Вы находитесь на странице: 1из 7

Nama Tugas Matakuliah

: Shinta Hadianti Mecca Dina : Teori Perancangan Arsitektur 2

Green Building : When Natures Revenge, How Architects Respond


Green Building adalah sebuah istilah yang beberapa tahun belakangan ini kerap muncul baik di majalah, surat kabar dan berbagai seminar. Selain green building muncul juga istilah lainnya berlabel green seperti green architecture, green construction yang mengarah pada sustainability (keberlanjutan). Semua istilah memiliki interpretasi yang berbeda-beda namun semuanya berujung pada usaha untuk mengurangi dampak bangunan terhadap lingkungan sekitarnya, terhadap kota dan terhadap alam dalam skala besar. Dan ini semua dimulai dari adanya kesadaran arsitek untuk kembali ke alam. Dalam beberapa literature terdapat beberapa pemahaman mengenai green building, seperti dibawah ini :
Green Building is a hig-performance property that considers and reduces its impact on the environment and human whealth. A green building os design to uses less energy and water and to reduce the life-cycle environmental impacts of the material used. This is achieved through better sitting, design, material selection, 1 construction, operation, maintenance, removal, and possible use. Green Building, also known as green construction or sustainable building, is the practice of creating structures and using processes that are environmentally responsible and resource-efficient throughout a building's life-cycle: from sitting to design, construction, operation, maintenance, renovation, and deconstruction. This practice expands and complements the classical building design concerns of economy, utility, 2 durability, and comfort. .

Sedangkan menurut pemahaman awam Green building adalah bangunan yang ramah atau berwawasan lingkungan yang bertujuan penghematan sumberdaya alam seperti energi dan air serta mengurangi siklus hidup dari penggunaan material yang berdampak buruk bagi lingkungan. Namun sekarang kita melihat trend yang terjadi terutama di Indonesia bagi sebagian orang awam termasuk saya konsep green lebih terkesan bagaimana bangunan melalui teknologi mengakali ketidaknyamanan yang disebabkan oleh lingkungan sehingga dapat menghemat energi terumata pemakaian listrik (karena biaya listrik mahal) dan air. Jika green building ini kemudian menjadi sebuah respons global masyarakat dunia terhadap isue lingkungan tentunya ada harapan lebih dari sekedar produk bangunan saja atau konsep green building hanya untuk mengejar pengakuan/sertifikasi saja? Dan kita mengetahui konsep green yang berkembang dan diterima di masyarakat adalah konsep dari dunia barat yang tentunya disesuaikan dengan nilai-nilai budaya barat semantara isue lingkungan sendiri tidak mengenal lokasi karena terjadi diseluruh dunia. 1

Pada abad 19, sebagai impact dari kemajuan dunia industri dimana terjadi eksploitasi terhadap sumber energi menyebabkan sumber energi batu bara semakin menipis dan juga menyebabkan pencemaran yang parah di kota-kota industri di dunia berdampak penurunan kualitas kesehatan. Dalam Architectural Design vol 71 No 4 Juli 2001 dijelaskan environmental movement dimulai pada abad 19. Kondisi inilah yang mungkin kemudian menimbulkan reaksi dari beberapa arsitek John Ruskin, William Morris dan Richard Lethaby dalam cara yang berbeda mulai mempertanyakan anggapan bahwa industrialisasi dapat memenuhi kebutuhan fisik dan spiritual manusia.
3

Abad ini ditutup dengan timbulnya pergerakan design yang

berkelanjutan (nature). Sedangkan dari energi adalah studi dan penelitian energi terbarukan (solar). 4 Dan pada abad ke 20 muncul beberapa arsitek pioneer seperti Frank Lyodd Wright, Hassan Fathy yang mengembangkan design bangunan low-energy melalui penggunaan material lokal sebagai respon masalah pemanasan global. Sedangkan Richard Roger dan Norman Foster mengembangkan prototype bangunan hemat energi yang terkekspresikan melalui penggunaan material kaca dan plastik untuk memodifikasi iklim.
6

Pada periode ini

pula (tahun 1940) subjek mengenai energi juga dimasukkan dalam kurikulum
5

perkuliahan arsitektur seiring dengan kemajuan industrialisasi yang menghasilkan perkembangan dalam material dan teknologi bangunan.

