Вы находитесь на странице: 1из 37

Multiple

Sclerosis

Perceptor:
dr. Roezwir Azhary, Sp.S

Airi Firdausia Kudsi, S.Ked

Hera Julia Garamina


Multiple Sclerosis

Multiple Sclerosis (MS) adalah penyakit inflamasi sistem


saraf pusat kronik yang menimbulkan lesi demielinasi
primer fokal dan neurodegenerasi difus pada substansi alba
dan substansi grisea pada otak dan medula spinalis.
Epidemiologi

Wanita > laki-laki


Jumlah meningkat menjadi 2,3 juta pada tahun 2013
Rata-rata onset yaitu 32 tahun
Etiologi dan
Patofisiologi
MS merupakan penyakit autoimun
Dimediasi oleh limfosit T yang autoreaktif terhadap sistem saraf pusat dan
menimbulkan lesi aktif pada sistem saraf.
Elemen kunci terjadinya
neurodegenerasi pada MS
1. Aktivasi mikroglia/makrofag akibat adanya cedera oksidatif
2. Kerusakan mitokondria dan berkurangnya energi aksonal
3. Hipoksia
4. Degenerasi Wallerian
5. Akumulasi besi
6. Peradangan meningeal
7. Aktivasi sel astrosit
Aktivasi Mikroglia/makrofag

Mikroglia dan makrofag pada lesi aktif MS


mengekspresikan molekul yang terlibat pada produksi
reactive oxygen species (ROS) seperti enzim oksidase
nikotinamid adenin dinukleotid fosfat dan enzim
mieloperoksidase.
Kerusakan Mitokondria

Terjadi delesi mtDNA akibat inflamasi


Cedera mitokondria menimbulkan defisiensi energi, disfungsi rantai respirasi,
cedera oksidatif, gangguan homeostasis kalsium, menyebabkan siklus kerusakan
jaringan yang terus menerus.
Hipoksia

Hipoksia memiliki peran penting dalam terjadinya neurodegenerasi penyakit MS.


Terjadi oligodendrogliopati distal yang ditandai oleh degenerasi sebagian besar
prosesus oligodendrosit distal, kehilangan glikoprotein mielin dari selubung mielin dan
apoptosis oligodendrosit.
Hipoksia virtual/histotoksik: disfungsi mitokondria influx Na+ melalui kanal Na+ dan
reseptor AMPA aksonal pelepasan Ca2+ toksik dari reticulum aksoplasma,
overaktivasi reseptor glutamat ionotropik dan metabotropik , dan aktivasi kanal Ca2+,
menimbulkan hiperstimulasi proses degradasi yang dependen Ca2+.
Hipoksia sejati : Lesi demielinasi fokal pada substansi alba terjadi juga pada daerah
yang memiliki sedikit suplai darah pembentukan superoksida dan nitrat oksida.
Degenerasi Wallerian (Wld)

Merupakan degenerasi pasif dari akson akibat adanya


gangguan neurodegenerasi, termasuk ALS. Pada stadium
awal Wld terjadi pembengkakan mitokondria, akumulasi
fragmen mitokondria dan kerusakan membran
mitokondria.
Akumulasi Besi

Cedera oksidatif menjadi lebih besar apabila terdapat


kation divalent seperi besi (Fe2+) atau perunggu (Cu2+), dan
besi akan menumpuk di dalam otak manusia. Jumlah besi
berkurang pada pasien MS dengan substansi alba yang
tampak normal dan degenerasi selular pada lesi MS
menimbulkan pembebasan besi, sehingga memicu
terjadinya neurodegenerasi dan ledakan peradangan
oksidatif.
Peradangan Meningeal

Peradangan meningeal sering bermanifestasi pada MS bahkan pada awal


perjalanan penyakit. Distribusi peradangan meningeal berhubungan dengan
demielinasi korteks subpial. Ditambah lagi juga terjadi pembentukan (neogenesis)
kelenjar limfoid ektopik pada leptomeninges otak pasien MS. Pembentukan
kelenjar limfoid ektopik telah diketahui dapat muncul pada organ target pada
beberapa gangguan autoimun, seperti: persendian pada artritis reumatoid,
kelenjar tiroid pada tiroditis Hashimoto, kelenjar salivasi pada sindrom Sjrgen,
pachymeninges pada pachymeningitis hipertrofi antibodi antineutrofil
mieloperoksidase positif, dan rongga hidung dan paru-paru pada pasien dengan
granulomatosis dengan poliangiitis.
Aktivasi sel astrosit

