Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Panga
n
UNSUR KETAHANAN
PANGAN
Berorientasi pada rumah tangga dan
1
2
3
4
5
individu
Lahan
Infrastruktur
Teknologi, keahlian, dan wawasan
Energi
Dana
Lingkungan fisik/iklim
Relasi kerja
Lahan
Keterbatasan lahan pertanian memang sudah merupakan
salah satu persoalan serius dalam kaitannya dengan
ketahanan pangan di Indonesia selama ini. Menurut staf
khusus dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Herman
Siregar, lahan sawah terancam semakin cepat berkurang.
Alasannya, pencetakan sawah baru menemui banyak
kendala, termasuk biayanya yang mahal, sehingga
tambahan lahan pertanian setiap tahun tidak signifikan
ketimbang luas areal yang terkonversi untuk keperluan
non-pertanian. Ironisnya, laju konversi lahan pertanian
tidak bisa dikurangi, bahkan terus meningkat dari tahun ke
tahun, sejalan denganpesatnya urbanisasi (yang didorong
oleh peningkatan pendapatan per kapita dan imigrasi dari
perdesaan ke perkotaan), dan industrialisasi. Bahkan
pernah dimuat di Kompas Senin, 9 April 2007, hal.17
bahwa pemerintah daerah di sejumlah daerah tertentu
telah mengajukan permohonan alih fungsi lahan sawah
irigasi ke BPN seluas 3,099 juta ha, dan menurut
penghitungan di Kompas tersebut hal ini bisa membuat
14,26 juta GKG atau 10 juta ton beras berpotensi hilang.
Konversi lahan sawah secara besar-besaran ini sebagian
telah disetujui oleh DPRD setempat dalam bentuk
peraturan daerah. Hingga saat ini konversi lahan yang
Infrastrukt
ur
Khomsan (2008) dalam tulisannya di Kompas mengatakan
bahwa lambannya pembangunan infrastruktur boleh jadi
ikut berperan mengapa pertanian di Indonesia kurang
kokoh dalam mendukung ketahanan pangan. Menurutnya,
pembangunan infrastruktur pertanian menjadi
syarat penting guna mendukung pertanian yang maju. Ia
mengatakan bahwa di Jepang, survei infrastruktur selalu
dilakukan untuk menjamin kelancaran distribusi produk
pertanian. Perbaikan infrastruktur di negara maju ini terus
dilakukan sehingga tidak menjadi kendala penyaluran
produk pertanian, yang berarti juga tidak mengganggu
atau mengganggu
arus pendapatan ke petani. Irigasi (termasuk waduk
sebagai sumber air) merupakan bagian terpenting dari
infrastruktur pertanian. Ketersediaan jaringan irigasi yang
baik, dalam pengertian tidak hanya kuantitas tetapi juga
kualitas, dapat meningkatkan volume produksi dan kualitas
komoditas pertanian, terutama tanaman pangan, secara
signifikan
Energi
Energi sangat penting untuk kegiatan pertanian lewat dua
jalur, yakni langsung dan tidak langsung. Jalur langsung
adalah energi seperti listrik atau BBM yang digunakan oleh
petani dalam kegiatan bertaninya, misalnya dalam
menggunakan traktor. Sedangkan tidak langsung adalah
energi yang digunakan oleh pabrik pupuk dan pabrik yang
membuat input-input lainnya dan alat-alat transportasi dan
komunikasi Yang sering diberitakan di media masa
mengenai pasokan energi yang tidak cukup atau terganggu
yang mengakibatkan kerugian bagi petani sejak reformasi
adalah, misalnya, gangguan pasokan gas ke pabrik-pabrik
pupuk, atau harga gas naik yang pada akhirnya membuat
harga jual pupuk juga naik. Selain itu, kenaikan harga BBM
selama sejak dimulainya era reformasi membuat biaya
transportasi naik yang tentu sangat memukul petani, yang
tercerminkan dalam menurunnya nilai tukar petani (NTP).
