkan pemerintahan sentralistik di Tanah Batak, dalam masa penjajahan masing-masing. Maka dengan turunnya ketetapan Gubernur Propinsi Sumatera Utara no.1, tertanggal 14 Desember 1948, dan peraturan pembentukan kabupaten-kabupaten di Tapanuli no.19/Pem/Dpdla/50 tertanggal 18 Januari 1950, nama-nama kabupaten di Tapanuli sebelumnya lalu diubah menjadi: 1. 2. 3. 4. Kabupaten Tapanuli Utara. Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten Tapanuli Selatan, dan Kabupaten Nias.

Dalam perjalanan waktu kabupaten-kabupaten yang terdapat di Tapanuli kemudian berkembang bilangannya dari 4 (empat) menjadi 7 (tujuh), masing-masing: 1. Kabupaten Karo 2. Kabupaten Dairi 3. Kabupaten Simalungun

4. 5. 6. 7.

Kabupaten Tapanuli Utara Kabupaten Tapanuli Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Nias

Setiap Kabupaten tadi lalu dibagi menjadi Kecamatan yang dipimpin seorang Camat, sebagaimana yang diatur dalam sidang DPRD bulan Maret tahun1950. Selanjutnya, hasil keputusan DPRD tingkat I Sumatera Utara bulan Maret tahun 1992, membuat Kabupaten-kabupaten Tapanuli Selatan harus dibagi 3 (tiga) sesuai jalur budaya kawasan itu, dan sebuah Kotamadya; sehingga daerah tingkat II dalam lingkungan Tapanuli Selatan yang awalnya terdiri dari 7 (tujuh) Kabupaten lalu berkembang menjadi 10 (sepuluh) kabupaten, masing-masing: 1. Kabupaten Karo 2. Kabupaten Dairi 3. Kabupaten Simalungun 4. Kabupaten Tapanuli Utara 5. Kabupaten Tapanuli Tengah. Adapun kabupaten Tapanuli Selatan, yang terbesar dari seluruhnya dengan luas 18.896,50 km2 , awalnya merupakan sebuah kabupaten terdiri dari 17 (tujuh belas) kecamatan, kemudian menurut jalur budaya dipecah kedalam 3 (tiga) kabupaten baru dengan sejumlah kecamatan yang berada dibawah masing-masing sebagaimana yang tercantum dibawah angka-angka: 6, 7, dan 8, berikut ini. 6. Kabupaten Angkola Sipirok, ibukotanya Sipirok 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kecamatan Padang Sidempuan Utara Kecamatan Padang Sidempuan Timur Kecamatan Padang Sidempuan Selatan Kecamatan Padang Sidempuan Barat Kecamatan Batang Toru dengan ibukotanya Batang Toru Kecamatan Sipirok dengan ibukotanya Arse Kecamatan Batang Angkola ibukotanya Pintu Padang Kecamatan Dolok dengan ibukotanya Sipiongot Kecamatan Saipar Dolok Hole dengan ibukotanya Sipagimbar

7. Kabupaten Padang Lawas dengan ibukotanya Sibuhuan. 1. Kecamatan Sosa dengan ibukotanya Pasar Batu. 2. Kecamatan Barumun dengan ibukotanya Sibuhuan.

3. Kecamatan Barumun Tonga dengan ibukotanya Binanga. 4. Kecamatan Sosopan dengan ibukotanya Sosopan. 5. Kecamatan Padang Bolak dengan ibukotanya Gunung Tua. 8. Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dengan ibukotanya Panyabungan. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kecamatan Natal dengan ibukotanya Natal. Kecamatan Batang Natal dengan ibukotanya Muara Soma. Kecamatan Kotanopan dengan ibukotanya Kotanopan. Kecamatan Muara Sipongi dengan ibukotanya Muara Sipongi. Kecamatan Panyabungan dengan ibukotanya Panyabungan. Kecamatan Siabu dengan ibukotanya Siabu.

9. Kabupaten Nias. 10. Kotamadya Padang Sidempuan. Sebuah district yang dipimpin seorang Demang pada zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda, setelah kemerdekaan awalnya masih diteruskan, tetapi kemudian dirubah menjadi kewedanaan yang dipimpin seorang Wedana. Akan tetapi Onderdistrict yang dipimpin seorang Asisten Demang dihentikan. Selain dari itu Hakuriaan bikinan Belanda kemudian diganti menjadi Negeri yang dipimpin seorang Kepala Negeri; akan tetapi pada tahun 1946 diubah menjadi Dewan Negeri. Pada tahun 1965 Kewedanaan dan Negeri dihapuskan samasekali, sehingga sebuah kampung yang dipimpin oleh seorang Kepala Kampung lalu berada langsung dibawah Kecamatan. Dengan demikian pemerintahan dalam luhat-luhat di Tanah Batak, awalnya berdiri sendiri, atau otonom, dijalankan menurut Adat Batak; dalam zaman penjajahan kolonial Hindia Belanda diubah menjadi bagian dari pemerintahan Kerajaan Belanda yang berpusat di Den Haag; kemudian dalam zaman penjajahan Fascist Jepang diubah lagi menjadi bagian dari pemerintah Kerajaan Jepang yang berpusat di Tokyo; dan akhirnya dalam zaman kemerdekaan Republik Indonesia menjadi bagian dari pemerintah NRI yang berpusat di Jakarta. Keempat macam perubahan cepat (revolusioner) yang melanda masyarakat suku bangsa Batak dari kampung halaman hingga perantauan telah menyebabkan suku bangsa ini menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, bahwa sistim pemerintahan tradisionil dijalankan menurut Adat Batak yang masih terdapat di Bona Bulu pada zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda, begitu pula dalam zaman pemerintahan Fascist Jepang, dalam alam kemerdekaan Republik Indonesia harus beralih dari wilayah publik, ke ranah privat pergaulan hidup masyarakat Batak beragam perhelatan. - Selesai Penyusun: H. M. Rusli Harahap, gelar Sutan Hamonangan

Jalan Batu Pancawarna I/2A, Pulomas, Kayu Putih Jakarta 13210. Leave a Comment July 17, 2010

Mithologi Batak
by rusliharahap

Sebelum kedatangan agama Islam ke Nusantara sekitar abad ke-13 silam, lalu masuk ke Tanah Batak dalam Perang Paderi (1825-1838), disusul agama Nasrani bersama pemerintah kolonial Hindia Belanda; orang-orang di Tanah Batak sesungguhnya telah memiliki kepercayaan terhadap Yang Agung, yang menjadikan yang ada dalam segala Alam dan mengaturnya sekali: baik di Alam Pamatang atau Alam Benda yang material, dimana berbagai mahluk secara lahiriah berdiam, maupun di Alam Tondi atau Alam Ruh (jiwa) dimana beragam kehidupan yang bukan benda atau immaterial bersemayam, sebagaimana diajarkan Ompu Simulajadi (Nenek Moyang suku-bangsa Batak yang pertama ada lampau). Hal ini diketahui dari berbagai kisah purba dan legenda Batak, disampaikan turuntemurun cara berkesinambungan dalam perjalanan generasi panjang pada berbagai kesempatan termasuk perhelatan Adat Batak: baik corak siriaon (kebahagiaan) maupun ragam siluluton (kedukaan), turiturian Batak, dan lainnya, yang telah menjadi mithos (myth) dalam masyarakat suku-bangsa Batak. Begitu pula tentang adanya Sang Debata yang bersemayam di Banua Ginjang yang dikatakan memiliki berbagai kesaktian yang mendatangkan kebaikan kepada mereka yang percaya. Begitu pula tentang cara berfikir suku-bangsa Batak dikembangkan lewat penalaran cara logis memanfaatkan aneka bentuk ungkapan, pernyataan, dan lain sebagainya termasuk metaphora, baik lisan maupun tulis, yang masih besar pengaruh dan peranannya dalam kehidupan bermasyarakat hingga kini, bentuk: budaya (bahasa, aksara, hikayat, pantun, sajak, ungkapan, umpama, hingga rangkaian nada), sejumlah peninggalan arkeologi, arsitektur, dan lainnya; melahirkan ragam sistim kepercayaan dalam masyarakat Batak yang hidup di Bona Bulu (Kampung Halaman) silam, melahirkan yang dikenal dengan mithologi Batak, atau Batakologi. Menurut pendapat Ompu Simulajadi yang pertama ada, Alam Raya terkembang yang mengitari kehidupan umat ini sesungguhnya tersusun dari 3 (tiga), atau Alam, masingmasing dinamakannya: Banua Ginjang (yang terdapat di Atas), Banua Tonga (yang berada di Tengah), dan Banua Toru (yang terletak di Bawah); dan tidak lain dan tidak bukan adalah Sekawan Tiga Alam, yang dapat disingkat menjadi STA.

Seluruh kehidupan bernyawa yang menghuni Banua Tonga kini, seperti: manusia, hewan, dan tanam-tanaman, awalnya berdiam di Banua Ginjang, yakni di Alam Tondi. Lalu oleh suatu ketentuan, mereka semuanya turun ke Banua Tonga dengan terlebih dahulu menjemput materi untuk menyatakan keberadaannya di tempat akhir ini, atau Alam Benda atau Materi. Kemudian setelah menjalani masa hidup masing-masing, lalu melanjutkan perjalanan ke Banua Toru dengan terlebih dahulu mengembalikan materi yang dipinjam dari Banua Tonga. Dalam pandangan Ompu Simulajadi di atas, Banua Ginjang dilukiskan sebagai sebuah Surga yang indah menawan dan terang benderang berada jauh di ketinggian angkasa, selepas arakan awan warna putih berkilauan, berlatar belakang hamparan biru langit yang indah. Adapun Banua Tonga ialah permukaan bumi yang bergunung dan lembah serta dataran dimana: manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan berdiam dalam kehadiran rentang hayat yang sementara. Sedangkan Banua Toru, ialah bumi itu sendiri beserta isinya yang kelam legam di bawah, kemana seluruh yang bernyawa akan menyerahkan kembali raganya, setelah menghabiskan usia bersemayam di Banua Tonga. Karena pada masa itu suku-bangsa Batak masih beranggapan bumi adalah sebuah hamparan tanah yang luas lagi datar, maka dalam pemikiran mereka ketiga Banua dikemukakan Ompu Simulajadi itu seyogianyalah tersusun beraturan dari atas ke bawah, sebagaimana kue talam warna-warni lapis tiga terbaring di atas sebuah talam yang sangat luas. Begitulah awalnya penerimaan Alam Raya yang luas ini tergores dalam fikiran dan ingatan masyarakat Batak di Bona Bulu, dan pemahaman ini pun telah menjadi sebuah kepercayaan dalam hidup bermasyarakat, karena di Banua Ginjang mereka percaya bersemayam Debata yang mengendalikan dan mengawasi segala yang ada di segala Alam, termasuk di permukaan bumi tempat mereka berdiam. Orang-orang Batak dituntut mengamalkan kehidupan dunia sebagaimana yang diajarkan Ompu Simulajadi, yang lalu melahirkan Adat Batak yang dikenal saat ini. Tujuannya tidak lain agar horas (selamat) tondi dengan badan menjalani kehidupan Banua Tonga yang sementara; juga agar sinta-sinta (semua keinginan) selama hidup di Banua Tonga atau dunia: hamoraon (keteladanan), hagabeon (kekayaan), dan hasangapon (martabat), dapat diturunkan Sang Debata kepada hambanya yang setia menjalani kehidupan dunia Tonga yang benar. Dari pandangan STA di atas, lahirlah falsafah hidup (ideology, atau weltanschauung) suku-bangsa Batak tentang keberadaan yang serba tiga atau trilogi atas segala sesuatu yang ada di bumi ini. Keserbatigaan tadi lalu dijabarkan dengan konsisten ke segala sektor kehidupan masyarakat di Tanah Batak termasuk pada orang Batak itu sendiri. Penjabaran ini selanjutnya menciptakan paket lengkap sistim kemasyarakatan (complete

