Вы находитесь на странице: 1из 102

Keterampilan Klinis

DR. ANDRE STEVEN TJAHJA BINTARAEDI, SP.KFR


73. MELAKUKAN REHABILITASI MEDIK DASAR

 Rehabilitasi medis merupakan dasar sekaligus penunjang rehabilitasi


lain, sehingga dengan kesehatan yang sudah pulih maka
diharapkan pasien-pasien bisa kembali berkarya, bersosialisasi
dengan masyarakat tanpa adanya gap, hidup produktif dan hidup
sejahtera.
Tujuan Rehabilitasi Medik

• Mengatasi keadaan/kondisi sakit melalui paduan intervensi medik,


keterapian fisik, keteknisian medik dan tenaga lain yang terkait.
• Mencegah komplikasi akibat tirah baring dan atau dampak
penyakitnya yang mungkin membawa kecacatan.
• Memaksimalkan kemampuan fungsi, meningkatkan aktifitas dan
partisipasi pada difabel (sebutan bagi seseorang yang mempunyai
keterbatasan fungsional).
• Mempertahankan kualitas hidup dan mengupayakan kehidupan
yang berkualitas.
ANAMNESIS

 Anamnesis merupakan pengambilan data yang dilakukan dengan


cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau
keluarga pasien.
 Biasanya 80% untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari
anamnesis.
Tujuan

 Memperoleh informasi tentang permasalahan yang sedang dialami


atau dirasakan oleh pasien.
 Membangun hubungan yang baik antara seorang dokter, perawat,
dan pasiennya.
74. ANAMNESIS DENGAN PASIEN

 Pada umumnya anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri


(autoanamnesis). Pasien sendirilah yang menjawab semua
pertanyaan dokter dan menceritakan permasalahannya.
Autoanamnesis merupakan cara anamnesis terbaik karena pasien
sendirilah yang paling tepat menceritakan apa yan sesungguhnya
dia rasakan.
75. ALLOANAMNESIS DENGAN ANGGOTA
KELUARGA/ORANG LAIN YANG BERMAKNA

 Jika pasien dalam keadaan tidak sadar, sangat


lemah, sangat sakit ataupun keadaan lain yang
mengakibatkan pasien terkendala untuk
menjawab pertanyaan maka perlu orang lain
untuk menjawab pertanyaan. Orang lain
tersebut dapat berupa keluarga pasien
ataupun orang lain yang mengetahui kondisi
pasien. Anamnesis yang didapat dari orang lain
disebut alloanamnesis atau heteroanamnesis.
76. MEMPEROLEH DATA MENGENAI
KELUHAN / MASALAH UTAMA.
 Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan atau yang
paling berat sehingga mendorong pasien datang untuk berobat
atau mencari pertolongan medis.
77. MENELUSURI RIWAYAT PERJALANAN
PENYAKIT SEKARANG / DAHULU
 Location
 Onset
 Quality
 Quantity
 Chronology
 Modification Factors
 Comorbid Complaints
78. MEMPEROLEH DATA BERMAKNA MENGENAI RIWAYAT
PERKEMBANGAN, PENDIDIKAN, PEKERJAAN, PERKAWINAN DAN
KEHIDUPAN KELUARGA.

 Hal ini untuk mengetahui status sosial pasien yang meliputi


pendidikan, pekerjaan, pernikahan, kebiasaan yang sering
dilakukan, diantanya pola tidur, konsumsi alkohol, merokok, obat –
obatan, aktivitas seksual, sumber keuangan serta asuransi
kesehatan.
Pemeriksaan Fisik
Fungsi Saraf Kranial
79. PEMERIKSAAN INDRA
PENCIUMAN
PROSEDUR PEMERIKSAAN

• Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan


setempat, misalnya ingus atau polip, karena dapat mengurangi
ketajaman penciuman.
• Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh,
tembakau dan jeruk.
• Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung
seperti mentol, amoniak, alkohol dan cuka.
• Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien
menciumnya
• Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup
lubang hidung yang lainnya dengan tangan.
80. INSPEKSI LEBAR CELAH
PALPEBRA
 Pemeriksaan memperhatikan celah mata pasien untuk menilai
apakah terdapat ptosis. Kelumpuhan nervus okulomotoris (Nervus III)
dapat menyebabkan terjadinya ptosis, yaitu kelopak mata terjatuh,
mata tertutup, dan tidak dapat dibuka. Hal ini disebabkan oleh
kelumpuhan m. Levator palpebrae.
PROSEDUR PEMERIKSAAN

• Menilai kekuatan m. Levator palpebrae dengan meminta pasien


menutup mata, kemudian diminta untuk membukanya.
• Saat pasien membuka mata, pemeriksa menahan gerakan ini
dengan memegang (menekan enteng) kelopak mata.
• Dengan demikian dapat dinilai kekuatan mengangkat kelopak
mata (m. Levator palpebrae).
• Pada pemeriksaan ini, untuk meniadakan tenaga kompensasi dari
m. Frontalis perlu diberi tekanan pada alis mata dengan tangan
satu lagi.
Inspeksi Pupil (Ukuran dan Bentuk)

 Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai


N. Okulomotorius
 Teknik pemeriksaan:
 Menerangkan tujuan pemeriksaan
kepada klien.
 Perhatikan besarnya pupil pada
mata kiri dan kanan, apakah sama
(isokor), atau tidak sama (anisokor).
 Perhatikan bentuk pupil, apakah
bundar dan rata tepinya (normal)
atau tidak.
Reaksi Pupil terhadap cahaya
 Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai N.
Optikus dan N. Okulomotorius
 Teknik pemeriksaan:
 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
 Klien disuruh untuk melihat jauh (menfiksasi pada
benda yang jauh letaknya).
 Selanjutnya pemeriksa memberi cahaya senter
dan dilihat apakah ada reaksi pupil. (Pada
keadaan normal pupil mengecil, disebut refleks
cahaya langsung positif)
 perhatikan pula pupil mata yang satu lagi.
Apakah pupilnya ikut mengecil oleh penyinaran
mata lainnya (kontralateral). Jika pupilnya ikut
mengecil berarti reaksi cahaya tidak langsung
positif.
Penilaian Pupil terhadap obyek
dekat
 Teknik pemeriksaan:
 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
 Klien disuruh untuk melihat jauh.
 Kemudian disuruh untuk melihat dekat misalnya jari kita (benda) yang
ditempatkan dekat matanya
Pemeriksaan gerak bola mata
 Teknik pemeriksaan:
 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada
klien.
 Pemeriksa menempatkan pena atau jari-jari
pada posisi vertikal sejauh 50 cm dari mata
penderita dalam arah penglihatan sentral.
 Tangan yang lain memegang kelopak mata
atau dagu klien untuk fiksasi kepala.
 Pemeriksa menggerakkan pena secara
perlahan ke arah lateral, medial, atas, bawah,
dan ke arah yang miring yaitu atas-lateral,
bawah-medial, atas-medial dan bawah-
lateral.
 Perhatikan apakah mata klien dapat mengikuti
gerakan itu dan tanyakan apakah klien melihat
ganda (diplopia).
Penilaian Diplopia

 Teknik pemeriksaan
 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
 Klien diminta untuk tidur terlentang.
 Pemeriksa menempatkan pena atau jari-jari pada posisi vertikal sejauh 50 cm dari
mata penderita dalam arah penglihatan sentral.
 Tangan yang lain memegang kelopak mata atau dagu klien untuk fiksasi kepala.
 Pemeriksa menggerakkan pena secara perlahan ke arah lateral, medial, atas,
bawah, dan ke arah yang miring yaitu atas-lateral, bawah-medial, atas-medial dan
bawah-lateral.
 Perhatikan apakah mata klien dapat mengikuti gerakan itu dan tanyakan apakah
klien melihat ganda (diplopia).
Penilaian Nistagmus
 Teknik pemeriksaan
 Pada saat melakukan pemeriksaan gerakan bola
mata, klien diminta melirik terus ke satu arah (misalnya
ke kanan, ke kiri, ke atas dan bawah) selama jangka
waktu 5 atau 6 detik.
 Jika ada nistagmus hal ini akan terlihat dalam jangka
waktu tersebut. Tetapi mata jangan terlalu jauh
dilirikkan, sebab hal demikian dapat menimbulkan
nistagmus pada orang yang normal (end position
nystagmus, nistagmus posisi ujung).
 Bila pemeriksa mendapatkan adanya nistagmus,
maka harus diperiksa: Jenis gerakannya, bidang
gerakannya, frekuensinya, amplitudonya, arah
gerakannya, derajatnya, lamanya.
Reflek Kornea

