Вы находитесь на странице: 1из 71

Rehabilitation for Aphasia

Stefano F. Cappa, Ana Ins Ansaldo, dan Adith Duran


Oleh :
Marliani Afriastuti
Pembimbing :
dr. Handojo Pudjowidyanto, Sp.S

Pendahuluan
Gangguan berbahasa, merupakan kemampuan untuk
mengungkapkan isi batin menggunakan kata dan
kalimat, dan untuk memahami isi batin orang lain yang
diungkapkan dalam bahasa, adalah konsekuensi yang
sering dari kerusakan dan disfungsi otak yang didapat
atau yang terjadi dalam masa perkembangan.
Pada dewasa, penyebab paling sering dari gangguan
berbahasa yang didapat adalah penyakit
serebrovaskuler, diikuti cedera kepala dan tumor.
Gangguan berbahasa juga merupakan gambaran klinis
yang menonjol dari beberapa penyakit neurologis lain,
seperti demensia.

Saat ini gambaran tentang rehabilitasi pada afasia hanya


pada afasia yang didapat yang disebabkan oleh
kerusakan otak fokal pada dewasa.
Dampak dari gangguan berbahasa dalam neurologi lebih
luas, bagaimanapun juga, dan cakupan rehabilitasi pada
afasia lebih luas dari pada yang dijelaskan di sini.
Rehabilitasi gangguan berbicara yang disebabkan oleh
gangguan fungsi motorik juga tidak dibahas disini;
pembedaannya dari afasia cukup jelas dalam kasus
disartria perifer, namun menjadi membingungkan pada
gangguan berbicara yang disebabkan oleh kerusakan
kortikal (anartria, afemia, apraxia bicara), yang dapat
berhubungan dengan afasia.

Afasia: epidemiologi dan prognosis


Data yang tersedia mengenai insidensi dan prevalensi
gangguan berbahasa yang didapat terbatas.
Studi stroke Copenhagen mengindikasikan bahwa afasia
tampak pada 38% dari sejumlah pasien stroke akut
secara konsekutif.
Berdasarkan audit stroke Ontario, 35% dari pasien yang
datang ke rumah sakit karena stroke akut menunjukkan
gejala afasia pada saat pulang.
Afasia berat merupakan prediktor keluaran fungsional
yang buruk pada stroke.

Afasia juga merupakan prediktor tingkat kematian yang


meningkat (dua kali lipat) pada sebuah penelitian follow
up 18 bulan.
Informasi mengenai insidensi afasia lebih sedikit pada
trauma kepala tertutup dan penyebab kerusakan otak
lainnya, seperti tumor otak dan reseksi tumor otak, yang
mengenai area bahasa, meskipun terdapat bukti bahwa
gangguan berbahasa mungkin lebih ringan pada pasien
tumor bila dibandingkan dengan pasien stroke pada
lokasi dan luas lesi yang sama; sebagai tambahan,
pemulihan sempurna lebih cenderung terjadi pada afasia
karena trauma dibandingkan afasia vaskuler.

Beberapa derajat pemulihan dapat diharapkan terjadi


secara spontan pada sebagian besar pasien afasia
sekunder karena penyakit otak non progresif.
Faktor prognostik yang paling penting untuk [emulihan
afasia adalah derajat afasia dan luas lesi, sementara
usia berperan hanya bila berhubungan dengan faktor
komorbiditas lain.
Seperti lokasi lesi, studi baru-baru ini oleh Marcotte dan
kawan-kawan menunjukkan korelasi negatif yang
signifikan antara kerusakan pada area Broka dengan
derajat pemulihan afasia.
Sebaliknya, tidak terdapat hubungan antara ukuran lesi
dan pemulihan afasia yang telah diamati.

Dasar teori rehabilitasi afasia


Rehabilitasi afasia telah berkembang dari pendekatan
empirik ke intervensi yang dikendalikan oleh teori.
Secara umum, transfer ilmu pengetahuan yang kurang
dari penelitian dasar ke praktek klinis telah mengganggu
penelitian afasia hingga kini, namun keadaan mulai
berubah.
Beberapa prinsip yang mendasari alasan rehabilitasi
afasia didiskusikan pada sesi ini.
Usaha keras untuk mengobati gangguan berbahasa
memiliki sejarah yang panjang, dan pendekatannya
sangat heterogen.

Masing-masing mencerminkan posisi teoritis


sehubungan dengan bahasa dan otak, meskipun jika hal
ini tidak diketahui secara eksplisit oleh advokat dari
pendekatan terapi spesifik.
Terapi afasia pada sebagian besar buku teks dimulai dari
bagian riwayat, dimana hampir selalu meliputi diskusi
mengenai pendekatan lokasi dan pendekatan holistik.
Pembedaan dasar ini tidak berhubungan hanya dengan
organisasi otak, namun seringkali menunjukkan
pemikiran yang berlawanan mengenai proses alami
berbahasa itu sendiri.
Secara umum, pendekatan lokalisasi fokus pada aspek
struktural bahasa dan tingkat organisasinya, seperti
fonologi, leksikon, dan sintaks.

Pemrosesan komponen bahasa ini berhubungan


substrat saraf khusus yang berbeda (area, atau lebih
baru lagi, jaringan skala besar).
Akibat yang wajar dari posisi ini adalah bahwa bahasa
tidak tergantung pada fungsi kognitif lain, baik dalam hal
pemrosesan pemrosesan maupun representasi saraf.
Pada sisi lain, pendekatan holistik menekankan sifat
kesatuan bahasa sebagai alat komunikasi, hubungannya
dengan aspek kognitif yang lain, dan sifat distribusi
substrat sarafnya.
Konsekuensi salah satu dari posisi teoritis ini adalah
sederhana.

Oleh karena itu, berdasarkan posisi lokalisasi, efek


kerusakan pada substrat bahasa adalah hilangnya fungsi
tertentu.
Tujuan ideal dari terapi ini adalah pengembalian fungsi
melalui pembelajaran ulang.
Jika ini tidak memungkinkan, pendekatan alternatif
adalah kompensasi, dengan cara proses utuh.
Pendekatan holistik, pada sisi lain, menekankan
kemungkinan kompensasi melalui prosedur seperti
stimulasi, fasilitasi, dan lain-lain.
Pada tingkat neuron, efek rehabilitasi tergantung pada
baik pemulihan fungsional dari area atau jaringan
tertentu (jika mungkin), atau pada pengambilalihan
fungsi oleh regio atau sirkuit otak lain, yang ada pada
fenomena neuoplastisitas.