Lalu bagaimana arsitektur dianggap menjadi salah satu penyebab terjadinya Pemanasan Global? Dalam hal ini saya melihat bahwa kita hidup kita hidup di dunia modern konsumerisme yang berlebihan termasuk konsumsi space dengan pemilik modal yang menjadi pengatur dunia. Kondisi ini membawa perubahan dalam aktifitas berarsitektur yang telah mereduksi idealisme dalam mendesign antara taste vs uang, seni vs keuntungan, style vs kekuasaan. Mark Gottdiener dalam New Form of Consumption (1994) menjelaskan bahwa produksi ruang menurut berkembang dalam 2 cara. Pertama, produksi ruang terjadi secara

langsung dan merupakan bagian proses kapitalisasi dimana ruang pemukiman menjadi sebuah komoditas politik dan ekonomi (produk investasi yang bisa dibeli, dijual, disewakan, dibangun,dll). Kedua, melalui pekembangan teknologi maka realm natural menghilang dimana seluruh permukaan bumi difoto, dipetakan , dibagi menjadi segment, dihomogenkan, diberi label serta dikomoditaskan untuk kepentingan investasi kapitalis.6 Dari informasi ini yng mungkin tidak disadari adalah bahwa bagaimana kita bisa memiliki sesuatu yang sebenarya bukan milik kita karena alam : bumi dengan lahan, air, udara adalah milik Tuhan dan kita hanya menjaganya untuk diwariskan ke anak cucu kita (stewardship of nature). Dan ini sebenarnya menjadi tanggung jawab bersama tidak hanya arsitek namun seluruh umat manusia.

Jika kepentingan kapitalis mempengaruhi proses arsitektur dalam mendesign tentunya berpengaruh pula pada hasil akhir dari arsitektur tersebut. Ekses dari konsumsi ruang yang berlebihan adalah manusia menggunakan ruang lebih besar dari sebanarnya yang diperlukan. Dan konsisi ini terekspresikan dari 2

display arsitektural yang cenderung berlebihan dengan penggunaan teknologi maju untuk penciptaan ruang yang cenderung ambisius (diluar dari yang dibutuhkan) dengan level kenyamanan yang sangat tinggi. Ketua Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM, Ir. T. Yoyok Wahyu Subroto, M.Eng., Ph.D. dalam Talkshow Bumi Hijaumu, Action @ Kampus dengan tema 'Green is More' yang digelar di Fakultas Teknik UGM, Selasa (8/6/2010) menyampaikan bahwa perusakan ekologi yang dimulai sejak tahap konstruksi, penggunaan material besar-besaran secara ilegal hingga operasional bangunan modern, dipastikan telah memproduksi racun, karbon, dan limbah yang terabaikan manajemen pemeliharaannya. Bahkan, diperkirakan 33% adanya pencemaran gas CO2 berasal dari bangunan yang ada di dunia. 7 Namun belajar dari sejarah yang menjadi isu utama disini bukan pada kelangkaan sumber daya alam namun pada human action : wastes and consequencies. Arsitektur dianggap bertanggung jawab terhadap

setengah dari konsumsi sumberdaya alam di dunia dan kenyataan bahwa waste dari bangunan menjadi polusi bagi planet bumi dan mengancam kesehatan manusia tidak hanya penghuni bangunan, namun juga penghuni kota bahkan peradaban manusia.10 Pemanfaatan energi yang berlebihan dan tidak pada

tempatnya seperti kurangnya area hijau, eksplotasi sumber energi untuk suhu udara (pendinginan maupun pemanasan ruangan), akan berdampak pada manusia mulai masalah kesehatan dan psikis seperti sick building sindrom, penyakit akibat kondisi udara yang buruk, bahkan kematian Disini kita melihat adanya

korelasi dari penggunaan energi - kesehatan dan konservasi energi (energy consumption-healht-energy conservation). Dalam hal ini konsep green dbuilding dianggap sebagai solusi dimana konsep ini

