Вы находитесь на странице: 1из 68

11 Oktober 2016

KEBIJAKAN ENERGI
NASIONAL
2003-2020

TATARAN PENGELOLAAN ENERGI


TATARAN
KONSTITUSI-LEGISLASI-REGULASI
(Domain)
Negara
(MPR)

DPR dan
Pemerintah

Pemerintah

PROGRAM

KEBIJAKAN

KONSTITUSI
UUD 1945

Usulan Amandemen
PLATFORM POLITIK
PRESIDEN (SBY)

LEGISLASI ENERGI

UU BIDANG ENERGI

RUU

REGULASI ENERGI
PERATURAN PEMERINTAH
PERPRES
PERMEN

PUBLIK

PROGRAM KABINET
INDONESIA BERSATU
(Pelaksanaan Platform)

PROGRAM
SEKTOR ENERGI
Melaksanakan KEN

RPP Menyiapkan
Legislasi
Menyiapkan
Regulasi Energi
Melaksanakan
Regulasi Energi

KEBIJAKAN ENERGI
NASIONAL
(KEN)

Agar pembangunan energi dapat terlaksana dengan


baik maka disusun Kebijakan Energi Nasional (KEN)
yang terpadu dengan sektor lainnya dengan
mempertimbangkan perubahan lingkungan strategis
baik di tingkat nasional, regional dan global.
Tujuan utama disusun KEN adalah untuk
menciptakan keamanan pasokan energi (energy
security of supply) nasional secara berkelanjutan dan
pemanfaatan energi secara efisien.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ketergantungan


terhadap satu jenis sumber energi tertentu harus terus
dikurangi dengan mengoptimalkan pemanfaatan
sumber energi alternatif terutama yang dapat
diperbarui dan penggunaan teknologi energi yang
efisien ditingkatkan.
Dalam KEN, pemenuhan kebutuhan energi di dalam
negeri menjadi prioritas utama dan pemberdayaan
daerah dalam pengelolaan energi akan ditingkatkan.

Kebijakan Energi Nasional (KEN) merupakan


pembaruan dari Kebijakan Umum Bidang
Energi
(KUBE)
tahun
1998,
yang
penyusunannya
dilakukan
bersama-sama
dengan stakeholders di bidang energi. Selain
itu, KEN juga diharapkan menjadi acuan
utama dalam penyusunan Rancangan UndangUndang tentang Energi yang sedang disiapkan.

LAMPIRAN A
PERKEMBANGAN KEBIJAKAN ENERGI
1981

1987

1991

1998

2003

Kebijakan Umum
Bidang Energi

Kebijakan Umum
Bidang Energi

Kebijakan Umum
Bidang Energi

Kebijakan Umum
Bidang Energi

Kebijakan Energi
Nasional

Kebijakan Utama
1. Intensifikasi
2. Diversifikasi
3. Konservasi
4. Indeksasi

Kebijakan Penunjang
1.Penelitian dan
Pengembangan
2.Industri Energi
3.Iklim Investasi
Kebijakan
Pemanfaatan Akhir
4.Industri
5.Transportasi
6.Rumah Tangga

1.
2.
3.

Intensifikasi
Diversifikasi
Konservasi

1.
2.
3.

Intensifikasi
Diversifikasi
Konservasi

Kebijakan
Penunjang
1.Industri Energi

Kebijakan
Penunjang
1.Industri Energi

2.Iklim Investasi
3.Harga Energi

2.Iklim Investasi
3.Harga Energi

Kebijakan
Pemanfaatan Akhir
4.Industri
5.Transportasi
6.Rumah Tangga

Kebijakan
Pemanfaatan Akhir
4.Industri
5.Transportasi
6.Rumah Tangga

Kebijakan Utama
1. Diversifikasi
2. Intensifikasi
3. Konservasi
4. Harga Energi
5. Lingkungan
Kebijakan Pendukung
1. Investasi
2. Insentif &
Disinsentif
3. Standarisasi &
Sertifikasi
4. Pengembangan
Infrasturktur
5. Peningkatan
Kualitas SDM
6. Sistem Informasi
7. Penelitian dan
Pengembangan
8. Kelembagaan
9. Pengaturan

