Вы находитесь на странице: 1из 54

KELISTRIKAN PADA SYARAF DAN

OTAK

Manogari S. SSi MT

Bagian Fisika Fakultas Kedokteran UKI


Potensial listrik pada syaraf
 Kemampuan serabut untuk menerima dan
mengirim sinyial elektris telah diketahui
dengan baik
 Banyak riset-riset terdahulu mengenai perilaku
elektris serabut syaraf dilakukan pada serat
syaraf besar atau squid
 Diameternya yang termasuk besar (~1 mm)
dari serat syaraf ini memudahkan elektroda
untuk dimasukkan atau digabungkan untuk
pengukuran.
Sistem syaraf dan neuron
 Sistem syaraf dibagi dalam 2 bagian yaitu :
 Sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom.
 Sistem syaraf pusat
 Terdiri dari otak, medulla spinalis, dan syaraf perifer
 Syaraf perifer ini adalah serat syaraf yang mengirim
informasi sensoris ke otak atau kemedula spinalis
disebut syaraf afferen, sedangkan serat syaraf yang
menghantarkan informasi dari otak atau medula
spinalis ke otot serta kelenjar disebut syaraf efferen.
SISTEM SYARAF OTONOM
 Suatu sel syaraf mempunyai fungsi menerima,
interpretasi dan menghantarkan arus listrik.
 Pada dasarnya neuron terdiri dari badan sel yang
menerima pesan listrik dari neuron lain melalui
kontak yang dinamakan synapsis dan terletak
pada dendrit atau badan sel
 Dendrit adalah bagian-bagian neuron yang
khusus untuk menerima informasi dari
rangsangan atau sel lain
• Jika rangsangan cukup kuat, neuron mentransmisi sinyial
listrik sepanjang serat yang dinamakan Axon. Axon
membawa sinyial listrik ke otot, kelenjar atau neuron lain.
• Pada permukaan atau membran setiap neuron terdapat
selisih potensial akibat adanya kelebihan ion negatif
dibagian dalam membran, dalam keadaan ini neuron dala
keadaan terpolarisasi.
• Bagian dalam sel mempunyai potensial 60 sampai 90 mv
lebih negatif dibandinkan dengan bagian luar sel
• Potensial ini dinamakan potensial istirahat atau potensial
Nernst dari neuron.
Nernst – equation (chemical potential):

R … Gas-Constant = 8,3143 J / (mol·K)


T … Temperature (Kelvin)

Goldman – equation (for different ions):

As a result, we get a membrane resting potential of about -70mV


 Melalui selaput pemisah ion-ion akan menembus selaput
dan proses akan berlangsung terus sampai akhirnya disisi
selaput akan terkumpul ion-ion negatif sedangkan disisi
kanan akan terkumpul ion-ion positip yang jumlahnya
sama sehingga menimbulkan tegangan listrik antara sisi
kiri dan kanan selaput.
 Potensial ini mencegah proses diffusi lebih lanjut dan
sekaligus juga memberi keseimbangan tegangan listrik
antara kedua sisi selaput.
 Jika selaput tersebut dianalogikakan sebagai dinding sel,
sedangkan larutan disisi kiri selaput dipandang sebagai
larutan extra seluler, maka potensial keseimbangan yang
timbul analog dengan potensial istirahat sel
 Jadi potensial istirahat Nernst adalah fungsi dari
konsentrasi ion didalam dan diluar dinding sel
(membran) sel saraf.
 Selain itu juga potensial istirahat juga dipengaruhi
oleh temperatur
 Potensial istirahat dapat dirumuskan seperti dirumuskan
oleh Nernst, potensial yang timbul karena perbedaan
konsentrasi ion tertentu didalam dan diluar sel dapat
dirumuskan sbb
 Pada temperatur tubuh normal T = 310 K dan dengan
memasukkan konstanta K = 1,38x10-23 J/K dan e = 1,6
x10-19 c, maka diperoleh
c2
v  v1  v 2  61, 4mv log
c1
Harga-harga konsentrasi beberapa ion seluler
dapat dilihat pada tabel

Ion Konsentrasi extraseluler Konsentrasi inraseluler


(mol/l) (mol/l)