 Teknik pemeriksaan:
 Menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien.
 Klien diminta untuk melirik ke atas atau ke samping
menjauh dari pemeriksa supaya mata tidak
berkedip pada saat korneanya hendak disentuhkan
dengan kapas.
 Perhatikan kedua bola mata
 Kemudian dilakukan penggoresan pada daerah
kornea
Pemeriksaan funduskopi
 Teknik pemeriksaan:
 Jelaskan maksud dan prosedur pemeriksaan
 Persiapkan alat untuk pemeriksaan segmen posterior bola mata (direct ophthalmoscope).
Ruangan dibuat setengah gelap, penderita diminta melepas kacamata dan pupil dibuat
midriasis dengan tetes mata midriatil.
 Sesuaikanlah lensa oftalmoskop dengan ukuran kaca mata penderita.
 Mata kanan pemeriksa memeriksa mata kanan penderita, mata kiri pemeriksa memeriksa
mata kiri penderita.
 Jika pemeriksaan menggunakan kaca mata, maka kaca mata harus dilepas supaya dapat
melihat retina dengan lebih baik.
Pemeriksaan funduskopi
 Lampu oftalmoskop dinyalakan, lubang dipindahkan ke lubang
kecil. Pemeriksa harus memulai dengan dioptri lensa diatur pada
angka “0” jika ia tidak menggunakan kaca mata.
 Mintalah penderita untuk melihat satu titik di belakang pemeriksa.
 Arahkan ke pupil dari jarak 25-30 cm oftalmoskop untuk melihat
refleks fundus dengan posisi/cara pegang yang benar. Cahaya
harus menyinari pupil. Pantulan sinar berwarna merah, reflex
merah, dapat dilihat pada pupil.
 Pemeriksaan harus memperhatikan setiap kekeruhan pada kornea
atau lensa.
 Periksa secara seksama dengan perlahan maju mendekati
penderita kurang lebih 5 cm.
 Sesuaikan fokus dengan mengatur ukuran lensa pada
oftalmoskop
 Jika sudah terjadi kontak dengan retina pasien, maka akan terlihat
papil saraf optikus atau pembuluh darah, dengan memutar roda
diopter dengan jari telunjuk, pemeriksa akan bisa melihat struktur ini
dengan focus yang tajam.
 Amati secara sistematis struktur retina dimulai dari papil N. optik, arteri
dan vena retina sentral, area makula, dan retina perifer.
 Pemeriksaan dilakukan pada kedua mata
 Catatlah hasil yang didapat dalam status penderita
Hasil funduskopi pada
beberapa penyakit
89. PENILAIAN KESIMETRISAN
WAJAH
 Memperhatikan muka penderita : simetris atau tidak. Perhatikan
kerutan dahi, pejaman mata, sulcus nasolabialis dan sudut mulut.
 Meminta penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi
 Meminta penderita memejamkan mata dan pemeriksa mencoba
membuka mata penderita
 Meminta penderita menyeringai atau menunjukkan gigi, mencucu,
atau bersiul dan menggembungkan pipi.
 Interpretasi : kelumpuhan n.VII tipe UMN terjadi hanya pada daerah
mulut (m.orbicularis oris). Kelumpuhan tipe LMN, bila terjadi baik
pada mulut maupun mata (m. Orbicularis oculi) dan dahi
(m.frontalis).
90. PENILAIAN KEKUATAN OTOT
TEMPORAL DAN MASSETER
 Meminta penderita merapatkan giginya sekuat mungkin.
 Pemeriksa meraba m.masseter dan m.temporalis. perhatikan besar,
tonus, dan kontur otot.
 Meminta penderita membuka mulut, dan perhatikan apakah ada
deviasi rahang bawah.
 Interpretasi : bila ada paresis, maka rahang bawah akan berdeviasi
ke arah yang lumpuh. Apabila sulit ditentukan, maka bisa dilakukan
pemeriksaan alternatif lain.
 Alternatif 1 : penderita diminta menggigit suatu benda misal tongue
spatel, lalu pemeriksa menarik tongue spatel tersebut. Kemudian
penderita diminta menggerakkan rahang bawahnya ke samping
kiri dan kanan (untuk menilai m.pteregoideus lateralis). Bila terdapat
paresis di kanan, maka rahang bawah tidak dapat digerakkan ke
samping kiri.
 Alternatif 2 : penderita diminta untuk mempertahankan rahang
bawahnya ke samping. Pemeriksa memberi tekanan untuk
mengembalikan rahang bawah ke posisi tengah.
 Untuk menentukan adanya lesi supranuklear, diperiksa refleks
rahang. Pemeriksa menenempatkan satu jari melintang di dagu
penderita, lalu diminta membukakan mulutnya sedikit. Kemudian
pemeriksa mengetok jari tersebut dengan palu refleks. Interpretasi :
pada orang normal didapatkan hanya sedikit saja gerakan,
kadang-kadang tidak ada. Bila gerakannya hebat (mulut menutup)
dikatakan refleks meninggi.
91. PENILAIAN SENSASI WAJAH

 Modalitas sensorik yang diperiksa meliputi rasa nyeri, panas, dingin


dan raba. Dilakukan perbandingan antara setiap cabang N. V
yaitu cabang oftalmikus, maksillaris, dan mandibula, lalu
dibandingkan dengan cabang N. V kontralateral.
 Interpretasi :hipestesia, parestesia dan anastesia harus diselidiki
batas-batasnya dengan jelas. Pada neuralgia, penderita dapat
menyatakan bahwa sentuhan atau penekanan daerah wajah
tertentu dapat disusul dengan bangkitnya nyeri. Tempat itulah yang
disebut sebagai ‘trigger point’
92. PENILAIAN PERGERAKAN WAJAH

 Pemeriksaan yang dilakukan pada sesi ini sama pada saat


melakukan pemeriksaan kesimetrisan wajah dan penilaian
kekuatan m.masseter, m.temporalis dan m.pterigoideus.
93. PENILAIAN INDRA PENGECAPAN

