Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Hamzah Fansuri
titisthoriq@gmail.com
STAIN Kediri, Jawa Timur
Biografi Hamzah Al fansuri
Hamzah Fansuri,
“Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid”
Pada hakikatnya, menurut beliau, pemahaman akan
Tuhan itu mudah, hanya memerlukan kepasrahan dan
keberanian karena “Kekasih zahir terlalu terang dan
Pada kedua alam nyata terbentang.” Jadi, ciri khas
pemahaman tasawuf Hamzah adalah hakikat Allah itu
dekat dan menyatu, hanya saja manusia tidak
menyadarinya
Dalam “jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII”, Azumardi Azra
menyebutkan bahwa faham Hamzah Fansuri berpaham
Wujudiyah, berbeda dengan Ar-Raniri yang mementingkan
Syariah dan dianggap sebagai perintis gerakan pembarahu
Islam atau neo-sufisme
Pro-Kontra Hamzah Fansuri
Salah satu karya penting dari Syeikh Hamzah Fansuri adalah Zinat al-Wahidin, terjadi
ketika perdebatan sengit antara faham wahdatul wujud sedang berlangsung dengan
tegang di Sumatera. Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai kitab keilmuan
pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu
Bayazid dan al-Hallaj merupakan tokoh panutan Syeikh Hamzah Fansuri di dalam cinta
(‘isyq) dan ma’rifat, dipihak lain Syeikh sering mengutip pernyataan dan syair-syair
Ibnu ‘Arabi serta Iraqi untuk menopang pemikiran kesufiannya.
Berkaitan dengan menyatunya Tuhan dan alam, ia mengatakan “Sebagaimana laut
tidak bercerai dengan ombaknya, demikian juga Allah tidak bercerai dengan alam.
Akan tetapi keberadaanya bukan di dalam alam, bukan pula di luar alam, ia bukan di
atas dan bukan di bawah, bukan di kanan alam, bukan pula di kiri alam, bukan di
hadapan bukan pula di belakang alam, Ia tidak berpisah dan tidak pula bersatu
dengan alam, tidak dekat dan tidak jauh.
Zat Tuhan disebut la ta’ayun (transendental), karena akal pikiran,
perkataan, pengetahuan dan makrifat menusia tidak akan sampai
kepada-Nya. Pandangan ini didasarkan pada hadist Nabi “tafakkaru fi
khalqi lah, wa la tafakkaru fi dzati lah
Dari hadist tersebut kita mengetahi bahwa pikiran, perkataan,
pengetahuan, dan makrifat manusia mustahil mengetahui dan
memahami Zat-Nya. Apabila para sufi berbicara tentang prinsip-prinsip
penciptaan, mereka tidak membicarakan Zat-Nya melainkan jalan
penciptaan secara bertingkat, dimulai dari yang paling dekat kepada-
Nya sampai yang paling jauh dari-Nya secara spiritual. Walaupun Zat
Tuhan itu la ta’ayun, namun ia ingin dikenal, maka ia menciptakan alam
semesta dengan maksud agar Dirinya dikenal. “Kehendak untuk
dikenal” inilah yang merupakan permulaan tajalli ilahi. Sesudah tajalli
dilakukan maka Dia dinamkan ta’ayyun, yang berarti nyata. Keadaan
ta’ayun inilah yang dapat dicapai pikiran, pengetahuan, dan makrifat.
Hamzah Fansuri menerjemahkan perkataan wajh sebagai
zat, yaitu at yang telah ber-ta’ayyun. Adapun Tuhan itu
mutlak, karena itu Ibn Arabi menyebut dia sebagai wajib al-
wujud, yaitu wujud yang Qa’im sendirinya, sedangkan alam
semesta disebut sebagai mumkin al-wujud, wujud yang
mungkin atau nisbi karena adanya tergantung kepada
wujud mutlak yaitu wajib al-wujud. Hamzah Fansuri
memang mengikuti Ibn ‘Arabi, yang mengatakan bahwa
wujud mutlak sebagai sebab hakiki dari segala kejadian
merupakan wujud yang keberadaannya mutlak diperlukan,
wajib al-wujud li dzatih.
Eksoterik (dhahiri) dan Esoterik (bathini)
Naquib al Attas, Pro Fansuri dan menolak istilah zindiq