K+ 0,005 0,141

Na+ 0,142 0,010

Na+ 0,147 0,151

Cl- 0,103 0,004

A- 0,044 0,147

A- 0,147 0,151
Sinyial-sinyial Listrik Pada Otak
Electroencephalogram(EEG)

 Bila kita menempatkan elektroda pada kulit kepala


dan mengukur kegiatan elektris, kita akan
menemukan beberapa sinyial elektris kompleks yang
lemah
 Sinyial-sinyial ini berubungan langsung dengan
kegiatan elektris pada syaraf-syaraf pada permukaan
otak
 Banyak riset dilakukan mengenai keberadaan sinyial
tersebut secara klinis, psikologi dan aplikasi psikologi
EEG
 Suatu hipotesa mengemukakan bahwa potensial
diproduksi melalui proses singkronisasi berselang-seling
yang melibatkan syaraf pada permukaan otak (cortex)
dengan kelompok-kelompok berbeda menjadi sinkron
pada waktu singkat yang berbeda.
 Rekaman sinyial dari otak disebut Electroencephalogram
(EEG).
 Elektroda-elektroda untuk perekaman sinyial dipasang di
kepala pada lokasi-lokasi yang tergantung pada bagian
mana yang hendak dipelajari.
EEG
 Amplitudo sinyial EEG cenderung rendah (sekitar 50
µm)
 Frekuensi sinyial EEG tampak terikat pada aktifitas
mental seseorang
 Contoh seorang yang beristirahat biasanya memiliki
sinyial EEG yang berkisar 8 hingga 13 Hz atau
gelombang alpha , namun bila seseorang berada dalam
keadaan siaga/waspada rentang frekuensinya lebih
tinggi yaitu rentang gelombang beta ( diatas 13 Hz)
Jenis-jenis frekuensi

Jenis frekuensi Kisaran Besaran frekuensi


(Hz)
Delta (∆) atau lebih pelan 0.5 – 3.5

Theta (θ) atau sedang perlahan 4-7

Alpha (α) 8 -13

Beta (β) Lebih besar 13


EEG
 EEG digunakan sebagai alat bantu diagnosa penyakit
yang menyerang otak.
 EEG lebih berguna dalam mendiagnosa epilepsi dan
memudahkan klasifikasi tingkat epilepsi
 EEG untuk beberapa serangan epilepsi dengan
kehilangan kesadaran disebut grand mal seizure,
menunjukkan gelombang tajam cepat bertegangan
tinggi pada seluruh titik di tulang kepala.
 Kegunaan EEG dalam mengenali tumor otak karena
kegiatan elektris berkurang pada daerah tumor
EEG
 EEG digunakan sebagai monitor dalam pembedahan ketika ECG
tak dapat digunakan.
 EEG juga berguna dalam pembedahan untuk mengindikasikan
tingkat anestesi pasien
 Banyak riset melibatkan pola EEG untuk beragam tingkat tidur.
 Ketika seseorang mengantuk seiring menutup mata frekuensi dari
8 – 13Hz (gel alpha) mendominasi EEG.
 Amplitudo meningkat dan frekuensi menurun seiring seseorang
tertidur lelap.
EEG
 Kadang-kadang EEG yang diambil selama tidur
menunjukkan pola frekuensi tinggi yang disebut
paradoxial sleep atau rapid eye movement (REM)
sleep karena mata bergerak selama ini
 Paradoxial sleep timbul berkaitan dengan mimpi.
 Selain perekaman kegiatan spontan otak, kita
dapat mengukur sinyial yang terjadi ketika otak
menerima rangsangan eksternal seperti cahaya
atau suara.
ELECTROENCELOGRAPHY (EEG)

alat yang mempelajari


gambar dari rekaman
aktifitas listrik di otak
Sinyal Electroencephalogram (EEG)