packet of social system), yang diperlukan untuk menangani berbagai macam permasalahan hidup yang muncul dalam komunitas suku-bangsa Batak di Bona Bulu saat itu; lalu mengabadikannya kedalam tiga warna sekwan, masing-masing: putih untuk yang serba terang benderang dari Banua Ginjang, tempat bersemayam Debata; merah untuk darah dari kehidupan manusia yang sementara di Banua Tonga; dan hitam untuk kelam legam dari Banua Toru yang seluruhnya gelap karena samasekali tidak bercahaya. Ketiga warna ini: putih, merah, dan hitam, lalu berkembang menjadi Sekawan Warna Batak, disingkat SWB, yang dapat dijumpai pada pewarnaan berbagai hasil kerajian tangan suku bangsa Batak, seperti: abit Batak (kain Batak), benda-benda budaya Batak: hiasan, umbul-umbul, dan lainnya. Kawanan warna Batak ini dapat juga ditemukan dalam berbagai bangunan dan rumah adat suku-bangsa Batak, seperti: Bagas Godang (Rumah Adat), Sopo Godang (Balai Pertemuan), Bale (Makam), dan lainnya, wujud: ukiran batu, kayu, dan aneka ragam hiasan horja (perhelatan). Bendera, atau lambang, suku-bangsa Batak juga SWB, yakni tiga warna sekawan (triple-colour) dan dari atas ke bawah berturut-turut: putih, merah, dan hitam.

SWB lalu dijadikan hiasan atau ornamen pada hasil kerajinan suku-bangsa Batak, seperti: ulos (kain Batak), banguan-bangunan hasil karya suku-bangsa Batak, dan lain sebagainya, dengan tujuan untuk selalu mengingatkan orang- orang Batak akan kehadiran tiga banua di Alam Raya, dan seluruh kehidupan melangsungkan perjalanan agung dari Banua Ginjang menuju Banua Toru lewat kehidupan di Banua Tonga bersifat sementara. Dari SWB, Trilogi Batak lalu beralih ke tataring (tempat bertanak) yang menjadi pusat kehidupan manusia setelah mengenal api. Makanan adalah hangoluan (kehidupan) kata mereka, dan untuk menyangga periuk tanah (tempat hangoluan berada) di atas bara api menyala, diperlukan tiga dalihan (tungku). Dua dalihan tidak cukup, karena periuk akan terjungkal, adapun empat dalihan terlalu banyak bilangannya, hanya tiga yang tepat. Inilah yang dinamakan: Trilogi Tataring Batak, disingkat TTB. TTB lalu dijadikan landasan fikir atau cara pandang serba tiga (trilogi) terhadap segala yang ada di alam ini. Manakala periuk berada di atas tiga dalihan dapat menjadi bangunan fisik yang tidak dapat terjungkal di atas bara api menyala karena kemantapannya, maka haruslah pula ada model bangunan yang sama, tetapi

kemasyarakatan atau sosial, yang juga dapat menyangga kebersamaan hidup suku-bangsa Batak berdiam di Banua Tonga yang stabil tidak tergoyahkan. Lahirlah dengan demikian kelompok-kelompok kehidupan bermasyarakat bernama: kahanggi, anakboru, dan mora, berangkat dari nama-nama marga suku-bangsa Batak. Ketiga yang akhir ini lalu membentuk tungku-tungku bangunan kemasyarakatan penyangga suku-bangsa Batak secara sosial bermukim di Banua Tonga, dikenal sebagai Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga) dalam Adat Batak. Dari TTB, Trilogi Batak memasuki ranah hidup bermasyarakat di Bona Bulu untuk bersosialisasi dalam komunitas. Sebagaimana halnya dengan tataring yang memerlukan tiga dalihan, orang-orang Batak yang hidup dalam sebuah kelompok, menurut Ompu Simulajadi, juga memerlukan tiga dalihan dalam kebersamaan yang bernama komunitas atau masyarakat. Perlu terlebih dahulu ada kahanggi di tengah, yakni kelompok persaudaraan bermarga sama datang dari seorang Ompu parsadaan (leluhur pemersatu) guna bertindak sebagai dalihan pertama. Agar dalam perjalanan waktu kahanggi dapat berkembang bilangannya, perlu ada pula kelompok persaudaraan marga-marga lain yang mendatangkan ina (ibu) kepada kahanggi untuk meneruskan generasi. Kelompok persaudaraan marga-marga akhir ini menjadi dalihan kedua, yang dalam masyarakat Batak dinamakan Mora, atau Hula-hula. Selanjutnya masih ada kelompok persaudaraan lain, juga datang dari berbagai marga, kemana kahanggi mengutus anak-anak gadis mereka untuk menjadi ina disana menimbulkan dalihan ketiga, yang dalam masyarakat Batak dinamakan Anakboru. Dengan demikian Kahangi, Mora, dan Anakboru menjadi Sekawan Masyarakat Batak, disingkat SMB, yang ada di Bona Bulu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, selama berdiam di Banua Tonga. Istilah lain yang juga dapat digunakan: Trilogi Masyarakat Batak, disingkat TMB, atau Trilogi Sosial Batak, disingkat TSB. Dikalangan masyarakat Batak, baik di Bona Bulu maupun perantauan SMB, atau TMB, atau TSB, lebih dikenal dengan istilah: Dalihan Na Tolu, disingkat DNT, atau Tungku Yang Tiga, disingkat TYT, yang dalam bahasa Indonesia berarti: sebuah keluarga besar (a big family). Masyarakat Batak mengembangkan sistem kekerabatan patrilenial (garis kebapaan) dalam marga , sebaliknya masyarakat Minang menerapkan sistim kekerabatan metrilenial (garis keibuan). Dalam sistim patrilenial ayah akan menjadi suhutsihabolonan (kepala keluarga) sekaligus memimpin suhut (keluarga batih), dan mewariskan nama marga kepada turunannya (anak-anaknya). Kahanggi ialah kumpulan suhut yang bermarga sama mendiami sebuah kampung atau luhat. Karena bermarga sama, maka komunitas kahanggi dinamakan juga himpunan dongan sabutuha (teman sekandung), meski datang dari para ibu berlainan marga. Yang menjadi ukuran persaudaraan dalam kahanggi, atau kumpulan suhut, ialah persaudaraan keluarga batih bermarga sama yang bukan lahir dari seorang ibu, tetapi datang dari berbagai ayah yang bermarga sama. Bukankah ayah dari ayah mereka dahulu pada tingkat yang paling tinggi berasal dari seorang ibu?

Meski kehidupan masyarakat Batak di Bona Bulu (Kampung Halaman) menerapkan sistim patrilenial dalam marga atau lingkungan kahanggi, tetapi sistim kekerabatan matrilenial juga dimanfaatkan terhadap kelompok-kelompok masyarakat marga lainannya. Terhadap marga-marga yang mendatangkan ibu kepada kahanggi dinamakan: mora, karena menjadi mata-air yang mendatangkan turunan. Mora ialah mata-air kehidupan bagi kahanggi, itulah pula alasannya mengapa mora yang telah mendatangkan ibu bergenerasi kepada kahanggi dinamakan matahari yang tak tertatap karena menyilaukan mata; mora adalah juga yang mendatangkan habisukan (kecerdikan) pada kahanggi, karena itu mereka pantas mendapat penghormatan: hormat mar mora (hormat kepada mora). Terhadap marga-marga yang menerima ibu dari kahanggi dinamakan: anakboru, karena akan manjadi penolong setia pada kahanggi. Anakboru dikatakan juga: na gogo manjujung (yang kuat menjujung), sitamba na hurang si horus na lobi (si penambah yang kurang si pengerus yang lebih) dalam lingkungan kahanggi. Dengan menerapkan kombinasi sistim patrilenial dalam marga dengan sistim materilenial antar marga, komunitas suku-bangsa Batak di Bona Bulu mengembangkan keluarga besar terdiri dari: kahanggi (kelompok persaudaraan semarga), mora (kelompok persaudaraan berbagai marga pemberi ibu), dan anakboru (kelompok persaudaraan penerima ibu ) dalam sebuah jaringan kekerabatan dalihan na tolu (komunitas persaudaraan antar beragam marga) yang terus meluas dari Bona Bulu hingga tanah perantauan. Dengan kehadiran SMB, kerjasama sosial yang memelihara kerukunan hidup dalam masyarakat suku-bangsa Batak berjalan dengan lancar. Dalam kerjasama kemasyarakatan ini Mora mendatangkan ibu kepada Kahanggi sehingga yang akhir ini meningkat bilangannya, demikian pula Kahanggi berbuat kepada Anakboru mereka. Difihak lain Anakboru menjadi penolong setia dari Mora mereka dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, baik siriaon maupun siluluton. Mora juga sang pemberi kebijakan kepada para Anakboru. Dengan demikian SMB menjadika kehidupan suku-bangsa Batak di Banua Tonga penuh keakraban yang jauh dari segala macam keterasingan. Selanjutnya dalam lingkungan SMB, Adat Batak menetapkan aturan perkawinan keluar marga, atau eksogami. Nauli Bujing (Anak Gadis) Mora hanya boleh dipaebat (dinikahkan) dengan Naposo Bulung (anak laki-laki) kahanggi, begitu juga Nauli Bujing kahanggi hanya boleh dipaebat dengan Naposo Bulung Anakboru; akan tetapi tidak untuk yang sebaliknya. Inilah yang dinamakan adat perkawinan tidak-simetris (asimetris). Ini dilakukan untuk menghindarkan Nauli Bujing Anakboru dipaebat dengan Naposo Bulung kahanggi, begitu juga Nauli Bujing Kahanggi dipaebat dengan Naposo Bulung Mora, karena akan menimbulkan rompak tutur (rusaknya pertuturan). Tutur ialah kaidah bertegursapa yang diatur dalam Adat Batak lingkungan DNT, yakni kaidah tegursapa antara mereka yang berlainan generasi; yakni oleh mereka yang lebih muda terhadap yang lebih tua atau sebaliknya yang vertikal, maupun kaidah yang sama untuk mereka yang segenerasi namun lain kedudukan, seperti: Kahanggi, Anakboru, Mora yang horizontal; demikian pula arah tegursapa . Tutur telah menjadi alat hapantunan (kesopanan) pergaulan hidup dalam masyarakat Batak sehari-hari lingkungan

