Вы находитесь на странице: 1из 37

BAB 19.

MANAJEMEN RISIKO
PERBANKAN
Perbankan merupakan sektor usaha yang diatur
dengan sangat ketat karena alasan-alasan
tertentu.
Bagian pertama bab ini membicarakan
manajemen risiko yang dirumuskan oleh Komite
Basel, yang berujung pada perhitungan modal
yang berbasis risiko. Pembicaraan diteruskan
dengan membahas peraturan manajemen risiko
bank di Indonesia.
Bagian kedua membicarakan manajemen risiko
di Chase Manhattan Bank. Chase merupakan
bank dengan operasi global.
RISIKO PERBANKAN
Komite Basel merupakan komite yang terdiri dari perwakilan bank
sentral dari negara G10 plus dua negara lainnya, yang mempunyai
tiga tujuan dalam kaitannya dengan regulasi mengenai perbankan.
Ketiga tujuan tersebut adalah:
1. Memperkuat kelayakan dan stabilitas sistem perbankan
internasional
2. Menciptakan kerangka yang adil untuk mengukur kecukupan
modal bank internasional
3. Mempunyai kerangka yang bisa diterapkan secara konsisten untuk
menyamakan ‘level playing field’ (ketidaksamaan landasan
kompetisi) antar bank internasional.
Komite tersebut merumuskan regulasi perbankan, yang pada
akhirnya banyak diadopsi oleh regulator perbankan di negara
lainnya. Bagian ini membicarakan rumusan aturan yang
dikembangkan oleh komite Basel.
Komite Basel 1 untuk pengawasan perbankan didirikan pada tahun
1974 oleh gubernur bank sentral Negara G10 plus 2 negara lainnya
(Spanoly dan Luxemburg).
Salah satu rumusan Basel 1 untuk mencapai
tujuannya adalah konsep risk weighted assets
(Aset berbobot risiko). Aset berbobot risiko
adalah aset bank yang dikalikan dengan bobot
risiko (risk weight), yang kemudian dipakai
untuk perhitungan modal yang disyaratkan.
Semakin tinggi risiko aset bank, semakin tinggi
bobot risiko aset tersebut.
Komite Basel menggunakan lima kategori kelas
aset, yang berarti menggunakan lima kategori
bobot risiko, yaitu 0%, 10%, 20%, 50%, dan
100%.
Sebagai contoh, misal bank memberikan pinjaman kepada bank
non-OECD dengan jangka waktu enam bulan, sebesar Rp1
milyar. Aset berbobot risiko untuk pinjaman tersebut bisa
dihitung sebagai berikut ini.
Aset berbobot risiko = Rp1 milyar x 20% = Rp200 juta
Selanjutnya, Komite Basel merumuskan target rasio modal yang
ditetapkan sebesar 8% dari aset berbobot risiko. Target rasio
modal bisa dirumuskan sebagai berikut ini.

Target rasio Eligible capital


Modal = ------------------------------- x 100% = 8%
Risk weighted assets

Dalam contoh di atas, modal yang diperlukan (yang dipegang)