Astrosit adalah sel terbanyak di sistem saraf pusat, berfungsi mengatur aktivitas mikroglia,
oligodendrosit, dan sel imun adaptif apabila terjadi neuroinflamasi.
Lactosylceramide (LacCer) disintesis oleh -1,4-galaktosiltransferase 6 (B4GALT6) dan bekerja
secara autokrin untuk mengatur program transkripsi astrosit. LacCer pada astrosit mengatur
rekrutmen dan aktivasi mikroglia dan monosit yang masuk ke sistem saraf pusat dengan
memicu produksi kemokin CCL2 dan granulosit-makrofag colony-stimulating factor (GMCSF).
Walaupun glikogenesis pada astrosit dan metabolisme laktat berperan dalam menjaga
aktivitas otak pada kondisi normal, terdapat defisit astrosit pada reseptor adrenergik 2 di
otak pasien MS, menimbulkan berkurangnya cAMP, sehingga terjadi penurunan glikogenolisis
dan produksi laktat, yang mengakibatkan gangguan metabolisme mitokondria sel akson dan
degenerasi akson.
Faktor Kerentanan Terhadap
MS
Genetik Lingkungan

peningkatan kerentanan 40 Agen Infeksius


kali lipat di antara kerabat Epstein Barr
keluarga MS yang pertama, yang Mycoplasma pneumoniae
menunjukkan basis genetik.
Herpes manusia tipe 6
Lokasi HLA pada kromosom
UV
6p21 yang mengandung antigen
DR telah dikaitkan dengan Konsumsi Vitamin D
kerentanan MS. Infeksi pada ISPA dan ISK
Loci kerentanan tambahan
termasuk kromosom 10p15,
5p13, dan 1p36.
Tipe-tipe MS

ACMS = Acute MS
RRMS = Relapsing-remitting MS
Pada RRMS terjadi perburukan fungsi neurologis (relaps) dan terjadi perbaikan (remisi). Relaps diartikan sebagai
penurunan fungsi neurologis akut pada 24 jam yang diikuti dengan periode kesembuhan parsial atau total.6
SPMS = Secondary progressive MS
Pada SPMS terjadi perkembangan penyakit yaitu meningkatnya disabilitas dengan atau tanpa periode relaps.6
PPMS = Primary progressive MS
Merupakan perburukan fungsi neurologis dibandingkan dengan awal penyakit.6
CIS = Clinically Isolated Syndrome
Merupakan terjadinya serangan yang disertai bukti objektif adanya lesi. Dari pemeriksaan MRI tampak lesi pada
pasien konsisten dengan area demielinasi yang tidak memenuhi kriteria diseminasi pada waktu mapun tempat
Manifestasi Klinis
Bagian serabut saraf
Manifestasi klinis yg
yang terlibat pada Kognitif Gejala neuropsikiatri
tetap
relaps pertama
Nervus optikus Motorik Kelancaran verbal Anxietas
Med. Spinalis Sensorik Persepsi Depresi
Batang otak Ggn. Okulomotor visuospasial
Gejala serebelum Ingatan Jangka
Retensi urin pendek
Inkontinensia urin Fokus
Konstipasi
Inkontinensia fecal
Kriteria diagnosis McDonald
untuk PPMS
Perkembangan penyakit selama 1 tahun.
Ditambah 2 dari 3 kriteria berikut :
Adanya DIS (lesi dissemination in space) pada otak berdasarkan 1 lesi T2 setidaknya
pada 1 area khas pada MS (periventrikular, jukstakortikal, atau infratentorial)
Adanya DIS pada medula spinalis berdasarkan 2 lesi T2 pada medulla spinalis
Temuan cairan serebrospinal positif (berfokus pada sel batang oligoklonal dan/atau
indeks IgG yang meningkat)
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Magnetic
Cairan Resonance
Serebrospinal Imaging