 Pemeriksa menulis larutan yang disediakan seperti gula, kina, asam


sitrat atau garam
 penderita lalu diminta menjulurkan lidah dan mengeringkan
dengan tissue.
 Kemudian penderita diminta menutup mata lalu diteteskan larutan.
Lalu penderita membuka mata dan menunjuk rasa yang tertulis di
kertas.
 Interpretasi : kerusakan N. VII sebelum percabangan chorda
timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan)
pada 2/3 anterior lidah. Kerusakan pada atau di atas nervus
petrosus major dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata,
dan lesi chorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi
ludah.
94. PENILAIAN INDRA PENDENGARAN
(LATERALISASI, KONDUKSI UDARA DAN
TULANG)
1. Tes Schwabach
 Penderita diminta untuk duduk dengan tenang, garpu tala dibunyikan
dan kemudian ditempatkan di dekat telinga penderita. Garpu tala
dibunyikan dan kemudian ditempatkan di dekat telinga penderita.
Setelah penderita tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala tersebut
ditempatkan di dekat telinga pemeriksa.
 Interpretasi : bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka
dikatakan bahwa schwabach lebih pendek (untuk konduksi udara).
 Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan
pada tulang mastoid penderita. Setelah penderita tidak mendengar
lagi, garpu tala tersebut ditempatkan pada tulang mastoid pemeriksa.
 Interpretasi : bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka
dikatakan bahwa schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek.
2. Tes Rinne
Pemeriksaan ini bertujuan membandingkan antara konduksi tulang
dengan konduksi udara. Garpu tala yang dipakai adalah yang
berfrekuensi 128, 156, atau 512 Hz. Garpu tala dibunyikan dan
pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid penderita dan
diminta untuk mendengarkan bunyinya. Setelah penderita tidak
mendengar, garpu tala segera didekatkan pada telinga
Interpretasi : jika setelah didekatkan pada telinga dan bunyi
masih terdengar maka konduksi udara lebih baik dari pada
konduksi tulang, dan dalam hal ini dikatakan Rinne positif. Bila
tidak terdengar lagi setelah garpu tala dipindahkan dari
tulang mastoid ke dekat telinga, berarti Rinne negatif. Pada
orang normal, konduksi udara lebih baik daripada konduksi
tulang, demikian juga pada tuli saraf. Pada tuli konduktif,
konduksi tulang lebih baik dari konduksi udara.
3. Tes Weber
Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi
klien, tepat dipertengahan. Penderita diminta mendengarkan
bunyinya dan menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras
terdengar. Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya
pada pertengahan kepala
Interpretasi :
 Pada orang normal, kerasnya bunyi suara sama pada telinga kiri dan kanan.
 Tuli konduktif : pada tuli konduktif bunyi lebih kuat pada telinga yang tuli.
 Tuli perspektif (tuli saraf) : pada tuli perspektif bunyi lebih kuat pada telinga yang sehat.
 Catatan :
Bahwa pada tuli perseptif (tuli saraf), pendengaran berkurang, Rinne positif, dan weber
berlateralisasi ke telinga yang sehat.
Pada tuli konduktif, pendengaran berkurang, Rinne negatif, dan weber berlateralisasi ke
telinga yang tulis.
95. PENILAIAN KEMAMPUAN
MENELAN
 Penderita diminta untuk duduk atau baring dengan posisi kepala
minimal ditinggikan sekitar 45 derajat.
 Penderita diminta memakan makanan padat, lunak dan menelan
air.
 Perhatikan apakah ada salah telan (keselak, disfagia).
 Interpretasi : kelumpuhan N.IX dan X dapat menyebabkan disfagia.
Sering dijumpai pada hemiparesis dupleks yang disebut juga
sebagai kelumpuhan pseudo-bulber. Persarafan N. IX dan X adalah
bilateral, karenanya kelumpuhan supranuklear baru terjadi bila ada
lesi bilateral.
96. INSPEKSI PALATUM

 Penderita diminta membuka mulut, perhatikan palatum molle dan


faring.
 Bagaimana sikap palatum molle, arkus faring, dan uvula dalam
keadaan istirahat.
 Dan bagaimana pula bila bergerak, misalnya waktu bernafas atau
bersuara (suruh penderita menyebut aaaa).
 Interpretasi : bila terdapat paresis otot-otot faring dan palatum
molle, maka palatum molle, uvula, dan arkus faring sisi yang lumpuh
letaknya lebih rendah daripada yang sehat dan bila bergerak,
uvula dan arkus seolah-olah tertarik ke bagian yang sehat. Bila
terdapat parese di kedua belah pihak, maka tidak didapatkan
gerakan dan posisi uvula dan arkus faring lebih rendah.
97. Pemeriksaan Reflek Gag

 Definisi : Gagging merupakan suatu kontraksi dari otot


konstriktor di faring karena adanya stimulasi dari reseptor
sensori di soft palate oleh rasangan fisik atau obat sistemik
 Reflek gag berkaitan N.IX dan N.X
 Pemeriksaan : penderita diminta untuk membuka mulutnya,
kemudian dengan cara menggoreskan atau menyentuhkan
tongspatel ke daerah faring
 Positif : terdapat refleks muntah.
 Sedangkan jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh :
kelumpuhan N.X
98. PENILAIAN OTOT STERNOKLEDOMASTOIDEUS
DAN TRAPEZIUS

 Berhubungan dengan N.XI


 Penilaian meliputi :
- kekuatan otot
- apakah ada atropi atau fasikulasi, - apakah bahu lebih
rendah
- apakah scapula menonjol
 Pemeriksaan m. Sternokleidomastoideus yakni
penderita diminta menolehkan kepalanya kearah
sisi yang sehat, kemudian kita raba
m.sternokleidomastoideus
Interpretasi : paralisis bila tidak menegang
 Pemeriksaan m.trapezius dilakukan saat istirahat
dan digerakkan
Interpretasi :
Paralisis saat isitirahat : bila bahu yang sakit lebih
rendah dari yang sehat
Saat digerakkan : normal bila simetris, sedangkan
paralisis bila terdapat kelemahan untuk
mengangkat bahu.
99. LIDAH, INSPEKSI SAAT ISTIRAHAT
 Berkaitan dengan N.XII
 Pemeriksaan : pasien diminta untuk membuka
mulut, kemudian dilakukan penilaian meliputi :
- besarnya lidah
- simetris
- atrofi
- apakah lidah berkerut
 Interpretasi : bila terdapat kelaianan misal di
batang otak, lidah akan membelok ke sisi yang
sehat
100. LIDAH, INSPEKSI DAN PENILAIAN
SISTEM MOTORIK (MISALNYA DENGAN
DIJULURKAN)
 Berkaitan dengan N.XII
 Pemeriksaan : pasien diminta menjulurkan lidah
kemudian dilakukan penilaian yaitu :
- apakah lidahnya mencong saat dijulurkan