DNT yang sangat dihormati, dan amat diperhatikan pelaksanaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalahan mengucapkankan tutur sapa terhadap seseorang dalam masyarakat adat yang masih teguh, akan berisiko mendapat koreksi langsung di tempat, lengkap dengan penjelasan yang menerangkan mengapa harus demikian. Selain oleh alasan rusaknya tutur disebutkan di atas, adat perkawinan tidak simetris ini juga dipengaruhi oleh peran yang harus dimainkan unsur-unsur Dalihan Na Tolu, yakni: Kahanggi, Mora dan Anakboru. Dalam menyelenggarakan perhelatan adat, seperti: siriaon dan siluluton, kahanggi akan meperoleh bantuan tenaga dari anakborunya seentara mora akan menyubangkan buah fikiran yang diperlukan untuk terselenggaranya sebuah acara. Naposo Bulung suatu marga juga dinamakan Sisuan Bulu (Sipenanam Bambu), adalah si pembela kampung halaman yang menjadi andalan kahanggi di kampung serta sanak saudara semarga dan lainnya. Karena itu ia perlu didampingi Nauli Bujing yang menjadi rongkap ni tondi (pasangan hidup) baginya yang bertindak juga sebagai Sisuan Pandan (Sipenanam Pandan) di kampung halaman dibanggakan itu. Perlu diketahui, Adat Batak melarang Naposo Bulung menikah dengan Nauli Bujing dari yang bermarga sama, atau disebut perkawinan semarga (endogami). Alasannya, orangorang yang sermarga masih bersaudara dan tergolong seayah dan seibu. Diumpamakan tataring, perkawinan dua sejoli ragam ini, ibarat tungku dengan dua dalihan periuk yang diletakkan diatasnya akan terjungkal. Dalam hidup bermasyarakat, pasangan ini tidak mempunyai Mora, karena itu tidak mudah bergabung dalam kekerabatan DNT menghadapi perhelatan siriaon dan siluluton. Dalam lingkungan keluarga besar, pasangan ini tidak memperoleh habisuhon sian Mora (tuntunan dari Mora), dan tidak pula dapat melaksanakan somba (hormat) kepadanya. Karena melaksanakan perkawinan semarga yang menyalahi Adat Batak, salah seorang dari mereka harus mengganti marga lewat pelaksanaan sebuah horja, agar nama keduanya kembali dapat dimasukkan kedalam tarombo (silsilah keluarga). Dari SMB, Trilogi Batak lalu merambah ranah nilai (value) dalam kehidupan keluarga besar. Mora dikatakan na mangalehen hangoluan (yang pemberi kehidupan) kepada kahanggi. Mora soksok dikatakan kepada marga yang pertama kali mendatangkan ina (ibu) pada kahanggi. Keluarga-keluarga yang telah mendatangkan ina lebih dari tiga generasi pada kahanggi dinamakan Mataniari naso gakgahon (Matahari yang tidak tertatap). Mora i ma mual ni hangoluan (Mora ialah mata air kehidupan); Mora i ma na mangalehen habisuhon (Mora ialah yang pemberi kecerdikan). Itulah sebabnya mengapa turun perintah Adat Batak pada kahanggi yang mengatakan: somba mar Mora (hormat kepada Mora). Kahanggi dikatakan dongan sabutuha (teman sekandung), adalah lingkungan hidup persaudaraan yang semarga. Orang-orang yang bersaudara memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan tidak seorangpun boleh lebih atau kurang dari yang lain. Kahanggi ialah lingkungan hidup di Bona Bulu, tempat mereka yang senasib dan sepenanggungan mempertahankan marga dan kampung halaman dari musuh yang datang meyerang.

Karena itu turun perintah Adat Batak pada kahanggi yang mengatakan: manat-manat markahamaranggi (pandai-pandailah berabangadik), agar: rukun selalu menjelang dan selisih tetap jauh. Anakboru dikatakan: nagogo manjujung, na ringgas mangurupi Morana (yang kuat menjujung di kepala dan rajin menolong Moranya). Anakboru dikatakan juga: sitamba na hurang, sihorus na lobi (sipenambah yang kurang dan sipenguras yang lebih) dalam perhelatan adat: siriaon maupun siluluton dalam lingkungan kahanggi. Itulah pula sebabnya mengapa datang perintah Adat Batak pada kahanggi yang mengatakan: elek mar anakboru (pandailah mengambil hati anakboru) agar tenaga mereka dapat dimanfaatkan. Dengan demikian: Somba mar Mora, Manat mar Kahanggi, dan Elek mar Anakboru menjadi Trilogi Nilai Batak, disingkat TNB yang berguna untuk menjaga hubungan kekerabatan lingkungan DNT (TYT) dalam komunitas suku bangsa Batak, agar kebersamaan selalu terjaga dan harmonis dari Bona Bulu hingga perantauan. Karena kehidupan suku bangsa Batak di Banua Tonga atau Alam Kedua ini sementara sifatnya, hanya sepanjang hayat, maka untuk merekatkan kebersamaan hidup dalam masyarakat suku-bangsa Batak di Bona Bulu, Adat Batak lalu menurunkan lagi perintah yang berbunyi: inte disiriaon, tangi disiluluton, yang artinya: senantiasa menanti datangnya khabar bahagia, dan selalu menyimak munculnya berita duka. Selain terhadap lingkungan DNT disebutkan diatas, masih ada lagi nasihat Adat Batak untuk perorangan (individu) yang membutuhkan perhatian masyarakat di Bona Bulu ketika itu, tua maupun muda, yakni apa yang disebut dengan: hamoraon, hagabeon dan hasangapon. Mora adalah teladan, sehingga hamoraon berarti keteladanan hidup mencakup: keakraban, taat hukum, hidup maju, penuntut ilmu dan pengetahuan, penyayang sekaligus pelindung, pandai menengahi perbedaan guna kerukunan, beriman, dan lain sejenisnya; bersarang di Alam Tondi (jiwa/semangat/kharisma) yang menggerakkan Alam Roha (akal/fikiran/budi) seorang insan. Inilah yang dinamakan: harta batin (wealth of the soul) seorang yang mendapat gelar: halak namora (manusia teladan). Gabe adalah kaya, sehingga hagabeon berarti kekayaan hidup mecakup: keturunan, rumah, harta benda, sawah ladang, tabungan bank dan lain sejenisnya, terdapat di alam lahir yang dikuasai oleh seseorang. Inilah yang dinamakan harta lahir (the material wealth) yang dimiliki seorang yang mendapat gelar: halak nagabe (orang kaya). Adapun hasangapon berasal dari sangap artinya martabat, ialah keberhasilan seseorang menjalani hidup di Banua Tonga, baik di AlamTondi (batin) maupun di Alam Kedua ( lahir), yang berhasil diraih bernama: martabat (dignity), didapat dari pengamalan hamoraon dimiliki dan hagabeon dipunyai sepanjang perjalanan hayatnya.

Hamoraon dan hagabeon dengan demikian menjadilah pasangan kelengkapan untuk meningkatkan martabat hidup seseorang di Alam Kedua (di dunia), bilamana dengan harta batin ia berhasil membina kehidupan harmonis yang mendatangkan damai dan sejahtera kepada masyarakat; dan dengan harta lahir murah pula berbagi kepada sesama dalam meringankan penderitaan hidup. Difihak yang sebaliknya pasangan kelengkapan ini dapat juga menjerumuskan seseorang kelembah hina yang menyengsarakan kehidupan dunia, manakala hamoraon dan hagabeon tidak digunakan bagi kepentingan orang banyak dalam masyarakat. Seperti diketahui, badan kasar bernama jasmani yang dimiliki seseorang hanyalah pinjaman manusia dari Banua Tonga, lalu hamoraon dan hagabeon datang kemudian menemani. Maka saat tondi melanjutkan perjalanan ke Alam Ketiga setelah meninggalkan badan, semua apa yang didapat manusia dari Alam Kedua: jasmaninya, hamoraon, dan hagabeon dikembalikan. Hanya hasangapon yang dibawa tondi pergi ke Alam Ketiga, dan hasangapon pula yang ditinggalkannya di dunia ini. Dengan demikian hamoraon, hagabeon dan hasangaon menjadi Trilogi Tujuan Hidup, disingkat TTH, diajarkan Ompu Simulajadi dalam Adat Batak di Bona Bulu yang perlu mendapat perhatian. TTH bermaksud menerangi jalan kepada perorangan (individu) yang tengah bergiat mencari celah di belantara kehidupan dunia untuk menemukan pilihan terbaik dalam menyongsong terang sinar matahari. Dari TTH, Trilogi Batak selanjutnya masuk pula ke ranah penulisan (dokumentasi) dengan mengelompokkan suku-suku bangsa Batak kedalam berbagai marga untuk mewujudkan jaringan kekerabatan Dalihan Na Tolu, lalu menghimpun semuanya kedalam pembentukan tarombo (silsilah keluarga) suku-bangsa Batak. Tarombo adalah sebuah catatan lisan dalam kekerabatan yang lalu berubah menjadi tertulis, bagaimanapun cara penyusunannya, akan segera memperlihatkan marga kahanggi yang mebuatnya. Lalu terlihat pula nama-nama marga yang mengambil anakanak gadis kahanggi untuk menjadi ina (ibu) anak-anak mereka di kampung, yang dalam Adat Batak dinamakan Anakboru. Selanjutnya akan tampak juga berbagai marga lainnya yang mendatangkan anak-anak gadis untuk menjadi ina (ibu) anak-anak kahanggi di kampung, dan kelompok keluarga akhir ini dalam Adat Batak dinamakan Mora. Dengan demikian, sebuah tarombo atau silsilah keluarga suku-bangsa Batak akan memperlihatkan tiga kelompok keluarga yang menjadikan sebuah keluarga besar, masing-masing: Kahanggi, Anak Boru, dan Mora. Ketiga himpunan keluarga ini juga dinamakan juga Dalihan Na Tolu (DNT), atau Tungku Yang Tiga (TYT). Ketiga kelompok keluarga ini akan memainkan peran besar dalam perhelatan Adat Batak corak siriaon dan siluluton. Dalam tarombo akan juga terlihat segera mereka yang segenerasi, lalu mereka yang berlainan generasi. Selanjutnya tegur sapa (tutur) apa yang harus digunakan untuk menyapa mereka yang segenerasi dan mereka yang berlainan generasi, dan bagaimana cara menghindarkan munculnya rompak tutur, dan lain sebagainya.

