Вы находитесь на странице: 1из 9

Hj.Andi Reni, SE.,M.Si.,Ph.

International Management
Ethical Challenges of International Management

Kelompok 05
Monika Puji Lestari P2100216056
Rani Rifani Arifuddin P2100216057

Universitas Hasanuddin
Makassar
2017
Etika
Etika diartikan sebagai kepercayaan individu
tentang apakah keputusan, perilaku, atau
tindakan tertentu benar atau salah. Konsep
perilaku etis biasanya merujuk ke perilaku yang
diterima oleh norma sosial umum.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan
sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat
karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam
praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat
menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang
dijalankan.
Bisnis disebut good business, Jika :
Tingkah laku bisnis harus memenuhi syarat-syarat
dari semua sudut pandang ekonomi, hukum dan
moral.
1. Sudut Pandang Ekonomis, tolok ukurnya tidak
sulit, bisnis adalah baik kalau menghasilkan laba.
2. Sudut Pandang Hukum, tolok ukurnya jelas,
bisnis dikatakan baik kalau sesuai dengan hukum
yang berlaku.
3. Sudut Pandang Moral, ada tiga tolok ukur yaitu
hati nurani, Kaidah Emas dan penilaian
masyarakat umum
Mengapa bisnis harus dilakukan secara
etis
Untuk memenuhi kebutuhan para pemangku
kepentingan
Adanya pengaruh positif etika bisnis terhadap
kemampuan memperoleh keuntungan (profitability) di
masa yang akan datang.
Pemerintah mewajibkan untuk melakukan bisnis secara
etis.
Mencegah kerugian besar (no harm) bagi masyarakat
dan pemangku kepentingan akibat tindakan dari
perusahaan.
Dalam persaingan bisnis yang ketat, pelaku bisnis
sangat menyadari bahwa konsumen adalah raja.
Norma-Norma Moral yang Umum
Pada Taraf Internasional
Richard De George menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang harus kita lakukan jika di bidang bisnis norma-norma
moral di negara lain berbeda dengan norma-norma yang kita anut, yaitu:
1. Menyesuaikan diri
Seperti peribahasa Indonesia: Dimana bumi berpijak, disana langit dijunjung. Maksudnya adalah kalau sedang
mengadakan kegiatan ditempat lain bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat
itu. Diterapkan di bidang moral, pandangan ini mengandung relativisme ekstrem.
2. Rigorisme moral
Yang di maksud dengan rigorisme moral adalah mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negeri
sendiri. De George mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh
dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di
tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan rigorisme moral ini adalah bahwa kita harus
konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak
mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat lain.
3. Imoralisme naif
Menurut pandangan ini, dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Memang
kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum tetapi selain itu, kita tidak terikat oleh norma-norma moral.
Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya
akan terganggu. Perusahaan-perusahaan lain yang tidak begitu scrupulous dengan etika akan menduduki posisi
yang lebih menguntungkan. Sebagai argumen untuk mendukung sikap itu sering dikemukakan: semua
perusahaan melakukan hal itu.

ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL


Menurut Charles WH Hill (2008) Bisnis Internasional adalah
Perusahaan yang terlibat dalam perdagangan maupun investasi
internasional.
Bisnis internasional merupakan kegiatan bisnis yang dilakukan
antara Negara yang satu dengan Negara yang lain.

