Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
LATAR BELAKANG
Hipertensi merupakan masalah kesehatan
dunia, prevalensi hipertensi yang meningkat,
disertai dengan penyakit lain yang menyertainya
akan meningkatkan risiko kejadian
kardiovaskuler dan penyakit ginjal.
Pada tahun 2013, prevalensi hipertensi pada
umur lebih dari 18 tahun di Indonesia sebesar
26,5%
Klinisi dituntut memiliki kemampuan dalam
menentukan indikasi memulai terapi
farmakologi, target kendali tekanan darah (TD),
dan jenis anti hipertensi yang harus dipilih
DEFINISI HIPERTENSI
Hipertensi arterial sistemik adalah kondisi
persisten, peningkatan non fisiologis dari
tekanan sistemik (TD), didefinisikan sebagai
tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 140 mmHg dan
atau tekanan darah distolik (TDD) ≥ 90 mmHg,
atau menerima terapi atas indikasi menurunkan
tekanan darah
PATOGENESIS
Hipertensi Primer
Hipertensi Sekunder
HIPERTENSI PRIMER
Neural
Renal
Hormonal
Mekanisme vaskular
HIPERTENSI SEKUNDER
Gangguan ginjal
Gangguan endokrin
Kehamilan
Gangguan Neurologi
Gangguan Psikososial
Hipertensi sistolik
KLASIFIKASI HIPERTENSI
Klasifikasi Tekanan Darah (ESH/ESC) guideline
The Eight Journal National Commite (JNC-8) pada tahun 2014 tidak
mengeluarkan klasifikasi hipertensi baru, tetapi terdapat rekomendasi
tata laksana hipertensi, di mana guideline ini berbasis bukti dan
reviewer dari berbagai macam keahlian yang berhubungan dengan
hipertensi
HIPERTENSI KRISIS
Hipertensi dengan tekanan darah sistolik >180
mmHg dan atau tekanan darah diastolic >120
mmHg disebut sebagai krisis hipertensi.
HT Emergensi
HT Krisis
HT Urgensi
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan
hipertensi krisis antara lain :
1. Hipertensi refrakter
2. Hipertensi akselerasi
3. Hipertensi maligna
4. Hipertensi Ensefalopati
GEJALA KLINIS
Peningkatan tekanan darah : sakit kepala (pada
hipertensi berat), paling sering di daerah occipital dan
dikeluhkan pada saat bangun pagi, selanjutnya
berkurang secara spontan setelah beberapa jam,
dizziness, palpitasi, mudah lelah.
Gangguan vaskuler : epistaksis, hematuria,
pengelihatan kabur karena perubahan di retina,
perubahan kelemahan dan dizziness oleh karena
transient cerebral ischemia, angina pectoris, sesak
karena gagal jantung.
Penyakit yang mendasari : pada hiperaldosteronisme
primer didapatkan poliuria, polidipsi, kelemahan otot
karena hipokalemia, pada sindroma Chusing didapatkan
peningkatan berat badan dan emosi labil, pada
Pheocrhomocytoma bida didapatkan sakit kepala
episodik, palpitasi, diaphoresis, postural dizziness
DIAGNOSIS
Penentuan diagnosis hipertensi bergantung pada
hasil pengukuran tekanan darah.
Pengukuran tunggal belum dapat memastikan
diagnosis hipertensi.
Apabila pada pengukuran pertama ditemukan
kenaikan tekanan darah maka harus dipastikan
kembali paling sedkit dua kunjungan berikutnya
pada satu atau beberapa minggu dengan nilai
rata-rata tekanan sistolik 140 mmHg dan atau
tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih
EVALUASI
Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium
Ekokardiografi
Aktivitas fisik
Berhenti merokok
PERBANDINGAN JNC-8 DENGAN JNC-7
ACE Inhibitor
Catopril 50 150-200 2
Enalapril 5 20 1-2
Lisinopril 10 40 1
Angiotensin receptor blockers
Etnik
Lanjut Usia
Diabetes Mellitus
Krisis Hipertensi
PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Rekomendasi : ANGINA PECTORIS STABIL
1. Pasien dengan hipertensi dan angina pectoris stabil harus diberikan obat-obatan yang meliputi :
a. Betablocker, pada pasien dengan riwayat infark miokard
b. ACEi / ARBs, bila terdapat disfungsi venmtrikel kiri dan atau diabetes mellitus
c. Dan diuretic golongan tiazid bila diperlukan
2. Bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi terhadap pemberian betablocker, maka dapat diberikan CCB golongan non-
dihidropiridin (verapamil atau diltiazem), tetapi tidak dianjurkan bila terdapat disfungsi ventrikel kiri
3. Bila angina atau hipertensi tetap tidak terkontrol, CCB kerja panjang golongan dihidropiridin dapat ditambahkan pada
obat-obat dasar yaitu betablocker, ACEi / ARBs dan diuretic tiazid. Pemeberian kombinasi betablocker dengan CCB non-
dihidropiridin, harus dilakukan secara berhati-hati pada pasien penyakit jantung koroner simptomatik dengan hipertensi,
karena dapat menimbulkan gagal jantung dan bradikardi yang signifikan.