Mudah difahami, dalam masyarakat Batak yang masih sederhana ini, teknologi masih di zaman batu, belum terdapat peluang saat itu untuk membuktikan kebenaran pandangan Ompu Simulajadi yang bersemayam dalam fikiran orang-orang Batak, terhadap Alam Raya yang sesungguhnya berada di luar sana. Sebelum kedatangan abad pertengahan di Eropa, orang-orang diseantero jagad ketika itu masih menganut pandangan Ptolomaus yang mengatakan, bahwa bumi ini adalah pusat peredaran seluruh benda langit termasuk matahari. Cara pandang Alam Raya demikian ini dikenal dengan: ajaran geosentris. Sri Paus, pemegang Tahta Suci di Vatican, Italia, saat itu, juga menerima ajaran geosentris karena tidak menyalahi Kitab Suci, dan menjadikannya pegangan hidup umat Katholik sedunia. Akan tetapi dengan datangnya abad pertengahan, Koppernigt (Copernicus 1473-1543) seorang ilmuwan dan astronom berkebangsaan Polandia membantahnya, dan mengatakan bahwa mataharilah yang menjadi pusat peredaran segalanya. Bantahan ini melahirkan cara pandang Alam Raya yang baru disebut: ajaran heliosentris. Galileo Galilei (15641642), seorang cendekiawan dan astronom dari Italia saat itu membuktikan kebenaran Koppernigt dengan teleskop ciptaannya. Tetapi malang, Galileo dinyatakan bersalah oleh Sri Paus atas kelancangan membenarkan ajaran heliosentris, dan harus menjalani tahanan rumah hingga akhir hayatnya. Baru pada bulan Mei tahun 1994, 600 tahun kemudian, hukuman itu dicabut oleh Paus Yohannes Paulus II, setelah meminta maaf atas kekeliruan rekan pendahulunya, yang ketika itu menduduki Tahta Suci di Vatican. Ilmu pengetahuan dan teknologi lalu memasuki penggal kedua abad ke-20, dan kemajuannya membuat Niels Armstrong, warga Amerika Serikat, menjadi manusia pertama yang menginjakkan kakinya di permukaan bulan. Berbagai satelit cerdas pun lalu menjelajah angkasa luar hingga melampaui batas Tatasurya; dan orang-orang Batak pun mulai sadar, bahwa pandangan Ompu Simulajadi tentang Alam Raya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Banua Ginjang bernama Surga tidak ditemukan di atas sana. Banua Tonga dimana manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan berada hanyalah muka bumi yang bulat bagai bola. Adapun yang dinamakan Banua Toru tidak lain dari bola bumi yang bulat beserta isinya. Lalu muncul dualisme pandangan terhadap Alam Raya: sebuah berasal dari ajaran Ompu Simulajadi yang telah berseayam dalam fikiran kebanyakan orang-orang Batak yang percaya, dan lainnya kebenaran Alam Raya yang terdapat diluar sana. Usai penggal kedua abad ke-20, dunia pun memasuki milenium ketiga, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cepat mengalihkan perhatian umat manusia dari permukaan bumi ke angkasa luar. Di ruang antar planit yang hampa, gaya tarik bumi tidak lagi memegang peran, mana yang atas maupun yang bawah bukan lagi persoalan, namun Trilogi Batak ajaran Ompu Simulajadi lalu memperlihatkan pemahaman baru.

Dengan menempatkan Banua Tonga atau Alam Benda, dimana: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lainnya berada di tengah sebagai Alam Kedua, dalam pemahaman yang baru, maka perlu ada Alam Pertama dari mana semuanya berdatangan. Kemudian, usai menjalani kehidupan di Alam Kedua, harus ada lagi Alam Ketiga kemana semua yang hidup akhirnya menuju. Adapun pemahaman lama yang mengungkapkan adanya Banua Ginjang (di Atas), Banua Tonga (di Tengah), dan Banua Toru (di Bawah), muncul dalam pemikiran suku bangsa Batak ketika itu, karena medan gravitasi menguasai kehidupan umat manusia di muka bumi yang menentukan dua jurusan: atasdan bawah. Usai penggal kedua abad ke-20 dunia memasuki milenium ketiga, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cepat mengalihkan perhatian umat manusia dari permukaan bumi ke angkasa luar. Di ruang antar planit yang hampa, gaya tarik bumi tidak lagi berperan, dan mana yang atas atau yang bawah bukan lagi persoalan, namun Trilogi Batak ajaran Ompu Simulajadi lalu memperlihatkan pemahaman yang baru. Dengan menempatkan Alam Benda, dimana: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lainnya berada di tengah sebagai Alam Kedua, menurut pemahaman yang baru, maka harus ada Alam Pertama dari mana semuanya berdatangan. Kemudian, usai menjalani kehidupan di Alam Kedua, perlu ada lagi Alam Ketiga kemana semuanya akhirnya menuju. Adapun pemahaman yang lama ialah yang dikemukakan sebelumnya, yaitu Banua Ginjang (di Atas), Banua Tonga (di Tengah), dan Banua Toru (di Bawah) yang berada dibawah pengaruh medan gravitasi bumi. Lahirlah dengan demikian Trilogi Batak pemahaman baru, masih tetap STA, yang berubah menjadi: Alam pertama, Alam Kedua, dan Alam Ketiga. Artinya, masih tetap kue talam tiga warna: putih, merah, hitam, lebar; meski tidak lagi perlu tergolek di atas talam yang amat luas, tetapi cukup mengambang di angkasa. Apabila Alam Kedua dinyatakan Banua Na Marpamatang (Alam Yang Berbadan) bersifat kebendaan (material), maka Alam Pertama dan Alam Ketiga seyogyanyalah berupa Banua Naso Marpamatang (Alam Yang Tidak Berbadan), atau Alam Transenden (Transcendant), karena samasekali tidak bersifat kebendaan (immaterial). Lantas bagaimanakah perwujudannya? Belum dapat diketahui hingga kini! Mungkinkah Alam Pertama sama dengan Alam Ketiga? Tentu saja mungkin, namun dapat juga berlainan. Dikatakan sama apabila dapat dibuktikan keduanya benar-benar sama; dan dikatakan bebeda, apabila keduanya memang benar-benar berbeda. Peluang Alam Pertama dan Alam Ketiga sama, atau berbeda, sama besar, karena itu tidak satupun yang dapat mengalahkan yang lain. Manakala Alam Pertama dan Alam Ketiga sama dan transenden, tondi dalam kegiatannya akan bergerak melingkar. Perjalanan demikian ibarat tondi yang baru saja meninggalkan

Alam Kedua, kemudian masuk kembali ke alam yang sama. Ini mengingatkan pada perjalanan reinkarnasi kehidupan dunia. Apabila kedua alam transenden ini berbeda, tondi akan bergerak dalam garis lurus. Perjalanan tondi demikian akan mengukuhkan kembali Trilogi Batak, dan memberi pemahaman baru kepada pandangan Ompu Simulajadi yang telah mengajarkan kehadiran tiga Banua di Segala Alam yang mengitari kehidupan ini. Mungkin Ompu Simulajadi suku Bangsa Batak yang pertama ada silam telah sejak awal mempunyai pandangan yang kedua: kue talam besar lapis tiga warna: putih, merah, hitam, yang mengambang di angkasa; bukan pandangan yang pertama: kue talam besar lapis tiga berwarna yang tergolek di atas talam yang amat luas. Karena memang sejak dari dahulu, suku bangsa Batak telah mengakui adanya berbagai alam termasuk transenden yang berada di luar alam kebendaan atau material ini. Akan tetapi, karena kebanyakan warga masyarakat pada saat itu belum lagi mampu mencernanya, maka diketengahkanlah gagasan kue talam lapis tiga besar berwarna yang tergolek di atas talam amat luas. Benarkah demikian, wallahualam bissawab, tidak seorang pun yang tahu! Suku bangsa Batak menamakan masyarakat kecil yang ada dalam kehidupan bernama keluarga:suhut. Suhut ialah keluarga batih atau nuclear family; terdiri dari tiga unsur yakni: Ama (Ayah), Ina (ibu), dan Anak (laki-laki atau perempuan). Ama, Ina dan Anak lalu membentuk Trilogi Suhut Batak, disingkat TSB, yang membentuk sebuah komunitas dalam masyarakat Batak. Tanpa adanya ketiga unsur dikemukakan tadi masyarakat terkecil bernama suhut tidak akan dapat terbentuk. Ama yang mengepalai suhut memperoleh gelar: Suhutsihabolonan. Pada tingkat perorangan (individu), suku bangsa Batak juga mengartikan manusia sebagai sebuah Trilogi yang dapat disebut: Trilogi Jolma Portibi, disingkat TJP, atau Trilogi Manusia Bumi, disingkat TMB. Dalam pandangan Ompu Simulajadi, manusia itu tidak lain dari: Tolu Na Marsada atau Tiga Yang Sekawan, artinya adanya tiga unsur yang menyatu menjadikan manusia, masing-masing: Tondi, Roha dan Pamatang. Tanpa tondi, orang akan hilang kemanusiaannya: motivasi, kemauan, semangat, kharisma, dalam kehidupan dunia yang fana ini; tanpa roha orang akan kehilangan ingatan (memory)-nya alias pikun; dan tanpa badan (pamatang) orang akan hilang kehadirannya cara lahiriah, atau keberadaannya di dunia ini alias meninggal dunia. Sehingga badan boleh dikatakan sebagai tandatangan seseorang di atas lembar kertas kehidupan di alam fana. Tondi (ruh/jiwa/khariama) yang menghuni alam bukan-benda (Banua Naso Marpamatang), menurut kepercayaan suku bangsa Batak dapat bepergian meninggalkan jasmani (pamatang) ketika orang sedang tidur, sedang sakit, atau keadaan tidak normal lainnya.