Pendekatan lokalisasi terfokus pada terapi atau stimulasi


fungsi yang terganggu pada tingkat struktural, dimana
intervensi holistik bertujuan untuk meningkatkan
komunikasi secara keseluruhan, dengan berfokus pada
tingkat aktifitas dan partisipasi.
Dengan memperhatikan prosedur terapi, pendekatan
lokalisasi khususnya fokus pada olahraga dan latihan,
pendekatan holistik pada perubahan komunikasi ekologi.
Kedua pendekatan sebenarnya dapat dipertimbangkan
untuk saling melengkapi.

Intervensi holistik dapat diaplikasikan pada tahap awal


dan pada afasia berat yang bertujuan untuk
memperbaiki aspek bahasa yang spesifik dan tidak
spesifik, dan komunikasi yang terhambat atau tidak
berfungsi.
Intervensi bahasa spesifik, bertujuan untuk melatih
kembali kemampuan berbahasa yang hilang, juga dapat
menunjukkan inti terapi bahasa atau diaplikasikan
sebagai pelengkap pendekatan holistik.
Sebagai tambahan, pendekatan komunikasi dan
intervensi berdasarkan lingkungan sosial (sebagai
contoh, bekerja dengan anggota keluarga, dan pada
tingkat komunitas) dapat diterapkan untuk mengurangi
akibat dari gangguan berbahasa dalam aktifitas dan
partisipasi.

Restitusi versus kompensasi


Apa mekanisme yang mendasari pemulihan, apakah
spontan atau pengaruh terapi?
Apakah restitusi fungsional, kompensasi fungsional, atau
keduanya?
Kebingungan berkepanjangan akan hal ini sebagian
berhubungan dengan penggunaan yang sangat luas
untuk istilah ini; lebih jauh, terkadang hal ini juga
mencerminkan kebingungan antar konsep bahasa dan
komunikasi.
Harus ditekankan bahwa beberapa derajat perbaikan
pada tingkat komunikasi dapat diamati bahkan pada
kondisi restitusi fungsi bahasa yang hilang total.

Sejumlah contoh yang baik dari program rehabilitasi yang


dikembangkan dari perspektif ini telah menunjukkan
pemulihan kemampuan komunikasi mungkin terjadi
bahkan bila fungsi bahasa masih sangat terganggu.
Yang telah diketahui secara luas dari pendekatan ini
adalah Promoting Aphasics Communicative
Effectiveness (PACE); pendekatan fragmatik lain yang
berhubungan telah menunjukkan efikasinya dalam
kontribusi terhadap pemulihan kemampuan komunikasi
meskipun masalah bahasanya berat.
Contoh lain dari perspektif ini, pada tingkat sintaks,
adalah mengurangi pendekatan sintaks menjadi
agramatisme, yang meningkatkan terapi berorientsi pada
komunikasi, dan terutama bermanfaat untuk merawat
agramatisme berat

Pada sisi lain dari spektrum adalah usaha untuk


membangun kembali struktur sintaktik khusus.
Contoh dari pendekatan ini adalah program yang
berdasarkan pada pelatihan kalimat yang sintaksisnya
kompleks, dengan tujuan untuk memperoleh
pemerataan seluruh struktur bahasa yang terkait, yang
ditingkatkan ketika terapi berubah dari konstruksi yang
lebih rumit menjadi kurang rumit.
Kedua pendekatan terhadap terapi afasia ini
(mengurangi sintaks dan pelatihan struktur kompleks)
dianggap tergantung pada efek pelatihan; namun,
pendahulu berfokus pada mengembangkan kompensasi
strategi komunikatif, dimana yang selanjutnya
mentargetkan restitusi kemampuan untuk memproses
strutur sintaktik.

Perbedaan mencolok antara restitusi dan kompensasi


berimplikasi pada mekanisme neurologis yang
mendasarinya.
Sehingga, menurut definisi Goldstein, restitusi muncul
ketika substrat yang rusak pulih fungsinya; sebaliknya,
kompensasi, yang diamati pada tingkat perilaku,
dianggap tergantung pada mekanisme penyesuaian dan
adaptasi.
Secara khusus, posisi Goldstein adalah bahwa restitusi
tidak dapat muncul melalui pengambil alihan oleh
substrat lain.
Namun, hal ini masih menimbulkan pertanyaan.

Bukti dari studi lesi dan pencitraan menunjukkan bahwa


pemulihan afasia dapat dipertahankan baik oleh bagian
dari jaringan bahasa di hemisfer kiri yang tidak
mengalami kerusakan, oleh area homolog di hemisfer
kanan (juga dikenal sebagai kompensasi atau pengambil
alihan oleh hemisfer kanan), atau oleh kombinasi kedua
mekanisme.
Sejauh mana setiap fenomena ini terjadi mungkin
tergantung pada faktor individu, faktor lesi, dan faktorfaktor yang berhubungan dengan jenis stimulasi yang
diberikan.

Hilangnya bahasa vs gangguan


fungsi bahasa
Jika rehabilitasi berdasarkan pada belajar kembali,
pengartiannya adalah bahwa kerusakan otak berakibat
pada hilangnya representasi bahasa spesifik.
Ini adalah upaya rasional yang mendasari untuk
mengajari kembali bahasa kepada orang yang afasia.
Dari segi sejarah, ini merupakan pendekatan yang tertua
pada terapi afasia; strategi dari lapangan perkembangan
bahasa yang terganggu pada bayi dan pembelajaran
bahasa kedua digabungkan pada pendekatan ini, yang
awalnya berkembang luas di Eropa dan Amerika Utara,
dan mengalami keterpurukan pada abad ke duapuluh.