Interpretasi :
- Normal : tidak ada deviasi
- Kelainan : deviasi ke arah sakit
SISTEM MOTORIK
101. INSPEKSI POSTUR, HABITUS,
GERAKAN INVOLUNTEER
 Inspeksi meliputi :
- Sikap : berdiri, duduk, berbaring, dan bergerak
- Bentuk apakah ada deformitas : eutrofi, hipertrofi, dan hipotrofi
- Apakah ada gerakan abnormal : tremor, khorea, atetose, distonia,
ballismus, spasme, tik, fasikulasi, dan miokloni.
102. PENILAIAN TONUS OTOT

 Pemeriksaan : pasien diminta melemaskan ekstremitas yang


hendak diperiksa. Kemudian kita gerakkan fleksi- ekstensi
 Penilaian :

- Normal : terdapat tahanan yang


wajar
- Abnormal : flaccid, spastik, dan rigid
103. PENILAIAN KEKUATAN OTOT

 Pemeriksaan :
- Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya
dan pemeriksa menahan gerakan ini.
- Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien
dan ia disuruh menahan.
 Penilaian :
5 : Kekuatan normal. Seluruh gerakan dapat dilakukan
berulang-ulang tanpa terlihat adanya kelelahan.
4 : Seluruh gerakan otot dapat dilakukan dengan benar dan
dapat melawan tahan ringan dan sedang dari pemeriksa
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat
2 : Di dapatkan gerakan tetapi gerakan ini tidak mampu
melawan gaya berat (gravitasi)
1 : Kontraksi minimal dapat terasa atau teraba pada otot
yang bersangkutan tanpa mengakibatkan gerakan
0 : Tidak ada kontraksi sama sekali. Paralisis total.
Pemeriksaan Fisik
Fungsi Koordinasi
1. Inspeksi Cara Berjalan (Gait)

 Gait adalah cara atau gaya berjalan yang umumnya meliputi


kecepatan bergerak (meter per detik) dan jumlah langkah per unit
waktu (langkah per menit = cadence).
 Siklus berjalan dimulai ketika tumit salah satu kaki menyentuh
pijakan (heal-strike/ heel-on) sampai dengan tumit yang sama
kembali menyentuh pijakan.
 Selama satu siklus berjalan terdapat fase bersentuhan dengan
pijakan (stance phase) dan fase kaki berada diudara (swing
phase). Stance phase (60%) dimulai ketika kaki bersentuhan
dengan pijakan (heel-strike) dan berakhir ketika kaki terangkat
meninggalkan pijakan (toe-off), sedangkan swing phase (40%)
dimulai ketika kaki terangkat meninggalkan pijakan dan berakhir
ketika kembali bersentuhan dengan pijakan
 Tujuan Pemeriksaan:
 Menilai apakah adanya kesimpangsiuran atau abnormalitas
gerakan berjalan, dimana akan ada kecenderungan untuk
menyimpang garis atau jatuh kesalah satu sisi.8
 Prosedur pemeriksaan :
 Mintalah pasien berjalan menuruti garis lurus dengan mata terbuka
dan tertutup. Perhatikan panjang langkahnya dan lebar jarak
kedua telapak kakinya. 4,8
 Interpretasi :
 Positif = Tampak kelainan gait abnormal
 Negatif = Tidak tampak kelainan gaya berjalan
 Gait abnormal terdiri dari:
 Antalgik.Kaki yang sakit memiliki loading phase yang singkat. Gait ini
didapatkan pada pasien yang mengalami nyeri pada kaki dan berusaha
tidak menumpukkan badannya pada kaki yang sakit, seperti trauma lutut,
tumit atau kaki, kaki diabetik, deformitas pada sendi lutut ataupun pada gout
arthritis.7
 Trendelenberg. Abduksi pada coxae tidak abduktif sehingga panggul
kontralateral akan jatuh pada swing phase. Gait ini biasa disebabkan karena
adanya nyeri panggul dan paha.7
 Waddle. Disebut juga trendelenberg bilateral = jalan bebek. Gait ini biasa
didapatkan pada orang hamil, paget’s disease, dan romberg distrofi.7
 Scissor. Kedua tungkai genu valgum, biasa didapatkan pada pasien stroke
dan trauma tulang belakang.7
 Paraparetik. Gerakan fleksi dan ekstensi kaku pada tungkai, jari kaki
mencengkram lantai. Didapatkan pada pasien parkinson dan ataksia.7
2. Shallow Knee bend