Tondi ialah sebuah badan halus (superbeing) manusia yang harus terdapat dalam setiap mahluk hidup, apapun ragamnya. Seorang insan dalam Adat Batak diumpamakan dengan: pira manuk na nihobolan (telur ayam yang dikebalkan), bentuk sebutir telur ayam yang telah direbus. Yang kuning ditengah melambangkan tondi (badan halus) manusia, sedangkan yang putih mengitari menunjukkan badan kasar (jasmani)-nya. Tondilah yang membedakan seorang manusia dari yang lain, dan ini diperlihatkan oleh semangat (emosi), kharisma, dan bahasa badan (body language) yang ditampilkannya keluar. Diibarakan sebuah mobil, apabila dikemudikan dua orang berbeda secara bergantian, maka akan memperlihatkan tingkah laku gerakan kendaraan yang berbeda. Dengan analogi yang sama, maka apabila ada orang yang didiami tondi yang bukan miliknya sejak lahir karena sakit misalnya, akan memperlihatkan prilaku bukan aslinya. Walau berbagai pengetahuan tentang tondi telah terkuak kepada manusia dari pengalaman dan pergaulan hidup sehari-hari di alam fana ini, namun inilah alam bukanbenda pertama yang terdapat dalam diri manusia yang terus saja menyimpan banyak teka-teki yang masih sedikit terungkap hingga saat ini. Roha (akal/budi/fikiran) juga terdapat di alam bukan-benda. Inilah yang dinamakan kecerdasan sebenarnya (the true intelligence), sebagai lawan dari kecerdasan buatan (the artificial intelligence) yang kini menghuni berbagai peralatan canggih buatan manusia, seperti: alat bedah tubuh jarak jauh, aneka ragam robot, peluru kendali, roket menuju bulan , hingga dengan satelit. Inilah pula yang diungkapkan Sokrates (470-399 SM), pemikir Yunani dari Athena di zaman praklassik, yang buah fikirannya tentang hal ini oleh filosof Jerman Windelband (1848 -1915), penganut aliran idealisme subjektif, diungkapkann dengan rangkaian kata: Die immateriele Welt ist endeckt, und das Auge des Geistes hat sich nach innen aufgeschlagen, atau dalam bahasa Batak: Banua naso marpamatang tarungkap madung, mata ni roha manaili ma tu bagasan; dan oleh Dr. Mohammad Hatta diindonesiakan menjadi: Alam tidak bertubuh diketahuilah sudah, dan mata fikiran pun memandanglah kedalam. Sebagaimana sebuah komputer, telepon genggam (mobile phone), dan tablet (smart phone), merupakan perpaduan perangkat lunak dengan perangkat keras sehingga dapat melakukan berbagai macam pekerjaan, maka Roha dapat juga dikatakan sebagai perangkat lunak insani (human software), disingkat peraninsani (human-ware), yang dibutuhkan guna menjembatani Tondi dengan Badan, sehingga tubuh manusia (jasmani) dapat melaksanakan beragam pekerjaan sebagaimana yang diinginkan manusia (Tondi) sesuai kemampuan, keterampilan, bidang keahlian profesi yang digeluti seseorang. Pemrograman Roha itu sendiri telah dimulai sebelum manusia lahir, dilanjutkan setelah lahir, lewat: pendidikan, pelatihan, jabatan, pengalaman hidup, dan lainnya; dan tidak pernah berhenti sepanjang hayat, berangkat dari pandangan hidup yang dimiliki orang bersangkutan.

Roha (Alam Kedua bukan-benda) terdapat dalam diri manusia inilah yang oleh segelintir negara: Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur; itu pun digeluti oleh jumlah kecil warganya (sumber daya manusia) lewat kegiatan akademik berjenjang dari rendah hingga tinggi, menjadikan negara-negara tersebut cepat terkemuka di dunia, setelah mendapat buah fikiran Yunani yang diantarkan bangsa Arab dalam Abad Pertengahan. Diawali penghujung abad ke-19, kemudian sepanjang abad ke-20, dilanjutkan dalam abad ke-21 kini, seumlah negara Eropa: Inggris, Perancis, Jerman dan lain sekitarnya; Amerika Utara: Amerika Serikat; dan Asia Timur: Jepang; lalu sadar akan apa yang telah diungkapkan Sokrates tentang keperkasaan Banua Naso Marpamatang dalam diri Sumber Daya Manusia bernama Roha bangsanya, lalu dengan segera mengembangkan pendidikan, industri, laboratorium, kegiatan penelitian, sumber daya alam, dan lainnya hingga ke ajaran ekonomi Laissezfaire (perdagangan bebas); sehingga dalam kurun waktu kurang dari 150 tahun, berhasil mengubah peradaban manusia: dari peradaban serba berjalan kaki dan mengendarai ternak (kuda, lembu, dan lainnya) dimana-mana di muka bumi ini, menjadi peradaban berkendaraan motor: mobil, kereta api, kapal laut, pesawatterbang, dan penerbangan antariksa. Penyampaian berita: awalnya secara fisik dari mulut ke mulut, aneka tetabuhan, hingga surat; kemudian diubah lewat elektronik menjadi: radio, telepon, televisi, ponsel, internet. Bekerja di: kantor, pabrik, lapangan, dan lainnya, dengan Teknologi Informatika (TI) diubah menjadi bekerja dimana saja orang suka melakukannya di muka bumi ini. Dan masih banyak lagi kemajuan lainnya yang tidak dapat dikemukakan satu persatu, dan terus berkembang ke arah yang semakin memudahkan kehidupan umat manusia di bumi. Segelintir negara tadi lalu menjadi teladan bagi umat manusia di bumi, menyebabkan lainnya: dari Utara ke Selatan, dan dari Barat ke Timur, termasuk dunia Arab, Asia Tenggara, dan lain yang masih tertinggal, beramai-ramai mengembangkan Roha dari warga negaranya masing-masing sebagaimana yang telah dikemukakan Sokrates, lewat pemberantasan buta huruf, mengembangan pendidikan berjenjang beragam sekolah, untuk mengejar ketertinggalan masing-masing dari negara-negara terkemuka yang disebutkan. Kendati roha telah banyak diungkapkan para ahli negara maju lewat penyelidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, laboratoriun, industri, tambang, archeologi, penelitian antariksa, dan lainnya, terekam dalam tidak terbilang jumlah buku, jurnal, dan lainnya, namun alam bukan-benda yang kedua terdapat dalam diri manusia bernama Roha ini masih tetap menyimpan banyak misteri. Pamatang (tubuh, badan, jasmani), adalah bukti keberadaan seseorang di muka bumi, atau alam fana ini. Dapat juga dinamakan cap jempol seorang insan di atas lembar kertas kehidupan dunia. Dengan badan, si A, si B, si C dan seterusnya dapat dibedakan; mereka pun dapat saling berbincang, dan berkenalan, serta bertukar fikiran. Hasil temuan Proyek Gen Manusia (Human Gaenome Project) yang diungkapkan segelintir ilmuwan negara terkemuka dunia, disampaikan Craig Venter tanggal 11

Febrruari 2001, mengatakan akan adanya 30.000 gen dalam tubuh manusia yang bertanggungjawab terhadap kehidupan, dan senantiasa membuka dan menutup dalam melaksanakan tugasnya menelusuri waktu. Dan gen-gen yang membuka sajalah yang mengatur seluruh sel yang ada dalam tubuh manusia yang bilangannya diperkirakan mencapai 3.000.000.000. Tubuh manusia yang berada di Alam Kedua (Alam Benda), demikian juga mahluk hidup lainnya, tersusun dari sejumlah sistim biologi rumit, antara lain: peredaran darah, pencernaan, pernafasan, pengindraan, syaraf, dan lain sebagainya. Selain dari itu, keseluruhan sistim yang dikendalikan puluhan ribu gen terbuka dikemukakan diatas, harus pula bekerjasama dalam sebuah orkestra harmonis untuk menghadirkan tubuh yang sehat tempat bagi Tondi bersemayam. Kegagalan badan atau jasmani menjadi sehat oleh berbagai alasan, oleh: penyakit, kecelakaan, hingga uzur, mengakibatkan Tondi dalam perjalanan waktu terpaksa meninggalkan badan di Alam Kedua (Alam Benda) dan melanjutkan perjalanannya ke Alam Ketiga. Meski pamatang atau jasmani telah banyak dipelajari oleh berbagai ahli beragam disiplin ilmu kedoktern banyak negara maju, dan merupakan bagian dari Trilogi Manusia Bumi yang paling sering dikaji orang di dunia saat ini, namun bukti keberadaan manusia di Alam Kedua ini masih menyimpan rahasia yang belum mampu diungkapkan para ahli. Ketika tondi menghampiri batas Alam Pertama (bukan-benda) dengan Alam Kedua (benda), dalam perjalanannya dalam pemahaman baru, atau setelah turun dari Banua Ginjang masuk ke Banua Tonga dalam pemahaman lama, ia perlu terlebih dahulu menjemput materi untuk menyatakan keberadaannya di Alam Kadua atau Banua Tonga. Materi adalah sesuatu yang terdapat di Alam Kedua (materi) yang senantiasa tunduk pada hukum alam atau fisika karena mempunyai massa (berat) dan menempati ruang. Segala sesuatu yang tidak memiliki massa dan tidak menempati ruang, tetapi ada, pastilah bukan-benda (immaterial) dan akan mendiami Alam Pertama, dan/atau Alam Ketiga. Perpaduan Tondi, Roha, dan Pamatang dalam Adat Batak ditunjukkan dengan petolongan pira manuk nanihobolan. Tondi: dinyatakan dengan kuning telur yang berada di tengah, adapun Pamatang: diperlihatkan dengan putih telur mengitari, sedangkan Roha: diperlihatkan dengan selaput yang terselip memisahkan keduanya. Pertemuan Tondi dengan Pamatang, setelah yang disebut pertama turun dari Banua Ginjang berada di perbatasan Banua Tonga, atau datang dari Alam Pertama tiba diperbatasan Alam Kedua, pada manusia berawal dari konsepsi (conception) setelah sepasang insan, yakni: laki-laki dan perempuan melakukan hubungan badan. Tondi yang datang dari Banua Ginjang, tau Alam Pertama, lalu memperoleh pinjaman badan (materi) dari Banua Tonga, atau Alam Kedua, dan yang akhir ini berubah menjadi benih yang melangsungkan pembelahan untuk menjadi janin, dan terus tumbuh karena mendapat pemasukan benda (materi) dari Banua Tonga atau Alam Kedua lebih lanjut; namun kini dari ibu yang mengandung, hingga akhirnya lahir ke dunia sebagai bayi.