 Sinyal EEG dapat diketahui dengan menggunakan elektroda


yang dilekatkan pada kepala.
 Tegangan sinyalnya berkisar 2 sampai 200 μV, tetapi umumnya
50 μV.
 Frekuensinya bervariasi tergantung pada tingkah laku. Daerah
frekuensi EEG yang normal rata-rata dari 0,1 Hz hingga 100 Hz,
tetapi biasanya antara 0,5 Hz hingga 70 Hz.
 Variasi dari sinyal EEG yang terkait dengan frekuensi dan
amplitudo mempengaruhi diagnostik. Daerah frekuensi EEG
dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian untuk analisis EEG,
yaitu
Delta (δ) (0,5 – 4) Hz
Theta ( θ) (4 – 8) Hz
Alpha (α) (8 – 13) Hz
Beta (β ) (13 – 22) Hz
Gamma (γ) (22 – 30) Hz
Membentuk peta dari pikiran
 Aplikasi yang penting dari EEG multichannel
adalah mendapatkan lokasi dari fokus epileptic
(titik kecil pada otak dimana aktivitas abnormal
berasal dan menyebarkan aktivitas abnormal itu
ke bagian lain dari otak) atau tumor, yang tidak
dapat kelihatan dengan X-ray atau CT-scan di
kepala.
 Setiap kertas horizontal ditempatkan sesuai dengan pasangan
elektroda pada kulit kepala pasien, membentuk kisi-kisi yang tetap
seperti pola.
 Dengan memberi tanda di channel mana gelombang abnormal
terjadi (biasanya ditandai dengan tanda merah), seorang ahli
neurologi dapat menduga pada bagian mana dari otak
keabnormalan itu berada.
 Hal ini sangat sulit dilakukan jika jumlah dari channel yang
abnormal itu besar atau kemungkinan perubahan itu kompleks.
 Lokasi bidimensional yang tepat dari fokus epileptic atau tumor
sangat tidak mungkin untuk diketahui. Jadi, untuk mengatasi hal
tersebut digunakan komputer untuk menganalisa sinyal-sinyal
EEG
Topografi Otak EEG