 Shallow kneebend adalah teknik membangun kekuatan otot di


atas paha. Latihan ini hanya boleh dilakukan jika pasien dalam
keadaan merasakan sakit yang sangat minimal. Jika pasien tidak
memiliki kelainan yang parah pada lutut dan tidak merasakan sakit,
bisa dilakukan 8-12 kali pengulangan.2
Prosedur Pemeriksaan:2
a. Pasien diminta untuk berdiri dengan posisi kedua tangan bertumpu pada meja
atau kursi dengan kaki selebar bahu.
b. Perlahan-lahan lutut ditekuk sehingga posisi berubah menjadi setengah
berjongkok.
c. Pastikan lutut tidak bergerak di depan jari-jari kaki.
d. Pasien kemudian diminta untuk merendahkan posisi sekitar 15 cm dengan posisi
tumit tetap di lantai.
e. Pasien lalu diminta untuk kembali ke posisi semula secara perlahan-lahan.
3. Tes Romberg
 Tujuan Pemeriksaan:
 Untuk menilai adanya gangguan di susunan vestibular atau di funikulus dorsalis (atau
serebelum).8
 Prosedur pemeriksaan:
 Tes Romberg dilakukan dengan cara meminta pasien untuk berdiri dengan kedua kaki
berdekatan satu sama lain dengan mata terbuka. Setiap bergoyang signifikan atau
kecenderungan untuk jatuh dicatat. Pasien kemudian diminta untuk menutup matanya.,
biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Selain melihat munculnya goyangan pada
pasien, penting juga untuk memperhatikan berat ringannya goyangan serta posisinya
timbulnya goyangan (bergoyang dari pinggul atau pergelangan kaki seluruh tubuh). Demi
keamanan pasien dokter harus berada di sekitar pasien (dapat menghadap pasien atau di
sisinya) dengan tangan direntangkan di kedua sisi pasien untuk mendukung (tanpa
menyentuh pasien). Tes Romberg ini dianggap positif jika ada ketidakseimbangan yang
signifikan dengan mata tertutup atau ketidakseimbangan secara signifikan memburuk pada
saat menutup mata (jika ketidakseimbangan sudah ada mata terbuka).
 Interpretasi :
 Positif = terjatuh saat menutup mata
 Negatif = tidak terjatuh saat menutup mata
 Pada umumnya dengan pemeriksaan tes Romberg kita bisa membedakan antara lesi
serebellum dengan gangguan proprioseptik dengan melihat hasil tes sewaktu membuka
dan menutup mata. Pada waktu membuka mata penderita masih sanggup berdiri
tegak (pada permulaan terjadi ayunan beberapa kali masih dianggap wajar/normal),
tetapi begitu mata ditutup, penderita langsung mengalami kesulitan untuk
mempertahankan diri dan jatuh kearah yang tidak bisa ditentukan (bisa kedepan atau
kebelakang). Sedangkan pada gangguan serebellum pada waktu membuka mata pun
penderita sudah mengalami kesulitan berdiri tegak dan akan cenderung berdiri dengan
kedua kaki yang lebar (widebase). 9
4. Tes Romberg Dipertajam
 Tujuan Pemeriksaan:
 Menilai adanya disfungsi sistem vestibular.4
 Prosedur Pemeriksaan
 Pada tes ini minta pasien berdiri dengan salah satu kaki berada di depan kaki
yang lainnya. Tumit kaki yang satu berada tepat di depan jari-jari kaki yang
lainnya (tandem). Pasien kemudian diminta untuk melipat lengan di dada
dan menutup matanya. Pasien orang normal mampu berdiri dalam posisi ini
selama 30 detik atau lebih. 4,8
 Interpretasi :
 Positif = tidak dapat berdiri selama 30 detik atau lebih
 Negatif = dapat berdiri selama 30 detik atau lebih
5. Tes Telunjuk Hidung
 Tujuan Pemeriksaan:
 Untuk menilai apakah ada gangguan pada serebelum yang menyebabkan
ataxia tipe dismetria.4
 Prosedur Pemeriksaan:
 Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pasien dalam kondisi berbaring, duduk
atau berdiri. Diawali pasien mengabduksikan lengan serta posisi ekstensi total,
lalu pasien diminta untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung jari
telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan
cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup. 4,8
 Interpretasi :
 Positif = tidak dapat menunjuk hidung dengan benar
 Negatif = dapat menunjuk hidung dengan benar
 Gangguan pada serebelum atau saraf-saraf propioseptif dapat
juga menyebabkan ataxia tipe dismetria. Dismetria berarti
hilangnya kemampuan untuk memulai atau menghentikan suatu
gerak motorik halus. Dengan tes finger-to-nose (tes jari hidung)
dapat terlihat adanya intention tremor , sedangkan pada resting
tremor (Parkinson tremor) maka sewaktu istirahat akan tampak
tremor tersebut.
6. Tes Tumit Lutut
Tujuan Pemeriksaan:
 Untuk melihat apakah ada ataksia (gangguan koordinasi) dan melihat adanya
gangguan pada serebelum.4
Prosedur pemeriksaan :
 Mintalah pasien pasien berbaring dengan kedua tungkai diluruskan , kemudian
pasien diminta menempatkan salah satu tumitnya di atas lutut tungkai lainnya,
minta pasien menggerakkan tunit itu meluncur dari lutut ke pergelangan kaki
melalui tibia.4,5
Interpretasi :
 Positif = tidak dapat melakukan gerakan dengan benar
 Negatif = dapat melakukan gerakan yang benar
7. Tes Untuk Disdiadokinesis