Setelah lahir, anak ini melanjutkan kegiatan menghimpun benda, kini selain dari menyusu pada ibu juga mendapat makanan dan minuman pemberian orang tua, baik yang untuk menambah berat dan menumbuhkan tinggi badan, maupun yang untuk menjaga kesehatan sepanjang pertumbuhan hingga menjadi: anak, akil balig, remaja, dan memasuki usia dewasa. Setelah anak dewasa kegiatan menghimpun benda terus dilanjutkan, tidak lagi dari pemberian orang tua melainkan dengan mencari nafkah sendiri. Melewati usia dewasa materi yang dihimpun dengan makan dan minum sebahagian besar cenderung digunakan untuk metabolisme (pertukaran zat) dalam tubuh berlangsung cara kimia, seperti: perbaikan jaringan tubuh, menyediakan tenaga (energi), pertukaran zat, dan lain sebagainya, guna memelihara kesehatan tubuh hingga ke batas usia. Ada sementara hewan yang mengikuti manusia, tetapi tidak sedikit yang melaksanakan peminjaman materi pada generasi penerus dengan telur, dimana kehidupan dipicu panas (suhu) pengeraman. Pada tumbuh-tumbuhan telur digantikan benih (bibit) dengan kehidupan dipicu lembab (air) bersuhu lingkungan. Menurut ahli kesehatan, pertukaan zat berlangsung tidak berkeputusan dalam tubuh sepanjang hayat manusia menyebabkan yang disebut terakhir, atau bukti kehadiran insan di alam fana, berganti seluruhnya setiap tujuh tahun sekali. Itulah sebabnya mengapa bayi yang lahir lalu menjadi besar dengan: makan, minum dan bernafas, bertambah beratnya, bertukar wajahnya, berbeda bentuknya, bertambah pengetahunnya, dan lain sebagainya hingga ke akhir usia. Seorang anak yang berusia di atas dari 7 tahun dengan demikian tidak lagi meyimpan benda (materi) yang diperoleh dari kedua orang tuanya di saat konsepsi. Kini seluruh yang ada padanya adalah perolehan makan dan minum pemberian orang tuanya. Kedua orang tua anak ini pun telah pula berganti, menurut ahli kesehatan tadi, dari orang-orang yang pernah meminjamkan materi kepada anak saat konsepsi berlangsung, menjadi hanya pewaris dari pasangan orang tua yang pernah meminjamkan materi kepada anak tadi. Kini hubungan pasangan orang tua dengan anak yang masih tersisa tinggal sejarah. Karena: makan, minum, dan bernafas yang mendukung metabolisme tubuh, menyebabkan manusia menukar seluruh jasmaninya secara teratur, menjadikan orang dimana-mana di muka bumi ini sama semuanya, kecuali: warna kuli, bentuk tubuh, dan gen; dan ketiga yang disebut akhir ini tidak berpengaruh banyak pada hidup selain identitas insan. Karena itu benarlah apa yang dikatakan orang-orang tua dahulu di Bona Bulu, agar anak-anak yang telah dewasa harus diperlakukan sebagai dongan (sahabat), dan tidak lagi sebagai anak. Ini disebabkan anak-anak tadi telah sempurna berubah menjadi orang lain lewat pertukaran jasmani berulang kali sepanjang hayatnya sebagaimana yang dikemukakan ahli kesehatan di atas. Orang yang telah berusia 63 tahun dengan demikian telah mengganti sempurna tubuhnya sebanyak 9 kali lewat pertukaran zat berjalan 7 tahun sekali. Pelaku kejahatan yang menjalani hukuman penjara lebih dari 7 tahun dengan sendirinya telah digantikan pewarisnya yang bukan lagi seorang penjahat, karena tubuh yang dimilikinya sekarang

tidak lagi terlibat dalam kejahatan yang dituduhkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pelaku kriminal yang tercatat dalam BAP sebenarnya telah meninggalkan penjara lewat metabolisme tubuh yang tidak diketahui petugas penjara yang mengawasinya. Terlihat berbagai hukum yang bermain di dunia renik (alam atom dan molekul) tidak perlu sejalan dengan ketentuan manusia yang berkuasa (keputusan penegak hukum). Sebaliknya kehidupan insan di dunia sangat tergantung pada hukum biologi yang memanfaatkan beragam molekul untuk membentuk sel tubuh makhluk. Beragam molekul ini masih tergantung lagi dari atom-atom penyusunnya. Selain dari itu tidak dapat dipungkiri peran gravitasi dunia renik (gaya tarik-mearik antar atom dan gaya tarikmenarik antar molekul) yang membentuk molekul dan yang menjadikan benda, termasuk yang menjadikan benda dinamakan mahluk hidup. Tanpa kepatuhan dan kesetiaan gravitasi dunia renik melaksanakan tugas yang diamanatkan alam, maka insan bernama manusia terbentuk dari kebanyakan air dan sejulah usur kimia lainnya ini tidak lebih dari seonggokan atom tak berjiwa yang tidak ada gunanya. Akhirnya, masih terdapat pula gravitasi bumi yang menyebabkan manusia dapat menjejakkan kakinya di muka bumi dan beragam benda lain ada pada tempatya. Kegagalan gravitasi akhir ini melaksanakan tugasnya, berakibat seluruh benda yang berada di permukaan bumi melayang berserakan di angkasa, dan tidak trekecuali berbagai mahluk hidup. Orang-orang yang meninggalkan alam fana ini sesungguhnya telah berulangkali menyerahkan kembali bagian demi bagian atau partial tubuh mereka ke Banua Tonga atau Alam Kedua, namun yang diserahkannya belakangan ialah yang dimiliki 7 tahun terakhir. Tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang sesungguhnya tidak ubahnya sebuah tempayan penuh air. Lebih dari 70% berat badan manusia ini ialah air, dan kurang dari 30% terbuat berbagai unsur kimia, seperti: karbon (C), kalsium (Ca), kalium (K), besi (Fe), dan lainnya hingga unsur langka bumi (rare earth) sebagaimana dalam tabel kimia yang diungkapkan Dmitri Ivanovich Mendeleev (1834-1907). Kembali terlihat disini, manusia dimana-mana di dunia sama adanya: sebuah tempayan terbuat dari sejumlah unsur kimia penuh berisi air; perbedaan orang gemuk dari orang kurus lebih kepada perbedaan jumlah air dimiliki ketimbang banyaknya unsur kimia pembentuk lain. Sebagaimana tubuh manusia dikembalikan partial, maka tubuh yang dipulangkan belakangan juga segera didaur ulang. Bakteri akan mengawali daur ulang dengan melepaskan gas yang menyengat penciuman tersebar ke udara, tujuannya untuk menugndang para pendaur ulang lain datang menyelesaikan pekerjaan. Pada manusia terdapat ajaran adat dan agama untuk melaksanakan daur ulang dengan: pemakaman, pembakaran (kremasi), dan membenamkan ke air yang dalam. Pada daur ulang pemakaman air diserap tanaman, lalu menguap ke udara menjadi awan, dan akhirnya jatuh ke laut sebagai hujan. Berbagai jenis unsur kimia lain yang juga dikembalikan akan dimanfaatkan tanaman dan binatang. Daur ulang akan mengurai kembali jasmani manusia, baik yang dikembalikan partial maupun belakangan, menjadi unsur-unsur kimia yang tercantum dalam tabel Mendeleev, untuk kemudian dirakit kembali menjadi bahan makanan dan minuman janin Tondi baru yang berkunjung ke Banua Tonga. Makanan dan minuman ini akan menjadi bukti keberadaan Tondi yang baru muncul saat konsepsi agar menjadi bukti keberadaannya di tempat yang disebutkan terakhir.

Pada orang-orang sehat, Tondi dan Roha selalu menyertai Badan selama berdiam di Banua Tonga atau Alam Kedua. Tidak ada orang yang dapat memperkirkan berapa lama Tondi dan Roha akan menemani badan berdiam di Banua Tonga pada manusia dan mahluk hidup lainnya, hingga datangnya batas waktu yang telah ditentukan. Setelah saat itu tiba, Tondi akan mengembalikan bagian akhir badan ke Banua Tonga atau Alam Kedua di perbatasan Alam Kedua dan Alam Ketiga. Dan setelah berpisah dari badan, tidak ada lagi yang dapat diketahui orang tentang perjalanan Tondi selanjutnya menelusuri Alam Ketiga. Awalnya kehidupan dalam komunitas Batak masih berjalan perlahan, cara alami atau evolusioner, di berbagai tempat dimana mereka bermukim. Gelombang petama datangnya agama Islam ke Nusantara, belum menimbulkan perubahan berarti dalam kehidupaan masyarakat di Tanah Batak, akan tetapi dengan datangnya gelombang kedua yang masuk dari Selatan benar-benar menimbulkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, atau revolusioner. Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang lalu menggantikan kaum Paderi, juga melakukan perubahan cepat, atau revolusioner, di Tanah Batak dengan memperkenalkan kerja rodi (kerja paksa) dengan pembuatan jalan dan jembatan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga mengharuskan para Raja dan rakyat mereka di Tanah Batak membayar belasting (pajak). Dengan sistim pemerintahan terpusat (sentralistis) yang diperkenalkannya para Raja dan rakyat mereka lalu menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Para Raja ditugaskan pula untuk memungut belasting dengan sasaran (bertarget) pendapatan ditetapkan. Imbalan yang diberikan kepada masyarakat ialah: pemerintahan, layanan masyarakat, jalan raya dan jembatan, dan pendidikan bagi anak-anak pribumi. Pemerintah Fasis Jepang yang kemudian menggantikan pemerintahan kolonial Hindia Belanda tahun 1942 di Tanah Batak tidak kalah kolonialnya, juga memberlakukan perubahan cepat dengan perilaku kasar dan kekejaman serdadu. Jepang mengharuskan diwujudkannya barisan-barisan Zikedan dan Bogodan di Tanah Batak untuk setiap kampung untuk menghimpun pemuda guna dijadikan heiho (pembantu prajurit Jepang) dan romusha (pekerja rodi Jepang). Mereka juga memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi, baik yang dibayar dengan mata uang Jepang maupun yang tidak memperoleh bayaran samasekali. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pimpinan Amerika Serikat di peghujung Perang Dunia Ke-II, pemimpin pergerakan NRI (Negara Republik Indonesia) di Tanah Batak lalu mengambil alih pemerintahan, tidak luput dari melakukan perubahan cepat disana. Mereka menggerakkan rakyat melaksanakan revolusi, dan menentang Belanda kembali menjajah di Tanah Batak; kepada rakyat dijanjikan hidup bebas kemiskinan dalam alam kemerdekaan. Setelah meraih kemerdekaan, pemerintah NRI keresidenan Tapanuli dari ibukotanya di Tarutung lalu mengeluarkan ketetapan Residen Tapanuli No.: 274 tertanggal 14 Maret 1946, dan No: 1/D.P.T tertanggal 11 Januari 1947 yang ditandatangani Dr. F.L Tobing.