Selanjutnya, sekitar tahun 1970an, pendekatan psikolinguistik


pada penilaian dan terapi afasia membangkitkan kembali
perspektif ini.
Lebih spesifik, pendekatan psikolinguistik memungkinkan
deskripsi gangguan bahasa yang rinci dan rumit dalam
bingkai model psikolinguistik proses normal; jenis analisis ini
memungkinkan diagnosis fungsional berdasarkan identifikasi
lokus yang terganggu pada model yang digunakan.
Sebagai tambahan, pendekatan ini memberikan alasan
untuk pengobatan berdasarkan pengajaran kembali
representasi yang hilang, yang artinya adalah latihan
berulang-ulang.

Pada satu kasus, pendekatan psikolinguistik terhadap


terapi defisit leksikal fonologi menyebabkan terjadinya
pembelajaran kembali yang selektif pada hal yang diterapi,
dengan tidak adanya bukti pemerataan untuk kata-kata
yang berhubungan secara semantik.
Kebutuhan penting pada pendekatan ini-yang cocok
dengan terapi pekerjaan rumah dan terapi komputerisasi
dibawah pengawasan spesialis rehabilitasi-menyebabkan
gangguan belajar akan tetap ada.
Ini merupakan topik yang penting dalam penelitian, yang
telah dilakukan pendekatan akhir-akhir ini secara lebih
rumit dibandingkan dengan penelitian tradisional yang
menilai kemampuan belajar menghafal pada subyek afasia

Banyak pendekatan terapi, disamping itu, berdasarkan


pada konsep bahwa bahasa tidak hilang, namun hanya
tidak dapat diakses dalam kondisi standar.
Ini merupakan gagasan utama dari program terapi
berdasarkan stimulasi atau fasilitasi dari proses
bahasa.
Sumber dari gagasan ini dapat ditelusuri ke konsep
teoritis yang diperkenalkan kepada afasiologi oleh
Hughlings Jackson, dan secara khusus pada konsep
dinamiknya tentang perilaku.
Observasi dasarnya adalah respon pasien yang tidak
selalu dapat diprediksi membawa ke pengenalan pada
fenomena disosiasi volunter-otomatis, yang telah
memiliki pengaruh abadi pada praktek rehabilitasi.

Pengecualian oleh Jackson antara bentuk penggunaan


bahasa superior dan inferior merupakan bagian
integral dari teorinya tentang tingkat fungsional dari
sistem saraf.
Beberapa pendekatan terhadap rehabilitasi bahasa
menggunakan konsep ini sebagai titik awal, dan
berdasarkan bahwa hal itu mungkin, melalui teknik yang
berbeda, untuk memperbaiki kemampuan pasien untuk
mengakses representasi bahasa tidak hanya secara
otomatis, namun secara sadar/terkendali (proporsional,
istilah Jackson).
Proposal yang berhubungan, dengan tradisi neurofisiologi
Eropa Timur, adalah berkembangnya teknik deblocking
yang dipelopori oleh Weigl dan Kreindler

Pendekatan lain berdasar pada mengajarkan strategi


baru untuk meningkatkan akses kepada representasi
adalah analisis bentuk semantik (semantic feature
analysis/SFA).
Pendekatan yang dikendalikan secara teoritis ini (teori
penyebaran aktivasi) menyatukan teori prinsip belajar,
secara khusus pembentukan perilaku, menghilangkan
perilaku dan pembentukan jati diri.
Tujuan dari SFA adalah memfasilitasi akses ke
representasi fonologikal target dengan meningkatkan
representasi semantik yang berhubungan dengan target;
pasien belajar strategi baru untuk mengakses
representasi fonologikal dari kata secara sadar, dan
dengan demikian mendapatkan kembali kata-kata.

Disamping memperbaiki penamaan pada kasus anomia


berat, pendekatan ini telah terbukti mencetuskan
neuroplastisitas adaptif pada partisipan yang mengalami
afasia post stroke dan afasia progresif primer.
Pada tingkat empirik, nilai yang penting adalah apakah
mungkin untuk memutuskan apakah representasi
bahasanya hilang atau tidak dapat diakses pada pasien
tertentu.
Warrington dan Cipolotti mengajukan seperangkat
kriteria untuk menjelaskan penyimpanan untuk
menentang gangguan akses.

Dalam kasus pemahaman kata, adanya efek dari tingkat


presentasi stimulus, dari keterkaitan semantik dari
stimulus yang berhubungan, dan frekuensi kata, dan
konsistensi/tidak konsisten dari respon cenderung untuk
membedakan pasien kedalam dua kelompok berbeda.
Pasien demensia menunjukkan perilaku hilangnya jati
diri, sementara gangguan akses tampaknya menjadi
khas untuk afasia vaskuler.
Pengajuan terbaru tentang disfungsi semantik yang
berhubungan, berdasarkan perbedaan mencolok antara
degradasai pengetahuan semantik pada demensia
semantik dan kendali kognitif yang rusak pada pasien
vaskuler yang menunjukkan adanya gangguan pada
pemeriksaan semantik

Teori belajar
Caramazza dan Hillis [28] menyimpulkan kebutuhan
ideal dari teori rehabilitasi sebagai:
(a) analisis yang teliti dari kondisi kognitif sebelum dan
setelah terapi;
(b) teori belajar;
(c) teori prosedur terapetik; dan
(d) pengetahuan yang mendalam tentang karakteristik
pasien dan otak mereka yang mungkin relevan
untuk pengobatannya. Sebagian besar pendekatan
terapi memasukkan prinsip-prinsip terapi perilaku,
seperti penguatan, pembentukan, dan lain-lain.

Baru-baru ini, beberapa pendekatan percobaan yang


berdasarkan pada prinsip belajar spesifik telah
diterapkan pada terapi afasia.
Sebagai contoh, teori belajar tidak menggunakan
dengan saran yang berkorelasi dengan teknik rehabilitasi
yang dipicu oleh hambatan telah menyebutkan dasar
neurobiologis.
Pada model primata, kerusakan aferen memicu
terjadinya kehilangan mobilitas, yang dapat pulih jika
motilitas lengan yang utuh dihambat.
Pendekatan ini telah diterapkan pada rehabilitasi motorik
manusia, dengan hasil yang menjanjikan.