 Sebuah software khusus dalam komputer membuat


peta dari aktivitas otak yang ditampilkan dalam layar
komputer atau berupa print out dengan cara menandai
jumlah aktivitas beberapa bunyi dari warna (sebagai
contoh, hitam dan biru mungkin menghasilkan
amplitudo EEG yang rendah, kuning dan merah
menghasilkan amplitudo yang besar).
 Jarak antara tiap-tiap elektroda dikalkulasi dengan
menggunakan teknik matematika (mengkalkulasi nilai
rata-rata dari nilai-nilai seluruhnya) dan perubahan-
perubahan warna yang terjadi
Gambar 10. Peta Topografi EEG
 Cara ini memberikan hasil yang lebih akurat dan representative
dalam memperlihatkan lokasi dimana terjadi perubahan ritme,
amplitudo, dan lain-lain.
 Para ahli neurologi dengan menggunakan sistem topografi otak
EEG ini tidak lama lagi mampu mendiagnosa berbagai macam
penyakit (termasuk beberapa gangguan kejiwaan dengan kelainan
biologi atau dengan kelainan lain yang sebelumnya tidak
diketahui).
 Adanya alat penunjuk yang langsung menunjuk ke arah
perubahan EEG juga akan lebih mempermudah.
 Dalam penggunaannya juga digunakan semacam cinema (berupa
animasi yang menggunakan berbagai gambar yang diambil dari
peta otak) memungkinkan adanya studi yang dinamis dari fungsi
otak
 Topografi otak EEG tidak digunakan untuk semua kasus.
Indikasi utamanya adalah untuk menentukan ada tidaknya tumor
dan penyakit fokus dari otak (termasuk epilepsi, arteriovenous
malformasi, dan stroke).
 Juga digunakan jika ada gangguan pada kesadaran seperti
narcolepsi (gangguan tidur), koma, dan lain-lain.
 Lebih lanjut lagi, topografi otak EEG ini juga digunakan untuk
menilai atau memonitor efek withdrawal dari obat-obat psikoaktif
dan penyakit infeksi otak seperti meningitis, dan juga bisa
digunakan untuk follow up pasien operasi otak.
 Dalam bidang psikiatri, topografi otak EEG ini telah digunakan
untuk mengidentifikasi adanya disorders dari kelainan biologi,
seperti skizofrenia, dementia, hiperaktif, dan depresi serta atrofi
otak dan gangguan perhatian pada anak-anak.
Sinyial-sinyial Magnetis Otak
Magnetoencephalogram (MEG)
 Rekaman MEG selama ritme Alpha, medan magnet
dari otak sekitar 1x10-13 T.
 Dengan MEG menggunakan bangkitnya stimulasi oleh
bunyi, cahaya, sentuhan, bau atau pulsa medan magnet
luar, stimulasi khusus dapat diulang dan respon
magnetik dikirim ke komputer.
 Dengan pengukuran sinyial magnetik meliputi daerah
signifikan otak, lokasi didalam otak dimana sinyial
MEG asli dapat ditentukan dalam batasan arus dipol
Mekanisme aksi Terapi Kejut Listrik
 Terapi Kejut listik (elecroconvulsive therapy) telah
dilakukan dan telah berhasil guna sebagai
perawatan untuk schizophrenia dan bipolar
disorder (penyakit dua kutup).
 Penggunaan terapi ini masih dianggap kontropersi.
Dari satu sisi terapi ini masih banyak yang menolak
karena dianggap bersifat invasive secara intrinsik
dan memaksa.
 Dipihak lain ada kelemahan dari pengertian dari
mekanisme aksi (mechanism of action [MOA]) .
 Disamping pengenalan awal dari aktifitas umum
seperti komponen terapeutik utama, MOA yang
tepat masih terabaikan.
 Kegunaan teori MOA dari intervensi
pengobatan apapun tidak dapat terlalu
ditekankan (dipaksakan)
Psychological Theories
 Ada beberapa teori yang terdahulu untuk
menjelaskan MOA dari ECT dalam konteks
penjelasan psycological dari sakit ingatan (mental
illness) dan pengobatannya.
 Teori Psychological ini dapat dibagi kedalam
psychoanalitic dan non-psychoanalitic
Psycoanalitic Theories
 Ada 3 teori psyanalitic umum yaitu Ketakutan (fear),
kemunduran (regression) dan hukuman (punishment).
 Dalil teori ketakutan ECT merupakan agen yang efektif
 The regression theory postulated (merumuskan) that ECT
induced (mengimbas) regression to infantile (sifat
kekanak-kanakan) behaviour was therapeutic
 Teori punishment bahwa ECT sebagai suatu hukuman
dimana pasien dapat menangani diri mereka sendiri untuk
tegas (strict) tetapi pemaaf (forgiving) dan figure (orang
tua), yang mengukur hukuman dan membiarkan seseorang
untuk bertobat.
Non-Psycoanalitic theories
 Teori non Psycoanalitic psychological MOA
dari ECT mengasumsikan bahwa suatu
perubahan tingkah laku yang wajar ECT harus
dikorelasikan dengan perubahan didalam sistem
syaraf pusat (CNS) ; sesuai teori kerusakan otak
(brain damage) dan amnesia.
The Brain damage theory
 The Brain damage theory didasarkan pada temuan
respon test Roscach yang sama setelah ECT difusi
kerusakan otak.
 Tetapi Kerusakan tidak mengungkapkan perubahan
tingkah laku dan nerophatologik (uji coba dilakukan
pada hewan), contoh jumlah sel dalam daerah resiko
paling tinggi gagal menemukan bukti perubahan otak
dengan induksi paksa (seizures induced) dibawah
kondisi yang sama pada standart praktek klinik.
 Evaluasi Pre dan post ECT pada pasien
memperlihatkan tidak ada perubahan struktur
pada otak
 Diantara ECT dan pelebaran ventricular atau
cortical atrophy ditemukan berdasarkan studi
retrospektif (masa lampau) dengan
penyimpangan pemilihan
The Amnestic theory
 Teori yang melibatkan ECT memengaruhi
amnesia untuk efek yang diuntungkannya,
ditemukan bahwa amnesia pada umumnya
terbesar untuk segera mengalami pre-treatment.
 Kemajuan teknik seperti ECT unilateral dan
pulsed stimuli (yang mengurangi amnesia tetapi
bukan efek mengobati) dan kekurangan korelasi
diantara derajat amnesia dan kemajuan
pengobatan lebih lanjut masih disangkal