Kebijakan
1. Intensifikasi
2. Diversifikasi
3. Konservasi

Kebijakan Pendukung:
1. Infrastruktur
2. Penetapan mekanisme
harga keekonomian
3. Perlindungan kaum
dhuafa
4. Lingkungan
5. Kemitraan Pemerintah
dan swasta
6. Pemberdayaan
masyarakat
7. Litbang dan diklat
8. Koordinasi untuk
optimalisasi energi mix

Tantangan globalisasi dan reformasi telah membentuk


restrukturisasi sektor energi agar dapat meningkatkan
efisiensi dan transparansi dengan menerapkan kompetisi
dalam pengelolaannya, sekaligus memberikan akses energi
seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia.
Inti restrukturisasi sektor energi adalah penerapan
mekanisme pasar yang didasarkan pada kerangka peraturan
perundang-undangan dan kelembagaan yang baru. Untuk
masyarakat yang tidak mampu, pemerintah tetap
berkewajiban melindungi masyarakat tersebut.

Produk hukum yang telah dihasilkan dalam


proses restrukturisasi sektor energi
adalah sebagai berikut:
UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi, merupakan produk restrukturisasi
sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) diikuti
dengan pembentukan Badan Pelaksana
Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) dan Badan
Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH Migas)
serta produk-produk hukum terkait lainnya.

UU
No.
20
tahun
2002
tentang
Ketenagalistrikan
merupakan
produk
restrukturisasi bidang Tenaga Listrik yang
diikuti dengan pembentukan Badan Pengawas
Pasar Tenaga Listrik serta produk-produk
hukum terkait lainnya.

UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran


yang mengatur penggunaan tenaga nuklir
untuk maksud damai diikuti dengan
pembentukan Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN) sebagai badan pelaksana dan Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sebagai
badan pengawas, serta produk-produk hukum
terkait lainnya.

UU No. 27/2003 tentang Panas Bumi yang mengatur


pengusahaan Panas Bumi di Indonesia.
Peraturan dan perundang-undangan yang diperlukan dan
masih dalam proses penyusunan adalah RUU
Pertambangan Umum (yang didalamnya termasuk
batubara) RUU Pemanfaatan Energi (yang di dalamnya
termasuk energi baru dan terbarukan), dan RUU Sumber
Daya Air (yang di dalamnya termasuk pemanfaatan air
baik secara komersial maupun non-komersial).

Kondisi Saat Ini


Energi mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan
sosial, ekonomi dan lingkungan untuk pembangunan
berkelanjutan serta merupakan pendukung bagi kegiatan
ekonomi nasional.
Penggunaan energi di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Sedangkan
akses ke energi yang andal dan terjangkau merupakan prasyarat utama untuk meningkatkan standar hidup masyarakat.

Keterbatasan akses ke energi komersial telah menyebabkan


pemakaian energi per kapita masih rendah dibandingkan
dengan negara-negara lainnya. Konsumsi per kapita pada
saat ini 3 SBM yang setara dengan kurang lebih sepertiga
konsumsi per kapita rata-rata negara ASEAN dan separuh
dari keseluruhan rumah tangga belum terlistriki.
Dua pertiga dari total kebutuhan energi nasional berasal
dari energi komersial dan sisanya berasal dari biomassa
yang digunakan secara tradisional.

BOE = Barrel of Oil Equivalent (= SBM)


adalah unit energi yang didefinisikan
sebagai jumlah panas yang dibebaskan
dengan membakar 1 barrel crude oil = 5,8
juta BTU = 6,12 Giga joule = 1.700 KWH .
TOE = Tonne of Oil Equivalent adalah unit
energi yang didefinisikan sebagai jumlah
panas yng dibebaskan dengan membakar
1 ton crude oil yang nilainya mendekati 42
Giga joule.

Penggunaan energi yang belum optimal ditunjukkan oleh


elastisitas penggunaan energi yang masih di atas 1 (satu)
dan intensitas pemakaian energi yang masih lebih tinggi
dibandingkan dengan intensitas rata-rata negara-negara
ASEAN.
Pada tahun 2002, Indonesia memerlukan sekitar 4.7 SBM
untuk menghasilkan PDB sebesar US$ 1000, sedangkan
rata-rata negara ASEAN hanya memerlukan kurang-lebih
3.9 SBM untuk menghasilkan PDB yang sama.