menawarkan sebuah perubahan dalam membangun tempat spesifik (kerkaitan dengan design) melalui pendekatan pada aspek sosial budaya (cultural) dan iklim (climate). 8 Definisi Green Building yang berlaku di Indonesia menurut KONSIL BANGUNAN HIJAU INDONESIA atau GREEN BUILDING COUNCIL INDONESIA yang merupakan lembaga mandiri (non government) dan nirlaba (non-for profit) yang menyelenggarakan Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia berdasarkan perangkat penilaian khas Indonesia yang disebut GREENSHIP, adalah sebagai berikut :
Bangunan Hijau / Green Building adalah bangunan (baru) yang direncanakan dan dilaksanakan atau bangunan (sudah berdiri) yang dioperasikan dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan yang mempromosikan : 1. penggunaan lahan yang layak dan berkelanjutan 2. efisiensi dalam penggunaan sumber air 3. penghematan energi, penggunaan energi berkelanjutan dan melindungi atmosfir 4. penghematan bahan bangunan, mereduksi limbah dan tidak mengeksploitasi sumber daya alam, 5. Melindungi dan mempertahankan kualitas udara dalam 9 ruang, untuk menunjang kesehatan penghuni.

Terkait dengan konsep green ini yang sering kali muncul adalah menjadi pertanyaan adalah bagaimana mendesain sebuah bangunan yang green tanpa mengorbankan kaidah estetika bangunan. Di Indonesia melihat ke bangunan yang mengklaim sudah memenuhi kaidah green building terkesan malah justru tidak 3

hijau dan secara estetika juga kurang menarik. Dalam hal ini, peran arsitek menjadi sangat penting penting bagaimana menterjemahkan teknologi (yang biasanya tidak murah) sebagai solusi terhadap iklim kedalam seni dengan biaya yang lebih rasional dan hasil yang maksimal. Penggunaan energi terbarukan seperti energi matahari, biomass sebagai sumber energi di dalam bangunan dan pengolahan limbah juga patut diperhitungkan. Faktor manusia sebagai pengguna dan lingkungan sekitar juga menjadi perhatian terutama dalam penghematan energi yang dihasilkan dari sisi transportasi yang digunakan untuk mencapai bangunan tersebut.

Dalam konsep yang lebih luas konsep green building dan lainnya membawa persepective hubungan baru yang sistematis antara manusia dan alam. Dalam Agenda 21, the Habitat Agenda, the Earth Charter diusulkan sebuah kesepakatan argumentasi ethical : the world view of the developing world yakni sebuah pemahaman bersama dalam membangun dunia dimana bumi dan dunia dilihat sebagi sebuah organisme yang saling terkoneksi dalam segala hal dalam dimensi ruang dan waktu. 10 Dalam Architectural Design vol 71 No 4 Juli 2001 halaman 10 yang dijelaskan adanya perbedaan cara pandang mengenai sustainability antara masyarakat dunia barat dan timur (Asia). Bangsa Asia dan Afrika menerapkan konsep green secara insting dengan referensi yang berasal dari nilai-nilai kearifan lokal bukan penemuan Newton atau Eistein. Dan hasilnya dampak terhadap lingkungan per kapita lebih kecil dibanding dengan bangunan di dunia barat.
11

Dengan adanya pemahaman ini maka semua hubungan antar material di dunia termasuk ekosistem

manusia tergantung dari hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Intinya dari kesepakatan ini adalah terbentuknya masyarakat madani yang memiliki keharmonisan dengan alam. Pendekatan yang digunakan hampir sama dengan budaya tradional masyarakat di negara berkembang namun dalam konteks yang berbeda.

