(143114023) I Putu Dicky Prasetya (148114052) Aquina Nino Rd. (148114055) Aron Saputra Thie (148114066) Ita Rambu Haja Lika (148114077) Andreas Billyansa (148114090) 1. Latar Belakang Pasca reformasi, demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat. Peningkatan partisipasi publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara disalurkan melalui pengaturan mekanisme yang semakin mencerminkan prinsip keterbukaan dan persamaan bagi segenap warga negara. Salah satu bentuknya adalah pelaksanaan pemilihan wakil rakyat dan pejabat pemerintahan, yaitu pemilihan umum untuk anggota legislatif dan pemilihan presiden secara langsung, serta pemilihan kepala daerah (pilkada). Di antara beberapa mekanisme demokrasi yang telah dijalankan, pilkada mendapat perhatian luas dan masih mengundang pertanyaan, apakah mekanisme pilkada langsung yang dijalankan sesuai dengan kondisi bangsa dan masyarakat Indonesia? Bahkan ada yang mengusulkan perubahan terhadap UUD 1945, salah satunya karena pelaksanaan pilkada dinilai banyak menimbulkan efek negatif bagi pandangan sebagian orang. Usul untuk pilkada tidak langsung pun baru baru ini muncul dikarenakan banyaknya kekurangan pilkada langsung. 2. Rumusan Masalah Mengapa dapat terjadi konflik mengenai pilkada langsung dan tidak langsung? Siapa saja yang terlibat dalam konflik mengenai pilkada langsung dan tidak langsung serta bagamana bentuk keterlibatan mereka? Bagaimana perkembangan konflik mengenai pilkada langsung dan pilkada tidak langsung hingga saat ini? 3. Pembahasan Pilkada secara langsung adalah salah satu lompatan besar bagi prestasi demokrasi Indonesia. Masyarakat Indonesia dengan demikian telah membuka gerbang baru dengan bisa memilih secara langsung pemimpin-pemimpin mereka dari berbagai level. Tetapi pilkada langsung ternyata juga menghadapi polemik. Permasalahan seperti biaya yang cukup besar untuk bisa bersaing sebagai calon kepala daerah menjadi salah satu isu yang berkembang. Selain itu anggaran dana yang besar sekaligus celah-celah korupsi banyak menjadi kritik atas proses pemilukada hingga saat ini. Kontroversi mulai menguak ketika muncul RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang bertujuan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah tidak langsung. Beban biaya dan celah korupsi yang disebutkan di paragraf sebelumnya banyak digunakan oleh pihak yang mendukung adanya RUU tersebut sebagai argumen untuk meloloskan RUU ini. Tetapi di sisi yang berlawanan, RUU ini dianggap akan membuat demokrasi Indonesia mundur kembali setelah mencapai prestasi adanya pemilihan secara langsung. Banyak yang mulai berspekulasi akan latarbelakang dari dirumuskannya RUU ini. Muatan politis atas perumusan RUU ini menjadi kental ketika para pendukungnya banyak yang berasal dari kubu koalisi Merah Putih, seperti halnya Gerindra dan PAN, yang merupakan pihak yang kalah dalam pertarungan pilpres 2014 yang baru saja kita lewati. Adapun yang menolak adanya RUU ini dikomandoi oleh PDIP yang merupakan pemenang pemilu. Jumlah kursi DPRD yang diduduki oleh perwakilan koalisi Merah Putih lebih banyak dibanding dengan koalisi Indonesia Hebat. Bila kita melihat komposisi koalisi sebagai sebuah variabel yang tetap, maka dengan mudah bisa kita katakan bahwa koalisi Merah Putih akan menguasai pilkada berikutnya bila dilakukan pemilihan tak langsung. Hal ini semakin menarik ketika Demokrat mengubah arah dukungannya menuju koalisi Indonesia Hebat yang membuat anggapan bahwa koalisi Merah Putih akan menguasai pilkada menjadi dipatahkan. Meski demikian, hal di atas tentu masih dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti permainan elite-elite partai di dalam DPRD dan pragmatisme partai-partai politik. Kebenaran dalam niatan politis tersebut pun tentu akan sulit untuk dibuktikan. Representasi Politik yang Kuat Bila kita ingin menempatkan masyarakat sebagai atasan, seharusnya setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh wakil haruslah berdasarkan persetujuan