Adapun isi ketetapan Residen Tapanuli tadi ialah: Para Raja yang masih menjabat di pemerintahan, maupun mereka yang masih berhubungan dengan kegiatan wilayah publik di seluruh Tanah Batak, apapun jabatannya, diberhentikan dengan hormat. Para pejabat yang menggantikan untuk menyelenggarakan pemerintahan akan dipilih secara demokratis akan diatur Pemerintahan Republik Indonesia. Dengan demikian segala pemerintahan yang awalnya dijalankan menurut adat di Tanah Batak, dan masih diperkenankan dalam zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada tingkat Bona Bulu/ Huta, sejak saat bersejarah itu harus tersingkir dari wilayah publik, dan berpindah ke ranah seremonial perhelatan Adat Batak semata. Gelombang perubahan cepat yang melanda Tanah Batak, sejak Perang Paderi, penjajahan kolonial Hindia Belanda, penjajahan Fascist Jepang, revolusi dan perang kemerdekaan, hingga memasuki alam kemerdekaan; telah membuat masyarakat Batak dari Bona Bulu hingga ke tanah perantauan menerima kenyataan. Kini memasuki abad ke-21, mereka telah pula menerima beragam pengaruh lain, termasuk akibat globalisasi dunia (Internasionalisasi) dengan datangnya : pandangan baru kerohanian, serbuan budaya aneka bangsa, musik pop, ilmu pengetahuan dan teknologi aneka disiplin, yang mengantarkan umat manusia memasuki peradaban mutakhir pada millenium ketiga. Apapun bentuk pengaruh yang melanda masyarakat di Tanah Batak, ragam apapun bentuknya, mulai dari dahulu hingga sekarang, baik terhadap masyarakat yang masih berdiam di Bona Bulu maupun mereka yang telah berada di perantauan, kenyataan tampaknya masih tetap sebagaimana yang diajarkan oleh Ompu Simulajadi tentang semua yang ada, dan tetap saja serba-tiga keadaannya, yakni: Pertama. Dengan datangnya beragam pandangan keagamaan, masyarakat Batak di Bona Bulu dan perantauan lalu menganut ajaran monotheisme, yakni beriman pada Tuhan Yang Esa. Kepada mereka yang beragama Islam, ini berarti mengakui akan adanya Yang Maha Esa, artinya tiada Tuhan selain Allah; dan ini memperlihatkan Semangat Ketuhanan; yang dalam bahasa Arab diungkapkan dengan rangkaian kata: Hablum min al-Allah. Kedua. Dengan datangnya berbagai pengaruh beragam budaya dan ilmu pengeauan dari luar kedalam kehidupan masyarakat Batak dari Bona Bulu hingga perantauan, menyebabkan adat-istiadat warisan leluhur menjadi diperkaya, dan pengayaan tadi datang dari lingkungan-lingkungan Nasional dan Internasional. Berbagai pengaruh tadi membuat suku bangsa Batak memekarkan pandangan hidupnya: diawali kesukuan yang sempit, lalu berkembang menjadi Nasional yang luas dan Internasional yang menggelobal; sekaligus menjadikan mereka bagian dari masyarakat dunia. Kepada mereka yang beragama Islam ini memperlihatkan Semangat Kemanusiaan; yang dalam bahasa Arab diungkapkan dengan rangkaian kata: Hablum min al-Annas.

Ketiga. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan kemajuan ekonomi, sosial, dan budaya dalam masyarakat mulai tingkat Bona Bulu, tingkat Nasional, dan tingkat Internasional, menyebabkan suku bangsa Batak mulai dari Bona Bulu hingga perantauan turut menikmatinya. Karena itu ikut pula bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup, tidak semata di Bona Bulu, tetapi pula Nasional dan Dunia hingga ke tepian Alam Semesta. Bukankah dalam Al-Quran ul Karim tercantum dalam surat 2:11, yang menyerukan .jangan kamu membuat kerusakan di muka bumi., dan diulang kembali dalam berbagai surat menyusul. Kepada mereka yang beragama Islam ini memperlihatkan Semangat Memelihara Lingkungan Hidup; yang apabila diutarakan dalam bahasa Arab akan melahirkan rangkaian kata: Hablum min al-Alam. Dengan demikian Hablum min al-Allah, Hablum min al-Annas, dan Hablum min alAlam, menjadi Sekawan Pernyataan Umat (SPU), yang tidak asing lagi di telinga suku bangsa Batak beragama Islam, karena sejalan dengan pandangan Ompu Simulajadi tentang Alam Raya di Tanah Batak dahulu, tentang adanya: Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru yang mengitari kehidupan umat manusia. Hablum min al-Allah merupakan penyerahan diri insan kepada Khalik Sang Pencipta dalam arah vertical; kemudian Hablum min al-Annas ialah persaudaraan sesama insan yang horzontal di muka bumi, sedangkan Hablum min al-Alam adalah tanggungjawab umat manusia terhadap lingkungan hidup tempat keberadaan mahluk yang menampung semua dari tempat kaki berpijak hingga tepian Alam Raya. Ajaran agama apapun yang dianut suku bangasa Batak mengatur hubungan insan dengan Sang Khalik yang vertikal, sedangkan hubungan antara sesama manusia yang horizontal berawal dari Adat Batak di Bona Bulu, lalu berkembang menjadi kesepakatan nasional dalam negara, kemudian berkembang menjadi kesepakatan antarbangsa di tingkat dunia (Internasional); melahirkan adat-istiadat hidup umat manusia. Adapun hubungan umat manusia dengan lingkungan tempat berdiam, awalnya dimulai peradaban zaman batu, lalu berkembang menjadi peradaban zaman logam, kemudian berkembang menjadi peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi, disingkat Iptek. Dengan demikian Agama, Adatistiadat, dan Iptek yang telah dicapai umat manusia saat ini telah menjadi Sekawan Perangkat Uma (SPU) untuk selanjutnya meraih: kemajuan, perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia kedepan menelusuri abad ke-21. Khusus bagi suku bangsa Batak SPU ini juga merupakan kelanjutan dari trilogi pandangan Ompu Simulajadi memasuki millenium ketiga. Catatan : Paukpauk Hudali, Pagopago Tarugi; Na Tading Taulahi, Na Sego Tapauli. Penyusun : Ahmad Ribuan Dongoran (Pembagian dari Marga Siregar) Jalan Bangau sakti Gg.Sejahtera, Panam, Pekanbaru. (Kost Gue )