Dana
Penyebab lainnya yang membuat rapuhnya ketahanan
pangan di Indonesia adalah keterbatasan dana. Diantara
sektor-sektor ekonomi, pertanian yang selalu paling sedikit
mendapat kredit dari perbankan (dan juga dana investasi)
di Indonesia. Berdasarkan SP 2003, tercatat hanya sekitar
3,06% dari jumlah petani yang pernah mendapatkan kredit
bank, sedangkan sisanya membiayai kegiatan bertani
dengan menggunakan uang sendiri. Ada dua alasan utama
kenapa selama ini perbankan enggan memberikan kredit
kepada petani, terutama petani-petani makanan pokok
seperti padi/beras. Alasan pertama adalah karena
pertanian padi bukan merupakan suatu bisnis yang
menghasilkan keuntungan besar, dan ini berarti bukan
jaminan bagi perbankan bahwa pinjamannya bisa
dikembalikan.19Sedangkan alasan kedua adalah tidak
adanya aset yang bisa digunakan sebagai agunan seperti
rumah atau tanah
Lingkungan
Fisik/Iklim
Tidak diragukan bahwa pemanasan global turut berperan
dalam menyebabkan krisis pangan, termasuk di Indonesia.
Pertanian, terutama pertanian pangan, merupakan sektor
yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim,
mengingat pertanian pangan di Indonesia masih sangat
mengandalkan pada pertanian sawah yang berarti sangat
memerlukan
air
yang
tidak
sedikit
(Samhadi,
2007).Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan
lebih dari 17.000 pulau,Indonesia sangat dirugikan dengan
pemanasan
global.
Selain
kemarau
berkepanjangan,meningkatnya frekuensi cuaca ekstrim,
naiknya risiko banjir akibat curah hujan yang tinggi, dan
hancurnya
keanekaragaman
hayati
mengakibatkan
beberapa pulau kecil dan kawasan pantai yang produktif
terancam tenggelam. Dampak langsung dari pemanasan
global terhadap pertanian di Indonesia adalah penurunan
produktivitas dan tingkat produksi sebagai akibat
terganggunya siklus air karena perubahan pola hujan dan
meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim yang
mengakibatkan pergeseran waktu, musim, dan pola tanam
(Samhadi, 2007)
Relasi
Kerja
Relasi kerja akan menentukan proporsi nisbah ekonomi
yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di
pedesaan. Dalam kata lain, pola relasi kerja yang ada di
sektor pertanian akan sangat menentukan apakah petani
akan menikmati hasil pertaniannya atau tidak. Untuk
mengidentifikasi bagaimana pola relasi kerja yang berlaku
selama ini di Indonesia bisa dilakukan dengan memakai
beberapa indikator, diantaranya nilai tukar petani
(NTP).Hubungan kerja sama yang dilakukan oleh Indonesia
baik secara bilateral maupun multilateral dapat berdampak
besar dalam proses pembangunan ketahanan pangan
nasional.Hal ini dikarenakan adanya bentuk kerjasama
antar negara yang melibatkan sektor-sektor pangan seperti
perikanan (salah satu penyumbang terbesar dalam
ketahanan pangan) misalnya hubungan kerjasama antara
Indonesia dan Jepang dalam ekspor ikan tuna dan
sebagainya.
Pasokan daging di Jakarta sebenarnya bisa dipenuhi dari hewan ternak yang ada di Nusa Tenggara
Timur (NTT) atau Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun karena ongkos transportasi dari sana ke
Jakarta lebih mahal dibanding mendatangkan daging dari Darwin, Australia, maka pemerintah lebih
memilih untuk mengimpornya. Oleh karenanya, akan lebih murah mendatangkan daging impor
dibandingkan mendatangkan dari wilayah Indonesia.
Total impor daging sapi tahun 2013 ditetapkan 80.000 ton atau 15 persen dari total kebutuhan. Jumlah
ini menurun dibandingkan kuota tahun 2012 sebesar 19 persen, tahun 2011 sebesar 35 persen dan
tahun 2010 masih diatas 50 persen. Tahun 2014, tahun dimana dicanangkan tercapainya
swasembada daging sapi, ternyata kementerian pertanian masih menargetkan kuota impor daging
sapi sebesar 10 persen dari total kebutuhan dalam negeri.