atau pandangan dari masyarakat. Namun yang sering terjadi di Indonesia, para wakil bertindak sesuai dengan pemikiran mereka sendiri tanpa ada sebuah mekanisme tertentu dalam menjaring aspirasi dari masyarakat. Hal ini banyak disebabkan oleh sudut pandang yang tidak egaliter antara wakil dengan terwakil. Mereka yang telah menjadi wakil dianggap telah memiliki kemampuan atau pun kelebihan, ketimbang yang memilih, untuk bisa merumuskan dan mengambil sebuah kebijakan Sehingga mereka yang ada di DPRD pada dasarnya tidak bisa merepresentasikan semua kepentingan dan golongan yang ada di dalam suatu daerah. Pihak Yang Terlibat Pihak yang mendukung RUU Pilkada Tidak langsung yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dimana Gerindra, Golkar, PAN, PKS, dan PPP tergabung di dalamnya. Pihak yang menentang RUU Pilkada Tidak Langsung ini yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dimana PDIP, PKB, Hanura, Nasdem tergabung di dalamnya, selain Koalisi Indonesia Hebat sebagian besar rakyat pula menentang RUU Pilkada Tidak Langsung. Partai Demorkat pula terlibat dalam Konflik mengenai Pilkada Langsung dan Tidak Langsung, Partai Demokrat mencoba bersikap netral dan pada saat Rapat Paripurna Fraksi Partai Demokrat memilih Walk Out Namun tidak semua anggota Fraksi Partai Demokrat yang Walk Out, ada beberapa anggota Fraksi Partai Demokrat yang memutuskan untuk mengikuti Rapat Paripurna. Rinciannya, pendukung pilkada langsung terdiri dari 88 anggota Fraksi PDIP, 20 anggota Fraksi PKB, 10 anggota Fraksi Hanura, dan 6 anggota Fraksi Demokrat yang tidak ikut Walk Out (6 orang itu diantaranya, Harry Witjaksono, Ignatius Mulyono, Gede Pasek Suardika, Edy Sadeli, Hayono Isman, dan Lim Sui Khiang), 11 anggota Fraksi Partai Golkar. Sementara yang memilih Pilkada lewat DPRD terdiri atas 22 anggota Fraksi Gerindra, 73 anggota Fraksi Golkar, 44 anggota Fraksi PAN, 55 anggota Fraksi PKS, dan 32 anggota Fraksi PPP. Berdasarkan rincian tersebut pendukung pilkada langsung atau yang menolak pilkada tidak langsung terdapat 135 anggota, sedangkan pendukung pilkada tidak langsung atau pilkada lewat DPRD terdapat 226 anggota, Sebanyak 142 anggota Partai Demokrat menyatakan mundur (Walk Out). Perkembangan Konflik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menerbitkan dan menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang (Perppu) terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Adapun Perppu yang dimaksud adalah Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Adapun isi dari Perppu Nomor 1 tahun 2014 yaitu: 1. Harus ada uji publik terhadap seorang calon kepala daerah. Dengan uji publik dapat dicegah calon yang memiliki integritas buruk karena publik tidak dapat cukup. Selain itu agar menghindari calon kepala daerah yang berasal dari keluarga yang dekat dengan incumbent. 2. Harus dilakukan penghematan anggaran pilkada secara signifikan karena biaya yang dibutuhkan saat ini dirasa masih terlalu besar. 3. Mengatur dan membatasi kampanye terbuka guna mencegah benturan antar massa yang destruktif serta penghematan anggaran pemilihan kepala daerah. 4. Harus ada akuntabilitas dana kampanye tujuannya mencegah korupsi. 5. Melarang politik uang termasuk serangan fajar dan membayar partai politik yang mengusung seorang calon kepala daerah. 6. Melarang fitnah dan kampanye hitam yang bisa menyesatkan publik serta merugikan calon kepala daerah yang difitnah. Pelaku fitnah perlu diberikan sanksi hukum. 7. Melarang pelibatan aparat birokrasi yang bisa merusak netralitas 8. Melarang pencopotan aparat birokrasi pasca pilkada, karena calon yang menang merasa tidak didukung oleh aparat birokrasi yang bersangkutan. 9. Menyelesaikan sengketa pilkada secara akuntabel, pasti dan tidak berlarut-larut serta perlu pengawasan yang efektif. 