 Diadokokinesia adalah kemampuan untuk melakukan gerakan


cepat secara bersilangan. Sedangkam disdiadokokinesia adalah
gangguan gerakan secara bergantian secara cepat akibat
kerusakan koordinasi ketepatan waktu beberapa kelompok otot
antagonistik: gerakan seperti pronasi dan supinasi tangan secara
cepat menjadi lambat, terputus-putus, dan tidak berirama.5,8,9
 Tujuan Pemeriksaan:
 Untuk melihat adanya gangguan pada serebelum khususnya lesi
pada serebroserebelum yang menyebabkan adanya dekomposisi
gerakan volunter.
 Prosedur Pemeriksaan:
 Mintalah pasien merentangkan kedua tangannya
ke depan, kemudian mintalah pasien mensupinasi
dan pronas lengan bawahnya (tangannya)
secara bergantian dan cepat.4,8
 Interpretasi :
 Positif = tidak dapat melakukan gerakan
dengan benar
 Negatif = dapat melakukan gerakan dengan
benar
 Tes disdiadokinesis akan terganggu pada lesi UMN,
serebellum, dan sindrom ganglia basalis. Pasien
Parkinson mungkin mengerjakan tapping tes
dengan cukup baik, tetapi penderita akan
mengalami kesulitan pada gerakan
disdiadokinesia.
Pemeriksaan Fisik
Lainnya
Pemeriksaan Antropometri

 Jelaskan kepada ibu pasien atau wali mengenai jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
 Menentukan umur anak/bayi sesuai tanggal lahir.
 Ukur panjang/tinggi badan anak dengan menggunakan neonatal
stadiometer/ meteran sesuai usia pasien.
 Petakan tinggi badan pasien pada kurva tinggi badan sesuai jenis
kelamin dan usia.
 Ukur rasio tinggi badan menurut tinggi badan ideal sesuai usia.
 Ukur berat badan pasien menggunakan timbangan/baby scale
sesuai usia pasien.
CARA MENGINTERPRETASIKAN KURVA PERTUMBUHAN WHO
 Garis 0 pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan median,
atau rata-rata
 Garis yang lain dinamakan garis z-score. Pada kurva pertumbuhan
WHO garis ini diberi angka positif (1, 2, 3) atau negatif (-1, -2, -3). Titik
temu yang berada jauh dari garis median menggambarkan masalah
pertumbuhan.
 Titik temu yang berada antara garis z-score -2 dan -3 diartikan di
bawah -2.
 Titik temu yang berada antara garis z-score 2 dan 3 diartikan di atas 2.
 Untuk menginterpretasikan arti titik temu ini pada kurva pertumbuhan
WHO dapat menggunakan tabel berikut ini.
 Analisis Hasil Pemeriksaan Berat
Badan berdasarkan BBI (berat
badan ideal)
 a. > 120% : obesitas
 b. 110 - 120% : gizi lebih
 c. 90 – 110% : normal
 d. 70 – 90% : gizi kurang
 e. 70% : gizi buruk
Deteksi Kaku Kuduk

 Tanda-tanda meningeal timbul karena tertariknya radiks-radiks saraf


tepi yang hipersensitif karena adanya perangsangan atau peradangan
pada selaput otak meninges (meningitis) akibat infeksi, kimiawi maupun
karsinomatosis. Perangsangan meningeal bisa terjadi juga akibat
perdarahan subarachnoid.
 Untuk memudahkan pemeriksaan, pada keterampilan medik ini
berturut-turut akan dipelajari tanda-tanda meningeal sebagai berikut:
 A. Kaku Kuduk (Rigiditas Nuchae)
 B. Tanda Brudzinski I
 C. Tanda Kernig
 D. Tanda Brudzinski II
A. Kaku Kuduk
 1. Penderita berbaring terlentang di atas tempat tidur.
 2. Secara pasif kepala penderita dilakukan fleksi dan ekstensi.
 3. Kaku kuduk positif jika sewaktu dilakukan gerakan, dagu penderita tidak
dapat menyentuh dua jari yang diletakkan di incisura jugularis, terdapat
suatu tahanan.
B. Tanda Brudzinski I
 1. Pasien berbaring terlentang.
 2. Tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien.
 3. Kemudian dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan cepat,
gerakan fleksi ini dilakukan semaksimal mungkin.
 4. Tanda Brudzinski positif jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi kepala
pasien timbul fleksi involunter pada kedua tungkai.
C. Tanda Kernig
 1. Pasien berbaring terlentang.
 2. Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut dari pasien.
 3. Kemudian dilakukan ekstensi pada sendi lutut.
 4. Tanda Kernig positif jika pada waktu dilakukan ekstensi pada sendi lutut <
135o, timbul rasa nyeri, sehingga ekstensi sendi lutut tidak bisa maksimal.
D. Tanda Brudzinski II
 1. Pasien berbaring terlentang.
 2. Tungkai bawah pasien dilakukan fleksi secara pasif pada sendi panggul
dan sendi lutut (seperti Tanda Kernig).
 3. Tanda Brudzinski II positif jika sewaktu dilakukan gerakan di atas tadi,
tungkai yang kontralateral secara involunter ikut fleksi.
Penilaian Fontanel
INSPEKSI
• MAULAGE (LIHAT KESIMETRISANNYA)
• ADA/TIDAKNYA KAPUT SUKSEDANUM
• ADA/TIDAKNYA CEPHAL HEMATOMA
• ADA/TIDAKNYA PERDARAHAN
Penilaian Fontanel

Palpasi
Dilakukan pada sepanjang garis sutura
dan fontanel pada saat bayi tenang
• Nilai ukuran lebarnya
• Nilai penonolannya atau
cekungannya
• Nilai apakah fontanel masih terbuka
atau sudah tertutup.
Test Patrick dan Kontra Patrick