Вам также может понравиться

  • Tanah Batak: Sejarah dan Budaya
    Tanah Batak: Sejarah dan Budaya
    Документ26 страниц
    Tanah Batak: Sejarah dan Budaya
    Richi Ronaldo Manalu
    Оценок пока нет
  • SEJARAH BATAK
    SEJARAH BATAK
    Документ23 страницы
    SEJARAH BATAK
    Amelia Monica
    Оценок пока нет
  • Suku Batak
    Suku Batak
    Документ14 страниц
    Suku Batak
    ntachochozea7052
    Оценок пока нет
  • Makalah Rambu Solo
    Makalah Rambu Solo
    Документ17 страниц
    Makalah Rambu Solo
    Tri Haksagian Pasunggingan
    100% (2)
  • SUKU BATAK: IDENTITAS, BUDAYA DAN TRADISI
    SUKU BATAK: IDENTITAS, BUDAYA DAN TRADISI
    Документ16 страниц
    SUKU BATAK: IDENTITAS, BUDAYA DAN TRADISI
    Abhylll Mrdjn
    100% (1)
  • Toraja
    Toraja
    Документ11 страниц
    Toraja
    Fernandus Pagasing
    100% (1)
  • Makalah Suku Batak
    Makalah Suku Batak
    Документ21 страница
    Makalah Suku Batak
    Eris Riswandi
    Оценок пока нет
  • KEBUDAYAAN BATAK
    KEBUDAYAAN BATAK
    Документ13 страниц
    KEBUDAYAAN BATAK
    Venty Umi
    Оценок пока нет
  • Makalah Suku Toraja
    Makalah Suku Toraja
    Документ20 страниц
    Makalah Suku Toraja
    Rendhy Baderan
    90% (31)
  • SEJARAH SUKU BATAK
    SEJARAH SUKU BATAK
    Документ7 страниц
    SEJARAH SUKU BATAK
    Ardi S
    Оценок пока нет
  • Toraja
    Toraja
    Документ12 страниц
    Toraja
    Rizal Mattawang
    Оценок пока нет
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Документ110 страниц
    Bab Iv
    Annisah Tanjung
    Оценок пока нет
  • AsalMulaBatak
    AsalMulaBatak
    Документ3 страницы
    AsalMulaBatak
    Kathe Tamps
    Оценок пока нет
  • Asal Usul Mandailing Tidak Dari Batak Toba
    Asal Usul Mandailing Tidak Dari Batak Toba
    Документ11 страниц
    Asal Usul Mandailing Tidak Dari Batak Toba
    Afsa Sunug
    Оценок пока нет
  • KEKERABATAN
    KEKERABATAN
    Документ61 страница
    KEKERABATAN
    Leni Sirait
    Оценок пока нет
  • Suku Batak
    Suku Batak
    Документ6 страниц
    Suku Batak
    Takum Abdul Rohim
    100% (4)
  • Kebudayaan Buton Laode Andri Hariyana
    Kebudayaan Buton Laode Andri Hariyana
    Документ4 страницы
    Kebudayaan Buton Laode Andri Hariyana
    ﹺ                         ﹺ ﹺ                         ﹺ ﹺ                         ﹺ
    Оценок пока нет
  • Asal Masyarakat Tana Toraja
    Asal Masyarakat Tana Toraja
    Документ19 страниц
    Asal Masyarakat Tana Toraja
    Muhammad Risaldi
    Оценок пока нет
  • Suku Batak
    Suku Batak
    Документ10 страниц
    Suku Batak
    Jeffrey Nicholaus Tampubolon
    Оценок пока нет
  • ASAL USUL ROTE
    ASAL USUL ROTE
    Документ5 страниц
    ASAL USUL ROTE
    Yorri
    Оценок пока нет
  • 8 Etnis Di Sumatera Utara
    8 Etnis Di Sumatera Utara
    Документ11 страниц
    8 Etnis Di Sumatera Utara
    Allessandro Rumahorbo
    Оценок пока нет
  • Kel 3 Budaya Batak
    Kel 3 Budaya Batak
    Документ11 страниц
    Kel 3 Budaya Batak
    Ardi S
    Оценок пока нет
  • Makalah Kebudayaan Suku Batak
    Makalah Kebudayaan Suku Batak
    Документ12 страниц
    Makalah Kebudayaan Suku Batak
    Sari
    Оценок пока нет
  • KEBUDAYAAN SUKU BATAK
    KEBUDAYAAN SUKU BATAK
    Документ11 страниц
    KEBUDAYAAN SUKU BATAK
    Perum Simanjuntak
    Оценок пока нет
  • Makalah Suku Batak
    Makalah Suku Batak
    Документ4 страницы
    Makalah Suku Batak
    Nani Vaksin
    Оценок пока нет
  • Kota Kupang Kelompok A9
    Kota Kupang Kelompok A9
    Документ39 страниц
    Kota Kupang Kelompok A9
    Faradiba Febriani
    Оценок пока нет
  • Makalah Suku Buton
    Makalah Suku Buton
    Документ16 страниц
    Makalah Suku Buton
    AHMAD AL ISLAMI
    100% (3)
  • Suku Batak
    Suku Batak
    Документ11 страниц
    Suku Batak
    Revinaainin
    100% (1)
  • PROFIL SUKU BUTON
    PROFIL SUKU BUTON
    Документ16 страниц
    PROFIL SUKU BUTON
    AHMAD AL ISLAMI
    50% (2)
  • Budaya Suku Batak
    Budaya Suku Batak
    Документ27 страниц
    Budaya Suku Batak
    Fatimah Rahman
    100% (1)
  • Mengenal Budaya Rote
    Mengenal Budaya Rote
    Документ13 страниц
    Mengenal Budaya Rote
    ferren long
    Оценок пока нет
  • Asal Mula Nama Kepulauan Tukang Besi
    Asal Mula Nama Kepulauan Tukang Besi
    Документ8 страниц
    Asal Mula Nama Kepulauan Tukang Besi
    novita vianti
    Оценок пока нет
  • KEBUDAYAAN BATAK
    KEBUDAYAAN BATAK
    Документ13 страниц
    KEBUDAYAAN BATAK
    Puput Trisnayanti Inanto Putri
    Оценок пока нет
  • Budaya Nusantara
    Budaya Nusantara
    Документ38 страниц
    Budaya Nusantara
    Fitria Nur Hidayah
    Оценок пока нет
  • Makalah Suku Buton
    Makalah Suku Buton
    Документ16 страниц
    Makalah Suku Buton
    Rahmat Ibnu Umar
    Оценок пока нет
  • BudayaBatak
    BudayaBatak
    Документ26 страниц
    BudayaBatak
    Hendri
    Оценок пока нет
  • Mengenal SUku Batak
    Mengenal SUku Batak
    Документ11 страниц
    Mengenal SUku Batak
    Rinaa Nazrinaa
    Оценок пока нет
  • Pola Kepemimpinan Adat Di Negeri Passo
    Pola Kepemimpinan Adat Di Negeri Passo
    Документ5 страниц
    Pola Kepemimpinan Adat Di Negeri Passo
    Cathartica Jamco
    Оценок пока нет
  • Makalah Kearifan Lokal Budaya Batak
    Makalah Kearifan Lokal Budaya Batak
    Документ11 страниц
    Makalah Kearifan Lokal Budaya Batak
    FadriPaimin
    Оценок пока нет
  • Makalah Sosio-Antropologi Joshua
    Makalah Sosio-Antropologi Joshua
    Документ10 страниц
    Makalah Sosio-Antropologi Joshua
    joshuahutapea
    Оценок пока нет
  • Suku Batak
    Suku Batak
    Документ6 страниц
    Suku Batak
    Pujo Santoso
    Оценок пока нет
  • Budaya Minahasa
    Budaya Minahasa
    Документ22 страницы
    Budaya Minahasa
    Dwijulistri Kambotan
    Оценок пока нет
  • KEBUDAYAAN SUKU TORAJA
    KEBUDAYAAN SUKU TORAJA
    Документ19 страниц
    KEBUDAYAAN SUKU TORAJA
    Sasha Ve
    100% (1)
  • TAPANULI UTARA
    TAPANULI UTARA
    Документ49 страниц
    TAPANULI UTARA
    Yeremia Sihite
    Оценок пока нет
  • Sejarah Kota Kupang
    Sejarah Kota Kupang
    Документ5 страниц
    Sejarah Kota Kupang
    Muhammad Iqbal Nasution
    Оценок пока нет
  • Artikel Bahasa Batak Toba PDF
    Artikel Bahasa Batak Toba PDF
    Документ9 страниц
    Artikel Bahasa Batak Toba PDF
    Intan Cahya putri
    Оценок пока нет
  • Budaya Suku Toraja
    Budaya Suku Toraja
    Документ20 страниц
    Budaya Suku Toraja
    asma
    100% (1)
  • Makalah Adat Batak
    Makalah Adat Batak
    Документ11 страниц
    Makalah Adat Batak
    Evan's Enim
    Оценок пока нет
  • Pandangan Parmalim terhadap Alam
    Pandangan Parmalim terhadap Alam
    Документ15 страниц
    Pandangan Parmalim terhadap Alam
    Donny Paskah M. Siburian
    Оценок пока нет
  • Chapter II
    Chapter II
    Документ35 страниц
    Chapter II
    Syadam's Adjaa
    Оценок пока нет
  • SEJARAH SUKU BATAK
    SEJARAH SUKU BATAK
    Документ22 страницы
    SEJARAH SUKU BATAK
    Christofer Sihombing
    Оценок пока нет
  • SEJARAH SUKU BATAK
    SEJARAH SUKU BATAK
    Документ10 страниц
    SEJARAH SUKU BATAK
    Ikbal Bahtiar
    Оценок пока нет
  • Tugas Individu
    Tugas Individu
    Документ14 страниц
    Tugas Individu
    Deryck Evansz TighaDua
    Оценок пока нет
  • Sejarah Batak
    Sejarah Batak
    Документ9 страниц
    Sejarah Batak
    boypardede
    Оценок пока нет
  • Kesenian Summatra Utara
    Kesenian Summatra Utara
    Документ4 страницы
    Kesenian Summatra Utara
    Djewer Ghazali
    Оценок пока нет
  • Arsitektur Tradisional Batak
    Arsitektur Tradisional Batak
    Документ19 страниц
    Arsitektur Tradisional Batak
    Anggie Caradina Aruan
    100% (3)
  • Makalah Suku Batak
    Makalah Suku Batak
    Документ15 страниц
    Makalah Suku Batak
    Jum Ana Atia Mulya
    Оценок пока нет
  • Fenomena Arsitektur Tropis Arsitektur Timur: Rumah Adat Tongkonan Toraja
    Fenomena Arsitektur Tropis Arsitektur Timur: Rumah Adat Tongkonan Toraja
    Документ20 страниц
    Fenomena Arsitektur Tropis Arsitektur Timur: Rumah Adat Tongkonan Toraja
    Fahrul Salam
    Оценок пока нет
  • Merdeka Square (Indonesian)
    Merdeka Square (Indonesian)
    От Everand
    Merdeka Square (Indonesian)
    Рейтинг: 3.5 из 5 звезд
    3.5/5 (4)
  • Perjalanan ke Masa Lalu
    Perjalanan ke Masa Lalu
    От Everand
    Perjalanan ke Masa Lalu
    Оценок пока нет
  • Desain Atau Tehnik Pembuatan Kapal
    Desain Atau Tehnik Pembuatan Kapal
    Документ28 страниц
    Desain Atau Tehnik Pembuatan Kapal
    Abie Berbatop Siregar
    Оценок пока нет
  • Contoh Analisis Korelasi Pearson
    Contoh Analisis Korelasi Pearson
    Документ11 страниц
    Contoh Analisis Korelasi Pearson
    Abie Berbatop Siregar
    100% (1)
  • Desain Atau Tehnik Pembuatan Kapal
    Desain Atau Tehnik Pembuatan Kapal
    Документ28 страниц
    Desain Atau Tehnik Pembuatan Kapal
    Abie Berbatop Siregar
    Оценок пока нет
  • Soal Latihan Gesekan
    Soal Latihan Gesekan
    Документ6 страниц
    Soal Latihan Gesekan
    Abie Berbatop Siregar
    Оценок пока нет
  • Artikel, Makalah Dan Laporan Penelitian
    Artikel, Makalah Dan Laporan Penelitian
    Документ1 страница
    Artikel, Makalah Dan Laporan Penelitian
    Abie Berbatop Siregar
    Оценок пока нет
  • Fisika Dasar Gesekan
    Fisika Dasar Gesekan
    Документ7 страниц
    Fisika Dasar Gesekan
    Abie Berbatop Siregar
    Оценок пока нет
  • Skirip, Tesis, Disertasi Dan Perbedaannya
    Skirip, Tesis, Disertasi Dan Perbedaannya
    Документ4 страницы
    Skirip, Tesis, Disertasi Dan Perbedaannya
    Abie Berbatop Siregar
    Оценок пока нет
  • Udang Galah
    Udang Galah
    Документ3 страницы
    Udang Galah
    Abie Berbatop Siregar
    Оценок пока нет
  • Teori-Teori Kebenaran Filsafat
    Teori-Teori Kebenaran Filsafat
    Документ12 страниц
    Teori-Teori Kebenaran Filsafat
    Abie Berbatop Siregar
    Оценок пока нет
  • Teori Perilaku Produsen
    Teori Perilaku Produsen
    Документ15 страниц
    Teori Perilaku Produsen
    Abie Berbatop Siregar
    Оценок пока нет