Sumberdaya minyak bumi sekitar 86,9 milyar barel


minyak (billion barrel oil), gas bumi sekitar 384,7
TSCF, batubara sekitar 50 miliar ton, panas bumi
sekitar 27 ribu MW, tenaga air sekitar 75 ribu MW.
Energi terbarukan antara lain energi biomasa, energi
surya, dan energi angin masih berlimpah.
Diperkirakan
seperempat
daratan
Indonesia
mengandung deposit mineral radioaktif terutama
uranium.

Cadangan terbukti minyak bumi pada tahun


2002 sekitar 5 miliar barel dan dengan tingkat
produksi minyak saat ini sekitar 500 juta barel,
cadangan tersebut akan habis dalam 10 tahun
mendatang.
Cadangan terbukti gas bumi sekitar 90 TSCF
dengan tingkat produksi tahun 2002 sebesar 3
TCF maka cadangan tersebut akan habis dalam
30 tahun.

Cadangan terbukti batubara sekitar 5 miliar ton


dengan tingkat produksi tahun 2002 sekitar 100
juta ton akan dapat digunakan selama 50 tahun.
Potensi tenaga air sebesar 75 ribu MW yang
saat ini baru dimanfaatkan sebesar 4200 MW.
Cadangan terbukti panas bumi sebesar 2300
MW yang saat ini baru dimanfaatkan sebesar
800 MW.

Penggunaan BBM meningkat pesat, terutama untuk


transportasi, yang sulit digantikan oleh jenis energi
lainnya. Ketergantungan kepada BBM masih tinggi, yaitu
60 persen dari konsumsi energi final.
Pembangkitan tenaga listrik masih mengandalkan BBM
dan batubara karena jaringan pipa gas bumi masih
terbatas, lokasi potensi tenaga air yang jauh dari
konsumen dan pengembangan panas bumi belumdidukung
oleh peraturan dan perundangundangan yang kondusif.

Kebutuhan energi dalam negeri selama ini dipasok dari produksi


dalam negeri dan impor yang pangsanya cenderung meningkat.
Komponen terbesar dari impor energi adalah minyak bumi dan
BBM. Kemampuan produksi lapangan minyak bumi menurun
sehingga membatasi tingkat produksinya.
Dalam satu dekade terakhir, kapasitas produksi kilang BBM
dalam negeri tidak bertambah, sedangkan permintaan BBM di
dalam negeri meningkat dengan cepat. Pada tahun 2002 peranan
minyak bumi impor untuk kebutuhan bahan baku kilang BBM
sudah mencapai 35 persen sedangkan peranan BBM impor untuk
pemakaian dalam negeri mencapai 30 persen.

Penggunaan energi terbarukan belum besar, kecuali tenaga


air, karena belumkompetitif dibandingkan dengan energi
konvensional. Harga listrik yang dibangkitkan dari PLTS,
PLTB, PLTMH dan PLT energi terbarukan lainnya masih
lebih tinggi daripada yang dibangkitkan dengan BBM.
Sampai tahun 2002, kapasitas terpasang dari PLTS sebesar
5 MW, dari PLTB sebesar 0,5 MW, dari PLTMH sebesar
54 MW dan dari PLT terbarukan lainnya (biomassa)
sebesar 302,5 MW.

Harga energi menuju keekonomiannya, kecuali minyak


tanah untuk rumah tangga dan listrik 450 VA yang masih
terus disubsidi. Pada tahun 2002, subsidi BBM cukup
besar sehingga mencapai kurang lebih 36 persen dari
harga pokok BBM, dengan perkataaan lain, harga BBM
dalam negeri hanya 64 persen dari harga yang seharusnya.
Namun demikian, perlindungan kepada masyarakat
dhuafa masih diberikan oleh Pemerintah melalui upaya
pemberian subsidi kepada minyak tanah dan listrik 450
VA.

Identifikasi Permasalahan
Kekuatan:
Potensi pasokan sumber daya energi seperti tenaga air, panas bumi,
gas bumi dan batubara masih besar tetapi tingkat pemanfaatannya
belum optimal.
Sumber daya manusia di bidang energi relatif banyak dan belum
dimanfaatkan secara maksimal merupakan modal dasar. Kegiatan
pengembangan SDM di bidang energi dalam bentuk penelitian dan
pengembangan akan tetap ditingkatkan baik oleh perguruan tinggi
maupun lembaga penelitian lainnya.