jika bank memberikan pinjaman kepada bank non-OECD adalah:
Eligible capital = 0,08 x Rp200 juta = Rp16 juta
Perhatikan bahwa jika bank mempunyai aset dengan risiko yang
tinggi, maka bank tersebut harus memegang modal yang juga
lebih besar.
Ekuivalen Risiko Kredit
Item-item off-balance sheet (diluar neraca
tetapi mempunyai konsekuensi sama
dengan item on-balance sheet) harus
dimasukkan dalam perhitungan modal.
Contoh item on-balance sheet: hutang
Contoh item off-balance sheet: menjamin
(berjanji) akan memberikan hutang
Item off-balance sheet dirubah ke on-
balance sheet melalui faktor konversi
Kontrak derivative merupakan kontrak kontinjensi (off balance
sheet) lainnya, tetapi mendapat perlakukan khusus.
Contoh kotrak tersebut adalah forward, futures, opsi, dan swap
(lihat bab mengenai derivative).
Dalam kontrak derivative, besarnya kewajiban biasanya tidak
sebesar nilai nominal kontrak. Sebagai contoh, misal dua bank
melakukan swap tingkat bungan dengan nilai nominal Rp1 milyar.
Bank A membayarkan tingkat bunga tetap sebesar 10% kepada
bank B. Sebaliknya, bank B membayarkan tingkat bunga
mengambang ke bank A (misal LIBOR+1%). Jika tingkat bunga
LIBOR adalah 11%, maka bank A membayarkan 10%, dan
menerima 12%. Dalam hal ini bank A hanya menerima sisa
sebesar 2% (12% -10%), kemudian dikalikan dengan nilai
nominalnya sebesar Rp1 milyar, yaitu Rp20 juta. Bank A
menerima Rp20 juta meskipun nilai kontraknya adalah Rp1
milyar.
Ada dua metode perhitungan credit equivalence untuk kontrak
derivative, yaitu:
 Current exposure method
 Originak exposure method
Current Method
Credit equivalence (CE) untuk transaksi
derivative sebagai berikut ini.
CE = nilai pasar saat ini + (notional amount x
add on)
Tambahan (add on) dilakukan karena risiko
kredit dari transaksi derivative bisa berubah-
ubah (tidak konstan). Untuk mengantisipasi
perubahan risiko kredit tersebut, maka ada
semacam ‘cadangan’ kompensasi untuk
kenaikan risiko kredit.
Misalkan Bank A melakukan kontrak swap dengan bank OECD senilai Rp1
milyar dengan jangka waktu enam tahun. Sisa kontrak adalah dua tahun
(kontrak sudah berjalan selama empat tahun). Bank A berjanji untuk
membayar bunga tetap 5%, dan akan menerima tingkat bunga LIBOR
(tingkat bunga mengambang, bisa berubah-ubah. Biasanya perubahan
diatur setiap enam bulan). Tingkat bunga saat ini mengalami kenaikan
sehingga swap tersebut bernilai positif, misal nilai pasar kontrak tersebut
adalah Rp150 juta. Berapa modal yang harus dipegang bank tersebut?
METODE ORIGINAL EXPOSURE