Vitamin D
Cairan Serebrospinal

Temuan positif pada pemeriksaan cairan serebrospinal


sperti adanya peningkatan indeks immunoglobulin atau sel
batang oligoklonal berjumlah 2 atau lebih seringkali
dianggap penting untuk mendukung adanya penyakit
inflamasi demielinasi.
MRI
Kriteria MAGNIMS
Diseminasi pada rongga
Diseminasi pada rongga dapat ditunjukkan oleh adanya setidaknya 2 dari 5 area sistem saraf pusat sebagai berikut:
Tiga atau lebih lesi periventrikular
Satu atau lebih lesi infratentorial
Satu atau lebih lesi medula spinalis
Satu atau lebih lesi nervus optikus
Satu atau lebih lesi kortikal atau jukstakortikal
Diseminasi pada waktu
Diseminasi pada waktu dapat dilihat dari: adanya lesi T2 baru atau lesi gadolinium-enhancing pada MRI follow-up,
dengan perbandingan hasil MRI sebelumnya, tanpa memperhatikan waktu dilakukan MRI sebelumnya; atau adanya
lesi asimtomatik (baik gadolinium-enhancing atau non-enhancing) di waktu apapun.
Vitamin D

Sebuah studi longitudinal telah meneliti mengenai penggunaan serum vitamin


D dalam bentuk 25(OH)D untuk mendeteksi aktivitas penyakit multiple sclerosis,
beban lesi, atrofi otak, dan perkembangan klinis selama 5 tahun.5
Pasien dengan kadar 25(OH)D yang lebih tinggi cenderung memiliki usia lebih
muda, indeks massa tubuh lebih rendah, jumlah lesi T2 yang lebih sedikit, dan
volume otak yang lebih besar pada CIS. Selain itu, terbentuknya lesi aktif yang
baru berkurang dengan meningkatnya kadar 25(OH)D. peningkatan kadar serum
25(OH)D juga berhubungan dengan turunnya nilai EDSS sebanyak 0.16 langkah.5
Tatalaksana

Kortikosteroid DMT

Prednion oral 60-100 mg sekali sehari Interferon beta


Metilprednisolon IV 500-1000 mg Antibodi Monoklonal
sekali sehari Fingolimod
Digunakan untuk mengobati Mitoxantrone
eksaserbasi akut dan memperpendek Dan lain lain
durasi serangan
DMT yang telah disetujui oleh
FDA
Obat lini pertama
Interferon beta
Teriflunomid
Glatiramer asetat
Dimetil fumarate

Obat lini kedua


Fingolimod
Natalizumab
Alemtuzumab
Mitoxantrone
Interferon Beta

efek antiinflamasi inhibisi proliferasi sel limfosit T dan mengurangi migrasi sel
peradangan melewati sawar darah otak.14
Interferon beta-1b : dosis 250 g secara subkutan setiap hari
interferon beta-1a diberikan dengan dosis 30 g intramuskular sekali setiap minggu atau
secara subkutan dengan dosis 22 atau 44 g tiga kali seminggu.14
SE: gejala mirip flu, nyeri otot, demam, menggigil, sakit kepala, nyeri punggung, yang
akan muncul 2-8 jam setelah injeksi dan akan menghilang dalam waktu 24 jam.
Peningkatan enzim hati dan supresi fungsi sumsum tulang juga dapat terjadi sehingga
perlu dilakukan surveilans setiap 6 bulan.
Teriflunomid

agen imunomodulator selektif


menghambat enzim mitokondria dihidroorotat dehidrogenase
yang dibutuhkan dalam sintesis pirimidin, sehingga terjadi
penurunan proliferasi sel yang membutuhkan sintesis pirimidin de
novo.
injeksi subkutan 14 mg sehari sekali
Efek samping : infeksi saluran napas atas, infeksi saluran kemih,
parestesi, diare, mual, kerontokan rambut, peningkatan alanin
aminotransferase, berkurangnya leukosit darah dan peningkatan
tekanan darah.
Glatiramer asetat

Mekanisme aksi obat ini belum sepenuhnya dimengerti tapi


diduga memiliki efek antinflamasi dengan memicu deviasi sel Th2
dalam membentuk sel T CD4+ yang reaktif terhadap glatiramer
asetat. Hal ini akan menumpuk di sistem saraf pusat dan memicu
pelepasan sitokin antiinflamasi.14
injeksi subkutan dengan dosis 20 mg sekali sehari.
Efek samping : reaksi pada tempat injeksi (65%). Sekitar 15%
melaporkan adanya reaksi sistemik yang transien yaitu flushing
dan nyeri dada, disertai palpitasi, anxietas dan dispnea.
Dimetil fumarat