LAMPIRAN B
POTENSI ENERGI NASIONAL
JENIS ENERGI
FOSIL
Minyak
Gas
Batubara

ENERGI
NON FOSIL
Tenaga Air
Panas Bumi
Mini/Micro
hydro
Biomass
Tenaga Surya
Tenaga Angin

SUMBER DAYA

CADANGAN

PRODUKSI
(per Tahun)

86,9 miliar
barel
384.7 TSCF

9 miliar barel

500 juta barel

RASIO
CAD/PROD
(tanpa
eksplorasi)
Tahun
18

188 TSCF

3.0 TSCF

62

57 miliar ton

19,3 miliar ton

130 juta ton

147

SUMBER DAYA

SETARA

PEMANFAATA
N

KAPASITAS
TERPASANG

845,00 juta
BOE
219,00 juta
BOE
458,75 MW

75,67 GW

6.851,00 GWh

4.200,00 MW

27,00 GW

2.593,50 GWh

800,00 MW

458,75 MW

54,00 MW

49,81 GW

302,40 MW

4,80
kWh/m2/hari
9,29 GW

5,00 MW
0,50 MW

Kelemahan:
Lokasi berbagai sumber energi terpisah secara
geografis dengan lokasi konsumennya. Dengan
demikian, pemanfaatan sumber-sumber energi
tersebut memerlukan adanya infrastruktur energi
untuk akses ke sumber energi (primer dan sekunder).
Infrastruktur energi tersebut, khususnya seperti
jaringan tenaga listrik dan jaringan pipa gas masih
terbatas.

Cadangan minyak bumi sudah semakin terbatas


terutama bila tidak ditemukan cadangan yang
baru. Menurut data status 1 Januari 2002,
cadangan minyak bumi terbukti Indonesia hanya
tinggal 5 miliar barel, di samping cadangan
potensial yang sebesar 5 miliar barel.
Dalam satu dekade terakhir ini, penambahan
cadangan minyak bumi baru hanya dalam jumlah
kecil yang setara dengan laju produksinya.

Hal
yang
mengkhawatirkan
adalah
ketergantungan baik ekonomi nasional dan
kebutuhan energi dalam negeri terhadap
minyak bumi masih tinggi. Dengan demikian,
jika tingkat produksi minyak bumi masih
seperti saat ini dan penemuan cadangan baru
tidak ada, maka cadangan minyak bumi
tersebut akan habis dalam10 tahun.

Sebagian besar produksi gas bumi dan batubara masih


diekspor daripada dimanfaatkan di dalam negeri. Pada
tahun 2002, gas bumi yang diekspor mencapai lebih
dari 50 persen dari produksinya yang mencapai 3 TCF.
Demikian pula ekspor batubara adalah 75 persen dari
produksinya.
Dilain pihak, sebagian besar (58,5%) cadangan sumber
daya batubara berupa lignite (batubara peringkat
rendah) sehingga tidak ekonomis untuk di ekspor.

Penerapan kebijakan fiskal dinilai kurang berpihak pada


upaya pemanfaatan energi non-fosil, antara lain energi baru
dan terbarukan. Pemanfaatan energi baru dan terbarukan
kurang berkembang terutama karena harga energinya yang
tidak dapat bersaing dengan harga energi fosil.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemberlakuan insentif fiskal
terhadap energi baru dan terbarukan antara lain
pengurangan pajak, bea masuk, dll, perlu dilakukan agar
pemanfaatan energi baru dan terbarukan dapat bersaing
secara ekonomis.

Lemahnya daya dukung dari riset dan


pengembangan (R&D) dalam bidang energi
dan tidak terintegrasinya sinergi antar pihak
dalam bidang R&D sering menimbulkan
duplikasi (pengulangan) penelitian.
Hal tersebut lebih dikarenakan masih
lekatnya ego sektoral di antara pihak yang
mengakibatkan melemahnya penguasaan
IPTEK di bidang energi.

Peluang:
Perkembangan ekonomi nasional semakin membaik setelah krisis
ekonomi tahun 1997. Sejak tahun 1998 sampai dengan 2002,
ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2.3 persen per tahun. Sedangkan
pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan
masih sekitar 4 persen.
Selanjutnya, ekonomi Indonesia diperkirakan dapat tumbuh dengan
laju rata-rata sekitar 6 persen per tahun sampai dengan tahun 2020.
Pertumbuhan ekonomi yang semakin baik akan menjadi daya tarik
investasi swasta yang diperlukan dalam pembangunan sektor energi.