Untuk menghitung Credit Equivalence, angka tersebut


(dalam tabel di atas), dikalikan dengan nilai nominal untuk
perhitungan CE. Dengan metode tersebut, bank tidak perlu
untuk menghitung nilai pasar kontrak tersebut.
ELIGIBLE CAPITAL
Tier 1: Saham biasa yang disetor penuh
dan saham preferen non-kumulatif
perpetual, dan disclosed reserves
Tier 2: Undisclosed reserves, cadangan
dari revaluasi aset, provisi umum,
cadangan kerugian kredit, instrument
hybrid, dan hutang subordinasI
Tier 2 tidak boleh melebihi 50% dari total
modal.
Modal dasar tidak memasukkan:
Goodwill
Investasi pada perusahaan keuangan dan
banking yang tidak dikosolidasi
Investasi pada modal bank lain dan perusahaan
keuangan (berdasarkan kebijakan pengawas di
Negara tersebut)
Investasi minoritas di perusahaan/bank yang
tidak dikonsolidasi
Tier 3 hanya bisa digunakan hanya untuk
mendukung portofolio perdagangan.
Perbaikan Risiko Pasar (Market
Risk Amendment 1996)
Metode yang dikembangkan Basel Accord tersebut masih
mempunyai kekurangan, terutama sensitivitas terhadap risiko
yang dirasa masih kurang. Pada tahun 1996 komite Basel
mengeluarkan Market Risk Amendment 1996.
Amendment tersebut memfokuskan pada risiko pasar. Perbaikan
(amendment) tersebut dilakukan setelah komite melakukan
investigasi mengenai metodologi internal yang sering digunakan
oleh bank-bank besar untuk mengukur risiko perbankan.
Metodologi tersebut seringkali berbeda secara signifikan dengan
metode aset berbobot risiko yang dikembangkan oleh komite
Basel. Investigasi tersebut mengarah pada penerimaan metodologi
internal yang dikembangkan oleh bank-bank besar tersebut.
Model kuantitatif yang banyak digunakan oleh bank dan akhirnya
diadopsi oleh komite Basel adalah VAR (Value At Risk). Bab
mengenai pengukuran risiko pasar membicarakan tehnik
perhitungan VAR.
Basel II
Basel I mempunyai kelemahan seperti risiko yang dicakup
untuk perhitungan permodalan adalah risiko kredit, yang
kemudian diperbaiki dengan memasukkan risiko pasar.
Bobot risiko untuk risiko kredit masih ‘kasar’ dimana untuk
pinjaman kepada perusahaan, hanya mempunyai satu tingkat
pembobotan, yaitu 100%. Padahal risiko kredit perusahaan
bisa berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, perusahaan
dengan rating rendah (misal AAA) mempunyai risiko yang
rendah. Menggunakan hanya satu tingkat risiko dengan
demikian kurang tepat.
Pada tahun 1999, komite Basel bekerja sama dengan
beberapa bank besar untuk mengembangkan permodalan
bank yang baru. Basel II mempunyai kerangka permodalan
yang lebih kompleks dibandingkan dengan Basel I. Dari sisi
risiko, jika Basel I hanya membicarakan risiko kredit dengan
risiko pasar, maka Basel II memasukkan risiko operasional
dan lainnya.
Kerangka (Tiga Pilar) Basel II
Pilar 1: Modal minimum
Bank diwajibkan menghitung modal minimum yang harus dipegang
untuk menutup risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Pilar 2: Review Pengawasan
Proses review pengawasan ditujukan untuk memformalkan praktek
sekarang yang dilakukan banyak regulator, khususnya bank sentral
Amerika Serikat dan Inggris. Review pengawasan ditujukan untuk
memfokuskan perhatian pada perhitungan modal diatas modal
minimum pada pilar 1 dan tindakan awal yang diperlukan jika bank
mengalami kesulitan. Pilar 2 juga memasukkan review risiko spesifik
yaitu risiko tingkat bunga yang dihadapi perbankan (dituliskan pada
paper Juli 2004).
Pilar 3: Disclosure