Kebutuhan daging sapi ini sebagian besar diimpor dari tiga negara, yakni Australia sebesar 75 persen,
Selandia Baru sekitar 20 persen dan AS sebesar 5 persen. Mahalnya harga daging sapi dan
kebutuhan akan impor daging sapi, semakin menegaskan kembali tentang pentingnya menjaga
ketahanan pangan. Menjaga ketahanan pangan tidak hanya menyangkut produksi daging sapi saja,
tetapi juga menyangkut sistem tata niaga daging sapi.Pada sisi lain, importir daging juga perlu
ditertibkan agar pasokan daging tidak terganggu. Hal ini bisa kita simak dari kenaikan daging yang
sudah terjadi sejak pertengahan November sampai menimbulkan mogok dikalangan pedagang.
Padahal saat itu permintaan masih normal karena belum ada lonjakan permintaan menghadapi natal
dan tahun baru. Sementara itu, pasokan daging lokal juga tidak terganggu. Oleh sebab itu, kenaikan
harga yang tiba tiba itu menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah untuk dicarikan
solusi secepatnya. Dalam upaya mengatasi masalah kebutuhan daging dalam negeri, pemerintah
perlu memperbaiki data statistic kebutuhan konsumsi daging dan kemampuan penyediaan daging
lokal.
Beras Plastik Bentuk Teror Sosial Pemerintah Gagal Jaga Ketahanan Pangan
JAKARTA (SK) Informasi beredarnya beras plastik di pasar tradisional diduga bertujuan untuk
mendorong masyarakat dari biasanya membeli beras curah menjadi beras premium. Informasi beras
plastik ini juga dianggap sebagai bentuk teror sosial kepada masyarakat, sekaligus mencerminkan
ketidakmampuan pemerintah menjaga ketahanan pangan nasional.Pengamat kebijakan publik
Ichsanuddin Noorsy mengatakan, pemerintah tidak mampu menjalankan UU No 18 Tahun 2012
tentang Pangan di mana diamatkan di dalamnya pemerintah harus menjamin ketahanan pangan
yang berkualitas.Jadi bukan hanya ketersediaan pangan untuk masyarakat yang menjadi tugas
pemerintah. Karenanya, berkaca dari kasus ini pemerintah telah gagal melakukan hal tersebut, kata
Noorsy kepada Suara Karya di Jakarta, Kamis (28/5).Noorsy mengatakan, teror beras plastik pada
masyarakat merupakan keberhasilan pihak-pihak tertentu untuk menutupi kelemahan pemerintah
dalam menciptakan ketahanan pangan.Dia mengatakan, perbedaan hasil uji laboratorium Polri dan
Sucofindo menimbulkan kekhawatiran masyarakat untuk mengonsumsi beras curah sehingga saat
ini banyak masyarakat yang beralih kepada beras premium yang dijual di pasar modern (super
market/mini market).Teror sosial ini cukup berhasil jika sasarannya membuat masyarakat beralih
membeli dan mengonsumsi beras premium, katanya.Seharusnya, menurut Noorsy, dengan adanya
perbedaan hasil uji laboratorium tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan
melakukan pengujian kembali terhadap beras curah dari berbagai pasar induk beras, khususnya di
DKI Jakarta. Sebab, jika hanya melontarkan pernyataan peredaran beras plastik sebenarnya tidak
ada, pemerintah sama saja lepas tangan padahal teror terhadap masyarakat mengenai hal tersebut
masih menghantui masyarakat.Kalau memang pemerintah berpihak pada rakyat, segeralah
selesaikan teror beras plastik ini. Dengan demikian, pemerintah bisa mewujudkan asas
pemerintahan
yang
baik,
dan
bukan
malah
lepas
tangan,
ujarnya.
http://www.suarakarya.id/2015/05/29.html