Pemanfaatan energi jika diarahkan untuk


mendorong kegiatankegiatan perekonomian
di desa (income generating activities) maka
tidak mustahil akan bermunculan kekuatan
ekonomi baru yang akhirnya akan memperkuat
kekuatan ekonomi nasional.

Penganekaragaman sumber energi di dalamnegeri masih


sangat terbuka untuk dimanfaatkan mengingat
ketersediaan potensi pasokan sumber daya energi yang
besar, khususnya energi terbarukan.
Ketersediaan cadangan gas bumi dan batubara yang
cukup besar juga mempunyai kontribusi yang nyata bagi
upaya penganekaragaman sumber energi. Harga uranium
di dunia menjadi lebih murah akibat berakhirnya perang
dingin dan melimpahnya sumber produksi uranium.

Pembangunan jaringan pipa gas bumi, terminal LNG dan


fasilitas regasifikasinya, dan sarana pengangkutan CNG
secara terpadu akan membuka peluang peningkatan
penggunaan gas baik untuk pembangkit listrik, proses
industri, dan lain-lain yang berpotensi mengurangi
ketergantungan kepada BBM dan mengurangi polusi.
Secara garis besar infrastruktur ini diperlukan untuk
menghubungkan antara sumber-sumber
gas dan
konsumen guna keperluan seluruh wilayah di Indonesia.

Harga jual batubara peringkat rendah sangat murah dan


tidak ekonomis untuk diekspor. Di lain pihak, batubara
peringkat rendah mempunyai cadangan terbukti sekitar
2,8 miliar ton yang dapat membangkitkan listrik di
mulut tambang sebesar 3000 MW selama 50 tahun.
Oleh karena itu, pembangkit listrik dengan
menggunakan batubara peringkat rendah dapat
menaikkan nilai tambah batubara tersebut antara lain
dengan proses upgrading briquette coal.

Indonesia negara terkaya di dunia akan potensi panas


bumi. Potensi panas bumi Indonesia terdapat di 51
lokasi yang tersebar di hampir seluruh kepulauan,
dengan 17 lokasi merupakan lapangan enthalpi tinggi
yang dapat membangkitkan tenaga listrik 20.000 MW
selama 30 tahun.
Pemanfaatan langsung atau tidak langsung energi
panas bumi ini akan mensubsitusi setara 9 milyar
barel BBM selama 30 tahun.

Potensi konservasi energi di semua sektor


pemakai masih tinggi mengingat pemanfaatan
teknologi energi yang efisien seperti lampu
hemat energi masih terbatas.
Hal tersebut tercermin pada intensitas
pemakaian energi Indonesia yang masih lebih
tinggi dibandingkan dengan intensitas rata-rata
dari negara-negara ASEAN.

Ancaman:
Keterbatasan infrastruktur energi yang menyebabkan rendahnya konsumsi
energi per kapita merupakan hambatan utama bagi pertumbuhan ekonomi.
Infrastruktur yang menghubungkan wilayah penghasil gas seperti
Kalimantan Timur dan Sumatera ke Jawa belum tersedia, demikian juga
untuk wilayah lainnya. Infrastruktur batubara juga masih terbatas.
Demikian pula, banyak jaringan transmisi listrik yang belum terpasang yang
mampu menghubungkan wilayah-wilayah pembangkit dengan lokasi
konsumennya. Keterbatasan akses kepada listrik menyebabkan separuh dari
keseluruhan rumah tangga belum terlistriki. Sebagai akibatnya, sebagian
besar masyarakat masih menggunakan biomasa secara tradisional.

Ketergantungan sektor transportasi kepada BBM


masih sangat tinggi dan sulit dialihkan kepada sumber
energi lainnya. Penggunaan energi di sektor
transportasi secara nasional masih cukup tinggi, yaitu
kurang lebih 30 persen dan hampir seluruhnya berasal
dari BBM.
Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan sektor
transportasi yang berarti akan meningkatkan
ketergantungan pada BBM.

LAMPIRAN C
PERANAN BBM MASIH 65 % DALAM
PEMAKAIAN ENERGI FINAL NASIONAL - 2003

Intensitas energi yang masih tinggi menunjukkan


bahwa efisiensi pemakaian energi masih rendah,
sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan
memerlukan energi dan infrastrukturnya yang lebih
besar.
Belum dimanfaatkannya berbagai teknologi yang
efisien dan harga energi yang masih rendah pada saat
ini menyebabkan penggunaan energi belum produktif.