Terdapat 2 konsep dalam penciptaan masyarakat madani ini : 1. Interconnectedness. Keberadaan mahluk hidup tergantung mahluk hidup lainnya: manusia

,hewan,tumbuhan, dunia spriritual dll sehingga penting untuk menciptakan keselaran antara sesama mahluk hidup dan mahluk hidup dengan alam. Dalam lingkungan binaan interconnetedness dapat diekspresikan dalam 2 aspek. Pertama melalui pencapaian keselarasan phisik dengan alam semesta: pemahaman spiritual sebagai penghormatan akan alam yang terkeskpresikan dalam cara bagimana bangunan ditempatkan , dibangun dan penggunaan sumberdaya. Cara kedua adalah aspek kepentingan masyarakat dan kebutuhan comunal dan keselarasan antar anggota masyarakat. Pandangan sosial budaya dari masyarakat akan kondisi kemakmuran menentukan kebutuhan akan properti (rumah), ruang perkotaan dan arsitektural. Dalam masyarakat tradional kemakmuran tercapai dari hubungan sosial antar masyakat bukan dari yang dimiliki properti. 4

2. Impermanence. Konsep ketidakabadian dimana terdapat siklus hidup di alam: semua pasti mati tidak terkecuali bangunan. Hal ini merupakan inti dari beberapa agamabangunan sehingga bangunan

keagamaan dianggap kendaraan yang juga akan mati jika badan pengikutnya mati dan melalui proses inkarnasi akan hidup dalam badan yang lain. Bangunan dibuat dengan menggunakan material yang

dapat diperbaharui yang tersedia di lingkungan sekitar dalam jumlah yang sewajarnya/secukupnya dan hanya meninggalkan jejak footprint dari pondasi ketika bangunan tersebut mati. 10

Dari konsep ini kemudian masyarakat barat membentuk prinsip dari pembangunan yang berkelanjutan, yaitu: 1. 2. 3. membangun secukupnya yang diperlukan saja manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga alam tanggungjawab sosisal dalam masyarakat dalam menentukan apa yang penting bagi masyarakat bukan untuk kepentingan pribadi 4. mengingat dan penerimaan secara spiritual serta mendorong lingkungan buatan. 12

Sebenarnya ajakan kembali ke alam ini bukanlah sesuatu yang baru dalam arsitektur. Dari buku Synthesis of Notes yang dikarang oleh Christoper Alexander kita dapat mengetahui bagaimana suku-suku masyarakat kuno jauh sebelum dimulainya peradaban pada periode unselfconcious mendesign bentuk hunian rumah tinggal mereka secara sederhana yang merupakan bentuk adaptasi terhadap alam.13 Dimasa ini dapat dilihat alam menjadi batasan namun juga sebagi sumber ilmu dalam kehidupan masyarakat .
Vernacular architecture is a generalized way of design derived from Folk Architecture, it uses the design skills of 14 Architects to develop Folk Architecture. (Bruce Allsopp - 1977:6)

Arsitektur vernakular di Indonesia sendiri berkembang di masyarakat etnik tradisional. Inti dari sistem budaya ini adalah sistem kepercayaan keagamaan. Sistem nilai keduniawian dalam sistem sistem normatif yang mengatur perilaku perilaku aggotanya yang selanjutnya berpengaruh terhadap citra lingkungan dan arsitekturnya. Norma, Adat, Iklim, Budaya, potensi bahan setempat akan memberikan kondisi pada pengembangan Arsitektur Alam, Arsitektur Rakyat. Dari sini kemudian berkembang dan untuk menjawab kebutuhan masyarakaat dalam skala yang lebih besar maka Arsitektur Rakyat dikembangkan oleh masyarakatnya melalui sentuhan arsitek dan akhirnya lahir Arsitektur Vernakular. Dalam hal ini Iklim merupakan faktor yang penting, karena iklim membantu menentukan bentuk, baik secara langsung maupun dalam aspek budaya dan ritual. Arsitektur Vernakular mengandung kesepakatan yang

menanggapi secara positip terhadap Iklim Arsitektur ini juga memberikan prinsip dan simbol masa lalu

untukdapat ditransformasikan kedalam bentuk bentuk yang akan bermanfaat bagi perubahan perubahan tatanan sosial masa kini.

