Вы находитесь на странице: 1из 16

Deep vein thrombosis

Revalina Hutami
1310211 179
What Is Deep Vein Thrombosis (DVT)?

Deep Vein Thrombosis, or DVT,


occurs when a large blood clot
forms in a vein in your body,
usually the leg.
Sometimes part of the clot
breaks off and travels
through the bloodstream
to your lungs. This is called
a Pulmonary Embolism, or
PE, and can be fatal.
How Many People Are Affected
by Deep Vein Thrombosis (DVT)?

From 350,000 to 900,000 per


year
That's more than the number of new cases of
either breast cancer or prostate cancer during
2012.2

1CDC Public Health Grand Rounds, 2013


2United States Cancer Statistics (USCS)
Am I at Risk
for Deep Vein Thrombosis (DVT)?

Deep Vein Thrombosis (DVT) can


happen to anybody. Risk factors
include:
Recent serious injury such as a
broken bone
Recent surgery
Sitting or lying down for long
periods of time
Having active cancer
Am I at Risk
for Deep Vein Thrombosis (DVT)? 1

Other things that can put you


at risk for DVT include:
Having a family history of blood
clotting disorders
Being pregnant or
recently giving birth
Taking birth control that
contains estrogen
(such as pills, patches, or rings) or
hormone replacement therapy
Am I at Risk
for Deep Vein Thrombosis (DVT)? 2

A few more things that can put you


at risk for DVT include:
Being over age 65
Being overweight
Sitting during travel
longer than 4 hours
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis didapatkan adanya keluhan nyeri pada kaki
dan edema dan adanya beberapa faktor resiko terjadinya trombosis
vena dalam seperti pada umur lanjut, obesitas, infeksi, immobilisasi,
penggunaan kontrasepsi, tembakau, dan perjalanan dengan pesawat
terbang serta adanya riwayat trauma.
Berdasarkan pemeriksaan fisis didapatkan
1. Edema yang biasanya unilateral
2. Nyeri dan nyeri tekan pada kaki
3. Distensi vena
4. Demam
5. Flegmasia cerulean dolens
6. Flegmasia alba dolens
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Darah
a) Tes D-dimer
Plasma D-dimer adalah spesifik turunan dari fibrin, yang dihasilkan ketika fibrin
terdegradasi oleh plasmin, jadi konsentrasinya meningkat pada pasien dengan
tromboembolisme vena. Walaupun sensitive untuk tromboembolisme vena,
konsentrasi yang tinggi D-dimer tidak cukup spesifik untuk membuat suatu
diagnosis karena d-dimer juga dapat meninggi pada kelainan seperti keganasan,
kehamilan dan setelah operasi.
b) Protein S, protein c, antithrombin III, faktor V, prothrombin, antifosfolipid
antibody, dan kadar hemosistein. Defisiensi terhadap beberapa faktor ini
merupakan suatu keadaan abnormal yang menyebabkan terjadinya
hiperkoagulasi.
2. Imaging (pencitraan)
a) Venografi
Merupakan suatu pemeriksaan gold standard untuk menegakkan diagnose
trombosis vena dalam dengan menggunakan kontras. Prosedur ini invasif tetapi
resikonya kecil terhadap suatu reaksi alergi atau trombosis vena.
b) CT-Scan dan MRI
Dengan Ct-Scan dapat menunjukkan adanya trombosis vena dalam dan jaringan
lunak sekitar tungkai yang membengkak. Sedangkan MRI sangat sensitif dan dapat
mendiagnostik kecurigaan adanya trombosis pada vena iliaka atau vena cava
inferior.
c) Ultrasonografi
Merupakan suatu pemeriksaan yang non invasif, tetapi ultrasonografi bukan suatu
pemeriksaan yang memuaskan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena pada
tungkai. Ultrasonografi mempunyai tiga teknik dalam penggunaannya sebagai
berikut:
Kompresi ultrasound : dengan memberikan tekanan pada lumen pembuluh darah jika
tidak ada sisa lumen saat dilakukan tekanan ini mengindikasikan bahwa tidak adanya
trombosis pada vena.
Dupleks ultrasonografi : karakteristik aliran darah dinilai dengan menggunakan pulsasi
signal Doppler. Aliran darah yang normal terjadi secara spontan dan fasik dengan
pernapasan. Ketika pola fasik tidak ada, ini mengindikasikan adanya obstruksi dari aliran
vena.
Colour flow duplex : menggunakan teknik dupleks ultrasonografi tetapi dengan
tambahan warna pada Doppler sehingga dengan mudah mengidentifikasi pembuluh
darah.
Penatalaksanaan
Terapi ditujukan pada upaya menghentikan proses koagulasi darah, mencegah
terjadinya emboli paru, dan pembentukan trombus baru, diberikan heparin
intravena atau trombolitik selama beberapa hari, dan sediaan penghambat
agregasi trombosit atau warfarin selama beberapa bulan.
Pencegahan terjadinya tromboemboli vena terdiri dari pemberian antikoagulan
kepada penderita risiko tinggi misalnya heparin subkutis dosis rendah.
Penanganan trombosis vena dalam secara umum terbagi atas :
a) Antikoagulan
Penanganan trombosis vena dalam tergantung atas lokasi trombus. Trombus pada
vena tungkai dapat ditangani tanpa antikoagulan, khususnya jika trombus
berkembang sebagai akibat kejadian yang tidak teridentifikasi seperti trauma atau
pembedahan. Trombus vena dalam pada daerah proksimal tungkai harus ditangani
dengan antikoagulan untuk mencegah penyebaran trombus dan emboli paru. Terapi
dimulai dengan menggunakan heparin secara intravena, dengan tujuan mencapai
APTT lebih dari dua kali waktu control.
b) Pembedahan
c) Bebat stoking
Pasien dengan trombosis vena dalam harus memakai bebat stoking dan rata-rata
menurunkan angka kejadian terjadinya sindrom post trombotik. Pemakaian ini
dianjurkan karena dapat meringankan rasa nyeri dan bengkak.
Komplikasi
1. Perdarahan diakibatkan oleh penggunaan terapi antikoagulan.
2. Emboli paru
Ini dapat terjadi beberapa jam maupun hari setelah terbentuknya suatu bekuan
darah pada pembuluh darah di daerah tungkai. Gejalanya berupa nyeri dada dan
pernapasan yang singkat.
3. Sindrom post trombotik
Terjadi akibat kerusakan katup pada vena sehingga seharusnya darah mengalir keatas
yang dibawa oleh vena menjadi terkumpul pada tungkai bawah. Ini mengakibatkan
nyeri, pembengkakan dan ulkus pada kaki.
Prognosis
Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani dapat
berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat
menyebabkan kematian. Dengan antikoagulan terapi angka
kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali

Вам также может понравиться