Agen imunomodulator ini memiliki sifat antiinflamasi. Obat ini


memicu aktivasi jalur transkripsi faktor nuklear (erythroid-derived
2)-like 2 (Nrf2). Obat ini juga meningkatkan gen antioksidan yang
dependen Nrf2.14
kapsul 240 mg dua kali sehari.
Efek samping: flushing, mual, diare, nyeri perut. Pengobatan ini
juga dapat menurunkan sel darah putih dan meningkatkan enzim
hati. Obat ini harus dihentikan bila enzim hati meningkat tiga kali
dari nilai normal.
Fingolimod

merupakan modulator reseptor sphingosine 1-fosfat (S1PR) yang memiliki


afinitas tinggi terhadap S1PR
menghasilkan internalisasi dan degenerasi reseptor pada berbagai jaringan
dan sel, termasuk limfosit. Fingolimod menghambat kemampuan limfosit
autoreaktif untuk keluar dari nodus limfe menuju sistem saraf pusat.14
kapsul 0.5 mg diberikan sekali sehari.
Efek samping yang sering muncul yaitu infeksi saluran napas atas, sakit kepala,
batuk, diare, dan nyeri punggung. Fingolimod juga dapat menyebabkan
bradikardi transien dan blokade atrioventricular. Perlu dilakukan monitoring
dengan EKG selama 6 jam setelah dosis pertama
Natalizumab

Natalizumab ( Tysabri )
Ini dirancang khusus untuk pengobatan MS dan disetujui oleh FDA pada tahun 2004.
Untuk sementara ditarik dari pasaran pada tahun 2005 setelah beberapa kasus leukoencephalopathy multifokal
progresif fatal dilaporkan pada pasien yang diobati dengan natalizumab.
Ini disetujui kembali pada tahun 2006 sebagai monoterapi untuk pengobatan RRMS.
Molekul targetnya adalah CD49, subunit 4 dari antigen-4 (VLA-4) yang sangat terlambat. VLA-4 berinteraksi
dengan molekul adhesi sel vaskular-1 sehingga sel kekebalan tubuh dapat bermigrasi melalui sawar darah otak.
Dengan mengikat CD49, natalizumab mencegah adhesi antara sel endotel dan sel kekebalan tubuh, sehingga
migrasi leukosit ke dalam sistem saraf pusat terhambat. Agen ini memiliki manfaat kuat pada tingkat kambuh,
perkembangan kecacatan, dan aktivitas MRI. Risiko PML memerlukan surveilans klinis untuk infeksi virus JC saat
dirawat dengan agen ini.
Alemtuzumab

Molekul targetnya adalah CD52, glikoprotein diekspresikan secara luas pada sel T dan B, sel pembunuh alami, sel
dendritik, monosit, makrofag dan granulosit dengan pengecualian neutrofil.
Alemtuzumab menyebabkan penipisan sel CD52 yang menipis. Ini menghabiskan sel-sel yang memediasi
sitotoksisitas seluler yang bergantung pada Ab, yaitu sel Natural Killer. Studi telah menunjukkan bahwa penipisan
sel kekebalan ini dikaitkan dengan penurunan lesi peningkatan kontras pada MS, sehingga menunjukkan
stabilisasi penghalang otak darah.
Uji coba klinis fase II yang membandingkan keampuhan alemtuzumab versus interferon beta-1a pada pasien
dengan RRMS menunjukkan penurunan rasio kecacatan akumulasi 71% dan penurunan tingkat relaps sebesar
74% pada pasien yang diobati dengan alemtuzumab dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan interferon.
Beta-1a.
Efek samping tersebut meliputi purpura thrombocytopenic idiopatik, penyakit Graves dan sindrom Goodpasture,
semuanya adalah penyakit autoimun Ab-mediated.
Mitoxantrone

adalah anthracenedione sintetis yang menyisipkan DNA. Ini menyebabkan cross-linking dan
untai pecah dan menghambat topoisomerase II, sehingga mengganggu perbaikan DNA.
menghambat migrasi monosit dan limfosit, menginduksi apoptosis sel dendritik,
mengurangi sekresi sitokin proinflamasi seperti faktor nekrosis tumor, interleukin-2 dan
interferon-g.
menghambat fungsi sel B, meningkatkan fungsi penekan sel T dan menghambat degradasi
mielin yang dimediasi makrofag.
Efek samping meliputi penekanan sumsum tulang, alopesia ringan, mual dan perubahan
warna kebiru-biruan sementara dari sklera dan urin Resiko juga meliputi kardiomiopati
vakuolar, leukemia terkait pengobatan, dan sterilitas / teratogenesis.
Faktor yang mempengaruhi
efektivitas DMT
Faktor pasien Faktor Klinis Faktor MRI