Efek yang timbul tampaknya dimediasi oleh reorganisasi


kortikal.
Pendekatan ini, tergantung pada prinsip plastisitas
menurut pengalaman, baru-baru ini telah diperluas pada
rehabilitasi afasia, dengan hasil yang menarik.
Pendekatan lain yang diturunkan secara teoritis adalah
berdasarkan konsep belajar tanpa kesalahan.
Efek positif pada pengobatan gangguan penamaan dan
dalam komunikasi fungsional telah dilaporkan pada
beberapa penelitian yang menggunakan teknik ini

Teknik rehabilitasi afasia


Diantara intervensi untuk defisit kognitif yang didapat,
rehabilitasi gangguan bicara dan gangguan bahasa
akibat kerusakan otak memiliki tradisi yang paling
panjang, sejak abad ke sembilanbelas.
Satu jenis pendekatan telah diterapkan pada rehabilitasi
afasia. Skema ringkasan berikut bedasarkan ulasan
Basso

Stimulasi dan fasilitasi


Landasan teori dari pendekatan ini telah dijelaskan pada
bagian sebelumnya.
Perwakilan utama dari sekolah adalah Schuell, Wepman,
dan Darley.
Terapinya berpusat pada pemahaman bahasa, terutama
pada modalitas pendengaran, dan disesuaikan dengan
masing-masing pasien berdasarkan derajat gangguan dari
pada gambaran spesifik gangguan bahasa.

Modifikasi perilaku
Penekanan pada pendekatan perilaku adalah pada
proses belajar; ini adalah penerapan pada terapi afasia
yang berupa instruksi terprogram berdasarkan
pengkondisian instrumental.
Teknik ini meliputi membentuk dan menghilangkan, dan
prinsip lain dari modifikasi perilaku.
Sementara pendekatan perilaku formal sekarang jarang
dipergunakan, prinsip modifikasi perilaku tergabung
dalam sebagian besar program terapi.

Asosiasionis baru
Fokusnya pada psikolinguistik yang rinci dan deskripsi
neurologis tentang sindrom afasia klasik oleh Boston
School (Harold Goodglass, Norman Geschwind, Edith
Kaplan, dan lainnya) menghasilkan usulan jumlah
program terapi.
Hal ini dijelaskan secara terperinci dalam panduan
praktik, dan meliputi pendekatan yang sangat heterogen,
seperti terapi intonasi melodi (melodic intonation
therapy/MIT) dan terapi perseverasi afasia.
Kesamaan yang terdapat di dalam metode-metode
tersebut adalah program yang terstruktur yang
menargetkan pada aspek spesifik dari gangguan bahasa,
dan menitikberatkan pada evolusi kuantitatif dari hasil.

Kognitif neurolinguistik
Pendekatan ini timbul dari upaya awal untuk
menerapkan teori linguistik pada afasia pada tahun
1960an dan 1970an, mengalami kemajuan dengan
perkembangan neuropsikologi kognitif.
Titik beratnya adalah penilaian bahasa yang rinsi dalam
kasus tunggal, dan melakukan analisa pola gangguan
bahasa berdasarkan model proses normal, hasilnya
adalah diagnosis fungsional.
Implikasinya untuk rehabilitasi masih meninggalkan
pertanyaan, namun secara umum ini dipercaya bahwa
identifikasi yang tepat dari lokus yang mengalami
kerusakan fungsional akan memberikan alasan untuk
melakukan intervensi yang rasional.

Dikotomi yang umum, yaitu, penekanan pada pemulihan


fungsi yang terganggu atau yang sedang
mengkompensasi berdasarkan proses yang utuh, juga
diterapkan pada intervensi yang berdasarkan analisis
kognitif.
Sebagai contoh, pada kasus gangguan membaca,
banyak usaha dilakukan berdasarkan model jalur
ganda.
Ini termasuk melatih mekanisme yang terganggu
(misalnya, konversi grafem menjadi fonem pada kasus
disleksia berat) dan menggunakan kemampuan yang
ada untuk membaca kata-kata yang ada di dalam konten
untuk membantu membaca functors dan kata kerja.
Beberapa ulasan terapi eksperimental berdasarkan
neuropsikologi kognitif bahasa telah tersedia

Fragmatis
Pendekatan fragmatis menganjurkan metode terapi yang
bertujuan untuk memperbaiki kemampuan pasien untuk
berkomunikasi, tanpa memperhatikan strategi bahasa
atau non bahasa.
Program yang paling diketahui secara luas, PACE,
menggabungkan upaya asli untuk menempatkan terapis
dan pasien di dalam situasi komunikasi yang nyata,
dimana perubahan informasi yang nyata mengambil
tempat disini.
Pengaruh dari pendekatan fragmatis menjadi luar biasa.
Prinsip fragmatis telah digabungkan ke dalam banyak
program terapi eklektik, terutama untuk afasia berat.

Kelompok terapi yang disebut terapi aksi bahasa intensif


mengkombinasikan aspek dari pendekatan fragmatis
dengan prinsip terapi yang diinduksi oleh kendala.
Pasien dikumpulkan, diberikan pelatihan intensif, untuk
menggunakan bahasa yang dikombinasikan dengan
tindakan, berupa permainan bahasa.

Pendekatan yang berorientasi pada


komunikasi dan intervensi sosial
berdasarkan lingkungan

Dalam sebuah ulasan sistematis, Simmons-Mackie dan


kawan-kawan menganalisis 31 penelitian (dari tahun 1978
sampai 2008) mengenai intervensi yang menargetkan
kemampuan komunikasi di antara rekan yang
berkomunikasi (termasuk pengasuh, kerabat, kenalan,
relawan, pelajar, dan sebagainya).
Pendekatan meliputi melatih kemampuan komunikasi,
program pendidikan atau konseling melalui pelatihan
berkelompok, pelatihan 2 orang (satu kelompok hanya
terdiri atas 2 orang), atau pelatihan dengan pasangan
percakapan saja.