Dari informasi ini keberadaan arsitektur vernakular Indonesia sebagai salah satu produk budaya merupakan implementasi dari konsep dan kaidah prinsip pembangunan yang berkelanjutan yang telah teruji. Inilah bentuk green yang sesuai bagi masyakat kita. Namun mengapa masyarakat, arsitek dan pelaku industri bangunan lebih condong ke label yang ditentukan oleh dunia barat? Disilah terletak peran arsitek lokal kita untuk lebih menghargai nilai arsitektur bangsa sendiri. Para arsitek Indonesia hendaknya berani

memutuskan untuk bertindak mundur sejenak hingga sampai pada suatu titik perujudan bentuk arsitektur masa yang lampau yang penuh dengan nilai arif masyarakat lokal Indonesia untuk memberikan ruang kesempatan memperbaharui gagasan dan kemudian dapat menemukan bentuk arsitektur baru sehingga diharapkan Arsitektur Indonesia tetap eksis dalam evolusinya dengan tetap memiliki jati diri daripada sekedar larut dalam eforia arsitektru barat yang belum tentu cocok untuk masayarakat Indonesia.

KESIMPULAN:
Konsep Green Building / bangunan hijau merupakan respons global terhadap krisis energi dan keprihatinan masyarakat tentang lingkungan hidup. Sebagai sebuah konsep, konsep green building merupakan sebuah kesadaran awal dan kesadaran moral bagi arsitek dan perlaku dunia industri bangunan untuk mengurangi masalah-masalah lingkungan dan memegang teguh komitment Green konsep ini melalui penciptaan inovasi serta kreativitas dalam perancangan bangunan tanpa merusak lingkungan dan juga kemampuan menolak trend permintaan pasar yang jelas-jelas berdampak pada lingkungan. Mengingat konsep green

building merupakan produk barat, arsitek lokal seharusnya tidak meninggalkan arsitektur lokal yang sarat dengan nilai-nilai arif budaya dalam menjunjung alam yang dapat menjadi salah satu metode pendekatan untuk mencapai konsep green building. Namun nilai yang lebih penting dari konsep green buiding ini adalah komitmen seluruh masyarakat : dunia akademisi arsitektur, praktisi arsitektur, pemilik modal, pengambil keputusan sampai masyarakat untuk melestarikan dan menjaga alam (bumi, lahan, sumber energi : air, udara, sinar matahari) dengan perilaku sadar lingkungan, hemat energy, dll dimulai dari cara yang paling sederhana yang dapat dilakukan secara pribadi maupun kolektif sampai ke skala kota. Hal ini dapat dicapai bilamana masyarakat memiliki pengetahuan dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari (life style) sehingga tercipta generasi masa depan yang lebih baik dan meninggalkan perilaku yang mengakibatkan pemborosan energi dan tidak ramah lingkungan. Green is not just a color or a movement; it is a way of life 6

DAFTAR PUSTAKA

1. Yudelson, Jerry; The Green Building Revolution; Island Press, USA; 2007, pages 13 2. http://www.scribd.com/doc/29753909/The-Green-Building 3. Zeumer, Stark, Fuchs, Hegger; Energi Manual , Sustainable Architecture; Edition Detail, Munich; 2009; pages 111 4. Sumber Zeumer, Stark, Fuchs, Hegger; Energi Manual , Sustainable Architecture; Edition Detail, Munich; 2009; pages 112 5. Mark Gottdiener dalam New Form of Consumption (1994), 6. http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2773 7. Architectural Design Vol 71 No 4 Juli 2001; John Wiley & Son Limited; 2001; page 22. 8. Architectural Design Vol 71 No 4 Juli 2001; John Wiley & Son Limited; 2001; page 14. 9. http://www.gbcindonesia.org/resource.html?start=9 10. Architectural Design Vol 71 No 4 Juli 2001; John Wiley & Son Limited; 2001; page 40-42 11. Architectural Design Vol 71 No 4 Juli 2001; John Wiley & Son Limited; 2001; page 10 12. Architectural Design Vol 71 No 4 Juli 2001; John Wiley & Son Limited; 2001; page 42-45 13. Synthesis of Notes yang dikarang oleh Christoper Alexander 14. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/viewFile/15713/15705

Вам также может понравиться