Tolerabilitas obat Perbandingan tingkat relaps Peningkatan jumlah lesi otak


Toksisitas obat sebelum dan saat terapi (MRI serial)
Adherensi pada regimen obat Tingkat relaps saat terapi Terbentuknya lesi aktif saat
Adherensi pada kebutuhan (misal: 1 per tahun), terapi
monitoring keparahan, dan derajat Peningkatan lesi batang otak
kesembuhan atau medula spinalis
Perbaikan gangguan neurologis Peningkatan lubang hitam
(misal: skor EDSS meningkat 1 pada MRI (tanda kerusakan
poin dalam 1 tahun) akson ireversibel)
Perbaikan disfungsi kognitif Perburukan atrofi serebral
Adanya antibodi penetral
(terhadap obat interferon beta
dan natalizumab)
Daftar Pustaka
1. Goldenberg MM. Multiple sclerosis review. P T. 2012;37(3):175-184.
2. Lassmann H, Brck W, Lucchinetti CF. The immunopathology of multiple sclerosis: An overview. Brain Pathol. 2007;17(2):210-218.
3. Wingerchuk DM, Carter JL. Multiple sclerosis: Current and emerging disease-modifying therapies and treatment strategies. Mayo Clin Proc.
2014;89(2):225-240.
4. Browne P, Chandraratna D, Angood C, et al. Atlas of Multiple Sclerosis 2013: A growing global problem with widespread inequity. Neurology.
2014;83(11):1022-1024.
5. Ascherio A, Munger KL, White R, et al. Vitamin D as an Early Predictor of Multiple Sclerosis Activity and Progression. JAMA Neurol.
2014;71(3):306.
6. Correa Diaz EP, Ortiz Yepez A, Herran GT, et al. The Clinical and Epidemiological Spectrum of Multiple Sclerosis in Quito, Ecuador. J Neurol
Disord. 2016;4(7).
7. Mahad DH, Trapp BD, Lassmann H. Pathological mechanisms in progressive multiple sclerosis. Lancet Neurol. 2015;14(2):183-193.
8. Loma I, Heyman R. Multiple Sclerosis: Pathogenesis and Treatment. Curr Neuropharmacol. 2011;9(3):409-416.
9. Kawachi I, Lassmann H. Neurodegeneration in multiple sclerosis and neuromyelitis optica. 2017:137-145.
10.Haider L, Simeonidou C, Steinberger G, et al. Multiple sclerosis deep grey matter: the relation between demyelination, neurodegeneration,
inflammation and iron. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2014;85(12):1386-1395..
11. Polman CH, Reingold SC, Banwell B, et al. Diagnostic criteria for multiple sclerosis: 2010 Revisions to the McDonald criteria. Ann Neurol.
2011;69(2):292-302.
12. Filippi M, Rocca MA, Ciccarelli O, et al. MRI criteria for the diagnosis of multiple sclerosis: MAGNIMS consensus guidelines. Lancet Neurol.
2016;15(3):292-303.
13. Siivola SM, Levoska S, Tervonen O, Ilkko E, Vanharanta H, Keinnen-Kiukaanniemi S. MRI changes of cervical spine in asymptomatic and
symptomatic young adults. Eur Spine J. 2002;11(4):358-363.
14. Torkildsen O, Myhr KM, B L. Disease-modifying treatments for multiple sclerosis - a review of approved medications. Eur J Neurol.
2016;23:18-27.
15. Lizak N, Lugaresi A, Alroughani R, et al. Highly active immunomodulatory therapy ameliorates accumulation of disability in moderately
advanced and advanced multiple sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2017;88(3):196-203.
Terimakasih

Вам также может понравиться