Intensitas dan durasi intervensi bervariasi. Pengukuran


keluaran meliputi fungsi/gangguan bahasa pasien,
aktivitas/partisipasi pasien, kesehatan psikososial
pasien, dan pengetahuan tentang afasia.
Kesimpulannya membuktikan bahwa pelatihan mitra
komunikasi adalah efektif dalam memperbaiki
aktivitas/partisipasi komunikasi dari mitra komunikasi.
Lebih dari itu, Legg dan kawan-kawan melakukan
penelitian dengan mahasiswa kedokteran,
membandingkan pelatihan pada teknik komunikasi
suportif untuk pasien afasia (11 mahasiswa dalam sesi
pelatihan 4 jam dalam teknik komunikasi suportif untuk
pasien afasia) dan tanpa pelatihan (10 mahasiswa
dalam sesi pelatihan 4 jam yang memberikan informasi
teoritis mengenai afasia).

Pengukuran dasar (baseline) dan setelah pelatihan


diperoleh melalui wawancara bertingkat antara
mahasiswa dan partisipan mengenai riwayat penyakit
pasien afasia dewasa (membentuk hubungan awal,
mengidentifikasi alasan konsultasi, dan lain sebagainya).
Kesimpulannya menunjukkan bahwa jenis intervensi ini
juga efektif dalam memperbaiki kemampuan komunikasi
diantara orang yang bekerja dengan pasien afasia.
Bukti ini menunjukkan bahwa pendekatan mitra
komunikasi merupakan metode yang efisien dalam
memperbaiki kemampuan komunikasi pada orang
dengan afasia, tidak dengan cara intervensi langsung
terhadap pasien, namun dengan meningkatkan
kemampuan orang-orang yang ada di lingkungan untuk
mengatasi hambatan komunikasi yang disebabkan oleh
afasia.

Pandangan multisistem rehabilitasi


afasia
Pada dekade belakangan ini, hadirnya pencitraan
fungsional di bidang neurologi telah memberikan
keuntungan yang sangat besar di bidang
neurorehabilitasi, dengan meningkatkan pemahaman kita
mengenai mekanisme neuron yang mendasari
pemulihan.
Meskipun hubungan antara bahasa dan domain kognitif
lain telah didiskusikan secara teoritis dalam jangka waktu
lama, untungnya hadir neuroimaging fungsional dan
penelitian hubungan fungsional yaitu bahwa interaksi
kompleks antara bahasan dan fungsi kognitif lain telah
dibuktikan.

Secara spesifik, hubungan antara sirkuit yang


memproses bahasa dan sirkuit saraf lainnya (motorik,
atensi) telah menjadi sorotan, dan ini membuka
perspektif baru dalam rehabilitasi afasia.
Hubungan ontogenetik yang mungkin antara
sensorimotor dan proses bahasa telah didiskusikan oleh
Pullvermler, yang memperdebatkan bahwa konsep kata
merupakan hasil dari kerja modalitas sensorik dan
motorik, dimana obyek dan tindakan telah dipelajari.
Hubungan ini tetap, dan meskipun mendengarkan atau
menyebutkan kata kerja tendang, atau kata benda
pensil, dipelajari dengan modalitas motorik, akan
merekrut area motorik secara terpisah dari area
pemrosesan bahasa.

Dari sudut pandang perilaku, penelitian yang dilakukan


Marangolo dan kawan-kawan [46,47] memberikan bukti
adanya hubungan antara dimensi motorik dari konsep
bahasa dengan proses leksikal; khususnya, penulis
melaporkan perbaikan dalam menyebutkan kata kerja,
setelah mendapat terapi yang berdasarkan menonton
video kegiatan.
Hubungan filogenetik antara area motorik dan area
pemrosesan bahasa telah digali oleh Corballis [48], yang
menyebutkan bahwa bicara berkembang dari panduan
sistem isyarat, awalnya berupa pantomim, mengalami
perubahan secara bertahap menjadi isyarat konvensional,
dengan konotasi simbolik.

Sejalan dengan pernyataan ini, aktivasi yang sinkron dari


area motorik tangan dan area pemrosesan bahasa telah
dilaporkan melalui tugas penamaan lisan.
Perspektif ini berhubungan dengan teori kognisi
diwujudkan, mengacu pada teori dimana bahasa
berkembang dari interaksi fisik selama tahun pertama
kehidupan.
Bagian lain dari bukti menyoroti hubungan yang rumit
antara bahasa dan sistem kognitif lain yang timbul dari
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Marcotte dan
kawan-kawan, yang menunjukkan efek positif dari terapi
anomia dengan SFA dalam jaringan standar, yang
dipertimbangkan untuk menggambarkan tingkat dasar
pemrosesan kognitif, terutama dengan memperhatikan
atensi dan pemrosesan memori episodik

Contoh program rehabilitasi afasia


Program

Referensi

Indikasi

Contoh Latihan

Terapi aksi

Helm-

Afasia global

Mencocokkan benda dan

visual

Eastabrooks

gambar, penggunaan

dan Albert

benda; pantomim

MIT

Helm-

Afasia non fluen Bersenandung, menyanyi

Eastabrooks

dengan

bersama-sama,

dan Albert

gangguan

menghilang bersama-

pemahaman

sama, repetisi segera dan

sedang

tertunda

Semua afasia

Inhibisi verbalisasi,

Terapi

Helm-

perseverasi

Eastabrooks dan dengan

afasia

Albert

perseverasi

memberikan beberapa isyarat

Contoh program rehabilitasi afasia


Program

Referensi

Indikasi

Contoh Latihan

Orientasi bahasa

Shewan dan

Semua afasia

Latihan modalitas spesifik

Bandur, 1986

dan area terapi,


kesulitannya bertingkat

Meningkatkan

Davis dan Wilcox,

efektivitas afasia

1985

Afasia berat

Penjelasan gambar
komunikatif oleh terapis
dan pasien menggunakan
kata, bahasa tubuh dan
menggambar.