Test patrick dilakukan untuk


membangkitkan nyeri di sendi panggul
yang mengalami gangguan. Sedangkan
test kontra patrick dilakukan untuk
menentukan lokasi patologik di sendi
sakroiliaka jika rasa nyeri di daerah
bokong, baik yang menjalar sepanjang
tungkai maupun yang terbatas pada
daerah gluteal dan sakral saja.
Test Patrick
Test Kontra Patrick
Test Chvostek
 Identifikasi titik dimana akan dilakukan ketokan. Titik I
di bawah processus zygomaticus os temporal, di
depan telinga. Titik II pada pertengahan antara
arkus zygomaticus dan sudut mulut.
Test Chvostek

 Interpretasi: Respon yang didapat berupa kedutan/tarikan minimal


pada sudut bibir atau sudut mulut, maksimal jika terdapat kontraksi
pada daerah frontal wajah, otot sekitar mata dan pipi.
Test Laseque
Test Laseque

 Interpretasi: Jika subjek merasakan nyeri menjalar dari bokong


hingga ke tungkai sesuai dengan inervasi n.ischiadicus sebelum
mencapai 70º dikatakan laseque’s test positif.
Pemeriksaan
Diagnostik
Interpretasi X-Ray Tengkorak

 Tulang-tulang calvaria
 Tulang-tulang wajah
 Bentuk dan ukuran dari sella tursica
 Tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK)
 Pada anak-anak akan nampak pelebaran sutura, pembesaran ukuran calvaria,
penipisan calvaria.
 Pada dewasa akan nampak peningkatan vascular markings pada calvaria,
pelebaran sella tursica, erosi sella tursica, cetakan gyrus otak yang prominen
(impressiones digitate), bergesernya kalsifikasi glandula pineal ke salah satu sisi.
 Sinus paranasalis yang tervisualisasi.
 Tanda-tanda osteomyelitis.
 Tanda-tanda dislokasi.
 Jaringan lunak di sekitarnya.
Interpretasi X-Ray Tulang Belakang

 Alignment dari tulang belakang.


 Kurva dari tulang belakang.
 Superior dan inferior end plate dari korpus tulang belakang.
 Korpus dari tulang belakang.
 Pedikel dan spatium intervertebralis dari tulang belakang.
 Nilai line of weightbearing (untuk foto lumbosakral).
 Jaringan lunak di sekitar tulang belakang
MMSE

 Orientasi
 Tanyakan pada pasien tentang yang terjadi saat ini seperti
menanyakan tahun, musim, tanggal, atau hari.
 Tanyakan pada pasien tentang tempat keberadaan saat ini seperti
negara, propinsi, kota, atau nama rumah sakit.
MMSE

 Registrasi
 Pasien diminta untuk menyebutkan tiga buah nama benda (jeruk,
uang, mawar), tiap benda satu detik, pasien diminta untuk mengulangi
ketiga nama benda tadi. Diberikan nilai 1 untuk tiap nama benda yang
benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan
catat jumlah pengulangannya.
MMSE

 Atensi dan Kalkulasi


 Pasien diminta untuk berhitung misalnya pasien diminta mengurangi
angka 100 dengan 7. Kemudian berikan nilai 1 apabila jawaban benar.
Hentikan memberikan pertanyaan setelah 5 jawaban. Atau pasien bisa
diminta untuk mengeja kata dengan terbalik misalnya kata “WAHYU”
(nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan, misalnya
uyahw, maka nilai yang didapatkan pasien adalah 2).
MMSE

 Mengingat Kembali/Recall
 Pasien diminta menyebutkan kembali tiga benda yang telah
disebutkan pada uji registrasi.
MMSE
 Bahasa
 Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan,
misalnya pemeriksa menunjukkan pensil, arloji, dll.
 Pasien diminta mengulang rangkaian kata: “tanpa kalau dan
atau tetapi”
 Pasien diminta melakukan perintah misalnya “ambil kertas ini
dengan tangan kanan, lipatlah menjadi dua dan letakkan di
lantai”
 Pasien diminta membaca dan melakukan perintah seperti
“Angkatlah tangan kiri anda”
 Pasien diminta menulis sebuah kalimat secara spontan.
 Pasien diminta meniru gambar di bawah ini.
MMSE

 Interpretasi:
 Nilai: 24-30 : Normal
 Nilai: 17-23 : Probable gangguan kognitif
 Nilai: 0-16 : Definite gangguan kognitif
Keterampilan
Terapeutik
Cara Membalut dengan Mitella

a. Salah satu sisi mitella dilipat 3 – 4 cm sebanyak 1 – 3 kali.


b. Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan diluar bagian yang
akan dibalut, lalu ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi itu diikatkan.
c. Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan
pada ikatan b, atau diikatkan pada tempat lain maupun dapat
dibiarkan bebas, hal ini tergantung pada tempat dan
kepentingannya.
Membalut dengan Elastic
Bandage
 a. Berdasar besar bagian tubuh yang akan dibalut maka dipilih
pembalutan pita ukuran lebar yang sesuai.
 b. Balutan pita biasanya beberapa lapis, dimulai dari salaah satu
ujung yang diletakkan dari proksimal ke distal menutup sepanjang
bagian tubuh, yang akan dibalut kemudian dari distal ke proksimal
dibebatkan dengan arah bebatan saling menyilang dan tumpang
tindih antara bebatan yang satu dengan bebatan berikutnya.
 c. Kemudian ujung yang dalam tadi (b) diikat dengan ujung yang
lain secukupnya.

Вам также может понравиться