Pilar 3 memfokuskan pada disiplin pasar yang didefinisikan sebagai
mekanisme corporate governance internal dan eksternal di pasar
bebas diluar intervensi lansung dari pemerintah.
Basel II untuk pertama kalinya mencantumkan risiko
operasional. Dengan demikian Pilar 1 Basel II mencantumkan
risiko kredit, pasar, dan operasional.
Risiko operasional didefinisikan sebagai risiko kerugian karena
proses internal yang tidak memadai atau gagal, sistem dan
orang, dan dari kejadian eksternal. Risiko operasional
mencakup aspek yang sangat luas.
Beberapa contoh sumber risiko operasional adalah:
 Risiko eksekusi, gangguan bisnis, transaksi
 Risiko orang, manajemen yang jelek
 Risiko criminal, pencurian, perampokan, dan lainnya
 Risiko teknologi, aset fisik
 Risiko kepatuhan dan risiko legal
 Risiko informasi
• Risiko tersebut mencakup aspek yang luas, meskipun ada
beberapa risiko yang belum masuk dalam cakupan risiko
operasional, seperti risiko bisnis, risiko strategis, dan risiko
reputasi.
Review Pengawasan
Basel II memasukkan review pengawasan sehingga
regulator bisa meminta bank tertentu untuk
meningkatkan modalnya jika regulator merasa bahwa
bank tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi (risiko
lainnya atau residual risks).
Pilar 2 juga mencakup risiko yang spesifik yaitu risiko
perubahan tingkat bunga.
Jika suatu bank mempunyai risiko tingkat bunga yang
tinggi, maka pengawas bank bisa meminta bank tersebut
untuk menambah modalnya. Disamping itu Pilar 2 juga
mencakup proses pengawasan sehingga tindakan dini
bisa dilakukan jika suatu bank mengalami kesulitan.
Manajemen Risiko Perbankan
Indonesia
Perbankan di Indonesia diawasi oleh Bank Indonesia, yang
merupakan bank sentral di Indonesia.
Secara umum, Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk
mempertahankan nilai Rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia
bertanggung jawab terhadap:
 Merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter
 Menjaga dan mempertahankan sistem pembayaran
 Mengatur dan mengawasi perbankan
• Manajemen risiko perbankan diatur melalui Peraturan Bank
Indonesia (PBI) 5/8/PBI/2003 yaitu mengenai Pelaksanaan
Manajamen Risiko Bank.
Bank diharuskan mengelola risiko secara terintegarsi dan
membuat sistem, struktur manajemen yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tersebut.
Bank Indonesia mengharuskan bank untuk mengelola
empat risiko berikut ini:
 Pasar: risiko karena harga pasar yang bergerak ke arah
yang tidak menguntungkan
 Kredit: risiko karena counterparty mengalami gagal bayar
(tidak bisa memenuhi kewajibannya)
 Operasional: risiko yang terjadi karena proses internal
yang gagal, tidak memadai, kesalahan manusia,
kegagalan sistem, dan masalah eksternal yang
mempengaruhi operasi bank
 Likuiditas: risiko yang terjadi karena bank tidak bisa
memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo
Untuk bank yang lebih besar dan kompleks, bank
juga diharuskan untuk mengelola risiko:
1. Risiko legal: risiko yang muncul karena tindakan
atau tuntutan hukum
2. Risiko reputasi: risiko yang muncul karena
publisitas dan persepsi negatif mengenai operasi
bank
3. Risiko strategis: risiko karena pelaksanaan
strategi yang kurang baik, pengambilan
keputusan yang kurang baik, kurangnya respons
terhadap perubahan eksternal
4. Risiko kepatuhan: risiko kegagalan bank patuh
terhadap hukum, peraturan, dan perundangan
yang berlaku
ILUSTRASI MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN

: CHASE MANHATTAN

Chase Manhattan merupakan bank dengan bisnis global yang mencakup


tiga kelompok bisnis besar: Global Services, Consumer Services, dan
Global Bank
Sebagai bank besar, kegiatan bisnis Chase Manhattan lebih luas
dibandingkan dengan kegiatan bisnis perbankan tradisional.
Kegiatan bisnis perbankan tradisional memfokuskan pada menarik dana
dari masyarakat dan meminjamkan dana tersebut. Bank memperoleh
interest income dari bisnis tersebut. Kegiatan bank konvensional semacam
itu mendatangkan dua risiko, yaitu risiko kredit (jika kredit yang diberikan
macet) dan risiko likudiitas (jika masyarakat menarik dananya di luar
perkiraan bank).
Chase menjual sebagian besar kredit yang diberikan (hampir 90%). Chase
kemudian memperoleh pendapatan dari fee (komisi) untuk memulai
(credit initiation) dan melayani (servicing) kredit tersebut. Chase
mengurangi risiko kredit, menghemat modal yang dipakai untuk bisnisnya
(modal tidak perlu terikat pada kredit yang diberikan). Hampir separuh
dari laba Chase berasal dari kegiatan pasar modal dan investasi saham
individu (private equity investment)  risiko pasar cukup besar.
Chase percaya bahwa kunci untuk mengelola
risiko adalah diversifikasi dan pengendalian yang
kuat. Bagian penting dari proses pengendalian
adalah komite manajemen risiko.
Chase muluncurkan program SVA sebagai
bagian dari manajemen risiko bank tersebut.
Chase ingin mengkomunikasikan konsep
manajemen risiko yang tidak terlalu kompleks,
mudah dipahami oleh semua tingkatan dalam
organisasi. SVA pada dasarnya merupakan
konsep residual income, yaitu menghitung laba
dengan mengurangkan beban untuk modal dari
pendapatan operasional.
SVA = Pendapatan operasional – Beban untuk
modal
Bagaimana cara kerja SVA?
SVA = Pendapatan operasional – beban modal
Misalkan ada dua orang trader (A dan B) sama-sama
menggunakan dana sebesar Rp100 juta. Trader A
memperdagangkan surat berharga pemerintah yang risikonya
lebih rendah. Trader B memperdagangkan saham yang
risikonya lebih tinggi. Karena risikonya lebih rendah,
keuntungan yang disyaratkan (beban modal) untuk A adalah
6%, sedangkan untuk B adalah 11% (karena risikonya lebih
tinggi). Jika A ingin memperoleh SVA yang positif, maka ia
harus memperoleh keuntungan sebesar minimal 6%,
sementara bagi B, ia harus memperoleh keuntungan sebesar
minimal 11%. Melalui cara seperti itu, risiko akan secara
otomatis diperhitungkan dalam evaluasi kinerja trader
tersebut.
Risiko Pasar Chase
Chase menggunakan beberapa ukuran risiko pasar, yaitu Value At
Risk (VAR), stress-testing, dan ukuran non-statistik lainnya.
Ketiga ukuran tersebut diharapkan memberikan gambaran risiko
pasar yang komprehensif yang dihadapi oleh Chase.
Chase menggunakan VAR harian dengan confidence level 99%.
Chase menghitung VAR dengan metode histories, yaitu dengan
menggunakan data satu tahun terbaru untuk indikator pasar seperti
tingkat bunga, perubahan kurs, harga pasar saham dan komoditas,
dengan asumsi indikator tersebut bisa memprediksi kondisi di masa
mendatang. Metode simulasi data histories digunakan dengan
menggunakan nilai indikator harian pada saat pasar tutup. Chase
menghitung VAR untuk setiap posisi individu, dan agregat
berdasarkan tipe bisnis, geografis, valuta asing, dan tipe risiko.
Tentu saja Chase juga menyadari bahwa validitas model tersebut
tergantung dari kualitas data yang dipakai, karena itu Chase juga
melakukan back-testing untuk melihat akurasi model VAR tersebut.
Chase melengkapi VAR dengan analisis stress-test yang
cukup rinci. Berikut ini contoh hasil analisis stress-test
yang dilakukan oleh Chase.
Ukuran Risiko Pasar Non-Statistik
(Non-Kuantitatif)
Indikator risiko pasar non-statistik digunakan untuk
melengkapi indikator kuantititaif. Indikator yang
digunakan antara lain adalah posisi terbuka bersih
(net open position), nilai basis poin, konsentrasi
posisi, dan perputaran posisi.
Indikator tersebut diharapkan memberikan tambahan
informasi mengenai besar dan arah dari eksposur.
Sebagai contoh, nilai basis poin portofolio
menunjukkan apakah perubahan indikator pasar
sebesar satu basis poin (1 bps atau 1/100 dari
100%) akan mengakibatkan kerugian atau
keuntungan dan seberapa besar.
Manajemen Risiko Pasar
Beberapa manajemen risiko pasar yang digunakan oleh Chase adalah
penetapan batas VAR dan stress-test yang disetujui oleh Dewan Direksi
dan memasukkan ekspsur stress-test dalam metologi perhitungan
alokasi modal. Jika batas tersebut terlewati, maka secara otomatis
portofolio akan direview.
Pengendalian yang pokok dilakukan melalui penetapan batas. Struktur
penetapan batas tersebut berlanjut sampai ke level bawah (level trading
desk), dan mencakup instrument yang bisa diperdagangkan,
pengalaman dari trader, batas non-statistik, dan konsultasi kerugian.
VAR dihitung baik pada level agregat maupun unit bisnis.