Terapi pemetaan

Marshall, 1995

Pemahaman

Menjelaskan kotak-kotak

agramatik

bertema dari kata kerja;


pelatihan morfologis

Contoh program rehabilitasi afasia


Program

Referensi

Analisis gambaran Boyle dan Coelho,

Indikasi

Contoh Latihan

Anomia

Verbalisasi dari gambaran

semantik

1995

semantik benda target

BOX

Visch-Brink dkk,

Gangguan

1997

semantik leksikal kata, kalimat dan teks

Terapi bahasa

Berthier dan

Afasia kronik

tindakan intensif

Pulvermuller, 2011

Keputusan semantik pada


Permainan bahasa,
terapi yang dipicu dengan
paksaan

Observasi
tindakan

Marangolo dkk, 2012 Defisit pemulihan Mengamati tindakan


kata kerja

melalui rekaman video

Dasar neurobiologis rehabilitasi


afasia
Mekanisme neuron yang mendasari penyembuhan
spontas afasia dan efek rehabilitasi sebagian besar tidak
diketahui.
Periode pemulihan setelah stroke dapat dibagi menjadi
setidaknya tiga tahap, berdasarkan mekanisme fisiologis
yang berbeda yang bertanggung jawab terhadap
perbaikan klinis.
Yaitu tahap awal (sekitar 2 minggu setelah onset stroke),
tahap lesi (sampai dengan 6 bulan setelah onset stroke),
dan tahap kronis (lebih dari 6 bulan setelah onset
stroke).

Selama tahap awal, mekanisme yang paling mungkin


dari perbaikan klinis adalah hilangnya edema serebri dan
hipertensi intrakranial, reabsorpsi darah, hemodinamik di
area penumbra iskemik yang kembali normal, dan
pulihnya inflamasi lokal.
Mekanisme penting lainnya, yang mungkin paling
berperan dalam tahap awal, adalah regresi dari efek
diaschisis (represi fungsional) pada area otak yang tidak
mengalami injuri terhubung dengan area yang rusak.

Mekanisme yang mendasari pemulihan pada tahap


lanjut masih diperdebatkan. Pemulihan dapat terjadi
dengan mengadopsi strategi kognitif baru untuk kinerja
yang, pada tingkat neuron, menggambarkan perekrutan
area otak, yang tidak diaktifkan pada subyek normal
ketika menjalankan tugas.
Pemulihan fungsi bahasa yang sebenarnya telah sering
disematkan pada reorganisasi substrat serebral dari
pemrosesan bahasa, dimana area otak yang lain
mengambil alih fungsi dari area otak yang rusak.
Hal ini mungkin merupakan efek dari degenerasi
sistem saraf untuk mempertahankan fungsi kognitif.

Yang paling tua, masih tetap hipotesis yang


berpengaruh, yang diajukan oleh Gowers, yaitu bahwa
keterlibatan area homotopis (yaitu homolog) pada
hemisfer kontralateral juga dapat memiliki fungsi
kompensasi.
Sebagai alternatif, pemulihan juga dapat terjadi karena
perekrutan area di sekitar lesi yang mengelilingi daerah
yang rusak.
Pada kedua kasus, adalah mungkin bahwa area-area ini
merupakan bagian dari area bahasa yang berlebih,
dimana pada otak yang sehat dihambat oleh area
bahasa primer.
Hipotesis ini didukung dengan adanya bukti kemampuan
bahasa dari hemisfer kanan, terutama pada tingkat
semantik-leksikal, ditunjukkan oleh subyek dengan otak
yang terbagi

Teknik neuroimaging terkini, terutama MRI fungsional


(functional magnetic resonance imaging/fMRI),
memungkinkan hipotesis ini untuk diuji secara langsung.
Penelitian terdahulu sejalan dengan hipotesis Gower
mengenai peran penting hemisfer kanan.
Namun, penelitian yang melakukan evaluasi
menggunakan pencitraan pada pasien afasia telah
menunjukkan adanya gradien waktu dalam peran
mekanisme reorganisasi otak setelah terjadinya stroke.
Awal keterlibatan area otak homolog yang tidak rusak di
hemisfer kanan diamati dari waktu ke waktu, yaitu
penyingkiran bertahap dan bersamaan dengan
peningkatan aktifitas yang signifikan di area perilesi di
hemisfer kiri.

Penyelamatan jaringan di area bahasa perilesi yang


penting tampaknya memiliki peranan penting dalam
pemulihan anomia.
Beberapa penelitian berusaha menilai dasar neuronal
dari modifikasi yang dipicu latihan pada kemampuan
berbahasa.
Peran penting dari hemisfer kanan diajukan dalam
penelitian oleh Musso dan kawan-kawan, yang meneliti
hubungan neuronal dari pelatihan pemahaman verbal
sevcara intensif pada kelompok afasia menggunakan
possitron emission tomography (PET).

Pelatihan pemahaman bahasa secara intensif selama 2


jam dengan tes token yang dimodifikasi dilakukan
selama interval antar 2 sken PET.
Kinerja setelah pelatihan pada tes ini memiliki korelasi
positif dengan pola aliran darah otak regional (rCBF)
pada homolog area Broca dan Wernicke di hemisfer
kanan.
Efek yang diinduksi pelatihan juga lazim terjadi di
hemisfer kanan pada penelitian mengenai pelatihan
tindakan inatensi.
Penelitian lain menunjukkan bahwa keterlibatan area di
hemisfer kiri yang tidak rusak penting dalam pemulihan
afasia.

Belin dan kawan-kawan melakukan penelitan terhadap


pasien afasia non fluen kronik, yang menunjukkan
pemulihan yang cukup setelah dilakukan pengenalan
terhadap latihan rehabilitasi tambahan dengan MIT.
Pasien yang buruk dalam menirukan kata-kata dengan
intonasi alami mengalami perbaikan ketika mereka
menggunakan intonasi seperti MIT.
Pola aktivasi otak selama pengulangan kata tunggal
dengan intonasi alami menandakan keterlibatan
hemisfer kanan yang luas.
Namun, selama pengulangan kata menggunakan
intonasi MIT, hemisfer kanan dinonaktifkan, dan
peningkatan yang signifikan tampak pada area frontal
kiri.

Penulis mengatakan bahwa aktivasi hemisfer kanan


mungkin mencerminkan reorganisasi fungsional yang
maladaptif, karena tampak adanya lesi, sementara
pemulihan sebenarnya yang dimediasi dengan latihan
MIT bisa saja berhubungan dengan reaktivasi struktur di
hemisfer kiri yang tidak rusak.
Dukungan tambahan untuk hipotesis ini datang dari
beberapa penelitian mengenai efek stimulasi transkranial
berulang-ulang pada daerah homolog area Broca,
dengan membaiknya penamaan pada pasien afasia non
fluen kronis.
Juga yang patut diperhatikan adalah telah ditemukan
hubungan dekat antara aktivasi hemisfer kanan dan
gangguan penamaan pada subyek afasia.