Neurophysiological theories
 ECT memengaruhi banyak perubahan fisiologis.
 Beberapa teori yang menjelaskan MOA dari
ECT pada basis pada perubahan itu yaitu teori
Anticonvulsant, Antidelirium dan Neurogenesis
 Teori Anticonvulsant didasarkan pada bukti
ECT/Seizure disorder
 ECT-course nilai treshold seizure meningkat (40
– 100 %) dan durasi seizure menurun,
mencegah proses periode bermanifestasi didalam
ictal dan postictal, laju cerebral blood flow
(CBR) dan metabolisme menunjukkan
pengurangan, aktifitas gelombang-lambat (slow-
wave) atau delta didalam EKG meningkat dan
berlangsung lama.
 Pasien intractable seizure disorder dan epilepsi
menunjukkan efek anticonvulsan dan
peningkatan transmisi bersifat menghalangi
neurotransmiter dan neuropeptides.
 Durasi seizure : Pengurangan durasi seizure
melalui ECT-course, durasi seizure sebagian besar
menjadi tidak tergantung dari kemanjuran dan
 peningkatan didalam seizure threshold adalah
fakta yang baik
 The Neurobiological substrates mencakup
pemisahan antara treshold dan durasi seizure
termasuk cafein.
 Jadi proses anticonvulsant melibatkan
pengurangan kemajuan pada durasi seizure
adalah beda dari durasi seizure yang meningkat
dan yang menurun tidak dapat dihubungkan
dengan respon therapeutik .
 Proses yang bersifat mencegah yang
mengakibatkan penghentian perampasan
(seizure) dimulai sepanjang ictus
Pahthophysiology dan Efek terapi
 Depresi adalah suatu penyakit kompleks dan
heterogen yang meliputi tiga domain dari
manifestasi klinik : disorder of mood, cognitif
function, dan neurovegetatif function (energy,
sleep, appetite (selera) and sexual function)
 Penyebab depresi dipengaruhi beberapa faktor :
genetik, perkembangan dan lingkungan.
 Kebanyakan model pathophysiology depresi mencakup
disiregulasi didalam rangkaian corticolimbic yang
memengaruhi struktur dan fungsi otak, fungsi
neurotransmiter dan regulasi neuro-endokrin.
 Para peneliti telah menjelaskan ketidak normalan
struktur didalam hippocampus (dimana berhentinya
pertumbuahan dihubungkan dengan durasi depresi
dalam satu hari), subgenual prefrontal cortex (dimana
berhentinya pertumbuahan dihubungkan dengan
depresi yang berhubungan dengan keluarga) dan white-
matter hyperintensities (khususnya depresi yang terjadi
pada orang yang lebih tua)
 Abnormalitas didalam fungsi didalam prefrontal, temporal,
parietal, limbic, paralimbic, striatal dan daerah thalamic
telah di-identifikasi.
 Ketidak normalan didalam fungsi neurotransmiter dan
expresi receptor yaitu ketidaknoramalan pada presynaptic
dan postsynaptic didalam expresi reseptor serotonin dan
defesiensi didalam γ-aminobutyric acid (GABA).
 Data dari neuroendocrin tantangan studi (dexamethasone
suppresion test) telah memberikan bukti larangan feedback
negatif lemah didalam hypothalamic-pituitary-adrenal axis,
yang mengakibatkan hypercortisolemia yang menyebabkan
perusakan lebih lanjut didalam fungsi otak.
Revetitive Transcranial Magnetic Stimulation
(rTMS) dalam pengobatan Depresi
 Bagi pasien depresi yang resistan terhadap pengobatan
yang standar dan terapi kejut ada metode non invasif
bernama Revetitive Transcarnial Magnetic Stimulation
(rTMS)
 Terapi ini merupakan metode non invasif untuk
membankitkan sel-sel syaraf pada otak dengan cepat
melalui gelombang elektromagnetik yang lemah.
 rTMS juga merupakan alat untuk meneliti bagaimana
fungsi otak.
 rTMS tengah dalam pengujian sebagai terapi untuk
mengatasi gangguan syaraf yang kompleks maupun
gangguan mental terutama dalam penanganan depresi.
 Area magnetik : Peralatan rTMS terbuat dari gulungan
kawat dalam plastik yang memancarkan getaran
magnetik dengan cepat tetapi penuh tenaga yang
melakukan penetrasi sekitar satu inchi pada bagian otak.
 Stimulasi otak : Getaran-getaran ini menimbulkan arus
listrik yang mengenai syaraf-syaraf dalam wilayah yang
jadi sasaran dengan tujuan membangkitkan transmisi
saraf yang memasang saraf tambahan, lalu mengaktifkan
rangkaian.
Penggunaan Transcranial
Magnetic Stimulation (TMS)
 Baru-baru ini TMS muncul sebagai suatu
peralatan yang memungkinkan terapi untuk
seseorang yang mengalami depresi
 Peralatan ini merupakan suatu metoda yang
bersifat non-invasive dari stimulasi otak yang
mana medan magnetik digunakan untuk
menginduksi arus listrik didalam lapisan otak
(cerebral cortex) dengan cara depolarisasi
neurons.
Penggunaan Transcranial
Magnetic Stimulation (TMS)
 Peralatan ini pertama kali dibuat pada tahun 1985 oleh
Antony Barker di University of Sheffield di England.
 Peralatan ini didesain sebagai suatu alat bantu (tool)
untuk neurodiagnostik yang mengaktivasi neurons
motor corteks dan membangkitkan potensial didalam
jaringan otot.
 Medan magnet dapat digunakan untuk memetakan
daerah cortical yang terlibat didalam fungsi memori,
pengelihatan (vision) dan kontrol otot
 Sebanyak 45 % dari pasien yang terlibat dalam
studi terkini yang diuji TMS untuk penaganan
depresi menunjukkan gejala depresi yang mereka
alami berkurang hingga kurang dari separuhnya
 Sebanyak 31 % dari pasien dalam studi ini
ternyata benar-benar sembuh dari gejala depresi
setelah 9 minggu menjalani terapi TMS yang
berkelanjutan
 Gambar-1
 Gambar-2
 Department of Psychiatry and Behavioral
Sciences, University of Washington Medical
Center, Harborview Medical Center, 325 Ninth
Avenue, Box 359896, Seattle, WA 98104, USA.