Pembatasan non-statistik diperlukan karena dalam kondisi tertentu,
misal krisis keuangan, asumsi statistic tidak lagi berjalan sebagaimana
mestinya. Batas non-statistik memasukkan faktor-faktor likuiditas pasar,
strategi bisnis, kinerja sebelumnya, pengalaman manajer.
Batas risiko direview secara regular minimal dua kali dalam satu tahun.
Chase juga menggunakan anjuran stop-loss untuk mengendalikan
risiko. Dengan demikian, Chase menggunakan indikator statistic (VAR,
stress-test), non-statistik, anjuran stop-loss, untuk mengelola risiko
pada kondisi pasar normal dan tidak normal
Risiko Kredit
Chase menggunakan tehnik statistic untuk mengestimasi
kerugian yang diharapkan dan kerugian yang tidak diharapkan
(di luar perkiraan). Kerugian yang tidak diharapkan
merupakan penyimpangan dari kerugian yang diharapkan.
Estimasi tersebut menentukan alokasi biaya kredit untuk unit-
unit bisnis, yang kemudian dimasukkan ke dalam pengukuran
SVA unit bisnis.
Untuk kredit ritel (consumer), Chase menggunakan model
portofolio yang canggih, model scoring kredit, dan alat
kuantitatif lainnya untuk menghitung dan menetapkan standar
risiko kredit ritel. Parameter ditentukan sejak awal, dan biaya
kredit (misal persentase yang macet) merupakan bagian
integral untuk penentuan haga dan evaluasi kredit. Portofolio
kredit ritel dimonitor untuk mengidentifikasi penyimpangan
dari standar yang diharapkan, dan pergeseran pola perilaku
nasabah.
Untuk kredit komersial, proses manajemen risiko kredit
dimulai dengan proses pemilihan nasabah. Pendekatan
industri global yang dilakukan Chase membantu
pengenalan risiko industri yang muncul, sehingga
antisipasi bisa dilakukan lebih awal. Nasabah
internasional juga penting diperhatikan. Chase
memfokuskan pada perusahaan terbesar, pemimpin
dalam sektornya, dengan kebutuhan pendanaan
internasional. Manajemen konsentrasi kredit juga
penting dilakukan. Chase mengelola konsentrasi kredit
berdasarkan tingkat risiko, industri, produk, lokasi
geografis.
Manajemen Risiko Kredit
1. Mentransfer risiko kredit ke pihak lain melalui penjualan kredit.
Chase memberikan kredit sekitar $500 milyar setiap tahunnya,
tetapi hanya menahan sekitar 7% dari kredit tersebut. Penjualan
semacam itu secara signifikan mengurangi risiko kredit Chase.
Chase memperoleh fee dari kegiatan memulai kredit dan
pelayanan kredit. Disamping itu modal bisa cepat kembali, yang
kemudian diputar lagi.
Meskipun penjualan kredit cukup gencar dilakukan oleh Chase,
tetapi Chase masih mempertahankan sebagian (kecil) dari kredit
tersebut. Chase berargumen bahwa dengan mempertahankan
sebagai kredit tersebut, Chase ingin menunjukkan bahwa Chase
masih mempunyai komitmen dengan bisnis kredit tersebut. Jika
ada kesulitan yang berkaitan dengan kredit, Chase masih bisa
membantu dan mempunyai keahlian untuk menangani kredit
tersebut.
2. Menggunakan metode SVA untuk mengevaluasi kinerja unit
pemberi kredit. Melalui metode SVA, manajer unit kredit akan
melihat risiko dari kredit yang akan diberikan sehingga mereka
akan berhati-hati dalam mengambil keputusan pemberian kredit.
Risiko Operasional
Kerugian dari risiko operasional lebih sulit
diprediksi dan lebih sulit untuk dikuantifisir.
Risiko operasional mencakup hal-hal seperti
kejahatan oleh karyawan atau pihak luar,
transaksi yang tidak diberi otorisasi, kesalahan
pencatatan, kesalahan karena sistem computer
atau telekomunikasi yang tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Chase sudah melakukan pengendalian yang
cukup, tetapi tidak ada jaminan bahwa kerugian
akibat risiko operasional tidak terulang di masa
mendatang.
Risiko operasional akan mempengaruhi
perhitungan SVA, tetapi metodologi pengukuran
risiko operasional masih relative sederhana.
Perhitungan modal berdasarkan risiko
operasional dilakukan setiap kuartal.
Perhitungan risiko operasional didasarkan pada
tiga hal:
 Biaya operasional (dalam dolar)
 Skor dari audit internal
 Ranking evaluasi risiko
Manajer unit yang memperoleh skor risiko A
(risiko rendah), maka modalnya (berbasis risiko)
akan diperhitungkan lebih rendah, sehingga
akan meningkatkan SVA manajer tersebut.
Disamping audit internal untuk mengevaluasi risiko
operasional, Chase juga menggunakan COSO based self-
assessment program untuk mengevaluasi risiko
operasional.
Melalui program tersebut, manajer diminta untuk
mengevaluasi risiko operasional di unit bisnis yang
dibawahinya, menggunakan kerangka yang
dikembangkan oleh COSO (Committee of Sponsoring
Organizations of the Treadway Commission).
Kuesioner tersebut menjadi salah satu masukan untuk
skor dari audit internal dan ranking evaluasi risiko.
Bab mengenai risiko operasional menyajikan lebih
lengkap evaluasi diri (self-evaluation) yang dilakukan
untuk mengevaluasi risiko operasional Chase Manhattan
dengan menggunakan kerangka COSO tersebut.

Вам также может понравиться