Elastisitas Energi dan IntensitasEnergi


Indeks yang biasa digunakan untuk mengukur kebutuhan
energi terhadap perkembangan ekonomi sebuah negara
adalah Elastisitas Energi dan Intensitas Energi.
Elastisitas energi adalah pertumbuhan kebutuhan energi
yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi (GDP) tertentu. Angka elastisitas energi di bawah
1,0 dicapai apabila energi yang tersedia telah dimanfaatkan
secara produktif.

Menurut sebuah riset elastisitas energi di Indonesia adalah


sebesar 1,84 . Artinya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
sebesar 1%, maka konsumsi energi Indonesia harus naik rata-rata
1,84%. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia 6%, maka
diperlukan tambahan penyediaan energi sebesar 11%.
Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN seperti Thailand
angka elastisitasnya 1,16, Singapura 1,1. Di negara-negara maju
elastisitas ekonomi berkisar antara 0,1% hingga 0,6%. Di Jerman
bahkan untuk kurun waktu 1998-2003 angka elastisitasnya
-0,12%, artinya kenaikan perkonomian justru menurunkan
kebutuhan akan energi.

Intensitas Energi adalah energi yang dibutuhkan untuk


meningkatkan gross domestic product (GDP) atau produk
domestik bruto. Semakin efisien suatu negara, maka
intensitasnya akan semakin kecil. Intensitas Energi
Indonesia sebesar 482 TOE (ton-oil-equivalent) per sejuta
dollar AS. Artinya untuk menghasilkan nilai tambah (GDP)
1 juta dollar AS, Indonesia membutuhkan energi 482 TOE.
Sebagai perbandingan, intensitas energi Malaysia 439
TOE/juta dollar AS, dan intensitas energi rata-rata negara
maju yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerja Sama
Ekonomi dan Pembangunan) hanya 164 TOE/juta dollar
AS.

Angka elastisitas dan intensitas energi yang relatif


tinggi ini menunjukkan bahwa pemakaian energi di
Indonesia termasuk tidak efisien atau boros. Kedua
angka tersebut mengindikasikan rendahnya daya saing
industri di Indonesia karena terjadi inefisiensi energi
yang berdampak pada tingginya biaya produksi.
Dalam formulasi yang agak berbeda, Energi di
Indonesia masih banyak digunakan untuk kegiatan
yang tidak atau kurang menghasilkan.

LAMPIRAN H
PERBANDINGAN ELASTISITAS PEMAKAIAN
ENERGI 1998-2003

Catatan: Diolah dari data BP Statistical Review of World

Iklim investasi yang belum kondusif akan menghambat


pengembangan industri energi. Pengembangan industri
energi memerlukan investasi dalam jumlah yang besar.
Dalam setiap tahun, dana yang diperlukan untuk mengelola
industri migas diperkirakan mencapai US$ 5-6 miliar.
Sedangkan untuk menjamin pasokan listrik yang andal
sampai dengan tahun 2010 diperlukan pendanaan kurang
lebih US$ 34 miliar. Ketersediaan pendanaan Pemerintah
untuk sektor energi semakin terbatas, sehingga partisipasi
investor swasta semakin dibutuhkan.

Parameter efisiensi penggunaan energi:


1. Elastisitas energi: perbandingan antara laju pertumbuhan
ekonomi dengan pertumbuhan konsumsi energi di suatu negara.
Semakin kecil angka elastisitas energi maka semakin efisien
penggunaan energi di suatu negara.
2. Intensitas energi: jumlah konsumsi energi per produksi domestik
bruto (PDB). Semakin rendah angka intensitas energi semakin
efisien penggunaan energi di suatu negara. Di Indonesia angka
elastisitas energi 2,6 dan intensitas energi 565 TOE (Tonne of
Oil Equivalent) relatif tinggi menunjukkan bahwa pemakaian
energi boros.