Kegiatan bisnis yang meningkat di dunia dewasa ini, telah


menimbulkan tantangan baru, yaitu adanya tuntutan praktik bisnis
yang baik, etis, dan menjadi dasar kehidupan bisnis yang dapat
diterima oleh banyak negara di dunia. Dalam kegiatan bisnis
internasional, perusahaan akan mampu bertahan apabila mampu
bersaing. Untuk dapat bersaing tentunya harus memiliki daya saing,
yang di antaranya dihasilkan dari produktivitas dan efisiensi. Untuk
itu diperlukan etika dalam berusaha atau berbisnis, karena praktik
usaha yang tidak etis dapat menimbulkan kegagalan pasar,
mengurangi produktivitas dan meningkatkan ketidakefisienan.
ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL
Perbedaan sosial dan budaya antarnegara merupakan faktor-faktor lingkungn penting yang
mentukan perilaku etis dan tidak etis. misalnya, manajer sebuah perusahaan Meksiko menyuap
bebrapa pejabat tinggi pemerintah di Mexico City untuk mendapatkan kontrak pemerintah yang
menguntungkan. Praktik semacam itu akan dianggap tidak etis, bahkan melawan hukum, di
Amerika Serikat. Tetapi langkah itu merupakan praktik bisnis biasa di Meksiko.
Dalam kasus membayar dalam rangka mempengaruhi para politikus atau pejabat asing, ada
undang-undang yang dapat membimbing para manajer Amerika Serikat. The Foreign Corrupt
Practies Act, menganggap tidak legal jika perusahaan Amerika Serikat secara sengaja menyogok
pejabat asing. Bahkan peraturan itu pun tidak senantiasa membuat berbagai dilema etis itu menjadi
hitam putih. Di sejumlah negara Amerika Latin, misalnya, para birokrat pemerintah mendapat gaji
yang amat rendah karena adat-istiadat mendiktekan bahwa mereka hanya loyal menerima sedikit
uang dari orang-orang yang mereka layani. Pembayaran-pembayaran itu melicinkan mesin
pemerintahan dan menjamin bahwa segala sesuatunya dilaksanakan. The Foreign Corrupt Practies
Act tidak dengan tegas melarang uang sogok kecil-kecilan kepada pegawai pemerintah asing yang
tugasnya terutama bersifat melayani atau tulis-menulis jika di negara tertentu uang sogok semacam
itu merupakan bagian praktik bisnis yang diterima.
Sangat sulit bagi para manajer perorangan yang bekerja dalam kebudayaan asing untuk menyadari
berbagai pengaruh sosial, budaya, serta politik dan hukum terhadap apa yang dianggap perilaku
yang wajar dan dapat diterima. Dan organisasi global harus pula memperjelas garis pedoman etika
organisasi tersebut agar para karyawan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka sewaktu
bekerja di lokasi tertentu di luar negeri. Itu menambah dimensi lain ke dalam pembuatan
keputusan etis.
Norma-Norma Moral yang Umum
Pada Taraf Internasional?
Richard De George menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang harus kita lakukan jika di bidang
bisnis norma-norma moral di negara lain berbeda dengan norma-norma yang kita anut, yaitu:
Menyesuaikan diri
Seperti peribahasa Indonesia: Dimana bumi berpijak, disana langit dijunjung. Maksudnya adalah
kalau sedang mengadakan kegiatan ditempat lain bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma-
norma yang berlaku di tempat itu. Diterapkan di bidang moral, pandangan ini mengandung
relativisme ekstrem.
Rigorisme moral
Yang di maksud dengan rigorisme moral adalah mempertahankan kemurnian etika yang sama
seperti di negeri sendiri. De George mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh
melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri
dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam
pandangan rigorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita.
Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik
dan terpuji di tempat lain.
Imoralisme naif
Menurut pandangan ini, dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma
etika. Memang kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum tetapi selain itu, kita tidak terikat
oleh norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam
posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaan-perusahaan lain yang
tidak begitu scrupulous dengan etika akan menduduki posisi yang lebih menguntungkan. Sebagai
argumen untuk mendukung sikap itu sering dikemukakan: semua perusahaan melakukan hal itu.
Jika norma di Negara lain berbeda
dengan norma yang dianut sendiri?
Richard De George membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan mengenai pertanyaan
di atas sebagai berikut : a. Menyesuaikan Diri Untuk menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini
menggunakan peribahasa**Kalau di Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang roma** Artinya
perusahaan harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di negara itu, yang sama dengan peribahasa
orang Indonesia **Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung**. Norma-norma moral yang penting berlaku di
seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat.
Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan
norma-norma hukum di semua tempat tidak sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di
tempat lain dianggap sangat tidak sopan. b. Regorisme Moral Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan
ini dapat disebut rigorisme moral, karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya
sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di
negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain.
Mereka berpendapat
4. bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam
perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi
baik dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral kurang memperhatikan bahwa
situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis. c. Imoralisme Naif Menurut pandangan ini dalam bisnis
internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan- ketentuan
hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak
terikat norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang
merugikan, karena daya saingnya akan terganggu.

Вам также может понравиться