 Journal Article, Meta-Analysis, Research


Support, U.S. Gov't, P.H.S.
Abstract
 Repetitive transcranial magnetic stimulation
(rTMS) is an emerging potential treatment for
depression, but the data supporting its efficacy
have not been systematically reviewed. The
purpose of this study was to conduct a meta-
analysis of rTMS trials in the treatment of
depression. A search for all published and
unpublished sham-controlled studies of left or
right prefrontal cortical rTMS in the treatment
of depression evaluated by the Hamilton
 Depression Rating Scale (HDRS) was conducted using
no language restrictions. Fixed- and random-effects
meta-analyses were performed on 12 studies comparing
the decrease in HDRS scores achieved with rTMS and
sham stimulation. Initial results with a fixed-effects
analysis failed homogeneity testing; thus, a random-
effects analysis was used to calculate all results. In 12
studies (16 individual effect sizes), the weighted mean
effect size was 0.81 (95% CI: 0.42-1.20, P <.001). For
studies using left dorsolateral pre-frontal cortex
(DLPFC) stimulation (11 studies, 14 effect sizes), the
weighted mean effect size was 0.89 (95% CI: 0.44-1.35,
P <.001).
 For studies using left DLPFC stimulation in a parallel-groups
design (seven studies, nine effect sizes), the weighted mean effect
size was 0.88 (95% CI: 0.22-1.54, P <.01). No study showed a
mean decrease in HDRS scores of > 50%, and the number of
responders to rTMS (defined as a > 50% decrease in HDRS
scores) across studies was relatively small (13.7% with rTMS
versus 7.9% with sham stimulation). rTMS is statistically superior
to sham stimulation in the treatment of depression, showing a
moderate to large effect size. However, the clinical significance
of these results is modest. The differences in response to rTMS
across studies are not clearly explained, and, therefore, more
research is needed.
Daftar Pustaka
 Fisika Kedokteran (Fisika Tubuh Manusia), John R. Cameron,
James G Skofronick, Rodrick M Grant Hal 238-278
 Theories on Mechanism of Action of Electroconvulsive
Therapy, German Journal of Psyciatry (http//www.gjpsy.uni-
geottingen.de
 Electroconvulsive Therapy for defression, The New Enggland
Journal of Medicine
 Efficacy of rapid-rate repetitive transcranial magnetik stimulation
in the treatment of depression a systematic review and meta-
analysis, Jennifer L.Couturier, MD,MSc, Dept. Of Psyciatry,
University of Western Ontario, London, Ont
SELESAI

Вам также может понравиться