4. Target penurunan tekanan darah adalah <140/90 mmHg. Bila terdapat disfungsi ventrikel, perlu adanya pemikiran untuk
menurunkan hingga <130/80 mmHg. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan darah harus diturunkan
secara perlahan, dan harus berhati-hati bila terjadi penurunan tekanan darah diastolic <60 mmHg, karena akan berakibat
pada perburukan iskemia miokard.
5. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet, antikoagulan, obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana
anginadan pencegahan kejadian kardiovaskular, kecuali pada krisis hipertensi, karena dapat menyebabkan stroke
perdarahan.
Rekomendasi : ANGINA PECTORIS TIDAK STABIL /INFARK MIOKARD NON ELEVASI SEGMEN ST
1. Pada pasien angina pectoris tidak stabil atau IMA-NST, terapi awal untuk hipertensi setelah nitrat adalah betablocker,
terutama golongan cardioselektive yang tidak memiliki efek simpatomimetik instrinsic. Pada pasien dengan hemodinamik
yang tidak stabil, pemberian betablocker dapat ditunda sampai komdisi stabil. Pada pasien dengan kondisi gagal jantung,
diuretic merupakan terapi awal hipertensi.
2. Bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi pemberian betablocker, maka dapat diberikan CCB golongan non-
dihidropiridin (verapamil, diltiazem), tetapi tidak dianjurkan pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri. Bila
tekanan darah atau angina belum terkontrol dengan pemberian betablocker, maka dapat ditambahkan CCB golongan
dihidropiridin kerja panjang. Diuretic tiazid juga dapat ditambahkan untuk mengontrol tekanan darah.
5. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet, antikoagulan, obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana
sindroma koroner akut. Begitupula dengan pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol, yang menggunakan antiplatelet
atau antikoagulan, TD harus diturunkan untuk mencegah perdarahan.
Rekomendasi : INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST (IMA-ST)
1. Pada pasien IMA-ST, prinsip utama tatalaksana hipertensi adalah seperti pada pasien dengan angina
pectoris tidak stabil/IMA-NST, dengan ada beberapa pengecualian. Terapi awal hipertensi pada
pasien dengan hemodinamik stabil adalah betablocker cardioselective, setelah pemberian nitrat.
Tetapi, bila pasien mengalami gagal jantung atau hemodinamik yang tidak stabil maka pemberian
betablocker harus ditunda, sampai kondisi pasien menjadi stabil. Dalam kondisi ini, maka diuretic
dapat diberikan untuk tatalaksana gagal jantung atau hipertensi.
2. ACEi atau ARB harus diberikan sedini mungkin pada pasien IMA-ST dengan hipertensi, terutama
pada infark anterior, terdapat disfungsi ventrikel kir, gagal jantung atau diabetes mellitus. ACEi
telah terbukti sangat menguntungkan pada pasien dengan infark luas, atau riwayat infark
sebelumnya. Gagal jantung dan takikardi. ACEi dan ARB tidak boleh diberikan secara bersamaan,
karena akan meningkatkan efek samping.
3. Aldosterone antagonist dapat diberikan pada pasien dengan IMA-ST dengan disfungsi ventrikel kiri
dan gagal jantung; dan dapat memberikan efek tambahan penurunan tekanan darah. Nilai kalium
darah harus dimonitor dengan ketat. Pemberian obat ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan
kadar kreatinin dan kalium darah yang tinggi (kreatinin ≥ 2 mg/dL, atau K ≥ 5 mEq/dL).
4. CCB tidak menurunkan angka mortalitas pada IMA-ST akut dan dapat meningkatkan mortalitas
pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri dan atau edema paru. CCB golongan
dihidropiridin kerja panjang dapat diberikan pada pasien yang intoleran terhadap betablocker,
angina yang persisten dengan betablocker yang optimal atau sebagai terapi tambahan untuk
mengontrol tekanan darah. CCB golongan non-dihidropiridin dapat diberikan untuk terapi pada
pasien dengan takikardi supraventrikular tetapi sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan
aritmia bradikardi atau gangguan fungsi ventrikel kiri.
5. Seperti juga pada pasien dengan angina pectoris tidak stabil/IMA-ST, target penurunan tekanan
darah adalah <140/90 mmHg. Bila terdapat disfungsi ventrikel, perlu adanya pemikiran untuk
menurunkaannya hingga <130/80 mmHg. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan
darah harus diturunkan secara perlahan, dan harus berhati-hati bila terjadi penurunan tekanan
darah diastolic <60 mmHg, karena akan berakibat pada perburukan iskemia miokard.
6. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet, antikoagulan, obat anti lipid
atau nitrat pada tatalaksana sindroma koroner akut. Begitupula pada pasien dengan hipertensi
yang tidak terkontrol, yang menggunakan antiplatelet atau antikoagulan, TD harus diturunkan
untuk mencegah perdarahan.
Gagal Jantung
Pemberian betablocker, ACEi, ARB dan MRA
(mineralocaoticoid receptor antagonist), dimana
pemberian obat-obat ini lebih ditujukan untuk
memperbaiki stimulasi simpatis dan sitim rennin
angiotensin yang berlebihan terhadap jantung,
daripada penurunan tekanan darah
Fribrilasi Atrial
Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa
pemberian ARBs dan betablocker merupakan terapi
pilihan untuk pencegahan fibrilasi atrial pada pasien
hipertensi terutama yang sudah memiliki gangguan
organ jantung
Rekomendasi : HIPERTROFI VENTRIKEL KIRI
1. Pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung, target tekanan darah sistolik adalah <140 mmHg
2. Diuretic, betablocker, ACEi, ARBs adan atau MRA merupakan obat yang direkomendasikan pada
pasien hipertensi dengan gagal jantung untuk menurunkan mortalitas dan rehospitalisasi
3. Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik, belum ada data yang menyatakan
obat antihipertensi per se atau obat tertentu yang jelas manfaatnya. Akan tetapi tekanan darah
sistolik perlu untuk diturunkan hingga < 140 mmHg. Pengobatan yang bertujuan untuk
memperbaiki gejala (diuretic untuk kongesti, betablocker untuk menurunkan laju nadi, dll) harus
tetap diutamakan.
4. Pemberian ACEi atau ARBs (dan betablocker dan MRA, bila terdapat gagal jantung) harus
dipertimbangkan sebagai terapi antihipertensi pada pasien dengan risiko terjadinya fibrilasi atrial
atau yang berulang.
5. Semua pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri direkomendasikan untuk mendapat terapi
antihipertensi.
6. Pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, perlu untuk memulai terapi dengan obat yang terbukti
dapat mengurangio hipetrofi ventrikel kiri, seperti ACEi, ARBs dan CCB.
Rekomendasi : PENYAKIT ARTERI PERIFER
1. Pada aterosklerosis karotis, perlu dipertimbangkan pemberian ACEi dan CCB, karena
telah terbukti bahwa kedua obat ini dapat memperlambatkan proses aterosklerosis
dibandingkan dengan betablocker dan diuretic.
2. Pada pasien dengan pulse wave velocity > 10 m/det, perlu dipertimbangkan pemberian
semua antihipertensi, sehingga tercapai target tekanan darah sistolik < 140 mmHg
yang menetap.
Etnik
Diuretik tiazid dan CCB dihidropiridin lebih efektif
daripada beta‐blocker untuk psien Afro‐Karibia.
ACEi meningkatkan resiko stroke pada pasien
golongan etnik tersebut sehingga tidak dianjurkan
sebagai terapi lini pertama
Lanjut Usia
Pedoman NICE yang baru mengemukakan bahwa diuretik
tiazid atau CCB dihidropiridin merupakan terapi lini
pertama untuk pasien lanjut usia.
Namun, harus diperhatikan fungsi ginjal selama terapi
dengan tiazid karena pasien lanjut usia lebih beresiko
mengalami gangguan ginjal.
Pasien yang lebih dari 80 tahun dapat diberi terapi seperti
pasien usia > 55 tahun
Diabetes Mellitus
Pasien diabetes memerlukan kombinasi antihipertensi
untuk dapat mencapai target tekanan darah optimal.
ACEi merupakan terapi awal pilihan karena dapat
mencegah progresi mikroalbumiuria ke nefropati.
Pasien dengan nefropati diabet harus mendapat ACEi atau
AIIRA untuk meminimalkan resiko kerusakan ginjal yang
lebih lanjut, bahkan jika tekanan darahnya normal
Penyakit Ginjal
ACEI dan ARB mempunyai efek melindungi
ginjal (renoprotektif) dalam progress penyakit
ginjal diabetes dan non-diabetes.
Salah satu dari kedua obat ini harus digunakan
sebagai terapi lini pertama untuk mengontrol
tekanan darah dan memelihara fungsi ginjal
pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal
kronis
KRISIS HIPERTENSI
Hipertensi Urgensi
Penatalaksanaan Umum :
Tidak membutuhkan obat-obatan parenteral
Pemberian obat-obatan oral aksi cepat
Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril
Nicardipine
Labetalol
Clonidine
Nifedipine
Hipertensi Emergensi
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan
setiap individu tergantung pada kerusakan organ
target
Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-
obatan parenteral secara tepat dan cepat
Pasien harus berada di dalam ruangan ICU
Obat-obatan
spesifik untuk
komplikasi
hipertensi
emergensi
KOMPLIKASI HIPERTENSI
Stroke hemoragic
Infark Miokard
Gagal jantung
Gagal ginjal
Ensefalopati
Retinopati
SEKIAN DAN
TERIMAKASIH