10. Mencegah kekerasan dan menuntut calon atas kepatuhan pendukungnya karena banyak kerusakan yang destruktif yang diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah. Namun Perppu dari SBY masih harus mendapatkan persetujuan dari DPR sedangkan saat ini DPR masih di dominasi oleh Koalisi Merah Putih yang mendukung Pilkada Tidak Langsung. Alhasil usaha dari SBY ini ditolak karena tidak disetujui oleh DPR karena sudah jelas bahwa banyaknya koalisi Merah Putih di dalam tubuh DPR tidak akan menerima saran pilkada langsung yang diajukan SBY itu. Bila RUU Pilkada tetap digunakan kemungkinan kepala daerah di Indonesia akan didominasi oleh anggota-anggota dari Koalisi Merah Putih, hal ini disebabkan karena sebagian besar DPRD masing-masing daerah Indonesia mayoritas adalah Koalisi Merah Putih. Seperti misalnya di Aceh yang DPRD di Aceh terdiri dari 48 anggota Koalisi Merah Putih, dan 33 anggota Koalisi Indonesia Hebat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan hamper seluruh provinsi di Indonesia. Koalisi Indonesia Hebat hanya mendominasi DPRD di Bali dan Kalimantan Hal ini tentunya menjadi tugas berat bagi presiden baru Republik Indonesia yaitu Joko Widodo yang diharapkan oleh rakyat dapat mengembalikan pilkada langsung, mengembalikan kedaulatan rakyat seperti sedia kala. Sebenarnya konflik ini bukanlah tanggung jawab Jokowi karena beliau sebelumnya tidak pernah ikut campur tangan dalam permasalahan ini. Karena SBY tidak mengambil keputusan sampai dengan masa jabatannya sebagai presiden berakhir, maka seolah-olah tugas untuk memperbaiki demokrasi Indonesia dilimpahkan kepada Jokowi. Sekarang rakyat Indonesia hanya bias berharap penuh kepada sang presiden baru. Setelah disahkannya RUU Pilkada Tidak Langsung ini berdasarkan voting yang dilakukan DPR dalam rapat paripurna, konflik mengenai pilkada langsung dan tidak langsung ini masih berkembang. Namun Presiden Joko Widodo menolak untuk menandatangani undang-undang tentang pemilihan kepala daerah tersebut. Presiden Joko Widodo meminta Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bertanggung jawab atas kejadian politik yang terjadi di masa pemerintahannya. 4. Kesimpulan Konflik yang dikarenakan dengan adanya RUU pilkada tidak langsung yang bertentangan dengan keinginan masyarakat ini disebabkan oleh pihak DPR khususnya Koalisi Merah Putih yang beranggapan dengan adanya pilkada langsung akan menghabiskan uang Negara, terjadi money politic di dalamnya dan kecurangan lainya. Namun masyarakat tidak setuju dengan adanya RUU tersebut diakrenakan bertentangan dengan keinginan rakyat serta bertolak belakang pada paham demokrasi di Indonesia. Perbedaan pendapat ini yang menyebabkan konflik anatara DPR dengan rakyat. Ada beberapa partai yang menolak dengan adanya RUU pilkada tidak langsung dan ada yang menyetujuinya. Berbagai usaha telah dilakukan oleh beberapa pihak untuk menyelamatkan pilkada langsung seperti democrat yang mendukung pilkada langsung dan presiden SBY yang mengajukan perpu pilkada langsung namun apa daya semua usaha itu sia-sia karena masih ditolak oleh DPR yang mayoritas adalah koalisi Merah Putih yang mendukung pilkada tidak langsung. Pada ahkirnya RUU pilkada tidak langsung telah disahkan sampai saat ini dengan adanya peran dari Koalisi Merah Putih yang menguasi sebagian besar dari kursi DPR yang mengajukan RUU pilkda tidak langsung. Tanggung jawab untuk mengembalikan system pilkada langsung sekarang dilimpahkan kepada sang presiden baru, Joko Widodo SARAN Yang berlalu biarkanlah berlalu, karena yang berlalu tidak akan bisa diubah. Masa sekarang adalah masa untuk mengubah masa depan. Apa yang dilakukan sekarang menentukan masa depan. Maka biarlah sekarang kita rakyat Indonesia tetap mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang dapat digali dari sumber hokum paling dasar, Pancasila. Indonesia harus menunjukkan bahwa dirinya adalah Negara berdaulat yang mencintai demokrasi, dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Sekarang bangsa Indonesia berharap besar pada Joko Widodo sang presiden baru untuk memunculkan kembali demokrasi rakyat dengan cara menggali kembali pilkada langsung yang sudah tertimbun. THANK YOU