Beberapa penelitian tambahan menunjukkan peran


tambahan dari kedua hemisfer dalam pemulihan yang
dipicu latihan. Leger dan kawan-kawan membandingkan
hasil fMRI selama tugas menamai sebelum dan sesudah
rehabilitasi pada pasien dengan gangguan fonologi yang
menonjol dalam berbicara.
Perubahan utama setelah terapi adalah reaktivasi area
perilesi di hemisfer kiri, terutama area Broca dan girus
supramarginal.
Menggunakan even-related fMRI (er-fMRI), Vitali dan
kawan-kawan memantau hubungan neuronal dari
kemampuan menamai pada dua pasien anomia sebelum
dan setelah terapi bahasa untuk anomia (latihan
menamai dengan memberi isyarat fonologis).

Serangkaian gambar yang tidak dapat dinamai oleh


pasien baik secara spontan maupun setelah diberikan
isyarat fonologis akan dipilih untuk terapi bicara secara
intensif.
Setelah dilakukan sesi pertama er-fMRI, latihan dilakukan
secara intensif setiap hari oleh ahli patologi bicara, hingga
dapat memperbaiki (setidaknya) 50% kemampuan
menamai sekumpulan gambar.
Sebelum dan setelah terapi bicara, dilakukan pemeriksaan
er-fMRI sementara pasien harus menyebutkan nama,
dengan tepat, atas gambar yang ditunjukkan dari
kumpulan gambar untuk percobaan dan benda dari
kumpulan kontrol (dimana pasien sebelumnya dapat
menyebutkan namanya pada awal penelitian).

Pada kedua kasus, penamaan oleh pasien terutama


berhubungan dengan aktivasi di hemisfer non dominan
sebelum memulai terapi bicara, sementara area perilesi
di hemisfer dominan diaktivasi terutama setelah terapi
bicara, hal ini mendukung peran area perilesi di hemisfer
kiri dalam pemulihan efektif.
Namun, pada satu pasien, yang memiliki lesi yang
meliputi area Broca, area homolog di hemisfer kanan
teraktivasi, hal ini menandakan bahwa hemisfer kanan
dapat memediasi penamaan.

Penelitian serupa oleh Marcotte dan Ansaldo


mengindikasikan bahwa jenis terapi dan etiologi anomia
dapat memodulasi mekanisme yang mendasari
pemulihan, secara terus menerus dengan perekrutan
perilesi dan adaptasi homolog.
Pemulihan anomia yang signifikan pertama kali diamati
pada dua kasus afasia nonfluen berat kronis: satu kasus
afasia post stroke dan satu kasus afasia progresif primer
(primary progressive aphasia/PPA).
Perekrutan area pemrosesan semantik setelah terapi
tampak pada kedua pasrtisipan setelah terapi semantik
intensif dan berkelompok.

Menariknya, pemulihan yang ekuivalen pada para


partisipan didukung dengan meluasnya jaringan
pemrosesan bahasa setelah terapi pada pasien PPA,
berbanding terablik dengan mengecilnya jaringan pada
pasien paska stroke.
Pada penelitian kedua, Marcotte dan kawan-kawan [8]
menilai sembilan partisipan usia lanjut dengan afasia non
fluen kronis dan anomia berat, semua merasakan
manfaat dari SFA, didaftarkan dengan frekuensi tiga jam
seminggu maksimal 18 sesi 1 jam-an.
Kelompok analisis menggunakan fMRI menunjukkan
pemulihan yang signifikan dari anomia setelah dilakukan
SFA memiliki korelasi positif dengan aktivasi girus
presentral kiri yang signifikan (BA 4/6) sebelum dan
sesudah terapi.

Dengan kata lain, aktivasi BA 4/6 merupakan penanda pre


terapi dari keluaran positif SFA. Lebih jauh lagi, fakta
bahwa perbaikan paska SFA juga berkorelasi dengan
aktivasi BA 4/6 paska terapi menunjukkan bahwa area ini
memainkan peranan penting dalam mendukung
pemulihan dari penamaan, sehingga memberikan bukti
adanya hubungan antara area bahasa, motorik dan
pemrosesan.
Lebih lagi, penulis melaporkan perekrutan lobulus parietal
inferior kiri setelah SFA. Mereka membuktikan bahwa hal
ini mungkin merefleksikan fakta bahwa prosedur terapi ini
merangsang gambaran semantik dari target, dan dengan
demikian, ini menjadi modal dalam mempertahankan
lobulus parietal inferior kiri, sebuah area yang diketahui
perannya dalam perekrutan semantik spesifik integrasi.

Berdasarkan hasil ini, aktivasi pre terapi yang signifikan


dari BA 4/6 mungkin saja merupakan sebuah indikator
yang baik dari keberhasilan terapi SFA.
Penelitian ini juga menyebutkan bahwa keluaran yang
berhasil dari sebuah terapi mungkin tergantung pada
kesesuaian terbaik antara jenis terapi dan potensial
perekrutan sirkuit otak yang berbeda.
Sehingga, pendekatan terapi yang berbeda dapat
memicu perekrutan jaringan spesifik, dan meningkatkan
model berbeda dari plastisitas adaptif untuk
mempertahankan perbaikan fungsional yang setara.

Penelitian terbaru yang lain [73] memasukkan kontrol


tambahan dari skening yang diulang dari dua pasien
yang tidak diterapi dan kelompok subyek normal.
Perubahan pada aktivitas otak berhubungan dengan
pemulihan pada dua pasien yang diterapi sebagian
besar namun tidak secara eksklusif hemisfer kiri.
Prevalensi sisi kanan telah diamati pada satu dari dua
pasien yang tidak diterapi, yang tidak menunjukkan
perubahan signifikan apapun pada tingkat perilaku.
Penelitian stimulasi dengan transcranial direct current
stimulation (TDCS) juga menunjukkan efek positif dari
stimulasi katoda (eksitatori) pada regio hemisfer kiri
dalam kemampuan penamaan pada afasia.