LANGKAH KEBIJAKAN
Untuk mencapai sasaran dan strategi
KEN dilakukan langkah kebijakan:
1. Intensifikasi
2. Diversifikasi
3. Konversi

Langkah Intensifikasi
dilakukan untuk meningkatkan
ketersediaan energi sejalan dengan meningkatnya laju
pembangunan dan populasi.
Langkah Diversifikasi dilakukan untuk meningkatkan pangsa
penggunaan batubara dan gas yang cadangannya relatif lebih
banyak serta meningkatkan pangsa energi terbarukan karena
potensinya melimpah dan termasuk energi bersih baik yang berasal
dari dalam dan luar negeri, dan antar berbagai jenis energi untuk
menciptakan campuran energi yang optimal dan manfaat ekonomi.
Langkah Konservasi dilakukan dengan meningkatkan efisiensi
pemakaian energi dengan mengembangkan dan memanfaatkan
teknologi hemat energi baik di sisi hulu maupun sisi hilir.

LAMPIRAN I
ENERGI MIX TIMPANG
(2005)

LAMPIRAN K1
SASARAN ENERGI MIX NASIONAL 2020

OPTIMALISASI
PENGELOLAAN
ENERGI

Pelaksanaan ketiga langkah tersebut perlu diikuti dengan


langkah-langkah pendukung:
Pengembangan infrastruktur energi untuk meningkatkan
ketersediaan energi
agar lebih
banyak konsumen
mempunyai akses terhadap energi
Penetapan mekanisme pasar untuk setiap kegiatan
energi dari sisi produksi sampai konsumsi
Perlindungan masyarakat tidak mampu terutama
masyarakat miskin perkotaan, daerah terpencil dan
perdesaan

Pelestarian lingkungan untuk menjaga agar dampak

kegiatan energi terhadap lingkungan sekecil mungkin


Kemitraan pemerintah dan swasta untuk melaksanakan
pembangunan sektor energi terutama yang berskala besar
Pemberdayaan masyarakat untuk mengembangkan
energi secara mandiri terutama di perdesaan dan daerah
terpencil
Pengembangan litbang dan diklat untuk
mempersiapkan teknologi dan SDM dalam
pengembangan energi

INSTRUMEN KEBIJAKAN
INSTRUMEN LEGISLASI
Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi
Mengatur mengenai perlakuan yang sama terhadap
seluruh pelaku usaha serta diterapkannya mekanisme
pasar secara bertahap
Meningkatkan efisiensi pengelolaan minyak dan gas
bumi serta menghindari conflict of interest melalui
pemisahan
fungsi
Pemerintahan
dengan
fungsi
pengusahaan
Menghilangkan sistim monopoli yang selama ini
diberikan kepada PERTAMINA sebagai satu-satunya
Perusahaan Negara.

Membentuk Badan Pelaksana untuk melakukan


pengendalian kegiatan usaha hulu migas
berdasarkan
kontrak
kerjasama.
Badan
Pengatur untuk melakukan pengaturan dan
pengawasan
terhadap
penyediaan
dan
pendistribusian BBM dan gas bumi serta
pengangkutan gas bumi melalui pipa pada
kegiatan usaha hilir
Mengalihkan Pertamina menjadi perusahaan
perseroan (Persero) agar mampu bersaing baik
nasional maupun internasional

Undang-Undang No.20/2002 tentang Ketenagalistrikan


Mengatur bisnis industri ketenagalistrikan di wilayah yang
menerapkan kompetisi dan non kompetisi; membentuk Badan
Pengawas Pasar Tenaga Listrik yang mempunyai fungsi
pengaturan dan pengawasan bisnis penyediaan tenaga listrik di
wilayah
yang
telah
menerapkan
kompetisi;
Pemerintah/Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan
masing-masing mempunyai fungsi pengaturan dan pengawasan
usaha penyediaan tenaga listrik di wilayah yang tidak atau belum
menerapkan kompetisi; pemberdayaan daerah dalam penyusunan
Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD).

Undang-undang No. 27/2003 tentang Panas Bumi


Mengatur pengelolaan dan pengembangan sumber
energi panas bumi baik sebagai komoditi tambang
maupun sebagai sumber energi bagi pemanfaatan
langsung dan tidak langsung (listrik)
Mengatur pemberian izin menurut tahapan kegiatan
dan atau total project oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

Undang-Undang
No.10/1997
tentang
Ketenaganukliran
Mengatur pemanfaatan energi nuklir termasuk
pengaturan pembangunan PLTN, pembentukan
Badan Pelaksana (BATAN) dan Badan Pengawas
(BAPETEN)
Pemanfaatan
tenaga
nuklir
harus
memperhatikan asas pembangunan nasional,
keselamatan,
keamanan,
ketentraman,
keselamatan pekerja dan masyarakat serta
perlindungan lingkungan.

UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok


Pertambangan Umum
Mengatur tahapan perizinan Kuasa Pertambangan (KP) menurut
tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan eksploitasi.
Memberikan peluang kepada pihak ketiga melakukan perjanjian
kerjasama dengan Pemerintah sebagai kontraktor (Kontrak Karya)
Mengatur penggolongan bahwa galian (a) strategis, (b) vital, dan
(c) non strategis dan vital
Seluruh perizinan kecuali golongan (c) diterbitkan oleh Pemerintah
Pusat.

UU No. 18 Tahun 2002 tentang SistemNasional


Penelitian, Pengembangan dan Penerapan
Iptek
Mengatur penguasaan, pemanfaatan dan pengembangan iptek
Memperkuat daya dukung iptek untuk mempercepat dan
meningkatkan daya saing dan kemandirian
Kelembagaan iptek terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga
litbang, badan usaha dan lembaga penunjang
Sumber daya iptek terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi
manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan
informasi, serta sarana dan prasarana iptek.

Undang-Undang No.3/2002 tentang Pertahanan Negara


Mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan negara
dengan menyatakan bahwa segala sumber daya nasional yang
berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan,
nilai-nilai, teknologi dan dana dapat didayagunakan untuk
meningkatkan kemampuan pertahanan negara.
Pendayagunaan segala sumber daya alam dan buatan harus
memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan, keragaman dan
produktivitas lingkungan hidup.

Undang-Undang No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat


dan Daerah
Undang-undang ini menata kembali sumber-sumber penerimaan daerah
sehubungan dengan pelaksanaan desentralisasi, terutama penerimaan
negara dari sumber daya alam antara lain sektor pertambangan umum,
minyak bumi dan gas bumi. Perimbangan keuangan pusat dan daerah
masing-masing sebagai berikut:
Sektor Pertambangan Umum, pusat 20% dan daerah 80%
Sektor Minyak Bumi, pusat 85% dan daerah 15% setelah dikurangi
komponen pajak
Sektor Gas Bumi, untuk pusat 70% dan daerah 30% setelah dikurangi
komponen pajak

Undang-Undang No.22/1999 tentang Pemerintahan


Daerah
Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan,
termasuk
kewenangan dalampenyusunan kebijakan dan perencanaan
energi daerah, kecuali kewenangan dalambidang
pendayagunaan sumber daya alamserta teknologi tinggi
yang strategis,

Peraturan lainnya
PP dan Keppres tentang Migas
PP No. 42/2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi, mengatur tentang pengawasan terhadap kegiatan usaha
hulu migas oleh Badan Pelaksana agar pengambilan sumberdaya migas
yang merupakan milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan
yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
PP No. 67/2002 tentang Badan Pengatur Penyediaan dan
Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha
Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa, mengatur tentang pengawasan
terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM dan
pengangkutan gas bumi melalui pipa yang pelaksanaan dilakukan oleh
Badan Pengatur, agar ketersediaan dan distribusi bahan bakar yang
ditetapkan Pemerintah dapat terjamin di seluruh Indonesia serta
meningkatkan pemanfaatan gas bumi dalam negeri.

PP No. 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk


PERTAMINA menjadi Persero, mengatur
tentang pengalihan bentuk Pertamina yang
didirikan berdasarkan UU No. 8 tahun 1971
menjadi Perseroan (Persero) sebagaimana
dimaksud dengan UU No. 9 tahun 1969.

PP dan Keppres tentang Ketenagalistrikan


PP No. 10/1989 ttg Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, mengatur
tentang jenis dan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPL), tata cara
permohonan IUPL, serta kewajiban dan tanggung jawab pemegang IUPL.
PP No. 25/1999 tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik, mengatur tentang
Usaha Penunjang Tenaga Listrik, izin usaha Penunjang Tenaga Listrik,
syarat-syarat penyediaan dan pengusahaan, instalasi dan standarisasi
ketenagalistrikan, serta hubungan pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan
dan pemegang izin usaha ketenagalistrikan dengan masyarakat
PP No. 53/2003 tentang Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik, mengatur
tentang pembentukan, status, kedudukan fungsi, tugas dan wewenang
Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik

Вам также может понравиться