Sebuah alat tambahan penting untuk mengeksplorasi


data pencitraan fungsional disediakan oleh analisis
hubungan fungsional, yang memungkinkan dilakukannya
penilaian integrasi fungsional pada otak normal dan otak
yang mengalami kerusakan.
Hubungan fungsional yang meningkat antara lobus
temporal kanan dan kiri [76] dan antara area frontal dan
parietal [77] telah diamati pada pasien afasia denga
pemulihan yang baik pada pemahaman auditoriknya.
Pendekatan ini telah diaplikasikan pada investigasi
pelatihan dan efek generalisasi pada rehabilitasi anomia
[78], dan pada penilaian perubahan longitudinal yang
berhubungan dengan terapi anomia

Sebuah penelitian hubungan fungsional baru-baru ini


[51] menunjukkan bahwa terapi bahasa dengan SFA
membawa tidak hanya pada pemulihan penamaan,
namun juga meningkatkan interaksi dengan area
posterior pada jaringan default-mode (default-mode
network/DMN).
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, status DMN
telah memiliki hubungan dengan atensi dan kemampuan
memori episodik.
Efek positif dari SFA pada DMN menunjukkan manfaat
potensial dari terapi bahasa pada kemampuan kognitif
lain, dan menyoroti keterkaitan antara sirkuit bahasa,
atensi, dan memori episodik.

Efikasi Rehabilitasi Afasia


Kebutuhan untuk mencapat efektifitas rehabilitasi afasia
telah merangsang beberapa penelitian, yang berasal dari
periode setelah Perang Dunia II, yang telah berdasarkan
pada metodologi yang bervariasi.
Sebuah meta analisis terbaru dari penelitian klinis
berurusan dengan efektifitas rehabilitasi bahasa, terbatas
pada afasia sebagai akibat dari stroke, telah
dipublikasikan oleh kerjasama Cochrane [80].
Penelitian ini mencakup literatur sampai dengan April
2009.
Kesimpulannya adalah sebagai berikut: Ulasan ini
menunjukkan beberapa indikasi efektifitas terapi bahasa
dan bicara (speech and language therapy/SLT) untuk
orang afasia karena stroke.

Kami juga mengamati konsistensi dalam arah dari hasilnya,


dimana SLT intensif lebih diminati dibandingkan SLT
konvensional, meskipun jumlah orang yang mengundurkan
diri lebih banyak secara signifikan pada kelompok SLT
intensif dibandingkan kelompok SLT konvensional. SLT
yang difasilitasi oleh terapis yang terlatih dan disupervisi
oleh relawan tampaknya sama efektifnya dengan SLT yang
dilakukan oleh tenaga profesional. Tidak ada bukti yang
cukup untuk menggambarkan sebuah kesimpulan dalam
hubungan efektifitas pendekatan satu SLT diatas yang
lainnya.
Kesimpulan positif ini didukung oleh ulasan tambahan, yang
mempertimbangkan bukti dengan kelas yang lebih rendah
dibandingkan penelitian klinis acak (randomized clinical
trials/RCT)

Kesulitan utama dalam penerapan metodologi RCT


terletak pada sifat afasia yang sangat heterogen.
Sebagai contoh, sulit untuk mempercayai bahwa terapi
afasia dengan standar yang sama dapat efektif baik pada
pasien dengan jargon neologisme fluen dan pasien dengan
produksi agramatikal non fluen.
Penelitian dibidang neuropsikologi berfokus pada penilaian
terapi yang dikendalikan secara spesifik dan teoritis
terhadap area yang telah diketahui mengalami gangguan,
biasanya dengan arti metodologi kasus tunggal (misalnya
efek intervensi berbasis linguistik dibandingkan dengan
stimulasi sederhana terhadap kemampuan mengambil
benda secara leksikal termasuk dala kelas tertentu).

Sebuah tulisan ulasan memaparkan sebuah dikusi kritis


dari literatur ini, menyimpulkan bahwa efek terapi yang
besar secara umum terlihat pada pasien afasia.
Hal ini juga tampaknya menjadi kasus pada pasien kronis.
Peranan dari intensitas terapi harus digaris bawahi.
Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa penelitianpenelitan yang menunjukkan efek terapi yang signifikan
menyediakan rata-rata 8,8 jam terapu per minggu selama
11,2 minggu, sementara penelitian-penelitian negatif
menyediakan hanya sekitar dua jam per minggu selama
22,9 minggu.
Total lama terapi berbanding terbalik dengan rerata
perubahan pada skor Porch Index of Communicative
Abilities (PICA).

Jumlah jam terapi yang diberikan dalam seminggu


berkorelasi secara signifikan dengan perbaikan yang
lebih besar pada PICA dan tes token.
Hasil ini mengindikasikan bahwa program terapi intensif
yang memberikan periode waktu yang singkat dapat
memperbaiki keluaran SLT untuk pasien stroke dengan
afasia.
Efektifitas pendekatan yang dipicu kendala juga dapat
(diulas dalam [86]), setidaknya sebagian, dikaitkan
dengan intensitas terapi.
Akhirnya, bukti baru-baru ini menimbulkan pikiran bahwa
potensial untuk bereaksi terhadap terapi tetap muncul
pada otak pasien lanjut usia, dan dapat dipicu meskipun
telah bertahun-tahun setelah terjadinya stroke dan
dalam kasus-kasus lesi luas pada hemisfer kiri.

Sembilan pasien lanjut usia dengan afasia kronis


dengan anomia sedang sampai berat dan relatif masih
memiliki kemampuan pemahaman menunjukkan respon
positif terhadap terapi dengan SFA; lebih lagi, perbaikan
perilaku juga berhubungan dengan neuroplastisitas yang
dipicu terapi, mencerminkan reorganisasi fungsional.
Oleh karena itu para penulis berpendapat bahwa, dalam
terang temuan ini, usia tua, kondisi kronis, atau lesi yang
luas sebaiknya tidak menjadi alasan pasien tidak
menerima blok intensif dari terapi spesifik, dimana paling
tidak dalam kasus afasia non fluen dengan pemahaman
yang masih baik, dapat berujung pada hasil yang sangat
positif.

Вам также может понравиться